Você está na página 1de 14

STRATEGI BUDAYA ISLAM DAN PERAN

DAI DALAM PENGEMBANGAN SENI


BUDAYA ISLAM

Disusun Oleh:
Anisah Nur Laila

(124100)

Luqman Abdullah

(12510031)

Fajar

(124100)

Egawita Dila

(124100)

Jihan Nabila

(124100)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang memiliki materi ajaran yang integral dan
komprehensif, disamping mengandung ajaran utama sebagai syari'ah, juga
memotivasi umat Islam untuk mengembangkan seni budaya Islam, yaitu seni
budaya yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Seni budaya memperoleh
perhatian yang serius dalam Islam karena mempunyai peran yang sangat
penting untuk membumikan ajaran utama sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
hidup umat manusia.
Al-Qur'an memandang seni budaya sebagai suatu proses, dan
meletakkan seni budaya sebagai eksistensi hidup manusia. Seni budaya
merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati
dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Seni budaya Islam adalah
hasil olah akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia yang berlandaskan
pada nilai-nilai tauhid. Hasil olah akal, budi, rasa, dan karsa yang telah
terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang
menjadi sebuah peradaban.
Tidak hanya dalam menyebarkan ajaran Islam, dalam mendidik pun
perlu menggunakan seni. Guru di kelas adalah bagai seorang pemain drama
yang dituntut untuk mampu menyajikan presentasi yang menarik. Oleh
karenanya, dalam penyiapan tenaga guru dan pendidik perlu mengadopsi
ketrampilan seni khususnya seni drama yang berkaitan dengan olah vokal,
mimik, ekspresi maupun pengaturan ruang kelas yang dnbaratkan sebagai
pentas.
Dalam konteks yang lebih luas, mengajar sebagai suatu seni lebih
mengarah pada suatu "nilai seni" yang memandang bahwa kesenian adalah
suatu hal yang berharga dalam kehidupan manusia. Artinya, seseorang yang
menjunjung nilai seni memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk

berhubungan dengan orang lain. Jadi sifat-sifat manusia seni adalah hidup
bersahaja, senang menikmati keindahan, gemar mencipta, dan mudah bergaul
dengan siapa saja.
Kondisi demikian sangat terkait dengan aktivitas mengajar yang biasa
dilakukan oleh pendidik di kelas. Pendidik dalam menyampaikan bahan ajar di
depan kelas sebaiknya tidak hanya menggunakan kata-kata belaka, melainkan
mampu merancang proses pembelajaran dengan model interaksi bervariasi.1
Berdakwah

menggunakan

seni,

dakwahnya

menjadi

sejuk.

Berkampanye menggunakan seni, menjadi damai, tenteram. Mengajar


menggunakan seni, menjadi menyenangkan. Oleh karena itu, pada makalah ini
akan dibahas mengenai Strategi Budaya Islam dan Peran Dai atau Guru
dalam mengembangkan Seni Budaya Islam .
B. Rumusan Masalah
1. Bagaminan pengertian seni budaya islam?
2. Bagaimana Strategi Budya Islam?
3. Bagaimana peran dai/guru dalam mengembangkan seni budaya islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian seni budaya islam.
2. Untuk mengetahui strategi budaya islam.
3. Untuk mengetahui peran dai/guru dalam mengembangkan seni budaya
islam.

