Você está na página 1de 15

REFRAT JURNAL

DIFTERI

Oleh :
Albertus Bayu K

G99121003/A-12-2014

Muh. Al Amin

G99121028/A-13-2014

Pembimbing :
dr. Agustina Wulandari, SpA, Mkes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS


KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014

Latar Belakang
Penyebab kematian anak di negara-negara berkembang merupakan salah
satu penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri,Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B. Difteri adalah
penyakit yang disebabkan oleh kumanCorynebacterium diphtheriae, oleh karena
itu penyakitnya diberi nama serupadengan kuman penyebabnya. Sebelum era
vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit
yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Namun sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.Difteri termasuk penyakit
menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.Rendahnya kasus difteri sangat
dipengaruhi adanya program imunisasi.1

Definisi
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang terutama menyerang
tonsil,faring,laring, hidung, dan adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadangkadang konjunngtiva atau vagina. Bakteri melepaskan cytotoxin spesifik yang
mengakibatkan timbulnya lesi yang khas. Lesi nampak sebagai suatu membran
asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.Tenggorokan
terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti
dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapatterjadi obstruksi jalan
napas.Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbatdan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi)
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah
gejalaklinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak
dapatdibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagiandari impetigo.2

Penyebab
Corynebacterium diphtheriae merupakan penyebab penyakit difteri.
Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi
oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu
exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang
jadi sakit. Ada tiga tipe variants dariCorynebacterium diphtheriaini yaitu : tipe
mitis, tipe intermedius dan tipe gravis.3
Corynebacterium

diphtheria

dapat

dikalsifikasikan

dengan

cara

bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium
diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaputmukosa.2,3

Cara Penularan
Manusia merupakan sumber penularan penyakit difteri, baik sebagai
penderita maupun sebagaicarier.Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan
atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 25 hari, masa
penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan
carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran
pernafasan bagian atas. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah
tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah
melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disekitarnya rusak,
lalu terbentuklah membaran putih keabu-abuan (pseudomembrane). Membran ini
sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman
difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejalagejala dan miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada
difterifauncial dan faringeal.4
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

Infeksi ringan bila Pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan

gejala hanya nyeri menelan.


Infeksi sedang bila Pseudomembrantelah menyerang sampai faring
(dindingbelakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan

pada laring.
Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi

seperti

miokarditis

(radang

otot

jantung), paralisis(kelemahananggota gerak) dannefritis(radang ginjal).5


Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang
dirasakanpasien :

Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan


cairan yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus
difteri. Bilatidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan

sumber utamapenularan.6
Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang
akuttenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang
cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher.
Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu
abuan kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut

(faring).7
Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak
bisabersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40
derajatcelsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar
leher.Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa

mengancam nyawapenderita akibat gagal nafas.8


Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala
berupaluka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane
diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri,
lukayang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.9

Diagonosis

Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan


pemberianantitoksin

sangat

mempengaruhi

prognosa.

Diagnosa

harus

ditegakakkanberdasarkan gejala klinik.Test yang digunakan untuk mendeteksi


penyakit Difteri boleh meliputi:10

Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi

Corynebacterium diphtheriae.
Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung)
dapat di lakuka dengan electrocardiogram (ECG).
Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi

hasilnyakurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak


spesifik.Pemeriksaan Shick test bisa dilakukan untuk menentukan status
imunitaspenderita.11

Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :12
1.
2.
3.
4.

Panas lebih dari 38 C


Ada psedomembrane bisa di pharynx,larynx atau tonsil
Sakit waktu menelan
Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karenapembengkakan
kelenjar leher
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas

serta sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada
psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen)berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.Gejala
diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak
tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi.13

Patogenesis
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai

ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan kepita suara
(laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.14
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyeba rmelalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh,terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu,
misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis)
bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan
saraf berlangsung secaraperlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita
dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.Pada
serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel
dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek danberwarna abu-abu.
Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan
berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udaraatau secara tibatiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah
diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di
tenggorokan dan dibuat biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung
yang terjadi akibatpenyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .15,16

Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah
toksin,waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari :17,18,19


1. Infeksi

sekunder,

biasanya

oleh

kuman

streptokokus

dan

stafilokokus
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau
oedema jalannafas
3. I n f e k s i S i s t e m i k k a r e n a e f e k e k s o t o k s i n
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi

gagal

jantung.

