Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TBA
TEKNOLOGI BAHAN ALAM
Dosen: Liliek Hermanu Dra .,Ms.,Apt
Sumi Wijaya S.Si, Pd.D, Apt
Farida Lanawati S.Si., MSc.
Pustaka
Pustaka
Anonim,1994.Petunjuk Pelaksanaan
Cara Pembuatan Obat Tradisionil
Yang Baik ( C P O T B ).Dep.Kes.RI
Jkt
Anonim,2005.Badan Pengawas Obat
dan Makanan R.I.Peraturan Per
Undang-Undangan Di Bid Obat Trad.
Pustaka
Wichtl .M.2004 .Herbal Drugs and
Phytopharmaceuticals.
Monograph Herbal Idonesia 2008
Jadual
Minggu 1
Pendahuluan
Perkembangan
Obat Herbal
Indonesia
Konsep TCM
Konsep Ayurveda
Minggu 2
Pengertian tentang
obat tradisional
Pengertian tentang
BATTRA
Peraturan dan
persyaratan
tentang obat
tradisional
Minggu 3
Tanaman Obat
Indonesia
Obat Asli
Indonesia
Penanaman Obat
secara
Industri(refresh
dari Farmakog)
Bentuk sediaan
dari tanaman
Minggu 4
Simplisia dan
Ekstrak
Penggilingan dan
Ekstraksi Tanaman
Obat
Pemurnian,
Pemekatan, dan
Pengeringan
Ekstrak
Preformulasi
Minggu ke-5
Praformulasi Obat
Bahan Alam
Macam-macam
bentuk Obat Bahan
Alam
Pengembangan
Sediaan Obat
Bahan Alam secara
Teknologi modern
Minggu ke-6
Pengembangan
Bahan Alam
menjadi produk
Instan
Contoh sediaan dan
cara pembuatannya
Fitofarmaka
Diskusi tugas
Minggu ke -7
Evaluasi Produk
Bahan Alam secara
biologi, kimiawi,
dan farmasetis
CPOTB
Fitofarmaka (
lanjutan )
Diskusi dan Kisikisi soal
PENILAIAN
UTS
50 %
UAS
50 %
Ujian tulis 40 %
Nilai Tugas 10%
Ruang Lingkup
Botani Farmasi
Farmakognosi
Fitokimia
TEKNOLOGI BAHAN ALAM
Fitomedicine/ Medicinal Plants/
Herbal Medicine
Farmakologi
PENDAHULUAN
Obat trad telah digunakan oleh masyarakat
sejak jaman dulu sampai sekarang.
Sangat erat hubungannya dengan tradisi
dan budaya bangsa.
OAI dimanfaatkan secara optimal
terutama utk peningkatan dan
pemeliharaan kes,baik melalui swapengobatan maupun pelayanan kesehatan.
Obat Tradisional
Bahan atau ramuan bahan yang berupa
tumbuhan , bahan hewani, mineral,
sediaan galenika , atau campuran
bahan-2 tersebut. yang secara
tradisional telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman
Berdasar pada pembagian obat bahan
alam Indonesia obat tradisional
disebut juga Jamu
Peraturan dan
Persyaratan OBAI
Peraturan Per-Undang-2 an di bidang
OT, OHT dan Fitofarmaka / BPOM
2005
Klaim khasiat, logo , dsb
Larangan bahan tambahan OBA
Contoh sediaan OT,OHT, dan FF
DEP. KES.
*BADAN P O M
R.S
* INDUSTRI
DOKTER
* SEKTOR
FARMASIS
TERKAIT
PERG.TINGGI
*LEM.RISET
MASYARAKAT
Tradisional Chinese
Medicine
Memanfaatkan jenis tanaman obat
Penjualan Domestik TCM
180 item TCM dlm daftar Obat Progr
Pem bersama dg obat modern
Beberp TCM memperoleh FDA
approval Tan SengTit Yuang = tabl
ginseng
TCM
Promosi TCM melalui International
Exhibition di Cina maupun Negara
Maju lainnya.
Kurang lebih 1500 Perusahaan
memproduksi TCM dlm bentuk bhn
baku
AYURVEDA
=ilmu kehidupan
Prayojana, Swasthya, Dhathusamya
Prayojana
Pertimbangan untuk perbaikan dan
pemeliharaan dari keseimbangan metabolik.
Kesehatan Swasthya 2 bag dari
keseimbangan metabolisme Dhatusamya.
Prasannaatma indryamana kes,
kesejahteraan jiwa badan, dan perasaan
Ke-tdk- nyamanan fisik,kesakitan derita
mental perasaan tdk enak Dukka.
Penderitaan Dukka
Agantuka /umum atau formal, Sharirika
fisik, Manasika /mental,
Svatbhavika./kebiasaan
Agantuka / umum atau formal suatu
penyakit yg berasal dari luka bagian luar.
Shariraka / fisik peny.ringan yg berasal
dari dalam yg disbbkan oleh nutrisi dan
metabolisme yg tdk seimbang.
Konsep Ayurvedis
Uphashaya mendekati kebijaksanaan
yang digunakan untuk kombinasi dari
Aushada /agen atau pemeriksaan dan
pengobatan,Anna/ berpuasa, Vihara,
pelajaran agama.
Dukungan 3 Pramanas/persetujuan
Pratyaksha: observasi lgs dg perasaan yg
berarti,Anumana, kesimpulan dg logika
induktif atau deduktif, Aptopadesha,bukti
yg didasarkan pd perkataan seor penerima
kekuasaan
Perkembangan OBA di
bebrp negara lain
JERMAN
Mulai 1993 prasyarat praktek dokter
54 % herbal Medicine di Jerman diperoleh
melalui resep dokter dan pembiayaan
ditanggung oleh asuransi kes
65 % penduduk Jerman menggunakan HM
utk pegobatan
Penerapan teknologi maju dlm proses
ekstraksi
Di Hongaria
Sediaan Farmasi yg berasal dari bhn
alam tlh dikembangkan menjadi
bentuk aerosol,kapsul,tablet
kunyah,krem,tablet salut
gula,drops,emulsi,gel,granulat,
campuran the,,dsb
Herbal product di U S A
FDA- obat hrs aman dan efektif
sesuai dg persyaratan pada label
sebelum dipasarkan, produk herbal
termasuk klasifikasi pelenkap
makanan dan dipasarkan sesuai dg
ketentuan DSHEA ( dietary
supplement healt and education act
1994 )
ObatBahan Alam
Indonesia
Jamu: warisan nenek moyang yang
dilestarikan masyarakat Indonesia,
data empiris
Melalui penelitian-2 preklinis menjadi
Obat Herbal Terstandar
Menjadi suatu formulasi/ Sediaan
menjadi Fitofarmaka melalui uji klinis
Peraturan dan
Persyaratan OBA
Peraturan Per-Undang-2 an di bidang
OT, OHT dan Fitofarmaka / BPOM
2005
Klaim khasiat, logo , dsb
ARAH PEGEMBANGAN
OBAT TRADISIONAL
INDONESIA (O A I)
Tanaman unggulan
penelitian di Indonesia
SIMPLISIA
Arah pengembangan
industri
Menjadikan agromedisin Indonesia sbg
komoditas farmasi unggulan yg
berstandar mutu internasional baik
sbg produk antara maupun produk
jadi (ekstrak,minyak atsiri,produk
aroma terapi,makanan kesehatan dan
obat)
KEBIJAKAN STRATEGIS
PENGEMBANGAN O A I
OBAT ALAM INDONESIA = HERBAL
MEDICINE
MEMBANGUN NETWORKING
ANTARA INDUSTRI DAN LEMBAGA
RISET YG DIDUKUNG OLEH
PEMERINTAH.
STANDARISASI
BUDIDAYA TANAMAN OBAT /
AGROMEDICINI
Kebijakan
Jaminan mutu/quality assurance
Pembinaan Industri OAI
Pengembangan OAI utk GO GLOBAL
Didukung : Riset yang kuat bertumpu pada
Quality,Safety & Efficacy
.Perintisan penggun OAI pd pelay kes
.Pengemb market OAI domestik dan ekspor
OBAT ALAM
INDONESIA
DIMANFAATKAN SECARA
OPTIMAL TERUTAMA UNTUK
PENINGKATAN DAN
PEMELIHARAAN KESEHATAN BAIK
MELALUI SWA PENGOBATAN
MAUPUN PELAYAN AN
Kesimpulan
Pengobatan Tradisional yg aman dan
bermanfaat perlu dibina,
dikembangkan dan diawasi
mewujudkan derajad kesehatan yang
optimal, regulasi pengobatan
tradisional
Pelayanan dari non formal menjadi
formal
Pengobatan Tradisional
( Jenis )
Luar Indonesia
Ketrampilan
1. Refleksi
2.Akupunture
LUAR INDONESIA
A. BATTRA KETRAMPILAN
1. PIJAT REFLEKSI
2. AKUPRESURIS
3. PIJAT SHIATSU, TUINA
4. PIJAT QIGONG
5. PIJAT ALA THAI. DLL
6. TOUCH FOR HEALTH
7. AKUPUNKTURIS,
8. KIROPRAKTOR
9. ALEXANDER TEKNIK
10. OSTEOPATIS,
11. HIDROTERAPIST,
12. SPA TERAPIS, DLL
LUAR INDONESIA
B .BATTRA RAMUAN
1. HOMOEOPATI
2. AROMATERAPIS,
FLOWERTERAPY
2. TABIB PENGOBATAN MATA
3. SINSHE UMUM
4. SINSHE KHUSUS: KANKER
HEMORRHOID, NARKOBA,
5. DLL
DEFINISI :
REGULASI
PENGOBATAN TRADISIONAL
LANDASAN HUKUM :
- Peraturan Menkes : No. 1186/Menkes/Per/
XI/1996 ttg Pemanfaatan akupuntur di
sarana Pely.Kes
- Keputusan Menkes : No. 0584/Menkes/SK/
VI/1995 ttg Sentra Pengembangan
penerapan Pengobatan Tradisional
- Kep.Menteri RI no.1076/Menkes/SK/VII/
2003 ttg Penyelenggaraan pengobatan
tradisional
- Kep.Menkes no. 1277/Menkes/SK/VIII/2003
ttg tenaga Akupuntur
FITOTERAPI
ADALAH SEDIAAN OBAT DARI BAHAN
ALAM,TERUTAMA DARI BAHAN ALAM
NABATI YANG TELAH JELAS
KHASIATNYA DAN BAHAN BAKUNYA
TERDIRI DARI SIMPLISIA ATAU
SEDIAAN GALENIK YANG TELAH
MEMENUHI PERSYARATAN MINIMAL
SEHINGGA TERJAMIN KESERAGAMAN
KOMPONEN AKTIF, KEAMANAN DAN
KEGUNAANNYA.
