Você está na página 1de 22

ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

I. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian
lebih dari biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung mempunyai beberapa
fungsi sebagai indera penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan
paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi
bicara.
1.1 Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.
Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak
hidung (hip),4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung
(os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ;

Gambar 2. Tulang Hidung

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang


rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.

Gambar 3. Tulang Rawan Hidung

I.2 Hidung Dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara

konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior.

Gambar 4. Hidung dalam


1.2.1 Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid.

Gambar 5. Septum dan Cavum Nasi

1.2.2 Kavum Nasi


Kavum nasi terdiri dari :
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal
os palatum.
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar
atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut

meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema)


yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
1.2.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid.
1.2.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara
atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya selsel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.
1.2.5 Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai


muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.
1.2.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet.
1.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal.

Gambar 6. Kompleks Ostiomeatal

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena


sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.
1.4 Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
7

disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya


superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.

Gambar 7. Vaskularisasi Hidung

Vena-vena

hidung

mempunyai

nama

yang

sama

dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung


bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.
1.6 Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus

profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung


posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 8. Persarafan Hidung

1.7 Fisiologi hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna
untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)
refleks nasal.
2

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang

sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
9

paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk


rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid
kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan
kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi
udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada
atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel
anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas
konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara
kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus
paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang
dialirkan ke mukosa hidung.

Gambar 9. Sinus Paranasal

2.1 Sinus maksila


Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan
sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila

10

bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang
menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam
perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga
yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan
rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm
vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi
dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini
akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke
bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan
berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia
15 dan 18 tahun.
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke
fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum
dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid,
prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut
Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada
bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm.
Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui
lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding
medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya

11

berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah
untuk keperluan tindakan irigasi sinus.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas ,
yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar
kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif
yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui
pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan
hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis
maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih
tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak
silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah
bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
2.2 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang
juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata
sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7
ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada
12

foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari
sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui
ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.
2.3 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya.
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal
dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid
anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus
kira-kira 14 ml.
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus
medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
13

dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
2.4 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya
berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak
berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna
pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran
serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh
septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu
sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm.
Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batasbatasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.
2.5 Fisiologi sinus paranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka
tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan
14

oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa,
tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa
kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan
bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai
fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain adalah :
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
(3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna.
(4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
15

efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah.
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
(6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
III. Endoskopi
3.1 Definisi
Endoskop adalah alat yang digunakan dalam pemeriksaan endoskopi.
Endoskopi adalah pemeriksaan secara visual dan langsung pada lubang atau
rongga pada tubuh tertentu untuk melihat kelainan pada tubuh. Pemeriksaan ini
langsung di kontrol dari monitor. Endoskopi hidung adalah instrumen seperti
tabung khusus, dilengkapi dengan lampu kecil dan kamera yang digunakan untuk
memeriksa bagian dalam hidung dan daerah drainase sinus. Endoskopi hidung
memungkinkan dokter untuk melihat tempat yang dapat diakses jalur drainase
sinus. Endoskopi merupakan alat diagnosis yang tepat untuk mengevaluasi
mukosa hidung, anatomi sinonasal, dan kelainan pada sinus paranasal.

3.2 Jenis Endoskop Nasal


Endoskopi nasal dapat dilakukan dengan dua jenis endoskop, yaitu
endoskop fiberoptik fleksibel dan endoskop rigid. Endoskop fiberoptik fleksibel
mempunyai kelebihan yaitu fleksibel dan berdiameter lebih kecil, yang artinya
mudah dimanipulasi kesegala arah dan dapat menunjukkan area yang sempit.
Namun, penggunaan endoskop ini membutuhkan 2 tangan untuk manipulasinya
sehingga prosedurnya sedikit sulit. Endoskop rigid mampu memperlihatkan
16

gambar dengan kualitas baik, dapat digunakan untuk membantu mengontrol


epistaksis dan dapat digunakan sebagai alat biopsi jaringan. Endoskop rigid
memiliki diameter 2,7-4 mm dan memiliki ujung dengan berbagai variasi sudut
(0-70) yang mampu membantu dokter untuk memvisualisasi berbagai sinus dan
area didalam kavum nasal dan sinus.
Selain dapat memvisualisasikan gambar dengan baik, endoskop nasal juga
dilengkapi dengan penerangan, pembesaran gambar, dan dapat diarahkan ke
bagian yang terdapat kelainan sehingga pemeriksa mendapatkan evaluasi
diagnostik yang lebih akurat. Endoskopi berperan penting dalam preoperatif,
postoperatif, dan tatalaksana pasien dengan kelainan sinonasal.

