Você está na página 1de 19

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar belakang.
Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset
yang sah.

Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan pajak,

penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek korupsi dan


aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial
meningkat dengan melakukan pencucian uang.
Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan
nama money laundering sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah
itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram
ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya
yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang
menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan organized crime,
ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas
pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat
bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak
beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain,
apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela.
Money laundering adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor
(dirty money). Uang kotor ini, berasal dari praktek-praktek haram dan illegal
seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan, serta tindak pidana perbankan dan
praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk membersihkannya uang tersebut
ditempatkan pada suatu bank atau tempat tertentu untuk sementara waktu sebelum
akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian
saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah
itu, si pelaku akan menerima uang yang sudah bersih dari ladang pencucian
berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau asset
tersebut (integration). Proses inilah yang dinamakan money laundering, karena

mengubah uang kotor menjadi bersih tak berbekas melalui proses keuangan yang
sah. Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan oleh
orang yang menguasai atau mempunyai pengetahuan khusus di dunia penyedia
jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu pengetahuan di bidang
komputer.
Salah satu contoh kasus money laundering ialah kasus Bank Global.
Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan melalui suatu teknik yang canggih,
melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang memanfaatkan
kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah menutup
Bank Global. Pada waktu dibekukan kegiatan usahanya, Bank Global sudah
nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan
modalnya sudah berada pada titik minus 39 persen. Dengan adanya indikasi
berbagai pelanggaran ditambah dengan ketertutupan dari pihak manajemen, maka
BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni membekukan kegiatan usaha dengan
tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar lagi, serta yang
utama ialah mengamankan dana nasabah.

2.
A.
B.
C.

Rumusan masalah.
Apa Pengertian Money Loundering?
Bagaiman pengaturan Money Loundering di Indonesia?
Bagaimana Penaggulangan Money Loundering?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Money Loundering.


Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta
Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau
Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana
dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh
aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan
tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak
pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem
perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Drs.Tb. Irman S.S.H., M.H mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan
membersihkan hasil yang kotor sehingga terlihat bersih, atau suatu perbuatan
membuat uang kotor menjadi terlihat bersih (apabila hasilnya harta kekayaannya
yang berupa uang, arti kotor bukan berarti secara nyata tetapi berasal dari hasil
kejahatan). Tindak pidana pencuniang uang atau money loundering diatur dalam
undang undang nomor 8 tahun 2010, tentang money loundering. Dalam undang
undang tersebut dijelaskan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam undang undang
ini (pasal 1 angka 1, uu no.8 tahun 2010). Dari penjelasan pasal tersebut, dapat
dilihat bahwa pencucian uang bukanlah suatu tindak pidana yang berdiri sendiri.
Tindak pidana pencucian uang (money loundering) sebagai suatu kejahatan
mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan tersebut bukan merupakan kejahatan
tunggal. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang

bersifat follow up crime (kejahatan lanjutan), dan kejahatan utamanya atau disebut
kejahatan asalnya disebut predicate crime. Karakteristik money laundering adalah
bersifat organized crime, white collar crime, corporate crime dan transnasional
crime merupakan kejahatan yang luas dan termasuk kejahatan lanjutan
Dalam pola pencucian uang, hasil tindak pidana tersebut dibuat lagi dengan
suatu perbuatan yang menghasilkan tindak pidana. Pola pencucian uang adalah
sebagai berikut:
diperbuat
dengan
perbuatan
lain lagi.
perbuatan
pidana/tind
ak pidana.

hasil
tindak
pidana.

pencucian
uang.

Hasil tindak pidana lain diperbuat lagi dengan suatu perbuatan lain, yang
menimbulkan akibat lagi yaitu pencucian uang. Pada tindak pidana asal (predicate
crime), dengan tindak pidana pencucian uang berkaitan atau tidak dapat
dipisahkan. Tindak pidana pencucian tidak akan ada kalau tidak ada hasil tindak
pidana.

tindak
pidana
hasil
tindak
pencucia
Dengan
demikian, perbuatan
pencucian
uang merupakan
suatu perbuatan yang
dikerjakan
sehingga berhasil. Kemudian,
hasilnya diperbuat
dengan suatu
(predicat
pidana.
n lagi
uang.
kelakuan atau perbuatan lainnya dan menimbulkan hasil lagi.
e crime).

