Você está na página 1de 25

Agama sebagai dogma yang disalahartikan

Filed under: Uncategorized Tinggalkan komentar


9 Januari 2012
Agama mensyaratkan bahkan mewajibkan konsep keimanan kepada seluruh pemeluknya,
sedikit banyak orang akan setuju dengan pernyataan ini.karena pada intinya dogma yang
diajarkan oleh agama apapun bersifat transendental yang terkadang memerlukan keimanan
untuk dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi, pemahaman yang sesat perihal
konsep keimanan itu sendiri menjadikannya seperti buta. Kebutaan yang menjadi-jadi
terhadap konsep keimanan ini pula lah yang menjadikan agama tak lagi sebagai ajaranajaran suci yang membimbing manusia hidup didunia tapi juga sebagai mitos yang bersifat
HARAM untuk dipertanyakan keabsahan ajarannyabahkan untuk menafsirkannya
dengan sudut pandang lain yang tidak biasa walaupun itu tanpa sedikitpun bertentangan
dengan ajarannya pun dapat dikatakan sebagai kesesatan(fallacy). saat ini agama lebih
berperan sebagai dogma yang memandekkan pemikiran ketimbang sebagai teks pembenar
yang paling benar. bagaimana tidak, ketika sesuatu pemikiran baru yang lahir dari rahim suci
akal manusia langsung di benturkan kepada ajaran agama itu sendiri tanpa analisis yang jelas
dan tanpa menyeratakan sudut pandangnya maka seolah-olah akan menimbulkan distorsi
yang jelas-jelas akan bertentangan. kita dapat menyebut nya sebagai fanatisme tak
beraturan karena telah terjadi klaim sepihak atas kebenaran itu sendiri dengan meniadakan
pertimbangan-pertimbangan yang memungkinkan untuk membenarkan suatu
pemikiran.inilah yang dimaksudkan Agama sebagai dogma yang disalah artikan yang
menjadi realita saat ini,,hal ini dikarenakan fanatisme yang berlebihan sehingga mematikan
rasionalitas. maka sesungguhnya manusia telah mati atau mungkin telah menjadi binatang
jalang karena yang membedakannya dengan binatang hanyalah akalnya yang senantiasa
berpikir,,lantas jika akalpun dipaksa untuk tak lagi berpikir maka manusia telah berevolusi
menjadi binatang yang bertutur kata.

Agama: Perlukah
Diteliti?
Ditulis oleh Mujtahid
Rabu, 12 Oktober 2011 08:51
SEJAK tahun 1970-an penelitian agama mulai diperkenalkan oleh beberapa pakar dan ilmuan
1

kepermukaan Indonesia. Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa pentingnya sebuah


penelitian terhadap masalah-masalah keagamaan. Tidak saja penting, penelitian keagamaan
merupakan bagian yang memperkukuh dasar dan pondasi agama itu sendiri. Tanpa upaya
demikian, agama hanya akan menjadi urusan yang bersifat individual, eksklusif dan komunal.
Upaya penelitian terhadap agama dimaksudkan untuk melihat gejala yang lebih empirik yang
dipandang secara positif. Gejala empirik inilah yang dapat diteliti dengan berbagai sudut
pandang analisa yang digunakan. Sebab, dalam agama memiliki keragaman pemahaman.
Masing-masing pemahaman tersebut merupakan akumulasi yang muncul dari doktrin agama
yang telah terkonstruk menjadi prilaku, tindakan bahkan ideologi.
Agama sebagai refleksi sosiologis setidaknya dapat ditempatkan sebagai gejala sosial-budaya
yang tidak lagi dipandang semata-mata sebagai yang sakral dan eskatologis. Dalam
pandangan Amin Abdullah (1999: 9) agama pada saai ini tidak dapat didekati dan difahami
hanya lewat pendekatan teologis-normativ semata-mata, sebab ada pergeseran paradigma dari
pemahaman yang berkisar pada doktrin ke arah entitas sosiologis, dari diskursus esensi ke
arah eksistensi.
Dalam memahami agama, Abuddin Nata (1999: 27-28) menjelaskan bahwa pendekatan
teologis normativ lebih menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari keyakinan
bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap suatu yang benar dibandingkan dengan
yang lainnya. Dalam Islam, secara tradisional pendekatan teologis normativ dapat dijumpai
teologi Mu'tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah, yang sebelumnya terdapat teologi yang
bernama Murji'ah dan Khawarij.
Pendekatan teologi normativ dalam pemahaman keagamaan adalah yang mengklaim dirinya
yang paling benar, sedangkan yang lain salah. Padahal jika ditinjau, studi agama sekarang
dapat didekati melalui berbagai pendekatan. Selain pendekatan teologis-normativ, Abuddin
Nata mencatat bahwa pendekatan studi agama dapat dilihat dari sisi sosiologis, antropologis,
psikologis, historis, filosofis dan kebudayaan.
Agama:
Perlukah
Diteliti?
Sepanjang sejarah agama-agama manusia tumbuh secara bersama-sama, maka agama
merupakan salah satu bagian dari kehidupan manusia yang tidak terpisah. Dalam kehidupan
seperti itu diperlukan sebuah kesadaran bagi para pelaku agama untuk selalu mengakui bahwa
agama satu dengan agama yang lain terdapat perbedaan-perbedaan dan sekaligus kesamannya.
Perbedaan dan kesamaan itu bisa muncul dari sisi ketuhanan (keyakinan), peribadatan
maupun cara meyakini dan beribadahnya.
Islam sebagai agama tentu saja bisa diteliti secara detail menyangkut apa saja yang terkait di
dalamnya, mulai dari cara bertuhan (berteologi) sampai beramal (berperilaku dan berbuat).
Apalagi kalau persoalan agama ini menyangkut lebih dari satu agama, sudah barang tentu
studi pendekatan agama merupakan kekarusan ilmiah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Sebagian besar pakar berpendapat bahwa agama bukan saja dipandang sebagai gejala
normatif, namun agama perlu juga dilihat sebagai gejala sosial budaya. Jika Islam dipandang
dari gejala tersebut, maka dalam Islam setidaknya terdapat lima gejala yang perlu diteliti.
Pertama, sripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol agama. Kedua, para
penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap perilaku dan penghayatan para
penganutnya, ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperi shalat, haji, puasa
perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereja, peci dan semacamnya.
Kelima, organisasi-organisasi keagamaan, tempat penganut agama berkumpul dan berperan,
seperti NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, Syi'ah danlain-lain (Mudzhar, 1998:14)
Dari kelima gejala tersebut merupakan bagian dari sasaran atau area yang dapat diteliti.
Belum lagi seputar masalah yang lain, seperti lembaga pendidikan, lembaga sosial, baik
formal maupun non formal yang melabelkan nama agama (Islam), juga menjadi bagian riil
2

dari sasaran penelitian. Tentu jenis penelitian ini tidak hanya mengkaji aspek keagamannya
saja, melainkan bisa dari sisi yang lain, seperti manajemen, strategi dan lain-lain.
Lembaga pendidikan misalnya, terdapat banyak persoalan yang perlu dikaji secara mendalam.
Mukti Ali (1987: 101-148) pernah melakukan penelitian terhadap masalah ini di Malang
Selatan tepatnya di desa Putukrejo, ia mencatat bahwa ada lima macam lembaga pendidikan
agama di luar perguruan formal dan pesantren, yaitu mejelis taklim berupa pengajian rutin
setiap bulan, pengajian rutin tiga kali seminggu, kuliah subuh pada jama'ah pagi di masjid
Jami' , jama'ah khataman al-Qur'an, dan jama'ah tahlil.
Bahkan lebih menariknya lagi, dalam laporan penelitian Mukti Ali dijelaskan tentang
keberagaman masyarakat sangat tinggi. Pemahaman dan penghayatan keagamaan di desa
Putukrejo terhadap hari Jum'at ada sisi lain yang perlu dihormati secara legal. Sehingga hari
itu adalah hari liburnya segala kegiatan perkantoran, kelurahan, yang berbeda dengan desa
lain yang memilih libur pada hari minggu.
Dalam penilaian Kuntowijoyo (1998:317) bahwa ketajaman Mukti Ali dalam melihat gejala
keagamaan umat Islam tersebut akhirnya semakin memperoleh legitimasi dalam melakukan
penelitian-penelitian selanjutnya yang hampir serupa atau bahkan penelitian yang lebih
makcro dibanding dengan penelitian sebelumnya. Pada tahun 70-an -sebagai Mentri Agama
pada waktu itu- dengan gencar melakukan program-program pembangunan dan peningkatan
ketrampilan di pesantren-pesantren. Usaha-usaha itu tentu mengundang pemikiran kalangan
ilmuan untuk memahami masyarakat Islam dengan baik.
Sejumlah buku tentang pesantren telah ditulis dan diterbitkan, sebagai upaya untuk
memahami diri sendiri oleh umat Islam. Jasa terbesar dalam pemikiran tentang pengembangan
masyarakat pesantren harus diberikan kepada LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidilan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang berkedudukan di Jakarta, tetapi mempunayi cabangcabang di daerah. Lembaga itu mempelopori pelatihan-pelatihan ketrampilan dan
pembentukan lembaga pengembangan masyarakat di banyak pesantren di seluruh Indonesia.
Islam: Ajaran Wahyu
Sebagaimana yang sering kita pahami bahwa Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad Saw sebagai pedoman dan petunjuk hidup di dunia dan akhirat. Pengertian wahyu
tersebut dapat dilihat dari dua hal, yakni wahyu yang berbentuk al-Qur'an dan wahyu yang
berbentuk hadits, sunnah Nabi Muhammad Saw.
Dalam al-Qur'an banyak dijumpai persoalan-persoalan yang dapat dijadikan sebagai sasaran
penelitian. Mulai dari substansi makna perkataan dalam al-Qur'an sampai hasil pemahaman
(penafsiran). Atau bahkan di luar isi kandungannya juga bisa menjadi bagian penelitian,
seperti sebab-sebab turunnya al-Qur'an, bacaan al-Qur'an dan lain-lain.
Pemahaman umat Islam terhadap al-Qur'an tidak selamanya sama dan bahkan seringkali
berbeda. Ada sebagian orang/kelompok yang memahami al-Qur'an secara tekstual dan ada
pula yang memahami secara konstektual. Begitu pula penafsiran yang dilakukan oleh mufassir
juga berbeda-beda. Ada yang melakukan penafsiran secara riwayah, matsur, dan ada pula yang
melakukan secara Isyari atau bahkan ra'yi. Hampir semua perbedaan tersebut mempunyai
berkah' tersendiri bagi kita supaya dijadikan sebagai lahan penelitian. Tentu, hal ini
menunjukkan dinamika internal dalam umat Islam yang kreatif dan dinamis.
Sisi lain untuk tidak menunjuk dengan kata studi tafsir al-Qur'an juga dilakukan dengan cara
studi hemeneutik. Sebagai cara pendekatan baru, tidak selamanya bisa diterima oleh seluruh
umat Islam. Kerana barangkali kata tersebut masih aneh dan sulit ditemukan dalam katalog
khazanah Islam klasik. Namun, perlu diakui bahwa dengan pendekatan hermeneutik, kajian
tersebut lebih bersifat interdisipliner mengenai al-Qur'an. Sebab al-Qur'an selain berbicara
3

