Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PERADILAN TERPADU
MaPPI FHUI
19 May 2005, 12:17:31 WIB - pemantauperadilan.com
A.
DIMENSI PENGAWASAN
No
1
2
3
Diperlukan Sistem
Pengawasan untuk
Menciptakan Kondisi
Peradilan yang Baik
Ya
Tidak
Tidak menjawab
Hakim
89.3
10.7
0.0
Jaksa
RESPONDEN (%)
Polisi Advokat/
pengacara
Akademisi
/LSM
91.0
9.0
0.0
85.5
15.7
0.6
98.4
1.6
0.0
93.7
6.3
0.0
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa sistem pengawasan diperlukan dalam rangka
menciptakan peradilan yang baik. Atas usulan tersebut sebagian besar responden menyatakan
persetujuannya. Sedikit sekali responden yang menyatakan penolakannya.
Berbicara tentang pengawasan, setidaknya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan,
pertama aspek pendekatan dalam pengawasan misalnya pendekatan preventif, detektif, dan
repressif. Kedua adalah aspek pihak pelaksana dalam pengawasan, yang meliputi masyarakat
dan lembaga formal (termasuk di dalam kelembagaan antara lain aspek kedudukan, sumber
daya manusia serta mekanisme kerja. Ketiga, obyeknya, adalah pengawasan terhadap perilaku,
kecakapan (skill) atau pelaksanaan tugas (performance) dalam hal administrastif, prosedural,
keuangan serta metode pengawasannya[2].
1.
Pendekatan Pengawasan
a.
Preventif
2)
limitatif, dan memiliki tolok ukur yang obyektif untuk menilai bagaimana aparat penegak hukum
dan hakim harus menjalankan tugas dan wewenangnya.
Kelemahannya adalah selama ini diskresi aparat penegak hukum dan hakim masih besar
dan belum disertai tolok ukur yang obyektif dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat misalnya
dalam diskresi yang luas dan subyektif bagi penyelidik/penyidik/penuntut/hakim untuk
mengartikan bukti yang cukup, ada kekhawatiran tersangka/terdakwa melarikan diri, atau
menghilangkan alat bukt menahan sebagai dasar penahanan tersangka atau terdakwa[9]. Selain
itu masalah diskresi ini pun dapat dilihat dalam aturan MA, dimana tidak ada batas waktu yang
jelas bagi hakim agung untuk menyelesaikan suatu perkara.
Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan atas penggunaan diskresi bagi aparat
penegak hukum dan hakim. Selain itu, untuk menutup peluang penyalahgunaan wewenang,
pengaturan tentang diskresi yang teknis, baik itu standard operation procedure (SOP), buku
pedoman, Prosedur Tetap atau istilah lainnya, penting sebagai dasar untuk menilai performance
dan perilaku aparat penegak hukum dan hakim.
4) Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan merupakan hal yang penting,
mengingat lemahnya lembaga pengawas formal selama ini serta keterbatasanketerbatasan
yang mereka miliki. Bukankah seribu mata lebih mampu melihat banyak hal dibandingkan dua
mata?
Dalam konteks hukum acara pidana, pengaturan mengenai praperadilan yang
merupakan sarana check and balances harus dibenahi, antara lain dengan pemberian standing
kepada masyarakat untuk mengajukan praperadilan atas penghentian penyidikan atau
penuntutan. Selain itu, untuk memastikan bahwa laporan dari pelapor ditindaklanjuti oleh
penyelidik, maka pelapor perlu diberikan hak untuk mengajukan praperadilan jika laporannya
tidak ditindaklanjuti dengan alasan yang jelas.
Untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan, penyadaran
masyarakat atas hak-haknya menjadi penting. Selain itu sarana untuk memudahkan masyarakat
melaporkan suatu penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran dan jaminan yang melindungi
pelapor perlu diperhatikan.
b. Detektif
Pendekatan detektif pada intinya diperlukan untuk memudahkan upaya memperoleh
informasi yang cepat dan akurat guna menunjang pengawasan[12]. Beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam hal ini misalnya pencatatan harta kekayaan dan sumber penghasilan
(sebagaimana yang dilakukan oleh KPKPN), penyampaian gratifikasi sebagaimana diatur dalam
UU korupsi yang baru (Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), pendataan informasi
kepegawaian yang baik[13].
c. Represif
Pendekatan represif ini pada intinya merupakan langkah penegakan hukum (dalam
konteks ini hukum administrasi), oleh lembaga pengawasan jika ada penyalahgunaan wewenang
atau pelanggaran oleh aparat penegak hukum dan hakim. Pada intinya penegakan hukum ini
harus dilakukan secara non diskriminatif, transparan, akuntabel, objektif dan tegas.
2. Pelaksana Pengawasan
Pengawasan hanya akan dapat efektif jika pihak yang melaksanakannya memiliki
jaminan independensi, tidak memiliki keberpihakan, memiliki kemampuan (keahlian, waktu dan
sebagainya) dan diikat dalam suatu sistem yang kondusif bagi pelaksanaan tugasnya.
3.
Obyek Pengawasan
Pemahaman yang jelas mengenai obyek pengawasan menjadi penting untuk pihak yang
dapat melakukan pengawasan serta mempermudah memetakan metode yang efektif untuk
melakukan pengawasan terhadap obyek-obyek tersebut. Secara umum ada beberapa obyek
yang harus menjadi bahan pengawasan, antara lain perilaku aparat penegak hukum dan hakim,
kemampuan teknis (skill), pelaksanaan tugas (performance) dalam hal adminstratif, prosedural
dan keuangan, dimana untuk setiap obyek tersebut metode pengawasannya dapat berbedabeda, minimal dalam penekanannya.
1. Perilaku
Yang termasuk dalam ruang lingkup obyek ini adalah perilaku aparat penegak hukum
dan hakim dalam tugas dan di luar tugas. Metode pengawasan terhadap perilaku yang selama ini
telah dilakukan adalah menerima dan memproses laporan atau pengaduan masyarakat. Hal lain
yang dapat dilakukan adalah pengamatan secara langsung (aktif) terhadap aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugasnya.
2. Kecakapan (Skill)
Yang dimaksud dengan kecakapan disini adalah kemampuan intelektual aparat penegak
hukum dan hakim dalam menjalankan tugasnya (substansial dan prosedural). Sebagai ilustrasi
sampai akhir tahun 1970-an, di pengadilan dikenal istilah eksaminasi putusan. Dalam eksaminasi
putusan ini, putusan hakim yang lebih rendah dikaji oleh hakim pada pengadilan yang lebih
tinggi. Hasil kajiannya dapat dijadikan penilaian terhadap kondite hakim sekaligus untuk
mendidiknya[14]
Sedangkan untuk kepolisian, pengawasan atas kecakapan ini dapat dilakukan melalui
evaluasi hasil penyelidikan atau penyidikan, dan adapun untuk jaksa evaluasi dapat dilakukan
melalui eksaminasi surat dakwaan.
B.
SISTEM PENGAWASAN
b.
c.
Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum (110 ayat 1), dalam
hal ini penuntut memeriksa hasil penyidikan apabila kurang lengkap maka dikembalikan
dan diberikan petunjuk untuk melengkapinya.
d.
Untuk upaya paksa penggeledahan rumah (pasal 33), Penyitaan (pasal 38) dan
pemeriksaan surat (pasal 47) diperlukan izin atau izin khusus dari Ketua Pengadilan
Negeri.
e.
Perpanjangan penahanan dalam tahap penyidikan dilakukan oleh penuntut umum (pasal
24 ayat 2), sedangkan perpanjangan penahanan dalam tahap penuntutan dilakukan oleh
Ketua Pengadilan Negeri (pasal 25 ayat 2), sedangkan dalam tahap pemeriksaan
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi atau banding perpanjangan penahanan
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi (pasal 26 ayat 2 dan pasal 27 ayat 2), adapun
untuk pemeriksaan perkara dalam perkara kasasi perpanjangan penahanan dilakukan
oleh Ketua MA (pasal 29 ayat 2)
2.
pengawasan sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan sistem peradilan. Pelaksanaan sistem
peradilan yang baik sendiri adalah terlaksananya beberapa prinsip umum sebagai minimum
standard alam penerapan sistem peradilan yang terintegrasi dengan baik. Minimum standard
termaksud adalah
a.
Prinsip yang dirumuskan dalam pasal 28 D ayat 1 Amandemen Kedua UUD 1945 dan
pasal 5 ayat (1) UU No.14 tahun 1970 ini merupakan asas yang bersifat universal. Pasal 7
Universal Declaration of Human Rights menjelaskan bahwa all are equal before the law and are
entitled without discrimination to equal protection of law. Dikaitkan dengan sistem peradilan
terpadu, dapat dinyatakan bahwa jenis kelamin, agama, ras, waran kulit, etnis, status sosial,
status ekonomi maupun ideologi politik tidak boleh menjadi dasar untuk memperlakukan orang
secara berbeda, doktrin yang dikemukakan Dicey berbunyi all persons wheather high oficial or
ordinary citizens are subject to the same law administered by ordinary courts, semakin
menguatkan asas ini. Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Right menguatkan
bahwa all persons shall be equal before the court and tribunals.
e. Akuntabilitas
Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi adanya akuntabilitas, dalam kerangka
pelaksanaan akuntabilitas ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu adanya:Ketaatan
pada hukum;Prosedur yang jelas, adil dan layak, sertaMekanisme kontrol yang efektif
Sebagai pemegang kekuasaan untuk melakukan proses peradilan kewenangan yang tanpa batas
akan membahayakan publik. Oleh karenanya diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah
atau paling kurang mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan kewenangan
demi terjaminnya hak asasi manusia. Mekanisme kontrol yang diciptakan haruslah rasional,
proporsional dan obyektif dan mekanisme ini dapat dilakukan dalam beberapa cara:
-
internal (oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik oleh peer group maupun atasan)
Vertikal (oleh pihak yang memiliki hubungan vertikal dengan personil atau lembaga)
f. Transparansi
Makna transparansi bukanlah keterbukaan yang tanpa batas akan tetapi sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dan kebutuhan, asalkan ada kesempatan bagi publik untuk melakukan
kontrol dan koreksi. Misalnya keterbukaan dalam sidang pengadilan merupakan suatu keharusan
akan tetapi pemeriksaan oleh lembaga kepolisian tentunya tidak terbuka untuk umum. Pasal 10
Universal Declaration of Human Rights dengan tegas menentukan bahwa everyone is entitled in
full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunalsof any criminal
charges against him. Erat hubungannya dengan konsep ini adalah kebebasan untuk
memperoleh informasi dengan syarat tidak membahayakan berjalannya proses peradilan.
Berbeda halnya dengan keterbukaan putusan pengadilan yang harus dapat diakses oleh publik
untuk dapat mengetahui landasan diambilnya suatu keputusan.
Kesemua prinsip tersebut menjadi ukuran sejauh mana sistem peradilan telah
dilaksanakan dengan baik. Dalam kaitan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan proses
peradilan, utamanya pengawasan dalam kerangka mekanisme pengawasan antar sub sistem
perlu adanya pengaturan mekanisme yang lebih partisipatif, dalam hal ini adalah perlunya
standing masyarakat untuk mengajukan praperadilan terutama terhadap penghentian penyidikan
atau penuntutan yang berindikasi KKN.
Partisipasi publik dalam pengawasan peradilan perlu diperkuat dengan memberikan
aturan yang mewajibkan pemberitahuan kemajuan (progress report) penyelesaian perkara,
kepada para pihak yang berkepentingan. Selain itu mekanisme pengawasan horisontal
sebagaimana disebutkan diatas perlu diberikan mekanisme pemaksa agar dapat terlaksana
dengan baik. Alat pemaksa dimaksud didahului dengan persamaan persepsi diantara sub sistem
peradilan, terutama tentang standard atau pedoman pelaksanaan proses peradilan dalam suatu
aturan yang berlaku untuk seluruh proses.
