Você está na página 1de 27

UAS ANALISIS DATA GEOFISIKA II

METODE FIRST HORIZONTAL DERIVATIVE, SECOND VERTICAL DERIVATIVE


DENGAN METODE GRID DAN TREND SURFACE ANOMALY UNTUK DATA
GRAVITASI BOGOR TROUGH

Disusun oleh:
Dian Kusumawati
1106050840

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA, DESEMBER 2014

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Salah satu metode geofisika yang dapat digunakan untuk melihat lapisan subsurface
yaitu metode gravitasi. Metode gravitasi memanfaatkan fenomena bahwa percepatan gravitasi
di permukaan bumi bervariasi yang disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya yaitu
topografi bumi dan persebaran densitas di permukaan bumi. Metode gravitasi dapat
memetakan struktur, dan persebaran densitas batuan. Metode ini juga dapat memperkirakan
patahan dengan metode turunan (derivative) dan trend surface anomaly.
I.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:

Melakukan processing data gravitasi dengan first horizontal derivative, second

vertical derivative dan trend surface anomaly.


Melihat respon anomali gravitasi setelah diolah dan mengaitkannya dengan geologi
regional.

I.3. Perumusan Masalah


Untuk studi kasus ini, rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana melakukan
pengolahan data gravitasi dengan metode FHD, SVD dan TSA memakai program Matlab
serta bagaimana hasil yang didapat dan kaitannya dengan geologi daerah tersebut.
I.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada pada provinsi Jawa Barat dengan koordinat 6.5 LS
sampai 7 LS dan 107 BT sampai 107.5 BT. Berdasarkan peta geologi dapat dilihat lokasi ini
dilewati oleh Bogor trough dan sebagian dari Cimandiri Trough serta beberapa struktur
permukaan yang tampak di peta berupa garis patah-patah.

Gambar 1.1. Lokasi penelitian (Google earth)

Gambar 1.2. Peta geologi lokasi penelitian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Geologi dan Tektonik Jawa Barat
Secara fisiografis Jawa Barat dibagi menjadi empat zona berarah barat timur, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Zona Dataran Pantai Jakarta


Zona Bogor
Zona Bandung
Zona Pegunungan Selatan Jawa
Daerah penelitian meliputi Zona Bandung. Zona ini merupakan daerah depresi

diataran gunung-gunung (Indrairawa, 2009). Berdasarkan stratigrafi regional, Jawa Barat


dibagi menjadi tiga mandala sedimentasi mengacu pada sedimen pembentuknya:
1. Mandala Paparan kontinen di utara.
2. Mandala Banten di barat
3. Mandala Cekungan Bogor di selatan dan timur.
Mandala Cekungan Bogor meliputi zona fisiografi: zona Bogor, zona Bandung dan
zona Pegunungan Selatan. Sedimen di area ini umumnya berupa fragmen batuan beku
dan batuan sedimen seperti: andesit, basalt, tuf dan batugamping dengan ketebalan
diperkirakan lebih dari 7000 m (Indrairawa, 2009).

Gambar 2.1. Peta fisiografis Jawa Barat


(http://jsbudiman.files.wordpress.com/2012/09/11.jpg)

Gambar 2.2. Mandala sedimentasi Jawa Barat


(http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/453/jbptitbpp-gdl-indrairawa-22644-3-2009ta-2.pdf)

Gambar 2.3. Peta tektonik Jawa Barat

II.2. Analisis Data Geofisika


II.2.1. First Horizontal Derivative dan Second Vertical Derivative
First horizontal derivative menggambarkan nilai perubahan anomali gravitasi secara
horizontal dan memiliki karakteristik berupa nilai tajam maksimum atau minimum pada
bidang batas kontak body. First horizontal derivative dapat digunakan untuk mengetahui
batas suatu struktur geologi (Hartati, 2012). Second vertical derivative menggambarkan
anomali residual yang berasosiasi dengan struktur yang dangkal. second vertical derivative
dapat digunakan untuk mengidentifikasikan jenis patahan turun atau patahan naik (Hartati,
2012).