Kerusakan

sistem

saraf

berupa

kelumpuhan

saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat
kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.20

Pencegahan dan Pengobatan


Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksi
tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada
kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi
taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama
sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalumempunyai
kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan
imunisasi.Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status
imunisasi DPTdan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali
lebih besar daripada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan
sumberpenularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak
adasumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentangimunisasi dan
difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kalidibandingkan
dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasidan difteri. Status
imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominandalam
mempengaruhi terjadinya difteri.21
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang
penyuntikan satu dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu

bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri danbengkak pada
permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas .
Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelahimunisasi,
sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT)setiap 10
tahun sekali.Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan
sistemkekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi
denganvaksin difteria dengan jadwal yang samaSelain pemberian imunisasi perlu
juga diberikan penyuluhan kepada masyarakatterutama kepada orang tua tentang
bahaya dari difteria dan perlunya imunisasiaktif diberikan kepada bayi dan anakanak. Dan perlu juga untuk menjagakebersihan badan, pakaian dan lingkungan.
Penyakit menular seperti difterimudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan
tingkat sanitasi rendah.Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga
harus menjagakebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu
diperhatikan makananyang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di
luar,pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita
sebaiknyadirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak
menjadisumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan
untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman
Corynebacteriumdiphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali,
biasanya penderitatidak akan terserang lagi seumur hidup.22,23
Melihat bahayanya penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukangejala
diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk
segeramendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit
untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah
sakitakan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital
penderitauntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita
umumnya akandiberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria
Serum).Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest
: 2-3minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna,protein
dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.Dengan pengobatan
yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapatdihindari, namun keadaan

bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebihmuda, perjalanan penyakit
yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yangterlambat.Walaupun sangat
berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisadicegah dengan cara menghindari kontak
dengan pasien difteri yang hasil lab-nyamasih positif dan imunisasi.Pengobatan khusus
penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin danmembunuh basil dengan
antibiotika ( penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,Amoksisilin,

Rifampicin,

Klindamisin, tetrasiklin).Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian


Anti Difteria Serum(ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil
saja,tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.Sebelum
pemberian serum dilakukan sensitif test.Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000
unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 harisetelah panas turun. Antibiotik alternatif
lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari selama 14 hari.23, 24, 25
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis
Tetanus )dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan
tetanusyang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi
DPTdiberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri,
pertusisdan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis
selanjutnyadiberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ).
DPT padabayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi
lainnya yaitu DT(Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya
diberikan padaanak sekolah dasa kelas 1.Seorang karier (hasil biakan positif,
tetapi tidak menunjukkan gejala) dapatmenularkan difteri, karena itu diberikan
antibiotik

dan

dilakukan

pembiakan

ulang

pada

apusan

tenggorokannya.Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan


imunisasi,karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap
10 tahun.26, 27

Determinan
Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian Difteria diantaranya:

1. C a k u p a n i m u n i s a s i , a r t i n y a d i m a n a a d a b a y i y a n g k u r a n g
b a h k a n tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan
penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan
DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403 kali lebih besar dari
pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap.28
2. K u a l i t a s v a k s i n , a r t i n y a p a d a s a a t p r o s e s p e m b e r i a n
vaksinasi

k u r a n g menjaga Coldcain secara sempurna sehingga

mempengaruhi kualitas vaksin29


3. F a k t o r L i n g k u n g a n , a r t i n y a

lingkungan

yang

buruk

d e n g a n s a n i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit


Difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan
penyakit difteria bila ada sumber penularan.30
4. R e n d a h n y a t i n g k a t p e n g e t a h u a n i b u , d i m a n a p e n g e t a h u a n
a k a n pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali secara dini
gejala-gejala penyakit difteria.31
5. A k s e s p e l a y a n a n k e s e h a t a n y a n g r e n d a h , d i m a n a h a l i n i
d a p a t d i l i h a t dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah
tertentu.32,33

KESIMPULAN
1. Difteri

adalah

penyakit

yang

disebabkan

oleh

kumanCorynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi


nama serupa dengan kuman penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3
tingkatyaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung,
difterifaring, difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal
4. G e j a l a k l i n i s p e n y a k i t d i f t e r i i n i a d a l a h :
a. Panas lebih dari 38 C
b. Psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
c. S a k i t w a k t u m e n e l a n
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karenapembengkakan kelenjar leher
5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik
sebagaipenderita maupun sebagaicarier.Cara penularannya yaitu melaluikontak

dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengancarier.Caranya


melalui

pernafasan

ataudroplet

infectiondan

difteri

kulit

yangmencemari tanah sekitarnya.