Pengobatan Tradisional
Cina
Tradisional Chinese
Medicine
Memanfaatkan jenis tanaman obat
Penjualan Domestik TCM
180 item TCM dlm daftar Obat Progr
Pem bersama dg obat modern
Beberp TCM memperoleh FDA
approval Tan SengTit Yuang = tabl
ginseng
TCM
Promosi TCM melalui International
Exhibition di Cina maupun Negara
Maju lainnya.
Kurang lebih 1500 Perusahaan
memproduksi TCM dlm bentuk bhn
baku
Di Jerman
Mulai 1993 prasyarat praktek dokter
54 % herbal Medicine di Jerman diperoleh
melalui resep dokter dan pembiayaan
ditanggung oleh asuransi kes
65 % penduduk Jerman menggunakan HM
utk pegobatan
Penerapan teknologi maju dlm proses
ekstraksi
Di Hongaria
Sediaan Farmasi yg berasal dari bhn
alam tlh dikembangkan menjadi
bentuk aerosol,kapsul,tablet
kunyah,krem,tablet salut
gula,drops,emulsi,gel,granulat,
campuran the,,dsb
Herbal product di U S A
FDA- obat hrs aman dan efektif
sesuai dg persyaratan pada label
sebelum dipasarkan, produk herbal
termasuk klasifikasi pelenkap
makanan dan dipasarkan sesuai dg
ketentuan DSHEA ( dietary
supplement healt and education act
1994 )
India,Burma,Bangladesh,
Nepal,Pakistan,Sri
Lanka,and Thailand
=Science of life
Prayojana
Swasthya
Dathusamya
Prasanna atma indriya mana
PENDAHULUAN
Input -> obat asli Indonesia
Proses-> instrument,metode,
kelompok sasaran
0utput->sasaran sosialisasi
Instrumen
1. Institusi
Pemerintah,depkes,BPOM.lemb
LitBang Kes,
(LIPI,BPPT,BALITRO,BALITBANGK
ES,dll),DEP PERTANIAN,DEP.
PERINDUSTRIAN dan
PERDAGANGAN
2. PERG TINGGI
3. GP JAMU & ASS.PERD TAN OBAT
4. MEDIA (CETAK& ELEKTRONIK)
KELOMPOK SASARAN
PRAKTISI INDUSTRI OBAT
TRADISIONAL
PRAKTISI MEDIS
MASYARAKAT UMUM/KONSUMEN
-
Tahap uji toksisitas lanjut(uji
toksisitas sub akut,kronik,dan
berbagai uji toksisitas khusus,
Tahap pengembangan sediaan dan
standarisasi
Tahap pengujian klinik pada manusia.
Penyiapan Formulasi
Bahan Alam
Beberapa terminologi
standar dlm ekstraksi
Menstrum , pelarut atau campuran
pelarut yg digunakan utk ekstraktor
Micella , larutan yg mengandung
bahan hasil ekstraksi
Rinsing, disolusi dari bahan ekstraksi
yg keluar dari sel yg hancur, atau
disingkat pembilasan
Lixiviation, ekstraksi dg menggunakan
air sbg pelarut/ leaching
Parameter yg
mempengaruhi ekstraksi
1. Pengembangan/ pemelaran
2. Difusi,pH,ukuran partikel dan suhu
3.Pilihan pelarut ekstraksi
STANDAR
Pengertian Standar
Adlh Spesifikasi tehnis atau sesuatu yg
dibakukan, disusun berdasrkan
konsensus semua pihak terkait
dengan memperhatikan syarat-2
kesehatan, keselamatan,
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi(IPTEK) serta berdasrkan
pengalaman perkembangan masa kini
dan masa yad utk memperoleh
manfaat yg se-besar-2nya.
DSN
Praformulasi
Bahan baku Fitofarmaka
Kand zat aktif beraneka ragam dan dlm
jmlh yg kecil dipilih senymarker
Bag terbesar adl matrikpembawa ekstrak
spt selulose,klorofil,lemak,seny
gula,resin,tanin,asam organik,saponin dlll
Sbg ekstrak terstandar dan memenuhi
persy.farmasetika
Konsep ekstrak setara dg bahan aktif
Studi preformulasi
Merupakan suatu studi yg menunjang
proses optimasi suatu sediaan obat
melalui penentuan dan mengidetifikasi
sifat-2 fisika dan kimia yg penting
dlm menyusun formulasi sediaan obat
agar aman digunakan oleh pasien.
Jamu,OHT,Fitofarmaka
Tk kompleksitas kompl kimia
1.Senyawa murni
2. Ekstrak tunggal
3.Simplisia tunggal
4.Campuran ekstrak
5.Campuran simplisia ( herbal tea)
Diameneer Diapet
/soho
Glucogard/ HiPhapros
Stimuno
Kiranti
Kuat
sehat DB
segar/D.
teratai
Rhemakur Sehat
/Phytoche tubuh/Bu
mindo
nga
Reksa
Teratai
Fitogaster
/ KF
Irex
Max/B 7
Lelap
/soho
Fitolac
/KF
Kiranti
pegel linu
Psidii/tra
dimun
Songgolan
git /
S.Herbal
Ind
Stop diar
plus,/A M
Virugon/
K
Studi preformulasi
Merupakan suatu studi yg menunjang
proses optimasi suatu sediaan obat
melalui penentuan dan
mengidentifikasi sifat-2 fisika dan
kimia yg penting dlm menyusun
formulasi sediaan obat agar aman
digunakan oleh pasien.
2 macam ekstrak
Ekstr total ekstr mengandung semua bhn
terekstraksi yg diperolehdg pelarut air
atau hidroalkohol
Ekstrak murni ekstrak tdk lagi
mengandung zat-2 yg tdk diperlukan dan
tdk mempengaruhi proses penghilangan zat
inert
Pegangan rasionalisasi
pengemb.sed bhn alam
Lebih baik menyusun s/ formulasi sed
yg mudah dan sederhana
Mengandung ekstrak 2-3 macam.
Perlu dihindari memasukkan beberp
ekstrak yg menunjukkan jenis
aktivitas farmakologi sama
Pada ob trad msh srg ada.
Sediaan
Fitofarmasi/Phytopharmace
utical
Ekstrak terstandar
Ekspien Formulasi Proses
ManufakturProduk Fitofarmaka.
Sediaan ob.tradisional
Men Kes R.I
1.Serbuk
2.Pil
6.Cairan obat
dalam/luar
7.Sari jamu
3.Dodol /jenang
8.parem,pilis,tapel
4.Pastiles
9.Koyok
5.Kapsul
10.Salep/krim
Serbuk
Sed.ob.trad berupa butiran homogen
dg derajad halus yg cocok.bhn.bakuny
berupa simplisia,sed.galenik atau
campurannya.
Keseragaman bobot,kadar air,,angka
lempeng total,angka kapang dan
khamir.
Pil
Sed.padat obat trad beruoa massa
bulat,bh bku berupa simpl,sed
galenik,atau campurannya
Keseragaman bobot,kadar air,waktu
hancur,ALT,angka kapang dan
khamir,mikroba patogen
neg,aflatoksin tdk lbh dr 30 bpj,dll
Kapsul
Sed ob tradisional yg terbungkus
cangkang keras atau lunak bhn
bakunya terbuat dr sed galenik dg
atau bahan tambahan.
Waktu hancur tdk lbh dr 15 menit
Keseragaman bobot FI,dll sama
Parem,pilis,dan tapel
Sed padat ob.tradisional bh baku
berupa serbuk atau simplisia,sed
galenik,atau campurannyadan
digunakan sbg obat luar.
Kdr air tdk lbh dr 10 %, ALT tdk lbh
dr 10^5,dsb
Koyok
Adl sed.ob tradisional berupa pita
kain yg cocok dan tahan air yg dilapisi
dg serbuk simplisia,sed
galenik,digunakan sbg obat luar,dan
pemakaiannya ditempelkan pada kulit.
ALT,mikroba patogen neg,dsb
Sediaan kapsul
Tiap kapsul mengandung:
Extractum Sennae Fructi 11,0-96,0
mg, idem 139,0-54,0 mg,aetheroleum
anisi 10,0 mg, aetheroleum carvi 10,0
mg,eksipien -.
Perkembangan Produksi
Fitofarmaka
Suatu ilmu pengetahuan dan teknologi
berdasarkan perkembangan
fitofarmaka untuk memecahkan
permasalahan bangsa dan
meningkatkan daya saing bangsabangsa
Budaya sehat
Dengan
Tanaman
obat
jamu
Obat
herbal terstandar
fitofarmaka
Peningkatan
Kesehatan dan
Kualitas hidup
Manusia dan
masyarakat
-peraturan
-perlindungan
-asuransi
pemerintahan
Kolaborasi
Kebijakan
Dan peraturan
Produk berkualitas,
Aman dan manjur
Ilmu dan
teknologi
Industri
Kolaborasi antara
Penelitian dan
perkembangan
Pendidikan
tinggi
Bahan tanaman
-Tradisional
- kepercayaan nenek
Moyang
-Berhubungan
Dengan terapi
simplisia
Obat tradisional
jamu
Mengandung
Banyak
Komponen
Kadar kecil
Dan besar
Mengandung
Komponen jumlah
Besar (>2%)
Bahan isolat
Obat (modern)
Tanaman
obat
Eks
trak
jamu
Obat
herbal terstandar
Efek terapetik
fitofarmaka
Ekstrak Fitofarmaka
Ekstrak:
Ekstrak marker
Ekstrak dengan tambahan bahan aktif lain
Fitofarmaka:
Menurut Dr. Rudolf bauer (Jerman):
Ekstrak merupakan obat yang rasional, oleh karena
itu:
Harus distandarisasi
Berdasarkan ilmu kefarmasian, kualitasnya harus dapat
diterima
Rasional
Dapat diproduksi ulang
penelitian
Sediaan tradisional:
Sediaan serbuk
Godogan simplisia
simplisia
proses
Beda
Kandungan
kimia
Beda khasiat
ekstrak
Sediaan cepat
Saji:
kapsul
tablet
kaplet
sirup
Riset:
bukti aman
bukti respon
bukti klinik
Obat = senyawa
tunggal
Ekstrak = senyawa
kompleks
Respon biologi
Tunggal
Beberapa efek
samping
Kemungkinan ada efek biologi yang
kompleks:
