Você está na página 1de 18

Mengenal Kata Bidah

Penyusun: Ummu Hafidz


Murojaah: Ust. Abu Muslih

Banyak orang yang berkerut keningnya ketika pertama kali mendengar kata ini. Bermacam reaksi
muncul dari seseorang ketika diingatkan tentang masalah ini. Ada yang menerimanya dan
memperbaiki amalan ibadahnya dengan hidayah taufik dari Allah Taala. Ada pula yang terlalu cepat
menutup diri untuk memahaminya sehingga lebih sering berkata, Ah bisanya cuma membidahbidahkan. Adapula yang memang sudah tidak asing dengan kata ini, tapi ternyata memiliki
pemahaman yang salah dalam memaknainya. Ketahuilah saudariku! Pembahasan tentang bidah
bukanlah milik golongan tertentu. Bahkan setiap muslim harus mempelajarinya dan
mewaspadainya dan tidak menutup diri dari pembahasan ini. Karena Rasululllah shollallahu alaihi
wa sallam bersabda,


Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bidah. (HR. Muslim no.
867)
Dan sabda nabi shollallahu alaihi wa sallam,


Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bidah dan setiap bidah adalah
sesat. (HR. Tirmidzi dan Abu Daud).
Sama seperti pembahasan tentang kata sunnah pada artikel yang lalu, maka sungguh pembahasan
ini sangat (sangat) penting, karena jika tidak memahaminya atau bahkan salah memaknainya,
maka dapat mengakibatkan kesalahan dalam beramal dan beribadah. Semoga Allah memberikan
kelapangan dalam dada-dada kita, untuk menerima kebenaran yang diajarkan oleh Rasulullah
shollallahualaihi wa sallam.
Makna Bidah Secara Bahasa
Makna bidah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Penggunaan kata bidah secara bahasa ini di antaranya ada dalam firman Allah Subhanahu wa
Taala,

Katakanlah (hai Muhammad), Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. (Al Ahqaf
[46]: 9)
Dan juga firman-Nya,


Dialah Allah Pencipta langit dan bumi. (Al-Baqoroh [2]: 117)
Makna Bidah Secara Istilah
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, makna bidah secara istilah adalah suatu
cara baru dalam agama yang menandingi syariat dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat
nilai lebih dalam beribadah kepada Allah.
Dari definisi ini, kita perlu memperjelasnya menjadi beberapa poin.
Pertama, suatu cara baru dalam agama. Hal ini berarti cara atau jalan baru tersebut
disandarkan kepada agama. Adapun cara baru yang tidak dinisbatkan kepada agama maka itu
bukan termasuk bidah. (akan dibahas lebih rinci di bawah).
Kedua, menandingi syariat. Maksudnya amalan bidah mempersyaratkan amalan tertentu yang
menyerupai syariat, sehingga ada beban yang harus dipenuhi. Seperti misalnya puasa mutih,
yasinan setiap hari kamis (malam jumat), puasa nisyfu syaban dan lain-lain, Perlu diperhatikan
pula bahwa pada umumnya, setiap bidah juga memiliki dalil. Namun, janganlah terjebak dengan
dalil yang diberikan, karena ada dua kemungkinan dari dalil yang diberikan. Pertama, dalil tersebut
bersifat umum namun digunakan dalam amalan khusus. Kedua, bisa jadi dalil yang digunakan
adalah palsu. Oleh karena itu, wahai saudariku, menuntut ilmu agama sangat penting melebihi
kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Ilmu agama dibutuhkan di setiap tarikan nafas kita
karena dalil dibutuhkan untuk setiap ibadah yang kita lakukan. Merupakan kesalahan ketika kita
melakukan ibadah terlebih dahulu baru mencari-cari dalil. Inilah yang membuat pengambilan dalil
tersebut menjadi tidak tepat karena sekedar mencari pembenaran pada amalan yang sebenarnya
bukan termasuk syariat.
Ketiga, tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada
Allah. Artinya, setiap bidah merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam agama, sehingga dengan
adanya bidah tersebut maka beban seorang muslim (mukallaf) akan bertambah. Salah satu
contohnya mengkhususkan puasa nisyfu syaban, padahal puasa ini tidak disyariatkan dalam
Islam. Sungguh merugi bukan? Kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan sia-sia.
Mewaspadai Bidah
Dari definisi yang telah disebutkan menunjukkan bidah tidak lain merupakan perbuatan yang
bertujuan menandingi syariat. Karena Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maaidah [5]: 3)
Maka tidak perlu lagi bagi seseorang untuk membuat cara baru dalam agama atau mencari ibadahibadah lain yang itu adalah kesia-siaan. Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda,


Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.
Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda,


Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya maka
tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, ada tiga unsur yang membuat sesuatu dapat dikatakan sebagai bidah.
Pertama, mengada-adakan. Ini diambil dari lafadz man ahdatsa. Akan tetapi membuat sesuatu
yang baru bisa terjadi dalam perkara dunia ataupun agama. Maka diperlukan unsur yang kedua.
Kedua, perkara baru tersebut disandarkan pada agama. Ini diambil dari lafadz fii amrina.
Unsur kedua ini perlu dilengkapi unsur ketiga. Karena jika tidak, akan timbul pertanyaan atau
keraguan, Apakah semua perkara baru dalam agama tercela?
Ketiga, perkara tersebut bukan bagian dari agama. Ini diambil dari lafadz ma laisa minhu (
) . Artinya, tidak ada dalil yang sah bahwa hal tersebut pernah ada.
Setiap Bidah Adalah Sesat
Ketahuilah saudariku. Setiap bidah adalah sesat. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi
shollallahu alaihi wa sallam,


Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bidah. (HR. Muslim no.
867)
Dan sabda nabi shollallahu alaihi wa sallam,


Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bidah dan setiap bidah adalah
sesat. (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

Adapun pembagian yang ada pada bidah, maka tetap menunjukkan kesesatan bidah tersebut.
Maka pembagian bidah menjadi bidah sayyiah dan bidah hasanah adalah sebuah kesalahan
sebagaimana penulis jelaskan sebab-sebabnya dalam artikel sebelumnya.
Imam Syathibi rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya pembagian bidah (yang tetap
menetapkan kesesatan seluruh bidah) yang dapat memperjelas kerancuan yang ada di
masyarakat. Yang pertama adalah bidah hakiki yang perkaranya lebih jelas (kecuali bagi orangorang yang taklid dan tidak mau belajar) karena bidah hakiki tidak memiliki sandaran dalil syari
sama sekali. Semisal menentukan kecocokan seeorang untuk menjadi suami atau istri dengan
tanggal lahir atau melakukan ritual-ritual khusus dalam acara pernikahan yang tidak ada
landasannya dalam syariat sama sekali. Adapun jika berkaitan dengan bidah idhofi maka sebagian
orang mulai rancu dan bertanya-tanya. Misalnya, bidah dzikir berjamaah, atau tahlilan. Banyak
orang terburu-buru dengan mengatakan, Masa dzikir dilarang sih? atau Kok membaca Al Quran
dilarang? Maka kita perlu (sekali lagi) memahami lebih dalam tentang bidah ini.
Bidah idhofi ini mempunyai dua sisi, sehingga apabila dilihat pada salah satu sisi, maka seakanakan itu sesuai dengan sunnah karena berdasarkan dalil. Namun bila dilihat dari sisi lain, amalan
tersebut bidah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada dalil atau tidak disandarkan
kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari sisi makna, maka bidah idhofi ini secara asal
memiliki dalil. Akan tetapi dilihat dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang digunakan
tidak mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut membutuhkan dalil. (Majalah Al-Furqon
edisi 12 tahun V). Maka jelas yang dilarang bukanlah dzikir atau membaca Al-Quran untuk contoh
dalam masalah ini. Akan tetapi, kebidahan tersebut terletak pada tata cara, sifat atau perincian
pada ibadah tersebut yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam, yaitu
dengan melafadzkan dzikir bersama-sama dipimpin satu imam atau membaca Al-Quran untuk
orang mati. Semuanya ini adalah cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shollallahu
alaihi wa sallam.
Catatan penting dalam masalah ini adalah dalam perkara ibadah (yaitu apa-apa yang kita niatkan
untuk mendekatkan diri kita pada Allah Subhanahu wa Taala), kita harus memenuhi dua syarat,
yaitu ikhlas hanya bagi Allah Subhanahu wa Taala dan sesuai dengan yang dicontohkan dan
diperintahkan Nabi shollallahu alaihi wa sallam.
Demikianlah saudariku, sedikit pengantar untuk memahami tentang kata bidah dan bahayanya.
Pembahasan tentang bidah memiliki lingkup yang sangat luas yang dengan keterbatasan penulis
tidak dapat dituangkan seluruhnya dalam tulisan kali ini. Untuk memperdalam pembahasan,
silakan melihat kembali kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan. Semoga Allah Taala
mempermudah kita dalam memahami pembahasan ini dan menerimanya dengan lapang dada
serta menjadikan kita orang-orang yang berusaha kuat menjauhi perkara baru dalam agama.
Aamiin ya mujibas saailin.
Maraji:
1.
Majalah Al Furqon edisi 12 tahun V/rajab 1427

2.
3.

Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Ustadz Aris Munandar
Ringkasan Al Itisham terj , Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf, Media Hidayah, Cet I, thn
2003.

[Diambil dari http://muslimah.or.id/2007/05/31/mengenal-kata-bidah/]

Adakah Bidah Hasanah?