sedimentary basin atau patahan normal

granit batolit/ intrusi atau patahan naik


Pemodelan FHD dan SVD metoda grid secara komputasi mengikuti persamaan:
FHD
U U ( x+ x , y )U ( x x , y )
=
x
2 x

U U ( x , y + y ) U ( x , y y )
=
y
2 y
Turunan kedua metoda grid
Henderson dan Zietz
2

U 2
= 2 ( 3T o4 T 1+ T 2 )
2
z
s
Elkins

2 U 1
= ( 16 T o +8 T 124 T 3 )
z2 s2
Rosenbach
2

U
1
=
(96 T o72 T 132 T 2+ 8 T 3 )
2
z
24 s2

Gambar 2.4. Metode grid


II.2.2. Trend Surface Anomaly
Metode ini dapat digunakan untuk memisahkan anomali regional. Anomali residual
dapat diperoleh dengan mengurangkan anomali bouguer dengan anomali regional. Anomali
regional didapat menggunakan persamaan polinomian orde n. persamaan polinomial tersebut
mengikuti persamaan:

Persamaan orde 1

Persamaan orde 2

Persamaan orde 3
6

Di mana i adalah stasiun pengukuranm g i adalah gravitasi di stasiun ke i, x i yi adalah oordinat


titik pengukuran dan cn adalah konstanta polinomial. Persamaan polinomial tersebut
diselesaikan dalam bentuk inversi matrik untuk mendapatkan konstanta c.

d=Gm
GT d=G T Gm
1

( GT G ) ( GT ) d=( GT G ) ( GT G ) m
1

( GT G ) ( G T ) d=m
T

m=( G G ) ( G ) d

BAB III
DATA DAN METODE
III.1. Data Gravitasi Anomali Bouguer dan Data Topografi
Data gravitasi anomali bouguer dan data topografi diperoleh dari data satelit yang
diperoleh di website http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_data.cgi. Data topografi dan gravitasi
diunduh dengan cara memasukan koordinat lintang dan bujur lokasi penelitian.

Gambar 3.1. Website topex


Grid dari data gravitasi yang diperoleh dari satelit yaitu 0.0167, demikian juga dengan
spacing data topografi. Data berformat ASCII data.
III.2. Pengolahan Data dengan MATLAB
III.2.1. Tahap Preprocessing
Untuk mempermudah pengolahan data dengan persamaan First Horizontal
Derivative, Second Vertical Derivative dan Trend Surface Anomaly, koordinat data gravitasi
8

yang awalnya dalam koordinat geografis diubah terlebih dahulu ke koordinat UTM
menggunakan program Surfer 11. Adapun lokasi penelitian ini berada pada koordinat UTM
48 S.

Gambar 3.2. Peta anomali bouguer (a) dan peta topografi lokasi penelitian (b).
Data gravitasi anomali bouguer sebelum diinputkan ke MATLAB, diekstrak terlebih
dahulu dengan spacing yang diinginkan. Pengekstrakan data dilakukan di program Surfer 11
dengan spacing 200 m dan 1000 m.
9

Gambar 3.3. Tampilan ekstrak data pada Surfer 11


Data diekstrak dengan spacing 200 m. Data disimpan dalam format .dat agar dapat dijalankan
di program MATLAB. Jika spacing lebih kecil maka waktu untuk mengekstrak data akan
lebih lama bergantung dari processor komputer. Jika ditinjau dari pengolahan data gravitasi,
spacing yang lebih kecil akan menampilkan data yang lebih halus.
III.2.2 Tahap Processing
Data yang telah diekstrak dengan Surfer 11 dijalankan dalam program FHDSVD dan TSA
berbasis MATLAB. Kedua program tersebut merupakan program yang terpisah.

First Horizontal Derivative dan Second Vertical Derivative yang diaplikasikan dengan
metode grid.
Data hasil ekstrak dari program Surfer 11 berupa koordinat x dan y UTM pada
kolom pertama dan kedua serta data gravitasi bouguer pada kolom ketiga. Namun
pada MATLAB data yang diinputkan harus dalam bentuk matrik, sebab komputasi
dari persamaan turunan pertama dan turunan kedua pada MATLAB lebih mudah jika
dilakukan dalam operasi matrik. Proses mengubah file input dari tiga kolom menjadi
bentuk matrik b x a, di mana b adalah banyaknya grid pada sumbu x dan a adalah
banyaknya grid pada sumbu y, dapat dilhat pada line 3 sampai 22 pada Gambar 3.4.