Nur Saidah, Pendidikan Agama Islam dan Pengembangan Seni Budaya Islam, Jurnal
Pendidikan Agama Islam Vol. V, No. 1,2008, hal.44-49

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Seni Budaya Islam
Seni (Latin = Ars) berarti keahlian : (1) mengekspresikan ide-ide dan
pemikiran estetika, (2) mewujudkan kemampuan serta imajinasi penciptaan
(benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah). (3)
mewujudkan salah satu dari sejumlah pengekspresian yang dikategorikan
secara - konvensional - oleh manfaat yang ditimbulkan atau bentuk yang
dihasilkan (lukisan, patung, film, tari-tarian, hasil karya ekspresi keindahan,
kerajinan dll.) Seni termasuk bagian dari kebudayaan manusia.
Seni secara keseluruhan terbagi kepada : seni murni dan seni budaya.
Seni murni adalah seni yang lebih merujuk kepada estetika atau keindahan
semata. Seni yang digunakan dengan suatu cara yang khusus untuk berbagai
aktifitas, seperti: melukis, menggambar, mengkomposisi musik, atau membuat
sajak, yang merupakan aktifitas untuk menghasilkan karya, termasuk seni
murni. Seni budaya: berkenaan dengan keahlian untuk menghasilkan sesuatu
dalam bentuk tulisan, percakapan, dan benda bermanfaat yang indah.
Perpaduan estetika dengan kegunaan berfaedah, seperti : benda-benda dari
tembikar, hasil kerajinan logam, arsrtektur dan rancang iklan.
Menurut M. Quraish Shihab, Seni Budaya Islam diartikan sebagai
Ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam tentang alam,
hidup dan manusia yang mengantar menuju pertemuan sempurna antara
kebenaran dan keindahan (sesuai cetusan fitrah). Atau dengan bahasa yang
lebih mudah, seni budaya dalam pandangan Seyyed Hosen Nasr diartikan
sebagai keahlian mengekspresikan ide dan pemikiran estetika dalam penciptaan
benda, suasana atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah dengan
berdasar dan merujuk pada al-Qur'an dan Hadits. Meski merujuk kepada
sumber pokok Islam, akan tetapi Islam sendiri tidak menentukan bentuk dari
seni Islam melainkan hanya memberikan acuan dan arahan. Oleh karenanya
seni Islam bukanlah seni yang bersumber dari entitas tunggal yaitu kitab suci

saja, melainkan juga berkait erat dengan seni budaya yang berkembang pada
suatu masyarakat.2
B. Model Strategi Budaya Islam
Secara akademis, kita mengenal dua macam pendekatan untuk melihat
fenomena kebudayaan. Pendekatan pertama melihat kebudayaan dari luar ke
dalam. Pendekatan ini ingin melihat pengaruh lingkungan fisik terhadap
lingkungan sosial, dan bagaimana sitem simbol dan sistem nilai atau
pandangan hidup masyarakat. Sementara itu, pendekatan kedua melihat
kebudayaan dari dalam ke luar. Yaitu bagaimana sistem nilai mempengaruhi
pembentukan sistem simbol, dan bagaimana sistem simbol itu pada akhirnya
mempengaruhi sistem-sistem sosio-kultiral.
Dari dua pendekatan diatas, kita akan menggunakan cara yang kedua
untuk melihat kebudayaan islam di Indonesia. Singkatnya kita akan melihat
apa sesungguhnya sistem nilai di dalam Islam itu, terutama dalam
hubungannya dengan pembentukan sistem simbol, yaitu yang meliputi sistemsistem bahasa, seni, kesusastraan, mitos, ilmu pengetahuan, sejarah, dan
sebagainya.
Sistem nilai dan sistem sismbol islam
Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep
sentral yang berisi ajaran bahwa tuhan adalah pusat dari segala sesuatu dan
bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Dengan kata
lain, di dalam Islam, konsep mengenai kehidupan adalah konsep yang
teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan.
Sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Iman, yaitu
keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan
dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia. Ini berarti bahwa iman
harus selalu diaktualisasikan menjadi amal. Misalnya, pusat dari perintah zakat
adalah iman, keyaninan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah untuk
2

Nur Saidah, Pendidikan Agama Islam dan Pengembangan Seni Budaya Islam, Jurnal
Pendidikan Agama Islam Vol. V, No. 1,2008, hal.45-46

terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam islam, konsep


teosentris ternyata bersifat humanistik. Artinya, menurut islam, manusia harus
memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan
manusia sendiri.
Humanisme-teosentris menjadi tema sentral peradaban islam. Dari tema
ini muncul sistem simbol, sistem yang terbentuk karena proses dialektik antara
nilai dan kebudayaan. Dalam Al-Quran, kita mengenal adanya rumusan amar
maruf nahiy mungkar, yaitu perintah untuk menyeru kepada kebajikan dan
mencegah keungkaran. Dari rumusan itu kita melihat adanya dua proses yang
sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan
pembebasan.