Gambar 10 . Flexible Fiberoptic Endoscope

Gambar 11. Rigid Endoscope

3.3 Struktur Endoskop


Di dalam pipa tersebut terdapat dua buah serat optik. Satu untuk
menghasilkan cahaya agar bagian tubuh di depan ujung endoskop terlihat jelas,
sedangkan serat lainnya berfungsi sebagai penghantar gambar yang ditangkap
oleh kamera. Di samping kedua serat optik tersebut, terdapat satu buah bagian lagi

17

yang bisa digunakan sebagai saluran untuk pemberian obat dan untuk
memasukkan atau mengisap cairan. Selain itu, bagian tersebut juga dapat
dipasangi alat-alat medis seperti gunting kecil.

Gambar 12. Endoskop

Endoskop biasanya digunakan bersama layar monitor sehingga gambaran


organ yang diperiksa tidak hanya dilihat sendiri oleh operator, tetapi juga oleh
orang lain di sekitarnya. Gambar yang diperoleh selama pemeriksaan biasanya
direkam untuk dokumentasi atau evaluasi lebih lanjut. Endoskopi tidak hanya
berfungsi sebagai alat periksa tetapi juga untuk melakukan tindakan medis seperti
pengangkatan polip dan penjahitan. Selain itu, endoskopi juga dapat digunakan
untuk mengambil sampel jaringan jika dicurigai jaringan tersebut terkena kanker
atau gangguan lainnya. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian alat
endoskopi.
Yang pertama adalah bagian yang dimasukkan ke bagian tubuh yang akan
di operasi sebagai kamera yang dapat melihat dimana letak penyakit tersebut.
Yang kedua adalah bagian yang bisa digunakan sebagai pemotong atau pembakar.
Dan yang ketiga sebagai pembersih yaitu untuk mengangkat semua organ yang
telah di potong atau di bakar. Dengan penggunaan alat ini proses operasi dan
proses penyembuhan tidak akan memekan waktu yang lama. Dengan manfaat
waktu yang cukup efektif dalam penggunaannya, alat ini sering direkomendasikan
oleh para dokter ahli bedah.

18

Berikut hal hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian alat tersebut
yaitu :
1. Setelah di gunakan segera rendam alat dengan cairan desinfektan kira kira 30
menit untuk mencegah cairan darah mengering pada alat.

2. Kemudian bersihkan secara mekanis dengan air mengalir sambil di sikat halus
dan perlahan.
3. Keringkan dengan udara dengan tekanan rendah atau lap yang cepat menyerap air

4. Setelah di bersihkan berikan oil lubricant/ pelumas kira kira 5 tetes.


5. Bungkus konektor slang dengan kain untuk menyerap minyak sisa pelumasan.
6. Pisahkan instrumen perlatan, lepaskan pengaitnya kemudian rendam dengan
cairan desinfektan.
7. Untuk membersihkan alat tersebut gunakan sikat halus dan detergen lembut.

3.4 Indikasi Endoskopi Nasal


Indikasi endoskopi nasal adalah:
a. identifikasi awal penyakit pada pasien yang memiliki keluhan di sinonasal
(contoh sekret mukopurulen, nyeri pada wajah, hidung tersumbat,
penurunan fungsi penghidu);
b. evalusi respon pasien selesai pengobatan (evaluasi polip, sekret purulen,
edema mukosa selesai pemberian steroid nasal topikal, antibiotik, streroid
oral, dan antihistamin);
c. evaluasi kelainan unilateral;
d. evaluasi pasien dengan komplikasi sinusitis;
e. mengambil sampel sekret untuk dikultur;
f. debridemen dan pembersihan krusta, mukus, dan fibrin dari sumbatan
nasal dan sinus setelah functional endoscopic sinus surgery;
g. evaluasi kelainan rekuren setelah FEES ( terutama dalam monitor
rekurensi tumor intranasal);
h. evaluasi dan biopsi massa atau lesi di nasal;
i. evaluasi nasofaring untuk hiperplasi limfoid, masalah pada tuba
eustachius, dan obstruksi nasal;
j. evaluasi kebocoran cairan LCS ke nasal;
19

k. evaluasi dan tatalaksana epistaksis;


