Você está na página 1de 22

Artikel 1

Hakikat dan Tujuan Perkawinan Katolik

Perkawinan adalah salah satu tahap dari perjalanan manusia sebagai satu pilihan di antara dua
pilihan yang menentukan jalan hidup manusia. Pilihan lain adalah pilihan untuk tidak
menikah. Oleh karena perkawinan merupakan pilihan yang secara hakiki penting, maka
setiap orang musti mempelajari hal-ighwal seputar perkawinan. Dalam hal ini perkawinan
menurut Gereja Katolik. Dengan mempelajarinya diharapkan setiap orang menjadi tahu dan
bila pada akhirnya memilihnya sebagai jalan hidup, orang tidak salah dalam melangkah pada
pilihan yang sangat menentukan dalam hidup ini. Untuk itu orang hendaknya
memperlengkapi diri dengan bacaan-bacaan atau bahan-bahan tentang Perkawinan Katolik.
Umumnya buku-buku tentang perkawinan katolik, akan berkisar seputar: pengertian
perkawinan katolik atau hakikat dan martabatnya, tujuan perkawinan katolik, sifat-sifat
perkawinan katolik dan hukum di seputar perkawinan katolik.
Dalam pengertiannya perkawinan katolik adalah perjanjian (foedus), yang dengannya seorang
laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium)
seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum
conugium) dan kelahiran serta pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, yang
diangkat oleh Tuhan ke dalam martabat sakramen.

Perjanjian

Kita mulai dari istilah perjanjian, dalam hal ini perjanjian nikah atau perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan berarti kesepakatan untuk menikah. Mau menikah berarti mau hidup
bersama dengan saling mencintai sebagai suami istri. Menjadi suami istri berarti saling
menerima, yang seorang berstatus suami dengan segala hak dan kewajibannya dan yang
seorang lagi menjadi istri dengan segala hak dan kewajibannya. Kesepakatan ini bukan
diandaikan tetapi dijanjikan dengan isi pokoknya adalah kesediaan untuk saling menerima
sebagai suami istri itu dan kemauan untuk saling mencintai dalam situasi apapun.
Janji untuk mencintai akan menjadi sesuatu yang layak dan seimbang bila orang yang berjanji
tersebut dalam kedudukan atau derajat yang sama. Derajat yang sama ini terlebih dalam
martabat yang diakui bersama, yakni bahwa laki-laki dan perempuan itu sederajat, sehingga
kata saling dalam frase saling mencintai ini menjadi sangat penting, untuk mengatakan
bahwa dalam hal ini mereka berdua sama dalam hak dan kewajiban tadi. Sama hak untuk
dicintai dan sama kewajiban untuk mencintai. Secara sederhana kata saling mencintai ini
menjadi tataran ideal sebuah perkawinan dan menjadi jaminan bahwa itu adalah perkawinan
yang benar dan penuh-sempurna. Oleh karena itu kata saling mencintai dalam janji
perkawinan ini menjadi syarat utama bahkan absolut. Artinya, jika tidak terbukti keduanya
saling mencintai, maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan.
Mungkin akan ada pertanyaan: Bagaimana bisa memastikan orang saling mencintai?
Bukankah cinta itu adanya di dalam hati. Siapa pula yang bisa tahu? Tentu saja yang tahu
adalah yang bersangkutan. Namun dalam hal ini pasangan calon perkawinan akan dibantu
dengan sarana yang namanya penyelidikan secara hukum kanonik (akan ditulis secara khusus
apa itu penyelidikan kanonik di artikel yang lain). Tujuan penyelidikan kanonik ini disamping

