Você está na página 1de 3

Bahasa Engghi-Bhunten

dan Budaya Masyarakat Madura


Oleh: Tirmidzi*)
Beberapa tahun terakhir, modernisasi dan globalisasi menjadi tema menarik yang sering
diperdebatkan, terutama oleh kaum budayawan. Alasan utamanya, karena keduanya di
samping membawa dampak positif terhadap perkembangan dan pembangunan Negara ini,
juga membawa dampak negatif. Termasuk di dalamnya, keduanya telah memarjinalkan
budaya-budaya asli atau budaya daerah. Budaya-budaya yang dilestarikan dan dijaga oleh
masyarakat menjadi pudar bahkan terpinggirkan oleh budaya-budaya baru yang kurang jelas
nilai historisnya.
Salah satu budaya yang telah pudar adalah budaya berbahasa engghi-bhunten bagi
masyarakat Madura. Bahasa engghi-bhunten merupakan bahasa terhalus di Madura setelah
bahasa engghi-enten sebagai bahasa tingkat pertengahan dan enje-iye sebagai bahasa
tingkatan paling kasar. Dalam tradisi Madura, bahasa engghi-bhunten setingkat dengan
bahasa kromo inggil dalam tradisi Jawa.
Dalam implementasinya, bahasa engghi-bhunten biasanya digunakan untuk berkomunikasi
dengan orang yang lebih tua dan orang yang dihormati, semisal dari anak ke orang tua, santri
ke kiai, murid ke gurunya, staff ke atasannya dan sejenisnya. Sebagai contoh, kata
panjennengngan atau ajunan yang berarti kamu digunakan untuk memanggil seorang kiai
oleh para santrinya, dan kata abdhina untuk diri sendiri ketika berbicara dengan yang lebih
terhormat. Tapi ironisnya, bahasa demikian kini telah merosot untuk tidak mengatakannya
telah mati.
Menurut penulis, ada beberapa hal mendasar yang menyebabkan bahasa engghi-bhunten di
Madura menjadi pudar. Pertama, minimnya tenaga ahli yang mampu bertutur dengan bahasa
engghi-bhunten. Salah satu pengasuh pondok pesantren di Sumenep, KH. Baidlawi, pernah
menuturkan bahwa di zaman yang terus berkembang ini makin sulit menemukan sosok yang
ahli dalam berbahasa Madura halus. Kedua, minimnya dokumentasi yang menghimpun
khazanah kekayaan bahasa Madura. Prof. Dr. Mien Ahmad Rifai mencatat bahwa dalam
setengah abad terakhir ini hampir tidak ada tulisan atau buku yang ditulis dalam bahasa
Madura, sehingga bahasa Maduratermasuk bahasa engghi-bhuntentidak bisa diakses
oleh masyarakat luas. Ketiga, hilangnya kebanggaan dan rendahnya komitmen penutur
bahasa engghi-bhunten. Dalam hal ini dapat dilihat dari fenomena kaum muda yang sudah
banyak berinteraksi dengan ragam budaya luar dimana mereka cenderung memilih bahasa
luar dan meninggalkan bahasa daerahnya.
Jika hal demikian dibiarkan, maka dapat dipastikan prediksi Achmad Zaini Makmunstaf
ahli Balai Bahasa Surabayatentang matinya bahasa Madura pada tahun 2024 akan menjadi
kenyataan, lebih-lebih bahasa engghi-bhunten. Bukan hanya itu, lebih ironis lagi adalah
matinya bahasa daerah akan membunuh nilai-nilai budaya daerah dimaksud, karena bahasa
dengan budaya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan.
Relasi Bahasa dengan Budaya
Para sosiolog, budayawan dan ahli bahasa berbeda pendapat mengenai relasi bahasa dengan
budaya, apakah relasi itu bersifat koordinatif atau subordinatif. Koentjaraningrat (1992)
berasumsi bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa
berada di bawah lingkup kebudayaan. Ada pula yang berasumsi bahwa antara bahasa dan
budaya adalah fenomena yang berbeda dan sederajat dalam tingkatannya, sehingga hubungan
keduanya adalah koordinatif sebagaimana disebutkan oleh Fishman (1987). Bukan hanya itu,
Masinambouw (1985) menyatakan bahwa bahasa dan budaya merupakan dua sistem yang