l. evaluasi hiposmia atau anosmia;
m. evaluasi dan tatalaksana benda asing di hidung.
3.4 Kontraindikasi Endoskopi Nasal
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk endoskopi nasal, namun beberapa
pasien dapat mengalami peningkatan risiko komplikasi. Pasien yang memiliki
riwayat gangguan pembekuan darah atau sedang dalam penggunaan obat
antikoagulasi, endoskopi nasal harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak
menimbulkan perdarahan. Selain itu, pada pasien dengan penyakit kardiovaskular,
terdapat risiko refluks vasovagal.
3.5 Persiapan Pasien Pra-Endoskopi
Persiapan pasien sebelum endoskopi adalah anestesi yang adekuat dan
memposisikan pasien dengan tepat.
a. Anestesi
Sebelum prosedur endoskopi nasal dilakukan, kavum nasi seringkali
disemprot dengan dekongestan seperti oksimetazolin. Kadang pada pasien
tidak diberikan dekongestan sebelum endoskopi, misalnya pada pasien dengan
turbinate hypertrophy, pada pasien ini dilakukan endoskopi sebelum dan
sesudah diberi dekongestan.
Untuk pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus diberikan
anestesi lokal, seperti lidokain 4%. Apabila kultur bakteri dibutuhkan,
sebaiknya tidak diberikan anestesi agar pertumbuhan bakteri di medium dapat
optimal.
b. Pemposisian Pasien
Selama pemeriksaan endoskopi pasien harus duduk diatas kursi
pemeriksaan.

Kepala

pasien

dapat

dimanupulasi

seperlunya

untuk

mendapatkan gambaran yang lebih baik.


3.6 Prosedur Endoskopi
20

Endoskopi dilakukan untuk mengamati tanda-tanda obstruksi serta


mendeteksi polip hidung yang tersembunyi dari pemeriksaan hidung rutin. Selama
tes endoskopi, dokter juga mencari adanya kelainan struktural yang mungkin
menyebabkan sinusitis berulang. Lendir dibuat oleh tubuh untuk membasahi
dinding sinus. Di dinding sinus, lendir tersebut akan dipindahkan di seluruh
lapisan jaringan menuju setiap pembukaan sinus oleh jutaan silia (seperti
perpanjangan ekstensi rambut dari sel). Iritasi dan pembengkakan akibat alergi
dapat mempersempit pembukaan sinus dan menghalangi gerakan lendir. Jika
antibiotik dan obat lain tidak efektif dalam membuka sinus, maka operasi
mungkin diperlukan. Dan juga, jika ada kelainan struktural dari sinus seperti polip
hidung yang dapat menghambat drainase sinus, maka operasi mungkin
diperlukan.
Setelah diberi dekongestan dan/atau anestesi, diberikan antifog solution
pada ujung endoskop. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 fase. Fase pertama
kepala pasien difleksikan, ujung endoskop dimasukan sepanjang kavum nasal
sampai nasofaring. Pada meatus inferior diperiksa duktus nasolakrimalis dan
konka inferior. Ketika ujung endoskop masuk lebih jauh menuju nasofaring,
perhatian ditujukan pada adanya sekret mukoid atau purulen. Keseluruhan
nasofaring diperiksa, termasuk orifisium tuba eustachius dan fossa Rosenmuller.
Fase kedua endoskop dimasukkan diantara konka media dan konka
inferior untuk mengevaluasi bagian inferior dari meatus media dan fontanela.
Kemudian ujung endoskop dimasukkan ke arah konka media untuk mengevaluasi
sphenoethmoid recess yang berlokasi pada pertengahan konka superior dan media.
Kemudian ujung endoskopi ditarik dan diputar ke lateral dibawah konka media
untuk mengevaluasi infundibulum, bulla ethmoid, dan . Penekanan pada konka
media diperlukan untuk memudahkan ujung endoskop masuk ke meatus media.
Fase ketiga, memerlukan ujung endoskop dengan sudut 30 atau kepala
pasien diposisikan ulang. Fase ini dilakukan untuk memeriksa olfactory cleft
untuk melihat lesi atau adanya polip.
DAFTAR PUSTAKA
21

Boeis Lowrence R. JR. M.D. et al, Buku Ajar Penykit THT edisi 6, Alih Bahasa :
Caroline Wijaya, Editor : Hrjanto Effendi, dkk. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta 1997 : 175 188
Efity Asyd Soepardi, dr Sp THT. dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Fakultas
Kedokteran UI, edisi VII, Jakarta 2012 : 96 100
Lawrason

Amy.

MD.

et

al,

Nasal

Endoscopy,

Medscape,

www.emedicine.medscape.com/article/1890999-overview, diakses 8 April


2015

22

Você também pode gostar