C.
LEMBAGA PENGAWAS
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dapat dilakukan dengan dua cara, pertama
melalui pendekatan struktur atau kelembagaan (institusional approach), kedua pendekatan
sistem (system approach)[17]. Pada metode yang pertama, fungsi pengawasan diserahkan pada
lembaga tersendiri yang bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan guna mengusahakan
tercapainya tujuan organisasi tanpa mengalami kesulitan yang berarti, yang dalam hal ini untuk
menjamin terlaksananya fungsi pengawasan secara effektif harus diperhatikan kedudukan
lembaga dalam struktur organisasinya.
Agar suatu lembaga pengawas mampu melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif,
terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah :
1.
Bebaskan lembaga ini dari fungsi operasional atau kegiatan operasional organisasi
secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan agar posisinya dalam pengawasan itu, bebas
dari kepentingan pribadi atau golongan.
2.
Usahakan agar lembaga ini tetap dalam posisi independent dengan fungsi
operasional maupun secara individual. Ia harus independen secara nyata dan bebas
dari unsur-unsur yang tidak independen.
3.
Harus memiliki kemampuan, keahlian yang lengkap bahkan melebihi keahlian yang
diawasi
4.
Pendekatan sistem sebagai salah satu metode dalam pengawasan fungsi organisasi
adalah metode pengawasan berdasarkan sistem sebagai elemen utama dalam melakukan
pengawasan. Sistem sendiri adalah seluruh urutan prosedural (hubungan antar sub sistem) yang
dianut dalam menyelesaikan kegiatan rutin organisasi/lembaga. Sistem harus diatur sedemikian
rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya hal-hal yang menyimpang dan harus menjamin
efisiensi kerja dalam kerangka mencapai tujuan organisasi secara optimal dan hal inilah yang
dinamakan pengawasan internal. Dalam sistem pengawasan unsur manusia sangat penting
karena manusialah yang menjalankan fungsi pengawasan dan yang diawasi. Namun tak dapat
dipungkiri bahwa manusia dan sistem memiliki korelasi yang kuat dalam melahirkan optimalisasi
pengawasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarwono Kusumaatmadja sebagai berikut :
saya melihat korupsi sebagai kelemahan sistem dan keserakahan individu. jadi
sistemnya yang harus diperbaiki, artinya yang digunakan adalah pendekatan sistem.
Dengan demikian , saya tak berharap adanya perubahan drastis dalam penanganan
korupsi. Namun yang harus dilihat adalah kemajuan secara bertahap[19].
menyimpang dalam organisasi. Pengawasan dalam peradilan sendiri pada tiap sub sistem
peradilan memang telah diakui ada, dimana pengawasan tersebut adalah bagian dari organisasi.
Hal ini sebagaimana terungkap dalam tabel berikut :
Hakim
95.1
3.5
1.4
Jaksa
98.7
0
1.3
RESPONDEN (%)
Polisi
Advokat/
pengacara
80.7
17.5
1.8
94.9
7.6
0
Akademisi
/LSM
53.2
41.9
4.8
Pada pertanyaan yang diajukan kepada responden terungkap, bahwa sebagian besar
responden mengakui bahwa telah ada sistem pengawasan terhadap lembaga peradilan.
Responden hakim, jaksa, polisi dan advokat sebagian besar, lebih dari 90% menyatakan sudah
ada sistem pengawasan terhadap lembaga peradilan khususnya di lembaga masing-masing.
Untuk kalangan akademisi/LSM memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini terlihat dari
perbandingan antara responden yang memilih jawaban sudah dan belum tidak terlalu jauh
berbeda. Alasan kalangan akademisi/LSM, bahwa mereka belum melihat ada suatu perubahan
atas kinerja aparat penegak hukum. Perubahan yang diharapkan itu seharusnya menjadi
cerminan atas keberhasilan lembaga pengawas.
Keberadaan lembaga pengawasan internal yang ada, oleh masyarakat dirasakan kurang
dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam menindak perilaku yang menyimpang.
Penegasan ini terungkap dari kekurangpercayaan masyarakat terhadap sistem yang ada saat ini.
Mereka kurang percaya bahwa sistem yang ada saat ini dapat menciptakan kondisi peradilan
yang baik. Hal ini terungkap dalam tabel jawaban atas kuisioner yang terhimpun berikut ini :
No
1
2
3
Apakah Sistem
Pengawasan yang Telah Hakim
Ada Dapat Menciptakan
Kondisi Peradilan yang
Baik
Ya
77.8
Tidak
70.8
Tidak menjawab
4.9
Jaksa
RESPONDEN (%)
Polisi
Advokat/
pengacara
Akademisi/LSM
85.9
7.7
6.4
72.9
13.4
18.1
21.0
35.5
43.5
35.4
59.5
5.1
Pertanyaan pada bagian ini merupakan kelanjutan dari pertanyaan sebelumnya yang
menanyakan apakah sistem pengawasan yang ada dapat menciptakan kondisi peradilan yang
baik?. Pertanyaan pada bagian ini menarik untuk dicermati, karena untuk responden dari
kalangan hakim memiliki perbandingan yang tidak jauh berbeda antara responden yang memilih
jawaban ya dan tidak. Sebagian dari hakim menyatakan bahwa pengawasan yang ada saat ini
sudah cukup efektif, sanksi yang diberikan sudah cukup membuat jera. Namun di sisi lain, hakim
atau panitera yang menjawab pertanyaan ini dengan jawaban tidak, menyatakan bahwa
pengawasan yang ada saat ini masih belum efektif. Tidak efektifnya pengawasan karena masih
banyak intervensi dari pihak luar, masih banyak pejabat pengadilan yang menerima suap, dan
masih banyak lagi alasan lainnya. Indikasi ini tentunya perlu menjadi pehatian bersama,
khususnya indikasi adanya permainan antara pengawas dan yang diawasi. Kendala yang
dihadapi pengadilan dalam masalah pengawasan ini tentunya terkait dengan keberadaannya
yang masih dua atap. Departemen Kehakiman melalui Inspektorat Jenderal dan Mahkamah
Agung di pihak lain.
Kondisi yang berbeda terlihat pada responden dari kalangan jaksa, sebagian besar (85.9%) menyatakan sistem
pengawasan yang ada saat ini dapat menciptakan kondisi peradilan yang baik. hanya sedikit yang menyatakan kebalikannya.
Perbedaan pendapat tersebut kembali terlihat pada responden dari kalangan advokat/pengacara dan akademisi/LSM.
1.
Pengawasan Internal
Pengawasan internal mencakup struktur organisasi dan seluruh metode dan prosedur
yang terkordinasi yang diterapkan oleh organisasi untuk mendorong effisiensi dan effektifitas
sehingga tercapai tujuan organisasi [23]. Sistem pengawasan internal yang baik harus didukung
oleh struktur organisasi yang baik dan mekanisme pertanggungjawaban yang baik pula. Struktur
organisasi yang baik berarti adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas diantara para
pihak yang terkait dalam sistem. Dengan adanya pembagian yang jelas maka akan memperjelas
pula obyek pengawasan sebagaimana dijelaskan diatas.
Sebagai suatu kajian, studi ini mencoba mengumpulkan pendapat tentang mekanisme
pengawasan internal dimasa mendatang. Dalam rangka itu tim peneliti mencoba menyimpulkan
berbagai keinginan yang berkembang selama studi ini berlangsung terhadap lembaga
pengawasan internal dimasa mendatang. Walaupun dalam hal ini tak dapat dipungkiri bahwa
pendapat yang diajukan oleh para pihak adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi pengawasan
yang ada saat ini.
a.
Kepolisian
1). Kedudukan dan Pertanggungjawaban
dijalankan selayaknya didukung oleh kesamaan persepsi atas batasan, metode atau mekanisme
pengawasan dan sistem pertanggungjawaban kepada publik.
3) Keanggotaan
Bagi pihak kepolisian, responden menyatakan bahwa anggota lembaga pengawas
internal terdiri dari polisi senior (42%), Kapolri (36%), dan purnawirawan polisi. Sebanyak 28.9%
dari responden tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini.
Perihal keanggotaan lembaga pengawas dimasa mendatang selayaknya terdiri dari
berbagai stake holders (multi stake holders). Dalam UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dinyatakan bahwa keanggotaan Komisi Kepolisian Negara terdiri dari
unsur pemerintah, pakar kepolisian dan anggota masyarakat. keberadaan pihak diluar kepolisian
untuk membantu kepolisian dalam menganalisis data yang berhasil dihimpun, untuk dijadikan
bahan bagi pengawasan.
Adapun yang dapat dipilih sebagai anggota lembaga pengawas intern kepolisian ini
adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan dibidang ilmu kepolisian ataupun
pengetahuan dibidang hukum (66,2%). Untuk selanjutnya orang tersebut harus lolos dari uji
kelayakan dan kepatutan (36,7%). Persyaratan umum lainnya mengikuti seperti apa yang telah
diatur dalam UU. Namun ditengah persyaratan umum tersebut perlu ditambah untuk
mengumumkan kekayaan pribadinya.
b. Jaksa
1. Kedudukan dan Pertanggungjawaban
Responden dari lembaga kejaksaan sebagian besar memilih agar lembaga pengawas
tersebut berada di bawah Jaksa Agung (48.7%), hanya 32.1% yang menyatakan lembaga
tersebut berada di bawah Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan. Perihal pertanggungjawaban,
64.1% menyatakan agar pertanggungjawaban diberikan kepada Jaksa Agung. Hanya 16.7 %
yang menyatakan pertanggungjawaban diberikan kepada Jaksa Agung Muda bidang
Pengawasan.
Menyangkut bentuk pertanggungjawaban lembaga pengawas internal kejaksaan,
sebagian besar (48.7%) memilih agar pertanggungjawaban tertutup untuk umum. Hanya 28.2%
yang menyatakan terbuka untuk umum. Hasil jajak pendapat ini perlu untuk dicermati, karena
3. Keanggotaan
Bagi lembaga kejaksaan, responden mengusulkan agar anggota lembaga pengawas
tersebut terdiri dari jaksa senior (57.7%). Para responden sangat sedikit sekali yang
merekomendasikan mantan jaksa (5.2%) untuk duduk di dalam lembaga tersebut. Jumlah
responden yang menempatkan Jaksa Agung di dalam lembaga pengawas hanya 15.4%.
Sedangkan responden yang tidak menjawab berjumlah 28,2%.
Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas internal kejaksaan adalah
memiliki pengetahuan yang cukup di bidang hukum (69.2%). Sedangkan keharusan untuk
mengikuti dan lolos uji kelayakan dan kepatutan tidak terlalu banyak dipilih oleh responden
(26.9%). Jumlah responden yang tidak menjawab pertanyaan tersebut sebanyak 26.9%
Sedangkan responden yang menjawab lain-lain sebanyak 23%.
Pemilihan calon dan uji kelayakan dilakukan oleh Jaksa Agung (38.5%), atau dapat pula
dilakukan oleh lembaga yang dibentuk khusus untuk itu (21.9%). Namun sebagian besar dari
responden memilih untuk tidak menjawab (41%).
c.
Hakim
yang memang berwenang untuk itu (48.7%), misalnya ketua MA. Responden yang tidak
memberikan jawaban berjumlah 26.4%.
3. Keanggotaan
Perihal anggota dari lembaga pengawas tersebut, kalangan hakim memilih hakim senior
(57.1%) untuk menjadi anggota pada lembaga pengawas. Pilihan kedua yang terbanyak adalah
ketua Mahkamah Agung (30%) yang dipilih untuk duduk di dalam lembaga pengawas. Pilihan
ketiga merupakan pilihan lain-lain (22.3%). Untuk pilihan lain-lain ini sebagian besar
menempatkan masyarakat umum untuk turut serta di dalamnya. Sedangkan pilihan untuk mantan
hakim hanya diusulkan oleh 18.2%. responden yang tidak memberikan jawaban berjumlah
26.4%.
Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas ini pada dasarnya tidak
dibatasi oleh dua pilihan di atas. Pilihan mempunyai pengetahuan di bidang hukum merupakan
syarat yang paling banyak diusulkan oleh responden (62.5%). Sedangkan syarat/kriteria telah
mengikuti dan lolos uji kelayakan dan kepatutan merupakan pilihan kedua yang diusulkan oleh
responden (40.3%). Pilihan lain-lain (25%) dari jawaban responden pada umumnya menyatakan
bebas KKN, tidak pernah terlibat dalam kriminal, dan berdedikasi tinggi.
d. Advokat/Pengacara
1. Kedudukan dan Pertanggungjawaban
Hasil jajak pendapat terhadap profesi advokat memperlihatkan keinginan profesi advokat
untuk mandiri, terlepas dari pemerintah dan Mahkamah Agung. Sebanyak 34.1% responden
menginginkan kedudukan lembaga tersebut berada di bawah ketua organisasi advokat. Alasan
yang dikemukakan antara lain, agar ada jaminan untuk menjalankan tugas secara mandiri,
menghindari kerancuan yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaannya nanti.
Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan responden yang tidak memberikan
jawabannya. Hal itu mungkin disebabkan oleh beragamnya organisasi advokat yang ada di
Indonesia. Sehingga cukup sulit untuk menempatkan lembaga pengawas advokat ini dalam satu
organisasi.
Untuk masalah pertanggungjawaban, responden yang memilih agar pengawas
bertanggungjawab kepada ketua organisasi advokat (24.1%) tidak sebanyak saat menyatakan
kedudukan lembaga pengawas tersebut. Mereka yang memilih jawaban ini memberikan alasan,
agar koordinasi dalam proses tindak lanjut atas suatu masalah menjadi lebih cepat.
Sebanyak 34.1% memilih jawaban lain-lain, namun pada umumnya pilihan lain-lain ini
diisi dengan pertanggungjawaban pada masyarakat atau lembaga lain yang independen. Jumlah
terbesar dari kalangan advokat (38%) memilih untuk tidak menjawab. Hanya 10.2% yang memilih
agar lembaga pengawas bertanggungjawab kepada Ketua Mahkamah Agung. Tentunya hal ini
berbeda jauh dengan pertanyaan awal, mengenai kedudukan lembaga pengawas, yang sebagian
kecil memilih di bawah Ketua Mahkamah Agung sebagai letak kedudukan lembaga pengawas.
3. Keanggotaan
Bagi kalangan advokat/pengacara, responden memilih advokat/pengacara senior
(53.3%) untuk duduk menjadi anggota lembaga pengawas. Sedangkan 25.5% responden
memilih ketua oraganisasi advokat/pengacara untuk duduk menjadi anggota. Responden yang
tidak memberikan jawaban sebanyak 36.7%.
Kalangan advokat dan pengacara mensyaratkan agar anggota lembaga pengawas
internal tersebut memiliki pengalaman praktek sebagai advokat/pengacara (59.4%). Kriteria
selanjutnya, para calon anggota lembaga pengawas ini telah mengikuti dan lolos uji kelayakan
dan kepatutan (56.9%). Kriteria selanjutnya adalah, bahwa para calon anggota tersebut harus
memiliki pengetahuan yang cukup di bidang hukum (55.6%). Adapun jumlah responden yang
tidak memilih berjumlah 36.7%.
Uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh lembaga independen yang dibentuk khusus
(29.3%). Keterlibatan ketua Mahkamah Agung (6.5%) dan menteri kehakiman (5.2%) dalam
melakukan uji kelayakan dan kepatutan tidak didukung oleh sebagian besar responden.
Dukungan atas ketua organisasi advokat/pengacara tidak terlalu besar, hanya 18% jumlah
responden. Pilihan lain terdapat di dalam kategori lain-lain (27.9%), jawaban tersebut pada
umumnya berpendapat bahwa yang dapat melakukan pengujian tersebut harus melibatkan
masyarakat dengan ketentuan mereka harus bersih dan bebas KKN.
2. Pengawasan Eksternal
Mekanisme kontrol internal oleh beberapa kalangan dianggap kurang mampu mengatasi
permasalahan penyimpangan dalam institusi penegak hukum yang ada saat ini. Lemahnya
mekanisme kontrol pada tiap-tiap sub sistem tidak dapat dilepaskan dari ketentuan perundangundangan yang mendasarinya. Selayaknya mekanisme kontrol dimaksudkan untuk memastikan
kinerja setiap lembaga dalam mencapai tujuan organisasi yang telah digariskan. Lemahnya
mekanisme kontrol ini tergambar dalam pandangan yang diberikan oleh responden dalam studi
ini, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas.
Mekanisme kontrol yang bersifat internal sudah terinkorporasi dalam tiap subsistem,
yang juga sering disebut sebagai pengawasam melekat (waskat), walaupun efektifitasnya masih
banyak diragukan (utamanya karena dugaan adanya in-group feeling yang cenderung menutupi
kesalahan sesama kolega). Beberapa hal yang ditengarai dari pelaksanaan mekanisme kontrol
internal antara lain adalah :
1.
Jarang sekali ada penjelasan dari lembaga mengenai hasil akhir pengaduan masyarakat
mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya;
2.
Produk dari mekanisme pengawasan internal pada umumnya tidak untuk konsumsi
publik, tetapi hanya bersifat internal;
3.
Apabila ada anggota yang diproses, tidak mungkin dapat bersifat obyektif dalam
melakukan investigasi terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran (solidaritas, in
group feeling, esprit de corps);
4.
Pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur yang berada dalam sub sistem peradilan
mencerminkan adanya kelemahan atau keburukan lembaga tersebut, termasuk fungsi
pendidikan dan pelatihannya, sehingga sulit diharapkan bahwa hal semacam ini akan
diekspose oleh suatu lembaga internal.
5.
Proses Investigasi oleh lembaga internal terhadap anggotanya cenderung diwarnai oleh
conflict of interest sehingga hasilnya kurang credible.[26]
Menanggapi adanya wacana dan fakta seperti itu, dewasa ini telah mulai muncul
berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan melakukan public control terhadap
sistem peradilan, diantaranya Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Police watch,
judicil watch serta lembaga lainnya yang serupa. Namun keberadaan lembaga tersebut hanya
sejauh sebagai pressure group untuk peningkatan pengawasan karena berada diluar sistem
internal.
No Perlukah Dibentuk
Lembaga Pengawas
Baru
1 Perlu
2 Tidak
3 Tidak menjawab
Hakim
13.9
14.6
71.5
Jaksa
3.8
3.8
92.3
RESPONDEN (%)
Polisi
Advokat/
pengacara
9.0
48.1
18.7
17.7
74.1
34.2
Akademisi
69.4
8.1
22.6
Penelitian ini mencoba untuk memberikan alternatif lain yang sekiranya dapat membantu
fungsi lembaga pengawasan yang telah ada. Untuk itu diajukan pertanyaan perlukah dibentuk
lembaga pengawas baru. Atas pertanyaan ini sebagian besar memilih tidak menjawab. Hal ini
menimbulkan pertanyaan besar atas sikap tersebut, apakah ada rasa antipati, pesimisme atau
menyerahkan pada apapun yang akan diatur kemudian, atau mungkin sebenarnya ingin adanya
lembaga baru tetapi enggan atau tidak berani menjawab (ya).
Tetapi untuk responden dari kalangan advokat dan akademisi/LSM sebagian besar
menganggap perlu ada suatu lembaga pengawas baru yang berada di luar instansi yang
bersangkutan. Hal itu diperlukan, dengan alasan bahwa selama ini lembaga pengawas yang ada
tidak dapat berfungsi dengan baik bahkan cenderung untuk melindungi korps masing-masing.
Namun mereka yang menjawab tidak mempunyai alasan sendiri, diantaranya adalah bahwa
lembaga yang ada seharusnya dapat lebih dimaksimalkan peran dan fungsinya.
Dari berbagai pendapat yang terkumpul dalam studi ini, berhasil dirangkaikan bentuk
lembaga pengawasan eksternal dimasa yang akan datang. Dalam studi ini tentang kelembagaan
pengawas eksternal mencakup 4 aspek yaitu bentuk dan kedudukan, tugas dan wewenang,
keanggotaan serta mekanisme pengangkatan.
memang dianggap sangat mendesak kebutuhan akan terciptanya suatu mekanisme pengawasan
melalui lembaga pengawasan tersebut, bilamana perlu dapat dibentuk melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)[27].
Lembaga pengawas eksternal ini adalah lembaga yang independen, untuk itu kedudukan
lembaga tidak berada di bawah kepala lembaga internal yang ada. Untuk kedudukan ini ada
beberapa alternatif kedudukan, diantaranya adalah berada di bawah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) [28]. Alasannya karena agar lebih netral karena MPR merupakan perwujudan dari
rakyat, selain itu agar tidak dapat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan sehingga masyarakat
dapat mengawasi lembaga dengan baik.
Dengan kedudukan yang berada di bawah MPR membawa dampak
pertanggungjawaban lembaga dilakukan kepada MPR, namun dalam bagian lain ada keinginan
bahwa pertanggungjawaban kepada MPR dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA). Mengenai
hal ini, dapat diartikan bahwa pertanggungjawaban lembaga bersamaan dengan laporan yang
disampaikan MA ke MPR.
Alternatif pilihan lain bahwa lembaga pengawasan yang akan terbentuk nantinya adalah
berada di bawah Presiden selaku Kepala Negara. Pilihan ini dimaksudkan bahwa kedudukan
lembaga pengawas nantinya adalah sejajar dengan lembaga penegak hukum lainnya yang
berada di bawah Presiden. Namun sejalan dengan perkembangan yang ada lahir keinginan agar
lembaga tersebut berada sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Hal ini perlu mendapat
kajian lebih dalam tentang kedudukan lembaga pengawas apabila sejajar dengan lembaga tinggi
negara lainnya, karena hal ini membawa dampak pada ketatanegaraan dalam posisinya di
Undang-Undang Dasar.
Untuk yang alternatif kedua ini mekanisme pertanggungjawaban yang ditawarkan sangat
beragam, namun kesemuanya mengarah pada mekanisme pertanggungjawaban kepada publik
secara terbuka melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pertanggungjawaban yang diberikan
lembaga selain mengenai kinerja juga mengenai keuangan yang digunakan. Dalam hal ini
mekanisme laporan kinerja diberikan paling kurang setiap tahun.
b.
Jaksa
RESPONDEN (%)
Polisi Advokat/pengacara Akademisi/LSM
39.9
29.4
59.6
80.5
18.0
15.0
29.2
43.5
28.3
27.4
39.3
70.8
33.4
33.6
33.0
72.5
5
6
Lain-lain
Tidak menjawab
8.6
54.8
5.2
57.7
40.8
54.8
14.0
35.4
24.2
14.5
3
4
5
6
39.8
RESPONDEN (%)
Polisi Advokat/
pengacara
36.3
49.6
32.1
23.9
49.7
70.9
26.9
20.0
38.2
62.9
14.1
28.8
36.9
37.0
2.6
57.7
2.1
61.1
15.4
35.4
14.4
16.1
Hakim Jaksa
Mengawasi Pelaksanaan32.7
Penegakan Hukum
Memberikan Penilaian Atas23.7
Pelaksanaan Penegakan
Hukum
oleh
Aparat
Peradilan
Mengumumkan
hasil16.0
Penilaian Kepada Publik
Memberikan Sanksi Atas18.8
Pelanggaran yang Terjadi
di Lembaga Peradilan
Lain-lain
2.1
Tidak menjawab
61.1
Akademisi/LSM
61.2
Perihal tugas dan wewenang lembaga pengawas secara urut, para responden
memberikan penilaian yang hampir sama. Pada dasarnya responden menyetujui tugas dan
wewenang lembaga pengawas tersebut adalah mengawasi pelaksanaan penegakan hukum,
memberikan penilaian atas pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat peradilan,
mengumumkan hasil penilaian kepada publik, dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang
terjadi di lembaga peradilan. Tetapi jumlah responden yang memberikan persetujuannya, masih
sedikit dibandingkan responden yang tidak memberikan jawaban sama sekali. Kecuali akademisi
dan advokat yang memberikan penilaian secara berimbang atas usulan yang diajukan dalam
kuisioner ini.
c.
