Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan.
Hidung mempunyai beberapa fungsi antara lain sebagai indra penghidu, menyiapkan
udara inhalansi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi reflek tertentu pada paru-paru
dan memodifikasi bicara.
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu
diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid
hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk
mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui anamnesa pasien dengan
gangguan hidung dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya yang sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan
dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga didalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
1.2 Tujuan
Tujuan umum dari penulisan laporan ini adalah untuk dapat lebih mengetahui atas
anatomi, fisiologi, anamnesis, pemeriksaaan fisik dan dua penyakit terbanyak pada hidung
beserta sinus paranasal. Tujuan khususnya adalah sebagai pemenuhan tugas refreshing
kepaniteraan sistem THT.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI DAN EMBRIOLOGI HIDUNG
1. Embriologi Hidung
Katup hidung merupakan struktur tersempit dari saluran pernapasan atas.
Menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas. Sinus paranasal berasal dari
invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 4
bulan. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia 15 18 tahun.
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan
anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala
berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian
dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang
dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk rongga-rongga yang disebut sebagai
sinus.
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional
anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang
terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah
frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung
pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang
hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan
perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih
sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu
membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,
mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media.
Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula
ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada
usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior
yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang
berasal dari bagian dasar meatus superior.
Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu, dinding lateral
hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah
sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus
etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid, dan sinus frontal.
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu
diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau
piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi
hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan
dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge)
2) dorsum nasi
3) puncak hidung
4) ala nasi
5) kolumela
6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1) tulang hidung (os nasalis)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor,
3) beberapa pasang kartilago alar minor dan
4) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
5
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan
dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konkakonka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung dan
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Infundibulum ethmoid
Perkembangan infundibulum mendahului sinus. Dibentuk oleh struktur yang kompleks.
Dinding anterior dibentuk oleh processus uncinatus, dinding medial dibentuk oleh processus
frontalis os maxila dan lamina papyracea. Infundibulum etmoid adalah terowongan tiga
dimensi yang menghubungkan ostium natural sinus maksilaris dengan meatus medius
melalui hiatus semilunaris.
Batas-batas infundibulum etmoid
Prosesus uncinatus
Merupakan sebuah lamina yang melengkung pada os etmoid, yang menjorok
kebawah dan kebelakang dan dibentuk oleh bagian kecil dari dinding medial sinus
maxilaris, dan dihubungkan dengan processus etmoid dari konka nasal inferior.
Resesus frontalis
Merupakan ruang antara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang menuju ke
aliran sinus. Bagian anterior dibatasi oleh sel ager nasi, superior oleh sinus frontalis,
medial oleh konka medial dan bagian lateral oleh lamina papyracea.
Bula ethmoid
`
Terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral/ inferiornya, dan tepi superior
procesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior
terbesar. Arteri etmoid anterior menyilang terhadap atap sel ini. Bulla etmoid merupakan
salah satu sel etmoid anterior yang paling konstan dan paling besar. Di superior, dinding
anterior bulla etmoid dapat meluas sampai ke basis kranii dan membentuk batas posterior
dari resesus frontalis. Bila bulla etmoid tidak mencapai basis kranii, maka akan terbentuk
resesus suprabullar antara basis kranii dengan permukaan superior dari bulla. Di
posterior, bulla bertautan langsung dengan lamina basalis atau terdapat ruang antara bulla
dan lamina basalis yang disebut resesus retrobullar.
Sel-sel ethmoid anterior
Sel dibagian anterior menuju lamella basal. Pengalirannya ke meatus medial
melalui infundibulum etmoid. Termasuk sel ager nasi, bulla etmoid dan sel-sel anterior
lainnya.
Hiatus semilunaris
Hiatus semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit terletak antara posterior
tepi bebas prosesus unsinatus dengan dinding anterior bulla etmoid.
Ostium sinus maksilaris
Ostium naturalis sinus maksilaris mengalirkan sekretnya ke dalam infundibulum.
Ostium ini terletak di dinding medial sinus maksilaris sedikit ditepi bawah lantai orbita.
Van Alyea melaporkan bahwa 10% ostium maksilaris berada di 1/3 superior, 25% berada
di 1/3 tengah dan 65% berada di 1/3 bawah dari infundibulum. Ostium aksesoris sinus
maksilaris ditemukan pada 20% - 25% kasus.
Ostium naturalis sinus maksilaris berbentuk bulat sedangkan ostium aksesoris biasanya
berbentuk elips dan berada di posterior ostium naturalis.
