Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1. Latar belakang.
Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset
yang sah.
mengubah uang kotor menjadi bersih tak berbekas melalui proses keuangan yang
sah. Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan oleh
orang yang menguasai atau mempunyai pengetahuan khusus di dunia penyedia
jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu pengetahuan di bidang
komputer.
Salah satu contoh kasus money laundering ialah kasus Bank Global.
Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan melalui suatu teknik yang canggih,
melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang memanfaatkan
kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah menutup
Bank Global. Pada waktu dibekukan kegiatan usahanya, Bank Global sudah
nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan
modalnya sudah berada pada titik minus 39 persen. Dengan adanya indikasi
berbagai pelanggaran ditambah dengan ketertutupan dari pihak manajemen, maka
BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni membekukan kegiatan usaha dengan
tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar lagi, serta yang
utama ialah mengamankan dana nasabah.
2.
A.
B.
C.
Rumusan masalah.
Apa Pengertian Money Loundering?
Bagaiman pengaturan Money Loundering di Indonesia?
Bagaimana Penaggulangan Money Loundering?
BAB II
PEMBAHASAN
bersifat follow up crime (kejahatan lanjutan), dan kejahatan utamanya atau disebut
kejahatan asalnya disebut predicate crime. Karakteristik money laundering adalah
bersifat organized crime, white collar crime, corporate crime dan transnasional
crime merupakan kejahatan yang luas dan termasuk kejahatan lanjutan
Dalam pola pencucian uang, hasil tindak pidana tersebut dibuat lagi dengan
suatu perbuatan yang menghasilkan tindak pidana. Pola pencucian uang adalah
sebagai berikut:
diperbuat
dengan
perbuatan
lain lagi.
perbuatan
pidana/tind
ak pidana.
hasil
tindak
pidana.
pencucian
uang.
Hasil tindak pidana lain diperbuat lagi dengan suatu perbuatan lain, yang
menimbulkan akibat lagi yaitu pencucian uang. Pada tindak pidana asal (predicate
crime), dengan tindak pidana pencucian uang berkaitan atau tidak dapat
dipisahkan. Tindak pidana pencucian tidak akan ada kalau tidak ada hasil tindak
pidana.
tindak
pidana
hasil
tindak
pencucia
Dengan
demikian, perbuatan
pencucian
uang merupakan
suatu perbuatan yang
dikerjakan
sehingga berhasil. Kemudian,
hasilnya diperbuat
dengan suatu
(predicat
pidana.
n lagi
uang.
kelakuan atau perbuatan lainnya dan menimbulkan hasil lagi.
e crime).
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni
dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda
paling banyak 10 miliar rupiah.
Selain itu, dalam undang undang tersebut diatur juga hasil tindak pidana
atau kejahatan asal dalam pasal 2 ayat (1), yaitu: Hasil Tindak Pidana Pencucian
Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan
tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar
modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q.
penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di
bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di
bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan
pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau
digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,
organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Undang-Undang
Nomor
Tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
1) Bank.
2) Perusahaan pembiayaan.
3) Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi.
4) Dana pensiuan lembaga keuangan.
5) Perusahaan efek.
6) Manajer investasi.
7) Kustodian.
8) Wali amanat.
9) Perposan sebagai penyedia jasa giro.
10) Pedagang valuta asing.
11) Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu.
12) Penyelenggara e-monay dan/atau e-wallet.
13) Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam.
14) Pegadaian.
15) Perusahaan yang bergerak dalam di bidang perdagangan berjangka
komoditi.
16) Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
Selain menyelenggarakan kerjasama dengan penyedia jasa keuangan, PPATK
juga menyelenggarakan kerjasama dengan pihak luar negri berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut diatur pasal 89 ayat
(1), pasal tersebut berbunyi kerja sama internasional dilakukan PPATK dengan
lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dengan
dilakukannya kerjasama tersebut PPATK dapat melakukan pertukaran informasi
sesuai yang di butuhkan. Tata cara pertukaran informasi dengan pihak luar negri
adalah sebagai berikut:
1) Dilakukan dengan financial intelligence unit negara lain (atas dasar
MoU atau resiprositas);
2) Berdasarkan norma yang diatur oleh the Egmont Group atau sesuai
dengan ketentuan dalam MoU (bersifat rahasia, tidak diperbolehkan
untuk diteruskan ke pihak lain, tidak dapat dijadikan barang bukti di
pengadilan, dll);
3) Permintaan atau pemberian informasi dapat dalam bentuk tertulis atau
elektronis;
4) Dalam hal permintaan informasi dilakukan oleh selain FIU, PPATK
memberitahukan agar permintaan informasi dilakukan melalui FIU
negara yang bersangkutan atau melalui mitra kerjanya di Indonesia.
proses
pemeriksaan
terkait
dengan
Transaksi
keuangan
membuktikan kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan salah satu jenis beban
pembuktian yaitu beban pembuktian terbalik atau omkering van bewijslaat.
Penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang
sekiranya memang urgensinya begitu tinggi untuk diterapkan di Indonesia dewasa
ini. Beban pembuktian terbalik atas asset yang dimiliki oleh aparatur Negara yang
dicurigai melakukan penyalahgunaan wewenang atau dicurigai memperoleh asset
dengan cara-cara tidak sah, yakni dengan cara melanggar hukum diyakini
menghadirkan dampak positif dalam upaya penyelamatan asset Negara secara
maksimal dari pelaku tindak pidana pencucian uang. Dalam Beban pembuktian
terbalik atau omkering van bewijslaat ini didefinisikan bahwa yang mempunyai
beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkam penuntut umum akan bersikap
pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan
kalah.
Penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang
patut diberlakukan di Indonesia sebagai tindak lanjut dari pasal 77 UU No. 8
tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
yang berbunyi untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Jikalau kita mengimplementasikan pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, artinya dalam konsep
negara hukum, supremasi hukum harus dijunjung tinggi di Negara ini. Maka dari
itulah mengapa dirasa perlu menerapkan sistem beban pembuktian terbalik ini
dalam tindak pidana pencucian uang khususnya. Dan jika ditinjau dari aspek pasal
35 UU No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa yaitu jika terdakwa tidak
dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat
dipersalahkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal ini terlihat
begitu pentingnya penerapan system pembuktian secara terbalik.
Sistem beban pembuktian terbalik sudah diterapkan pertama kali di
Indonesia diterapkan di pengadilan negeri Jakarta selatan, yaitu kepada bekas
pejabat kantor pajak dan bappenas, bahasyim assifie. Dalam proses terssebut,
bahasyim assifie diminta membuktikan keabsahan hartanya yang dia sebut hasil
hakim, beban pembuktian terbalik itu sudah di terapkan dan sangat dibutuhkan
dalam upaya pembuktian terhadap pelaku penccucian uang, dikarenakan jika
ditinjau dalam tindak pidana pencucian uang beban pembuktian terbalik adalah
sebuah solusi konkrit yang sangat membantu dalam pembuktian dan juga dalam
upaya memaksimalkan penyelamatan asset Negara yang diprivatisasi lewat
pencucian uang.
C. Pencegahan dan Penanggulangan pencucian uang.
Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan
melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan
tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan
kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN
Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic
Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7
Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara
penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai
suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib
dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil
perdagangan obat bius. Di bawah ini hdala beberaa langkah yang telah diambil
Pemerintah RI untuk menindaklanjuti komitmen pemberantasan kegiatan
pencucian uang.
a. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang
Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan
tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika.
Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan
impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak
digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
b. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika
Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara
langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money
laundering secara administratif,
antara lain:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR
tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang
yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI
dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi
formulir deklarasi. Selain itu,
bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam
wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) selain
wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.
2. Surat Cara Pembelian Saham Bank Umum
Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian
saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan
money laundering.
3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan
izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat
pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money
laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang
digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau
pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungs audit. Intern Bank Umum
PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang
berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota
direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah
memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja
Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara
keseluruhan.
5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valas oleh Bank
Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu
oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status
penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan
hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi
sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan
kegiatan pencucian uang.
6. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal
Nasabah (Know Your Customers Principles)
Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau
jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana
pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah,
memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan
tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan
oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal
nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC
Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka
pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan
prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain
dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus
mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam
kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi
FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles
For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya
bertujuan untuk :
a. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang
mencurigakan yang dilakukan nasabah;
b. memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang
berlaku;
c. menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
d. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan
aktivitas kejahatan.
e. melindungi reputasi bank.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pengertian pencucian uang atau money laundering adalah proses atau
perbuatan yang menggunakan uang hasil tindak pidana atau uang haram. Jadi
uang haram tersebut dengan cara-cara tertentu dikaburkan atau disembunyikan
asal-usulnya untuk kemudian dikatakan sebagai uang yang sah atau uang halal.
Dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang No. 25 Tahun 2002, yang dimaksud
dengan pencucian uang adalah perbuatan mentransfer atas harta kekayaan yang
diduga merupakan hasil dari perbuatan tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolaholah menjadi harta kekayaan sah.
Dampak yang ditimbulkan oleh pencucian uang ini luar biasa, bahkan
mengancam stabilitas ekonomi negara. Hal ini dikarenakan pencucian uang ini
dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai
risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
DAFTAR PUSTAKA.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Media Group, Semarang 2010
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung, 2007
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta 2008
Sytan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004.