B. Hukum pencucian uang di Indonesia.


Di Indonesia, tindak pidana pencucian uang diatur secara yuridis dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang
dibedakan dalam tiga tindak pidana, yaitu:
1) Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3
UU RI No. 8 Tahun 2010).
2) Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut
dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun,
dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun
2010).
3) Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang
menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada
setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini
pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni
dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda
paling banyak 10 miliar rupiah.
Selain itu, dalam undang undang tersebut diatur juga hasil tindak pidana
atau kejahatan asal dalam pasal 2 ayat (1), yaitu: Hasil Tindak Pidana Pencucian
Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan
tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar
modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q.
penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di
bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di
bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan
pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau
digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,
organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Undang-Undang

Nomor

Tahun

2010

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini disahkan dan diundangkan


pada tanggal 22 Oktober 2010. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mencabut
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undangan Nomor 25 Tahun 2003
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010, pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang lebih komprehensif,
cakupannya lebih luas dan ruang interpretasi lebih dipersempit.

Undang-Undang ini memberi tugas, kewenangan dan mekanisme kerja baru


bagi PPATK, pihak pelapor, regulator/lembaga pengawas dan pengatur, aparat
penegak hukum dan pihak terkait lainnya. Beberapa terobosan pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 antara lain pengecualian rahasia bank dan
kode etik yang lebih luas, perluasan pihak pelapor serta perluasan jenis laporan,
penghentian sementara dan penundaan transaksi serta non-conviction based asset
forfeiture (perampasan aset tanpa pemidanaan), tindak pidana asal tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu, penyidikan tindak pidana pencucian uang oleh
penyidik tindak pidana asal, penggabungan penyidikan tindak pidana pencucian
uang dan tindak pidana asal, kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim
untuk meminta keterangan tertulis mengenai harta kekayaan kepada pihak
pelapor, pergeseran beban pembuktian, pemeriksaan dan putusan tanpa kehadiran
terdakwa (fugitive disentitlement), serta perluasan alat bukti. Kewenangan ppatk
diatur dalam pasal 41 ayat (1), meliputi:
a. Meminta data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga
swasta yg memiliki kewenangan mengelola data dan informasi,
termasuk dari lembaga yg menerima laporan dari profesi tertentu.
b. Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan.
c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang
dengan instansi terkait.
d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya
pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait.
e. Mewakili pemerintah pemerintah Republik Indonesia dalam forum
internasional berkaitan dengan upaya pencegahan tindak pidana
pencucian uang.
f. Menyelenggarakan diklat anti pencucian uang.
g. Menyelenggarakan sosialisasi upaya pencegahan tindak pidana
pencucian uang.
PPATK memiliki tugas untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang (pasal 39 uu no.8 tahun 2010).Dalam melaksanakan tugasnya,
PPATK berkerja sama dengan Penyedia jasa keuangan untuk menyelidiki
transaksi keuangan mencurigakan. Penyedia jasa keuangan sebagai pihak pelapor,
diatur dalam dalam pasal 17 ayat (1) uu no.8 tahun 2010, yaitu meliputi:

1) Bank.
2) Perusahaan pembiayaan.
3) Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi.
4) Dana pensiuan lembaga keuangan.
5) Perusahaan efek.
6) Manajer investasi.
7) Kustodian.
8) Wali amanat.
9) Perposan sebagai penyedia jasa giro.
10) Pedagang valuta asing.
11) Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu.
12) Penyelenggara e-monay dan/atau e-wallet.
13) Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam.
14) Pegadaian.
15) Perusahaan yang bergerak dalam di bidang perdagangan berjangka
komoditi.
16) Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
Selain menyelenggarakan kerjasama dengan penyedia jasa keuangan, PPATK
juga menyelenggarakan kerjasama dengan pihak luar negri berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut diatur pasal 89 ayat
(1), pasal tersebut berbunyi kerja sama internasional dilakukan PPATK dengan
lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dengan
dilakukannya kerjasama tersebut PPATK dapat melakukan pertukaran informasi
sesuai yang di butuhkan. Tata cara pertukaran informasi dengan pihak luar negri
adalah sebagai berikut:
1) Dilakukan dengan financial intelligence unit negara lain (atas dasar
MoU atau resiprositas);
2) Berdasarkan norma yang diatur oleh the Egmont Group atau sesuai
dengan ketentuan dalam MoU (bersifat rahasia, tidak diperbolehkan
untuk diteruskan ke pihak lain, tidak dapat dijadikan barang bukti di
pengadilan, dll);
3) Permintaan atau pemberian informasi dapat dalam bentuk tertulis atau
elektronis;
4) Dalam hal permintaan informasi dilakukan oleh selain FIU, PPATK
memberitahukan agar permintaan informasi dilakukan melalui FIU
negara yang bersangkutan atau melalui mitra kerjanya di Indonesia.