tentang nilai-nilai keagamaan, juga banyak berbicara isyarat-isyarat ilmu pengetahuan bahkan
rekaman sejarah Nabi, masa-masa sebelum al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai rasul terakhir (Martin, 2001: 173-200).
Begitu pula dengan hadits, hal ini cukup memancing perhatian umat Islam ketika menelusuri
keshahihannya dan lebih-lebih berhadapan dengan konteks dimana hadits itu akan dijadikan
sumber rujukan sebagai pendamping al-Qur'an. Studi tentang hadits itu akan dilakukan,
seperti yang pernah dilakukan Fazlur Rahman, bahwa studi hadits paling tidak harus dengan
cara historical criticism. Sebelum diterima dan dijadikan sumber, hadits tersebut perlu
dilakukan sebuah analisis kritis terhadap sejarah, matan dan rawi atau sanadnya. Sehingga
sama juga dengan studi al-Qur'an yang membutuhkan pendekatan interdisipliner.
Islam:
Produk
Sejarah
Selain dipandang dari sisi wahyu, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk
sejarah. Islam adalah peradaban yang dibentuk melalui evolusi sejarah. Bahkan wajah Islam
yang ada di seluruh belahan dunia merupakan hasil dari produk sejarah. Karena itu, kaitannya
dengan produk sejarah Islam inilah sasaran penelitian agama semakin luas. Sejarah Islam
yang tumbuh mulai dari masa kekhalifahan sampai berkembang di seluruh kawasan dunia
adalah kaya akan persoalan-persoalan keagamaan yang perlu diteliti dari sisi sejarah.
Catatan penting yang perlu penulis garis bawahi dalam kaitanya dengan Islam sebagai produk
sejarah di sini adalah perlunya pendekatan arkeologis. Karena, untuk mengungkap sejarah
tidak cukup menganalkan dokumen-dokumen serta perkataan yang dijadikan sumber sejarah
primer. Bahkan untuk meneliti dan megggali keotentikan sebuah sejarah yang berkenaan
dengan bentuk-bentuk peninggalan, tidak bisa mengabaikan pendekatan ini. Pendekatan
arkeologis sangat dibutuhkan seorang peneliti dalam membantu untuk mempertajam analisis
yang diperlukan ketika mendeteksi sebuah rentang masa, kurun, periode atau sisi lainnya.
Ruang lingkup studi Islam yang merupakan produk sejarah misalnya tentang fiqih/mazhab,
tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Bangunan
pengetahuan kita pada wilayah Islam tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan
sasaran
penelitian.
Berbagai pendekatan studi Islam yang dikemukakan di atas, pada dasarnya akan menjadi
tugas dan tanggung jawab Perguruan Tinggi Islam, baik perguruan tinggi negeri maupun
swasta, guna mengembangkan penelitian di bidang tersebut. Maka seiring dengan tantangan
tersebut, Atho Mudzhar menyarankan untuk PTAI semacam IAIN harus berubah menjadi
Universitas. Jika dicermati dari konsep-konsep semula bahwa Islam perlu dikaji secara
interdisipliner dengan pendekatan beragam dan bukan monologis, memang perubahan sangat
signifikan. Mengubah PTAI yang berlatar belakang agama mengaji perguruan tinggi yang
bersifat menyeluruh.
Penelitian
Agama
(Islam)
Secara definitif, antara pengertian penelitian agama dengan penelitian keagamaan terdapat
perbedaan. Meskipun seringkali yang dimaksud disama artikan. Middleton, guru besar
antropolgi di New York Universitas, berpendapat; "penelitian agama" (research on religion)
dengan "penelitian keagamaan" (religious research) memiliki perbedaan. Yang pertama lebih
menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya pada tiga elemen yaitu: ritus, mitos dan
magik. Yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan
(religious system) (Mudzhar, 1998: 35).
Pembedaan pengertian sebenarnya menjelaskan bidang garap dari jenis penelitian. Kalau
meneliti masalah-masalah yang bersifat doktriner, maka masuk kategori penelitian agama.
Sedangkan jika penelitian tersebut bersifat sosiologis, maka masuk kategori penelitian
keagamaan.
Namun jika pembedaan itu ada, kendala utamanya adalah pada metodologinya. Sebab, masih
ada sebagain yang mengakui dan ada yang tidak. Akhirnya hal ini menimbulkan silang
4

pendapat. Meski demikian, upaya untuk menyelesaikan perbedaan tetap bisa dijelaskan. Jika
ingin melakukan penelitian agama, cukup memimjam metodologi penelitian sosial pada
umumnya. Sedangkan untuk penelitian keagamaan tentu tidak perlu membuat metodologi
sendiri, cukup memanfatakan metodologi penelitian sosial yang ada.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, agama dapat dilihat dari sisi budaya. Penelitian yang
termasuk dalam katagori budaya ini adalah teks-teks, alat-alat ritus keagamaan, benda-benda
purbakala agama (arkeologi), sejarah agama, nilai-nilai dari mitops-mitos yang dianut para
pemeluk agama, dan sebagainya. Penelitian juga bisa mengkaji pada aspek sejarah
berdasarkan naskah-naskah yang ada. Misalnya meneliti naskah Sirah in Hisyam tentang siapa
orang yang pertama masuk Islam. Dalam naskah tersebut ditemukan perbedaan tentang siapa
yang pertama masuk Islam. Ada yang mengatakan Khadijah, ada yang berpendapat Ali ibn
Abi Thalib, ada pula yang berpendapat Abu Bakr al-Shidiq serta ada yang beranggapan Zaid
ibn Haritsah.
Metode
Grounded
Research
Dalam penelitian sosial biasa dikenal dengan metode Grounded Research yang bisa digunakan
pada penelitian agama. Metode grounded research adalah metode penelitian sosial yang
bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik dengan
menggunakan metode analisis komparatif konstan. Bertolak dari pengertian ini, ciri grounded
research adalah adanya tujuan menemukan atau merumuskan teori dan adanya prosedur
sistematis,
serta
penggunaan
analisis
komparatif
konstan.
Tujuan utama dalam grounded research adalah merumuskan teori berdasarkan data yang
dijamin keabshannya sebagai alternatif lain dari metode-metode sosial yang ada selama ini.
Atau sering lebih bersifat verifikatif. Metode grounded research ini digunakan karena
beberapa
pertimbangan
sebagai
berikut;
1. Memiliki suatu teori harus juga dilihat dari segi bagaimana dahulunya teori itu dirumuskan,
di samping penilaian tentang keruntutan logika (logical consistecy), kejelasan (clarity),
kehematan (parcimony), kepadatan (density), keutuhan (integation) dan operasionalnya.
2. Penelitian sosial, khususnya sosiologi, selama ini banyak bersifat membuktikan kebenaran
teori yang telah ada (verifikasi) yang kurang memberikan perhatian penjelmaan teori baru.
3. Teori yang didasarkan atas data akan tahan lama dan sulit diubah walaupun setiap teori
memerlukan
perubahan
atau
reformulasinya.
4. Teori yang dihasilkan grounded research berdasarkan pada data, karena itu ia disebut
dengan teori berdasar (grounded theory). Keuntungan grounded theory dibandingkan dengan
teori deduktif logis (logic deductive theory), ia dapat mencegah permulaan dan penggunaan
teori secara oportunistik kerana selalu didasarkan dan dikendalaikan oleh data.
5. Penelitian verifikatif bertitik tolak dari suatu hipotesis atau teori yang telah dirumuskan
sebelum penelitian dilakukan dan kemudian dibuktikan kebenerannya penelitian. Sebaliknya
grounded research tidak bertolak dari suatu hipotesis atau yeori, hipotesis justru muncul
setelah penelitian dilakukan dan teori dibangun pada akhir penelitian (Mudzhar, 1998: 48-49).
Dalam grounded research ciri kedua adalah data yang sistematis. Artinya data yang diperoleh
melalui prosedur penelitian. Metode grounded research memiliki komponen kegiatan seperti
persiapan, pengumpulan data, pengkodean, analisis dan penulisan laporan, tetapi
pelaksanaanya tidaklah secara bertahap (dalam arti satu demi satu) menurut urutan tersebut.
Setelah prosedur ini dilakukan, kemudian langkah selanjutnya adalah analisis sesuai dengan
obyek studi yang dikaji. Prosedur suatu penelitaian atas dasar grounded research secara
singkat
dapat
disebutkan
dalam
lima
langkah
sebagai
berikut:
1. Menentukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial yang hendak
diperbandingkan yang sekaligus akan menjadi sumber data, biasanya termasuk penentuan
informan
pangkal
(key
informan).
2. Data yang diperoleh (melalui teknik-teknik pengumpunlan data yang digunakan)
diklasifikasikan dengan cara mencari persamaan dan perbedaanya sehingga melahirkan
ketegori-kategori.
3. Ketegor-kategori tersebut kemudian dicari ciri-ciri pokoknya untuk dapat diketahui
5