10

Gambar 3.4. Tampilan load data dan penyesuaian baris kolom pada program
FHDSVD berbasis MATLAB
Persamaan First Horizontal Derivative dan Second Vertical Derivative diterjemahkan
ke dalam komputasi dengan memanfaatkan metode grid, yaitu dengan membuat
lingkaran pada grid data. Proses komputasi tersebut dapat dilihat pada line 31 sampai
line 53 Gambar 3.5.a dan line 60 sampai line 85 Gambar 3.5.b.
Aplikasi metode grid pada Second Vertical Derivative meliputi metode
Henderson & Zietz, Elkins dan Rosenbach.

11

Gambar 3.5. Tampilan pemrograman FHDSVD untuk turunan pertama horisontal (a)

dan turunan kedua vertikal dengan metode grid (b).


Trend Surface Anomaly
12

Sama seperti program FHDSVD sebelumnnya, data hasil ekstrak diload


terlebih dahulu. Ukuran kolom dan baris dari data hasil ekstrak disesuaikan dengan
ukuran kolom dan baris dari matrik grid guna mengeplot data awal. Penyesuaian baris
dan kolom pada program dapat dilihat pada line 5 sampai line 26 pada Gambar 3.5.

Gambar 3.6. Tampilan load data dan penyesuaian baris kolom pada program TSA
berbasis MATLAB
Langkah pertama dalam alur kerja program TSA yaitu membuat matrik G.
Ukuran matrik G bervariasi bergantung dari orde polinomial. Komponen matrik G
merupakan suku-suku dari persamaan polinomial. Program TSA yang dikembangkan
pada penelitian ini memiliki orde polinomial hingga orde enam. Berikut adalah matrik
yang digunakan untuk orde dua,

[][

g1
g2 1
. =1
.
.
1
.
gi

x1
.
.
xi

y1
.
.
yi

2
1

x
.
.
.

x1 y 1
.
.
.

2
1

y
.
.
y 2i

][ ]
c1
c2
.
.
.
ci

di mana gi adalah data bouguer gravitasi yang diukur stasiun/ grid ke-i; baris pertama
sampai baris terakhir dari matrik G adalah suku-suku polinomial untuk orde kedua,
dimana x dan y adalah koordinat stasiun/ grid ke-i; ci adalah konstansta ke-i.
13

Proses perhitungan matrik G dilakukan dengan iterasi. Proses iterasi untu


pembuatan matrik G berorde 2, dapat dilihat pada Gambar 3.6 baris 84 sampai baris
93. Sebelum dilakukan proses iterasi, terlebih dahulu dibuat matrik berukuran l x 6
yang berisi nilai nol (baris 85), di mana l adalah jumlah data observasi dan 6 adalah
jumlah konstanta polinomial untuk orde dua. Matrik ini nantinya akan diisi oleh
komponen-komponen matrik G secara iterasi.

Gambar 3.7. Tampilan pengolahan data program TSA untuk polinomial orde dua
Selanjutnya yaitu mencari matrik m yang berisi konstanta polinomial dengan
proses inversi (baris 96). Anomali regional, anomali residual dan anomali turunan
kedua vertikal dapat dihitung setelah didapat konstanta polinomial. Anomali regional
diperoleh dengan cara mengalikan kembali suku polinomial dengan konstanta
polinomial (baris 98). Perhitungan anomali residual dan anomali turunan kedua
vertikal dapat dilihat pada baris 99 sampai baris 101.
Perhitungan yang telah dilakukan pada proses di atas menggunakan matrik
yang berukuran m x n, di mana m adalah jumlah data observasi dan n sama dengan
tiga. Kolom pertama sampai ketiga adalah koordinan UTM x, y dan data gravitasi.
Untuk mengeplot data anomali regional, anomali residual dan anomali turunan kedua
vertikal, ukuran matrik m x n perlu sesesuaikan dengan bentuk grid data.
Penyesuaian ini memanfaatkan iterasi dan dapat dilihat pada baris 57 sampai baris 65.
Setalah ukuran matrik disesuaikan, data hasil TSA baru dapat diplot.
III.3. Diagram Alur Penelitian
14

Secara garis besar, proses pengerjaan penelitan dapat dilihat pada Gambar 3.8.

