Você está na página 1de 14

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KHEMOTERAPI

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIARE METODE TRANSIT


INTESTINAL

Nama

Muhammad Gilang Ramadhan

Tanggal Praktikum

13 Desember 2014

NIM/ Kelas

31112148/Farmasi 3C

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAKTI TUNAS HUSADA
KOTA TASIKMALAYA

2014
I. Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui sejauh mana aktivitas obat antidiare dapat menghambat
diare yang disebabkan oleh norit pada hewan percobaan dengan menggunakan
metode transit intestinal.
II. Dasar Teori
Diare adalah suatu keadaan meningkatnya berat dari fases (>200 mg/hari)
yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya cairan, frekuensi BAB, tidak enak
pada perinal, dan rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa inkontinensia fekal
(Daldiyono, 1990).
Diare atau diarrhea merupakan kondisi rangsangan buang air besar yang terus
menerus disertai keluarnya feses atau tinja yang kelebihan cairan, atau memiliki
kandungan air yang berlebih dari keadaan normal. Umumnya diare menyerang
balita dan anak-anak. Namun tidak jarang orang dewasa juga bisa terjangkit diare.
Jenis penyakit diare bergantung pada jenis klinik penyakitnya (Anne, 2011).
Klinis tersebut dapat diketahui saat pertama kali mengalami sakit perut. Ada
lima jenis klinis penyakit diare, antara lain:
Diare akut, bercampur dengan air. Diare memiliki gejala yang datang tiba-tiba
dan berlangsung kurang dari 14 hari. Bila mengalami diare akut, penderita akan
mengalami dehidrasi dan penurunan berat badan jika tidak diberika makan dam
minum.
Diare kronik. Diare yang gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari yang
disebabkan oleh virus, Bakteri dan parasit, maupun non infeksi.
Diare akut bercampur darah. Selain intensitas buang air besar meningkat,
diare ini dapat menyebabkan kerusakan usus halus,spesis yaitu infeksi bakteri
dalam darah, malnutrisi atau kurang gizi dan dehidrasi.
Diare persisten. Gejalanya berlangsung selama lebih dari 14 hari. Dengan
bahaya utama adalah kekurangan gizi. Infeksi serius tidak hanya dalam usus tetapi
menyebar hingga keluar usus.
Diare dengan kurang gizi berat. Diare ini lebih parah dari diare yang lainnya,
karena mengakibatkan infeksi yang sifatnya sistemik atau menyeluruh yang berat,

dehidrasi, kekurangan vitamin dan mineral. Bahkan bisa mengakibatkan gagal


jantung.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan diare antara lain (National Digestive
Diseases Information Clearinghouse, 2007) :
a. infeksi bakteri
Beberapa jenis bakteri dikonsumsi bersama dengan makanan atau minuman,
contohnya Campylobacter, Salmonella, Shigella, dan Escherichia coli (E. coli).
b. infeksi virus
Beberapa virus menyebabkan diare, termasuk rotavirus, Norwalk virus,
cytomegalovirus, herpes simplex virus, and virus hepatitis.
c. intoleransi makanan
Beberapa orang tidak mampu mencerna semua bahan makanan, misalnya pemanis
buatan dan laktosa.
d. parasit
Parasit dapat memasuki tubuh melalui makanan atau minuman dan menetap di
dalam system pencernaan. Parasit yang menyebabkan diare misalnya Giardia
lamblia, Entamoeba histolytica, and Cryptosporidium.
e. reaksi atau efek samping pengobatan
Antibiotik, penurun tekanan darah, obat kanker dan antasida mengandung
magnesium yang mampu memicu diare.
f. gangguan intestinal
g. kelainan fungsi usus besar
Pada anak anak dan orang tua diatas 65 tahun diare sangat berbahaya. Bila
penanganan terlambat dan mereka jatuh ke dalam dehidrasi berat maka bisa
berakibat fatal. Dehidrasi adalah suatu keadaan kekurangan cairan, kekurangan
kalium (hipokalemia) dan adakalanya acidosis (darah menjadi asam), yang tidak
jarang berakhir dengan shock dan kematian. Keadaan ini sangat berbahaya
terutama bagi bayi dan anak-anak kecil, karena mereka memiliki cadangan cairan
intrasel yang lebih sedikit sedangkan cairan ekstra-selnya lebih mudah lepas
daripada orang dewasa (Adnyana, 2008).
Mekanisme timbulnya diare.

