Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Disusun oleh:
Dian Kusumawati
1106050840
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA, DESEMBER 2014
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Salah satu metode geofisika yang dapat digunakan untuk melihat lapisan subsurface
yaitu metode gravitasi. Metode gravitasi memanfaatkan fenomena bahwa percepatan gravitasi
di permukaan bumi bervariasi yang disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya yaitu
topografi bumi dan persebaran densitas di permukaan bumi. Metode gravitasi dapat
memetakan struktur, dan persebaran densitas batuan. Metode ini juga dapat memperkirakan
patahan dengan metode turunan (derivative) dan trend surface anomaly.
I.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Geologi dan Tektonik Jawa Barat
Secara fisiografis Jawa Barat dibagi menjadi empat zona berarah barat timur, yaitu:
1.
2.
3.
4.
U U ( x , y + y ) U ( x , y y )
=
y
2 y
Turunan kedua metoda grid
Henderson dan Zietz
2
U 2
= 2 ( 3T o4 T 1+ T 2 )
2
z
s
Elkins
2 U 1
= ( 16 T o +8 T 124 T 3 )
z2 s2
Rosenbach
2
U
1
=
(96 T o72 T 132 T 2+ 8 T 3 )
2
z
24 s2
Persamaan orde 1
Persamaan orde 2
Persamaan orde 3
6
d=Gm
GT d=G T Gm
1
( GT G ) ( GT ) d=( GT G ) ( GT G ) m
1
( GT G ) ( G T ) d=m
T
m=( G G ) ( G ) d
BAB III
DATA DAN METODE
III.1. Data Gravitasi Anomali Bouguer dan Data Topografi
Data gravitasi anomali bouguer dan data topografi diperoleh dari data satelit yang
diperoleh di website http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_data.cgi. Data topografi dan gravitasi
diunduh dengan cara memasukan koordinat lintang dan bujur lokasi penelitian.
yang awalnya dalam koordinat geografis diubah terlebih dahulu ke koordinat UTM
menggunakan program Surfer 11. Adapun lokasi penelitian ini berada pada koordinat UTM
48 S.
Gambar 3.2. Peta anomali bouguer (a) dan peta topografi lokasi penelitian (b).
Data gravitasi anomali bouguer sebelum diinputkan ke MATLAB, diekstrak terlebih
dahulu dengan spacing yang diinginkan. Pengekstrakan data dilakukan di program Surfer 11
dengan spacing 200 m dan 1000 m.
9
First Horizontal Derivative dan Second Vertical Derivative yang diaplikasikan dengan
metode grid.
Data hasil ekstrak dari program Surfer 11 berupa koordinat x dan y UTM pada
kolom pertama dan kedua serta data gravitasi bouguer pada kolom ketiga. Namun
pada MATLAB data yang diinputkan harus dalam bentuk matrik, sebab komputasi
dari persamaan turunan pertama dan turunan kedua pada MATLAB lebih mudah jika
dilakukan dalam operasi matrik. Proses mengubah file input dari tiga kolom menjadi
bentuk matrik b x a, di mana b adalah banyaknya grid pada sumbu x dan a adalah
banyaknya grid pada sumbu y, dapat dilhat pada line 3 sampai 22 pada Gambar 3.4.
10
Gambar 3.4. Tampilan load data dan penyesuaian baris kolom pada program
FHDSVD berbasis MATLAB
Persamaan First Horizontal Derivative dan Second Vertical Derivative diterjemahkan
ke dalam komputasi dengan memanfaatkan metode grid, yaitu dengan membuat
lingkaran pada grid data. Proses komputasi tersebut dapat dilihat pada line 31 sampai
line 53 Gambar 3.5.a dan line 60 sampai line 85 Gambar 3.5.b.
Aplikasi metode grid pada Second Vertical Derivative meliputi metode
Henderson & Zietz, Elkins dan Rosenbach.
11
Gambar 3.5. Tampilan pemrograman FHDSVD untuk turunan pertama horisontal (a)
Gambar 3.6. Tampilan load data dan penyesuaian baris kolom pada program TSA
berbasis MATLAB
Langkah pertama dalam alur kerja program TSA yaitu membuat matrik G.