Menentukan Lokasi Penelitian

Mengunduh data gravitasi dan topografi dari


Topex

Mengubah koordinat data dari koordinat


geografis menjadi koordinat UTM pada Surfer
11

Ploting data gravitasi dan topografi pada


Surfer 11

Melakukan ekstraksi data gravitasi dengan


spacing 200 m dan 1000 m menggunkanan
Surfer 11

Pengolahan data dengan


program FHDSVD dan program TSA

Analisis hasil

Kesimpulan

Gambar 3.8. Diagram alur penelitian


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Penerapan FHDSVD pada data gravitasi bouguer daerah Bogor trough
15

Anomali gravitasi dari data yang diperoleh dari satelit dapat dilihat pada Gambar
5.1.a. Tampak untuk data anomali gravitasi sebelum dilakukan processing lebih lanjut, bagian
tengah dari lokasi penelitian ( 9.24 9.27 106 mT dan 7.35 7.7 105 mU) memiliki anomali
gravitasi rendah yaitu mencapai 40 miliGal. Sedangkan jika dilihat anomali turunan pertama
horisontal, bagian tengah dari lokasi penelitian memiliki puncak dan lembah yang lebih
banyak. Pada anomali FHD tampak ada empat titik anomali gravitasi yang rendah, mencapai
0 miliGal. Anomali tinggi di bagian tengah lokasi penelitian untuk grafik FHD, memiliki
nilai mencapai 200 miliGal. Dapat diduga, anomali tinggi pada bagian tengah tersebut adalah
bidang batas kontak dari body pada lokasi cekungan. Sebab berdasarkan peta geologi bagian
tengah dari lokasi penelitian adalah daerah rendahan, dengan di utaranya terdapat struktur
patahan Bogor dan di selatannya struktur patahan Cimandiri. Jika area ini merupakan
cekungan sedimen dan secara umum memiliki densitas yang lebih kecil maka anomali
gravitasinya cenderung lebih rendah dari area sekitarnya.

Gambar 5.1. Anomali gravitasi Bogor Trough dengan grid 200 m (a), Anomali gravitasi FHD
Bogor Trough dengan grid 200 m (b).

16

ringing

ringing

Gambar 5.2. Anomali gravitasi turunan kedua spacing 200 m dengan metode grid:
Henderson&Zietz (a), Elkins (b) dan Rosenbach (c).
Anomali SVD dengan ketiga macam metode grid dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Secara umum dari ketiga jenis filter SVD, ketiganya memberikan anomali gravitasi yang
menyerupai. Ketiganya memiliki kontur anomali yang sama. Ketiganya juga menunjukkan
pada bagian tengah area penelitian memiliki anomali gravitasi yang sedikit lebih rendah
dibandingkan nilai anomali gravitasi di bagian atasnya. Namun secara umum, anomali yang
dihasilkan dari ketiga filter tidak menunjukkan adanya patahan atau body anomali yang
ekstrim. Sebab tidak ada kontras anomali yang tinggi. SVD menampilkan anomali gravitasi
yang berasosiasi dengan struktur yang dangkal. Kemungkinan struktur tidak dominan berada
pada wilayah dangkal dari area penelitan tersebut. Noise ringing tampak relatif sedikit pada
data anomali SVD.
Untuk pengolahan data dengan SVD metode grid, dicoba dengan data yang sama
tetapi menggunakan spacing grid 1000 m. Jika dibandingkan dengan Gambar 5.2, anomali
17