Berbagai mikroba seperi bakteri, parasit, virus dan kapang bisa


menyebabkan diare dan muntah. Keracunan pangan yang menyebabkan diare dan
muntah, disebabkan oleh pangan dan air yang terkontaminasi oleh mikroba. Pada
tulisan ini akan dijelaskan mekanisme diare dan muntah yang disebabkan oleh
mikroba melalui pangan terkontaminasi. Secara klinis, istilah diare digunakan
untuk menjelaskan terjadinya peningkatan likuiditas tinja yang dihubungkan
dengan peningkatan berat atau volume tinja dan frekuensinya. Seseorang
dikatakan diare jika secara kuantitatif berat tinja per-24 jam lebih dari 200 gram
atau lebih dari 200 ml dengan frekuensi lebih dari tiga kali sehari (Putri, 2010).
Diare yang disebabkan oleh patogen enterik terjadi dengan beberapa
mekanisme. Beberapa patogen menstimulasi sekresi dari fluida dan elektrolit,
seringkali dengan melibatkan enterotoksin yang akan menurunkan absorpsi garam
dan air dan/atau meningkatkan sekresi anion aktif. Pada kondisi diare ini tidak
terjadi gap osmotic dan diarenya tidak berhubungan dengan isi usus sehingga
tidak bisa dihentikan dengan puasa. Diare jenis ini dikenal sebagai diare sekretory.
Contoh dari diare sekretori adalah kolera dan diare yang disebabkan oleh
enterotoxigenic E.coli (Putri, 2010).
Beberapa patogen menyebabkan diare dengan meningkatkan daya dorong
pada kontraksi otot, sehingga menurunkan waktu kontak antara permukaan
absorpsi usus dan cairan luminal. Peningkatan daya dorong ini mungkin secara
langsung distimu-lasi oleh proses patofisiologis yang diaktivasi oleh patogen, atau
oleh peningkatan tekanan luminal karena adanya akumulasi fluida. Pada
umumnya, peningkatan daya dorong tidak dianggap sebagai penyebab utama diare
tetapi lebih kepada faktor tambahan yang kadang-kadang menyertai akibat-akibat
patofisiologis dari diare yang diinduksi oleh patogen (Putri, 2010).
Pada beberapa diare karena infeksi, patogen menginduksi kerusakan
mukosa dan menyebabkan peningkatan permeabilitas mukosa. Sebaran,
karakteristik dan daerah yang terinfeksi akan bervariasi antar organisme.
Kerusakan mukosa yang terjadi bisa berupa difusi nanah oleh pseudomembran
sampai dengan luka halus yang hanya bisa dideteksi secara mikroskopik.
Kerusakan mukosa atau peningkatan permeabilitas tidak hanya menyebabkan
pengeluaran cairan seperti plasma, tetapi juga mengganggu kemampuan mukosa

usus untuk melakukan proses absorbsi yang efisien karena terjadinya difusi balik
dari fluida dan elektrolit yang diserap. Diare jenis ini dikenal sebagai diare
eksudatif. Penyebabnya adalah bakteri patogen penyebab infeksi yang bersifat
invasive (Shigella, Salmonella) (Putri, 2010).
Malabsorpsi komponen nutrisi di usus halus seringkali menyertai
kerusakan mucosal yang diinduksi oleh patogen. Kegagalan pencernaan dan
penyerapan karbohidrat (CHO) akan meningkat dengan hilangnya hidrolase pada
permukaan membrane mikrovillus (misalnya lactase, sukrase-isomaltase) atau
kerusakan membran microvillus dari enterosit. Peningkatan solut didalam luminal
karena malabsorbsi CHO menyebabkan osmolalitas luminal meningkat dan terjadi
difusi air ke luminal. Diare jenis ini dikenal sebagai diare osmotik dan bisa
dihambat dengan berpuasa (Putri, 2010).
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus (Putri, 2010).
Adhesi.
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur
polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel
epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization
factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC).
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat
pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC (Putri,
2010).