37.3
33.4
34.7
32.2
RESPONDEN (%)
Polisi Advokat/
Pengacara
31.8
58.2
25.2
19.0
19.8
15.2
31.2
54.4
18.0
57.7
16.8
54.8
Hakim Jaksa
Akademisi
31.3
Mantan Hakim
28.5
Mantan Jaksa
21.5
Aktivis Organisasi non27.8
Pemerintah
di
Bidang
Hukum
Lain-lain
16.7
Tidak menjawab
61.8
34.2
35.4
Akademisi/LSM
79.0
45.1
37.1
80.6
45.1
14.5
Berdasarkan hasil jajak pendapat, diperoleh data bahwa yang dapat duduk di dalam
lembaga pengawas tersebut terdiri dari kalangan akademisi, aktivis lembaga swadaya
masyarakat, mantan hakim, dan mantan jaksa. Tetapi sebagian besar responden yang berasal
dari kalangan hakim, jaksa, dan polisi memilih untuk tidak menjawab. Hal yang berbeda jauh
dengan kalangan advokat/pengacara dan akademisi/LSM, sebagian besar responden dari
kalangan ini memilih akademisi dan aktivis LSM untuk duduk di dalam lembaga tersebut.
Sedangkan kriteria yang harus dimilikinya adalah
Advokat/
pengacara
48.2
Akademisi/LSM
55.8
72.5
58.2
40.9
17.8
35.4
33.8
16.1
72.5
Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas, menurut hasil jajak
pendapat, sebagian besar menempatkan pengetahuan di bidang hukum menjadi salah satu
syarat yang harus dimiliki oleh para anggota tersebut. Syarat kedua, mereka harus lolos dalam fit
and proper test. Syarat ini merupakan syarat umum untuk menduduki jabatan publik yang cukup
menentukan.
Syarat ketiga, tidak menjadi anggota/pengurus partai politik apapun. Responden dari
kalangan jaksa, hakim, dan polisi tidak terlalu banyak yang memilih jawaban ini. Sebagian besar
dari kalangan ini lebih memilih untuk tidak menjawab. Hanya kalangan advokat/pengacara dan
akademisi/LSM yang memberikan jawaban dengan memilih jawaban yang telah disediakan.
Rata-rata jumlah yang memilih jawaban tersebut berjumlah diatas 50% dari responden advokat
dan akademisi yang memberikan jawaban tersebut.
a)
Independensi
Sebuah lembaga yang efektif adalah lembaga yang mampu bekerja secara terpisah dari
pemerintah, partai politik, serta segala lembaga yang mungkin dapat mempengaruhi
pekerjaannya. Akan tetapi, independensi adalah konsep yang relatif. Kenyataan bahwa suatu
lembaga diberi independensi tertentu untuk bekerja, membedakan lembaga tersebut dari
instrumen pemerintah. Sebaliknya, independensi bagi lembaga memuat persyaratan bahwa
lembaga tersebut memiliki dasar hukum yang kuat. Hal yang dpat menghalangi independensi
diantaranya adalah kewajiban memberikan laporan dan tidak adanya otonomi penuh dalam hal
keuangan. Dasar hukum dan batasan-batasan yang mendampinginya adalah unsur-unsur yang
membedakan lembaga ini dengan organisasi non pemerintah.
Independensi suatu lembaga akan tercipta dengan baik sepanjang diterapkan makna
independensi secara menyeluruh. Independensi suatu lembaga dalam menjalankan fungsi, tugas
dan wewenangnya meliputi independensi melalui otonomi hukum dan operasional, independensi
melalui otonomi keuangan, independensi melalui prosedur pengangkatan dan pemecatan,
independensi melalui komposisi.
A.
DIMENSI PENGAWASAN
No
RESPONDEN (%)
1
2
3
Diperlukan Sistem
Pengawasan untuk
Menciptakan Kondisi
Peradilan yang Baik
Ya
Tidak
Tidak menjawab
Hakim
89.3
10.7
0.0
Jaksa
Polisi
Advokat/
pengacara
Akademisi
/LSM
91.0
9.0
0.0
85.5
15.7
0.6
93.7
6.3
0.0
98.4
1.6
0.0
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa sistem pengawasan diperlukan dalam rangka
menciptakan peradilan yang baik. Atas usulan tersebut sebagian besar responden menyatakan
persetujuannya. Sedikit sekali responden yang menyatakan penolakannya.
Berbicara tentang pengawasan, setidaknya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan,
pertama aspek pendekatan dalam pengawasan misalnya pendekatan preventif, detektif, dan
repressif. Kedua adalah aspek pihak pelaksana dalam pengawasan, yang meliputi masyarakat
dan lembaga formal (termasuk di dalam kelembagaan antara lain aspek kedudukan, sumber
daya manusia serta mekanisme kerja. Ketiga, obyeknya, adalah pengawasan terhadap perilaku,
kecakapan (skill) atau pelaksanaan tugas (performance) dalam hal administrastif, prosedural,
keuangan serta metode pengawasannya[2].
1.
Pendekatan Pengawasan
a.
Preventif
2)
dalam UU tentang lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan serta etika profesi, masih
belum rinci[10].
Sebagai contoh misalnya, larangan bagi hakim untuk bertemu salah satu pihak tanpa
dihadiri pihak lain. Hal ini bisa membantu memudahkan upaya pendisiplinan bagi hakim, jika ini
dilanggar dan ada saksi yang bisa membuktikan[11].
4) Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan merupakan hal yang penting,
mengingat lemahnya lembaga pengawas formal selama ini serta keterbatasanketerbatasan
yang mereka miliki. Bukankah seribu mata lebih mampu melihat banyak hal dibandingkan dua
mata?
Dalam konteks hukum acara pidana, pengaturan mengenai praperadilan yang
merupakan sarana check and balances harus dibenahi, antara lain dengan pemberian standing
kepada masyarakat untuk mengajukan praperadilan atas penghentian penyidikan atau
penuntutan. Selain itu, untuk memastikan bahwa laporan dari pelapor ditindaklanjuti oleh
penyelidik, maka pelapor perlu diberikan hak untuk mengajukan praperadilan jika laporannya
tidak ditindaklanjuti dengan alasan yang jelas.
Untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan, penyadaran
masyarakat atas hak-haknya menjadi penting. Selain itu sarana untuk memudahkan masyarakat
melaporkan suatu penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran dan jaminan yang melindungi
pelapor perlu diperhatikan.
b. Detektif
Pendekatan detektif pada intinya diperlukan untuk memudahkan upaya memperoleh
informasi yang cepat dan akurat guna menunjang pengawasan[12]. Beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam hal ini misalnya pencatatan harta kekayaan dan sumber penghasilan
(sebagaimana yang dilakukan oleh KPKPN), penyampaian gratifikasi sebagaimana diatur dalam
UU korupsi yang baru (Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), pendataan informasi
kepegawaian yang baik[13].
c. Represif
Pendekatan represif ini pada intinya merupakan langkah penegakan hukum (dalam
konteks ini hukum administrasi), oleh lembaga pengawasan jika ada penyalahgunaan wewenang
atau pelanggaran oleh aparat penegak hukum dan hakim. Pada intinya penegakan hukum ini
harus dilakukan secara non diskriminatif, transparan, akuntabel, objektif dan tegas.
2. Pelaksana Pengawasan
Pengawasan hanya akan dapat efektif jika pihak yang melaksanakannya memiliki
jaminan independensi, tidak memiliki keberpihakan, memiliki kemampuan (keahlian, waktu dan
sebagainya) dan diikat dalam suatu sistem yang kondusif bagi pelaksanaan tugasnya.
3.
Obyek Pengawasan
Pemahaman yang jelas mengenai obyek pengawasan menjadi penting untuk pihak yang
dapat melakukan pengawasan serta mempermudah memetakan metode yang efektif untuk
melakukan pengawasan terhadap obyek-obyek tersebut. Secara umum ada beberapa obyek
yang harus menjadi bahan pengawasan, antara lain perilaku aparat penegak hukum dan hakim,
kemampuan teknis (skill), pelaksanaan tugas (performance) dalam hal adminstratif, prosedural
dan keuangan, dimana untuk setiap obyek tersebut metode pengawasannya dapat berbedabeda, minimal dalam penekanannya.
1. Perilaku
Yang termasuk dalam ruang lingkup obyek ini adalah perilaku aparat penegak hukum
dan hakim dalam tugas dan di luar tugas. Metode pengawasan terhadap perilaku yang selama ini
telah dilakukan adalah menerima dan memproses laporan atau pengaduan masyarakat. Hal lain
yang dapat dilakukan adalah pengamatan secara langsung (aktif) terhadap aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugasnya.
2. Kecakapan (Skill)
Yang dimaksud dengan kecakapan disini adalah kemampuan intelektual aparat penegak
hukum dan hakim dalam menjalankan tugasnya (substansial dan prosedural). Sebagai ilustrasi
sampai akhir tahun 1970-an, di pengadilan dikenal istilah eksaminasi putusan. Dalam eksaminasi
putusan ini, putusan hakim yang lebih rendah dikaji oleh hakim pada pengadilan yang lebih
tinggi. Hasil kajiannya dapat dijadikan penilaian terhadap kondite hakim sekaligus untuk
mendidiknya[14]
Sedangkan untuk kepolisian, pengawasan atas kecakapan ini dapat dilakukan melalui
evaluasi hasil penyelidikan atau penyidikan, dan adapun untuk jaksa evaluasi dapat dilakukan
melalui eksaminasi surat dakwaan.
lembaga diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban yang rinci sesuai dengan elemenelemen penting dalam hukum acara dan aturan teknis pelaksanaan tugas.
Untuk menilai pelaksanaan tugas hakim agung dalam memutus perkara misalnya,
prosedur tetap penyelesaian perkara yang harus dibuat Mahkamah Agung haruslah memuat
tanggal diterimanya berkas perkara dan tanggal diserahkan kembali berkas perkara ke hakim
agung lain. Hal ini penting untuk menilai produktivitas hakim agung setiap harinya[15].
Khusus untuk pelaksanaan tugas di bidang finansial, metode pengawasannya adalah
audit, baik secara internal maupun eksternal (BPKP dan atau BPK). Khusus untuk pengadilan,
selama ini tidak ada pertanggungjawaban keuangan perkara atau uang titipan. Oleh karena itu,
perlu dibuat aturan yang memberikan kewenangan kepada BPK untuk dapat mengaudit sumber
dana tersebut. Dalam kelompok masyarakat pelaksanaan tugas keuangan ini memerlukan sekali
adanya prinsip transparansi sehingga masyarakat ikut mengontrol.
B.
SISTEM PENGAWASAN
b.
c.
Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum (110 ayat 1), dalam
hal ini penuntut memeriksa hasil penyidikan apabila kurang lengkap maka dikembalikan
dan diberikan petunjuk untuk melengkapinya.
d.