Nahiy

mungkar,

atau

mencegah

kemungkaran,

berarti

membebaskan manusia dari semua bentuk kegelapan dalam pelbagai


manifestasinya. Sementara itu, amar maruf yang merupakan langkah
berangkai dari gerakan nahiy mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan
manusia kepada nur , kepada cahaya petunjuk Ilahi untuk mencapai keadaan
fitrah.
Gerakan pembebasan dan emansipasi ini sesungguhnya tumbuh dari
suatu prinsip dialektis lain yang disebut takzhiyah. Takziyah adalah usaha
rasional manusia beriman yang orientasi filosofisnya adalah humanisme
teosentris untuk selalu membersihkan diri atau meningkatkan kualitas
ruhaniyah

secara

terus

menerus.

Misalnya

tentang

makna

simbolis

pembangunan masjid. Ditengah-tengah budaya animistik, pembangunan masjid


berarti pembebasan manusia dari syirik, yaitu dari penyembahan kepada batubatu, angin, gunung, laut, pohon-pohon, ke arah penyembahan kepada tuhan
yang sesungguhnya. Pembangunan masjid berkembang menjadi lambang atau
simbol takziyah dalam konteks pembebasan dan emansipasi manusia untuk
Tuhan.
Sistem Budaya di Indonesia
Perlu diketahui bahwa dalam konteks budaya, Indonesia pernah
mengalami apa yang dinamakan dengan dualisme kebudayaan, yaitu antara

budaya keraton dan budaya populer. Dua jenis kebudayaan ini sering
dikategorikan sebagai kebudayaan tradisional. Perlu dijelaskan pula bahwa ada
tiga hal yang perlu diperhatikan untuk mengenal kebudayaan. Pertama, siapa
atau lembaga apa yang menciptakan kebudayaan. Kedua, bagaimana bentukbentuk kebudayaan tersebut yang diciptakan. Dan yang terakhir yaitu efek apa
yang ditimbulkan oleh kebudayaan.
Untuk konteks budaya keraton, kebudayaan tersebut dikembangkan
oleh abdi dalem ato pegawai istana. Raja berkepentingan menciptakan simbolsimbol budaya tertentu dengan tujuan untuk melestarikan kekuasaannya.
Biasanya kebudayaan yang diciptakan tersebut berupa mitos yang tertuang
dalam bentuk sastra seperti hikayat, babad, dan sebagainya yang isinya ceritacerita ajaib tentang kesaktian raja. Sesungguhnya efek yang hendak dicapai
oleh penciptaan simbol-simbol budaya mitologi ini dimaksudkan agar rakyat
loyal pada kekuasaan raja. Disamping mitos, budaya keraton juga
memproduksi sastra mistik guna mengukuhkan kekuasaan raja dan loyalitas
rakyat kepada raja.
Yang menarik adalah walaupun kebudayaan keraton didominasi budaya
Hinduisme yang sangat kuat, namun pengaruh Islam juga meninggalkan
pengaruhnya pula. Sebagai contoh, selain raja berasal dari keturunan dewa,
tetapi raja juga keturunan dari Nabi. Yang menjadi masalah disini yaitu, budaya
jawa yang diislamkan atau Islam yang dijawakan.
Dalam hubungannya dengan konsep tentang kekuasaan, adanya
perbedaan antara kebudayaan Jawa dan Islam. Dalam budaya Jawa dikenal
dengan konsep raja yang absolut,

sedangkan Islam menekankan konsep

mengenai raja yang adil. Apabila kraton jawa menekankan kekuasaan,


kebudayaan keraton di luar jawa lebih menekankan konsep keadilan. Satu hal
yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa budaya keraton di luar jawa
memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam.