6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan
penderita2-4

minggu

sejak

masa

inkubasi,

sedangkan

masa

penularancarierbisasampai 6 bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian
imunisasiDPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan
dilanjutkandengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling
sedikit 4 minggu (1 bulan). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah
dasaryaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan
dengancara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari
kumandifteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan
umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak,mudah
dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus yangbertujuan
menentralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika (penicilin
procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin,
tetrasiklin).
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya klb difteri adalah :
a. C a k u p a n i m u n i s a s i
b.
K u a l i t a s v a k s i n
c.
L i n g k u n g a n -Rendahn ya
tingkat
pengetahuan ibu dan keluarga
d. A k s e s p e l a y a n a n k e s e h a t a n y a n g r e n d a h

Daftar Pustaka
1. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. Vol. 1 No. 2 MayAugust 2010.M. Vitanata Arfijanto, Siti Irma Mashitah, Prihartini Widiyanti,
Bramantono.A patient with Suspected Diphtheria.
2. Brazilian Journal of Medical and Biological Research (2006) 39: 519-523.L.Y.
Weckx, K. Divino-Goes, D.M. Lihama, E. Carraro, N. Bellei, C.F.H. Granato
and M.I. de Moraes-Pinto.Effect of a single tetanus-diphtheria vaccine dose
on the immunity of elderly people in So Paulo, Brazil.
3. Journal of the New Zealand Medical Association. 24 February 2012, Vol 125
No 1350.Ann Sears, Margot McLean, David Hingston, Barbara Eddie, Pat
Short, Mark Jones.Cases of cutaneous diphtheria in New Zealand:
implications for surveillance and management.
4. South African Institute for Medical Research, Johannesburg.V. BOKKE
HEUSER, CAND. MED. (COPENH.), DIP. BACT. AND SERO. (PARIS) and
C. S. HEY 1A M.B., CH.B., D:P.H., D.T.M. A fD H.,R.C.P. AND
S.Diphtheria in South Africa.
5. Journal American Medical Association. February 22/29, 2012Vol 307, No.
8.Yuelian Sun, Jakob Christensen, Anders Hviid, Jiong Li,Peter Vedsted, Jrn
Olsen, Mogens Vestergaard.Risk of Febrile Seizures and Epilepsy After
Vaccination With Diphtheria, Tetanus, Acellular Pertussis, Inactivated
Poliovirus, and Haemophilus Influenzae Type b.
6. Journal American Medical Association. June 22/29, 2005Vol 293, No.
24.Michael E. Pichichero, Margaret B. Rennels, Kathryn M. Edwards, Mark
M. Blatter, Gary S. Marshall, Monica Bologa, Elaine Wang, Elaine
Mills.Combined Tetanus, Diphtheria, and 5-Component Pertussis Vaccine for
Use in Adolescents and Adults.
7. Journal American Medical Association. Arch Pediatr Adolesc Med.
2005;159:907-913.Harry Keyserling, MD; Thomas Papa, MD, et al. Safety,
Immunogenicity, and Immune Memory of a Novel Meningococcal (Groups A,
C, Y, and 135) Polysaccharide Diphtheria Toxoid Conjugate Vaccine (MCV-4)
in Healthy Adolescents.
8. Journal American Medical Association. Arch Pediatr Adolesc Med.
2004;158:569-575.Barbara Bardenheier, MPH, MA; Hussain Yusuf, et al. Are
Parental Vaccine Safety Concerns Associated With Receipt of MeaslesMumps-Rubella, Diphtheria and Tetanus Toxoids With Acellular Pertussis, or
Hepatitis B Vaccines by Children?

9. British Medical Journal. J Clin Pathol 1949 2: 250-258 doi: `0.1136.Stephen


D. Elek. From the Department of Bacteriology, St. George's Hospital Medical
School, London.The Plate Virulence Test for Diphtheria.
10. Journal of Bacteriology. 1946, 51(6):671.Richard Thompson and Madoka
Shibuya.THE INHIBITORY ACTION OF SALIVA ON THE DIPHTHERIA
BACILLUS: THE ANTIBIOTIC EFFECT OF SALIVARY STREPTOCOCCI.
11. Journal of Bacteriology. 2012, 194(12): 3199. DOI: 10.1128/JB.0018312.Mattos-Guaraldi, Androulla Efstratiou, Michael P. Schmitt, Louisy S, et
al.Pangenomic Study of Corynebacterium diphtheriae That Provides Insights
into the Genomic Diversity of Pathogenic Isolates from Cases of Classical
Diphtheria, Endocarditis, and Pneumonia.
12. Journal of Bacteriology. 2002, 184(20):5723. DOI: 10.1128/JB.184.20.57235732.2002.Diana Marra Oram, Ana Avdalovic and Randall K.
Holmes.Construction and Characterization of Transposon Insertion
Mutations in Corynebacterium diphtheriae That Affect Expression of the
Diphtheria Toxin Repressor (DtxR).
13. Journal of Bacteriology. 1980, 141(1):184.W P Smith, P C Tai, J R Murphy
and B D Davis. Precursor in cotranslational secretion of diphtheria toxin.
14. Journal of Bacteriology. 1993, 175(3):898.J C OlsonUse of synthetic peptides
and site-specific antibodies to localize a diphtheria toxin sequence associated
with ADP-ribosyltransferase activity.
15. Journal of Bacteriology. 2009, 191(8):2638. DOI: 10.1128/JB.0178408.Courtni E. Allen and Michael P. Schmitt.HtaA Is an Iron-Regulated Hemin
Binding Protein Involved in the Utilization of Heme Iron in Corynebacterium
diphtheriae.
16. Journal of Bacteriology. 2010, 192(18):4606. DOI: 10.1128/JB.00525-10.Lori
A. Bibb and Michael P. Schmitt.The ABC Transporter HrtAB Confers
Resistance to Hemin Toxicity and Is Regulated in a Hemin-Dependent Manner
by the ChrAS Two-Component System in Corynebacterium diphtheriae.
17. Journal of Bacteriology. 2012, 194(7):1717. DOI: 10.1128/JB.0680111.Jonathan M. Burgos and Michael P. Schmitt.The ChrA Response Regulator
in Corynebacterium diphtheriae Controls Hemin-Regulated Gene Expression
through Binding to the hmuO and hrtAB Promoter Regions.
18. American Public Health Association; 2004. p. 171-6. Clements J. Diphtheria.
In: Heymann D, editor. Control of Communicable Diseases Manual.