Untuk upaya paksa penggeledahan rumah (pasal 33), Penyitaan (pasal 38) dan
pemeriksaan surat (pasal 47) diperlukan izin atau izin khusus dari Ketua Pengadilan
Negeri.
e.
Perpanjangan penahanan dalam tahap penyidikan dilakukan oleh penuntut umum (pasal
24 ayat 2), sedangkan perpanjangan penahanan dalam tahap penuntutan dilakukan oleh
Ketua Pengadilan Negeri (pasal 25 ayat 2), sedangkan dalam tahap pemeriksaan
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi atau banding perpanjangan penahanan
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi (pasal 26 ayat 2 dan pasal 27 ayat 2), adapun
untuk pemeriksaan perkara dalam perkara kasasi perpanjangan penahanan dilakukan
oleh Ketua MA (pasal 29 ayat 2)
2.
a.
Prinsip yang dirumuskan dalam pasal 28 D ayat 1 Amandemen Kedua UUD 1945 dan
pasal 5 ayat (1) UU No.14 tahun 1970 ini merupakan asas yang bersifat universal. Pasal 7
Universal Declaration of Human Rights menjelaskan bahwa all are equal before the law and are
entitled without discrimination to equal protection of law. Dikaitkan dengan sistem peradilan
terpadu, dapat dinyatakan bahwa jenis kelamin, agama, ras, waran kulit, etnis, status sosial,
status ekonomi maupun ideologi politik tidak boleh menjadi dasar untuk memperlakukan orang
secara berbeda, doktrin yang dikemukakan Dicey berbunyi all persons wheather high oficial or
ordinary citizens are subject to the same law administered by ordinary courts, semakin
menguatkan asas ini. Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Right menguatkan
bahwa all persons shall be equal before the court and tribunals.
yang essensial dalam penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan a
law which hears before it condemns, which proceeds upon inquiry, and renders judgement only
after trial. Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi
individu terhadap arbitrary action of the government.
e. Akuntabilitas
Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi adanya akuntabilitas, dalam kerangka
pelaksanaan akuntabilitas ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu adanya:Ketaatan
pada hukum;Prosedur yang jelas, adil dan layak, sertaMekanisme kontrol yang efektif
Sebagai pemegang kekuasaan untuk melakukan proses peradilan kewenangan yang tanpa batas
akan membahayakan publik. Oleh karenanya diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah
atau paling kurang mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan kewenangan
demi terjaminnya hak asasi manusia. Mekanisme kontrol yang diciptakan haruslah rasional,
proporsional dan obyektif dan mekanisme ini dapat dilakukan dalam beberapa cara:
-
internal (oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik oleh peer group maupun atasan)
Vertikal (oleh pihak yang memiliki hubungan vertikal dengan personil atau lembaga)
f. Transparansi
Makna transparansi bukanlah keterbukaan yang tanpa batas akan tetapi sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dan kebutuhan, asalkan ada kesempatan bagi publik untuk melakukan
kontrol dan koreksi. Misalnya keterbukaan dalam sidang pengadilan merupakan suatu keharusan
akan tetapi pemeriksaan oleh lembaga kepolisian tentunya tidak terbuka untuk umum. Pasal 10
Universal Declaration of Human Rights dengan tegas menentukan bahwa everyone is entitled in
full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunalsof any criminal
charges against him. Erat hubungannya dengan konsep ini adalah kebebasan untuk
memperoleh informasi dengan syarat tidak membahayakan berjalannya proses peradilan.
Berbeda halnya dengan keterbukaan putusan pengadilan yang harus dapat diakses oleh publik
untuk dapat mengetahui landasan diambilnya suatu keputusan.
Kesemua prinsip tersebut menjadi ukuran sejauh mana sistem peradilan telah
dilaksanakan dengan baik. Dalam kaitan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan proses
peradilan, utamanya pengawasan dalam kerangka mekanisme pengawasan antar sub sistem
perlu adanya pengaturan mekanisme yang lebih partisipatif, dalam hal ini adalah perlunya
standing masyarakat untuk mengajukan praperadilan terutama terhadap penghentian penyidikan
atau penuntutan yang berindikasi KKN.
Partisipasi publik dalam pengawasan peradilan perlu diperkuat dengan memberikan
aturan yang mewajibkan pemberitahuan kemajuan (progress report) penyelesaian perkara,
kepada para pihak yang berkepentingan. Selain itu mekanisme pengawasan horisontal
sebagaimana disebutkan diatas perlu diberikan mekanisme pemaksa agar dapat terlaksana
dengan baik. Alat pemaksa dimaksud didahului dengan persamaan persepsi diantara sub sistem
peradilan, terutama tentang standard atau pedoman pelaksanaan proses peradilan dalam suatu
aturan yang berlaku untuk seluruh proses.
C.
LEMBAGA PENGAWAS
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dapat dilakukan dengan dua cara, pertama
melalui pendekatan struktur atau kelembagaan (institusional approach), kedua pendekatan
sistem (system approach)[17]. Pada metode yang pertama, fungsi pengawasan diserahkan pada
lembaga tersendiri yang bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan guna mengusahakan
tercapainya tujuan organisasi tanpa mengalami kesulitan yang berarti, yang dalam hal ini untuk
menjamin terlaksananya fungsi pengawasan secara effektif harus diperhatikan kedudukan
lembaga dalam struktur organisasinya.
Agar suatu lembaga pengawas mampu melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif,
terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah :
1.
Bebaskan lembaga ini dari fungsi operasional atau kegiatan operasional organisasi
secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan agar posisinya dalam pengawasan itu, bebas
dari kepentingan pribadi atau golongan.
2.
Usahakan agar lembaga ini tetap dalam posisi independent dengan fungsi
operasional maupun secara individual. Ia harus independen secara nyata dan bebas
dari unsur-unsur yang tidak independen.
3.
Harus memiliki kemampuan, keahlian yang lengkap bahkan melebihi keahlian yang
diawasi
4.
Pendekatan sistem sebagai salah satu metode dalam pengawasan fungsi organisasi
adalah metode pengawasan berdasarkan sistem sebagai elemen utama dalam melakukan
pengawasan. Sistem sendiri adalah seluruh urutan prosedural (hubungan antar sub sistem) yang
dianut dalam menyelesaikan kegiatan rutin organisasi/lembaga. Sistem harus diatur sedemikian
rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya hal-hal yang menyimpang dan harus menjamin
efisiensi kerja dalam kerangka mencapai tujuan organisasi secara optimal dan hal inilah yang
dinamakan pengawasan internal. Dalam sistem pengawasan unsur manusia sangat penting
karena manusialah yang menjalankan fungsi pengawasan dan yang diawasi. Namun tak dapat
dipungkiri bahwa manusia dan sistem memiliki korelasi yang kuat dalam melahirkan optimalisasi
pengawasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarwono Kusumaatmadja sebagai berikut :
saya melihat korupsi sebagai kelemahan sistem dan keserakahan individu. jadi
sistemnya yang harus diperbaiki, artinya yang digunakan adalah pendekatan sistem.
Dengan demikian , saya tak berharap adanya perubahan drastis dalam penanganan
korupsi. Namun yang harus dilihat adalah kemajuan secara bertahap[19].
Hakim
95.1
3.5
1.4
Jaksa
98.7
0
1.3
RESPONDEN (%)
Polisi
Advokat/
pengacara
80.7
17.5
1.8
94.9
7.6
0
Akademisi
/LSM
53.2
41.9
4.8
Pada pertanyaan yang diajukan kepada responden terungkap, bahwa sebagian besar
responden mengakui bahwa telah ada sistem pengawasan terhadap lembaga peradilan.
Responden hakim, jaksa, polisi dan advokat sebagian besar, lebih dari 90% menyatakan sudah
ada sistem pengawasan terhadap lembaga peradilan khususnya di lembaga masing-masing.
Untuk kalangan akademisi/LSM memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini terlihat dari
perbandingan antara responden yang memilih jawaban sudah dan belum tidak terlalu jauh
berbeda. Alasan kalangan akademisi/LSM, bahwa mereka belum melihat ada suatu perubahan
atas kinerja aparat penegak hukum. Perubahan yang diharapkan itu seharusnya menjadi
cerminan atas keberhasilan lembaga pengawas.
Keberadaan lembaga pengawasan internal yang ada, oleh masyarakat dirasakan kurang
dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam menindak perilaku yang menyimpang.
Penegasan ini terungkap dari kekurangpercayaan masyarakat terhadap sistem yang ada saat ini.
Mereka kurang percaya bahwa sistem yang ada saat ini dapat menciptakan kondisi peradilan
yang baik. Hal ini terungkap dalam tabel jawaban atas kuisioner yang terhimpun berikut ini :
No
1
2
3
Apakah Sistem
Pengawasan yang Telah Hakim
Ada Dapat Menciptakan
Kondisi Peradilan yang
Baik
Ya
77.8
Tidak
70.8
Tidak menjawab
4.9
Jaksa
RESPONDEN (%)
Polisi
Advokat/
pengacara
Akademisi/LSM
85.9
7.7
6.4
72.9
13.4
18.1
21.0
35.5
43.5
35.4
59.5
5.1
Pertanyaan pada bagian ini merupakan kelanjutan dari pertanyaan sebelumnya yang
menanyakan apakah sistem pengawasan yang ada dapat menciptakan kondisi peradilan yang
baik?. Pertanyaan pada bagian ini menarik untuk dicermati, karena untuk responden dari
kalangan hakim memiliki perbandingan yang tidak jauh berbeda antara responden yang memilih
jawaban ya dan tidak. Sebagian dari hakim menyatakan bahwa pengawasan yang ada saat ini
sudah cukup efektif, sanksi yang diberikan sudah cukup membuat jera. Namun di sisi lain, hakim
atau panitera yang menjawab pertanyaan ini dengan jawaban tidak, menyatakan bahwa
pengawasan yang ada saat ini masih belum efektif. Tidak efektifnya pengawasan karena masih
banyak intervensi dari pihak luar, masih banyak pejabat pengadilan yang menerima suap, dan
masih banyak lagi alasan lainnya. Indikasi ini tentunya perlu menjadi pehatian bersama,
khususnya indikasi adanya permainan antara pengawas dan yang diawasi. Kendala yang
dihadapi pengadilan dalam masalah pengawasan ini tentunya terkait dengan keberadaannya
yang masih dua atap. Departemen Kehakiman melalui Inspektorat Jenderal dan Mahkamah
Agung di pihak lain.
Kondisi yang berbeda terlihat pada responden dari kalangan jaksa, sebagian besar (85.9%) menyatakan sistem
pengawasan yang ada saat ini dapat menciptakan kondisi peradilan yang baik. hanya sedikit yang menyatakan kebalikannya.
Perbedaan pendapat tersebut kembali terlihat pada responden dari kalangan advokat/pengacara dan akademisi/LSM.
terdapat peran serta masyarakat, dan dapat menjadi counter part bagi pengawasan internal.
Keikutsertaan pihak luar organisasi dalam melakukan pengawasan, sangat penting dalam rangka
membangun kepercayaan publik terhadap institusi.
Adanya kepercayaan publik terhadap institusi akan mengokohkan posisi institusi di
masyarakat. Pembentukan tim pengawasan terpadu menjadi pilihan dalam menerapkan sistem
pengawasan yang menyatukan pihak intern institusi dan eksternal institusi. Hal ini yang
dinamakan dengan stake holders approach, pendekatan ini menggunakan metode multi stake
holders profession dalam lembaga pengawas[21]. Perlunya gagasan untuk menerapkan multi
stake holders approach adalah adanya ketidakpercayaan apabila pengawasan hanya dilakukan
pihak internal saja sehingga tidak tercipta objektifitas. Penggunaan pendekatan ini juga untuk
mencapaian reputasi (prestige) yang baik bagi lembaga pengawasan termaksud.