Setelah kita mengenal bidah ada baiknya kita mengetahui juga beberapa syubhat tentang bidah
sehingga pemahaman kita tentang bidah menjadi lebih sempurna. Kali ini kita akan membahas
tentang syubhat Bidah Hasanah yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk melegalkan
perbuatan bidah mereka. Ana menganggap penting masalah ini karena syubhat ini telah menyebar
dan telah mengecoh sebagian awam dari kaum muslimin, sehingga seringkali ketika kita
membantah sebuah amalan bidah serta merta mereka mengatakan Inikan Bidah Hasanah..
Benarkah perkataan mereka [?] mari kita telaah lebih jauh [ ]
Syubhat Pertama: perkataannya Umar bin Khaththab radliyallaahu anhu: Sebaik-baik bidah
adalah ini.
Bantahan:
Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radliyallaahu anha dalam Shahih Muslim sebagai
berikut :




Dari Aisyah (ia berkata): Bahwasannya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam keluar shalat di
masjid pada suatu malam. Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau yang di hari selanjutnya
bertambah banyaklah orang (yang shalat bermakmum) di belakang beliau. Di malam ketiga atau
keempat, mereka (para shahabat) berkumpul namun Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam tidak
keluar kepada mereka (untuk shalat tarawih berjamaah sebagaimana malam-malam sebelumnya).
Di pagi harinya, beliau shallallaahu alaihi wasallam bersabda: Sungguh aku telah melihat
semangat kalian, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat tarawih tadi malam)
bersamamu kecuali aku takut (ibadah) ini akan diwajibkan bagi kalian. (Perawi) berkata: Hal itu
terjadi di bulan Ramadlan (HR. Muslim nomor 761).
Dan silakan simak pula hadits yang lain :

Sesungguhnya seseorang yang mengerjakan shalat bersama imam (untuk shalat tarawih
berjamaah) hingga selesai, maka dihitung baginya shalat sepanjang malam (HR. Ibnu Abi
Syaibah 2/90/2, Abu Dawud 1/217, Tirmidzi 2/72-73, NasaI 1/237, dan lainnya; dengan sanad
shahih. Ini merupakan lafadh Abu Dawud).
Dengan adanya 2 riwayat di atas, apakah kita mengatakan bahwa Umar melakukan bidah ?
Padahal Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda :


Dan setiap hal yang baru adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan di
neraka
Sekali lagi, hal baru apa yang dilakukan oleh Umar sehingga disebut bidah lagi sesat ? Tentu ini
bukan dalil adanya bidah hasanah, karena dalam hadits di atas telah disebut dengan kullu
(setiap) yang di dalam ilmu Ushul-Fiqh maknanya umum. Tidak ada pengecualian.
Adapun ucapan Umar: Sebaik-baik bidah, adalah yang seperti ini, yang beliau maksudkan
bukanlah bidah dalam pengertian istilah; yang berarti: Mengada-ada dalam menjalankan ibadah
tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan
sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bidah adalah dalam salah satu
pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum
beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjamaah belumlah dikenal dan
belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar
sendiri Radhiyallahu anhuma sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian
begini, ia memang bidah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bidah. Hanya dengan alasan itulah
beliau memberikan tambahan kata baik.
Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan
ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih yang
berupa kumpulan fatwa (I: 168) menyatakan: Ibnu Abdil Barr berkata: Dalam hal itu Umar tidak
sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai
dan diridhai Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu alaihi
wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas
umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala
Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang
wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya.
Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu
diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah
terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan

kebaikan secara umum- daripada Umar Radhiyallahu anhuma. Akan tetapi masing-masing dari
keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya. As-Subki
menyatakan: Kalau melakukan tarawih berjamaah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia
termasuk bidah yang tercela ; sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Syaban, atau di
Jumat pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat
yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjamaah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan
pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam.
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan: Mengeluarkan
orang-orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent)
adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak
termasuk katagori bidah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan
ucapan Umar berkenaan dengan tarawih: Sebaik-baiknya bidah yang dimaksud adalah bidah
secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan
Allah Subhanahu wa Taala.


Artinya: Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul [Al-Ahqaf: 9]
Jadi yang dimaksud bukanlah bidah secara istilah. Karena bidah secara istilah menurut syariat
adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Adapun sebagian
ulama yang membaginya menjadi bidah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka
bagi hanyalah bidah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bidah itu sesat
maksudnya adalah bidah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat
Radhiyallahu anhum dan juga para tabiin yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga
menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak
ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di
Masjidil Haram), atau shalat seusai sai antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat
seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ;
sementara mengamalkannya menjadi bidah yang tercela. Maka seperti: Mengusir orang-orang
Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam
konteks pembicaraan kita tentang yang mungkin dikerjakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam karena adanya
penghalang seperti shalat tarawih berjamaah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang
pasti, berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut (Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24).
Kesimpulan: Kata bidah yang diucapkan Umar radliyallaahu anhu adalah dalam pengertian
bahasa. Bukan dalam pengertian syariat.
Syubhat Kedua:
Pemahaman terhadap Hadits :



Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan
pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahalapahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya
tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. (HR Muslim)
Sebagian orang memahami kata

sebagai bidah hasanah. betulkah [?]

