Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Nama
Tanggal Praktikum
13 Desember 2014
NIM/ Kelas
31112148/Farmasi 3C
2014
I. Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui sejauh mana aktivitas obat antidiare dapat menghambat
diare yang disebabkan oleh norit pada hewan percobaan dengan menggunakan
metode transit intestinal.
II. Dasar Teori
Diare adalah suatu keadaan meningkatnya berat dari fases (>200 mg/hari)
yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya cairan, frekuensi BAB, tidak enak
pada perinal, dan rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa inkontinensia fekal
(Daldiyono, 1990).
Diare atau diarrhea merupakan kondisi rangsangan buang air besar yang terus
menerus disertai keluarnya feses atau tinja yang kelebihan cairan, atau memiliki
kandungan air yang berlebih dari keadaan normal. Umumnya diare menyerang
balita dan anak-anak. Namun tidak jarang orang dewasa juga bisa terjangkit diare.
Jenis penyakit diare bergantung pada jenis klinik penyakitnya (Anne, 2011).
Klinis tersebut dapat diketahui saat pertama kali mengalami sakit perut. Ada
lima jenis klinis penyakit diare, antara lain:
Diare akut, bercampur dengan air. Diare memiliki gejala yang datang tiba-tiba
dan berlangsung kurang dari 14 hari. Bila mengalami diare akut, penderita akan
mengalami dehidrasi dan penurunan berat badan jika tidak diberika makan dam
minum.
Diare kronik. Diare yang gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari yang
disebabkan oleh virus, Bakteri dan parasit, maupun non infeksi.
Diare akut bercampur darah. Selain intensitas buang air besar meningkat,
diare ini dapat menyebabkan kerusakan usus halus,spesis yaitu infeksi bakteri
dalam darah, malnutrisi atau kurang gizi dan dehidrasi.
Diare persisten. Gejalanya berlangsung selama lebih dari 14 hari. Dengan
bahaya utama adalah kekurangan gizi. Infeksi serius tidak hanya dalam usus tetapi
menyebar hingga keluar usus.
Diare dengan kurang gizi berat. Diare ini lebih parah dari diare yang lainnya,
karena mengakibatkan infeksi yang sifatnya sistemik atau menyeluruh yang berat,
usus untuk melakukan proses absorbsi yang efisien karena terjadinya difusi balik
dari fluida dan elektrolit yang diserap. Diare jenis ini dikenal sebagai diare
eksudatif. Penyebabnya adalah bakteri patogen penyebab infeksi yang bersifat
invasive (Shigella, Salmonella) (Putri, 2010).
Malabsorpsi komponen nutrisi di usus halus seringkali menyertai
kerusakan mucosal yang diinduksi oleh patogen. Kegagalan pencernaan dan
penyerapan karbohidrat (CHO) akan meningkat dengan hilangnya hidrolase pada
permukaan membrane mikrovillus (misalnya lactase, sukrase-isomaltase) atau
kerusakan membran microvillus dari enterosit. Peningkatan solut didalam luminal
karena malabsorbsi CHO menyebabkan osmolalitas luminal meningkat dan terjadi
difusi air ke luminal. Diare jenis ini dikenal sebagai diare osmotik dan bisa
dihambat dengan berpuasa (Putri, 2010).
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus (Putri, 2010).
Adhesi.
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur
polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel
epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization
factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC).
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat
pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC (Putri,
2010).
Invasi.
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel
usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel
epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi
inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya
mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman
Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses
patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa
lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus (Putri, 2010).
Enterotoksin.
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin
kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang
aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga
terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi
klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heatStabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida (Putri, 2010).
Penggolongan obat diare :
a. Kemoterapeutika
Walaupun pada umumnya obat tidak digunakan pada diare, ada beberapa
pengecualian dimana obat antimikroba diperlukan pada diare yag disebabkan oleh
infeksi beberapa bakteri dan protozoa. Pemberian antimikroba dapat mengurangi
parah dan lamanya diare dan mungkin mempercepat pengeluaran toksin.
Kemoterapi digunakan untuk terapi kausal, yaitu memberantas bakteri penyebab
diare dengan antibiotika (tetrasiklin, kloramfenikol, dan amoksisilin, sulfonamida,
furazolidin, dan kuinolon) (Schanack, 1980).
b. Zat penekan peristaltik usus
Obat golongan ini bekerja memperlambat motilitas saluran cerna dengan
mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Contoh: Candu dan
alkaloidnya, derivat petidin (definoksilat dan loperamin), dan antikolinergik
(atropin dan ekstrak beladona) (Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
c. Adsorbensia
Adsorben memiliki daya serap yang cukup baik. Khasiat obat ini adalah
mengikat atau menyerap toksin bakteri dan hasil-hasil metabolisme serta melapisi
permukaan mukosa usus sehingga toksin dan mikroorganisme tidak dapat
merusak serta menembus mukosa usus. Obat-obat yang termasuk kedalam
golongan ini adalah karbon, musilage, kaolin, pektin, garam-garam bismut, dan
garam-garam alumunium ) (Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
Obat diare yang dapat dibeli bebas mengandung adsorben atau gabungan antara
adsorben dengan penghilang nyeri (paregorik). Adsorben mengikat bakteri dan
toksin sehingga dapat dibawa melalui usus dan dikeluarkan bersama tinja.