turunan kedua pada Gambar 5.3 memiliki range nilai yang lebih besar. Pada anomali dengan
spacing 1000 km, anomali yang awalnya cenderung flat, tidak ada nilai anomali maksimum
atau minimum yang tajam, menjadi cukup bervariasi. Kemungkinan SVD dengan spacing
yang lebih besar, lebih bersifat regional. Artinya proses SVD menghasilkan anomali residual
yang menampilkan anomali yang relatif lebih dalam dari SVD dengan spacing grid yang
kecil. Hal tersebut diperkuat dengan teori metode grid SVD, dalam hal mencari nilai To, T1,
T2 dan T3. Berdasarkan hasil observasi anomali SVD dengan dua spacing grid, maka dapat
diduga bahwa struktur cenderung berada di posisi yang lebih dalam sehingga muncul pada
anomali SVD dengan jarak grid yang lebih besar.

Gambar 5.3. Anomali gravitasi turunan kedua spacing 1000 m dengan metode grid:
Henderson&Zietz (a), Elkins (b) dan Rosenbach (c).

18

IV.2. Penerapan TSA pada data gravitasi bouguer daerah Bogor trough
Data anomali gravitasi yang telah diekstrak dengan grid 200 m tersebut dianalisis juga
menggunakan trend surface anomaly (TSA). Metode TSA dapat membagi data anomali
bouguer menjadi anomali regional dan anomali residual. Analisis TSA pada penelitian ini
dilakukan sampai orde 3.

Gambar 5.4. Anomali regional (kiri) dan anomali residual (kanan) spacing 200 dengan TSA
orde 1 (a), orde 2 (b) pada data Bogor trough.

19

Gambar 5.4. Anomali regional (kiri) dan anomali residual (kanan) spacing 200 m dengan
TSA orde 3 pada data Bogor trough.
Anomali residual menampilkan anomali benda/ body yang lebih dangkal. Anomali
regional menampilkan anomali benda/ body yang berada lebih dalam. Area di bagian tengah
memiliki anomali gravitasi rendah, yaitu mencapai -60 miligal. Area di bagian barat memiliki
nilai anomali gravitasi yang cukup tinggi yaitu mencapai 120 miligal (TSA orde 1). Jika
dilihat dari anomali orde 1, orde 2 dan orde 3, tampak bahwa terdapat semacam body yang
semakin ke permukaan cenderung mengecil ukurannya yaitu body yang berada di sebelah
Barat (tepi gambar). Berdasarkan peta geologi, daerah tersebut merupakan kemenerusan dari
patahan Bogor. Dapat diduga body tersebut merupakan patahan dan berkaitan dengan patahan
Bogor.

20

BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan

Program FHDSVD dan TSA dapat mengolah data gravitasi dan memberikan output
yang diinginkan ditandai dengan program dapat berjalan dan output yang dihasilkan

berupa peta anomali.


Area penelitian yang dikelilingi dengan Bogor trough dan Cimandiri Trough memiliki

anomali gravitasi yang rendah.


TSA dapat memperlihatkan dugaan adanya patahan kemenerusan dari Bogor trough.

Refenrensi:
Indrairawa, 2009. http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/453/jbptitbpp-gdl-indrairawa-22644-32009ta-2.pdf, diakses Rabu 17 Desember 2014 pukul 20.00 WIB.
http://jsbudiman.files.wordpress.com/2012/09/11.jpg, diakses Kamis 18 Desember 2012
pukul 6:19 WIB.
http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_data.cgi, diakses Selasa 16 Desember 2014 pukul 14:00
WIB.
LAMPIRAN SKRIP:
21

PROGRAM FHDSVD
clear all; close all; clc
dat =
x_dat
y_dat
g_dat

load ('sesar-bogor-spacing1000.dat');
= dat (:,1);
= dat (:,2);
= dat (:,3);