sifatnya.
4. Kategori-kategori tersebut (setelah diketahui sifat-sifatnya) kemudian dihubungkan satu
sama
lain
sehingga
melahirkan
hipotesis.
5. Hipotesis-hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain sehingga melahirkan
jalur-jalur kecenderungan yang lebih umum yang akan menjadi inti dari teori yang akan
muncul (Mudzhar, 1998: 50-51).
Adapun ciri ketiga dari grounded research adalah analisis komparatif. Artinya bahwa analisis
terhadap setiap kategori yang muncul selalu dilakukan dengan cara memperbandingkan satu
sama lain. Dengan analisis komparatif tidak perlu dibayangkan bahwa lokasi penelitian harus
luas dan berserak-serak karena analisis komparatif dapat digunakan untuk segala ukuran unit
sosial.
Prinsip kerja metode analisis ini terdiri dari atas dua tahap pokok, yaitu; (1)
Memperbandingkan setiap tahun untuk memunculkan berbagai kategori. Dan (2)
memperbandingkan dan mengintegrasikan kategori-ketegori dan sifat-sifatnya untuk
memunculkan hipotesis dan memberi batasan teori.
Meskipun demikian, grounded research memiliki kekuatan dan sekaligus kelemahan.
Kekuatannya adalah data bisa lebih lengkap dan lebih mendalam karena langsung dianalisis,
sehingga sesuatu yang dianggap sebagai lowongan data segera akan dapat diketahui dan
disempurnakan. Teori yang akan muncul pun terbuka dari kemungkinan yang lebih banyak,
dibanding dengan penelitian verifikatif yang hanya terbatas pada satu kemungkinan, yaitu
menerinma atau menolak hipotesis atau teori yang diuji.
Sementara kelemahannya adalah terletak pada sulitnya menemukan saat yang tepat kapan
penelitian harus berhenti, karena hipotesis yang telah dibangun dapat jatuh kembali
berhubungan dengan datangnya data baru yang membatalkannya, dan dapat bangun kembali
bila data baru yang menyokongnya. Sisi kelemahan lain juga terletak pada pandangan
dasarnya, bahwa untuk memahami suatu data tidak perlu digunakan suatu teori tertentu,
melainkan semata-mata menurut kepekaan keluasan wawasan peneliti.
Catatan penting yang perlu penulis tegaskan di sini berkaitan dengan metode grounded
research adalah pada dasawarsa 1980-an terjadi perjuangan intelektual yang luar biasa
kuantitasnya. Frekuensi pertemuan-pertemuan dengan nama seminar, diskusi, sarasehan,
forum lokakarya, pengkajian, ceramah menyerap hampir seluruh tenaga ilmuan sosial.
Tampaknya budaya lisan' seperti itu pada akhirnya disadari perlu diperhatikan bahwa
semangat yang muncul dari aktivitas tersebut merupakan perjuangan yang panjang dan
melelahkan. Upaya yang kemudian disikapi dengan cerdas adalah menulis karya tulis,
melakukan penelitian dan sebagainya. Karena, karya tulis dikalangan ilmuan saat itu
tergolong masih langka. Sehingga dari budaya lisan berubah menjadi budaya penelitian,
mencari data, interview dan lain-lain.
Salah satu aktivitas yang terbangun dari kepedulian ini adalah Lembaga Studi Agama dan
Filsafat (LSAF) yang menerbitkan jurnal yang serius, Ulumul Qur'an. Selain itu, ada LP3ES,
yang sebenarnya merupakan lembaga yang bersifat umum, tapi memustkan perhatiannya pada
masalah pesantren, kelompok masyarakat Islam pedesaan, dan lapisan bawah lainnya. Begitu
pula Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). lembaga ini
mempertemukan kaum ulama pesantren dengan ilmuan sosial. Selain kegiatan yang serupa
community development, P3M juga menerbitkan jurnal Pesantren, sebuah jurnal
interdisipliner.
Hampir semua lembaga berusaha untuk memberikan epistemologi terhadap pertemuan antara
nilai dan norma agama dengan ilmu sosial. Hidayat Nataatmadja misalnya, sebagaimana
dijelaskan Kuntowijoyo (1998: 320-321), dalam sebuah bukunya yang agak sulit untuk
dibaca, ia melakukan kritik atas ilmu-ilmu empirik dan rasional. Semua ilmu bertolak dari
6

aksioma yang tidak pernah dibuktikan keberadaannya. Ia membuat contoh, bahwa energi
keberadaanya masih tetap merupakan barang gaib. Agama dalam hal ini jauh lebih pasti
daripada ilmu karena mengenai relativitas moral.
Perhatian yang sama juga ditunjukkan oleh pemikir lain. Pada umumnya semua setuju bahwa
sebuah teori ilmu-ilmu Islam harus mendasarkan diri pada wahyu. Syafruddin Prawiranegara
sudah lama manyatakan pentingnya refleksi normativ, menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk
sebagai ayyatun bayyinat atau realitas obyektif. Oleh karena itu penelitian-penelitian empirik
diperlukan untuk menunjang pembangunan sebuah teori. Bagi M. Dawam Rahardjo,
metodologi yang tepat adalah fenomenologi, grounded research, dan riset aksi. Hal senada
juga muncul dari pendapat Mukti Ali, meskipun ia menyarankan bahwa pentingnya
metodologi grounded theory, atau teori berakar, akar teori justru muncul dari kenyataan
empiris (Ali, 1987: 17). Lebih lanjut ia memberi penilaian bahwa sedikit bagi kaum
intelektual Islam yang membicarakan masalah epistemologi dan metodologi ilmu sosial Islam.
Desain Penelitian Agama
Sebagaimana gambaran sebelumnya, bahwa agama dapat dipandang dari gejala budaya dan
gejala sosial, maka desain penelitian agama dapat dibedakan menjadi dua jenis pengamatan
tersebut.
Pertama, desain penelitian agama sebagai gejala budaya pada umumnya lebih sederhana,
karena penelitian agama-budaya sifatnya unik dan tidak memerlukan pembuktian
keterulangan gejala di tempat lain. Sebuah penelitian sejarah tentang Bani Umayyah misalnya,
diperlukan desain mengenai kejelasan pembahasan topik yang diteliti. Untuk membahas
sebuah topik penelitian agama seperti ini, sedikitnya ada empat hal yang harus diperhatikan
dan diperjelas. Pertama, mengenai perumusan masalah; apa pertanyaan-pertanyaan pokok?
Dalam penelitian pokoknya adalah faktor-faktor apa saja yang telah menyebabkan jatuhnya
Bani Umayyah dan bangkitnya Bani Abasiyah. Kedua, mengenai arti pentingnya atau tujuan;
kenapa ia mencari jawaban atas pertanyaan itu, apa kontribusinya? Ketiga, mengenai metode
menjawab pertanyaan penelitian. Di antaranya sumber informasi yang diperlukan untuk
menjawab, bagaimana memahami dan menganalisa informasi itu, kemudian bagimana
mengkaitkannya menjadi satu penjelasan yang lebih bulat untuk menjawab persoalan
penelitian tersebut. Keempat, mengenai sumber literatur (telaah pustaka) tentang masalah
yang bersangkutan. Peneliti dianjurkan terlebih dahulu membaca referensi yang berkaitan
dengan teori jatuhnya Bani Umayyah sampai bangkitnya Bani Abasiyah secara mendalam.
Dari keempat itu, merupakan desain sebuah penelitian, dalam hal ini agama sebagai gejala
budaya yang mengambil topik sejarah Islam pada masa klasik.
Kedua, desain penelitian agama sebagai gejala sosial, pokok persoalannya yang dihadapi pada
hakikatnya sedikit lebih kompleks dan diperlukan sistematika yang lebih tinggi dibanding
pada saat penelitian agama sebagai gejala budaya. Desain ini memang membutuhkan
penjabaran yang lebih elaboratif dalam menjelaskan sebuah keterulangan yang diamati
sebelum sampai pada akhir kesimpulan. Misalnya penelitian tentang "Pandangan Ulama
Tentang Penggunaan Alat Kontrasepsi Spiral (IUD) dalam Program Keluarga Berencana
(KB)". Pertama, menjabarkan permasalahan yang diteliti, misalnya apa yang disebut
pandangan. Kemudian apa indikasinya judul di atas dapat dikategorikan penelitian agama?
Tentu penelitian ini adalah mempelajari pandangan ulama. Lalu, signifikansinya apa?
Misalnya tentang pandangan ulama mengenai KB itu sangat penting untuk membangun
pemahaman yang lengkap mengenai pandangan kelompok Islam terhadap penggunaan alat
kontrasepsi spiral dalam keluarga berencana.
Langkah selanjutnya mengenai desain metodologi, yakni cara bagaimana kita melakukan
penelitian. Kama cara yang harus dijelaskan adalah bagaimana mengumpulkan data; dengan
wawancara, angket atau yang lain, siapa dan berapa jumlah informasinya? Di mana mereka
7

bertempat tinggal? dan seterusnya.


