Você está na página 1de 12

Demam Tifoid, Penyebab, Gejala serta Terapinya

Yudha Adi Pradana Djatioetomo


102012436 / F7
12 November 2013
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email: yudha.djatioetomo@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Demam merupakan kenaikan suhu tubuh di atas variasi sirkardian yang normal
sebagai akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus
anterior. Suhu tubuh normal dapat dipertahankan, ada perubahan suhu lingkungan, karena
adanya kemampuan pada pusat termoregulasi untuk mengatur keseimbangan panas yang
diproduksi oleh jaringan, khususnya oleh otot dan hati, dengan panas yang hilang. Dalam
keadaan demam, keseimbangan tersebut bergeser hingga terjadi peningkatan suhu dalam
tubuh. Hipertermia merupakan kenaikan suhu di atas titik penyetelan (set point) hipotalamus
sebagai akibat dari kehilangan panas yang tidak memadahi. Dalam keadaan normal, suhu
tubuh adalah 36,8 0,4C.1
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.2-4
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan
penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti.5
Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak
ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit
1

lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya
pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.2,3,6
Anamnesis
Dokter sebagai petugas medis, dalam mengobati pasiennya wajib mengetahui apa
yang dikeluhkan oleh pasien hingga pasien dating kepada dokter. Untuk mengetahui apa yang
dikeluhkan pasien serta data-data pendukugn yang diperlukan dari pasien, maka dokter
melakukan anamnesis. Anamnesis lebih baik dilakukan dalam suasana nyaman dan santai.
Anamnesis dapat dilakukan secara auto-anamnesis atau alo-anamnesis. Pada auto-anamnesis,
dokter dapat langsung bertanya kepada pasien. Sedangkan alo-anamnesis, dokter bertanya
pada keluarga terdekat ataupun orang terdekat yang mengetahui kondisi pasien.7,8
Anamnesis sendiri terdiri dari beberapa pertanyaan yang dapat mengarahkan kita
untuk dapat mendiagnosa penyakit apa yang diderita oleh pasien. Pertanyaan tersebut
meliputi identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial.7,8
Dalam anamnesis, dokter wajib mengetahaui mengenai identitas yang meliputi nama,
umur, jenis kelamin pasien. Jika pasien tersebut tidak sadar, maka tanyakan identitas pasien
terhadap orang yang dekat dengan pasien. Setelah menanyakan identitas, dokter bertanya
tentang keluhan utama yang membuat pasien tersebut datang ke dokter dan juga bertanya
sejak kapan keluhan tersebut diderita pasien. Pertanyaan selanjutnya mengenai riwayat
penyakit yang diderita pasien. Pertanyaan tersebut mengenai penyebab yang dikeluhkan
pasien, adanya perbaikan ataupun perburukan keadaan, jika ada perbaikan keadaan
ditanyakan juga penyebab keadaan membaik dan jika semakin buruk, tanyakan juga
penyebabnya, dan tanyakan pula waktu keluhan seperti keluhan pada setiaap saat atau hanya
waktu tertentu. Pertanyaan tentang riwayat penyakit dahulu, dokter bertanya tentang
pernahkah dahulu pasien mengalami keluhan yang sama. Dokter juga wajib menanyakan
kesehatan keluarga pasien untuk mengetahui lingkungan keluarga pasien. Selain itu, dokter
menanyakan keadaan social pasien serta gaya hidup ataupun makanan yang biasa pasien
makan.7,8