Maka dari itu,

terdapat perbedaan antara konsep kebudayaan keraton dengan konsep


kebudayaan Islam kaitannya dengan kekuasaan.

Dapat disimpulkan bahwa, penerimaan yang dilakukan oleh keraton


jawa terhadap pengaruh Islam cenderung bersifat defensif. Yang artinya bahwa
kraton di jawa menerima pengaruh-pengaruh tertentu dari Islam selama
pengaruh-pengaruh tersebut dapat diadopsi untuk kekuasaan Raja di Jawa.
Inilah yang membedakan antara budaya keraton di jawa dengan budaya keraton
di luar jawa yang cenderung menerima sepenuhnya pengaruh Islam sebagai
unsur pembentuk yang utama.
Sedangkan yang disebut dengan budaya populer yaitu budaya rakyat
yang berada di luar keraton, dalam berhadapan dengan Islam. Sama dengan
budaya keraton, dalam budaya populer juga dikenal dengan cerita-cerita
mitologis dan mitos. Cerita sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam
misalnya, sampai-sampai ada orang yang mempercayai batu bekas sujudnya.
Cerita-cerita mengenai penyebaran Islam dalam masyarakat jawa banyak sekali
diwarnai oleh mitologi-mitologi atau mitos, begitu juga di luar pulau jawa.
Walaupun pengaruh budaya populer awalnya berwarna mistis, tetapi
dalam perkembangannya kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali
menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam sehingga seringkali tampak
bahwa Islam muncul sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan
populer di Indonesia. Sebagai contoh upacara pangiwahan dalam budaya
jawa, upacara ini mempunyai maksud agar manusia menjadi wiwoho atau
dalam bahasa Indonesianya mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia
ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai
makhluk yang mulia.
Jelaslah sudah bahwa dalam budaya populer di Indonesia, khususnya
jawa dan Sumatra, pengaruh Islam sangatlah terasa. Oleh karena itu tidaklah
berlebihan jika kita mengatakan bahwa budaya Islam sesungguhnya justru
terdapat dalam budaya populer kita. Dapat disimpulkan kembali bahwa budaya
keraton khususnya di jawa menunjukkan sikap sinkretik terhadap pengaruh
Islam akibat masih kuatnya keinginan untuk mempertahankan tradisi praIslam. Di segi lain, bahwa budaya kerakyatan atau yang disebut dengan budaya
populer, sepenuhnya dipengaruhi oleh islam. Meskipun masih sering dijumpai

dengan sifat-sifat mistis, namun pengaruh Islam hampir mendominasi corakcorak budaya populer khususnya di jawa dan sumatra.
Strategi pengembangan budaya Islam
Stretegi berasal dari bahasa yunani; stratos yang artinya pasukan dan
agein yang artinya memimpin. Jadi strategi berarti hal memimpin pasukan,
ilmu tentang perang. Namun pengertian tersebut lama-lama berkembang.
Kompleksitas dalam kehidupan manusia membuat manusia meluaskan paham
dan pengertian tentang strategi. Strategi bukanlah paham disaat terjadi
peperangan. Strategi pada hakekatnya menjadi berarti: hal-hal yang berkenaan
dengan cara dan usaha menguasai dan mendayagunakan segala sumberdaya
masyarakat, suatu bangsa, untuk mencapai tujuan.3
Kebudayaan adalah seluruh proses perkembangan hidup manusia di
dunia dan dalam sejarah. Kebudayaan itu intinya adalah kehidupan dan
kemanusiaan. Hidup dan manusia adalah pusat dan inti kebudayaan.
Perkembangan ilmu-ilmu kebudayaan akhirnya telah bermuara pada konsep
antropologis.