Invasi.
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel
usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel
epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi
inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya
mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman
Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses
patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa
lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus (Putri, 2010).
Enterotoksin.
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin
kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang
aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga
terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi
klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heatStabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida (Putri, 2010).
Penggolongan obat diare :
a. Kemoterapeutika

Walaupun pada umumnya obat tidak digunakan pada diare, ada beberapa
pengecualian dimana obat antimikroba diperlukan pada diare yag disebabkan oleh
infeksi beberapa bakteri dan protozoa. Pemberian antimikroba dapat mengurangi
parah dan lamanya diare dan mungkin mempercepat pengeluaran toksin.
Kemoterapi digunakan untuk terapi kausal, yaitu memberantas bakteri penyebab
diare dengan antibiotika (tetrasiklin, kloramfenikol, dan amoksisilin, sulfonamida,
furazolidin, dan kuinolon) (Schanack, 1980).
b. Zat penekan peristaltik usus
Obat golongan ini bekerja memperlambat motilitas saluran cerna dengan
mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Contoh: Candu dan
alkaloidnya, derivat petidin (definoksilat dan loperamin), dan antikolinergik
(atropin dan ekstrak beladona) (Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
c. Adsorbensia
Adsorben memiliki daya serap yang cukup baik. Khasiat obat ini adalah
mengikat atau menyerap toksin bakteri dan hasil-hasil metabolisme serta melapisi
permukaan mukosa usus sehingga toksin dan mikroorganisme tidak dapat
merusak serta menembus mukosa usus. Obat-obat yang termasuk kedalam
golongan ini adalah karbon, musilage, kaolin, pektin, garam-garam bismut, dan
garam-garam alumunium ) (Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
Obat diare yang dapat dibeli bebas mengandung adsorben atau gabungan antara
adsorben dengan penghilang nyeri (paregorik). Adsorben mengikat bakteri dan
toksin sehingga dapat dibawa melalui usus dan dikeluarkan bersama tinja.
Adsorben yang digunakan dalam sediaan diare antara lain attapulgit aktif, karbon
aktif, garam bismuth, kaolin dan pektin (Harkness, 1984).
Loperamida
Obat ini memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot
sirkuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga
diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor
tersebut. Obat ini sama efektifnya dengan difenoksilat untuk pengobatan diare
kronik. Efek samping yang sering dijumpai adalah kolik abdomen, sedangkan
toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali terjadi. Pada sukarelawan yang

mendapatkan dosis besar loperamid, kadar puncak pada plasma dicapai dalam
waktu empat jamsesudah makan obat. Masa laten yang lama ini disebabkan oleh
penghambatan motilitas saluran cerna dan karena obat mengalami sirkulasi
enterohepatik. Waktu paruhnya adalah 7-14jam. Loperamid tidak diserap dengan
baik melalui pemberian oral dan penetrasinya ke dalam otak tidak baik; sifat-sifat
ini menunjang selektifitas kerja loperamid. Sebagian besar obat diekskresikan
bersama tinja. Kemungkinan disalahgunakannya obat ini lebih kecil dari
difenoksilat karena tidak menimbulkan euphoria seperti morfin dan kelarutannya
rendah (Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).

III.

IV.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan :
1. Alat bedah
2. mistar
3. Stopwatch
Bahan yang digunakan :
1. Norit 5%
2. PGA 1%
3. PGA 50%
4. Loperamid HCl
5. Ekstrak daun salam
Hewan yang digunakan :
1. Mencit putih

Prosedur

H
8
1
M
,4
B
b
w
5
6
P
c
U
D
h
p
e
d
y
ljk
m
o
s
a
r
g
n
u
it

V. Data hasil pengamatan dan Perhitungan


5.1.
Data Hasil Pengamatan
Data mentah
kelompo
k
kontrol -

1
2
1
2
1
2
1
2
1
2

kontrol +
dosis 1
dosis 2
dosis 3

persen rasio jarak


usus
38,04
87,10
30,83
32,69
40,9
58,77
29
47,16
22,64
40,38

Uji Data distribusi normal

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova

Statistic

data

,240

df

Shapiro-Wilk

Sig.