1. Respon komprehensif
2. Respon sinergis / potensiasi
3. Efek samping supresi / eliminasi
4. Eliminasi metabolisme toxic
5. Target baru berdasarkan terapi
6. Preventive
7. Suportive
8. Immunomodulasi
9. Excessive freeradical scavanger
Tetapi, membutuhkan keamanan
Yang lebih tinggi
terstandar
1 komitmen
2 tanggung jawab
Memenuhi
Parameter
standar
Baku standar
Badan POM
Regulasi badan
POM
masyarakat
Tanaman obat
Input
Standarisasi
Proses
Output
Menghasilkan efek
Jamu
OHT
Fitofarmaka
Simplisia
jaminan
Komitmen
Teruji secara
klinik
quality
safety
efficacy
Keajegan kimia
Marker - compound
Keajegan respon
Bio - marker
masyarakat
CPOTB
DEPKES 2000 , Cara Pembuatan Obat
Tradisional Yang Baik
Organisasi
Personalia
Bangunan
CDOB
SELAMAT BELAJAR
CATATAN
HAND OUT MASIH BERUPA
SINGKATAN ATAU IKHTISAR,
URAIAN DIBERIKAN PADA
SAAT TATAP MUKA, HARAPAN
DPT DIFAHAMI SAAT
PENJELASAN PD SAAT SETIAP
TATAP MUKA DILENGKAPI DG
JOURNAL-2 BHN ALAM
TERKINI
PUSTAKA
1. Agoes, G. 2007. Teknologi bahan alam.
Penerbit ITB. Bandung
2. Anonim. 2000. Parameter standarisasi ekstrak.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta
3. Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
4. List & Schmidt. 1989. Phytopharmaceutical
Technology. CRC Press. New York
DEFINISI
Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh melalui
cara ekstraksi obat dengan ukuran partikel dan
dengan cairan pengekstraksi tertentu
Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari
campurannya dengan menggunakan pelarut
Ekstraksi
a.
b.
Kestabilan bahan
Persiapan ekstraksi umumnya simplisia direndam dengan pelarut
yang akan digunakan untuk penyarian selama 8-48 jam. Semakin
keras simplisia, semakin lama waktu yang dibutuhkan
Sasaran (%)
1-3 mm
< 0.25 mm
240
360
720
Tanin
1.04
1.13
1.23
Zat ekstraksi
3.42
3.76
3.82
Tanin
1.23
1.24
1.25
Zat ekstraksi
3.53
3.59
3.73
DENATURASI ENZIM
Penambahan deterjen, urea atau guanidine
HCl
Pemanasan koagulasi protein
Pengendapan penambahan asam
trikloroasetat, larutan asam metafosfat, tanin
atau formaldehida
TEMPERATUR
Pada umumnya dilakukan pada suhu dibawah 50C
atau dibawahnya
Pada dasarnya penguapan akan dilakukan pada
perkolat/hasil ekstraksi terakhir, untuk menghindarkan
pengaruh panas berlebih pada bagian perkolat
pertama yang kaya akan bahan aktif
LARUTAN PENYARI
Kriteria pelarut:
1. Tidak toksik dan ramah lingkungan
2. Mudah untuk diuapkan atau dihilangkan
3. Kelarutan zat aktif berkhasiat: LIKE DISSOLVE
LIKE selektivitas yang maksimal
4. Ekonomis
Macam pelarut:
1. Pelarut tunggal
2. Campuran azeatropik sistem biner dan terner
Yield (%)
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
24(pH3) 24(pH12)
Pretreatment (h)
Ground leaves of S. lavendulifolia were soaked at pH = 7, 3 and 12 and the
maximum yield in an alcohol extract was with pure water after four hours
MACAM EKSTRAK
1.
2.
3.
4.
Ekstrak air
Menggunakan pelarut air sebagai cairan pengekstraksi.
Tinktura
Sediaan cair yang dibuat dengan cara maserasi atau perkolasi simplisia. Sediaan ini
merupakan ekstrak yang dibuat dari simplisia tanaman obat dengan penyari berbagai
konsentrasi etanol.
Ekstrak cair (extractum fluidum)
Sama dengan tinktura, hanya saja ekstrak cair memiliki konsistensi yang lebih kental
dibanding tinktura.
Dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair
Ekstrak encer (extractum tenue)
Dikenal sebagai ekstrak tenuis
Sediaan ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat dituang
Dibuat seperti halnya ekstrak cair, hanya terdapat perbedaan antara konsentrasi
simplisia yang disari dengan konsentrasi akhir ekstrak
Pada saat ini sudah tidak terpakai lagi
MACAM EKSTRAK.CONT
5.
6.
7.
8.
METODE EKSTRAKSI
I. Berdasarkan kestabilan bahan
1. Cara panas
a.
Dekok
Penarikan sari tanaman pada suhu 90C-98C,
menggunakan pelarut air selama 30 menit.
b. Infus
Penarikan sari tanaman pada suhu 90C-98C,
menggunakan pelarut air selama 15 menit.
c.
Coque
Pemyarian dengan cara menggodok tanaman
obat/jamu menggunakan api langsung. Hasil
godokan setelah mendidih dimanfaatkan sebagai
obat secara keseluruhan (termasuk ampas yang
digodok), atau hanya dimanfaatkan cairan hasil
godokannya saja tanpa memanfaatkan ampasnya.
Cara ini sering digunakan dalam konsumsi jamu
tradisional
METODE EKSTRAKSI
d. Seduhan
Seduhan menggunakan air mendidih, simplisisa direndam
dalam air panas selama waktu tertentu (5-10 menit),
seperti halnya membuat teh seduhan
e. Digesti
Maserasi yang dilakukan pada temperatur yang lebih
tinggi dari suhu kamar, biasanya 40-50C.
METODE EKSTRAKSI
e. Sokhletasi
f.
Refluks
METODE EKSTRAKSI
2. Cara dingin
a. Maserasi
Penyarian simplisia menggunakan bermacam pelarut pada suhu
kamar selama beberapa waktu dengan beberapa kali pengocokan
atau pengadukan.
Ethanol (l)
Total Extract
Sugars
Residue
in drug
Total
glycosides
KStrophantin
Yield (g)
Maceration
7.1
5.45
1.65
17.7
38.8
22.4
1.24
Kinetic maceration
10.0
8.0
2.0
29.5
18.8
22.7
2.25
Kinetic maceration
under pressure
10.7
9.0
1.7
23.5
44.2
24.2
3.2
Sample amount: 1 Kg
Experiment time: 72 h
Experiment method extraction: maceration
2. Tetrahedral mixer
3. Twin cone mixer
Jenis Kelembaban
Kepolaran
Derajat
kehalusan
serbuk
Simplisia obat
Jumlah
Pelarut
Campuran bahan
Kecepatan tercapainya
kesetimbangan
Kesetimbangan ekstraksi
G =
(LM-X)a
a(LM-X)+1
X 100
G = kandungan persentase bahan aktif dalam misela yang diperoleh tanpa pemerasan
LM = jumlah pelarut (menstruum) yang digunakan, diukur dalam bentuk bagian
terhadap obat.
Misal: apabila digunakan 1000 ml pelarut untuk 200 g obat, maka LM = 1000/200 =
5
X = kuantitas pelarut yang diabsorpsi oleh 1 bagian simplisia, diukur dalam bentuk
bagian terhadap obat.
Misal, jika 200 g simplisia menahan 40 g pelarut, maka x = 40/200 = 0.2
a = konstanta maserasi
a(LM-X+Y)
a(LM-X)+1
a =
W
(LM-X) W(LM X)
Contoh soal
Bagian HRD suatu industri jamu, melakukan percobaan maserasi skala kecil
terhadap simplisia tumbuhan X. Kandungan bahan aktif yang diinginkan
dalam simplisia tersebut adalah alkaloida dan secara teoritis kandungan
alkaloida tersebut 10%. Proses maserasi dilakukan selama 10 hari, dengan
sekali-kali diaduk/dikocok. Hasil maserasi kemudian disaring vacuum dan
hasil filtrat ditimbang secara akurat. Data-data hasil percobaan tercatat
sebagai berikut:
Jumlah menstrum yang digunakan = 1000 ml
200 gram simplisia mengabsorpsi 40 gram pelarut
Jumlah micella 960 gram, mengandung 15 gram bahan aktif
Bila percobaan tersebut akan diulang keesokan harinya, dengan
menggunakan 400 gram simplisia, dengan jumlah pelarut yang tetap.
Hitunglah persentase kandungan bahan aktif dalam misela yang
diperoleh tanpa pemerasan?
20.0
15.0
100
W
a =
0.75
(5-0.2) 0.75(5-0.2)
a = 0.625
W = 75%
G
(2.5-0.2)0.625
0.625(2.5-0.2)+1
G = 58.97%
100
Bagian HRD suatu industri jamu ingin mengembangkan produk sediaan instant yang memiliki
aktivitas antioksidan.
Bahan baku yang digunakan dalam sediaan instant tersebut adalah tumbuhan X.
Kandungan bahan aktif yang diinginkan dalam tumbuhan X tersebut adalah senyawa polifenol.
Pada tumbuhan segar yang digunakan dilakukan pemeriksaan kuantitatif dengan metode FolinCiocalteu
dan didapatkan data dalam 100 gram tumbuhan segar terkandung 8 gram senyawa polifenol.
Tentukan nilai A bila pada penelitian pendahuluan untuk optimasi proses maserasi didapatkan data
sebagai berikut
No.
Jenis perlakuan
Replikasi 1
1.
Jumlah menstrum yang digunakan
2.
Proses pembasahan :
500 gram simplisia kering dapat mengabsorpsi 90 ml
pelarut
3.
Pada proses kuantitatif dengan metode folinciocalteu didapatkan jumlah bahan aktif sebanyak 34
gram
Replikasi 2
1.
Jumlah menstrum yang digunakan
2.
Proses pembasahan :
750 gram simplisia kering dapat mengabsorpsi 135
ml pelarut
3.