Kebudayaan

berkenaan

dengan

kemanusiaan,

bahkan

kemanusiaan adalah titik intinya. Ini berarti bahwa kebudayaan adalah proses,
gerak humanisasi.4
Fokus dari strategi adalah kekuatan. Maka strategi kebudayaan dengan
sendirinya memandang kebudayaan sebagai kekuatan. Kebudayaan sebagai
kekuatan yang dimaksud disini adalah human resourc potential atau
sumberdaya manusia. Selain itu jika manusia adalah titik inti kebudayaan,
kalau humanisasi adalah karekter utama kebudayaan, maka apa yang
dinamakan strategi kebudayaan haruslah selalu didukung oleh studi dan
analisis antropologis. Humanisasi adalah kerangka dasar dari strategi
kebudayaan.5
Sesungguhnya kebudayaan Islam adalah kebudayaan Al-Quran, karena
definisi, struktur, sasaran, dan metode untuk mencapai sasaran itu semuanya
3

Ali Murtopo. Strategi kebudayaan, ( Yayasan Proklamasi: Jakarta, 1978) hlm. 7-8
Ibid, hlm. 9-10
5
Ibid, hlm. 11-12
4

berasal dari rangkaian wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam AlQuran dijelaskan mengenai gagasan tentang manusia dan makhluk hidup
lainnya, tantang pengetahuan, lembaga, sosial, politik, ekonomi, yang
dibutuhkan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Tanpa wahyu, kebudayaan
tak mungkin hidup. Tanpa wahyu tak akan ada agama Islam, negara Islam,
filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam, politik dan organisasi Islam.
Selama ini topik yang sering menjadi agenda penting untuk perumusan
strategi kebudayaan islam di Indonesia adalah topik mengenai dikotomi antara
budaya Islam santri dan abangan. Tetapi menurut kuntowijoyo, antara
keduanya justru tidak dapat dibedakan , apalagi pada masa sekarang ini antara
kebudayaan priyayi dan kebudayaan wong-cilik, antara budaya istana dan luar
istana, hampir-hampir tidak dapat dipisahkan akibat terjadinya proses
perubahan sosial yang besar di Indonesia. Dalam proses perubahan sosial,
terjadi keruntuhan yang tragis pada kebudayaan keraton dan mengalami
penurunan menjadi budaya masyarakat. Kebudayaan keraton tidak lagi menjadi
kebudayaan yang khas tetapi cenderung menjadi bagian dari budaya
masyarakat. Misalnya, Tari bedoyo kini cenderung kehilangan nilai sakralnya,
yang ada hanya nilai pertunjukkan belaka. Budaya wayang, meskipun masih
dianggap memiliki nilai sakral, namun kini cenderung hanya masih menjadi
bagian dari budaya populer.
Sementara di lingkungan kebudayaan luar istana juga mengalami
pergeseran yang mengakibatkan hilangnya jarak antara santri dan abangan.
Terjadinya mobilitas sosial, mobilitas budaya dan mobilitas agama telah
menyebabkan tidak dapat menarik garis dikotomi antara kedua kelompok islam
populer itu. Sementara di lingkungan abangan terjadi peningkatan kesadaran
agama akibat proses dakwah yang dilakukan organisasi-organisasi Islam,
terjadi pula penurunan tradisi kesantrian di lingkungan budaya santri. Banyak
anak-anak kaum santri yang tidak lagi dimasukkan ke pondok pesantren tapi ke
sekolah-sekolah nonagama, berbaur dengan anak-anak kaum santri abangan.
Kinti telah tumbuh generasi baru yang muncul dari perbauran subkultur santri