10

,108

Statistic

,848

df

Sig.

10

,056

a. Lilliefors Significance Correction

Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances


data
Levene Statistic

df1

df2
4

Sig.
.

Uji Annova

ANOVA
data
Sum of Squares

df

Mean Square

Between Groups

1423,912

355,978

Within Groups

1687,087

337,417

Total

3110,999

F
1,055

Sig.
,464

5.2.
Perhitungan
Volume pemberian norit = 1 ml
Berat badan mencit
Mencit

Berat Badan

I
II

20,04
23,93

Volume ekstrak daun salam dosis I yang diberikan :


Mencit I =

Mencit II =
VI.

20,04
20
23,93
20

x 0,1 ml = 0,1 ml/ 20 g BB mencit


x 0,1 ml = 0,12 ml/ 20 g BB mencit

Pembahasan
Praktikum kali ini mempelajari dan mempraktekkan tentang pengujian

antidiare dengan menggunakan metode transit intestinal.

Tujuan percobaan pada praktikum kali ini adalah mengetahui sejauh mana
aktivitas obat antidiare yaitu Loperamid HCl dan ekstrak daun salam dapat
menghambat diare dengan metode transit intestinal.
Diare merupakan keadaan buang air dengan banyak cairan (mencret) dan
merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu. Diare disebabkan oleh adanya
rangsangan pada saraf otonom di dinding usus sehingga dapat menimbulkan
reflek yang mempercepat peristaltik sehingga timbul diare.
Diare ditandai dengan frekuensi defekasi yang jauh melebihi frekuensi
normal, serta konsistensi feses yang encer. Penyebab diare pun bermacam-macam.
Pada dasarnya diare merupakan mekanisme alamiah tubuh untuk mengeluarkan
zat-zat racun yang tidak dikehendaki dari dalam usus. Bila usus sudah bersih
maka diare akan berhenti dengan sendirinya.
Diare pada dasarnya tidak perlu pemberian obat, hanya apabila terjadi diare
hebat dapat digunakan obat untuk meguranginya. Obat antidiare yang banyak
digunakan

diantaranya

adalah

Loperamid

yang

daya

kerjanya

dapat

menormalisasi keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu


memulihkan sel-sel yang berada dalam keadaan hipersekresi pada keadaan
resorpsi normal kembali. Loperamid merupakan derivat difenoksilat (dan
haloperidol, suatu neuroleptikum) dengan khasiat obstipasi yang 2-3 kali lebih
kuat tanpa khasiat pada SSP, jadi tidak mengakibatkan ketergantungan.
Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah
mencit. Selain karena anatomi fisiologinya sama dengan anatomi fisiologi
manusia, juga karena mencit mudah ditangani, ukuran tubuhnya kecil sehingga
waktu penelitian dapat berlangsung lebih cepat. Sebelum digunakan untuk
percobaan, mencit dipuasakan selama 18 jam sebelum percobaan tetapi minum
tetap diberikan. Hal tersebut dikarenaka makanan dalam usus akan berpengaruh
terhadap kecepatan peristaltik.
Mencit dibagi dalam lima kelompok. Kelompok pertama merupakan mencit
kontrol negatif karena akan diberikan PGA 1%, kelompok kedua sebagai kontrol
positif diberikan Loperamid HCl, dan kelompok sediaan uji diberikan ekstrak
daun salam dalam beberapa dosis, yaitu dosis I, dosis II, dan dosis III.
Tiap kelompok diberi 2 ekor mencit. Prosedur pertama yang dilakukan adalah
menimbang masing-masing mencit untuk menentukan banyaknya dosis sediaan
uji yang akan diberikan pada tiap mencit