Bantahan :
1. Bahwasanya Makna adalah Barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai
penerapan suatu dari syariat yang ada, bukan orang yang melakukan suatu amalan sebagai
penetapan suatu syariat yang baru. Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah
beramal sesuai sunnah Nabawiyah yang ada. Yang menunjukkan hal ini adalah asbabun nuzul
hadits itu sendiri:



}
{ } { }
{




Dari Mundzir bin Jarir dari ayahnya ia berkata: Adalah kami di sisi Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam pada permulaan siang. Lalu datang kepadanya kaum bertelanjang kaki dan berpakaian
kain bergaris atau mantel dengan pedang terhunus. Pada umumnya mereka adalah dari Kabilah
Mudlar, bahkan semuanya dari Kabilah Mudlar. Maka berubahlah wajah Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam kasihan/iba melihat keadaan mereka yang miskin. Lalu beliau masuk rumah
kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamat. Lalu beliau shalat, kemudian
berkhutbah seraya bersabda :
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan

laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. An-Nisaa: 1).
Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah (QS. Al-Hasyr: 18).
Hendaklah seseorang mensedekahkan dinarnya, dirhamnya, bajunya, satu sha gandumnya, satu
sha kurmanya, (hingga beliau mengatakan), dan walaupun hanya sepotong kurma.
Ia (perawi) berkata,Maka seseorang dari kaum Anshar datang membawa karung yang berat,
hampir tangannya tidak kuat, bahkan akhirnya tidak kuat. Kemudian manusia saling bergantian
bersedekah hingga saya melihat dua tumpukan makanan dan baju, dan saya melihat wajah
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam berseri-seri seakan-akan emas yang disepuh. Lalu
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa mempelopori dalam Islam
perbuatan yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukan
setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa mempelopori dalam
Islam perbuatan yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang
melakukan setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka (HR. Muslim nomor 1017)
2. Bahwasanya orang yang mengatakan adalah Rasululllah Alaihi Sholatu
Wa Sallam, beliau juga yang mengatakan . Tidak mungkin akan muncul dari mulut
beliau perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri.
3. Bahwasanya Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam mengatakan ( Barangsiapa yang menerapkan
Sunnah pertama kali) dan beliau tidak mengatakan ( Barangsiapa yang mengadakan suatu
yang baru dalam agama) dan beliau mengatakan ( dalam Islam), sedangkan bidah itu
bukan dari Islam. Beliau mengatakan ( yang baik) sedangkan bidah bukan merupakan sesuatu
yang baik
Syubhat Ketiga :
Ada Sebuah Atsar yang sering dijadikan hujjah akan adanya bidah hasanah yaitu :


Apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka baik pula menurut pandangan
Allah. (Al Furuusiyyah oleh Ibnul Qayyim hal 167)
Bantahan :
1. Bahwasanya tidak benar kalau atsar tersebut sampai kepada Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam, itu
hanyalah perkataan Abdullah bin Masud yang mauquf dari Ibnu Masud saja.
Ibnul Qayyim berkata: Sesungguhnya atsar ini bukanlah dari sabda Rasulullah Alaihi Sholatu Wa
Sallam, hanya orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits sajalah yang menyandarkan
perkataan tersebut kepada beliau Atsar itu hanya merupakan pandangan Ibnu Masud (Kasyful
Khafaa oleh Al Ajaluuny 2/245).

Berkata Syaikh Albany: Ia tidak punya dasar riwayat secara marfu, riwayat itu hanyalah mauquf
kepada Ibnu Masud ( As Silsilah Ad Dhaiifah no 553)
2. Bahwasanya huruf pada perkataan berfungsi sebagai Al Ahd (yang harus kembali
kepada sosok yang jelas), dan dalam hal ini kembali kepada Sahabat sendiri, merekalah yang
dimaksud oleh atasar tersebut sebagai Al Muslimun, sebagaimana yang bisa dipahami dari alur
kalimat atsar tersebut yang berbunyi :

, , ,
, , , ,
,
Berkata Abdullah bin Masud radhiallahu anhu:Sesungguhnya Allah Taala melihat hati para
hamba-Nya dan Ia mendapatkan hati Muhammad shalallahu alaihi wa sallam yang paling baik,
maka Ia memilihnya untuk diri-Nya dan Ia mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Ia melihat
hati para hamba-Nya setelah melihat hati Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, maka Ia
mendapatkan hati para sahabat adalah yang paling baik. Maka Ia menjadikan mereka (para
sahabat) sebagai pendamping nabi-Nya untuk menampakkan agama-Nya.Apa yang dipandang baik
oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk
oleh mereka, maka buruk di sisi Allah (Dikeluarkan oleh: Ahmad dalam Musnad-nya 1/379; AtThiyalis dalam Musnad-nya no. 246. Di-hasan-kan oleh Al-Albani dan di-Shahih-kan oleh Al-Haakim
dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kaum muslimin dalam atsar
tersebut adalah para sahabat. Dan sebagai tambahan penjelasan adalah bahwa Imam Al Hakim
memasukkan atsar tersebut pada bab Marifatus Shahabah dalam kitab beliau Al Mustadraknya. Hal
ini menunjukkan bahwa Abu Abdillah Al Hakim memahami bahwa yang dimaksud dengan kaum
muslimin pada atsar tersebut adalah para sahabat.
Kalau memang demikian, maka telah diketahui bahwa para sahabat seluruhnya telah bersepakat
mencela dan memandang buruk setiap bidah. Dan tidak pernah diriwayatkan dari salah
seorangpun dari mereka menganggap baik salah satu bidah tersebut.
3. Kalaulah huruf pada perkataan bukanlah Alif Laam Al Ahd maka akan berfungsi
sebagai Istighraaq yakni meliputi keseluruhan kaum muslimin, maka yang dimaksud adalah ijma
para ulama dan ijma adalah hujjah. Dan telah diketahui bahwa tidak ada satupun bidah yang telah
disepakati oleh kaum muslimin sebagai bidah hasanah. Walhamdulillah.
4. Bagaimana mereka berdalil dengan atsar sahabat yang mulia ini tentang adanya bidah hasanah
padahal beliau adalah seorang yang paling tegas melarang dan memperingatkan tentang bidah