Samapai saat ini, indonesi telah melakukan kerjasama terkait pemberantasan


tindak pidana pencucian uang dengan 38 negara sahabat. dalam bentuk MoU.
Selain melaksanakan kerjasama internasional, PPATK juga melaksanakan
kerjasam domestik. Kerjasam domestik tersebut dilakukan PPATK dengan pihak
terkait dengan atau tanpa bentuk kerjasama formal (pasal 88 ayat (1) uu no.8
tahun 2010). Hal tersebut berbeda dengan korjasama internasional yang harus
dituangkan dalam bentuk formal. Tata Cara Pertukaran Informasi Dalam Negeri:
1. Diajukan secara tertulis yang ditandatangani sekurang-kurangnya oleh:
a. Hakim Ketua Majelis yang menangani perkara.
b. Pejabat setingkat Direktur di Polri.
c. Pejabat setingkat Direktur di Kejagung atau pejabat.
setingkat Asisten Kejati.
d. Pimpinan di KPK.
e. Pejabat setingkat Direktur pada lembaga yg
mempunyai kewenangan pengawasan thd PJK (Regulator).
f. Pimpinan lembaga yang memiliki kewenangan PPNS.
2. Permintaan informasi mencantumkan :
a. Identitas nasabah dan nama PJK.
b. Tujuan dan alasan permintaan informasi.
c. Hubungan dengan dugaan TPPU atau TP asal.
d. Tahapan penanganan perkara.
e.Pernyataan menjaga kerahasiaan informasi.
PATK bertugas mengumpulkan menyimpan menganalisis dan mengevaluasi
informasi yang diperoleh yang disebutkan dalam Pasal 26 UUTPPU. Sudah
seharusnya negara yang termasuk dalam upaya penanggulangan money
laundering mengadakan perjanjian internasional atau perjanjian internasional dan
mengadakan kerjasama timbal balik dengan negara-negara lain, karena money
laundering bukan masalah nasional tetapi juga masalah internasional sehingga
tanpa kerjasama internasional penanggulangan tindak pidana pencucian uang
tidak bisa diberantas. Dalam tindap pidana pencucian uang, Untuk dapat

dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap


tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidana asalnya (Pasal 69 uu no.8 tahun 2010). Hal tersebut dimungkinkan untuk
memudahkan

proses

pemeriksaan

terkait

dengan

Transaksi

keuangan

mencurigakan. Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup


terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik
menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana
pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK. Hal yang paling menarik
dalam undang undang tersebut adalah beban pembuktian terbalik. Hal tersebut
bertentangan dengan KUHAP. Kejahatan tindak pidana pencucian uang diakui
sebagai suatu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), yakni suatu
kejahatan yang melibatkan orang-orang memiliki kesempatan dan kapasitas
tertentu, bahkan dapat melibatkan banyak pihak. Dan kejahatan tindak pidana ini
menghadirkan kerugian perkonomian suatu bangsa cukup besar. Namun pada
kenyataannya tindak pidana pencucian uang memang modus kejahatan yang
begitu sulit dibuktikan, oleh karena itu maka diperlukan terobosan-terobosan baru
dalam sistem hukum di Indonesia guna mempermudah pembuktian dalam tindak
pidana pencucian uang, salah satunya adalah menerapkan asas beban pembuktian
terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.
Pembuktian merupakan bagian penting dalam pencarian kebenaran
materiil terhadap proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental
yang dianut oleh Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat
bukti dengan keyakinannya sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat
berarti orang yang telah melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksi demi
tercapainya keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan
kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sesuai
dengan asas Presumption of Innocence. Sehingga hukuman yang diterima oleh
terdakwa seimbang dengan kesalahannya.
Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu
pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk

membuktikan kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan salah satu jenis beban
pembuktian yaitu beban pembuktian terbalik atau omkering van bewijslaat.
Penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang
sekiranya memang urgensinya begitu tinggi untuk diterapkan di Indonesia dewasa
ini. Beban pembuktian terbalik atas asset yang dimiliki oleh aparatur Negara yang
dicurigai melakukan penyalahgunaan wewenang atau dicurigai memperoleh asset
dengan cara-cara tidak sah, yakni dengan cara melanggar hukum diyakini
menghadirkan dampak positif dalam upaya penyelamatan asset Negara secara
maksimal dari pelaku tindak pidana pencucian uang. Dalam Beban pembuktian
terbalik atau omkering van bewijslaat ini didefinisikan bahwa yang mempunyai
beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkam penuntut umum akan bersikap
pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan
kalah.
Penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang
patut diberlakukan di Indonesia sebagai tindak lanjut dari pasal 77 UU No. 8
tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
yang berbunyi untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Jikalau kita mengimplementasikan pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, artinya dalam konsep
negara hukum, supremasi hukum harus dijunjung tinggi di Negara ini. Maka dari
itulah mengapa dirasa perlu menerapkan sistem beban pembuktian terbalik ini
dalam tindak pidana pencucian uang khususnya. Dan jika ditinjau dari aspek pasal
35 UU No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa yaitu jika terdakwa tidak
dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat
dipersalahkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal ini terlihat
begitu pentingnya penerapan system pembuktian secara terbalik.
Sistem beban pembuktian terbalik sudah diterapkan pertama kali di
Indonesia diterapkan di pengadilan negeri Jakarta selatan, yaitu kepada bekas
pejabat kantor pajak dan bappenas, bahasyim assifie. Dalam proses terssebut,
bahasyim assifie diminta membuktikan keabsahan hartanya yang dia sebut hasil

dari berbagai usaha. Bahasyim memang menunjukan berbagai dokumen yang ia


katakana sebagai hasil dari usahanya sendiri. Namun majelis hakim tidak
mengakui seluruh bukti tersebut karena tidak sah menurut hukum. Akhirnya
bahasyim divonis hukuman penjara selama 10 tahun, ditambah denda Rp.250 juta
subside 3 bulan kurungan. Hartanya pun yang senilai Rp. 60,9 miliar ditambah
681.147 dollar AS dirampas untuk Negara karena terbukti merupakan hasil dari
tindak pidana korupsi.
Dari kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsekuensi logis
beban pembuktian terbalik tidak bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi
manusia, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tak
bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri, asas hak untuk diam, hukum
pidana materiil serta instrumen hukum internasional. Hal ini dikarenakan beban
pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian ini hanya dapat dilakukan
terhadap harta kekayaan pelaku pencucian uang, sehingga titik beratnya hanya
untuk memaksimalkan pengembalian harta Negara dari hasil pencucian uang oleh
pelaku tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal ini kita harus tahu bahwa dalam hukum acara pidana kita tidak
mengenal sistem beban pembuktian terbalik. Hal ini jelas diatur dalam UU No.8
Tahun 1981 mengenai KUHAP, yang dimana beban pembuktian hanya
dilimpahkan kepada pihak penuntut umum. Dan dalam hal ini, terdakwa tidak di
bebani kewajiban pembuktian, yang sudah jelas tercantum dalam pasal 66
KUHAP. Namun demikian, yang harus kita perhatikan lebih lanjut bahwa di
dalam hukum pidana kita mengenal asas lex specialis derogate legi generalis yang
tercantum dalam pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan. Jadi jika kita tinjau dari aspek ini, dapat kita
simpulkan bahwa pelaksanaan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana
pencucian uang itu dapat di implementasikan, karena sudah jelas ada payung
hukum yang mengaturnya. Faktanya di Indonesia yang sering diterapkan dalam
proses pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni
gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan

hakim, beban pembuktian terbalik itu sudah di terapkan dan sangat dibutuhkan
dalam upaya pembuktian terhadap pelaku penccucian uang, dikarenakan jika
ditinjau dalam tindak pidana pencucian uang beban pembuktian terbalik adalah
sebuah solusi konkrit yang sangat membantu dalam pembuktian dan juga dalam
upaya memaksimalkan penyelamatan asset Negara yang diprivatisasi lewat
pencucian uang.
C. Pencegahan dan Penanggulangan pencucian uang.
Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan
melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan
tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan
kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN
Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic
Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7
Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara
penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai
suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib
dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil
perdagangan obat bius. Di bawah ini hdala beberaa langkah yang telah diambil
Pemerintah RI untuk menindaklanjuti komitmen pemberantasan kegiatan
pencucian uang.
a. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang
Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan
tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika.
Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan
impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak
digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
b. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang


berkaitan dengan narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No.
22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976
tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang
dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.
22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan
dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
c. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: Bank Indonesia dapat
memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap
suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan
tranaksi tertentu antara lain hdala transaksi dalam jumlah besar yang diduga
berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk
pula kegiatan pencucian uang.
d. UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui
pergerakan dana dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara tidak
langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2),
misalnya, mengatur sebagai berikut:
Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu
lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi,
tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku
transaksi.
e. Ketentuan Bank Indonesia

Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara
langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money
laundering secara administratif,
antara lain:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR
tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang
yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI
dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi
formulir deklarasi. Selain itu,
bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam
wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) selain
wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.
2. Surat Cara Pembelian Saham Bank Umum
Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian
saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan
money laundering.
3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan
izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat
pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money
laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang
digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau
pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungs audit. Intern Bank Umum
PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang
berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota
direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah
memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja
Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara
keseluruhan.
5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valas oleh Bank
Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu
oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status
penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan
hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi
sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan
kegiatan pencucian uang.
6. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal
Nasabah (Know Your Customers Principles)
Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau
jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana
pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah,
memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan
tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan
oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal
nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC
Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka
pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan
prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain
dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus
mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam
kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi
FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles
For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya
bertujuan untuk :

a. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang
mencurigakan yang dilakukan nasabah;
b. memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang
berlaku;
c. menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
d. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan
aktivitas kejahatan.
e. melindungi reputasi bank.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pengertian pencucian uang atau money laundering adalah proses atau
perbuatan yang menggunakan uang hasil tindak pidana atau uang haram. Jadi
uang haram tersebut dengan cara-cara tertentu dikaburkan atau disembunyikan
asal-usulnya untuk kemudian dikatakan sebagai uang yang sah atau uang halal.
Dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang No. 25 Tahun 2002, yang dimaksud
dengan pencucian uang adalah perbuatan mentransfer atas harta kekayaan yang
diduga merupakan hasil dari perbuatan tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolaholah menjadi harta kekayaan sah.
Dampak yang ditimbulkan oleh pencucian uang ini luar biasa, bahkan
mengancam stabilitas ekonomi negara. Hal ini dikarenakan pencucian uang ini

sangat mempengaruhi perkembangan berbagai kejahatan berat, seperti drugs


trafficking, korupsi, illegal logging, dan sebagainya.
Setelah Indonesia memiliki UU No. 15 Tahun 2002, ternyata Indonesia masih
dimasukkan dalam daftar NCTTs oleh FATF dengan alasan bahwa masih terdapat
beberapa kelemahan dalam UU No. 15 Tahun 2002, yaitu : Mengenai dasar
penetapan nilai uang minimal Rp 500 juta untuk bisa dikatagorikan sebagai tindak
pidana money laundering;Mengenai 15 kejahatan yang bisa dikatagorikan sebagai
tindak pidana money laundering, dimana bagi komunitas internasional
pembatasan tersebut dirasakan tidak cukup
Masalah jangka waktu pelaporan ketika diketahui adanya transaksi keuangan
yang mengarah pada money laundering. Terhadap beberapa kelemahan tersebut,
FATF telah mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan amandemen
terhadap UU No. 15 Tahun 2002, namun ternyata sampai saat ini amandemen
tersebut belum dapat diselesaikan sehingga mengakibatkan tetap dimasukkannya
Indonesia dalam daftar NCCTs.
2. Saran.
Untuk memberantas tindak pidana Money Laundering, perlu ada kerjasama antara
pemerintah, aparat kepolisian, masyarakat, dan para pelaku bisnis. Karena
kejahatan jenis ini cukup berbahaya dan menimbulkan kerusakan perekonomian
yang cukup parah. Kewaspadaan harus tetap ditingkatkan karena kejahatan jenis
ini dapat digolongkan kejahatan terselubung.\
Sebagai salah satu entry bagi masuknya uang hasil tindak kejahatan, bank harus
mengurangi risiko digunakannya sebagai sarana pencucian uang dengan cara
mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara
profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan
(suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank.
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know
Your Customer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC
tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga

dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai
risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.

DAFTAR PUSTAKA.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Media Group, Semarang 2010
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung, 2007
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta 2008
Sytan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004.

Você também pode gostar