Studi ini dilakukan untuk memberikan sebuah bentuk pengawasan dalam pelaksanaan
sistem peradilan. Sebagaimana telah diungkapkan diatas bahwa paling tidak terdapat dua
konsep pengawasan dalam suatu sistem guna mencapai tujuan organisasi, yaitu pengawasan
internal dan pengawasan eksternal[22].
1.
Pengawasan Internal
Pengawasan internal mencakup struktur organisasi dan seluruh metode dan prosedur
yang terkordinasi yang diterapkan oleh organisasi untuk mendorong effisiensi dan effektifitas
sehingga tercapai tujuan organisasi [23]. Sistem pengawasan internal yang baik harus didukung
oleh struktur organisasi yang baik dan mekanisme pertanggungjawaban yang baik pula. Struktur
organisasi yang baik berarti adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas diantara para
pihak yang terkait dalam sistem. Dengan adanya pembagian yang jelas maka akan memperjelas
pula obyek pengawasan sebagaimana dijelaskan diatas.
Sebagai suatu kajian, studi ini mencoba mengumpulkan pendapat tentang mekanisme
pengawasan internal dimasa mendatang. Dalam rangka itu tim peneliti mencoba menyimpulkan
berbagai keinginan yang berkembang selama studi ini berlangsung terhadap lembaga
pengawasan internal dimasa mendatang. Walaupun dalam hal ini tak dapat dipungkiri bahwa
pendapat yang diajukan oleh para pihak adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi pengawasan
yang ada saat ini.
a.
Kepolisian
1). Kedudukan dan Pertanggungjawaban
3) Keanggotaan
Bagi pihak kepolisian, responden menyatakan bahwa anggota lembaga pengawas
internal terdiri dari polisi senior (42%), Kapolri (36%), dan purnawirawan polisi. Sebanyak 28.9%
dari responden tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini.
Perihal keanggotaan lembaga pengawas dimasa mendatang selayaknya terdiri dari
berbagai stake holders (multi stake holders). Dalam UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dinyatakan bahwa keanggotaan Komisi Kepolisian Negara terdiri dari
unsur pemerintah, pakar kepolisian dan anggota masyarakat. keberadaan pihak diluar kepolisian
untuk membantu kepolisian dalam menganalisis data yang berhasil dihimpun, untuk dijadikan
bahan bagi pengawasan.
Adapun yang dapat dipilih sebagai anggota lembaga pengawas intern kepolisian ini
adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan dibidang ilmu kepolisian ataupun
pengetahuan dibidang hukum (66,2%). Untuk selanjutnya orang tersebut harus lolos dari uji
kelayakan dan kepatutan (36,7%). Persyaratan umum lainnya mengikuti seperti apa yang telah
diatur dalam UU. Namun ditengah persyaratan umum tersebut perlu ditambah untuk
mengumumkan kekayaan pribadinya.
b. Jaksa
1. Kedudukan dan Pertanggungjawaban
Responden dari lembaga kejaksaan sebagian besar memilih agar lembaga pengawas
tersebut berada di bawah Jaksa Agung (48.7%), hanya 32.1% yang menyatakan lembaga
tersebut berada di bawah Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan. Perihal pertanggungjawaban,
64.1% menyatakan agar pertanggungjawaban diberikan kepada Jaksa Agung. Hanya 16.7 %
yang menyatakan pertanggungjawaban diberikan kepada Jaksa Agung Muda bidang
Pengawasan.
Menyangkut bentuk pertanggungjawaban lembaga pengawas internal kejaksaan,
sebagian besar (48.7%) memilih agar pertanggungjawaban tertutup untuk umum. Hanya 28.2%
yang menyatakan terbuka untuk umum. Hasil jajak pendapat ini perlu untuk dicermati, karena
jawaban responden seakan-akan mencerminkan sikap kejaksaan yang terkesan tertutup.
Perbandingan antara responden yang memilih terbuka untuk umum dan tertutup untuk umum
tersebut cukup jauh, sehingga perlu untuk mendapat perhatian. Perhatian tersebut tentunya
diarahkan menyangkut akuntabilitas lembaga kejaksaan sebagai lembaga publik seharusnya
dapat memberikan pertanggungjawaban secara terbuka.
perbaikan di lembaga kejaksaan. Selain itu inisiatif yang seharusnya muncul berkenaan dengan
tugas dan wewenang lembaga pengawas ini seakan-akan hilang, hal ini dapat dilihat dari jumlah
responden yang berjumlah hanya 2.6% dari seluruh responden.
3. Keanggotaan
Bagi lembaga kejaksaan, responden mengusulkan agar anggota lembaga pengawas
tersebut terdiri dari jaksa senior (57.7%). Para responden sangat sedikit sekali yang
merekomendasikan mantan jaksa (5.2%) untuk duduk di dalam lembaga tersebut. Jumlah
responden yang menempatkan Jaksa Agung di dalam lembaga pengawas hanya 15.4%.
Sedangkan responden yang tidak menjawab berjumlah 28,2%.
Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas internal kejaksaan adalah
memiliki pengetahuan yang cukup di bidang hukum (69.2%). Sedangkan keharusan untuk
mengikuti dan lolos uji kelayakan dan kepatutan tidak terlalu banyak dipilih oleh responden
(26.9%). Jumlah responden yang tidak menjawab pertanyaan tersebut sebanyak 26.9%
Sedangkan responden yang menjawab lain-lain sebanyak 23%.
c.
Hakim
menjaga nama baik. Alasan tersebut tentunya kurang dapat diterima dan masih terkesan terlalu
membela korps secara berlebihan. Sedangkan 27.1% responden lebih memilih untuk tidak
memberikan jawabannya.
3. Keanggotaan
Perihal anggota dari lembaga pengawas tersebut, kalangan hakim memilih hakim senior
(57.1%) untuk menjadi anggota pada lembaga pengawas. Pilihan kedua yang terbanyak adalah
ketua Mahkamah Agung (30%) yang dipilih untuk duduk di dalam lembaga pengawas. Pilihan
ketiga merupakan pilihan lain-lain (22.3%). Untuk pilihan lain-lain ini sebagian besar
menempatkan masyarakat umum untuk turut serta di dalamnya. Sedangkan pilihan untuk mantan
hakim hanya diusulkan oleh 18.2%. responden yang tidak memberikan jawaban berjumlah
26.4%.
Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas ini pada dasarnya tidak
dibatasi oleh dua pilihan di atas. Pilihan mempunyai pengetahuan di bidang hukum merupakan
syarat yang paling banyak diusulkan oleh responden (62.5%). Sedangkan syarat/kriteria telah
mengikuti dan lolos uji kelayakan dan kepatutan merupakan pilihan kedua yang diusulkan oleh
responden (40.3%). Pilihan lain-lain (25%) dari jawaban responden pada umumnya menyatakan
bebas KKN, tidak pernah terlibat dalam kriminal, dan berdedikasi tinggi.
tersebut. Responden yang tidak memberikan jawaban sebanyak 33.3%, sedangkan responden
yang menjawab lain-lain sebanyak 11.9%.
d. Advokat/Pengacara
1. Kedudukan dan Pertanggungjawaban
Hasil jajak pendapat terhadap profesi advokat memperlihatkan keinginan profesi advokat
untuk mandiri, terlepas dari pemerintah dan Mahkamah Agung. Sebanyak 34.1% responden
menginginkan kedudukan lembaga tersebut berada di bawah ketua organisasi advokat. Alasan
yang dikemukakan antara lain, agar ada jaminan untuk menjalankan tugas secara mandiri,
menghindari kerancuan yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaannya nanti.
Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan responden yang tidak memberikan
jawabannya. Hal itu mungkin disebabkan oleh beragamnya organisasi advokat yang ada di
Indonesia. Sehingga cukup sulit untuk menempatkan lembaga pengawas advokat ini dalam satu
organisasi.
Untuk masalah pertanggungjawaban, responden yang memilih agar pengawas
bertanggungjawab kepada ketua organisasi advokat (24.1%) tidak sebanyak saat menyatakan
kedudukan lembaga pengawas tersebut. Mereka yang memilih jawaban ini memberikan alasan,
agar koordinasi dalam proses tindak lanjut atas suatu masalah menjadi lebih cepat.
Sebanyak 34.1% memilih jawaban lain-lain, namun pada umumnya pilihan lain-lain ini
diisi dengan pertanggungjawaban pada masyarakat atau lembaga lain yang independen. Jumlah
terbesar dari kalangan advokat (38%) memilih untuk tidak menjawab. Hanya 10.2% yang memilih
agar lembaga pengawas bertanggungjawab kepada Ketua Mahkamah Agung. Tentunya hal ini
berbeda jauh dengan pertanyaan awal, mengenai kedudukan lembaga pengawas, yang sebagian
kecil memilih di bawah Ketua Mahkamah Agung sebagai letak kedudukan lembaga pengawas.
tersebut sama dengan jumlah responden yang tidak memberikan jawaban pada pertanyaan
sebelumnya. Hal ini perlu pula untuk diperhatikan mengingat jumlah organisasi advokat dan
pengacara yang banyak sehingga responden belum dapat memberikan suatu pendapat pasti
akan lembaga pengawas internal yang ideal dalam pandangannya.
3. Keanggotaan
Bagi kalangan advokat/pengacara, responden memilih advokat/pengacara senior
(53.3%) untuk duduk menjadi anggota lembaga pengawas. Sedangkan 25.5% responden
memilih ketua oraganisasi advokat/pengacara untuk duduk menjadi anggota. Responden yang
tidak memberikan jawaban sebanyak 36.7%.
Kalangan advokat dan pengacara mensyaratkan agar anggota lembaga pengawas
internal tersebut memiliki pengalaman praktek sebagai advokat/pengacara (59.4%). Kriteria
selanjutnya, para calon anggota lembaga pengawas ini telah mengikuti dan lolos uji kelayakan
dan kepatutan (56.9%). Kriteria selanjutnya adalah, bahwa para calon anggota tersebut harus
memiliki pengetahuan yang cukup di bidang hukum (55.6%). Adapun jumlah responden yang
tidak memilih berjumlah 36.7%.
2. Pengawasan Eksternal
Mekanisme kontrol internal oleh beberapa kalangan dianggap kurang mampu mengatasi
permasalahan penyimpangan dalam institusi penegak hukum yang ada saat ini. Lemahnya
mekanisme kontrol pada tiap-tiap sub sistem tidak dapat dilepaskan dari ketentuan perundangundangan yang mendasarinya. Selayaknya mekanisme kontrol dimaksudkan untuk memastikan
kinerja setiap lembaga dalam mencapai tujuan organisasi yang telah digariskan. Lemahnya
mekanisme kontrol ini tergambar dalam pandangan yang diberikan oleh responden dalam studi
ini, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas.
Mekanisme kontrol yang bersifat internal sudah terinkorporasi dalam tiap subsistem,
yang juga sering disebut sebagai pengawasam melekat (waskat), walaupun efektifitasnya masih
banyak diragukan (utamanya karena dugaan adanya in-group feeling yang cenderung menutupi
kesalahan sesama kolega). Beberapa hal yang ditengarai dari pelaksanaan mekanisme kontrol
internal antara lain adalah :
1.
Jarang sekali ada penjelasan dari lembaga mengenai hasil akhir pengaduan masyarakat
mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya;
2.
Produk dari mekanisme pengawasan internal pada umumnya tidak untuk konsumsi
publik, tetapi hanya bersifat internal;
3.
Apabila ada anggota yang diproses, tidak mungkin dapat bersifat obyektif dalam
melakukan investigasi terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran (solidaritas, in
group feeling, esprit de corps);
4.
Pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur yang berada dalam sub sistem peradilan
mencerminkan adanya kelemahan atau keburukan lembaga tersebut, termasuk fungsi
pendidikan dan pelatihannya, sehingga sulit diharapkan bahwa hal semacam ini akan
diekspose oleh suatu lembaga internal.
5.
Proses Investigasi oleh lembaga internal terhadap anggotanya cenderung diwarnai oleh
conflict of interest sehingga hasilnya kurang credible.[26]
Menanggapi adanya wacana dan fakta seperti itu, dewasa ini telah mulai muncul
berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan melakukan public control terhadap
sistem peradilan, diantaranya Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Police watch,
judicil watch serta lembaga lainnya yang serupa. Namun keberadaan lembaga tersebut hanya
sejauh sebagai pressure group untuk peningkatan pengawasan karena berada diluar sistem
internal.
Melemahnya mekanisme internal sebagaimana disebutkan diatas melahirkan
keprihatinan para pemerhati hukum, yang mana hal tersebut kemudian melahirkan wacana
pembentukan lembaga kontrol eksternal yang independen sebagai public control terhadap
pelaksanaan sistem peradilan.
Namun lembaga baru ini tidak seperti layaknya beberapa LSM seperti Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeiP), Indonesian Court Monitoring (ICM), Police Watch, Judicial Watch dan berbagai
lembaga sejenis yang tersebar diseluruh Indonesia yang keberadaan lembaga hanya sejauh
sebagai pressure group, karena berada diluar sistem internal. Akan tetapi harapan berbagai
kalangan tersebut adalah adanya lembaga pengawas eksternal yang lebih berdaya dalam
memberikan tekanan kepada pihak dalam pelaksanaan sistem peradilan, sebagaimana yang
tergambar dalam tabel berikut :
No Perlukah Dibentuk
Lembaga Pengawas
Baru
1 Perlu
2 Tidak
3 Tidak menjawab
Hakim
13.9
14.6
71.5
Jaksa
3.8
3.8
92.3
RESPONDEN (%)
Polisi
Advokat/
pengacara
9.0
48.1
18.7
17.7
74.1
34.2
Akademisi
69.4
8.1
22.6
Penelitian ini mencoba untuk memberikan alternatif lain yang sekiranya dapat membantu
fungsi lembaga pengawasan yang telah ada. Untuk itu diajukan pertanyaan perlukah dibentuk
lembaga pengawas baru. Atas pertanyaan ini sebagian besar memilih tidak menjawab. Hal ini
menimbulkan pertanyaan besar atas sikap tersebut, apakah ada rasa antipati, pesimisme atau
menyerahkan pada apapun yang akan diatur kemudian, atau mungkin sebenarnya ingin adanya
lembaga baru tetapi enggan atau tidak berani menjawab (ya).
Tetapi untuk responden dari kalangan advokat dan akademisi/LSM sebagian besar
menganggap perlu ada suatu lembaga pengawas baru yang berada di luar instansi yang
bersangkutan. Hal itu diperlukan, dengan alasan bahwa selama ini lembaga pengawas yang ada
tidak dapat berfungsi dengan baik bahkan cenderung untuk melindungi korps masing-masing.
Namun mereka yang menjawab tidak mempunyai alasan sendiri, diantaranya adalah bahwa
lembaga yang ada seharusnya dapat lebih dimaksimalkan peran dan fungsinya.
Dari berbagai pendapat yang terkumpul dalam studi ini, berhasil dirangkaikan bentuk
lembaga pengawasan eksternal dimasa yang akan datang. Dalam studi ini tentang kelembagaan
pengawas eksternal mencakup 4 aspek yaitu bentuk dan kedudukan, tugas dan wewenang,
keanggotaan serta mekanisme pengangkatan.
lembaga selain mengenai kinerja juga mengenai keuangan yang digunakan. Dalam hal ini
mekanisme laporan kinerja diberikan paling kurang setiap tahun.
b.
Jaksa
RESPONDEN (%)
Polisi Advokat/pengacara Akademisi/LSM
39.9
29.4
59.6
80.5
18.0
15.0
29.2
43.5
28.3
27.4
39.3
70.8
33.4
33.6
33.0
72.5
5.2
57.7
40.8
54.8
14.0
35.4
24.2
14.5
39.8
RESPONDEN (%)
Polisi Advokat/
pengacara
36.3
49.6
32.1
23.9
Hakim Jaksa
Mengawasi Pelaksanaan32.7
Penegakan Hukum
Memberikan Penilaian Atas23.7
Pelaksanaan Penegakan
Hukum
oleh
Aparat
49.7
Akademisi/LSM
61.2
70.9
3
4
5
6
Peradilan
Mengumumkan
hasil16.0
Penilaian Kepada Publik
Memberikan Sanksi Atas18.8
Pelanggaran yang Terjadi
di Lembaga Peradilan
Lain-lain
2.1
Tidak menjawab
61.1
26.9
20.0
38.2
62.9
14.1
28.8
36.9
37.0
2.6
57.7
2.1
61.1
15.4
35.4
14.4
16.1
Perihal tugas dan wewenang lembaga pengawas secara urut, para responden
memberikan penilaian yang hampir sama. Pada dasarnya responden menyetujui tugas dan
wewenang lembaga pengawas tersebut adalah mengawasi pelaksanaan penegakan hukum,
memberikan penilaian atas pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat peradilan,
mengumumkan hasil penilaian kepada publik, dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang
terjadi di lembaga peradilan. Tetapi jumlah responden yang memberikan persetujuannya, masih
sedikit dibandingkan responden yang tidak memberikan jawaban sama sekali. Kecuali akademisi
dan advokat yang memberikan penilaian secara berimbang atas usulan yang diajukan dalam
kuisioner ini.
c.
37.3
33.4
34.7
32.2
RESPONDEN (%)
Polisi Advokat/
Pengacara
31.8
58.2
25.2
19.0
19.8
15.2
31.2
54.4
18.0
57.7
16.8
54.8
Hakim Jaksa
Akademisi
31.3
Mantan Hakim
28.5
Mantan Jaksa
21.5
Aktivis Organisasi non27.8
Pemerintah
di
Bidang
Hukum
Lain-lain
16.7
Tidak menjawab
61.8
34.2
35.4
Akademisi/LSM
79.0
45.1
37.1
80.6
45.1
14.5
Berdasarkan hasil jajak pendapat, diperoleh data bahwa yang dapat duduk di dalam
lembaga pengawas tersebut terdiri dari kalangan akademisi, aktivis lembaga swadaya
masyarakat, mantan hakim, dan mantan jaksa. Tetapi sebagian besar responden yang berasal
dari kalangan hakim, jaksa, dan polisi memilih untuk tidak menjawab. Hal yang berbeda jauh
dengan kalangan advokat/pengacara dan akademisi/LSM, sebagian besar responden dari
kalangan ini memilih akademisi dan aktivis LSM untuk duduk di dalam lembaga tersebut.
Sedangkan kriteria yang harus dimilikinya adalah
Advokat/
pengacara
48.2
Akademisi/LSM
55.8
72.5
58.2
40.9
17.8
35.4
33.8
16.1
72.5
Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas, menurut hasil jajak
pendapat, sebagian besar menempatkan pengetahuan di bidang hukum menjadi salah satu
syarat yang harus dimiliki oleh para anggota tersebut. Syarat kedua, mereka harus lolos dalam fit
and proper test. Syarat ini merupakan syarat umum untuk menduduki jabatan publik yang cukup
menentukan.
Syarat ketiga, tidak menjadi anggota/pengurus partai politik apapun. Responden dari
kalangan jaksa, hakim, dan polisi tidak terlalu banyak yang memilih jawaban ini. Sebagian besar
dari kalangan ini lebih memilih untuk tidak menjawab. Hanya kalangan advokat/pengacara dan
akademisi/LSM yang memberikan jawaban dengan memilih jawaban yang telah disediakan.
Rata-rata jumlah yang memilih jawaban tersebut berjumlah diatas 50% dari responden advokat
dan akademisi yang memberikan jawaban tersebut.
a)
Independensi
Sebuah lembaga yang efektif adalah lembaga yang mampu bekerja secara terpisah dari
pemerintah, partai politik, serta segala lembaga yang mungkin dapat mempengaruhi
pekerjaannya. Akan tetapi, independensi adalah konsep yang relatif. Kenyataan bahwa suatu
lembaga diberi independensi tertentu untuk bekerja, membedakan lembaga tersebut dari
instrumen pemerintah. Sebaliknya, independensi bagi lembaga memuat persyaratan bahwa
lembaga tersebut memiliki dasar hukum yang kuat. Hal yang dpat menghalangi independensi
diantaranya adalah kewajiban memberikan laporan dan tidak adanya otonomi penuh dalam hal
keuangan. Dasar hukum dan batasan-batasan yang mendampinginya adalah unsur-unsur yang
membedakan lembaga ini dengan organisasi non pemerintah.
Independensi suatu lembaga akan tercipta dengan baik sepanjang diterapkan makna
independensi secara menyeluruh. Independensi suatu lembaga dalam menjalankan fungsi, tugas
dan wewenangnya meliputi independensi melalui otonomi hukum dan operasional, independensi
melalui otonomi keuangan, independensi melalui prosedur pengangkatan dan pemecatan,
independensi melalui komposisi.
parlemen. Hal ini juga harus didukung oleh aturan prosedur pengangkatan yang partisipatif dan
terbuka, serta dukungan persyaratan pengangkatan yang jelas.
Dalam mengatasi permasalahan pemecatan terhadap anggota lembaga, selayaknya diberikan
independensi kepada lembaga untuk menjalankan fungsi tersebut. Dimana dasar pemecatan
diatur dengan jelas, dalam hal ini juga terdapat mekanisme peradilan bagi pemeriksaan
penyimpangan yang dilakukan anggota. dalam menjalankan kegiatannya anggota lembaga
diberikan imunitas terhadap hukum acara pidana dan perdata dalam menjalankan tugasnya
secara resmi.
Lembaga independen yang efektif akan memiliki yurisdiksi pokok permasalahan yang
sebutkan dengan jelas. Berbicara tentang yurisdiksi tidak hanya berdasarkan fungsinya belaka,
namun melibatkan pemikiran mengenai dasar hukum yang tepat dari fungsi-fungsi tertentu.
Sebuah lembaga dalam menjalankan fungsinya hanya sesejauh kegiatan menjadi bidang tugas
lembaga tersebut. Dengan adanya yurisdiksi pokok permasalahan yang jelas maka akan
memenuhi beberapa tujuan. Pembentukan lembaga yang didahului dengan perencanaan yang
teliti akan melahirkan prioritas dan cara-cara yang dapat digunakan untuk memenuhi prioritas
secara konstruktif. Lembaga yang lahir dengan yurisdiksi yang luas dan didefinisikan dengan
jelas, seringkali tidak efektif dibandingkan dengan lembaga yang bekerja dalam batas-batas yang
dapat diidentifikasi.
Berkaitan dengan yurisdiksi pokok masalah adalah masalah katagori individu atau
lembaga yang menjadi pusat perhatian lembaga dalam melaksanakan pekerjaannya. Katagorikatagori ini pada umumnya berhubungan dengan fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh
lembaga yang dibentuk.
melengkapi dan bukan untuk menyaingi lembaga yang sudah ada. Ketumpangtindihan mungkin
hal yang umum yang terjadi namun konflik tidak boleh terjadi.