Ukuran matrik G bervariasi bergantung dari orde polinomial. Komponen matrik G
merupakan suku-suku dari persamaan polinomial. Program TSA yang dikembangkan
pada penelitian ini memiliki orde polinomial hingga orde enam. Berikut adalah matrik
yang digunakan untuk orde dua,
[][
g1
g2 1
. =1
.
.
1
.
gi
x1
.
.
xi
y1
.
.
yi
2
1
x
.
.
.
x1 y 1
.
.
.
2
1
y
.
.
y 2i
][ ]
c1
c2
.
.
.
ci
di mana gi adalah data bouguer gravitasi yang diukur stasiun/ grid ke-i; baris pertama
sampai baris terakhir dari matrik G adalah suku-suku polinomial untuk orde kedua,
dimana x dan y adalah koordinat stasiun/ grid ke-i; ci adalah konstansta ke-i.
13
Gambar 3.7. Tampilan pengolahan data program TSA untuk polinomial orde dua
Selanjutnya yaitu mencari matrik m yang berisi konstanta polinomial dengan
proses inversi (baris 96). Anomali regional, anomali residual dan anomali turunan
kedua vertikal dapat dihitung setelah didapat konstanta polinomial. Anomali regional
diperoleh dengan cara mengalikan kembali suku polinomial dengan konstanta
polinomial (baris 98). Perhitungan anomali residual dan anomali turunan kedua
vertikal dapat dilihat pada baris 99 sampai baris 101.
Perhitungan yang telah dilakukan pada proses di atas menggunakan matrik
yang berukuran m x n, di mana m adalah jumlah data observasi dan n sama dengan
tiga. Kolom pertama sampai ketiga adalah koordinan UTM x, y dan data gravitasi.
Untuk mengeplot data anomali regional, anomali residual dan anomali turunan kedua
vertikal, ukuran matrik m x n perlu sesesuaikan dengan bentuk grid data.
Penyesuaian ini memanfaatkan iterasi dan dapat dilihat pada baris 57 sampai baris 65.
Setalah ukuran matrik disesuaikan, data hasil TSA baru dapat diplot.
III.3. Diagram Alur Penelitian
14
Secara garis besar, proses pengerjaan penelitan dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Analisis hasil
Kesimpulan
Anomali gravitasi dari data yang diperoleh dari satelit dapat dilihat pada Gambar
5.1.a. Tampak untuk data anomali gravitasi sebelum dilakukan processing lebih lanjut, bagian
tengah dari lokasi penelitian ( 9.24 9.27 106 mT dan 7.35 7.7 105 mU) memiliki anomali
gravitasi rendah yaitu mencapai 40 miliGal. Sedangkan jika dilihat anomali turunan pertama
horisontal, bagian tengah dari lokasi penelitian memiliki puncak dan lembah yang lebih
banyak. Pada anomali FHD tampak ada empat titik anomali gravitasi yang rendah, mencapai
0 miliGal. Anomali tinggi di bagian tengah lokasi penelitian untuk grafik FHD, memiliki
nilai mencapai 200 miliGal. Dapat diduga, anomali tinggi pada bagian tengah tersebut adalah
bidang batas kontak dari body pada lokasi cekungan. Sebab berdasarkan peta geologi bagian
tengah dari lokasi penelitian adalah daerah rendahan, dengan di utaranya terdapat struktur
patahan Bogor dan di selatannya struktur patahan Cimandiri. Jika area ini merupakan
cekungan sedimen dan secara umum memiliki densitas yang lebih kecil maka anomali
gravitasinya cenderung lebih rendah dari area sekitarnya.
Gambar 5.1. Anomali gravitasi Bogor Trough dengan grid 200 m (a), Anomali gravitasi FHD
Bogor Trough dengan grid 200 m (b).
16
ringing
ringing
Gambar 5.2. Anomali gravitasi turunan kedua spacing 200 m dengan metode grid:
Henderson&Zietz (a), Elkins (b) dan Rosenbach (c).