Berittibalah kamu kepada rasulullah dan janganlah berbuat bidah sesungguhnya kamu telah
dicukupkan (HR Ahmad).
Syubhat Keempat :
Ada sebuah riwayat yang oleh sebagian orang dipergunakan untuk melegalkan istilah bidah
hasanah, yaitu :
Dari Ghudaif bin Al Harits berkata: Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepadaku. Dalam
suratnya beliau berkata kepadaku: Wahai Abu Asma, Sesungguhnya kami telah mengumpulkan
manusia untuk memasyarakatkan dua perkara. Ghudaif bertanya: Apa itu ? Beliau menjawab:
Yakni mengangkat tangan diatas mimbar pada hari jumat dan menceritakan kisah-kisah pada
setiap selesai sholat subuh dan ashar. Maka Ghudaif berkata: Ketahuilah bahwa kedua hal
tersebut merupakan bidah yang terbaik menurutku namun aku tidak dapat menyambut perintah
Anda untuk memasyarakatkan kedua budaya tersebut. Ibnu Marwan bertanya: Mangapa
demikian ? Jawab Ghudaif Sebab Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :



Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bidah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar
dengannya pula.
[Lihat
Tahdziibul
Kamaal
33/108]
Bantahan :
Pertama: Bahwasanya riwayat diatas adalah Dhoif karena dalam sanadnya terdapat dua cacat,
yaitu :
a. Ada perawi bernama Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam, Ia Dhoif, dilemahkan
oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma;in, Abu Zurah, Abu Hatim, Nasai dan Daruquthni (At
Taqrib no 7974). Ibnu Hajar berkata dalam At Taqriib: Dia Dhoif.
b. b.Ada perawi yang bernama Baqiyyah bin Al Walid dan dia telah melakukan tadlis dengan
riwayat an-anah. Ibnu Hajar berkata: Ia banyak meriwayatkan hadits dengan tadlis
daripada perawi yang dhaif dan majhul (Asadul Ghaabah 4/340)
Kedua: Seandainya riwayat tersebut shahih, maka sesungguhnya tidak boleh sabda Rasulullah
Shollallahu Alaihi Wa Sallam dikonfrontasikan dengan perkataan seorang manusipun siapapun dia.
Ketiga: Bahwasanya Ghudaif bin Al-Harits ini diperselisihkan statusnya sebagai sahabat. Sebagian
ulama menghitungnya dalam kelompok sahabat dan yang lain menghitungnya dalam kelompok
tabiin (Fathul Baary 13/254)
Keempat: Ghudaif Al Harits menolak penerimaan terhadap bidah tersebut, beliau membantah
bidah hasanah tersebut dimana beliau tidak mau memasyarakatkannya dan diakhir riwayat beliau
membawakan sabda Nabi:

Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bidah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar
dengannya pula.
Oleh karena itu jika sekiranya bidah tersebut adalah bidah hasanah maka tidak mungkin dengan
keberadaannya akan menghilangkan suatu sunnah yang semisalnya.
Syubhat Kelima:
Perkataan Imam Syafii Rahimahullah :


Bidaah itu ada dua , yaitu bidaah yang di puji dan bidaah yang keji. Sesuatu yang menyamai
sunnah, maka ia adalah bidaah yang di puji, dan yang menyalahi sunnah, maka ia adalah bidaah
yang keji (Manaaqibus SyaafiI oleh Al Baihaqi 1/468)

:

Perkara yang diada-adakan itu terbagi menjadi dua macam: (pertama) Perkara yang diadaadakan yang bertentangan dengan Al Quran, atau as sunnah, atau kesepakatan ulama (ijma),
maka ini adalah bidah dholalah (sesat), dan (kedua): kebaikan yang diada-adakan yang tidak
bertentangan dengan salah satu dari dasar-dasar tersebut, maka ini adalah muhdatsah (suatu hal
baru/diada-adakan) yang tidak tercela. [Ibid, dan Jami Al Ulum wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al
Hambali 267].
Bantahan :
Pertama: Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa
Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah adalah Hujjah terhadap
perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam
dibantah oleh perkataan selainnya. Abdullah bin Abbas berkata :


Tidak ada seorangpun melainkan perkataannya dapat ditolak dan diterima kecuali perkataan Nabi
Alaihi Sholatu Wa Sallam (Jaamiul Ulum Wal Hikam 6/28)
Kedua: Jika kita memperhatikan perkataan Imam Syafii dengan seksama, maka tidak diragukan
lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bidah mahmudah itu adalah makna secara bahasa
bukan menurut Syara dengan dalil bahwa setiap bidah yang terjadi dalam agama maka sudah
tentu ia akan bertentangan dengan Al Quraan dan Sunnah. Karena Imam Syafii telah membatasi
kata bidah mammudah dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan
setiap bidah yang terjadi terhadap agama pasti menyelisihi firman Allah Taala :


Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu ..(Al Maidah :3)
Dan juga bertentangan dengan Sabda Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam:

:

Dari Ummul mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahu anha, ia berkata bahwa Rasulullah
Alaihi Sholatu Wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan
agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak. (Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab berkata :

. -


Dan yang dimaksud dengannya (Al Muhdatsah/perkara yang diada-adakan) ialah setiap perkara
yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya dalam syariat, dan dalam istilah syariat disebut bidah.
Dan setiap perkara yang memiliki dasar dalam syariat, tidak disebut bidah. Dengan demikian
bidah dalam pengertian syariat pasti tercela. Beda halnya dengan pengertian bahasa karena setiap
hal yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya disebut bidah, baik hal itu terpuji atau
tercela. [Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Jami Al Ulum wa Al Hikam, 267].
Ketiga: Bahwasanya yang diketahui dari Imam Syafii Rahimahullah bahwasanya beliau adalah
orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dan
sangat marah terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam,
sebagaimana yang disebutkan dari beliau ketika beliau ditanya tentang sebuah masalah. Beliau
berkata: Telah diriwayatkan dalam masalah ini begini dan begini dari Nabi Alaihi Sholatu Wa
Sallam maka bertanyalah sipenanya: Wahai Abu Abdillah apakah kamu mengatakan sebagaimana
yang dikatakan oleh hadits tersebut ? Maka Imam SyafiI pun terperanjat dan bergetar seraya
berkata :

Aduhai bumi yang mana yang akan kupijak dan langit manalagi yang akan menaungiku jika aku
riwayatkan dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam suatu hadits lalu tidak aku berfatwa dengannya,
tentu akan aku junjung sabda beliau. (Siyaru Alaamin Nubalaa 10/34)
Ditempat yang lain beliau berkata: Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Alaihi
Sholatu Wa Sallam dan mengikutinya. Apapun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku
katakan itu berasal dari Rasulullah tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang
disabdakan oleh Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam itulah yang menjadi pendapatku.1
Seluruh Kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari
Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat
seseorang.2
Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah Alaihi
Sholatu Wa Sallam , peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu.3
Bila suatu hadits Shahih, itulah Madzhabku.4
Kalian5 lebih tahu tentang Hadits, dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu
Shahih, beritahukanlah kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah atau Syam,
sampai aku pergi menemuinya.
Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam menurut
kalangan ahlul hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama
aku hidup maupun setelah aku mati.6
Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi
Alaihi Sholatu Wa Sallam yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak
berguna.7
Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam,
hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.8

HR Hakim dengan sanad bersambung kepada imam Syafii, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu Asakir
(XV/1/3). Ilam Al-Muwaqqiin ( II/363-364), Al-Iqazh hal 100).
2
Ibnul Qayyim (II/361) dan Al Filani hal 68.
3
Harawi dalam kitab Dzamm al-kalam (III/47/1), Al-Khatib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafii (VIII/2) dan lain-lain.
4
Nawawi dalam Al-Majmu Syarani (I/57).
5
Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafii
hlm 94-95. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah (IX-106) dan lain-lain.
6
Abu Nuaim dalam al-Hilyah (IX/107), Al Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al-Ilam (II/363) dan Al Filani hlm 104.
7
Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafii hlm 93.
8
Ibid.

Setiap hadits yang datang dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam berarti itulah pendapatku, sekalipun
kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.9
Syubhat Keenam :
Perkataan Al Izz bin Abdisalam tentang bidah bahwa:
Bidah itu terbagi kepada bidah wajib, bidah yang haram, bidah yang sunnah, bidah yang
makhruh dan bidah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bidah
dikembalikan kepada kaidah-kaidah Syariat. Maka jika bidah tersebut masuk ke dalam kaidah
yang wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bidah wajibah, apabila ia masuk ke dalam kaidah
yang haram, maka itulah bidah muharramah. Jika ia masuk ke dalam kaidah sunnah, maka itulah
bidah mandubah dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bidah yang mubah. (Al
Itisham 1/246)
Bantahan :
Pertama : Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa
Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam
adalah Hujjah terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah
Alaihi Sholatu Wa Sallam dibantah oleh perkataan selainnya
Kedua : Berkata Imam Asy Syathiby : Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian
yang diada-adakan, tidak ada satupun dalil syarI yng mendukungnya, bahkan pembagian itu
sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bidah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil
yang syarI, tidak berupa dalil dari nash-nash syarI, dan juga tidak terdapat dalam kaidahkaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syari tentang wajibnya, atau sunnahnya atau
bolehnya, niscaya tidak mungkin bidah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk ke dalam
amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka
mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bidah dan antara keberadaan dalil-dalil yang
menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya atau bolehnya maka semua itu merupakan pengumpulan
antara dua hal yang saling menafikan. (Al Itisham 1/246)
Ketiga : Bahwasanya bidah yang dimaksudkan oleh Al Izz bin Abdisalam adalah bidah menurut
pengetian bahasa bukan menurut pengertian Syari hal yang menunjukkan hal tersebut adalah
contoh-contoh yang dipaparkan terhadap pembagian bidah tersebut:
Bidah wajib beliau contohkan dengan menekuni ilmu nahwu yang dengannya firman Allah Azza
Wa Jalla dan sabda Rasul-Nya Alaihi Sholatu Wa Sallam dipahami. Apakah menekuni ilmu nahwu
itu merupakan bidah ? ataukah ia termasuk ke dalam kaidah yang mengatakan:



Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu tersebut,
maka sesuatu itu hukumnya wajib.
9

Ibid.