Pemeriksaan Fisik
2

Pemeriksaan fisik dapat dimulai dengan pemeriksaan tanda tanda vital pasien seperti
suhu tubuh yang dapat diukur melalui oral, rektal, aksila ataupun telinga, lalu mengukur
frekuensi nadi, frekuensi respirasi, tekanan darah dan mengetahui tingkat kesadaran pasien.
Pada kasus, didapati kesadaran pasien compos mentis, suhu tubuh 38,6C, frekuensi
pernafasan 20x/menit, frekuensi nadi 80x/menit dan tekanan darah 110/80mmHg. Selain itu
terdapat nyeri tekan pada region epigastrium dimana pada daerah tersebut terdapat hati,
duodenum
Tingkat kesadaran pasien ada enam yaitu compos mentis (sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan
pemeriksa dengan baik), apatis (kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau
bersifat acuh tak acuh terhadap sekelilingnya), delirium (penurunan kesadaran disertai
kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah,
kacau, disorientasi dan meronta-ronta), somnolen (keadaan mengantuk yang masih dapat
pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali),
sopor (keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
memberikan jawaban verbal yang baik), semi koma (penurunan rangsangan yang tidak
memberikan respon terhadap rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali,
tetapi refleks pupil dan kornea masih baik) coma (tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap
rangsangan apapun juga).8,9
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang hasil anamnesis kita terhadap
pasien. Pemerikasaan laboratorium juga dapat digunakan sebagai bukti penguat diagnosis
kita. Seperti pada kasus yang diduga terkena infeksi dari Salmonella thypi, pemeriksaan
laboratorium yag dilakukan antara lain adalah uji widal, uji tubex, uji typidot,uji IgM dipstick
dan kultur darah.
Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman s.thypi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi dengan antibody yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : Aglutinin O (dari tubuh
3

kuman), aglutinin H (flagella kuman), dan c aglutinin Vi ( simpai kuman). Dari ketiga
agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi.Pembentukan aglutinin mulai
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selam beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul O, kemudian diikuti aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin
O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12
bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada
beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu; 1) pengobatan dini dengan antibiotic, 2)
gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3) waktu pengambilan
darah, 4) daerah endemic atau non endemic, 5) riwayat vaksinasi. 6) reaksi anamnestik, yaitu
peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa
lalu atau vaksinasi,7) factor teknik pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik.
Uji tubex merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa menit) dan
mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum pasien,
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada partikel latex
yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic
latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau
tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan member hasil
negative.
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen
s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Uji IgM Dipstick secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi
pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti
gen lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi yang
mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi strip sebelum
diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil

untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-25 0 C di tempat kering tanpa paparan sinar
matahari.
Kultur Darah merupakan salah satu dari sekian banyak tes yang dilakukan untuk
mengetahui adanya salmonella. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid,
akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin sisebabkan
beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negative, 2) volume darah yang kuran(diperlukan kurang lebih
5cc darah). Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimaukkna ke dalam media cair empedu untuk
pertumbuhan kuman, 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody
dalam darah pasien. Antibody (aglutinin) dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negative ,4) saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin
semakin meningkat.10,11
Epidemiologi
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4
per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% .
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedang di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan
berhubungan erat dengan persediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1.08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tinggi.

Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella thypi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam
makrofag. Dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama)
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit

dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan desertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi sistemik seperti demam,malaise,mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(s.thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
Prognosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias terapi yang tepat
dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini penting unutk

membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu di butuhkan pemeriksaan
tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Masa tunas demam tifoid berlansung anara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksi,mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epiktasis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat deman adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua
gejala-gejala semakin jelas berupa demam, bradikardia relative (peningkatan suhu 10 C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput ( kotor di tengah,
tepid an ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan
pada orang Indonesia.
Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan.
Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut.
Minggu Pertama (awal terinfeksi)12
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama
dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu
setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk,
dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan
sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada
penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis
dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika
penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di
atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya
terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata,
bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.
Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua
ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada
7

bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang
difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.
Minggu Kedua12
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu
badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan
relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu,
saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia
semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium, somnelon,
stupor, koma dan psikosis. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak
kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan
diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran.
Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.
Minggu Ketiga12
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu
jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan
inkontinensia urin.
Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah
terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial
toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga. 12
Minggu keempat12
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai
adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.12

Relaps
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam
waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam
tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. 11
Komplikasi
1.
a.
b.
c.
2.
a.