Pada proses kuantitatif dengan metode folinciocalteu didapatkan jumlah bahan aktif sebanyak A
gram
Keterangan
1000 ml
Bj pelarut = 0.9890
1500 ml
Bj pelarut = 0.9890
METODE EKSTRAKSI
b. Perkolasi/Exhaustive
extraction
Kerugian:
Jumlah zat aktif yang terekstrasi lebih banyak dibanding dengan metode
maserasi
METODE EKSTRAKSI
II. Berdasarkan jenis sampel dan pelarut penyari
1. Ekstraksi padat-cair
Dapat dilakukan secara maserasi, perkolasi
2. Ekstraksi cair-cair
Merupakan isolasi bahan aktif dari partikel halus
ekstrak
a. Ekstraksi dengan pelarut yang lebih berat dari air,
misalnya dengan kloroform
b. Ekstraksi dengan pelarut yang lebih ringan dari air,
misalnya dengan eter
METODE EKSTRAKSI
III. Cara ekstraksi lainnya
1. Destilasi uap
Adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap
(minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia)
dengan uap air berdasarkan tekanan parsial senyawa
kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel
secara kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan
kondensasi fase uap campuran menjadi destilat air
bersama dengan senyawa kandungan yang memisah
sempurna atau memisah sebagian
METODE EKSTRAKSI
2. Ekstraksi berkesinambungan
3. Superkritikal karbondioksida
4. Ekstraksi ultrasonik
PEMURNIAN EKSTRAK
Adalah perlakuan ekstraksi cairan untuk
menghilangkan residu simplisia atau bahan
yang tidak diperlukan selama proses
Metode:
A. Cara Fisika
B. Cara Fisikokimia
1. Adsorpsi
Adsorpsi tergantung pada:
Sifat kimia dari sorban (bahan pengabsorpsi)
Sifat kimia dari adsorban (bahan yang diabsorpsi)
Luas permukaan sorban
Temperatur
Konsentrasi zat terlarut
Zat yang dapat digunakan sebagai adsorban antara lain karbon aktif, gel
silika, aluminium oksida aktif dan fullers earth
2. Penukar ion
Metode ini sangat jarang digunakan untuk menghilangkan pengotor, lebih
sering digunakan untuk kepentingan selektif, contoh:
isolasi L-dopa dari ekstrak tanaman menggunakan penukar kation
asam kuat
Pemisahan saponin dari Aesculus
PENGUAPAN CAIRAN
EKSTRAKSI/PEMEKATAN/PENGERINGAN
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan
sehingga menghasilkan serbuk.
Pemekatan merupakan tahap yang sering menimbulkan
masalah karena banyak komponen kimia yang tidak stabil
atau terurai karena pengaruh temperatur
Macam pengeringan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengeringan evaporasi
Pengeringan vaporasi
Pengeringan sublimasi
Pengeringan konveksi
Pengeringan kontak
Pengeringan radiasi
Pengeringan dielektrik
PENGUAPAN CAIRAN
EKSTRAKSI/PENGERINGAN
1. Penguapan sirkulasi hampa udara
Prinsip kerja berdasar pada sirkulasi cairan yang
diuapkan dalam sistem berbentuk cincin dengan
perbedaan suhu yang besar pada kondisi hampa
udara
PENGUAPAN CAIRAN
EKSTRAKSI/PENGERINGAN
2. Penguapan rotasi-hampa udara
Prinsipnya akan terbentuk lapisan tipis dari
cairan yang diuapkan terbentuk pada dinding
labu melalui putaran labu di dalam penangas
panas.
Kondisi penguapan yang optimal dapat dicapai
melalui pengaturan suhu penangas, kondisi
hampa udara dan suhu pendinginan.
PENGUAPAN CAIRAN
EKSTRAKSI/PENGERINGAN
3. Penguapan lapis tipis
PENGUAPAN CAIRAN
EKSTRAKSI/PENGERINGAN
4. Instantisasi
Cara khusus untuk memperoleh ekstrak dalam
bentuk serbuk
Cara ini dapat menghasilkan produk yang mudah
dibasahi, cepat dan larut sempurna dalam air
tanpa membentuk gumpalan
PENGUAPAN CAIRAN
EKSTRAKSI/PENGERINGAN
5. Pengering vakum /vaccum dryers
PENGUAPAN CAIRAN
EKSTRAKSI/PENGERINGAN
7. Pengering baki/tray dryer
Merupakan pengering yang paling sederhana dan
murah, terdiri atas lemari yang di dalamnya dapat
disusun seperangkat baki yang
mengandung/menyimpan ekstrak yang akan
dikeringkan.
Kerugian:
Spray drying
Roller drying
Vaccum belt drying
Vaccum oven drying
Oven drying
Freeze drying
TEMPERATURE
Freeze drying
Vaccum oven drying
Vaccum belt drying
Spray drying
Oven drying
Roller drying
Spray dryer
a. Faktor Internal
b. Faktor Eksternal
Metode ekstraksi
Perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat)
Ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
Kandungan logam berat
Kandungan pestisida
BAHAN TAMBAHAN
Perhatikan:
Interaksi bahan tambahan
dengan metabolit
sekunder dan primer dari
tanaman
Perhatikan cara
pembuatan sediaan
terhadap kestabilan bahan
aktif
Plant toxins
1. Asam oksalat
Berada dalam tanaman dalam bentuk garamnya: calcium
oxalate, potassium oxalate dan sodium oxalate
Precaution untuk:
Hypocalcemia
Kidney disfunction
Ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh
Philodendron
Rumex spp.
Amaranthaceae bayam
Plant toxins
2. Terpenes
a. Thujone
Essential oils
Banyak terdapat pada: Cupresaceae, pada beberapa
species dalam Asteraceae (Tanacetum vulgaris,
Artemisia sp) dan Lamiaceae (Salvia officinalis)
Dosis 30 mg dapat mengakibatkan convulsions dan
lesion of the cortex of the brain
Berbahaya karena senyawa ini dapat berakumulasi
di otak
Plant toxins
b. Ranunculosides
Plant toxins
c. Sesquiterpene lactones
Plant toxins
3. Glycosides
a. Cyanogenic glycosides
b. Glucosinolates
Menghasilkan isothiocyanates
Terdapat pada familia Brasicaceae, Moringaceae dan
Capparidaceae
Plant toxins
4. Polifenol
a. Coumarin glycosides
b. Gossypol male contraceptive
c. Anthraquinone glycosides
5. Alkaloida
Isobole curve:
Synergisme
Liquorice synergistic agent (meningkatkan aktivitas
farmakologis dari tanaman lain dan dapat mengurangi
toksisitas yang ditimbulkan tanaman lain)
Antagonisme
No interaction
BAHAN AJAR
TEKNOLOGI BAHAN ALAM
Disusun oleh:
FAKULTAS FARMASI
UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA
2014
1
Pokok Bahasan
Pra Formulasi 1
Pra Formulasi 2
Pra Formulasi 3
Formulasi Bahan Alam 1
Formulasi Bahan Alam 2
Overview Optimasi Ekstraksi dan Formulasi
Kontrol Kualitas Sediaan Farmasetik dari Bahan Alam
Overview Pharmacokinetic of Herbal Drug
(Bioavailability and Bioeqivalency)
Nama Dosen
Bu Sumi
Bu Sumi
Bu Sumi
Bu Farida
Bu Farida
Bu Farida
Bu Farida
Sistem Penilaian :
Dosen 1 : Dra. Hj Liliek Hermanu, MS.,Apt ----- tatap muka : 7 kali (sebelum UTS)
Dosen 2 : Sumi Wijaya, S.Si., Ph.D
------ tatap muka : 3 kali (sesudah UTS)
Dosen 3 : Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc---- tatap muka : 4 kali (sesudah UTS) *
Nilai UTS dan UAS @ : 100
Daftar Pustaka
Agoes G.,.Seri Farmasi Industri : Teknologi Bahan Alam, Penerbit iTB Bandung
Agoes G.,. Seri Farmasi Industri : Pengembangan Sediaan Farmasi, Penerbit iTB Bandung
Anonim, 2001a. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Badan Pengawas Obat dan
Makanan, Jakarta.
Anonim,
2010b.
Obat
Bahan
Alam.
(on
line
database).
Available
at
:
http://www.authorstream.com/Presentation/dwichandraputra-383903-obat-bahan-alam-simplisia-science-technologyppt-powerpoint/
Amstrong, N.A. and James, K.C., 1996. Pharmaceutical Experimental Design and Interpretation, Taylor and Francis
Publishers, London.
Bolton, S., 1990. Pharmaceutical Statistic: Practical and Clinical Applications, 2nd ed, Marcell Dekker Inc, New
York.
Cara Pembuatan Simplisia
Departemen Kesehatan, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat, Bakti Husada Indonesia
Departemen Kesehatan, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, .. Sediaan Galenik , Bakti Husada
Indonesia
FA 3203/Analytical Pharmacognosy oleh Sukrasno dan Siti Kusmardiyani, 2005.
Green, J.H., 1996. A Practical Guide to Analytical Method Validation, Analyitical Chemistry, 23.
Gordon, R.E., Rosanske, T.W., Fonner, D.E., Anderson, N.R.m. and Banker, G.B., 1990. Granulation Technology
dalam Lachman L., Lieberman HA., Pharmaceutical Dosage Form: Tablet, volume 3, 2nd ed, Marcel-Dekker, New
York.
Katno, Pramono S., 2010. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Jamu (on line
database). Available at : http://science.uii.ac.id/file/sap/kimia/satuan-acara-perkuliahan-kimia... (Sept, 2010).
Kurniawan DW dan Sulaiman TN., 2009. Teknologi Sediaan Farmasi, Graha Ilmu, Yogyakarta.
List PH and Schmidt PC., .Pytopharmaceutical Technology CRC Press - Boston
National Policy on Traditional Medicine and Regulation of Herbal Medicines oleh WHO, 2005.
Soetarno, S. dan Soediro., IS. 2000. Standarisasi Mutu Simplisia dan Ekstrak Bahan Obat Tradisional, Prosiding
Temu Ilmiah Nasional Bidang Farmasi, Bandung, X-1s/d 22.
Susetyarini, . 2007. Pengaruh Dekok Daun Beluntas Terhadap LD 50 (Toksisitas Akut) Tikus Putih Jantan (Ratus
norwegicus), Laporan Penelitian Pengembangan IPTEKS, Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah, Malang
Wade, A. dan Weller, P.J., 1994. Handbook of Pharmaceutical Exipients. 2th ed, American Pharmaceutical
Associaton, Washington.
WHO Guidelines for assessing quality for herbal medicines with reference to contaminant and residue
Sumber lain : website (journal online or article dll)
Bab. I.
Formulasi Bahan Alam
(Dosen: M.M.Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc.)
Obat tradisional:
Bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran
dari bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman
Pengembangan OBA mencakup aspek : mutu, keamanan dan manfaat (safety, effective and acceptable)
Adverse effect
Efficacy
Scientific evidence
Efficacy
plant constituent
Efficacy & safety -------chemical constituents
QC ------to assure the compliance on quality standards-----essential prerequisite for ensuring safety &
efficacy
Seleksi
Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
Uji klinik
Tahap Seleksi
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya
(berdasarkan pola penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Tanaman obat yang dibutuhkan untuk produksi harus tersedia yang mudah tumbuh spontan atau yang
dibudidayakan di negara atau daerah tersebut.