Bidah Sunnah beliau contohkan dengan sholat tarawih dan pembangunan sekolah-sekolah.
Sholat tarawih telah ada contoh perbuatan dari Nabi, sebagaimana telah dibahas dimuka
(Perkataan Umar tentang Sholat Tarawih-Abu Aufa) sedangkan pembangunan sekolah-sekolah
adalah wasilah untuk menuntut ilmu dan keutamaan ilmu serta mengajarkannya tidak dapat kita
pungkiri.
Bidah Mubah beliau contohkan dengan kelezatan-kelezatan dan hal itu bukanlah merupakan
bidah menurut agama, bahkan jika ia sampai kepada derajat israf (berlebihan), maka ia termasuk
kepada hal yang diharamkan, yang masuk ke dalam suatu bentuk kemaksiatan bukan termasuk
bidah.
Dan
ada
perbedaan
antara
kemaksiatan
dan
bidah
(silahkan
lihat
di
http://www.almanhaj.or.id/content/1203/slash/0 - Abu Aufa)
Keempat : Bahwasanya telah ada riwayat mengenai Al Izz bi Abdisalam Rahimahullah bahwa
beliau adalah orang yang dikenal sebagai pemberantas bidah dan orang yang sangat melarang hal
tersebut serta mentahdzir dari bahaya bidah. Beberapa contohnya :
Syahibuddin Abu Syaamah-Murid Al Izz- berkata : Beliau adalah orang yang paling berhak
menjadi khatib dan imam, beliau telah menyingkirkan banyak bidah yang pernah dilakukan oleh
para khatib dengan pukulan pedang diatas mimbar dan lain-lain, beliau pernah mengungkapkan
kebathilan dua shalat pada pertengahan bulan Syaban (Nishfu Syaban) dan beliau melarang
keduanya. (Fataawaa Al Izz Ibnu Abdissalaam hal 46 no 15 Cet Daarul Baaz)
Bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bersalam-salaman setelah selesai shalat subuh dan
ashar, maka beliaupun berkata : Bersalam-salaman setelah sholat subuh dan ashar adalah
merupakan salah satu dari bidah, kecuali bagi orang yang baru datang yang belum sempat
bertemu dan berjabat tangan dengannya sebelum sholat, sebab bersalam-salaman disyariatkan
oleh agama ketika baru bertemu. Dan adalah nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam biasanya setelah
sholat berdzikir dengan dzikir-dzikir yang syari dan beristighfar 3x kemudian bubar dari sholatnya.
(Fataawaa Al Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)
Dan tidaklah disukai (disunnahkan) mengangkat kedua tangan ketika berdoa, kecuali pada
tempat-tempat yang padanya Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam mengangkat kedua tangannya,
dan tidak ada orang yang mengusap kedua tangannya kewajahnya setelah berdoa melainkan orang
yang jahil. (Fataawaa Al Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)
Dan sebagainya
Kesimpulan tentang Bidah Hasanah
Berikut adalah beberapa kesimpulan tentang bidah Hasanah :
Pertama : Bahwasanya dali-dalil tentang celaan terhadap bidah sangat banyak, dan semuanya
datang dalam bentuk mutlaq (umum), tidak terdapat didalamnya pengecualian sedikitpun dan
tidak pula terdapat didalamnya sesuatu yang menghendaki bahwa dalam bidah itu ada yang bidah
hasanah dan ada pula yang merupakan bidah syayiah dan tidak terdapat pula perkataan : Setiap