melekat pada manusia, budaya sebagai sistem yang mengatur interaksi mereka sedangkan
bahasa adalah sistem yang berfungsi sebagai media berlangsungnya interaksi itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang perlu dicatat adalah bahwa bahasa dan
budaya memiliki ralasi yang kuat. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling
memengaruhi. Menurut penulis ada dua hal penting yang patut diutarakan terkait dengan
relasi bahasa dan budaya. Pertam, keduanya sebagai sistem atau konsep nilai yang memiliki
peran vital dalam kehidupan ini. Nilai-nilai budaya terdapat dalam bahasa dan nilai-nilai
bahasa juga terdapat dalam budaya. Dengan demikian, ketika sebuah bahasa diungkapkan
dalam budaya yang berbeda maka akan mengandung nilai yang berbeda. Misalnya, kata
kelem dalam bahasa halus Madura yang berarti menginap akan berbeda nilainya ketika
diungkapkan di luar Madura, karena perbedaan budaya. Begitu juga sebaliknya, sebuah
budaya jika dibahasakan dengan bahasa daerah lain akan memiliki nilai yang berbeda pula,
semisal budaya kerrapan sapeh (kerapan sapi) di Madura dibahasakan dengan bahasa jawa
atau reog di Ponorogo yang telah dibahasakan dengan bahasa Malaysia.
Kedua, keduanya sebagai kunci pengetahuan karakter masyarakat. Artinya, bahasa dan
budaya akan mengilustrasikan karakter masyarakatnya. Lindgren (1973) menyatakan bahwa
orientasi pengkajian bahasa dan budaya adalah untuk mengetahui lebih dalam pola dan nilai
sebuah masyarakat. Bahkan, keduanya dianggap sebagai ciri paling kuat untuk mendalami
karakter dalam masyarakat. Jadi, untuk mengetahui secara komprehensif karakter masyarakat
Madura misalnya terlebih dahulu harus mempelajari bahasa dan budayanya. Asumsi ini
secara tidak langsung menafikan generalisasi publik tentang budaya kasar masyarakat
Madura, karena asumsi demikian tidak memiliki dasar yang kuat.
Kalau kita kaitkan dengan tema tulisan ini, maka jelas bahasa engghi-bhunten mengandung
nilai yang tidak didapati dalam bahasa-bahasa lain dan di budaya-budaya lain. Bahasa
engghi-bhunten sebagai bahasa terhalus, paling tidak akan mencerminkan budaya santun dan
budaya halus masyarakat Madura dalam kapasitasnya sebagai masyarakat pesisir.
Oleh karena itu, bahasa engghi-bhunten harus dijaga dan dilestarikan karena pelestariannya
merupakan salah satu langkah konkret pelestarian budaya Madura. Terlebih pasca konflik
Sambas (Kalimantan Barat, 1996/1997-1999), Sampit (Kalimantan Tengah) pada minggu
ketiga Februari 2001, Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalan Bun, di mana sampai saat
ini masyarakat Madura telah diklaim sebagai orang kasar, beringas dan menakutkan. Untuk
menghilangkan klaim tersebut, dibutuhkan kometmen dan semangat baru dari masyarakat
Madura, mulai dari pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, dan masyarakat secara umum
untuk membudayakan kembali bahasa engghi-bhunten sebagai salah satu cara untuk
menampilkan citra Madura yang lebih baik.
Sebentar lagi jembatan yang menghubungkan Surabaya-Madura (Suramadu) akan segera
rampung. Sudah bisa diprediksi bahwa suramadu di samping akan memudahkan transportasi
dan komunikasi juga akan memberikan ruang besar masuknya arus globalisasi dan
modernisasi yang besar kemungkinan akan membawa bahasa dan budaya yang beragam. Jika
tidak ada persiapan sejak dini maka dipastikan bahasa dan budaya asli Madura akan
digantikan oleh bahasa dan budaya produk keduanya.
Akhiron, akankah kita sebagai masyarakat Madura rela jika kata engghi diganti dengan oke
boz, abdhina dengan aye, panjenengan dengan you, mator sakalangkong dengan
matur suwun, atau budaya kerapan sapeh diganti dengan balap mobil dan motor GP, sapeh
sono dengan goyang patah-patah, dan semacamnya. Penulis pribadi tidak akan berterima
dengan kondisi demikian, karena sama saja dengan menjual hargi diri dan keperibadian kita
sendiri. P.W.J Nababan (1993) pernah mensinyalir: kehilangan bahasa dan budaya sama
halnya dengan kehilangan kesanggupan kita sebagai mahluk sosial, dengan kata lain
kehilangan sifat kemanusiaan kita.

Você também pode gostar