Komplikasi Intestinal
Perdarahan Usus
Perforasi Usus
Ileus paralitik
Komplikasi Ekstra Intestinal
Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.


b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, dan /atau Disseminted
c.
d.
e.
f.
g.

intravascular Coagulation (DIC)


Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis
Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis
Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis
Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia13

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah untuk memastikan
keberadaan bakteri Salmonella sp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada
hari 14 yang pertama dari penyakit. Selain itu tes widal (O dah H agglutinin) mulai posotif
pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit.
Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin
(diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.14
Biakan tinja yang dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada
minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka
arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka
berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari

lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari
usus penderita.14

Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Istirahat dan perawatan.
Dengan tirah baring dan perawatan profesinal bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perklengkapan
pakaian yang di pakai.
2. Diet dan terapi penunjang.
Makanan yang kurang akan menurukan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin
turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan
dengan makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari
sementara sayuran berserat) dapat di beri dengan aman pada pasien demam tifoid
3. Pemberian antimikroba
Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin dan amoksilin, golongan
fluorokuinon, azitromisin
Kombinasi obat anti mikroba atau lebih diindikasi hanya pada keadaan tertentu saja
antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic, yang pernah terbukti
ditemukan 2 macam organism ddalam kultur darah selain kuman salmonella. Pada
wanita hamil obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksilin, dan sefriakson selainnya
dikawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine dan grey
sindrom pada neonates.
Diagnosis banding
Demam Bedarah Dengue = sama sama mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta
demam. Akan tetapi demam pada demam berdarah dengue bersifat bifasik yang naik
turun tidak teratur, berbeda dengan demam tifoid yang demamnya sepanjang hari.1,2
Malaria = demam pada malaria adalah demam intermitten, dimana suhu badan turun
ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Berbeda dengan demam tifoid
yang tergolong demam kontinyu, demam sepanjang hari. 15,16
Demam kuning (yellow fever) = demam yang muncul bersifat bifasik, mirip dengan
demam berdarah dengue. 15,16
10

Influenza = demam disertai pilek dan batuk. 15,16


Leptospirosis = seperti demam tifoid, sama-sama mengalami demam, tetapi pada
leptospirosis terdapat nyeri tiba-tiba di kepala, terutama bagian frontal, nyeri otot yang
hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Selain itu pada
leptospirosis ditemukan fotofobia. 15,16
Campak = pada campak tampak jelas adanya konjungtivitis, yang tidak dapat
ditemukan pada demam tifoid. 15,16
Hepatitis karena virus = pada hepatitis karena tifoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. 15,16
Diagnosis banding demam tifoid sangat luas karena sebagian besar penyakit infeksi
memiliki gejala demam, nyeri kepala, nyeri otot, mual, dan gangguan kesadaran.
Diagnosis yang tepat dapat dicapai dengan pemeriksaan penunjang.
Kesimpulan
Demam tipoid merupakan salah satu penyakit yang sudah sering didengar oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya. Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella Thypi,
dapat didiagnosa dengan mudah dengan ujia widal. Penyakit ini dapat menular melalui
makanan maupun minuman.
Daftar Pustaka
1. Isselbacher,Braunwald,Wilson,Martin,Fauci& Kasper. Harrison : Prinsip prinsip
Ilmu Penyakit Dalam edisi 13.Jakarta:EGC.1999.h.97-104.
2. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds.
Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders.2000.p.842-8.
3. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan
Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta :
BP FKUI.2001.h.65-73.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika.2002.h.1-43.
5. Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL,
Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90s. Singapore : World
Scientific.1992.p.1-2.
6. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan
Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club.2003.h.19-34.
11

7. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga.2005.h.5.


8. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia;2003.h. 37-46
9. Isselbacher,Braunwald,Wilson,Martin,Fauci& Kasper. Harrison : Prinsip prinsip
Ilmu Penyakit Dalam edisi 13.Jakarta:EGC;1999.h.101-4. pemeriksaan demam tifoid.
10. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC. 1996.
11. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:
departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. 2009.
12. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan
Penyakit Tropis. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 2002.h. 367-375
13. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
14. Demam
tifoid.

23

Febuari

2010.

Diunduh

dari

http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html. 28 November 2010.


15. Widodo D. Demam tifoid, dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.2797-806.
16. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2767-993.

12

Você também pode gostar