19. Farizo K, Strebel P, Chen R, et al. 1993;16:59-68.Fatal Respiratory Disease


Due to Corynebacteriumdiphtheriae: Case Report and review of Guidelines
for Management, Investigation, andControl. Clin Infect Dis.
20. Anima H, Malay M, Santanu H, et al.2008;40(1):53-8. A study on
determinants of occurrence of complications and fatality among diphtheria
cases admitted to ID & BG Hospital of Kolkata. J Commun Dis.
21. Journal of Bacteriology. 1993, 175(3):898. Joan C. Olson.Use of Synthetic
Peptides and Site-Specific Antibodies To Localize a Diphtheria Toxin
Sequence Associated with ADP-Ribosyltransferase Activity
22. Journal of Bacteriology. 1965, 90(6):1557. Thomas J. Moehring and Joan M.
Moehring. Mode of Inhibition of Diphtheria Toxin by Ammonium Chloride
23. Journal of Bacteriology. 1965, 90(6):1552. K. Kim and N. B. Groman. In Vitro
Inhibition of Diphtheria Toxin Action by Ammonium Salts and Amines
24. Journal of Bacteriology. 1983, 156(2):680. R K Tweten and R J Collier.
Molecular Cloning and Expression of Gene Fragments from
Corynebacteriophage ,B Encoding Enzymatically Active Peptides of
Diphtheria Toxin
25. Journal of Bacteriology. 1994, 176(4):1141. M P Schmitt and R K Holmes.
Cloning, Sequence, and Footprint Analysis of Two Promoter/ Operators from
Corynebacteriumdiphtheriae That Are Regulated by the Diphtheria Toxin
Repressor (DtxR) and Iron
26. Journal of Bacteriology. 1981, 148(1):124J J Costa, J L Michel, R Rappuoli
and J R Murphy. Restriction Map of Corynebacteriophages f8, and f8i3 and
Physical Localization of the Diphtheria tox Operon
27. Journal of Bacteriology. 1981, 148(1):153. G A Buck and N B Groman.
Identification of Deoxyribonucleic Acid Restriction Fragments of f3Converting Corynebacteriophages That Carry the Gene for Diphtheria Toxin
28. Journal of Bacteriology. 1985, 163(3):1114. D Leong and J R Murphy.
Characterization
of
the
Diphtheria
tox
Transcript
in
Corynebacteriumdiphtheriae and Escherichia coli
29. Journal of Bacteriology. 1993, 175(11):3295. K Gnter, C Toupet and T
Schupp. Characterization of an Iron-Regulated Promoter Involved in
Desferrioxamine B Synthesis in Streptomyces pilosus: Repressor-Binding Site
and Homology to the Diphtheria Toxin Gene Promoter

30. Journal of Bacteriology. 2012. Jonathan M. Burgos and Michael P. Schmitt.


The ChrA Response Regulator in Corynebacterium diphtheria Controls
Hemin-Regulated Gene Expression through Binding to thehmuOand
hrtABPromoter Regions.
31. Journal of Bacteriology. 2010. Lori A. Bibb and Michael P. Schmitt. The ABC
Transporter HrtAB Confers Resistance to Hemin Toxicity and Is Regulated in
a Hemin-Dependent Manner by the ChrAS Two-Component System in
Corynebacterium diphtheria.
32. Journal of Bacteriology. 2009. Courtni E. Allen and Michael P. Schmitt.HtaA
Is an Iron-Regulated Hemin Binding Protein Involved in the Utilization of
Heme Iron in Corynebacterium diphtheria.
33. Journal of Bacteriology. 2000. JOHN H. LEE AND RANDALL K.
HOLMES. Characterization of Specific Nucleotide Substitutions in
DtxRSpecific Operators of CorynebacteriumdiphtheriaeThat Dramatically
Affect DtxR Binding, Operator Function, and Promoter Strength

Você também pode gostar