Anomali SVD dengan ketiga macam metode grid dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Secara umum dari ketiga jenis filter SVD, ketiganya memberikan anomali gravitasi yang
menyerupai. Ketiganya memiliki kontur anomali yang sama. Ketiganya juga menunjukkan
pada bagian tengah area penelitian memiliki anomali gravitasi yang sedikit lebih rendah
dibandingkan nilai anomali gravitasi di bagian atasnya. Namun secara umum, anomali yang
dihasilkan dari ketiga filter tidak menunjukkan adanya patahan atau body anomali yang
ekstrim. Sebab tidak ada kontras anomali yang tinggi. SVD menampilkan anomali gravitasi
yang berasosiasi dengan struktur yang dangkal. Kemungkinan struktur tidak dominan berada
pada wilayah dangkal dari area penelitan tersebut. Noise ringing tampak relatif sedikit pada
data anomali SVD.
Untuk pengolahan data dengan SVD metode grid, dicoba dengan data yang sama
tetapi menggunakan spacing grid 1000 m. Jika dibandingkan dengan Gambar 5.2, anomali
17
turunan kedua pada Gambar 5.3 memiliki range nilai yang lebih besar. Pada anomali dengan
spacing 1000 km, anomali yang awalnya cenderung flat, tidak ada nilai anomali maksimum
atau minimum yang tajam, menjadi cukup bervariasi. Kemungkinan SVD dengan spacing
yang lebih besar, lebih bersifat regional. Artinya proses SVD menghasilkan anomali residual
yang menampilkan anomali yang relatif lebih dalam dari SVD dengan spacing grid yang
kecil. Hal tersebut diperkuat dengan teori metode grid SVD, dalam hal mencari nilai To, T1,
T2 dan T3. Berdasarkan hasil observasi anomali SVD dengan dua spacing grid, maka dapat
diduga bahwa struktur cenderung berada di posisi yang lebih dalam sehingga muncul pada
anomali SVD dengan jarak grid yang lebih besar.
Gambar 5.3. Anomali gravitasi turunan kedua spacing 1000 m dengan metode grid:
Henderson&Zietz (a), Elkins (b) dan Rosenbach (c).
18
IV.2. Penerapan TSA pada data gravitasi bouguer daerah Bogor trough
Data anomali gravitasi yang telah diekstrak dengan grid 200 m tersebut dianalisis juga
menggunakan trend surface anomaly (TSA). Metode TSA dapat membagi data anomali
bouguer menjadi anomali regional dan anomali residual. Analisis TSA pada penelitian ini
dilakukan sampai orde 3.
Gambar 5.4. Anomali regional (kiri) dan anomali residual (kanan) spacing 200 dengan TSA
orde 1 (a), orde 2 (b) pada data Bogor trough.
19
Gambar 5.4. Anomali regional (kiri) dan anomali residual (kanan) spacing 200 m dengan
TSA orde 3 pada data Bogor trough.
Anomali residual menampilkan anomali benda/ body yang lebih dangkal. Anomali
regional menampilkan anomali benda/ body yang berada lebih dalam. Area di bagian tengah
memiliki anomali gravitasi rendah, yaitu mencapai -60 miligal. Area di bagian barat memiliki
nilai anomali gravitasi yang cukup tinggi yaitu mencapai 120 miligal (TSA orde 1). Jika
dilihat dari anomali orde 1, orde 2 dan orde 3, tampak bahwa terdapat semacam body yang
semakin ke permukaan cenderung mengecil ukurannya yaitu body yang berada di sebelah
Barat (tepi gambar). Berdasarkan peta geologi, daerah tersebut merupakan kemenerusan dari
patahan Bogor. Dapat diduga body tersebut merupakan patahan dan berkaitan dengan patahan
Bogor.
20
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
Program FHDSVD dan TSA dapat mengolah data gravitasi dan memberikan output
yang diinginkan ditandai dengan program dapat berjalan dan output yang dihasilkan
Refenrensi:
Indrairawa, 2009. http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/453/jbptitbpp-gdl-indrairawa-22644-32009ta-2.pdf, diakses Rabu 17 Desember 2014 pukul 20.00 WIB.
http://jsbudiman.files.wordpress.com/2012/09/11.jpg, diakses Kamis 18 Desember 2012
pukul 6:19 WIB.
http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_data.cgi, diakses Selasa 16 Desember 2014 pukul 14:00
WIB.