Sel agger nasi
Sel ager nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel etmoid anterior.
Terletak agak ke anterior dari perlekatan anterosuperior konka media dan anterior dari
resesus frontal. Sel ager nasi yang membesar dapat meluas ke sinus frontal dan
menyebabkan penyempitan resesus frontal.
Batas-batas sel agger nasi
Pada area ini, permukaan mukosanya sangat dekat, kadang-kadang bahkan dapat
terjadi kontak antar mukosa yang menyebabkan penumpukan sekresi. Silia dengan
gerakan menyapunya dapat mendorong sekret hidung. Jika mukosa yang melapisi daerah
10
ini menjadi meradang dan bengkak, pembersihan mukosiliar dapat terhambat, yang
akhirnya menghalangi sinus-sinus di kepala.
Beberapa penulis membagi kompleks osteomeatal menjadi bagian anterior dan
posterior. Kompleks osteomeatal klasik digambarkan sebagai kompleks osteomeatal
anterior, sedangkan ruang di belakang lamella basalis yang mengandung sel-sel
ethmoidal posterior disebut sebagai kompleks ethmoidal posterior, sehingga mengakui
pentingnya lamella basalis sebagai landasan anatomi pada sistem ethmoidal posterior.
Oleh karena itu kompleks osteomeatal anterior dan posterior memiliki sistem drainase
yang terpisah. Jadi, ketika penyakit ini terbatas pada kompartemen anterior dari kompleks
osteomeatal, sel-sel ethmoid dapat dibuka dan jaringan yang sakit dapat dibuang sejauh
lamella basalis, meninggalkan lamella basalis tanpa gangguan serta meminimalkan risiko
selama operasi.
Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna membersihkan
KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran drainase ke bagian
belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus, meskipun kita biasanya
tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan itu sering dikenal sebagai
dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di tenggorokan dikenal dengan nama
post-nasal drip.
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara
saluran dari sinus maksilaris, sinus frontal, sinus sphenoid dan sinus etmoid. Daerah ini
rumit dan sempit, dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari infundibulum
etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid, selsel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris.
Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna
membersihkan KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran
drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus, meskipun
kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan itu sering
dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di tenggorokan
dikenal dengan nama post-nasal drip.
11
3. Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari
a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada
bagian
depan
septum
terdapat
anastomosis
dari
cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.
12
4. Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion
sfenopalatinum,
selain
memberikan
persarafan
sensoris,
juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
13
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung n.olfaktoirus.
Mebrana olfaktoria terletak pd celah sempit pada bagian superior rongga hidung
Membran olfaktoria terdiri dari 3 lapis : lapisan penunjang, lapisan sel-sel reseptor, dan
lapisan sel basal
5. Histologi Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah
epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid.
14
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler
dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah
mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom.
Mukosa sinus paranasal berhubungan dengan mukosa rongga hidung di daerah
ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis dan
pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan
terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia
dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar non ciliated
epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
6. Sinus Paranasal
Maxila sinus
15
B. FISIOLOGI HIDUNG
1. Sebagai Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra Penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat.
zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang
berada pada permukaan membrane.
5. Resonansi Suara
17
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7.
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pancreas.
18
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya,
sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
C. CARA PEMERIKSAAN
a. Anamnesis :
Keluhan utama penyakit atau kelainan di hidung adalah :
1. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung dapat terjadi oleh beberapa factor. Sumbatan terjadi terus
menerus atau hilang timbul, pada satu atau kedua lubang hidung, apakah
sebelumnya ada riwayat kontak dengan bahan allergen seperti debu, tepung sari,
bulu binatang, trauma hidung, pemakaian obat tetes hidung dekongestan untuk
jangka waktu lama, perokok atau peminum alkohol, apakah mulut dan
tenggorokkan merasa kering.
2. Secret di hidung dan tenggorokkan
Keluarnya secret pada satu atau kedua lubang hidung. Konsistensi secret, encer,
bening, kental, nanah atau darah. Apakah secret keluar pada pagi hari atau pada
waktu-waktu tertentu misalnya pada musim hujan. Sekret hidung yang disebabkan
karena infeksi hidung biasanya bilateral, jernih sampai purulen. Sekret yang jernih
seperti air dan jumlahnya banyak khas untuk alergi hidung. Bila sekretnya kuning
kehijauan biasanya berasal dari sinusitis hidung dan bila bercampur darah dari
satu sisi, hati-hati adanya tumor hidung. Pada anak bila secret yang terdapat hanya
satu sisi dan berbau, sebaiknya curiga akan adanya benda asing dihidung.