Adsorben yang digunakan dalam sediaan diare antara lain attapulgit aktif, karbon
aktif, garam bismuth, kaolin dan pektin (Harkness, 1984).
Loperamida
Obat ini memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot
sirkuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga
diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor
tersebut. Obat ini sama efektifnya dengan difenoksilat untuk pengobatan diare
kronik. Efek samping yang sering dijumpai adalah kolik abdomen, sedangkan
toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali terjadi. Pada sukarelawan yang
mendapatkan dosis besar loperamid, kadar puncak pada plasma dicapai dalam
waktu empat jamsesudah makan obat. Masa laten yang lama ini disebabkan oleh
penghambatan motilitas saluran cerna dan karena obat mengalami sirkulasi
enterohepatik. Waktu paruhnya adalah 7-14jam. Loperamid tidak diserap dengan
baik melalui pemberian oral dan penetrasinya ke dalam otak tidak baik; sifat-sifat
ini menunjang selektifitas kerja loperamid. Sebagian besar obat diekskresikan
bersama tinja. Kemungkinan disalahgunakannya obat ini lebih kecil dari
difenoksilat karena tidak menimbulkan euphoria seperti morfin dan kelarutannya
rendah (Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
III.
IV.
Prosedur
H
8
1
M
,4
B
b
w
5
6
P
c
U
D
h
p
e
d
y
ljk
m
o
s
a
r
g
n
u
it
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
kontrol +
dosis 1
dosis 2
dosis 3
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
data
,240
df
Shapiro-Wilk
Sig.
10
,108
Statistic
,848
df
Sig.
10
,056
Uji Homogenitas
df1
df2
4
Sig.
.
Uji Annova
ANOVA
data
Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
1423,912
355,978
Within Groups
1687,087
337,417
Total
3110,999
F
1,055
Sig.
,464
5.2.
Perhitungan
Volume pemberian norit = 1 ml
Berat badan mencit
Mencit
Berat Badan
I
II
20,04
23,93
Mencit II =
VI.
20,04
20
23,93
20
Pembahasan
Praktikum kali ini mempelajari dan mempraktekkan tentang pengujian
Tujuan percobaan pada praktikum kali ini adalah mengetahui sejauh mana
aktivitas obat antidiare yaitu Loperamid HCl dan ekstrak daun salam dapat
menghambat diare dengan metode transit intestinal.
Diare merupakan keadaan buang air dengan banyak cairan (mencret) dan
merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu. Diare disebabkan oleh adanya
rangsangan pada saraf otonom di dinding usus sehingga dapat menimbulkan
reflek yang mempercepat peristaltik sehingga timbul diare.
Diare ditandai dengan frekuensi defekasi yang jauh melebihi frekuensi
normal, serta konsistensi feses yang encer. Penyebab diare pun bermacam-macam.
Pada dasarnya diare merupakan mekanisme alamiah tubuh untuk mengeluarkan
zat-zat racun yang tidak dikehendaki dari dalam usus. Bila usus sudah bersih
maka diare akan berhenti dengan sendirinya.
Diare pada dasarnya tidak perlu pemberian obat, hanya apabila terjadi diare
hebat dapat digunakan obat untuk meguranginya. Obat antidiare yang banyak
digunakan
diantaranya
adalah
Loperamid
yang
daya
kerjanya
dapat
Pemberian ketiga zat tersebut dilakukan secara peroral karena yang akan
diamati adalah kecepatan peristaltik usus, kemudian mencit-mencit tersebut
didiamkan selama 45 menit agar obat-obat tersebut dapat terabsorpsi secara
sempurna di dalam tubuh mencit, sehingga didapat efek yang diharapkan.
Setelah itu, tiap-tiap mencit diberikan norit sebanyak 1 mL secara peroral.
Norit ini berguna sebagai indikator untuk megetahui kecepatan motilitas usus.
Pada metode transit intestinal ini yang menjadi parameter pengukuran adalah rasio
antara jarak rambat marker dengan panjang usus keseluruhan. Jika suatu bahan
mempunyai efek antidiare maka rasio rambat marker yang dihasilkan kecil
sebaliknya jika bahan yang mempunyai efek antidiare maka rasio yang dihasilkan
lebih besar.
Obat antidiare pembanding yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
Loperamid HCl. Loperamid HCl merupakan obat antidiare golongan opioid yang
mekanisme kerjanya adalah menekan kecepatan gerak peristaltik. Secara in vitro,
Loperamide menghambat motilitas/perilstaltik usus dengan mempengaruhi
langsung otot sirkular dan longitudinal dinding usus serta mempengaruhi
pergerakan air dan elektrolit di usus besar.
Dari hasil perhitungan data statistik, berdasarkan hasil uji data distribusi
normal, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,056, sedangkan untuk uji
homogenitas tidak diperoleh nilai signifikansi dan untuk uji annova didapatkan
nilai signifikansi sebesar 0,464 atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan,
yang berarti daun salam tidak berkhasiat sebagai antidiare.
VII.
Kesimpulan
Praktikum kali ini mempelajari dan mempraktekkan tentang pengujian
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1990. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Tubuh. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Anonim. 2010. Farmakologi untuk SMK Farmasi. Jakarta: DEPKES RI
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas. Jakarta:
Indonesia Press
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Informatorium Obat Nasional
Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta : Dirktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik.