Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
OLEH
1309005038
1309005041
1309005125
1309005130
1309005134
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa , karena
dengan karunia-Nya kami dapat menyelesaiakan paper yang berjudul Pengaruh
Modernnisasi Terhadap Cara Berpakaian Adat di Bali. Meskipun banyak
hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil
menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat dari hasil
makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu
yang berguna bagi kita bersama.
Kami menyadari bahwa dalam menyusun karya tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna sempurnanya paper ini. Maaf apabila ada kata-kata yang tidak
berkenan pada paper ini . Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi .
iii
BAB I PENDAHULUAN .
3.1 Kesimpulan ..
3.2 Saran .
DAFTAR PUSTAKA ..
10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
satu agama tertua di Indonesia dan memegang teguh sastra dan budaya. Semua hal
yang baik diatur oleh sastra agama hindu yang biasa dikenal dengan kitab suci
Weda, ada juga kitab Bhagawadgitha yang menjadi dasar dan pedoman umat
hindu dalam bertindak. Dalam agama hindu tidak hanya cara cara sembahyang
yang diajarkan tapi juga moral dan etika secara mendalam.
Dewasa inin banyak hal menyimpang yang dilakukan oleh umat hindu.
Salah satunya yaitu dalam cara berpakaian saat akan melakukan persembahyangan
dan seiring dengan perkembangan zaman, kini terjadi banyak modernnisasi
terhadap busana kebaya untuk putri dan safari untuk putra yang kini terkesan tidak
sopan.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa makna dari berpakaian adat di Bali ?
2. Apa yang menyebabkan perubahan cara berpakaian adat dikalangan
remaja di Bali ?
3. Bagaimana tata cara berbusana adat yang baik dan benar ?
4. Bagaimana cara menanggulangi perubahan terhadap busana adat di
1.3
Bali ?
Metode Penulisan
Kami menggunakan metode pengamatan terhadap realitas yang ada,
mencari informasi di media elektonik dan media social mengenai cara berpakaian
adat yang baik dan benar serta mengeluarkan kesan sopan dalam agama hindu.
1.4
Tujuan Penulisan
1. Mengenalkan pengetahuan tentang etika dan moral budaya berpakaian
adat di Bali sehingga tidak luntur atau terlupakan karena pengaruh
modernnisasi.
2. Memperdalam pandangan umat sedharma untuk tidak melupakan etika
dan moralitas dalam berpakaian adat.
3. Membentuk karakter muda hindu yang berpegang teguh terhadap etika,
budaya dan sastra dalam perkembangan modernnisasi berpakaian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang
Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini memberikan keteduhan, kedamaian dan
kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya. Setiap daerah memiliki
ornamen berbeda yang memiliki arti simbolis dalam pakaian adatnya masingmasing. Meskipun demikian, pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni
kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi. Pakaian ini juga seringkali digunakan
untuk membedakan kasta, yang merupakan buatan manusia itu sendiri. Di
hadapan Sang Hyang Widhi, manusia semua sama derajatnya. Selain sebagai
bentuk penghormatan kepada sang pencipta, pakaian adat Bali adalah suatu
bentuk penghormatan kepada tamu yang datang. Ini adalah hal yang wajar,
mengingat jika anda sebagai tamu maka akan merasa terhormat jika disambut oleh
pemilik rumah yang berpakaian bagus dan rapi.
2.2
yang kita sampaikan kepada orang lain. Sebagai perempuan Bali mari kita
melestarikan budaya Bali yang sopan dan sederhana. Perubahan perubahan ini
terjadi seiring dengan perkembangan jaman dan kurangnya kemampuan remaja
jaman sekarang untuk menyaring budaya budaya asing yang masuk di era global
ini, sehingga banyak makna etika dan kesopanan yang hilang dalam mengenakan
busana adat ke pura yang harusnya mencerminkan kesederhanaan dan kesopanan.
2.3
berubah akibat dari arus globalisasi. Termasuk etika dalam menggunakan busana
adat Bali. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat Bali selalu berubah sesuai
perkembangan jaman. Seharusnya dalam menggunakan busana adat Bali terutama
untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun
dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana
adat sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini bisa terjadi karena pola pikir
masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut.
Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada
masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat Bali.
Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi
sebenarnya secara logika, kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah.
Lalu mengapa harus berbusana? pakaian itu diciptakan dengan tujuan untuk
menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian dari alat upacara. Manusia
menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih memahami ajaran
agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara
(swastika). Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga,
yang terdiri dari:
1. Dewa Angga : dari leher ke kepala
2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher
3. Butha Angga : dari pusar sampai bawah
Pada saat manusia tidak berbusana adat, tubuh manusia masih suci, belum
dibagi-bagi menurut konsep Tri Angga berlaku. Konsep ini baru terbentuk ketika
kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena
laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal
dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus
melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah
dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip
dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah
sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan
symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan
kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu
boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan
saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain
untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari
luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita
sudah mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi
dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat
menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi
dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar
kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan
sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan.
Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut
diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak
ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng
(destar). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk
persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan
(dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di
depan, disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi
lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol
penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua
bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang
berarti kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa
Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa
Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang
berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara
kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti
symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan
kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada
penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol
lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
kamen. Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan
konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak
melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan
karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih
pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi
untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan
10
masing individu remaja muda hindu. Pertama yang mesti dilakukan yaitu pasti
memberikan pemahaman kepada seluruh umat hindu tidak hanya kepada remaja
muda hindu, pemahaman tentang filosofi dari penggunaan busana adat itu sendiri
dan juga makna akan
prilaku. Setelah itu kembali lagi kepada masing - masing individu akan
kemampuannya menyaring budaya budaya asing dan tren mode yang kini
semakin mendalam dalam kegiatan pergaulan sehari hari para remaja masa kini
serta kemampuannya menerima pemahaman yang diberikan agar dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang diajar oleh agama hindu.
BAB III
PENUTUP
11
3.1
Kesimpulan
Bedasarkan penjelasan pada pembahasan dapat disimpulkan bahwa dewasa
ini banyak terjadi penyimpangan penggunaan busana adat dalam kalangan remaja
muda hindu yang terpengaruh akan era global saat ini, sehingga menghilangkan
makna dari busana adat ke pura itu sendiri yaitu mencerminkan rasa bersyukur
dan kesopanan serta juga mencerminkan moral dan etika dalam berbusana.
3.2
Saran
Saran yang dapat penulis berikan yaitu sebagai umat yang beragama hindu
sebaiknya sejak dini untuk kembali memahami secara mendalam agama hindu
sendiri. Mulai dari hal kecil namun memiliki makna besar, misalnya dari cara
berpakaian yaitu dengan menggenakan pakaian adat sesuai dengan tujuan awal
penggunaanya, menujukkan kesan sopan dan memiliki etika dan moral yang
tinggi. Menggunakan busana adat ke pura tidak harus selalu mengikuti mode yang
sedang tren saat ini, yang terpenting adalah kesopanan dalam berpakaian.
DAFTAR PUSTAKA
12
Bhattacarya,
Wasudewa.
2012.
Tatwa
Busana.
Indonesia.
2013.
Pakaian
Adat
Bali.
2013.
Pakaian
Adat
Bali
Identitas
Masyarakat
Bali.
Tanggal
13