Você está na página 1de 3

Angiofibroma Nasofaring Belia

Definisi
JNA merupakan tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologis jinak namun
secara klinis bersifat ganas karena berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di
sekitarnya, misalnya: ke sinus paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat
mudah berdarah dan sulit dihentikan.
Penyebab (Etiology)
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah
bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate
cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA
jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
Riset terkini oleh Bretani berhasil membuktikan adanya reseptor estrogen dan progesteron pada
JNA, namun kadar gonadotropin di semua pasien normal.
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang berada
di occipital plate.
Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau
embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri
maksilaris juga dipostulasikan.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan delesi
kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti Her-2/neu
oncogene.
Epidemiologi
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis
JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus
dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang usia
7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua tumor
kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Patofisiologi

Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior
dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di
daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan
melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor
yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian
tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior
dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya,
dan septumnya berdeviasi (bengkok) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).
Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat diserbu atau diinvasi juga jika tumor berkembang
lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus
maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-erosi,
membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita
didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang
lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah
(less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
Manifestasi Klinis
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling
sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (bloodtinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi
(unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.


5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial
dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral
rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau
(hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga
(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi
(deformity of the cheek), dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau
bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai
80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate),
terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi
(cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan
setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,
sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda
bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan
penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.

Você também pode gostar