Obat harus diterima secara luas, digunakan dan atau dibutuhkan untuk mengobati penyakit menular
(prevalen) di negara tersebut.
Obat yang diperoleh dari tanaman obat harus aman.
Biaya pengobatan dengan obat harus kompetitif dengan obat sintesis untuk kategori terapetik yang
sama.
Produksi obat tersebut harus menawarkan manfaat ekonomi jangka panjang seperti pengganti impor
atau daya pendapatan ekspor.
Dalam masalah penelitian calon obat, produksi harus dipertimbangkan hanya setelah kemanjuran
klinik telah dibuktikan.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
secara umum
Bentuk ekstrak
Berdasarkan konsistensinya:
Cair (ex: sirup, elixir, tinctura)
Kental
granulasi basah
Kering
kempa lgs
Berdasarkan prosesnya:
ekstrak total -------------------- semua komponen tersari
ekstrak yang dimurnikan --- komponen tertentu yang tersari
jenis solven
tak mengandung senyawa inert/zat balast
Ekstraksi
1. Concentred preparation obtained by extracting active chemical constituen from plant or animal
materials using appropriate solvent followed by evaporation of solvent ang the residual material are
reextracted so that the combined extract achieve required standard
2. pemisahan solid atau likuid secara fisis ataupun kimiawi dari suatu material (umumnya : preparat
nabati)
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
Prinsip dasar
1. pengeluaran ZA dari sel yg rusak
2. pengeluaran ZA dari sel utuh secara difusi dipacu dengan pelarut air / campuran air + metanol
sehingga sel mengembang dan permeabilitas naik berakibat sel pecah dan zat aktif larut
3. pembesaran pori-2 sehingga ZA mudah keluar
Pemekatan ekstrak
dipekatkan sampai diperoleh konsistensi ekstrak yg dimaksud kental, kering
dipekatkan lalu dilakukan pemurnian dg sistem counter extracted menggunakan solven yg kompatibel
dipekatkan, dimurnikan untuk isolasi ZA
dimurnikan dan isolasi produk khusus
Pemekatan sebaiknya dikerjakan pada temperatur 25 30oC untuk mencegah kerusakan obat
Pemurnian ekstrak
Adalah pemberian perlakuan terhadap ekstrak cair hasil penyarian dari zat-zat asing yg terikut
sertakan disaat penyarian
Dilakukan dengan terlebih dulu disaring atau disentrifugasi & didekanter
Pengeringan ekstrak - formulasi
oven
fluid bed dryer
Sediaan OBA
o Serbuk (sachet)--seduhan (suspensi) ======= tidak praktis
o Pil ------jumlah ~ 5-10 sekali minum ======= jumlah banyak
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
Metode pulverisasi
Presipitasi, kristalisasi, nebulisasi, efek thermis, ultrasonik, reaksi kimia
Mekanisme
proses penekanan, pengirisan/pemotongan, benturan, pengikisan, ledakan, penekanan, pengirisan/
pemotongan, kombinasi pengirisan, pergeseran benturan
Sistem yg digunakan dalam pulverisasi
manual (diskontinyu)
pulverisaSi (serbuk menjadi halus) ---- mesin off --- pengayakan---dilanjutkan dengn bets baru---mesin on
kontinyu
pada alat dilengkapi ayakan, serbuk dimasukkan pada ruangan ada bola-2, diputar maka terjadi
pulverisasi kmd ada udara mk serbuk yg halus akan terdorong masuk / lewat ayakan
Sediaan padat
Sediaan cair
Masalah yang umum terjadi pada pembuatan sediaan farmasetik dengan senyawa
aktif dari bahan alam :
A. Sediaan bentuk serbuk
- homogenitas campuran ---- koefisien variasi
- campuran serbuk --- sifat alir
- keseragaman berat
B. Sediaan bentuk kapsul
- homogenitas campuran
- sifat alir dari campuran
- kelembaban campuran
- proses pengeringan --- kepekaan terhadap air
C. Sediaan bentuk Tablet
- fluiditas campuran -- agar berat tablet sama -- komposisi sama -- efek sama
- kompresibilitas campuran (waktu hancur, kekompakan, disolusi)
- pengeringan ekstrak --- berhub dg penggunaan solven yang digunakan
D. Sediaan bentuk pil
- pemilihan jenis pengikat
- pengeringan pil
- waktu hancur sangat lama
- perlu standardisasi ekstrak
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
Tablet
Keuntungan
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
10
menetapkan bobot ZA
menetapkan bobot tablet
menetapkan jumlah bahan penghancur
menetapkan jumlah bahan pelicin
menetapkan jumlah bahan pengikat
menetapkan jumlah bahan pengisi
EKSIPIEN
overview
11
overview
1. bahan pengisi
1.1. Fungsi
Mencapai bobot tablet yang diinginkan jika zat aktif tidak cukup menghasilkan tablet dengan
ukuran dan bobot yang cukup
Untuk memudahkan penanganan tablet selama manufakturing dan mencapai keseragaman
kandungan, maka ukuran tablet diupayakan mm dan bobot per tablet > 50 mg.
Untuk mencapai bobot tablet yang diinginkan dan memenuhi persyaratan, diperlukan pengisi,
dengan konsentrasi 5-80%.
Meningkatkan kohesivitas
Memudahkan proses kempa langsung
Meningkatkan aliran
Mengatur bobot tablet sesuai dengan kapasitas die
1.2. Persyaratan pengisi
1. Inert (tidak bereaksi dengan obat)
2. Tidak mempengaruhi fungsi dari eksipien lain
3. Tidak mempunyai aktivitas fisiologi dan farmakologi
4. Mempunyai karakteristik fisik yang konsisten
5. Tidak menyebabkan segregasi/demixing granul atau serbuk sewaktu pengisi ditambahkan
6. Harus bisa diperkecil ukuran partikelnya jika diperlukan agar sesuai dengan distribusi ukuran
partikel zat aktif
7. Tidak menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme
8. Tidak mempengaruhi uji disolusi atau mempengaruhi ketersediaan hayati obat
9. Lebih disukai pengisi tidak berwarna
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
12
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono,
13
4. bahan pelicin
4.1. Fungsi:
- memperbaiki fluiditas granul (glidant)
- mengurangi friksi dg dd matris (lubricants)
- mencegah lengketnya dg stempel (anti-adherents)
4.2. klasifikasi lubrikan:
- larut dalam air
- tidak larut air
5. antiadherent
5.1. Fungsi
Untuk mengurangi pelekatan atau adesi masa cetak (granul atau serbuk) pada muka punch atau
dinding die
6. Glidan
6.1. Fungsi
Meningkatkan aliram masa tablet granul/serbuk) dari hopper ke dalam die dengan mengurangi friksi
atau gesekan antar partikel
7. bahan pewarna
8. bahan perasa
Uji Mutu Granul
overview
(*) sebelum penambahan fase eksternal
1. Uji Kadar Air
2. Uji Kecepatan Alir
(*) sesudah penambahan fase eksternal
Setelah uji mutu granul memenuhi persyaratan, dilakukan penambahan talkum (4%) dan
magnesium stearat (1%) yang disetarakan dengan bobot granul kering yang dihasilkan. Granul
dicampur dengan magnesium stearat dan talkum sampai homogen, kemudian dilakukan kembali
pengujian mutu granul. Setelah memenuhi persyaratan, granul kemudian dikempa.
pentabletan
Granul yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut diatas dikempa menjadi tablet berbentuk
bulat cembung dengan diameter cetakan (die) 9,0 mm dengan bobot masing-masing sebesar 300
mg dengan kekerasan sekitar 9 10 kgf. Tablet blangko dibuat tanpa ekstrak buah pare dengan
komposisi bahan tambahan dan cara pembuatan yang sama.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
14
Binding
Sticking
Capping
Mottling
Variasi Berat
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
15
Targeted drug delivery system (TDDS) is also called 'targeting drug system'.
It is a new drug delivery system that makes the drugs densely gather pathological-change structures,
and has an enhanced treatment effect and less toxic side effects.
The drugs can enhance the strength of pharmacological action and reduce the bad reaction all over the
body, for they release in the target organs.
A successful targeted drug delivery system comprises three elements:
Orientation cumulation
Control over drug release
Non-toxic and biodegradable
Theoretically speaking, microsphere and nanoparticles that carry a great amount of dose and the use of
biology and biodegradable materials can well control the degradation and drug release half life.
Phytosome
Phospholipids-based drug delivery system has been found promising for valuable and efficient
herbal drug delivery.
Complexing the polyphenolic phytoconstituents in the molar ratio with phosphatidyl choline results
in a new herbal drug delivery system, known as "Phytosome".
It is the phytolipids delivery system which forms a bridge between the convectional delivery system
and novel delivery system.
The term Phytosome relates to "phyto", which means plant; while "some" means cell-like, often
referred to as herbosome in certain literature.
Phytosomes are advanced forms of herbal products that are better absorbed, utilized to produce
better results than those produced by conventional herbal extracts.
Phytosomes show better pharmacokinetic and therapeutic profiles than conventional herbal extracts.
Phytosomes are prepared by complexing the polyphenolic phytoconstituents in the ratio of 1:2 or 1:1
with phosphatidyl choline.
Most of the phytosomal studies are focused on Silybum marianum, which contains premier liverprotectant flavonoids.
The fruit of the milk thistle plant (S. marianum, family: Asteraceae) contains flavonoids known for
their hepatoprotective effects.
The Phytosome protects herbal extract components from destruction in digestive secretions and gut
bacteria by forming little cell, which is capable of being transferred from a hydrophilic environment
into the lipid-friendly environment of the enterocyte cell membrane and finally reaching blood.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
16
Liposomes
Liposomes are concentric bi-layered vesicles in which aqueous volume is entirely enclosed by a
membranous lipid bi-layer mainly composed of natural or synthetic phospholipids.
The liposomes are spherical particles that encapsulate the solvents which are freely floating in the
interior.
Liposomes are constructed of phospholipids, which are amphipathic molecules as they have both
hydrophobic tail and hydrophilic polar head
The polar end is composed of molecules, is phosphoric atom-bound to a water soluble molecule.
Nanoparticles
Emulsions
Emulsion is a biphasic system in which one phase is intimately dispersed in the other phase in the
form of minute droplets ranging in diameter from 0.1 m to 100 m.
In emulsion, one phase is always water or aqueous phase, and the other phase is oily liquid, i.e., nonaqueous.
Among them, the micro-emulsion is also called nanoemulsion, and the sub-micro-emulsion is also
called lipid emulsion. Emulsion drug delivery system is targeted or distributed well due to affinity to
lymph.