Konflik dan duplikasi agar dihindari yaitu dengan memastikan bahwa tiap lembaga diberi
tanggung jawab berbeda yang tidak tumpang tindih. Pertemuan antar badan adalah cara lain utuk
memperkuat sifat saling melengkapi, seperti halnya dengan pengembangan dan pemeliharaan
komunikasi yang baik antara lembaga serupa. Menjalin dan membina hubungan yang dekat
dengan badan-badan yang sama untuk mempromosikan kebijakan umum, dan menghindari
konflik dalam kasus-kasus yurisdiksi yang tumpang tindih.
c)
Lembaga yang efektif adalah lembaga yang mudah diakses oleh orang-orang atau kelompok
yang kepentingannya harus diperjuangkan. Kemudahan akses tidak dapat diperoleh hanya
melalui upayaupaya struktural melainkan dipengaruhi oleh seluruh aspek organisasi dan
prosedur lembaga. Sebuah lembaga yang dianggap bertanggung jawab dan efektif, serta
memiliki kepercayaan masyarakat secara otomatis akan meningkatkan kemudahan aksesnya.
Sebuah lembaga yang tidak diakses oleh masyarakat akan melahirkan disinformasi mengenai
keberadaan dan fungsi lembaga tersebut. Lembaga harus menyadari bahwa individu atau
kelompok-kelompok yang rentan mendapati penyimpangan, lebih suit dijangkau dengan caracara atau media komunikasi yang biasa. Karena itu suatu lembaga harus mengembangkan caracara yang kreatif untuk memastikan visibilitasnya diantara kelompok atau individu yang rentan,
serta mendapatkan kepercayaan mereka.
Kemudahan akses secara fisik terhadap lembaga yang akan dibentuk adalah bagian penting
dalam mensosialisasikan keberadaan lembaga. Kemudahan akses bagi mereka yang tinggal di
daerah-daerah terpencil, atau mereka yang tidak bisa melakukan perjalanan tidak akan dapat
terhalangi apabila akses secara fisik terselesaikan. Peningkatan akses secara fisik dapat
dilakukan dengan menerapkan sistem desentralisasi. Kantor-kantor lokal amaupun regional
dapat dididikan untuk memberikan pelayanan yang lengkap, atau bertindak sebagai jalur
komunikasi atau tempat konsultasi antara masyarakat dengan lembaga.
Permasalahan kemudahan akses fisik dapat terselesaikan dengan metode selain desentralisasi
yaitu dengan memperkerjakan petugas-petugas lapangan diberbagai wilayah. Lain daripada itu
dapat juga dilakukan dengan kelonggaran mekanisme pengaduan, yaitudengan tidak mewajibkan
kehadiran fisik pengadu. Hal iniyang paling mungkin dilakukan apabila pendanaan yang ada tidak
mencukupi untuk pembentukan secara desentralisasi.
d)
Kerjasama
Bahwa sebuah kenyataan dimana lembaga tidak dapat bekerja sendiri, tetapi harus menjalin dan
memperkuat hubungan kerjasama dengan berbagai organisasi dan kelompok lain. Kerjasama
yang dapat dijalin adalah kerjasam dengan organisasi non pemerintah. Jalinan kerjasama
dengan Ornop akan berguna dalam meningkatkan visibilitas lembaga dengan memberitahukan
masyarakat tentang keberadaan lembaga. Keuntungan lain yang diambil adalah menjadikan
ornop sebagai perantara antara korban dengan lembaga, dimana kecenderungannya adalah
orang-orang yang rentan terhadap pelanggaran sering tidak ingin langsung mendekati badan
resmi untuk mengadukan permasalahannya.
Kerjasama antar lembaga sejenis negara lain penting dilakukan untuk saling tukar menukar
informasi, dukungan dari negara yang lebih maju untuk memberikan bimbingan dalam
perancangan Undang-undang, pelatihan dan perekrutan personil dan pengembangan kerja yang
efektif. Kerjsama juga berguna untuk saling bertukar laporan serta membahas isu-isu yang
menjadi perhatian bersama. Kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah digunakan untuk
meningkatkan aktifitas lembaga dengan menggunakan sumber daya dan keahlian yang tersedia
dalam organisasi pemerintah.
e)
Efisiensi operasional
Bahwa setiap lembaga harus dapat membuktikan bahwa metode kerjanya adalah paling efektif
dan efisien. Efisiensi operasional meliputi semua apspek prosedur lembaga, mulai dari
penerimaan dari seleksi personil, pengembangan metode kerja dan peraturan prosedur, samapai
ke penerapan pemeriksaan kinerja rutin. Sumber daya manusia yang memadai serta pendanaan
yang memadai dan berkesinambungan merupakan prasyarat efisiensi operasional. Manajemen
sumber daya efektif memerlukan penetapan prioritas yang tegas dan ketaatan pada rencana
anggaran yang telah disetujui.
Maksimalisasi efisiensi operasional dilakukan melalui pengembangan dan pemajuan ketaatan
terhadap metode dan prosedur tertentu. Cakupan pengembanagn dimaksud adalah kriteria
pengembangan kelompok kerja, prosedur menangggapi pengaduan, serta jadual dan frekuensi
rapat staff. Dalam peningkatan efisiensi operasional terkait dengan pelaku pelaksana kegiatan
lembaga, dalam hal ini permasalahan personil penting dilakukan mulai dari penentuan kriteria
atau kualifikasi yang dibutuhkan untuk lembaga, samapai ke masalah pelatihan dan evaluasi
kinerja.
Pemeriksaan dan evaluasi dalam rangka peningkatan efisiensi operasional dilakukan
berdasarkan atas sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Evaluasi terhadap kerja yang telah
dilakukan penting dilakukan untuk menemukan permasalahan yang mungkin mejadi hambatan
dalam pelaksanaan kerja lembaga. Untuk evaluasi dibutuhkan masukan informasi yang akurat
dan cukup, yang diperoleh baik dari internal maupun eksternal.
f)
Pertanggungjawaban
[1] Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan Sistem
Peradilan Terpadu, (Discussion Paper yang disampaikan pada seminar dan Lokakarya Penelitian MaPPI KHN, Jakarta
30 Mei 2002), hal 13 16. lihat Indonesian Corruption Watch, Profil Judicial Corruption di Peradilan, (laporan hasil
Pemanatauan peradilan terhadap Pola-pola korupsipada proses beracara di peradilan, Jakarta, 2001). Karena perilaku
korup yang ditunjukkan oleh berbagai elemen menempatkan Indonesia pada negara paling terkorup di Asia, pada tahun
2001 Indonesia menduduki peringkat 2 di Asia (lihat, Political and Econnomic Risk Consultancy, Corruption in Asia, dalam
Adnan Buyung Nasution, prinsip-prinsip Umum Pengadilan Yang Baik (makalah disampaikan dalam Lokakarya
mengenai Pengadilan khusus Korupsi. Jakarta, 19 20 Juni 2001) hal.2.
[2] Rifqi S. Assegaf, Pengawasan Lembaga Penegak hukum dan Lembaga Peradilan, Makalah disampaikan
pada seminar dan lokakarya yang diselenggarakan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia tanggal 3031 Juni 2002.
[3] Diolah dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional
(Jakarta, BPKP: 1999), hal.4.
[4] Melawan Tirani Informasi (Jakarta, Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi, 2001)
[5] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998)
[6] Lihat Mauro Cappaletti, Who watches the watchmen, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes, Judicial
Independence The Contemporary Debate (Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher), 1985 atau Oficials of Democracy
and Governance, Guidance for Promoting Judicial Independence and Impartiality (Washington, 2001).
[7] Draft Studi Pembaruan Mahkamah Agung (MA dan LeIP, 2002)
[8] RUU Kebebasan Memperoleh Informasi yang disusun Koalisi Kebebasan Informasi 2001
[9] Indonesia, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pasal 21
[10] Lihat Pricewaterhouse Cooper and The British Institute of International Comparative Law, The Final Report
of The Governance Audit of The Public Prosecution Service Of The Republik of Indonesia (Jakarta: Pricewaterhouse
Cooper and The British Institute of International Comparative Law, 2001)
[11] Hal ini telah diatur dalam Surat eadaran MA meskipun pengawasan terhadap pelaksanaan SEMA ini
bukanlah hal yang mudah, karena sangat mungkin terjadi pertemuan dengan pihak berperkara (atau kuasanya) yang
mana sebenarnya hakim yang bersangkutan tidak berkeinginan untuk bertemu.
[12] Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Stategi Pemberantasan Korupsi Nasional (Jakarta:
BPKP, 1999) hal 58.
[13] Misalnya data tempat kelahiran, pendidikan dan sebagainya yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk
jika ada dugaan penyalahgunaan kewenangan misalnya kolusi- antara aparat penegak hukum atau hakim dengan pihak
lain yang memiliki kesamaan empat tinggal, almamater pendidikan dan sebagainya.
[14] S. van Hoeij Schiltouwer Pompe, The Indonesia Supreme Court: Fivety Years of Judicial Development, hal.
223.
[15] Dalam bentuk yang sedikit berbeda, di pengadilan tingkat pertama dan banding, hal ini telah dilakukan.
Lihat SEMA No. 6 tahun 1992.
[16] Pendapat disampaikan oleh Komisaris Jenderal Ahwiluttan (Inspektur Jenderal POLRI) dalam wawancara
mendalam yang dilakukan team peneliti pada tanggal 4 April 2002.
[17] Sofyan Syafri Harahap, Sistem Pengawasan Manajemen (Management Control System), (Jakarta:
Pustaka Quantum, 2001). Hal. 14.
[18] Harahap, Ibid, hal.14.
[19] wawancara Warta Ekonomi dengan Sarwono Kusumaatmadaja sebagaimana termuat dalam Warta
Ekonomi No. 26 TH. II/ 2 Mei 1990.
[20] Lihat laporan hasil pemantauan peradilan terhadap pola-pola korupsi dalam proses peradilan yang
dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch tahun 2001.
[21] Wawancara mendalam dengan Bambang Widjojanto, tanggal 28 Maret 2002.
[22] Widjojanto, Ibid.
[23] Committee on Auditing Procedure, Internal control element of Cordinate System and Its Importance to
Management and the Independent Public Accountant, Tahun 1949, dalam Harahap, Op.Cit. hal 122.
[24] Dalam wawancara mendalam yang dilakukan terhadap R,M. Surachman (Komisi Ombudsman Nasional),
terungkap pesimisme beliau terhadap independensi lembaga pengawasan apabila lembaga itu tetap berada dibawah
pimpinan intern organisasi, karena kekhawatiran intervensi.
[25] Pola rekruitmen dilakukan oleh sebuah komisi pemilihan yang independen, hal ini sebagaimana suatu
gejala keinginan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap mekanisme yang selama ini ada. Hal ini terjadi pada
saat pemilihan anggota komisi nasional hak aasasi manusia, dimana nama- nama yang diusulkan oleh Komnas
merupakan hasil keputusan lembaga seleksi tersebut.
[26] Harkristuti Harkrisnowo, Komisi Pengawas eksternal pada Polri : Pembatas Kewenangan ataukah
Pendorong Profesionalisme, (makalah disampaiakan dalam Seminar yang diadakan FISIP Universitas Riau, di
Pekanbaru, 15 16 November 1999), dalam Tim Universitas Indonesia fakultas Hukum, Sinkronisasi Ketentuan
Perundang-undangan Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum, (Jakarta, Juni
2001), hal 34.
[27] Hal ini diungkapkan oleh M.H. Silaban dalam Semiloka I MaPPI di Jakarta, 29-30 Mei 2001, hal ini menurut
beliau keadaan yang mendesak karena apabila menunggu melalui pembahasan UU akan mermakan waktu lama
sedangkan perilaku korup terus berlanjut.
[28] Alternatif ini merupakan pilihan yang paling banyak dipilih oleh peserta workshop, dimana dalam
rekomendasinya mereka menginginkan lembaga berada di bawah MPR. Dalam studi lapangan yang dilakukan responden
sebagian besar (25%) memilih berada dibawah MPR. Namun hal ini juga harus dipikirkan kembali mengingat
perkembangan yang ada dalam pembahasan amandemen UUD 1945.
http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=228&tipe=penelitian