3. Bersin
Bersin yang berulang-ulang merupakan keluhan pada alergi hidung. Perlu
ditanyakan apakah bersin ini timbul bila menghirup sesuatu. Apakah juga diikuti
keluar secret yang encer dan rasa gatal di hidung, tenggorok, mata, dan telinga.
4. Rasa nyeri di daerah muka dan kepala
Rasa nyeri di daerah muka dan kepala yang ada hubungannya dengan keluhan di
hidung. Nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi, dan tengah kepala dapat
merupakan tanda-tanda sinusitis. Rasa nyeri atau rasa berat ini dapat timbul bila
20
menundukkan kepala dan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa
hari.
5. Perdarahan dari hidung
Epistaksis dapat berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Perdarahan dapat berasal dari satu atau kedua lubang hidung. Sudah berapa kali
dan apakah mudah dihentikan dengan memencet hidung saja. Apakah ada riwayat
trauma hidung/muka sebelumnya dan menderita penyakit kelainan darah,
hipertensi, dan pemakaian obat-obat antikoagulansia.
6. Gangguan penghidu
Ini dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang (hiposmia). Perlu
ditanyakan apakah sebelumnya ada riwayat infeksi hidung, sinus, trauma kepala
dan keluhan ini sudah berapa lama.
b. Pemeriksaan Hidung Dan Sinus Paranasal
Ada 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung dan sinus
paranasalis, yaitu :
1. Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi.
2. Rinoskopia anterior.
3. Rinoskopia posterior.
4. Transiluminasi (diaphanoscopia).
5. X-photo rontgen.
6. Pungsi percobaan.
7. Biopsi.
8. Sinoskopi
1. Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung &
sinus paranasalis, yaitu :
1. Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
2. Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
3. Bibir atas.
21
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan
pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
1. Lorgnet pada abses septum nasi.
2. Saddle nose pada lues.
3. Miring pada fraktur.
4. Lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di
tempat tersebut. Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan
inspeksi hidung & sinus paranalis.
Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis. Ada
4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus
paranasalis, yaitu :
1. Dorsum nasi (batang hidung).
2. Ala nasi.
3. Regio frontalis sinus frontalis.
4. Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi
hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis. Ala nasi
penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat kita temukan pada
furunkel vestibulum nasi.
Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu :
1. Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan
simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai
bila kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang
lebih sakit berarti sinus tersebut patologis.
2. Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan
simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung
22
24
25
3. Rinoskopi Posterior
Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan dinding
nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam nasofaring.
Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu:
1. Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring untuk
menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien tetap
berada dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan bantuan
spatula (spatel).
2. Penempatan cahaya. Harus ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring milik
pasien sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin dapat masuk dan
menerangi nasofaring.
3. Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
1. Cermin kecil.
2. Spatula.
3. Lampu spritus.
4. Solusio tetrakain (- efedrin 1%).
Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopi posterior, yaitu :
1. Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan
menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan
punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan.
2. Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan
digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.
3. Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung
lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan
lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam
nasofaring pasien.
26
4. Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole
kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala.
5. Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu
tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu 5 menit.
Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :
Tahap 1 : pemeriksaan tuba kanan.
Tahap 2 : pemeriksaan tuba kiri.
Tahap 3 : pemeriksaan atap nasofaring.
Tahap 4 : pemeriksaan kauda konka nasi inferior.
Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan
Posisi awal cermin berada di paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan
kauda konka nasi media kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan akan
tampak margo posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan, berturutturut akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda konka nasi
superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba.
Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri
Tangkai cermin kita putar ke medial, akan tampak kembali margo posterior septum nasi
pasien.Tangkai cermin terus kita putar ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan dan
tuba kanan.
Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring
Kembali kita putar tangkai cermin ke medial. Tampak kembali margo posterior septum
nasi pasien.Setelah itu kita memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin
sedikit lebih dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan.
Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior
Kita memeriksa kauda konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau
tangkai cermin sedikit direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali
27
mengalami hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul). Ada 2 kelainan
yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu :
1. Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi superior, adenoiditis,
dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC).
2. Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma.
Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu :
1. Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula.
2. Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah.
3. Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.
Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah seoptimal
mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada diri pasien.
Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat jelas oleh pemeriksa.
Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan kepala pasien
berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke pangkal lidah apalagi
sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks muntah.
Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada dibawah
spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas dagu sedangkan jari V
dibawah dagu pasien. Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia
posterior ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang memegang cermin
kecil, tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi cahaya dari lampu kepala yang akan
menyinari cermin dalam faring, dan kejelian mata kita melihat bayangan pada cermin kecil
dalam faring.
Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi pasien. Mereka
harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka. Ada beberapa pasien yang
memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita buat. Kita bisa memberikannya
tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.
Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada beberapa pasien
karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah. Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu
28
dingin. Cermin yang terlalu panas menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin
menimbulkan kekaburan pada cermin yang mengganggu penglihatan kita.
Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai menyentuh faring
pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini.
4. Transiluminasi (Diaphanoscopia)
Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya ruangan
yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt dan bertangkai
panjang (Heyman). Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati
sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja berbeda.
Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita
menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang memancar ke
depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan
sinus frontalis tampak terang.
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus
maksilaris, yaitu :
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo
inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan
tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral
berwarna terang.
29
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah
diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita
tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan
tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang
berbentuk bulan sabit.
alergen spesifik tersebut. Menurut ARIA 2001, merupakan kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin,rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
b. Patofisiologi
Reaksi alergi dibagi 2, yaitu rekasi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase
lambat. Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai
1 jam setelahnya. Sedangkan rekasi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48
jam. Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap allergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13.
IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi immunoglobulin E
(Ig E). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E
dipermukaan sel mastosit atau basofil sehingga ke dua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama
histamin. Selain histamine juga dikeluarkan prostaglandin D2, leukotrien D4,
leukotrien C4, bradikinin, PAF, sitokin. Inilah yang disebut rekasi alergi tipe
cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
31
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rhinore. Gejala lain hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
32
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
berseri (SET), uji cukit dan uji gores. Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua
uji kulit sama. Uji SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain allergen penyebab juga dapat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan.Diagnosa
biasanya
ditegakkan
dengan
diet
eliminasi
dan
provokasi.Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu dalam uji provokasi, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari selanjutnya diamati reaksinya.
33
d. Penatalaksanaan
-
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya dan eliminasi.
Simtomatis
1. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1 yang bekerja
pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat kombinasi dengan dekongestan secara peroral atau tanpa
kombinasi. Antihistamin dibagi 2 kelompok yaitu generasi ke-1 bersifat
lipofilik yang menembus sawar darah otak dan plasenta sehingga
mempunyai efek kolinergik, sedangkan generasi ke-2 bersifat lipofobik
sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Preparat agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun
pemakaian
topikal
hanya
untuk
menghindari
terjadinya
rhinitis
Imunoterapi
Desensitisasi dan hiposensitisasi cara pengobatan ini dilakukan pada alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
34
e. Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ;
1. Polip Hidung
2. Otitis Media yang sering residif
3. Sinus paranasal
2. SINUSITIS
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan di seluruh dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasl. Umumnya disertai
atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya adalah
salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti
oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan
maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat dengan akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
35
dyskinesia silia seperti pada sidroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab adenoid
merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi
untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid
dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam KOM. Mucus juga mengandung
substansi antimicrobial daan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan
ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini
disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia, dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa
36
menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada
keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
klasifikasi
Consensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan
batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Consensus tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3
bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor
predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (20-40%), Hemophylus influenzae (20-40%), dan
Moraaxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri
yang ada lebih condong kea rah bakteri gram negative dan anaerob.
Sinusitis Dentogen
Merupakan, salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Dasar sinus maksila prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga
rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan
kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi apical akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan
limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulent dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
37
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik
yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila.
Gejala Sinusitis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal
drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa ditempat lain (referred pain). Nyeri
pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata
menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis
frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata
dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan
telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Diagnosis
38
Terapi
39
pemanasan
(diatermi). Antihistamin
tidak
rutin
diberikan,
karena
sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat,
sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz
displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang
berat.
Tindakan Operasi
Badan Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir
semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan
tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
40
Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat;
sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotic.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata.
Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan maksila. Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul
adalah edema subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernous.
Kelainan intracranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,
abses otak, dan thrombosis sinus kavernous.
41
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta, 1997
Guyton, AC, Hall, JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan, ed. 9,
1997, Jakarta: EGC
Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta, 2004
Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates, Jakarta, 1994.
Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher edisi 7, FK UI, 2012.
Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga
Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
42
Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit Media Aesculapius FK-UI
2000
43