Hal lain yang perlu disadari adalah cara pengukuran. Ini penting karena menyangkut masalah
pandangan yang harus representatif mewakili semua ulama. Misalnya dia mengatakan
pandangannya tentang penggunaan IUD dengan sangat setuju, setuju, kurang setuju, atau
mungkin juga pandangan mengenai alat kontrasepsi secara keseluruhan. Bagaimana
mengukur setuju atau tidaknya dengan cara jawaban ya/tidak, sangat setuju/tidak setuju dan
sebagainya.
Kemudian dibuat indeks, guna memudahkan dalam melihat data yang terkumpul sebagai
jawaban atas pertanyaan. Selain melihat data, juga melihat informasi dan bagian dari cara
melakukan pengukuran. Maka yang menjadi alat ukur mengenai masalah ini adalah kedekatan
pandangan satu sama lain.
Selanjutnya, menganalisis pandangan para ulama dari sekian jumlah yang dijadikan sampel
dalam penelitian tersebut. Dalam analisa itu diperlukan sebuah proporsionalitas. Artinya
keseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan misalnya, segi umur; yang lebih muda dan
lebih tua, dan sebagainya. Di samping itu, seorang peneliti sosial tidak harus puas berhenti
sampai pada jawaban mereka. Maka ia harus mencari mengapa mereka mengatakan begitu;
apa latar belakang pendidikannya, di mana ia belajar dan sebagainya. Hal ini menghindari
sebuah kesimpulan yang tidak valid.
Melalui uraian tersebut, ada empat hal yang perlu digaris bawahi dalam satu desain penelitian.
Pertama, rumusan masalahnya, termasuk di dalamnya operasionalisasi konsep dari masalah
yang disebut dalam judul. Kedua, signifikansi atau pentingnya penelitian. Ketiga, bagaimana
cara melakukan pengumpulan dan mengalisis data. Keempat, studi pustaka, yang berguna
untuk mengetahui studi apa saja yang pernah dilakukan yang berbicara mengenai pandangan
ulama mengenai KB. Begitu juga, studi-studi mengenai alat kontrasepsi yang lain sudah
dilakukan orang. Semua itu, untuk mengetes apakah masih terdapat pengulangan atau tidak.
Dengan demikian, peneliti membandingkan dengan penelitian terdahulu apa mungkin akan
terjadi terulang kembali.
Daftar
Bacaan
Abdullah, M Amin, 1999, Studi Agama; Norativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ali, A. Mukti, 1987, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press.
Kuntowijoyo, 1998, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.
Mudzhar, M. Atha, 1998, Pendekatan Studi Islam; Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Mujtahid, Memahami Pendekatan Studi Agama (Islam), dalam Jurnal el-Hikmah, Volume IV,
No.
1
Juli
2006.
Nata, Abuddin, 1999, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada.
Woodward, Mark W., [ed.] 1998, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia,
Bandung:
Mizan.
Martin, Richard C., 2001. Approaches to Islam in Religious Studies, diterjemah oleh
Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta: UMS Press.

Perlukah Bukti Ilmiah untuk Dogma Agama?


Judulnya sengaja saya bikin pertanyaan biar terjadi diskusi, terutama diskusi dalam alam
pikiran saya sendiri. Jujur, inspirasi datang dari hobi saya sendiri yang gemar akan bacaan
agama dan sains. Lebih spesifik, inspirasi datang dari bahan bacaan saya mengenai teori
8

evolusi. Entah kenapa, teori evolusi ini selalu hangat menjadi bahan debat dari tingkat
sekolah hingga para pakar. Saya sendiri memang menikmati perdebatan itu, bahkan cukup
sering terlibat di dalamnya. Dan saya cukup mengerti bahwa judul yang saya berikan bisa
menimbulkan kontroversi karena terminologi agama sendiri bisa mencakup banyak hal, bisa
sejarah agama, hukum agama, konsep teologinya, penafsiran kitab sucinya dan lain-lain.
Begitu pula jika kita membicarakan sains, ruang lingkupnya sangat luas. Maka, saya
persempit bahasan, bahwa agama yang dibahas adalah agama Islam (agama saya sendiri :)),
dogma yang saya ambil bukanlah seluruh konsep ke-Islam-an, namun yang saya anggap
populer di dalam kajian-kajian Muslim, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Saya mengawalinya dengan satu konsep sains, bahwa apa yang dikatakan ilmiah oleh
ilmuwan berasal dari penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah kemudian hasilnya
dilaporkan melalui laporan ilmiah (bisa berupa skripsi, jurnal, thesis, disertasi, buku dll), dan
hasil laporan tersebut diterbitkan sehingga orang lain yang punya kompetensi terkait
penelitian tersebut bisa mengujinya. Penelitian ilmiah sendiri dilakukan untuk menjawab
hipotesis dan hipotesis disusun untuk membuktikan suatu teori. Terminologi teori yang sering
dipakai dalam kehidupan sehari-hari sering berbeda maksud dengan istilah teori dalam dunia
sains, misalnya dalam kalimat, Ah, itu kan cuma teori, kenyataannya berbeda. Sedangkan
teori dalam ranah sains adalah hipotesis yang sudah terbukti ilmiah dan digunakan untuk
menerangkan fenomena yang terjadi di alam. Sebagai contoh adalah kisah terkenal mengenai
apel dan gravitasi Newton. Gravitasi adalah teori yang oleh Newton digunakan untuk
menerangkan sebab mengapa apel jatuh ke kepalanya. Lebih lanjut, teori gravitasi digunakan
untuk menerangkan kenapa benda di bumi selalu jatuh ke bawah dan posisi serta pergerakan
planet.
Sekarang kita beranjak ke konsep sains mengenai falsifikasi dan pembuktian terbalik.
Falsifikasi adalah proses untuk mebuktikkan bahwa suatu pernyataan itu salah. Suatu
hipotesis/teori harus bersifat falsifiabilitas. Kenapa harus bersifat falsifiabilitas? Supaya
terjaga keobyektifan dari penelitian yang akan dilakukan untuk membuktikkan hipotesis
tersebut. Keobyektifan penelitian bisa dikontrol dengan pembuktian terbalik dari penelitian
yang mendukung terhadap pernyataan awal. Misalnya, seorang ilmuwan melakukan
penelitian dan menemukan bahwa semua burung yang bersayap bisa terbang. Jika tidak
dilakukan pembuktian terbalik, yang ada malah terus membenarkan-benarkan hasil penelitian
ini, meski dilakukan oleh ilmuwan yang lain. Berbeda dengan jika dilakukan pembuktian
terbalik oleh ilmuwan lain dengan hipotesis bahwa tidak semua burung bersayap bisa
terbang. Jika tidak ditemukan burung yang tidak bisa terbang, maka hasilnya akan
menguatkan penelitian pertama secara obyektif. Namun jika ternyata ditemukan satu burung
saja yang tidak bisa terbang, maka klaim penelitian pertama gugur dan digantikan oleh hasil
penelitian yang kedua. Dengan cara ini, selain keobyektifan terjaga, juga memastikan agar
sains terus berkembang.
Nah, bagaimana dengan dogma agama, apakah bersedia difalsifikasi juga? Tuhan itu ada,
negasinya adalah, Tuhan tidak ada. Bagaimana membuktikkan bahwa Tuhan itu ada atau
bagaimana membuktikkan bahwa Tuhan itu tidak ada? Ada yang menganggap bahwa
pernyataan Tuhan itu ada adalah pernyataan yang bisa difalsifikasi, namun ada juga yang
menganggapnya tidak bisa. Saya yakin mayoritas dari kita (yang beragama Islam) akan
mengatakan bahwa alam semesta dan isinya adalah bukti positif mengenai keberadaan Tuhan.
Bagi anda yang berpikiran seperti itu, coba ganti kata Tuhan dengan alien. Alien itu ada.
Alien-lah yang menciptakan alam semesta. Paham dengan logika saya?
Jika anda paham, anda akan menyangkal bahwa bukan alien yang menciptakan alam semesta,
tapi Allah. Pertanyaannya, bagaimana anda tahu bahwa yang menciptakan alam semesta itu
Allah? Dan bagaimana anda bisa membuktikkannya? Jika anda masih mengikuti logika
berpikir saya, saya perkirakan anda akan menjawab, Lho, di Al-Quran kan ada, di surat AlAnam, ayat ke-101. Di situ Allah berfirman bahwa Allah pencipta langit dan bumi. Di
sinilah konsensus sains tidak menerima bukti berupa ayat-ayat dari kitab suci. Perlu bukti
lagi yang tidak bias oleh kepercayaan atau keimanan. Sementara agama sangat tergantung
9

pada apa yang tertulis pada kitab sucinya. Sebagai umat Islam, kita beriman bahwa isi dari
Quran adalah kebenaran universal, namun bagaimana dengan umat agama yang lain? Saya
jawab, belum tentu mereka percaya. Inilah perbedaan nyata antara sains dan agama. Sains
diharapkan menghasilkan sesuatu yang netral, tidak akan bias hasil meski dikembangkan
oleh ilmuwan dari berbagai agama ataupun yang tidak beragama sekalipun.
Kalau begitu, apakah kebenaran yang dihasilkan sains adalah kebenaran absolut? Saya jawab,
sains atau laporan ilmiah bukanlah kebenaran absolut. Artinya, sains bisa salah! Lebih
tepatnya bisa dibuktikkan salah! Bagaimana caranya? Tentu saja seperti yang saya terangkan
di atas, bisa dengan pembuktian terbalik atau menyusun teori ilmiah baru yang lebih
komprehensif, yang tentunya juga disusun dalam koridor ilmiah. Begitulah cara kerja sains
sehingga dapat dipastikan sains selalu berkembang. Kata Newton, Jika saya bisa melihat
lebih jauh, itu karena saya berdiri di pundak para raksasa. Maksudnya adalah, karya Newton
didasarkan pada karya ilmiah yang sudah ada sebelumnya, entah itu salah ataupun benar.
Inilah yang patut ditekankan, bahwa kebenaran sains tidak bersifat absolut. Sangat berbeda
dengan dogma agama yang absolut. Sejauh saya mengamati, pada poin inilah banyak saudara
seiman saya yang tidak paham. Kebenaran sains dianggap kebenaran absolut sehingga ketika
ada pertentangan antara dogma agama dengan sains, cenderung langsung membawa
persoalan ke dunia hitam atau putih, benar atau salah, bahkan hingga Muslim atau kafir.
Tentu kita tidak ingin mengulang tragedi Copernicus atau Galileo. Sikap yang paling bijak
tentunya adalah tidak menempatkan sains setara dengan agama. Jadi ketika ada indikas
pertentangan, kita bisa mengkaji lebih jauh, jangan-jangan hasil penelitiannya yang salah,
atau penafsiran kita atas ayat kitab suci yang selama ini salah? Who knows?
Jadi kesimpulannya adalah

belum saya simpulkan :), karena saya berniat meneruskan tulisan ini. Tunggu saja.

