Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
melekat pada manusia, budaya sebagai sistem yang mengatur interaksi mereka sedangkan
bahasa adalah sistem yang berfungsi sebagai media berlangsungnya interaksi itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang perlu dicatat adalah bahwa bahasa dan
budaya memiliki ralasi yang kuat. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling
memengaruhi. Menurut penulis ada dua hal penting yang patut diutarakan terkait dengan
relasi bahasa dan budaya. Pertam, keduanya sebagai sistem atau konsep nilai yang memiliki
peran vital dalam kehidupan ini. Nilai-nilai budaya terdapat dalam bahasa dan nilai-nilai
bahasa juga terdapat dalam budaya. Dengan demikian, ketika sebuah bahasa diungkapkan
dalam budaya yang berbeda maka akan mengandung nilai yang berbeda. Misalnya, kata
kelem dalam bahasa halus Madura yang berarti menginap akan berbeda nilainya ketika
diungkapkan di luar Madura, karena perbedaan budaya. Begitu juga sebaliknya, sebuah
budaya jika dibahasakan dengan bahasa daerah lain akan memiliki nilai yang berbeda pula,
semisal budaya kerrapan sapeh (kerapan sapi) di Madura dibahasakan dengan bahasa jawa
atau reog di Ponorogo yang telah dibahasakan dengan bahasa Malaysia.
Kedua, keduanya sebagai kunci pengetahuan karakter masyarakat. Artinya, bahasa dan
budaya akan mengilustrasikan karakter masyarakatnya. Lindgren (1973) menyatakan bahwa
orientasi pengkajian bahasa dan budaya adalah untuk mengetahui lebih dalam pola dan nilai
sebuah masyarakat. Bahkan, keduanya dianggap sebagai ciri paling kuat untuk mendalami
karakter dalam masyarakat. Jadi, untuk mengetahui secara komprehensif karakter masyarakat
Madura misalnya terlebih dahulu harus mempelajari bahasa dan budayanya. Asumsi ini
secara tidak langsung menafikan generalisasi publik tentang budaya kasar masyarakat
Madura, karena asumsi demikian tidak memiliki dasar yang kuat.
Kalau kita kaitkan dengan tema tulisan ini, maka jelas bahasa engghi-bhunten mengandung
nilai yang tidak didapati dalam bahasa-bahasa lain dan di budaya-budaya lain. Bahasa
engghi-bhunten sebagai bahasa terhalus, paling tidak akan mencerminkan budaya santun dan
budaya halus masyarakat Madura dalam kapasitasnya sebagai masyarakat pesisir.
Oleh karena itu, bahasa engghi-bhunten harus dijaga dan dilestarikan karena pelestariannya
merupakan salah satu langkah konkret pelestarian budaya Madura. Terlebih pasca konflik
Sambas (Kalimantan Barat, 1996/1997-1999), Sampit (Kalimantan Tengah) pada minggu
ketiga Februari 2001, Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalan Bun, di mana sampai saat
ini masyarakat Madura telah diklaim sebagai orang kasar, beringas dan menakutkan. Untuk
menghilangkan klaim tersebut, dibutuhkan kometmen dan semangat baru dari masyarakat
Madura, mulai dari pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, dan masyarakat secara umum
untuk membudayakan kembali bahasa engghi-bhunten sebagai salah satu cara untuk
menampilkan citra Madura yang lebih baik.
Sebentar lagi jembatan yang menghubungkan Surabaya-Madura (Suramadu) akan segera
rampung. Sudah bisa diprediksi bahwa suramadu di samping akan memudahkan transportasi
dan komunikasi juga akan memberikan ruang besar masuknya arus globalisasi dan
modernisasi yang besar kemungkinan akan membawa bahasa dan budaya yang beragam. Jika
tidak ada persiapan sejak dini maka dipastikan bahasa dan budaya asli Madura akan
digantikan oleh bahasa dan budaya produk keduanya.
Akhiron, akankah kita sebagai masyarakat Madura rela jika kata engghi diganti dengan oke
boz, abdhina dengan aye, panjenengan dengan you, mator sakalangkong dengan
matur suwun, atau budaya kerapan sapeh diganti dengan balap mobil dan motor GP, sapeh
sono dengan goyang patah-patah, dan semacamnya. Penulis pribadi tidak akan berterima
dengan kondisi demikian, karena sama saja dengan menjual hargi diri dan keperibadian kita
sendiri. P.W.J Nababan (1993) pernah mensinyalir: kehilangan bahasa dan budaya sama
halnya dengan kehilangan kesanggupan kita sebagai mahluk sosial, dengan kata lain
kehilangan sifat kemanusiaan kita.