Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Murid SDN Kemiri Muka 02, Beji, Depok, mengerjakan soal Bahasa Indoensia pada hari pertama ujian nasional
di sekolah mereka, Senin (6/5/2013). Pelaksanaan ujian nasional di sekolah ini lancar yang diikuti 19 siswa.
dan waktu. Peningkatan standar kerap menjadi indikator kemajuan, termasuk ujian
nasional yang bagi pemerintah dapat menjadi tolok ukur kemajuan pendidikan
Indonesia.
Tidak adil
Akan tetapi, para pendidik tidak lantas mengamini hal itu. Standardisasi pada
akhirnya memunculkan persoalan dan menimbulkan masalah ketidakadilan baru.
Daerah yang tertinggal dalam infrastruktur dan sumber daya manusia harus
melewati palang standar nasional dan mereka yang paling berisiko terpental keluar
dari arena pertandingan.
Selain itu, muncul moral hazard di kalangan pendidik dan murid. Ujian nasional
seolah-olah menjadi kunci untuk menentukan kemajuan dan akses seseorang untuk
menempuh pendidikan lebih tinggi karena perannya sangat penting dalam
menentukan kelulusan.
Akibatnya, muncul kasus kecurangan di mana-mana. Bahkan, kecurangan yang
didukung oleh guru, sekolah, dan aparat pemerintahan daerah yang menginginkan
tingginya persentase murid yang lulus ujian. Lantas murid pun menjadi sebatas
angka-angka statistik indikator. Wajah dan sosok murid menghilang dalam
kepentingan-kepentingan lebih besar.
Dinamika belajar mengajar di dalam kelas pun berubah. Karena tagihan di masa
akhir belajar berupa ujian nasional sangat menentukan, maka seluruh energi pun
dicurahkan dalam upaya mengasah kemampuan menjawab soal-soal ujian nasional
yang umumnya bersifat pilihan ganda. Tradisi drilling dengan melahap puluhan
bahkan ratusan soal seusai jam sekolah dan berbagai tips atau jalan pintas
menjawab soal pun muncul, sesubur tumbuhnya bimbingan belajar yang
menawarkan jurus untuk lulus ujian nasional.
Bakat, minat, potensi individu pun rawan terbenam oleh tujuan lulus ujian. Sejak
duduk di kelas III SMP atau SMA, bahkan sejak masuk tahun ke-2, murid sudah
mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
Yang paling dikorbankan dalam proses belajar mengajar modeldrilling ialah
kemampuan analisis dan literasi. Padahal, kemampuan membaca dan menulis serta
bahasa merupakan modal dasar individu belajar beragam ilmu lain.
Langkah besar
Itu sebabnya, ketika ujian nasional disebutkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
hanya sebagai pemetaan dan bukan penentu kelulusan, sebetulnya merupakan
sebuah langkah besar. Sekolah dan guru yang dipandang sebagai orang-orang yang
paling paham perkembangan belajar anak diberi keleluasaan menentukan kelulusan.
Harapannya, segala potensi murid dan sekolah yang selama ini terbelenggu oleh
tagihan ujian nasional disehatkan kembali. Tentu saja ada catatan penting bagi
sekolah dan guru, yakni terkait kemampuan mereka mengevaluasi siswa dan paling
penting ialah kejujuran. Anies sempat mengingatkan para guru agar jujur dalam
melaporkan hasil evaluasi anak didiknya.
Selain itu, keputusan mengubah konsep ujian nasional semestinya merupakan
kesempatan bagi dunia pendidikan untuk kembali kepada inti penting pendidikan,
yakni pemberdayaan manusia. Pakar pendidikan HAR Tilaar dalam bukunya
Kebijakan Pendidikan menyatakan dengan tegas, tugas lembaga pendidikan ialah
memfasilitasi agar perkembangan bakat dan kemampuan peserta didik dapat
berjalan sebagaimana mestinya dengan bantuan pendidik.
Pemberdayaan berarti menghormati pribadi manusia yang disebut peserta didik.
Bakat dan kemampuan tiap anak berbeda sehingga harus dihargai dan diapresiasi.
Selayaknya mengabdikan diri untuk kepentingan peserta didik merupakan panggilan
hati para pendidik. (Indira Permanasari)
Sumber rujukan:
Permanasari, Indira. 2015. Setelah UN Berubah Wujud.
http://edukasi.kompas.com/read/2015/01/06/20143461/Setelah.UN.Berubah.
Wujud (Online). Diakses pada tanggal 9 Januari 2015 pukul 19.00 WIB.
News / Edukasi
Pelajar mengerjakan soal Ujian Nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia di SD Negeri Sompok, Desa Sriharjo,
Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (6/5/2013). Ujian Nasional untuk murid SD berlangsung selama tiga hari
dengan mata pelajaran yang diujikan yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
JAKARTA, KOMPAS.com Kompetensi riil peserta didik tak bisa hanya dilihat dari
hasil ujian sekolah yang akan menjadi penentu kelulusan. Perlu beragam penilaian
kelas agar informasi mengenai capaian peserta didik lebih lengkap. Ujian sekolah
sebaiknya hanya jadi salah satu kriteria penentuan kelulusan dan proporsinya lebih
kecil dibandingkan dengan penilaian kelas sejak semester pertama.
Hal ini dikemukakan oleh pakar evaluasi pembelajaran dari Universitas
Muhammadiyah, Prof Dr Hamka (Uhamka) Elin Driana, Selasa (6/1), di Jakarta.