LAMPIRAN SKRIP:
21
PROGRAM FHDSVD
clear all; close all; clc
dat =
x_dat
y_dat
g_dat
load ('sesar-bogor-spacing1000.dat');
= dat (:,1);
= dat (:,2);
= dat (:,3);
xmin = min(x_dat);
xmax = max(x_dat);
ymin = min(y_dat);
ymax = max(y_dat);
s = x_dat(2) - x_dat(1);
[x,y] = meshgrid(xmin:s:xmax, ymin:s:ymax);
a = size (x,2);
b = size (y,1);
g=zeros(b,a);
for j=1:b
g(j,:)=g_dat((a*(j-1))+1:j*a,1);
end
figure; contourf(x,y,g);
title('Anomali Gravitasi');shading flat; colorbar;
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');
%% FHD dian
n = size(g,1);
m = size(g,2);
dgy=zeros(n,m);
for i=2:n-1
for j=2:m-1
dgy(i,j) = (((g(i,j+1)-g(i,j-1))./2*s));
end
end
dgx=zeros(n,m);
for i=2:n-1
for j=2:m-1
dgx(i,j) = (((g(i+1,j)-g(i-1,j))./2*s));
end
end
fhd=zeros(n,m);
for i = 2:n-1
for j = 2:m-1
fhd(i,j) = sqrt(dgx(i,j).^2 + dgy(i,j).^2);
end
end
figure;contourf(x,y,fhd);
title('Anomali Gravitasi Turunan Pertama Horisontal');shading flat;
colorbar;
xlabel('sumbu x');
22
ylabel('sumbu y');
%% SVD dian
T0a=zeros(n,m);T1a=zeros(n,m);T2a=zeros(n,m);
for i=2:n-1
for j=2:m-1
T0a(i,j)=g(i,j);
T1a(i,j)=(g(i+1,j)+g(i-1,j)+g(i,j+1)+g(i,j-1))./4;
T2a(i,j)=(g(i-1,j-1)+g(i+1,j+1)+g(i+1,j-1)+g(i-1,j+1))./4;
end
end
T0b=zeros(n,m);T1b=zeros(n,m);T2b=zeros(n,m);T3b=zeros(n,m);
for i=3:n-2
for j=3:m-2
T0b(i,j)=g(i,j);
T1b(i,j)=(g(i+1,j)+g(i-1,j)+g(i,j+1)+g(i,j-1))./4;
T2b(i,j)=(g(i-1,j-1)+g(i+1,j+1)+g(i+1,j-1)+g(i-1,j+1))./4;
T3b(i,j)=(g(i-2,j+1)+g(i-1,j+2)+g(i+1,j+2)+g(i+2,j+1)+g(i+2,j1)+g(i+1,j-2)+g(i-1,j-2)+g(i-2,j-1))./8;
end
end
%-------------------SVD: Henderson & Ziets, Elkins dan Rosenbach
Hen = (2/(s^2))*(T0a.*3 - T1a.*4 + T2a);
Elk = (1/(28*(s^2)))*(T0b.*16 + T1b.*8 - T3b.*24);
Ros = (1/(24*(s^2)))*(T0b.*96 - T1b.*72 - T2b.*32 + T3b.*8);
%-------------------Ploting SVD
figure;contourf(x,y,Hen);shading flat; colorbar;
title('Anomali Gravitasi Turunan Kedua dengan Filter Henderson & Zietz');
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');
figure;contourf(x,y,Elk);shading flat; colorbar;
title('Anomali Gravitasi Turunan Kedua dengan Filter Elkins');
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');
figure;contourf(x,y,Ros);shading flat; colorbar;
title('Anomali Gravitasi Turunan Kedua dengan Filter Rosenbach');
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');
PROGRAM TSA
% PROGRAM TREND SURFACE ANOMALY (TSA)
23
=
=
=
=
min(GX_dat);
max(GX_dat);
min(GY_dat);
max(GY_dat);
%% Orde 1
%membuat matrik G untuk orde 1
G1=zeros(l,3);
for k=1:l
G1(k,1)=1;
G1(k,2)=GX_dat(k);
G1(k,3)=GY_dat(k);
end
%menghitung anomali regional dan residual dan second vertical derivative