PENELITIAN AGAMA DI INDONESIA


A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya seluruh rakyat Indonesia (bahkan pada hakikatnya seluruh
manusia) secara fitrah mempunyai potensi untuk percaya kepada Sang Khaliq, dan karenanya
agama yang mengajarkan dan memberikan konsepsi tentang Ketuhanan secara jelas dengan
semua konsekuensinya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa
Indonesia.
Kehidupan beragama haruslah semakin dikembangkan dan diamalkan seirama
dengan peningkatan dan pengembangan pembangunan, baik dalam kehidupan pribadi
maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama demi terbinanya kerukunan hidup antar
umat beragama dan antara umat beragama dengan pemerintah.
10

Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Wahyu diturunkan
oleh Tuhan ini masih besifat abstrak, sehingga untuk memahaminya diperlukan pengkajian
yang mendalam. Ibarat sebuah kemasasan, wahyu dapat diibaratkan sebagai bungkusnya dan
kita baru mengenal pada bungkus itu, sedangkan isi yang sesungguhnya adalah apa yang
terkandung di dalam bungkus itu. Untuk mengetahui isi bungkus itu tentunya harus membuka
dan melihat isi yang ada dalam bungkus tersebut. Agama dapat memberikan seseorang
orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang
sakral.
Mukti Ali dalam tulisannya berjudul Penelitian Agama di Indonesia dalam
Sumardi

(1982:28)

menyatakan

bahwa

penelitian

agama

tidak

bermaksud

memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat dan sebagainya. Tetapi ingin
melukiskan salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala
dalam masyarakat agama. Biasanya suatu kelompok serta persoalan-persoalannya diberikan
perhatian. Sebagai latar belakang tidak dipakainya satu visi sosiologis saja, tetapi diambil
beberapa konsep dan paham dari pelbagai ilmu sosial.
Sebenarnya masih banyak persoalan mendasar yang harus digarap dalam
penelitian agama. Tetapi sebagai latar belakang persoalan pokok untuk kita sekarang ialah :
sejauh mana ilmu-ilmu sosial dapat membantu untuk membentuk penelitian agama semacam
ini? Sejauh mana sudah ada pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang dapat
diterapkan dalam lapangan agama.
Harus kita akui bersama bahwa pengetahuan tentang agama Islam di Indonesia
tidak mengalami perkembangan yang berarti dibanding dengan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat bangsa kita, yang menyangkut baik sistem budaya
maupun sistem sosial. Dengan penelitian keagamaan itu diharapkan akan diketahui
bagaimana perwujudan sosial dan kultural agama Islam, juga agama-agama lain dalam
masyarakat Indonesia yang bermacam-macam itu, dan sejauh mana kebudayaan setempat
ikut mewarnai perwujudan sosial dan kultural agama Islam tersebut, dan agama-agama lain di
Indonesia.
Mattulada menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Penelitian Berbagai Aspek
Keagamaan dan Kehidupan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia dalam Sumardi
(1982:54), setuju dengan keterangan Prof. Dr. K.H. Mukti Ali bahwa penelitian agama belum
mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam dunia ilmu pengetahuan, juga di Indonesia ini.
Orang belum mengetahui caranya, kalau ia harus meneliti agama itu. Ahli-ahli pengetahuan
sosial dalam meneliti agama ini, lebih banyak menekankan pada aspek-aspek sosialnya dan
melihat agama sebagai suatu yang timbul dari pergaulan sesama manusia. Cara seperti itu
banyak dipergunakan oleh ahli sosiologi atau ahli antropologi sosial dalam meneliti agama
itu. Sudah barang tentu pendekatan yang demikian itu tidak akan memperoleh pengertian
yang tepat tentang agama.
11

Untuk menunjang pelaksanaan usaha-usaha itu diperlukan penelitian agama dan


keagamaan dalam berbagai aspeknya untuk mendapatkan data-data otentik guna untuk
dijadikan bahan penyusunan konsepsi-konsepsi pengembangan dan pembinaan, serta
penyusunan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang keagamaan.
Mulyanto Sumardi menyatakan pada buku berjudul Penelitian Agama: Masalah
dan Pemikiran (1982:1) bahwa sejak Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dibentuk
pada tahun 1975, salah satu diantara sekian topik yang muncul adalah masalah metodologi
penelitian agama. Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan oleh Badan Litbang Agama
untuk membicarakan persoalan ini, dan hasilnya adalah para ahli mempunyai dua pendapat
yang berbeda untuk memecahkan masalah tersebut. Pertama, menyatakan bahwa perlu
dibangun suatu metodologi penelitian agama yang khas, sekalipun hal ini harus mengambil
unsur-unsur dari disiplin-disiplin terdekat. Hal tersebut perlu dilakukan karena:
1. Mereka menganggap bahwa metode-metode yang selama ini digunakan dalam
penelitian agama seringkali kurang tepat sehingga tidak mampu menerangkan secara
jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta-fakta keagamaan tersebut.
2. Dilandasi oleh adanya pendapat sementara ahli, khususnya non-Barat, yang
menganggap bahwa dalam penelitian agama mungkin sudah waktunya dipikirkan
adanya pendekatan yang bukan Barat seridak-tidaknya dalam masalah konsep yang
dipergunakan.
Usaha ke arah itu lebih lanjut pernah dicoba para peserta Program Studi Purna
Sarjana (SPS) (sekarang Pascasarjana) dosen-dosen IAIN, tahun 1975, di Yogyakarta.
Dengan mempelajari sejumlah kepustakaan tentang metode penelitian, mereka mencoba
menyusun suatu naskah yang diberi judul Metode Penelitian Agama. Sejauh mana hasil
rangkuman ini bisa dinilai sebagai suatu metode penelitian agama yang khas dengan segala
otonominya, barangkali perlu ditinjau lebih dalam. Namun sepintas saja, siapa pun yang
menelaah naskah itu akan memperoleh kesan bahwa bagian-bagian dari isinya mencerminkan
kutipan dari sejumlah kepustakaan teertentu, tanpa adanya usaha membangun pemikiranpemikiran ke arah spesifikasi yang dibutuhkan.
Kedua, mereka yang berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak perlu
membangun metode baru. Sebagaimana yang telah berjalan selama ini, para ahli bisa
melakukan penelitian agama dengan cara memanfaatkan pengetahuan serta metode dari
berbagai disiplin (interdisipliner atau multidisipliner), khususnya dari dua disiplin terdekat,
yakni ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya. Sekalipun dalam hal ini sudah barang tentu
diperlakukan adanya persiapan-persiapan khusus, sesuai dengan keanekaragaman serta
spesifikasi obyek penelitian yang dihadapi. Seorang antropolog sudah tentu tidak usah
meninggalkan disiplin dan metodenya, sekiranya ia meneliti religi kelompok etnis tertentu.
Begitulah bagi para peneliti dari disiplin dari disiplin yang lain, mereka tetap akan melihat
12

gejala keagamaan sesuai dengan sudut dan konsep disiplinnya masing-masing. Walaupun
mereka memiliki suatu disiplin, namun itu tidak berarti mereka harus terpaku dalam disiplin
itu sendiri, sebab bagaimanapun juga untuk persoalan keagamaan yang gejalanya khas itu,
para peneliti dituntut untuk memiliki kepekaan teoritis lebih dari sekedar pendekatan empiris
semata-mata, yang mampu menerangkan dinamika motivasional yang melandasi tindaktanduk keagamaan masyarakat. Pada garis besarnya pihak kedua ini berpendapat bahwa
dalam penelitian agama tidak perlu dibangun suatu metodologi tersendiri, akan tetapi cukup
dengan memanfaatkan berbagai disiplin yang ada, sesuai dengan segi dan masalah
keagamaan yang hendak diteliti.
B. Permasalahan
Atas dasar latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi fokus kajian/
permasalahan adalah:
1. Mengapa Penelitian Agama di Indonesia itu diperlukan?
2. Perlukah kita membuat rumusan pendekatan bukan- Barat?
3. Perlukah adanya metodologi tersendiri dalam penelitian agama?
C. Pentingnya Penelitian Agama
Menurut Mukti Ali dalam Sumardi (1982) Penelitian agama di Indonesia adalah
penting karena bangsa Indonesia adalah bangsa religius, dan masyarakat sosialistis religius.
Penelitian agama adalah penting bukan saja bagi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu
pengetahuan, akan tetapi juga bagi para perencana dan pelaksana pembangunan di negeri
kita.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surat Ali Imran 190 191, Artinya:
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Quran In Word
Ver 1.0.0 Created by Mohamad Taufiq)

Dari ayat di atas (dan banyak lagi ayat-ayat yang senada) dapatlah kita ambil
beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Bahwa alam semesta ini merupakan tanda tentang adanya Tuhan dengan segala
kekuasaan-Nya, terutama bagi orang-orang yang berfikir kritis, tentunya di sini
termasuk para peneliti.
2. Bahwa kesadaran tentang tentang alam semesta ini (yaitu kesadaran ilmiah) akan
meningkatkan kesadaran seseorang tentang kebesaran Allah SWT, sehingga
disadarinya pula bahwa semua penciptaan Allah SWT itu punya tujuan tertentu yang
dalam filsafat disebut theologies.

13

3. Dalam kaitannya dengan penelitian agama/keagamaan dapatlah secara eksplisit kita


katakana bahwa penelitian terhadap seluruh isi alam ini akan membawa seseorang
kepada kesadaran tentang adanya kekuasaan Allah SWT. Dengan kata lain: bahwa
penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu memperkuat masalah
keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari agama. Secara
teknis ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat menggunakan metode
penelitian-penelitian lain yang ada. Lebih tegasnya lagi dapat dikatakan, bahwa semua
penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya dapat membantu penelitian agama.
Maka bila sementara ahli berpendapat bahwa penelitian agama dapat dibanrtu oleh
metode/metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial dan budaya, atas dasar asumsi di atas
kiranya pendapat itu menyangkut fenomena agama, tentulah terdapat ciri-ciri khas
yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain.
Menyadari perlunya penelitian agama maka pemerintah lewat Keputusan Presiden RI
No. 45 Tahun 1974 (khususya Lampiran 14) yang dijabarkan oleh Keputusan Menteri Agama
Nomor 18 Tahun 1975 telah membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Agama pada
Departemen Agama yang tugas dan fungsinya antara lain: menyelenggarakan pembinaan
semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Agama yang
mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh
Badan LITBANG maupun yang diselenggarakan oleh unsur-unsur lain dalam Departemen
Agama.
Yang mendorong adanya penelitian agama, khususnya bagi kita di Indonesia ialah
adanya kesadaran umum yang kuat, bahwa kenyataan sosial dan kultural bangsa Indonesia,
adalah kenyataan yang bersifat religius. Agama dan masyarakat itu ada dan saling
mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat, dan selanjutnya pertumbuhan
masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Pengaruh timbal-balik antara
perkembangan masyarakat dan pertumbuhan agama merupakan kenyataan sosial budaya
yang menjadi tantangan untuk dipahami seluas dan sedalam mungkin. Untuk menjawab
tantangan itu, penelitian-penelitian ilmiah diperlukan penggiatannya , baik untuk kepentingan
akademis maupun untuk keperluan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan masyarakat
pada umumnya.
Deliar Noer di akhir tulisannya yang berjudul Diperlukan Pendekatan Bukan Barat
terhadap Masyarakat Indonesia dalam Sumardi (1982:46-47) menyatakan : kita juga harus
mengingat bahwa sifat dalam hukum Islam bukan terbatas pada suruhan dan larangan belaka,
melainkan juga yang bersifat menganjurkan (sunnat), mencegah secara lunak tetapi
mengandung pengertian tidak apa-apa bila masih juga dikerjakan (makruh). Disamping
empat kategori ini kita masih mengenal sifat membiarkan atau membolehkan (jaiz, mubah).