Pemberian ketiga zat tersebut dilakukan secara peroral karena yang akan
diamati adalah kecepatan peristaltik usus, kemudian mencit-mencit tersebut
didiamkan selama 45 menit agar obat-obat tersebut dapat terabsorpsi secara
sempurna di dalam tubuh mencit, sehingga didapat efek yang diharapkan.
Setelah itu, tiap-tiap mencit diberikan norit sebanyak 1 mL secara peroral.
Norit ini berguna sebagai indikator untuk megetahui kecepatan motilitas usus.
Pada metode transit intestinal ini yang menjadi parameter pengukuran adalah rasio
antara jarak rambat marker dengan panjang usus keseluruhan. Jika suatu bahan
mempunyai efek antidiare maka rasio rambat marker yang dihasilkan kecil
sebaliknya jika bahan yang mempunyai efek antidiare maka rasio yang dihasilkan
lebih besar.
Obat antidiare pembanding yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
Loperamid HCl. Loperamid HCl merupakan obat antidiare golongan opioid yang
mekanisme kerjanya adalah menekan kecepatan gerak peristaltik. Secara in vitro,
Loperamide menghambat motilitas/perilstaltik usus dengan mempengaruhi
langsung otot sirkular dan longitudinal dinding usus serta mempengaruhi
pergerakan air dan elektrolit di usus besar.

Pada manusia, Loperamide

memperpanjang waktu transit isi saluran cerna. Loperamid menurunkan volume


feses, meningkatkan viskositas dan kepadatan feses dan menghentikan kehilangan
cairan dan elektrolit.
Sehingga pemberian Loperamid HCl berdasarkan literatur seharusnya dapat
menurunkan kecepatan peristaltik usus. Untuk mengetahuinya dapat dilihat dari
rasio panjang usus yang dilalui oleh norit terhadap panjang usus keseluruhan.
Setelah 20 menit pemberian norit, masing-masing mencit didislokasi dan dibedah
untuk melihat kecepatan peristaltik antara mencit kontrol dan mencit yang telah
diberikan ekstrak daun salam dengan dosis yang berbeda. Karena panjang usus
yang dilewati norit dapat dijadikan sebagai indikator kecepatan peristaltik usus.
Berdasarkan teori rasio antara jarak usus yang dilalui norit dan total panjang
usus, pada mencit uji kontrol negatif dan mencit yang diberikan sediaan uji
seharusnya lebih besar daripada rasio jarak usus yang dilalui norit dan total
panjang usus pada mencit kontrol positif, karena mencit uji kontrol negatif hanya
diberikan PGA 1%, sedangkan pada mencit kontrol positif diberikan loperamid
sebagai penghambat gerak peristaltik usus sehingga gerak peristaltik ususnya
lebih cepat dan jarak usus yang dilalui norit lebih panjang.

Dari hasil perhitungan data statistik, berdasarkan hasil uji data distribusi
normal, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,056, sedangkan untuk uji
homogenitas tidak diperoleh nilai signifikansi dan untuk uji annova didapatkan
nilai signifikansi sebesar 0,464 atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan,
yang berarti daun salam tidak berkhasiat sebagai antidiare.
VII.

Kesimpulan
Praktikum kali ini mempelajari dan mempraktekkan tentang pengujian

antidiare dengan menggunakan metode transit intestinal.


Pada praktikum ini pemberian norit bertujuan untuk menandai pylorus pada
usus, selain itu pada kontrol positif digunakan obat Loperamid HCl yang
berkhasiat sebagi obat antidiare dengan bekerja memperlambat proses peristaltik
usus sehingga mengurangi frekuensi defekasi dan memperbaiki konsistensi feses.
Berdasarkan data hasil percobaan, pengamatan dan perhitungan dapat
disimpulkan bahwa aktivitas obat antidiare yaitu Loperamid HCl dapat
menghambat diare dengan metode uji antidiare yaitu metode transit intestinal.
Sedangkan untuk sediaan uji ekstrak daun salam tidak dapat memberikan khasiat
antidiare, karena berdasarkan hasil perhitungan data statistik spss tidak
memberikan perbedaan yang berarti.

DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1990. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Tubuh. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Anonim. 2010. Farmakologi untuk SMK Farmasi. Jakarta: DEPKES RI
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas. Jakarta:
Indonesia Press
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Informatorium Obat Nasional
Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta : Dirktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik.

Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba


Medika.
Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta : Erlangga
Ganiswara, S. G (Ed. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia

Você também pode gostar