M=(inv(G1'*G1))*G1'*d; format long;
greg1=zeros(l,1);
greg1=G1*M; format long;
gres1=zeros(l,1);
gres1=d-greg1;
%mengembalikan matrik greg&gres menjadi matrik siap plot dan memplot kurva
GREG1=zeros(m,n);
GRES1=zeros(m,n);
for j=1:m
24
GREG1(j,:)=greg1(((j-1)*n)+1:j*n,1);
GRES1(j,:)=gres1(((j-1)*n)+1:j*n,1);
end
figure;
subplot(1,2,1);
pcolor(X,Y,GREG1);shading flat; colorbar;caxis([20 250]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Regional TSA orde 1');
subplot(1,2,2);
pcolor(X,Y,GRES1);shading flat; colorbar;caxis([-80 120]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Residual TSA orde 1');
%% Orde 2
%membuat matrik G untuk orde 2
G2=zeros(l,6);
for k=1:l
G2(k,1)=1;
G2(k,2)=GX_dat(k);
G2(k,3)=GY_dat(k);
G2(k,4)=GX_dat(k).*GY_dat(k);
G2(k,5)=GX_dat(k).*GX_dat(k);
G2(k,6)=GY_dat(k).*GY_dat(k);
end
%menghitung anomali regional dan residual dan second vertical derivative
M=(inv(G2'*G2))*G2'*d; format long;
greg2=zeros(l,1);
greg2=G2*M; format long;
gres2=zeros(l,1);
gres2=d-greg2;
%mengembalikan matrik greg & gres ke dalam matrik siap plot & plot kurva
GREG2=zeros(m,n);
GRES2=zeros(m,n);
for j=1:m
GREG2(j,:)=greg2(((j-1)*n)+1:j*n,1);
GRES2(j,:)=gres2(((j-1)*n)+1:j*n,1);
end
figure;
subplot(1,2,1);
pcolor(X,Y,GREG2);shading flat; colorbar;caxis([20 250]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Regional TSA orde 2');
subplot(1,2,2);
pcolor(X,Y,GRES2);shading flat; colorbar;caxis([-80 120]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Residual TSA orde 2');
%% Orde 3
%membuat matrik G untuk orde 3
25
G3=zeros(l,10);
for k=1:l
G3(k,1)=1;
G3(k,2)=GX_dat(k);
G3(k,3)=GY_dat(k);
G3(k,4)=GX_dat(k).*GY_dat(k);
G3(k,5)=GX_dat(k).*GX_dat(k);
G3(k,6)=GY_dat(k).*GY_dat(k);
G3(k,7)=GX_dat(k).^3;
G3(k,8)=(GX_dat(k).^2).*GY_dat(k);
G3(k,9)=GX_dat(k).*(GY_dat(k).^2);
G3(k,10)=GY_dat(k).^3;
end
%menghitung anomali regional dan residual dan second vertical derivative
M=(inv(G3'*G3))*G3'*d; format long;
greg3=zeros(l,1);
greg3=G3*M; format long;
gres3=zeros(l,1);
gres3=d-greg3;
%mengembalikan matrik greg & gres ke dalam matrik siap plot & plot kurva
GREG3=zeros(m,n);
GRES3=zeros(m,n);
SVD3=zeros(m,n);
for j=1:m
GREG3(j,:)=greg3(((j-1)*n)+1:j*n,1);
GRES3(j,:)=gres3(((j-1)*n)+1:j*n,1);
end
figure;
subplot(1,2,1);
pcolor(X,Y,GREG3);shading flat; colorbar;caxis([20 250]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Regional TSA orde 3');
subplot(1,2,2);
pcolor(X,Y,GRES3);shading flat; colorbar;caxis([-80 120]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Residual TSA orde 3');
26