14

Kalau berbicara tentang kategori hukum ini, maka tambah banyak perbedaan yang
kita jumpai antara pandangan pertama tadi (sarjana-sarjana Barat) dengan yang kedua, yaitu
mengkaitkan pengamatan dengan ajaran Islam. Dalam membicarakan hukum dalam
masyarakat Indonesia, tampaknya penulis Barat tidak dapat melihat kelima kategori dalam
al-ahkam al-khamsa tadi.Sifat hukum mereka memang terbatas pada larangan dan suruhan.
Bagi mereka, bila yang diwajibkan tidak dikerjakan, atau bila yang dilarang dikerjakan
terjadilah pelanggaran, dan oleh sebab itu hukuman bisa dijatuhkan. Tiga kategori lain tidak
mereka pusingkan.
Sedangkan dalam Islam segala macam aspek hidup dibicarakan dalam hukum. Oleh
karena kategori jaiz atau mubah termasuk bidang yang luas, maka sebenarnya ruang gerak
bagi si Muslim sangat luas pula. Dalamnya termasuk bagian-bagian adat dalam masyarakat
yang sungguhpun mungkin berasal dari zaman sebelum Islam dikenal, bisa saja dilanjutkan
sesudah Islam

masuk asalkan ia tidak bertentangan dengan pokok-pokok kaidah.

Memandang satu-satu masalah dengan pandangan atau pendekatan sedemikian, akan


mempertemukan adat dengan Islam.
Selanjutnya kita perlu mengubah pendekatan kita. Sudah jelas bahwa penulis-penulis
Barat umumnya tidak memperhatikan cirri-ciri pokok Islam dan pengaruhnya dalam
masyarakat. Penilaian mereka bersandar pada niai-nilai yang tumbuh dalam diri mereka, dan
penilaian kita seharusnya bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh dalam diri kita. Lebih lanjut
Deliar Noer menyaatakan: tak usah saya sebut nama orang-orang kita, sarjana atau bukan,
yang hingga waktu ini masih mengikuti jejak guru-guru mereka di Barat. Kitan penulispenulis Barat itu bertaburan di perpustakaan kita, dan kitab orang-orang kita yang senafas
dengan mereka banyak pula.
Ada dua jalan yang perlu ditempuh untuk dapat membuat kajian tentang masyarakat
kita, dan agaknya masyarakat mana pun lebih dapat dipertanggung-jawabkan. Pertama,
bahwa sarjana-sarjana kita perlu mengkaji esensi masyarakat kita yang memang beragama
Islam. Kedua, bahwa kita perlu menumbuh-kembangkan istilah-istilah khusus

untuk

menggambarkan dengan lebih tepat masyarakat yang kita bahas itu.


Ronny Kountur (2003:1) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Metodologi
Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, bahwa penelitian berhubungan dengan usaha
untuk mengetahui sesuatu. Selain itu penelitian berhubungan pula dengan usaha untuk
mencari tahu jawaban atas suatu atau beberapa permasalahan. Telah dikenal dua cara yang
pernah digunakan oleh para ahli dalam upaya untuk mencari tahu sesuatu pengetahuan yang
baru yaitu cara atau pendekatan rasional dan empiris.
Pendekatan Rasional merupakan suatu cara untuk mencari tahu sesuatu pengetahuan
yang baru dengan anggapan bahwa segala sesuatu yang ingin diketahui itu ada di dalam
pikiran manusia (internal wisdom). Adalah kemampuan seseorang untuk berfikir, dengan
menggunakan akal sehat atau rasional, untuk menemukan pengetahuan tersebut dari
15

pikirannya. Dengan kata lain, menurut pendekatan rasional, pengetahuan dimulai dari suatu
gagasan atau pikiran yang didasarkan atas kebijaksanaan yang dimilki seseorang.
Pendekatan rasional digunakan pada waktu yang lalu dan salah seorang yang
menggunakan pendekatan ini adalah Aristotle, walaupun bukan dia yang memulainya.
Kemudian pendekatan ini dianggap tidak layak dan disanggah oleh beberapa ahli pada waktu
itu. Diantara para ahli yang mulai mengkritik pendekatan ini adalah Francis Bacon.
Ketidak mampuan pendekatan rasional dalam memecahkan suatu permasalahan
diilustrasikan oleh ahli filsafat dan ilmuwan Francis Bacon yang diceritakan oleh Mees dan
diterjemahkan secara bebas sebagai berikut (Howard, 1985):
Di tahun 1432, timbul pertengkaran diantara para tua-tua tentang jumlah gigi yang ada di
mulut seekor kuda. Selama tiga belas hari pertengkaran terus berlangsung tanpa jalan
keluar. Pada hari ke empat belas, seorang anak muda yang memiliki maksud yang baik
dan polos bertanya untuk membuka mulut seekor kuda dan mencari tahun jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mereka. tangkap dia oleh karena, kata mereka, pasti setan telah
menggodai orang baru yang berani ini untuk menyatakan cara yang tidak suci dan tidak
pernah didengar untuk mencari tahu kebenaran yang berlawanan dengan ajaran-ajaran
para pendahulu.
Ilustrasi tersebut menunjukkan ketidakmampuan pendekatan rasional untuk memecahkan
permasalahan atau untuk mencari tahu sesuatu menyangkut berapa jumlah gigi yang ada di
mulut seekor kuda. Berapa jumlah gigi kuda tidak bisa ditemui pada pikiran ataupun gagasan.
Cara yang terbaik untuk mengetahuinya adalah dengan membuka mulut kuda dan
menghitung berapa jumlah gigi kuda tersebut dan bukan dengan berfikir.
Pendekatan empiris sudah dimulai kurang lebih tiga ratus tahun lalu dari pekerjaanpekerjaan yang dilakukan oleh Bacon, Locke, dan Hume (Cook & LaFleur, 1975). Menurut
pendekatan empiris pengetahuan diperoleh dari hasil pengamatan terhadap fenomena yang
terjadi (external process). Jawaban atas suatu permasalahan ada pada objek di mana masalah
tersebut berada dan bukan di dalam pikiran seseorang. Apa yang harus kita lakukan adalah
mengamati apa yang terjadi dan membuat kesimpulan. Seperti contoh pada ilustrasi gigi
kuda di atas, cara yang terbaik adalah mengamati. Buka mulut kuda dan amati (dengan cara
menghitung) maka permasalahan berapa jumlah gigi kuda tersebut akan segera terjawab.
Menurut pendekatan empiris, pengetahuan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh
dari hasil penelitian dan observasi. Salah satu bagian dari pendekatan empiris adalah metode
ilmiah.
Metode ilmiah (scientific method) merupakan suatu cara memperoleh pengetahuan
yang baru atau suatu cara untuk menjawab permasalahan-permasalahan penelitian yang
dilakukan secara ilmiah. Suatu pendekatan untuk mencari tahu sesuatu dikatakan ilmiah
apabila pendekatan tersebut mengikuti langkah-lankah metode ilmiah.
Secara umum metode ilmiah dimulai dengan mengidentifikasi masalah. Setelah
masalah teridentifikasi langkah berikutnya adalah merumuskan hipotesis. Hipotesis dapat
diartikan sebagai jawaban sementara atas permasalahan penelitian yang kebenarannya masih
perlu diuji. Kebenaran atas hipotesis ini perlu diuji dengan cara mengumpulkan data dari
16

fenomena yang diteliti kemudian dianalisis. Berdasarkan analisis atas data tersebut,
kesimpulan dibuat apakah akan menerima atau menolak hipotesis. Penelitian-penelitian yang
dilakukan saat ini didasarkan atas metode ilmiah yang merupakan bagian dari pendekatan
empiris.
Jalaluddin Rakhmat dalam tulisannya, berjudul Metodologi Penelitian Agama dalam
Taufik Abdullah (1989:93), dengan meminjam analisis religion commitment dari Glock dan
Stark keberagamaan muncul dalam lima dimensi: ideologis, intlektual, eksperiensial,
ritualistic, dan konsekuensional. Dua dimensi yang pertama adalah aspek kognitif
keberagamaan; dua yang terakhir, aspek behavioral keberagamaan, dan yang ketiga, aspek
afektif keberagamaan.
Dimensi ideologis berkenaan dengan seperangkat kepercayaan (beliefs) yang
memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan
diantara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan
peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purposive beliefs). Kepercayaan, yang terakhir,
dapat berupa pengetahuan tentang perangkat tingkah laku yang baik yang dikehendaki
agama. Kepercayaan jenis inilah yang didasari struktur etis agama.
Dimensi intelektual mengacu pada pengetahuan agama, apa yang tengah atau harus
diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini, penelitian dapat diarahkan
untuk mengetahui seberapa jauh tingkat melek agama (religious literacy) para pengikut
agama yang diteliti; atau tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya.
Dimensi eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif-yakni,
keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan
keagamaan (religion feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat: konfirmatif
(merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsive (merasa bahwa
Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab
dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif (merasa menjadi kawan setia kekasih, atau
wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam melakukan karya ilahiah).
Dimensi ritualistic merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama
dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok
pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat
meneliti frekuensi, prosedur, pola, sampai kepada makna ritus-ritus tersebut secara
individual, sosial, maupun kultural.
Dimensi konsekuensional, ditempat lain, saya sebut dimensi sosial-meliputi segala
implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi inilah yang menjelaskan apakah
efek ajaran Islam terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian kepada penderitaan
orang lain dan sebagainya.