Micro-emulsions are solutions containing nanometre-sized droplets of an immiscible liquid dispersed
in an aqueous buffer.
The droplets are coated with a surfactant to reduce the surface tension between the two liquid layers.
Micro-emulsion (ME) is a clear, thermodynamically stable, isotropic mixture of oil, water and
surfactant, frequently in combination with a co-surfactant.
In addition, emulsions produce targeted sustained release, improve the penetrability of drugs into the
skin and mucous and reduce the drugs' stimulus to tissues
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
17
Microsphere
Microsphere comprises of small spherical particles, with diameters in the micrometer range, typically
1 m to 1000 m (1 mm).
Microspheres are sometimes referred to as micro-particles. Microspheres can be manufactured from
various natural and synthetic materials.
Glass microspheres, polymer microspheres and ceramic microspheres are commercially available.
Microspheres are classified as biodegradable or non-biodegradable.
Biodegradable microspheres include albumin microspheres, modified starch microspheres, gelatin
microspheres, polypropylene dextranmicrospheres, polylactic acid microspheres, etc.
According to the current literature reports on non-biodegradable microspheres, polylactic acid is the
only polymer approved to be used by people, and it is used as a controlled-release agent. Solid and
hollow microspheres vary widely in density and therefore are used for different applications.
Hollow microspheres are typically used as additives to lower the density of a material. In addition,
reports on immune microsphere and magnetic microsphere are also common in recent years.
Immune microsphere possesses the immune competence as a result of the antibody and antigen being
coated or adsorbed on the polymer microspheres.
Ethosome
Ethosomes are phospholipids-based elastic nano-vesicles having high content of ethanol (20%-45%).
Ethanol is known as an efficient permeation enhancer and has been reported to be added in the
vesicular system to prepare the elastic nano-vesicles.
Ethosomes were developed as novel lipid carriers composed of ethanol, phospholipids and water and
to improve the delivery of various drugs to the skin.
It enables drugs to reach the deep skin layers and/ or systemic circulation.
Due to high content of ethanol, the lipid membrane is packed less tightly in comparison with
conventional vesicles, but it has equivalent stability.
For the delivery of diverse group of proteins and peptides molecules, ethosomes are preferable.
Drug is administered by ethosomes in the form of gel, cream for patient comfort.
It is a colloidal carrier used especially for the delivery of lipophilic compounds. It is prepared by
different methods - the homogenization and the warm micro-emulsion.
The average mean size of solid lipid nanoparticles ranges from 50 nm to 1000 nm.
Solid lipid nanoparticles are composed of lipid matrix, which becomes solid at room temperature and
also at the body temperature.
The main features of solid lipid nanoparticles (SLNs) with regard to parenteral application are the
excellent physical stability, protection of incorporated labile drugs from degradation.
Herbal gastrointestinal controlled drug delivery dosage forms including pellets and process for their
preparation described is novel oral dosage form for administration of an herbal extract and process for
preparing the same, wherein a herbal extract is coated on pellets and the said pellets are either filled
into a capsule or compressed into a tablet.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
18
The said capsule may contain pellets coated with one or more herbal extracts, and the said tablet is
compressed from pellets coated with at least two or more herbal extracts.
The pellets coated with herbal extract are finally coated with a controlled-release coat of polymer,
which results in controlled release of the herbal extracts into the gastrointestinal tract
Transdermal drug delivery system involves non-invasive delivery of the medication from the surface
of skin, through its layers, to the circulatory system.
Medication delivery is carried out by a patch that is attached to the body surface.
Transdermal patch is a medicated adhesive pad that is designed to release the active ingredient at a
constant rate over a period of several hours to days after application to the skin.
A transdermal patch uses a special membrane to control the rate at which the drug contained within
the patch can pass through the skin and into bloodstream.
To cross blood-brain barrier, it should be made for selection of lipids and surfactants.
The SLNs are prepared by different methods such as homogenization and the warm micro-emulsion
high-speed stirring ultrasonication and solvent-diffusion method.
Lipids show compatibility with lipophilic drugs and increase the entrapment efficiency and drugloading into the SLN.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
19
Bab. II.
Quality Control of Herbal Drugs
(Dosen: M.M.Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc.)
Quality control for efficacy and safety of herbal products is of paramount importance.
Quality can be defined as the status of a drug that is determined by identity, purity, content, and other
chemical, physical, or biological properties, or by the manufacturing processes.
Quality control is a term that refers to processes involved in maintaining the quality and validity of a
manufactured product.
In general, all medicines, whether they are of synthetic or of plant origin, should fulfill the basic
requirements of being efficacious and safe, and this can be achieved by suitable clinical trials.
The term herbal drugs denotes plants or plant parts that have been converted into
phytopharmaceuticals by means of simple processes involving harvesting, drying, and storage.
A practical addition to the definition is also to include other crude products derived from plants, which
no longer show any organic structure, such as essential oils, fatty oils, resins, and gums.
Derived or isolated compounds in the processed state such as extracts or even isolated purified
compounds (e.g. strychnine from Strychnos nux-vomica) or mixtures of compounds (e.g. abrin from
Abrus precatorius) are, as a rule, not included in the definition.
1. Identity: Is the herb the one it should be?
2. Purity: Are there contaminants, e.g., in the form of other herbs which should not be there?
3. Content or assay: Is the content of active constituents within the defined limits?
It is obvious that the content is the most difficult one to assess, since in most herbal drugs the active
constituents are unknown. Sometimes markers can be used which are, by definition, chemically
defined constituents that are of interest for control purposes, independent of whether they have any
therapeutic activity or not.
To prove identity and purity, criteria such as type of preparation, physical constants, adulteration,
contaminants, moisture, ash content and solvent residues have to be checked. The correct identity of
the crude herbal material, or the botanical quality, is of prime importance in establishing the quality
control of herbal drugs.
20
Several problems not applicable to synthetic drugs influence the quality of herbal
drugs:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Strict guidelines have to be followed for the successful production of a quality herbal drug. Among
them are proper botanical identification, phytochemical screening, and standardization.
Standardization involves adjusting the herbal drug preparation to a defined content of a constituent or
a group of substances with known therapeutic activity by adding excipients or by mixing herbal drugs
or herbal drug preparations. Botanical extracts made directly from crude plant material show
substantial variation in composition, quality, and therapeutic effects.
Standardized extracts are high-quality extracts containing consistent levels of specified compounds,
and they are subjected to rigorous quality controls during all phases of the growing, harvesting, and
manufacturing processes.
21
Jenis Standardisasi
1. Fisik ----- pemilihan formula
2. Kimia ---- metode pembuatan (granulasi basah, kering, kempa langsung)
Masalah standarisasi
Ekstrak umumnya tdd campuran bbrp tanaman dg ZA atau ZI yg berbeda
ZA sering tidak diketahui
Variabilitas tanaman yg digunakan
Pengaruh proses pasca panen
Pengaruh proses produksi
Zat standar pembanding tidak tersedia
Prosedur analisa / kontrol kualitas sediaan jadi yg selektif belum tersedia
Zat standar pembanding tidak tersedia
Dilakukan pk relatif thd suatu ekstrak yg sudah diketahui kadar aktifnya
Pk kadar total dg metode :
a. Spektrofotometer
b. KLT Densitometri ---- umumnya
c. HPLC ---- more sensitive but highly cost
Herbal drugs should be made from the stated part of the plant and be devoid of other parts of the same
plant or other plants.
They should be entirely free from moulds or insects, including excreta and visible contaminant such as
sand and stones, poisonous and harmful foreign matter and chemical residues.
Animal matter such as insects and invisible microbial contaminants, which can produce toxins, are
also among the potential contaminants of herbal medicines.
Macroscopic examination can easily be employed to determine the presence of foreign matter,
although microscopy is indispensable in certain special cases (for example, starch deliberately added
to dilute the plant material). Furthermore, when foreign matter consists, for example, of a chemical
residue, TLC is often needed to detect the contaminants.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
22
Determination of Ash
To determine ash content the plant material is burnt and the residual ash is measured as total and acidinsoluble ash.
Total ash is the measure of the total amount of material left after burning and includes ash derived
from the part of the plant itself and acid-insoluble ash.
The latter is the residue obtained after boiling the total ash with dilute hydrochloric acid, and burning
the remaining insoluble matter.
The second procedure measures the amount of silica present, especially in the form of sand and
siliceous earth.
Medicinal plants may be associated with a broad variety of microbial contaminants, represented by
bacteria, fungi, and viruses.
Inevitably, this microbiological background depends on several environmental factors and exerts an
important impact on the overall quality of herbal products and preparations.
Herbal drugs normally carry a number of bacteria and molds, often originating in the soil.
Poor methods of harvesting, cleaning, drying, handling, and storage may also cause additional
contamination, as may be the case with Escherichia coli or Salmonella spp.
While a large range of bacteria and fungi are from naturally occurring microflora, aerobic sporeforming bacteria frequently predominate.
Laboratory procedures investigating microbial contaminations are laid down in the well-known
pharmacopeias, as well as in the WHO guidelines.
general, a complete procedure consists of determining the total aerobic microbial count, the total
fungal count, and the total Enterobacteriaceae count, together with tests for the presence of
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Shigella, and Pseudomonas aeruginosa and Salmonella spp.
The European Pharmacopoeia also specifies that E. coli and Salmonella spp. should be absent from
herbal preparations.
However it is not always these two pathogenic bacteria that cause clinical problems.
For example, a fatal case of listeriosis was caused by contamination of alfalfa tablets with the Gram
positive bacillus Listeria monocytogenes.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
23
Materials of vegetable origin tend to show much higher levels of microbial contamination than
synthetic products and the requirements for microbial contamination in the European Pharmacopoeia
allow higher levels of microbial contamination in herbal remedies than in synthetic pharmaceuticals.
The allowed contamination level may also depend on the method of processing of the drug. For
example, higher contamination levels are permitted if the final herbal preparation involves boiling
with water.
The presence of fungi should be carefully investigated and/or monitored, since some common species
produce toxins, especially aflatoxins.
Aflatoxins in herbal drugs can be dangerous to health even if they are absorbed in minute amounts.
Aflatoxin-producing fungi sometimes build up during storage.
Procedures for the determination of aflatoxin contamination in herbal drugs are published by the WHO.
After a thorough clean-up procedure, TLC is used for confirmation.
Certain plant constituents are susceptible to chemical transformation by contaminating
microorganisms.
Even though there are no serious reports of toxicity due to the presence of pesticides and fumigants, it
is important that herbs and herbal products are free of these chemicals or at least are controlled for the
absence of unsafe levels.
Herbal drugs are liable to contain pesticide residues, which accumulate from agricultural practices,
such as spraying, treatment of soils during cultivation, and administering of fumigants during storage.
However, it may be desirable to test herbal drugs for broad groups in general, rather than for
individual pesticides.
Many pesticides contain chlorine in the molecule, which, for example, can be measured by analysis of
total organic chlorine. In an analogous way, insecticides containing phosphate can be detected by
measuring total organic phosphorus.
Samples of herbal material are extracted by a standard procedure, impurities are removed by partition
and/or adsorption, and individual pesticides are measured by GC, MS, or GC/MS.
Some simple procedures have been published by the WHO and the European Pharmacopoeia has laid
down general limits for pesticide residues in medicine.
There are many sources of ionization radiation, including radionuclides, occurring in the environment.
Hence a certain degree of exposure is inevitable. Dangerous contamination, however, may be the
consequence of a nuclear accident.
The WHO, in close cooperation with several other international organizations, has developed
guidelines in the event of a widespread contamination by radionuclides resulting from major nuclear
accidents.
Taking into account the quantity of herbal medicine normally consumed by an individual, they are
unlikely to be a health risk. Therefore, at present, no limits are proposed for radioactive contamination.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
24
Standardization parametric
Macroscopic Examination & Microscopic Evaluation
Analytical Methods : profil zat akrif berkhasiat/marker
ZA sebagai parameter standarisasi
1. stabilitas ZA
2. jumlah kualitatif ZA dalam bahan
3. jumlah kuantitatif ZA dalam bahan / produk / ekstrak
4. Jenis kandungan kimia lain terutama zat ballast
5. ketersediaan ZA pembanding
Zat identitas (ZI)
zat kandungan kimia tanaman yang terkandung dalam bahan ekstrak yg diuji dan tidak dimiliki oleh
bahan tanaman lain
uji stabilitas sediaan : untuk sediaan yg belum di ketahui zat aktifnya
penetapan kadar : walaupun tidak tepat tetapi sangat berguna untuk menjamin reprodisibilitas bets ke
bets dalam produksi
metode kromatografi
Tujuan
(1) menyakinkan bahwa pola kromatogram yang diperoleh sesuai dengan obat yang sama dg ekstrak
(2) menyakinkan bahwa tidak terjadi penguraian selama proses ekstraksi
Alasan dipilih
(1) banyak dipakai
(2) ketepatan hasil lbh baik
(3) suitbale methode --- less time and cost
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
25
The quantitative determination of constituents has been made easy by recent developments in
analytical instrumentation.
Recent advances in the isolation, purification, and structure elucidation of naturally occurring
metabolites have made it possible to establish appropriate strategies for the determination and
analysis of quality and the process of standardization of herbal preparations.
Classification of plants and organisms by their chemical constituents is referred to as
chemotaxonomy.
TLC, HPLC, GC, quantitative TLC (QTLC), and high-performance TLC (HPTLC) can determine
the homogeneity of a plant extract. Over-pressured layer chromatography (OPLC), infrared and UVVIS spectrometry, MS, GC, liquid chromatography (LC) used alone, or in combinations such as
GC/MS, LC/MS, and MS/MS, and nuclear magnetic resonance (NMR), are powerful tools, often
used for standardization and to control the quality of both the raw material and the finished product.
The results from these sophisticated techniques provide a chemical fingerprint as to the nature of
chemicals or impurities present in the plant or extract.
Uji pre-klinik
Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan
menjadi fitofarmaka.
Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek
farmakodinamiknya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada
manusia.
Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM
Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit,
sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.
Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan
uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Uji toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang
meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas.
Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan
50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian.
Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia.
Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut.
Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas
kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih.
Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada
pemberian jangka lama.
Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada
manusia
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke
tahap uji klinik
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
26
Uji farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan
menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut.
Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya
pada manusia.
Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan
kemungkinan efek pada manusia
Uji klinik OT
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan khasiat dan
keamanannya melalui uji klinik.
Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar
ganda (randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold
standard).
Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah
terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik.
Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsipetik uji
klinik harus dipenuhi.
Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informedconsent sebelum penelitian dilakukan.
Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan
(reproducible).
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek
samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan
pembanding.
Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I
dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.2
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris
tidak didasarkan dose-ranging study.
Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau
obat standar.
Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar
QC: Granul
Adanya berbagai variabel formulasi dan proses, dapat mempengaruhi langkah-langkah pembuatan granul.
Untuk memperoleh tablet yang baik dan bermutu perlu dilakukan evaluasi granul yg akan dipakai,
meliputi antara lain :
1.Ukuran dan Bentuk Partikel
2.Luas Permukaan
3.Kerapatan (Density)
4.Sifat (waktu) Alir
5.Sudut Diam (Baring)
6.Kadar air
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
27
QC : Tablet
Pemeriksaan Sebelum tabletting
Kualitas formulasi bahan yang dipakai
Homogenitas campuran obat dengan bahan tambahan setelah proses pencampuran
Kualitas granul : fluiditas, moisture content (MC), distribusi ukuran partikel dan kompressibilitas
Pemeriksaan Selama dan setelah Tabletting
Penampilan umum (organoleptis)
Keseragaman kadar zat aktif (content uniformity)
Keragaman bobot (weight variation)
Kekerasan (hardness)
Kerapuhan (friability)
Waktu hancur (disintegration time)
Kecepatan Pelarutan (dissolution)
Penetapan Kadar Tablet Inti
Pembuatan Pereaksi
Pembuatan Larutan Baku Induk
Pembuatan Kurva Baku
Penetapan Kadar
Uji disolusi
Disolusi
Uji disolusi
Faktor yg mempengaruhi
: ...(tugas)
: ...(tugas)
: .......(tugas)
:............................
:
: ...........................
: ...........................
: .............................
: ............................
skema kerja :
dosis : OK
takaran perhari : OK
uji disolusi
Vol: .ml
sampel???
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
28
= 150 mg / tablet
= 5 tablet / labu
=A%
= (A/100) x 150 mg = B mg
= 5 x B mg = C mg
= 900 ml
= (C x 1000) g / (900 ml x 1000) l
= D g/l
= 300 l
= 300 l x D g/l = E g
=y=BxA
=F
= G ug
= (G / F) g x 100 % = H%
dilengkapi sendiri
untuk menambah
wawasan anda
Misal :
Bahan
Ekstrak X
Matriks/Pembawa
Contoh perhitungan :
(*) {(80/100) x 150} = 120 mg
Tahapan :
1. buat formula tsb
2. hitung % kadar teoritis
3. lakukan pk ---- hitung % kadar observasi (sesuai dg metode pk yg dipilih)
4. hitung % perolehan kembali(**)
5. hitung SD (%) ----- (syarat : < 5% ----- cari pustakanya!!!)
6. hitung KV (%)------(syarat : 2 % atau 10 % ----cari pustakanya dan mana yg dipakai!!!)
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
29
Bab. III.
Overview Optimasi Ekstraksi dan Formulasi
(Dosen: M.M.Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc.)
Optimasi adalah suatu teknik penentuan suatu komposisi dari suatu formula atau proses yang akan
diaplikasikan dalam suatu percobaan
Keuntungan :
1. metode pengembangannya terkonsep dan tidak berdasarkan trial and error
2. hasilnya dapat dipakai sebagai acuan karena jumlah sampel (replikasi) cukup banyak
3. terdapat beberapa pilihan nilai respon sehingga dapat ditentukan nilai optimum dari suatu formula
4. dapat memprediksikan nilai respon tertentu tanpa melakukan percobaan
5. dapat menentukan nilai-nilai yang paling dominan atau yang saling berinteraksi
6. dapat menentukan faktor-faktor bebas dan tergantung
Metode optimasi ada beberapa cara yaitu sebagai berikut:
a. Trial and Error
b. Teknik Optimasi Sistematik
b.1. Model Pendekatan Independen : Sequential Simplex Optimization
b.2. Model Pendekatan Dependen : Contourplot Combination - simplex lattice design.
c. Faktorial Desain
* mengandung beberapa pengertian :
(1) faktor
(2) level
(3) efek dan respon
[X1]
= air
dan
[X2]
= etanol
: A = 1 bagian --- B = 0
Bila
: B = 1 bagian --- A = 0
Bila
30
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
31
overview
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
32
Bab. IV.
Penentuan dosis dan formula tanpa sistem optimasi dan dengan sistem optimasi
Bila dosis dihitung berdasarkan kandungan ZA dalam ekstrak yg dipakai dalam pembuatan
sediaan farmasetik, maka :
Misal : (berdasarkan acuan dari hasil pk terkait dengan bentuk ekstrak yg digunakan)
* kadar ZA d/ ekstrak (setelah di pk)
: 80%
* dosis di pasaran bisa terhitung sebagai :
a. ekstrak total
harus dikonversi terhadap % ZA dalam ekstrak(**)
b. langsung ZA (hasil isolasi)
tanpa konversi
(**) kandungan ZA dalam tablet = 80% x 500 mg = 400 mg / tablet
Misal : (berdasarkan acuan dosis sediaan jadi di pasaran atau acuan di pustaka)
* kadar ZA d/ ekstrak (setelah di pk)
: 45%
* acuan di pustaka atau sediaan di pasaran :
1 tablet ---- dosis :500 mg -----% ZA = 60%
* jadi w ekstrak yang diperlukan per tabletnya = {(60/45) x 500}= 666 mg
Misal : (perhitungan berdasarkan hasil percobaan farmakologi)
* penentuan berat ekstrak untuk tiap tablet adalah sbb:
(*) w simplisia kering (500 g) diperoleh ekstrak kental sebanyak = 70 g
(*) w aerosil yg ditambahkan
= 30 g
(*) w ekstrak kering akhir
= 110,15 g
(*) hasil percobaan farmakologi dg tikus :
^ w tikus rata-rata
= 200 g
^ dosisi (acuan di literatur) = 3 g/kg BB
^ volume yang diberikan
= 1 ml/200 g BB sehari satu kali pemberian
^ dosis untuk tikus
= (3 g / 1000 g) x 200 g
= 0,6 g (utk tikue dg bobot 200 g)
^ faktor konversi dari tikus ke manusia adalah = 56
^ dosis untuk manusia (bentuk simplisia)
= {(0,6 g / 200 g) x 56
= 33,6 g / 70 kg BB
^ diasumsikan W rata-rata orang Indonesia = 60 kg
^ dosis konversi dosis untuk manusia
= (60 / 70) x 33,6 g = 28,8 g / 60 kg BB
^ dosis untuk manusia dalam bentuk esktrak kering = (28,8 g / 500 g) x 70 g (w ekstrak kental)
= 4,025 g / hari
* takaran / aturan pakai : 6 tablet / hari ----- (4,025 g/hari)/6 = 224 mg
(tiap tablet mengandung ekstrak kering = 224 mg per tablet dengan bobot tiap tablet 300mg)
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
33
** cara perhitungan :
12 gram ekstrak kering ~ 3,5 gram obat sintetik (yg digunakan sebagai pembanding dalam
percobaan sebelumnya)
dosis obat sintetik
: 500 mg
dosis efektif terhadap ekstrak kering
: {12 g / 3,5 g} x 50 mg = 1,74 g ekstrak kering / hari
takaran / aturan pakai
: 24 tablet / hari
{(~ 1,74 g/hari / 24 tablet) = 71,5 mg/tablet}
Jadi % bahan aktif (ekstrak tan. X) per tablet : (71,5 x 100) /500 = 14,3 %
Jadi pengisi yg diperlukan
: 500 {71,5 + W aerosil + 195 + 15 + 15 + 20 + 5}
*** tetap dihitung dan ditulis % nya mengacu pada ketentuan konsentrasi lazim dan yg terpakai!!!!!
Formula Tablet Inti Ekstrak Tanaman X (menggunakan metode optimasi : S:LD)
Komposisi per tablet (mg)
Bahan
Fungsi
Konsentrasi
FA
FB
FC
FD
Ekstrak tanaman X
Bahan aktif
100
100
100
100
XG
Matrik
12,51
9,375
6,240
3,125
LBG
Matrik
3,125
6,240
9,375
PVP-K30
Pengikat
2,5%
7,5
7,5
7,5
7,5
MgS
Pelicin
4%
3
3
3
3
Talk
Pelincir
1%
12
12
12
12
Laktosa
Pengisi
Ad 100%
16,5
16,5
16,5
16,5
Catatan : bobot 1 tablet = 300 mg
---- SLD concept ---- XG : LBG ----- ----(FA) : 1 : 0
(FB) : in between
(FC) : 0,5:0,5
(FD) : in between
(FE) : 0 : 1
Formula (-1)
3
0,3
ad 100 ml
Komposisi (%)
Formula a
Formula b Formula ab
10
3
10
0,3
1
1
ad 100 ml
ad 100 ml
ad 100 ml
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
34
FE
100
12,51
7,5
3
12
16,5
Bab. V.
Penerapan Uji Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Sediaan Herbal
(Dosen: M.M.Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc.)
references
Djoko Wahyono dan Arief Rahman Hakim, Pharmacokinetics: the role in herbal medicines
quantitative therapy, Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fak. Farmasi UGM
Karin Woelkart, Christoph Koidl, Andrea Grisold, J. David Gangemi, Ronald B. Turner, Egon
Marth, and Rudolf Bauer Bioavailability and Pharmacokinetics of Alkamides From the Roots of
Echinacea angustifolia in Humans
Pendahuluan :
Penelitian farmakokinetika klinik dan studi interaksi obat bahan alam menjadi sangat penting
untuk meningkatkan rasionalitas terapi guna menghasilkan terapi yang efektif dan aman
kompleknya kandungan aktif obat bahan alam dan rendahnya konsentrasi yang diketemukan di
dalam serum, maka analisa dengan cara dan alat yang canggih, misalnya menggunakan HPLC/MS,
atau HPLC/NMR akan sangat membantu menetapkan parameter farmakokinetika obat alam
tersebut, sebagai dasar pengaturan dosis (medicinal herbal dose regimens).
Pemanfaaatan bahan alam sebagai sumber obat : Bahan alam kelautan (a.l. sponges, tunicata),
tanaman, dan mikroorganisma
Kegunaan :
aktivitas farmakologi juga (dapat dimanfaatkan sebagai kerangka dasar pengembangan obat
melalui sintetik)
Sebagian besar obat sintetik (80% lebih) kerangka dasarnya diketahui berasal dari sumber bahan
alami.
Sebagi contoh kodein, suatu obat penekan batuk (antitusif) dan petidine (pengurang rasa sakit
total, untuk operasi), merupakan obat sintetik yang didasarkan pada kerangka dasar morfin yang
merupakan senyawa bioaktif tanaman Papaver somniverum (Cordell, 1981; Patrick, 2001).
Pentagamavunon dan gamavuton adalah modifikasi sintetik dari kurkumin (Sardjiman, 2000).
penelitian obat bahan alam (herbal medicines) di Indonesia masih sebagian besar ditujukan untuk
melihat aktivitas farmakologi, toksisitas, maupun identifikasi komponen aktif obat tersebut.
Penelitian yang mengekplorasi nasib zat / komponen aktif obat bahan alam di dalam tubuh dan
hubungannya dengan respon farmakologi belum banyak dilakukan.
Pada terapi klinik, pengaturan dosis yang tepat sangat diperlukan agar jumlah / kadar aktif obat
bahan alam yang sampai pada reseptor mencukupi untuk memberikan respon yang diharapkan,
tanpa menimbulkan efek yang merugikan.
Pengaturan ini dapat dilakukan dengan memberikan dosis yang tepat, yang didasarkan pada
parameter farmakokinetik obat bahan alam tersebut.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
35
Pengetahuan tentang farmakokinetik obat bahan alam dapat membantu memberikan informasi
yang sangat berharga bagi praktisi klinik dalam memberikan terapi yang efektif dan aman.
Pengetahuan farmakokinetika obat alami sangat dibutuhkan untuk memperoleh terapi yang efektif,
aman dan terhindar dari efek samping.
Studi farmakokinetika pada obat alami sangat menantang, mengingat kompleksitas zat yang
terkandung didalamnya, serta sangat kecilnya konsentrasi metabolit aktif obat bahan alam tersebut
yang dapat terdeteksi didalam serum.
Penelitian menggunakan binatang percobaan bisa sangat membantu dan murah, namun tidak
semua hasil penelitian pada binatang percobaan dapat dikonversi untuk diaplikasikan pada
manusia.
Dengan bertambahnya pengetahuan tentang zat aktif yang terkandung dalam obat alami serta
diketemukannya metoda analisa yang selektif dan sensitif, parameter farmakokinetika obat alami
dapat diketahui dan dipublikasi untuk praktisi. Beberapa obat bahan alam yang sudah diteliti profil
farmakokinetikanya dan interaksinya dengan obat lain adalah sebagai berikut :
36
Penetapan farmakokinetika obat alami sangat diperlukan untuk mengatur dosis pemberian agar
diperoleh terapi yang efektif dan aman.
Penelitian farmakokinetika klinik obat alami sangat menantang mengingat komponen aktif obat
alami sangat komplek dan konsentrasi metabolit aktif yang dapat dideteksi di dalam serum sangat
kecil.
Oleh karena itu, perlu dikembangkam metoda analisis yang selektif, sensitif, dan mempunyai
reproduktibiltas tinggi
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
37
Study design
This study was a single dose, randomized two-phase crossover study with a washout period of at least one
week. It was approved by the Medical Ethics Committee of the Faculty of Medicine, Chiang Mai
University and was in compliance with the Helsinki eclaration.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
38
Subjects
A total of 12 postmenopausal Thai women, who ranged in age from 4661 years (average 52.83 3.88
years), participated in this study. Their mean weight and height was 52.23 6.38 kg and 1.54 0.06 cm,
respectively. The body mass index (BMI) of each subject was within 1824 kg/m2 (22.06 1.83 kg/m2).
Their serum follicle-stimulating hormone concentrations were more than 20 IU/l and the average level
was 69.60 31.21 IU/l. All had to be in good health on the basis of medical history and physical
examination. Routine blood tests including complete blood count (CBC) with differential, blood urea
nitrogen (BUN), creatinine (Cr) and liver function test (LFT) had to be within the normal limit. Subjects
had to give both verbal and written information regarding the study. Signed informed consent was
obtained prior to entry. Exclusion criteria included subjects with known premenopausal status (<12
months since the last spontaneous menstrual bleeding and a serum follicle-stimulating hormone
concentration 20 IU/l) as well as those with a known history of chronic renal, liver, pulmonary or
cardiovascular diseases, recent cigarette smoking, substance abuse or addiction, use of antibiotics within
the previous 6 weeks, consumption of more than 2 alcoholic drinks/day, regular use (more than 1
dose/week) of over-the-counter or prescribed medications, and malignancy.
Quantification of isoflavones in soy preparations
Two soy preparations, soy flour and soy extract capsules, were chosen as isoflavone sources. The sample
extractions and concentration determinations were modified from the method described by Nakamura et
al. [12]. Two hundred mg of soy flour or 300 mg of powder from the soy capsule (1 capsule) was placed
in a centrifuge tube. Ten ml of 80% methanol in water was added to the centrifuged tubes, and sonicated
for 30 min. Isoflavonoids were extracted for 24 h at an ambient temperature. One ml of the mixture was
centrifuged, and 10 l of clear supernatant was diluted with mobile phase (100 times for soy flour and 400
times for soy extract capsule) and spiked with 20 l of internal standard (IS, 100,000 ng/ml fluorescein
and 50,000 ng/ml chloramphenicol for quantification of aglycones and -glycosides, respectively). Five
l of the mixture was injected into the HPLC system. Separation was performed isocratically at 50C. The
flow rate of the mobile phase was maintained at 1 ml/min and the analytes were detected by UV
absorption at 259 nm. The mobile phase for the quantification of aglycones consisted of 5 mM phosphoric
acid in methanol/acetonitrile
Dosage and drug administration
Subjects were admitted to the Clinical Pharmacology Unit of the Faculty of Medicine, Chiang Mai
University at 6:30 a.m. after an overnight fast of at least 8 h. They were randomized to receive either 2 soy
extract capsules with 300 ml of water, or 300 ml of soy beverage at 7:00 a.m. They remained upright and
fasted for 2 h after soy product administration. Water and lunch were served at 2 h and 4 h, respectively
after dosing. Blood samples were collected at different time points (see below). After the blood sample
collection at 12 h postdose, the subjects were discharged from the Clinical Pharmacology Unit and asked
to come back again on the next day to give blood samples at 24 and 32 h postdose. While waiting for
blood sample collections, the subjects were allowed to perform all of their daily activities, except
moderate to high degrees of exercises. After a washout period of at least 1 week, the subjects received the
alternative preparation and the blood samples were collected in the same manner. Identical food and fluid
were served during the 2 study periods. The subjects were required to refrain from drinking caffeine
containing beverages and alcohol, and instructed to
consume no soy products (except those given in this study) from the time of screening until the end of the
research.
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
39
Attention: Do not sited this article without permittion from Farida Lanawati Darsono, S.Si.,M.Sc
40