xmin = min(x_dat);
xmax = max(x_dat);
ymin = min(y_dat);
ymax = max(y_dat);
s = x_dat(2) - x_dat(1);
[x,y] = meshgrid(xmin:s:xmax, ymin:s:ymax);
a = size (x,2);
b = size (y,1);
g=zeros(b,a);
for j=1:b
g(j,:)=g_dat((a*(j-1))+1:j*a,1);
end
figure; contourf(x,y,g);
title('Anomali Gravitasi');shading flat; colorbar;
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');
%% FHD dian
n = size(g,1);
m = size(g,2);
dgy=zeros(n,m);
for i=2:n-1
for j=2:m-1
dgy(i,j) = (((g(i,j+1)-g(i,j-1))./2*s));
end
end
dgx=zeros(n,m);
for i=2:n-1
for j=2:m-1
dgx(i,j) = (((g(i+1,j)-g(i-1,j))./2*s));
end
end
fhd=zeros(n,m);
for i = 2:n-1
for j = 2:m-1
fhd(i,j) = sqrt(dgx(i,j).^2 + dgy(i,j).^2);
end
end
figure;contourf(x,y,fhd);
title('Anomali Gravitasi Turunan Pertama Horisontal');shading flat;
colorbar;
xlabel('sumbu x');

22

ylabel('sumbu y');
%% SVD dian
T0a=zeros(n,m);T1a=zeros(n,m);T2a=zeros(n,m);
for i=2:n-1
for j=2:m-1
T0a(i,j)=g(i,j);
T1a(i,j)=(g(i+1,j)+g(i-1,j)+g(i,j+1)+g(i,j-1))./4;
T2a(i,j)=(g(i-1,j-1)+g(i+1,j+1)+g(i+1,j-1)+g(i-1,j+1))./4;
end
end
T0b=zeros(n,m);T1b=zeros(n,m);T2b=zeros(n,m);T3b=zeros(n,m);
for i=3:n-2
for j=3:m-2
T0b(i,j)=g(i,j);
T1b(i,j)=(g(i+1,j)+g(i-1,j)+g(i,j+1)+g(i,j-1))./4;
T2b(i,j)=(g(i-1,j-1)+g(i+1,j+1)+g(i+1,j-1)+g(i-1,j+1))./4;
T3b(i,j)=(g(i-2,j+1)+g(i-1,j+2)+g(i+1,j+2)+g(i+2,j+1)+g(i+2,j1)+g(i+1,j-2)+g(i-1,j-2)+g(i-2,j-1))./8;
end
end
%-------------------SVD: Henderson & Ziets, Elkins dan Rosenbach
Hen = (2/(s^2))*(T0a.*3 - T1a.*4 + T2a);
Elk = (1/(28*(s^2)))*(T0b.*16 + T1b.*8 - T3b.*24);
Ros = (1/(24*(s^2)))*(T0b.*96 - T1b.*72 - T2b.*32 + T3b.*8);
%-------------------Ploting SVD
figure;contourf(x,y,Hen);shading flat; colorbar;
title('Anomali Gravitasi Turunan Kedua dengan Filter Henderson & Zietz');
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');
figure;contourf(x,y,Elk);shading flat; colorbar;
title('Anomali Gravitasi Turunan Kedua dengan Filter Elkins');
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');
figure;contourf(x,y,Ros);shading flat; colorbar;
title('Anomali Gravitasi Turunan Kedua dengan Filter Rosenbach');
xlabel('sumbu x');
ylabel('sumbu y');

PROGRAM TSA
% PROGRAM TREND SURFACE ANOMALY (TSA)

23

clear all;clc;close all;


%% Load data dan plot data awal
dat = load ('sesar-bogor-spacing200.dat');
GX_dat = dat (:,1);
GY_dat= dat (:,2);
g_dat = dat (:,3);
GXmin
GXmax
GYmin
GYmax

=
=
=
=

min(GX_dat);
max(GX_dat);
min(GY_dat);
max(GY_dat);

s = GX_dat(2) - GX_dat(1); %interval grid


X1=GXmin:s:GXmax;
Y1=GYmin:s:GYmax;
[X,Y] = meshgrid(X1,Y1);
a = size (X,2) %kolom
b = size (Y,1) %baris
g=zeros(b,a);
for j=1:b
g(j,:)=g_dat((a*(j-1))+1:j*a,1);
end
figure;pcolor(X,Y,g);shading flat; colorbar;
title('Anomali Gravitasi');
grid on;
%% TSA
n=length(X1); %kolom
m=length(Y1); %baris
l=n*m;
d=g_dat;