dan abangan dengan basis agama yang tak terlalu jauh berbeda, kalau tidak
dikatakan sama.
Pemisahan dikotomi antara budaya populer Islam santri dan abangan
kini tidak lagi realstis. Proses perubahan sosial yang besar yang terjadi selama
beberapa puluh tahun terakhir ini, menyebabkan jarak budaya antara kaum
santri dan abangan makin lama makin melenyap. Yang terjadi justru
munculnya generasi baru Islam populer yang sedang mencari format baru
dalam dunia modern.
Kebudayaan islam populer tradisional yang memiliki akar sejarah
cukup di Indonesia sesungguhnya masih mendukung penciptaan simbol-simbol
baru untuk disusunnya format budaya Islam di masa depan. Bentuk-bentuk
kebudayaan lama seperti festival-festival kerakyatan, kesenian, dan ekpresiekspresi artistik tradisional, masih sangat fungsional untuk mendukung
diciptakannya budaya islam yang baru. Dalam konteks ini, maka jika hendak
membangung kebudayaan Islam yang modern kita harus mempertimbangkan
pentingnya potensi tradisional.6
C. Peran dai/ guru dalam mengembangkan seni budaya islam
Paran dai/guru mengembangkan Islam di Jawa bertindak sebagai:
a. Penganalisis budaya (cultural analysis)
Penganalisis budaya berarti, lebih dulu menelusuri persamaanpersamaan simbolis pada berbagai unsur budaya (Islam dan lokal) yang
akan dijadikan jembatan.
b. Penafsir budaya (cultural interpretation)
Penafsir budaya: menjadi penafsir budaya setempat. Simbol-simbol
yang sangat kuat uratnya, tidak diganti, tapi diberi roh Islam,misal upacara
slametan, pemimpin slametan tidak membaca mantera, tapi doa.
sedangkan upacara slametan tetap berlangsung. Kegemaran pada
pertunjukan wayang pada masyarakat Jawa- maka dibuatkan lakon
carangan (lakon yang bukan berasal dari pakem (Bharatayuda dan
6

Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi,(Bandung : Penerbit Mizan,


1993), hal.237-238

Ramayana)) seperti Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk dadi Ratu dan
sebagainya.
c. Penyelaras budaya (cultural synthesizer).
Penyelaras budaya: melengkapi seni budaya yang ada: di Jawa
misalnya masyarakatnya dibuatkan tembang/nyanyian

mocopat (Mijil,

Kinanti, Sinom, Asmaradana, Megatruh,dan Pocung) selain tembang


Tengahan dan Tembang Gede yang sudah ada sebelumnya. Demikian juga
nasehat dan zikir dilantunkan dengan irama lokal: selawatan angguk,
rodat, tombo ati.
d. Penemu budaya (cultural inovator)
Penemu budaya: memunculkan budaya baru: budaya santri,
arusnya dari bawah, naik ke atas.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seni Budaya Islam diartikan sebagai Ekspresi tentang keindahan wujud
dari sisi pandangan Islam tentang alam, hidup dan manusia yang mengantar
menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan
Kebudayaan islam populer tradisional yang memiliki akar sejarah cukup di
Indonesia sesungguhnya masih mendukung penciptaan simbol-simbol baru untuk
disusunnya format budaya Islam di masa depan. Bentuk-bentuk kebudayaan lama
seperti festival-festival kerakyatan, kesenian, dan ekspresi-ekspresi artistik
tradisional, masih sangat fungsional untuk mendukung diciptakannya budaya
islam yang baru. Dalam konteks ini, maka jika hendak membangun kebudayaan
Islam yang modern kita harus mempertimbangkan pentingnya potensi tradisional.

DAFTAR PUSTAKA
Saidah, Nur. Pendidikan Agama Islam dan Pengembangan Seni Budaya Islam,
Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. V, No. 1,2008,
Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi. Bandung :
Penerbit Mizan
Murtopo, Ali. 1978. Strategi kebudayaan. Jakarta: Yayasan Proklamasi

Você também pode gostar