bidah itu sesat, kecuali yang begini dan begini, dan tidak pula perkataan yang semakna
dengannya. Seandainya ada bidah yang dipandang oleh syara sebagai bidah hasanah niscaya
akan disebutkan dalam suatu ayat ataupun dalam hadits.. namun tidak ada, maka hal ini
menunjukkan bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan pada hakikatnya bersifat umum dan
menyeluruh yang seorangpun tidak dapat menyelisihi tuntutannya. [Al Itishaam 1/187]
Kedua : Bahwasanya telah ditetapkan dalam ushul ilmiyah bahwa setiap kaidah kulliyah atau dalil
syari kulliyah jika terulang pada banyak tempat dan waktu berbeda-beda serta bermacam-macam
kondisi dan belum dihubungkan dengan sutu qarinah atau pengkhususan, maka dalil tersebut tetap
pada apa yang dikehendaki oleh lafadznya yang bersifat umum dan mutlaq. [Al Itishaam 1/187]
Ketiga : Salafus Shalih dari para Sahabat, Tabiin dan orang-orang shalih setelahnya mereka telah
sepakat mencela, menjelekkan dan lari dari bidah orang-orang yang melakukan bidah. Mereka
tidak pernah berhenti dan tidak pernah memberikan pengecualian terhadap masalah tersebut,
sehingga ijma tersebut sesuai dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam- merupakan
ijma yang kuat yang menunjukkan secara jelas bahwasanya bidah itu seluruhnya buruk dan tak
ada satupun yang baik. [Al Itishaam 1/188]
Keempat : Bahwasanya hal-hal yang berkaitan dengan bidah dengan sendirinya menghendaki
demikian [keburukan-Abu Aufa], sebab ini merupakan bahagian dari bab penentangan terhadap
pembuat syariat dan membuat syariat baru, dan setiap apa yang terkumpul didahal hal seperti ini
mustahil akan terbagi menjadi baik dan buruk dan ada diantaranya sesuatu yang dipuji dan dicela,
sebab akal sehat dan dali syariat tidak ingin menganggapnya baik [Al Itishaam 1/188]
Kelima : Bahwasanya perkataan tentang bidah hasanah membuka peluang bagi perbuatan bidah
terhadap pelakunya, dan tidak mungkin bersamaan dengan hal itu orang tersebut akan menolak
suatu bidah apapun, sebuah setiap ahlul bidah itu pasti akan menganggap baik bidah yang
dilakukannya. Sehingga orang-orang Rafidhah akan mengatakan bahwa bidah mereka itu bidah
hasanah demikian pula Mutazilah, Jahmiyah, Khawarij dll. Karena itulah maka wajib bagi kita
untuk membantah mereka semua dengan hadits yang artinya : Setiap bidah itu sesat
Keenam : Apakah Standar untuk mengatakan bahwa bidah itu baik [?] dan siapakah yang
menjadi rujukannya [?] Jika dikatakan bahwasanya standartnya adalah kesesuaian dengan Syariat,
maka kita katakan bahwa pada asalnya apa yang sesuai dengan syariat itu bukanlah bidah. Dan
jika dikatakan bahwa yang menjadi rujukan adalah akal, maka kita katakan bahwa akal itu
berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Kalau begitu apa yang menjadi rujukan dalam masalah
tersebut dan akal yang mana yang diterima hukumnya [?]
Ketujuh : Dikatakan kepada orang yang menganggap baik bidah : Jika penambahan dalam
agama itu dibolehkan atas nama bidah hasanah, maka orang yang menghapus atau mengurangi
sesuatu dari agama ini juga dianggap baik dengan mengatasnamakan bidah hasanah tersebut.
Dan tidak ada bedanya antara dua hal tersebut, sebab bidah itu terkadang berupa perbuatan atas
sesuatu atau meninggalkan sesuatu, sehingga nantinya agama ini akan dihilangkan disebabkan

penambahan dan pengurangan tersebut dan cukuplah hal ini dikatakan sebagai suatu kesesatan.
[Tahdziirul Muslimiin Anil Ibtida Fiddiin oleh Ahmad bin Hajar Ali Buthamy hal 76]
Kedelapan : Bahwasanya perkataan tentang adanya bidah hasanah akan membawa kepada
penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, sebab setiap kali datang suatu kelompok,
mereka akan menambah-nambah ibadah dalam agama dan mereka akan menamakannya dengan
bidah hasanah dan dengan perkataan tersebut bidah-bidah akan menjadi banyak dan semakin
bertambah dalam ibadah-ibadah yang disyariatkan, sehingga agama ini akan berubah dan akan
rusak sebagaimana rusaknya agama-agama terdahulu. Karena itu wajib bagi kita untuk menutup
semua pintu-pintu bidah sebagai usaha pemeliharaan terhadap agama dari berbagai
penyimpangan.
Kesembilan : Barangsiapa yang mengetahui bahwasanya Rasul Alaihi Sholatu Wa Sallam adalah
orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam berbicara dan
menjelaskan sesuatu, maka dia akan tahu pula bahwasanya sungguh telah terkumpul pada diri
beliau Alaihi Sholatu Wa Sallam kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran, bahwa beliau
memiliki kemampuan yang sempurna untuk menjelaskan kebenaran dan kesempurnaan kehendak
untuk itu. Dan bersamaan dengan kesempurnaan ilmu. Dengan Kemampuan dan kehendak
tersebut maka wajib adanya apa yang diinginkan/dituntut dalam bentuk yang paling sempurna.
Dengan demikian orang tersebut akan tahu bahwasanya perkataan beliau adalah perkataan yang
paling baliiqh (jelas), paling lengkap dan merupakan penjelas yang paling agung terhadap urusan
agama ini [Majmuuul Fataawaa 17/129]

Maraji:
1. Al Ibdaa fii Kamaalis Syari Wakhatharil Ibtidaa oleh Syaikh Utsaimin.
2. Al Luma fil Rudd Alaa Muhassiny Al Bida oleh Abdul Ayyum bin Muhammad As Sahibany
yang telah diterjemahkan menjadi buku Mengapa menolak bidah hasanah
3. Mukaddimah Shifat Sholat Nabi oleh Syaikh Albani.
[Diambil dari http://aliph.wordpress.com/2007/07/02/adakah-bidah-hasanah-seri-4/]

Você também pode gostar