17

Kita percaya bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan tidak hanya melalui
pengamatan empiris, juga tidak hanya lewat analisis logis, tetapi juga melalui serangkaian
pengalaman mistikal (irfaniah).
Atas dasar kajian tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu memperkuat masalah
keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari agama. Lebih tegasnya
lagi dapat dikatakan, bahwa semua penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya dapat
membantu penelitian agama. Maka bila sementara ahli berpendapat bahwa penelitian agama
dapat dibanrtu oleh metode/metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial dan budaya, atas dasar
asumsi di atas kiranya pendapat itu menyangkut fenomena agama, tentulah terdapat ciri-ciri
khas yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain.
2.

Yang mendorong adanya penelitian agama, khususnya bagi kita di Indonesia ialah adanya
kesadaran umum yang kuat, bahwa kenyataan sosial dan kultural bangsa Indonesia, adalah
kenyataan yang bersifat religius. Agama dan masyarakat itu ada dan saling mempengaruhi.

3.

Ahli barat dalam memandang hukum Islam hanya dilihat dari dua sisi saja, yakni yang
berkaitan dengan suruhan dan larangan saja, sedangkan 3 aspek lainnya (sunnat, makruh, dan
mubah) tidak diperhatikan. Dengan melihat masalah ini maka sudah seharusnya dalam
melakukan penelitian agama kita sudah saatnya meninggalkan konsep-konsep dari Barat
tersebut. Ada dua hal yang perlu kita perhatikan antara lain: pertama, bahwa sarjana-sarjana
kita perlu mengkaji esensi masyarakat kita yang memang beragama Islam. Kedua, bahwa kita
perlu menumbuhkembangkan istilah-istilah khusus

untuk menggambarkan dengan lebih

tepat masyarakat yang kita bahas itu


4.

Dengan mengingat kekurangan masing-masing para ahli ilmu sosial dan ahli ilmu agama,
maka perlu adanya kerja sama antara kedua belah pihak dalam melakukan penelitian agama.

5. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka


perlu adanya pendekatan empiris, dan irfaniah (mistikal). Sedangkan pendekatan rasional
tidak mampu memberikan jawaban yang benar atas suatu permasalahan, sehingga para
ilmuwan sudah lama meninggalkan metode ini.
6. Dalam Paradigma penelitian agama muncul lima dimensi:
a. ideologis (seperangkat kepercayaan untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan
diantara mereka),
b.

intlektual

(apa

yang

tengah

atau

harus

diketahui

orang

tentang

ajaran-ajaran

agamanya/seberapa jauh tingkat pemahaman agamanya/minat untuk mempelajarinya),


c. eksperiensial (afektif-yakni, keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran
agama. Ada empat tingkatan:
1) konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya),
2) responsive (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya),
3) eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan
18

4) partisipatif (merasa menjadi kawan setia kekasih, atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam
melakukan karya ilahiah).
d. ritualistic merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan atau
dilaksanakan oleh para pengikutnya, meliputi pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritus
dan pelaksanaan ritus dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat meneliti frekuensi, prosedur,
pola, sampai kepada makna ritus-ritus tersebut secara individual, sosial, maupun kultural.
e. konsekuensional atau dimensi sosial, meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran
agama. Dimensi inilah yang menjelaskan apakah efek ajaran Islam terhadap etos kerja,
hubungan interpersonal, kepedulian kepada penderitaan orang lain dan sebagainya.
E. Metodologi Penelitian Agama Islam
Prof. Dr. K.H. Mukti Ali dalam tulisannya berjudul Penelitian Agama di Indonesia
dalam Mulyanto Sumardi (1982: 26-28) menyatakan : harus diketahui bahwa fakta-fakta
sosial biasanya mengandung banyak interpretasi. Interpretasinya sangat tergantung dari
pertanyaan-pertanyaan si peneliti.
Orang memahami bahwa pada umumnya di bidang ilmu-ilmu sosial, tidak perlu bahwa
seseorang lebih dahulu berpengalaman sebagai ahli dalam suatu bidang untuk kemudian
menyelidikinya. Misalnya saja, tidak perlu berpengalaman lebih dahulu dalam bidang
kejahatan untuk kemudian menyelidiki persoalan kriminalitas. Atau tidak perlu lebih dahulu
berpengalaman dalam ketentaraan untuk kemudian menyelidiki persoalan-persoalan
ketentaraan dalam abad modern ini. Ini juga berlaku dalam sosiologi agama misalnya: tidak
perlu sosiolog atau si penyelidik berpengalaman sebegai orang yang iman atau theology.
Sosiologi agama selama ini cenderung menyelidiki agama-agama dan institusi-institusi
agama dengan pendekatan yang sama seperti di bidang sosiologi keluarga, sosiologi
perusahaan, sosiologi umum dan sebagainya. Si penyelidik sendiri tidak perlu terlibat dalam
salah satu agama. Kalau ia sendiri beragama, dia toh sedikit banyak berusaha menjauhkan
diri dari latar belakang agamanya untuk menjamin keobyektifan penelitiannya.
Dalam hubungan ini kami ingin menekankan suatu unsur hingga dengan demikian
seluruh pendekatan empiris diwarnainya, yakni sikap peneliti agama. Agama pada manusia
adalah begitu pribadi dan dalam sehingga hanya dapat diamati dengan berhati-hati. Seorang
peneliti yang secara teknis mungkin sangat baik belum pasti dapat menemukan persoalanpersoalan agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti kecuali kalau ia sendiri beriman
dan berefleksi, bukan saja pada situasi sementara penelitian dilakukan, tetapi juga di luar
konteks penelitian yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si peneliti bukan orang beragama,
akhirnya ia hanya sanggup mengkonstatir ungkapan-ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala
agamiah, tetapi bukan iman atau agama itu sendiri. Mungkin dalam arti tertentu sosiologi dan
psikologi sudah puas dengan menemukan gejala-gejala tersebut. Tetapi justru dalam
penelitian agama, ungkapan-ungkapan dan gejala-gejala itu tidak dapat diterima dengan face
19

value-nya. Dalam penelitian agama, releksi perlu dijalankan. Penelitian agama tidak mungkin
dilakukan kalau peneliti itu tidak tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu
peneliti dan juga para pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama dan
berefleksi atas agamanya. Dan disinilah justru perbedaan antara penelitian agama dengan
sosiologi agama dan psikologi agama.
Dalam ilmu-ilmu social barangkali kurang lebih ada tiga (3) corak penelitian: deskripsi,
eksplorasi, dan verifikasi. Kriterium yang membedakan ketiga corak penelitian itu adalah
peranan hipotesis-hipotesis. Dalam penelitian deskriptif tidak ada hipotesis-hipotesis; dalam
penelitian eksploratis hipotesis-hipotesis baru dibentuk pada akhir penelitian; sedangkan
hipotesis-hipotesis justru merupakan titik tolak untuk diuji dalam penelitian verifikatif.
Mungkin perbedaan ini sedikit terlalu ketat, tetapi cukup untuk menjelaskan
kepentingan hipotesis itu. Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan teori-teori
baru tentang agama, umat dan sebagainya. Tetapi ingin melukiskan salah satu kelompok
sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat agama.
Biasanya suatu kelompok serta persoalan-persoalannya diberikan perhatian. Sebagai latar
belakang tidak dipakainya satu visi sosiologis saja, tetapi diambil beberapa konsep dan
paham dari pelbagai ilmu sosial. Menurut hemat kami tipe penelitian deskriptif ini, yang
tanpa hipotesis tertentu lebih cocok untuk penelitian agama itu.
Pada pokoknya seluruh metode penelitian agama sebaiknya berwarna atau bersifat
agamiah, yakni bahwa penelitian agama itu bertitik tolak dari permasalahan agama dan
bahwa proses diagnose dan prognase diarahkan oleh salah satu skema evaluasi yang diambil
dari agama.
Sebenarnya masih banyak persoalan mendasar yang harus digarap dalam penelitian
agama. Tetapi sebagai latar belakang persoalan pokok untuk kita sekarang ialah : sejauh mana
ilmu-ilmu sosial dapat membantu untuk membentuk penelitian agama semacam ini? Sejauh
mana sudah ada pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang dapat diterapkan dalam
lapangan agama.
Menguasai metode penelitian adalah hanya merupakan salah satu aspek dari penelitian.
Ia merupakan satu hal yang tidak dapat ditinggalkan, tetapi tidak cukup untuk menjamin
bahwa penelitiannya itu adalah tepat. Metode dan teknik penelitian hanya merupakan alat
saja untuk penelitian. Masih banyak hal-hal yang diperlukan untuk berhasilnya penelitian itu,
seperti kedalaman dalam memahami masalah-masalah social dan agama, integritas, pribadi,
sensitive dan persepsi, disiplin dalam imajinasi, reserve dalam mental. Faktor peneliti
memainkan peranan yang sangat penting dalam penelitian itu.
Oleh karena itu maka dalam penelitian agama perlu dibahas faktor-faktor pribadi dan
ilmiah, strategi, teknik penelitian dan sebagainya.
Di dalam penelitian agama yang perlu digarap adalah:
a.

Dengan seksama mengamati fakta-fakta


20

b.

Menentukan dimana letak kemungkinan-kemungkinan yang paling menonjol, artinya


mencoba memahami apakah arti fakta-fakta itu

c.