Kapasitas guru untuk mengembangkan dan menerapkan beragam model penilaian
kelas perlu ditingkatkan lewat pelatihan. Paradigma penilaian semestinya ditekankan
pada assessment as learning dibandingkanassessment of learning yang dominan
saat ini. Assessment as learning lebih berperan mengarahkan siswa menjadi
pembelajar sepanjang hayat, kata Elin.
Hal senada dikatakan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Djaali saat ditemui di
ruang kerjanya. Untuk menentukan kelulusan peserta didik harus dilihat dari semua
komponen atau aspek. Tidak bisa hanya dari satu aspek apakah itu ujian sekolah
atau ujian nasional (UN). Ini berarti penilaian guru harus menjadi komponen penentu
kelulusan peserta didik.
Harus diingat, yang lebih dibutuhkan adalah kompetensi peserta didik. Bukan
masalah lulus atau tidaknya. Kompetensi penting untuk menyiapkan anak dalam
menghadapi kehidupan nyata, kata Djaali.
Sesuai undang-undang
Ujian sekolah yang menjadi penentu kelulusan, kata guru SMA Negeri 17 Jakarta,
Suparman, telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 58 Ayat (1) yang menyebutkan evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik atau guru. Pasal 61 ayat (2) menyebutkan, ijazah diberikan
kepada peserta didik setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan.
Ujian sekolah justru mampu menilai kompetensi anak sesuai karakter dan keunikan
profesinya, karena penilaian secara komprehensif mencakup penilaian ranah
kognitif, psikomotorik, dan afektif, kata Suparman.
Adapun UN hanya mengedepankan aspek kognitif. Suparman menilai, guru
sebenarnya sudah terbiasa dengan penilaian lokal sekolah sehingga tidak perlu ada
proyek untuk memasuki perubahan yang akan ada. Sekolah cukup membuat
komitmen bersama untuk melaksanakan sistem penilaian sekolah yang obyektif dan
berprinsip pada potensi anak dan komprehensif.
Perubahan ini tidak memerlukan proyek diklat yang berlebihan. Asosiasi-asosiasi
profesi guru seperti musyawarah guru mata pelajaran perlu diberdayakan kembali,
kata Suparman.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak khawatir guru dan sekolah akan
mengatrol nilai peserta didik. Opini seperti itu justru mengabaikan sistem penilaian
yang komprehensif dan menunjukkan kecurigaan yang berlebihan kepada guru.
Perbaikan nilai terhadap anak setelah melalui proses mengulang adalah hal biasa
dalam kerja profesional guru.
Jadi apakah siswa yang lulus atau tamat sekolahnya setelah melaksanakan
remedial atau mengulang dan mencapai kompetensi disalahkan? Tentu tidak, kata
Suparman. (Luki Aulia)
Editor
: Hindra Liauw
Sumber
: Kompas Siang
Sumber rujukan:
Aulia,
Luki.
2015.
Kelulusan
Tak
Bisa
Didominasi
Ujian
Sekolah.
http://edukasi.kompas.com/read/2015/01/06/20183091/Kelulusan.Tak.Bisa.Didomin
asi.Ujian.Sekolah. (Online). Diakses pada tanggal 9 Januari 2015 pukul 19.00 WIB.
News / Edukasi
KOMPAS/SAMUEL OKTORAIlustrasi:
JAKARTA, KOMPAS.com Ujian nasional untuk sekolah dasar, sekolah dasar luar biasa,
dan madrasah ibtidaiyah mulai tahun 2014 dihapuskan. Selain itu, mulai tahun depan juga,
tidak ada lagi murid sekolah dasar yang tinggal kelas.
Murid yang belum memahami atau menguasai pelajaran tetap boleh naik kelas, tetapi harus
mengulang pelajaran yang belum dikuasainya. Bentuk penilaian rapor sekolah dasar juga
berubah, tidak lagi berisi angka-angka, tetapi berbentuk deskripsi untuk menilai sikap,
keterampilan, dan pengetahuan siswa peserta didik.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Ramon Mohandas mengatakan hal itu sebelum
Rapat Koordinasi Persiapan Implementasi Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional 2014, Minggu
(1/12) malam, di Jakarta. Penilaian di SD tidak ada angka, tetapi narasi, katanya.
Untuk memperkenalkan sistem yang baru, kata Ramon, telah dilakukan pelatihan untuk guru
pendamping yang turun ke lapangan. Mereka telah dijelaskan bentuk rapor, cara penilaian,
dan pemberian angka. Pelatihan tahun depan mencakup 150.000 sekolah dasar, lebih besar
dibandingkan tahun ini yang hanya mencakup 6.000 sekolah dasar.
: Caroline Damanik
Sumber
: KOMPAS CETAK
Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/2013/12/02/1156109/Tidak.Ada.Lagi.Siswa.Tinggal.Kelas.di
.SD.?utm_source=news&utm_medium=bp&utm_campaign=related&
News / Edukasi
Adapun untuk ujian kesetaraan, berbeda dengan tahun lalu, pelaksanaan ujian
program Paket A, B, dan C akan dilakukan bersamaan dengan UN reguler agar
peserta memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Paket A bersamaan dengan SMA, Paket B dengan SMP, dan Paket C dengan SD,
kata Ramli. (LUK)
Penulis
: Luki Aulia
Editor
: Caroline Damanik
Sumber
:
Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/13/10272751/Naskah.Soal.dan.Lembar.Jawaban.UN
.Disatukan?utm_source=news&utm_medium=bp&utm_campaign=related&