%% Orde 1
%membuat matrik G untuk orde 1
G1=zeros(l,3);
for k=1:l
G1(k,1)=1;
G1(k,2)=GX_dat(k);
G1(k,3)=GY_dat(k);
end
%menghitung anomali regional dan residual dan second vertical derivative
M=(inv(G1'*G1))*G1'*d; format long;
greg1=zeros(l,1);
greg1=G1*M; format long;
gres1=zeros(l,1);
gres1=d-greg1;
%mengembalikan matrik greg&gres menjadi matrik siap plot dan memplot kurva
GREG1=zeros(m,n);
GRES1=zeros(m,n);
for j=1:m

24

GREG1(j,:)=greg1(((j-1)*n)+1:j*n,1);
GRES1(j,:)=gres1(((j-1)*n)+1:j*n,1);
end
figure;
subplot(1,2,1);
pcolor(X,Y,GREG1);shading flat; colorbar;caxis([20 250]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Regional TSA orde 1');
subplot(1,2,2);
pcolor(X,Y,GRES1);shading flat; colorbar;caxis([-80 120]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Residual TSA orde 1');
%% Orde 2
%membuat matrik G untuk orde 2
G2=zeros(l,6);
for k=1:l
G2(k,1)=1;
G2(k,2)=GX_dat(k);
G2(k,3)=GY_dat(k);
G2(k,4)=GX_dat(k).*GY_dat(k);
G2(k,5)=GX_dat(k).*GX_dat(k);
G2(k,6)=GY_dat(k).*GY_dat(k);
end
%menghitung anomali regional dan residual dan second vertical derivative
M=(inv(G2'*G2))*G2'*d; format long;
greg2=zeros(l,1);
greg2=G2*M; format long;
gres2=zeros(l,1);
gres2=d-greg2;

%mengembalikan matrik greg & gres ke dalam matrik siap plot & plot kurva
GREG2=zeros(m,n);
GRES2=zeros(m,n);
for j=1:m
GREG2(j,:)=greg2(((j-1)*n)+1:j*n,1);
GRES2(j,:)=gres2(((j-1)*n)+1:j*n,1);
end
figure;
subplot(1,2,1);
pcolor(X,Y,GREG2);shading flat; colorbar;caxis([20 250]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Regional TSA orde 2');
subplot(1,2,2);
pcolor(X,Y,GRES2);shading flat; colorbar;caxis([-80 120]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Residual TSA orde 2');
%% Orde 3
%membuat matrik G untuk orde 3

25

G3=zeros(l,10);
for k=1:l
G3(k,1)=1;
G3(k,2)=GX_dat(k);
G3(k,3)=GY_dat(k);
G3(k,4)=GX_dat(k).*GY_dat(k);
G3(k,5)=GX_dat(k).*GX_dat(k);
G3(k,6)=GY_dat(k).*GY_dat(k);
G3(k,7)=GX_dat(k).^3;
G3(k,8)=(GX_dat(k).^2).*GY_dat(k);
G3(k,9)=GX_dat(k).*(GY_dat(k).^2);
G3(k,10)=GY_dat(k).^3;
end
%menghitung anomali regional dan residual dan second vertical derivative
M=(inv(G3'*G3))*G3'*d; format long;
greg3=zeros(l,1);
greg3=G3*M; format long;
gres3=zeros(l,1);
gres3=d-greg3;
%mengembalikan matrik greg & gres ke dalam matrik siap plot & plot kurva
GREG3=zeros(m,n);
GRES3=zeros(m,n);
SVD3=zeros(m,n);
for j=1:m
GREG3(j,:)=greg3(((j-1)*n)+1:j*n,1);
GRES3(j,:)=gres3(((j-1)*n)+1:j*n,1);
end
figure;
subplot(1,2,1);
pcolor(X,Y,GREG3);shading flat; colorbar;caxis([20 250]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Regional TSA orde 3');
subplot(1,2,2);
pcolor(X,Y,GRES3);shading flat; colorbar;caxis([-80 120]);
xlabel('koordinat x');
ylabel('koordinat y');
title('Anomali Residual TSA orde 3');

26

Você também pode gostar