Berdasarkan pemahaman yang rasional pada tahap 1 dan 2, mencoba melihat dari cahaya
agama

d. Menilai dalam cahaya agama pelaksanaan konkret sesuai dengan situasi historis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dalam bidang agama, maka si peneliti harus
betul-betul orang yang memiliki keahlian dalam bidang agama serta mengamalkannya.
Sedangkan penelitian di bidang sosiologi agama dan psikologi agama atau bidang ilmu
pengetahuan lain tidak mensyaratkan keahlian di bidang agama atau bidang yang ditelitinya.
2. Faktor peneliti memainkan peranan yang sangat penting dalam penelitian agama seperti
kedalaman dalam memahami masalah-masalah sosial dan agama, integritas, pribadi, sensitive
dan persepsi, disiplin dalam imajinasi, reserve dalam mental. Sedangkan metode penelitian
hanya merupakan sebuah alat saja. Ia merupakan satu hal yang tidak dapat ditinggalkan,
tetapi tidak cukup untuk menjamin bahwa penelitiannya itu adalah tepat.
3. Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat
dan sebagainya, tetapi ingin melukiskan salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam
masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat agama, maka menurut Prof. Dr. Mukti Ali
tipe penelitian deskriptif yang tanpa hipotesis-hipotesis lebih cocok untuk penelitian agama.
F. Ruang Lingkup Penelitian Agama
Membicarakan masalah metode penelitian agama menurut Mukti Ali dalam tulisannya
berjudul Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto Sumardi (1982 : 29) menyatakan,
bahwa barangkali perlu dibahas juga tentang beberapa cara untuk dipergunakan dalam
penelitian agama, antara lain adalah:
Dokumen pribadi. Kita mengetahui bahwa pengalaman orang yang paling subyektif
adalah pengalaman kehidupan agama. Oleh karena itu barangkali saja mempelajari dokumen
pribadi adalah salah satu cara yang paling dekat untuk memahami pengalaman agama
seseorang. Sudah barang tentu dokumen pribadi itu tidak murni merupakan suatu metode,
tetapi itu merupakan alat yang paling pokok untuk mendekati kehidupan agama seseorang.
Dalam mempergunakan dokumen pribadi itu bisa dipergunakan pendekatan nomothetic dan
idiographic. Dalam pendekatan nomothetic orang mempelajari berbagai masalah untuk
menemukan generalisasi yang umum. Dokumen pribadi bisa dipergunakan secara nomothetic
apabila jumlahnya banyak. Tetapi seringkali peneliti agama lebih cenderung untuk
mempelajari hanya hanya sebuah dokumen saja. Dokumen pribadi itu jarang sekali terdapat,
dan oleh karena itu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pengungkapan
pengalaman kehidupan orang. Umpamanya kitab Al Muqidh Minadhalal tulisan Al Ghazali,
The Confessions tulisan St. Augustinus dan The Road to Mecca, tulisan Muhammad Assad.
21

Adalah jelas bahwa generalisasi terhadap orang-orang lain yang didasarkan hanya
pada satu kasus adalah salah sekali. Oleh karena itu tidak sedikit ahli ilmu pengetahuan yang
menolak bobot ilmiah dari hanya mempelajari satu dokumen saja.
Sungguh pun demikian meneliti satu dokumen bisa juga menyingkapkan generalisasi
masalah-masalah lain sepanjang konteks kasus dokumen yang diteiti. Ini adalah pendekatan
idiographic. Penelitian dokumen pribadi scara idiographic itu dapat mempunyai bobot ilmiah
apabila didukung oleh sumber-sumber lain.
Kemudian questionnaire dan interview, apakah dengan interview yang sudah
dibakukan atau terbuka perlu juga dipertimbangkan apakah bisa dipergunakan dalam
penelitian agama. Demikian juga public opinion poll untuk mengetahui pendapat umum perlu
dipertimbangkan.
Observasi sosiologis dan antropologis biasanya juga dipergunakan apabila orang ini
mengatahui tindak laku agamaniah dari kelompok; tetapi dalam penelitian agama barangkali
lebih baik mempergunakan particiant observation. Metode perbandingan juga dipergunakan
apabila orang ingin membandingkan satu kelompok agama dengan kelompok agama lain.
Pertumbuhan agama barangkali saja lebih baik diteliti dengan melalui pendekatan genethic,
baik terhadap perseorangan maupun kelompok. Kemudian daripada itu grafik dan statistic
perlu juga kita teliti, sejauh mana dapat digunakan untuk penelitian agama.
Sebenarnya masih banyak lagi cara-cara yang dapat kita pertimbangkan, dapat
tidaknya dipergunakan untuk penelitian agama.
Departemen Agama, selama ini memusatkan perhatiannya kepada delapan wilayah
persoalan (problem areas) penelitian agama, Badan Litbang Agama Depag RI (1981, 26-27),
yaitu:
1. Masalah Kerukunan umat beragama
2. Pengamalan Agama
3. Pendidikan Agama
4. Pelayanan Ibadah Agama
5. Sarana Agama
6. Agama dan Perubahan Lingkungan
7. Ketenagaan dan
8. Penyediaan data baku di bidang agama
G. Sumbangan dalam Keilmuan (Agama Islam)
Badan Litbang Agama Departemen Agama RI (1981, 50-51) menjelaskan bahwa,
Penelitian keagamaan tentang perkembangan dan pengaruh agama Islam dalam masyarakat
Indonesia sendiri adalah amat penting dan perlu dalam rangka pengembangan pengetahuan
ke-Islaman di Indonesia. Masyarakat Indonesia tidaklah dalam keadaan kosong dan hampa
budaya ketika Islam dating ke Indonesia. Sudah barang tentu terjadi perbenturan dan
22

pergeseran di samping penyesuaian dan penyerasian nilai-nilai dan norma-norma secara


timbal balik antara Islam dan kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia. Dengan penelitian
keagamaan itu diharapkan akan diketahui bagaimana perwujudan sosial dan kultural agama
Islam dalam masyarakat Indonesia yang berbagai-bagai itu, dan sejauh mana kebudayaan
setempat ikut mewarnai perwujudan sosial dan kultural agama Islam tersebut.
Sebenarnya penelitian keagamaan itu tidak hanya perlu bagi pengembangan
pengetahuan ke-Islaman saja, melainkan juga perlu bagi pemimpin agama Islam dan bagi
para perencana dan pelaksana pembangunan di Negara kita. Bagi para pemimpin agama
Islam, hasil penelitian keagamaan itu akan sangat berguna dalam rangka meningkatkan
usaha-usaha dakwah, pendidikan sosial, yang jika dilihat dari segi pembangunan kehidupan
keagamaan amatlah penting artinya. Sedangkan bagi para perencana dan pelaksana
pembangunan, hasil penelitian itu akan menghindarkan mereka dari berbuat kekeliruan
yang menyinggung sentiment dan kepekaan rasa agama dari masyarakat, yang besar atau
kecil tentu akan mengganggu usaha-usaha pembangunan. Dengan perkataan lain, penelitian
keagamaan itu amat diperlukan, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun
untuk pembangunan kehidupan agama itu sendiri.
H. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Penelitian Agama di Indonesia sangat diperlukan, mengingat:
a.

Firman Allah dalam Al Quran Surat Ali Imran 190-191 bahwa Allah Taala telah
menciptakan langit dan bumi beserta isinya yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah
SWT bagi orang yang berakal. Maka untuk mengetahui dan memahami hakikat berbagai
perkara serta kebesaran Allah SWT tersebut diwajibkan bagi orang-orang berakal untuk
melakukan penelitian. Penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu
memperkuat masalah keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari
agama.

b.

Keputusan Presiden RI No. 45 Tahun 1974 (khususya Lampiran 14) yang dijabarkan oleh
Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 telah membentuk Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama pada Departemen Agama yang tugas dan fungsinya antara lain:
menyelenggarakan pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan
Departemen Agama yang mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan, baik yang
diselenggarakan sendiri oleh Badan LITBANG maupun yang diselenggarakan oleh unsurunsur lain dalam Departemen Agama.

c. Dengan mengingat kekurangan masing-masing para ahli ilmu sosial dan ahli ilmu agama,
maka perlu adanya kerja sama antara kedua belah pihak dalam melakukan penelitian agama.
23

d. Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat
dan sebagainya, tetapi ingin melukiskan salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam
masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat agama, maka menurut Prof. Dr. Mukti Ali
tipe penelitian deskriptif yang tanpa hipotesis-hipotesis lebih cocok untuk penelitian agama.
2. Ahli barat dalam memandang hukum Islam hanya dilihat dari dua sisi saja, yakni yang
berkaitan dengan suruhan dan larangan saja, sedangkan 3 aspek lainnya (sunnat, makruh, dan
mubah) tidak diperhatikan. Dengan melihat masalah ini maka sudah seharusnya dalam
melakukan penelitian agama kita sudah saatnya meninggalkan konsep-konsep dari Barat
tersebut. Ada dua hal yang perlu kita perhatikan antara lain: pertama, bahwa sarjana-sarjana
kita perlu mengkaji esensi masyarakat kita yang memang beragama Islam. Kedua, bahwa kita
perlu menumbuhkembangkan istilah-istilah khusus

untuk menggambarkan dengan lebih

tepat masyarakat yang kita bahas itu.


3. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka
perlu adanya pendekatan empiris, dan irfaniah (mistikal). Sedangkan pendekatan rasional
tidak mampu memberikan jawaban yang benar atas suatu permasalahan, sehingga para
ilmuwan sudah lama meninggalkan metode ini. Secara teknis ini berarti bahwa penelitian
agama/keagamaan dapat menggunakan metode penelitian-penelitian lain yang ada. Lebih
tegasnya lagi dapat dikatakan, bahwa semua penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya
dapat membantu penelitian agama.

Daftar Pustaka:
Abdullah dkk., M. Amin., 2006. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner. Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.
Abdullah, Taufik, 1989. Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya.
Ali, H.M. Sayuthi, 2002. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Badan Litbang Agama Departemen Agama RI., 1981. Penelitian dan Pengkajian Agama di
Indonesia: Arah, Kebijakan, Wilayah dan Pendekatannya. Jakarta: Balitbang Agama Depag
RI.
Kountur, Ronny, 2003. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta:
Penerbit PPM.
Sumardi, Mulyanto, dkk., 1982. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran. Jakarta: Sinar
Harapan.

24

25

Você também pode gostar