untuk mengetahui soal apakah perkawinan yang sedang disiapkan ada halangannya atau tidak
(akan ditulis di artikel yang lain) juga untuk menyamakan persepsi kedua calon menikah itu
tentang istilah saling mencintai itu. Sebab jika mereka mengerti secara berbeda tentang
cinta, maka dapat dikatakan pengertian mereka tentang kata saling mencintai menjadi
berbeda juga. Dengan itu akan terbuka kemungkinan untuk munculnya banyak persoalan di
antara mereka, karena perbedaan pengertian itu, dan lebih dari itu, seperti sudah saya sebut
tadi, kedudukan mereka menjadi tidak seimbang. Lewat penyelidikan kanonik ini diharapkan
akan ditemukan bahwa keduanya benar-benar saling mencintai, dengan pengertian cinta yang
benar (ditulis dalam artikel tentang cinta sejati dalam perkawinan katolik).
Memang tidak mungkin membuat orang punya pengetahuan yang sama secara memadai, oleh
karena itu pengajaran tentang cinta yang benar, yang harus dihidupi dalam perkawinan, perlu
diberi perhatian yang semestinya; dan tentu kita punya kriteria umum untuk bisa mengatakan
bahwa materi tentang hal ini sudah cukup diberikan dan kemudian cukup dimengerti oleh
mereka. Umumnya Gereja memberikan syarat minimal atau syarat cukup untuk banyak hal:
misalnya ada calon yang cukup pantas jadi imam, cukup pantas untuk menerima sakramen
penguatan atau komuni pertama, juga misalnya dalam penerapan aturan berpantang dan
berpuasa, mengaku dosa, menyambut komuni kudus. Jika syarat minimal terpenuhi, hal itu
menjadikan seseorang punya hak untuk mendapatkan haknya.
Selanjutnya perkawinan, baru boleh dilangsungkan jika pasangan mau hidup bersama dengan
saling mencintai tanpa syarat apapun. Tanpa syarat di sini berarti tidak ada hal yang diajukan
sebagai penentu lain sebelum perkawinan dilangsungkan, yang nanti bisa menghalangi atau
menggagalkan perkawinan itu. Kalau perkawinan menyertakan syarat pada sesuatu yang
belum terjadi, tentu saja akan terjadi kekacauan. Misalnya seorang calon istri mau menikah
dengan calon suaminya, asal nanti si calon suami nanti tidak selingkuh. Kalau nanti selingkuh
dia tidak mau hidup bersama lagi! Nah, bagaimana memastikan hal itu sebelum perkawinan
dilangsungkan? Tentu saja tidak bisa dan tidak mungkin. Maka yang harus dipastikan adalah
bahwa perkawinan itu tanpa syarat. Dan keduanya menerima tanpa syarat pula. Oleh karena
itulah isi janji perkawinan itu adalah akan tetap setia dalam segala situasi. Artinya apapun
yang akan terjadi nanti setelah perkawinan dilangsungkan, tidak bisa lagi menggagalkan
perkawinan yang perjanjiannya telah mereka ucapkan sendiri.
Pasangan yang melangsungkan perkawinan akan berjanji untuk setia seumur hidup, di waktu
sehat dan sakit, di kala untung dan malang, dalam suka dan duka. Tentang pertanyaan kenapa
harus berjanji dan terikat oleh janji, kita sudah mendapatkan jawabannya dalam pengertian
perkawinan di atas. Intinya perjanjian harus diucapkan atau dilakukan, supaya orang tahu
bahwa pasangan laki-laki perempuan itu memang benar-benar mau menikah. Lalu, kita dapat
melanjutkan dengan pertanyaan Kenapa janji harus ditepati atau kenapa orang tetap harus
setia pada perkawinan? Siapa yang mewajibkannya? Apa bukannya orang bebas berjanji,
maka bebas pula mengingkari?
Logika akan menjadi terbalik jika dikatakan bahwa orang yang bebas berjanji, bebas pula
mengingkari. Sebab justru apa yang bebas dipilih dan diputuskan untuk dilakukan dengan
sadar, tanpa paksaan, dengan pengertian dan tanggungjawab yang penuh, lalu dijanjikan,
tentu tidak ada lain selain dipenuhi tanpa syarat apapun. Mengingkari atau melanggar janji
yang sudah diucapkan tentunya bernilai negatif, karena yang dijanjikan adalah sesuatu yang
positif. Lebih dari itu, tentu saja karena janji perkawinan itu diucapkan di depan saksi-saksi.

Dengan diucapkan di depan para saksi yang hadir, maka perjanjian itu mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat tanggungjawab si pengucap janji secara tetap dan tidak dapat ditarik
kembali. Pasangan harus berjanji secara formal di depan Imam sebagai saksi peneguh dan
dua orang saksi dari pihak masing-masing serta umat yang hadir, dan secara nonformal
sebetulnya pada semua orang yang tahu bahwa mereka akan menikah atau sudah
mengucapkan janji perkawinan itu. Tentu ini bukan hanya untuk formalitas saja tapi untuk
meresmikan bahwa mereka tidak main-main dengan janji mereka yang akan berlaku seumur
hidup mereka. Jadi janji mereka itu sudah punya kekuatan hukum formal baik secara sipil
maupun keagamaan. Karena ada saksinya, tentu mereka terikat pada tanggungjawab sosial,
pada sama-sama makhluk yang punya akal budi, yang bisa mengerti moral dan hukum yang
mengikat mereka. Akan sangat berbeda bila mereka berjanji antar mereka sendiri, di hutan
atau di manapun pada bulan dan bintang, atau matahari sekalipun, tentu tidak akan ada
pengaruh hukum dan tanggungjawab moralnya.
Persekutuan yang terarah pada Kesejahteraan Suami-istri dan Kelahiran Anak

Kesejahteraan Suami istri

Kesejahteraan adalah seluruh apa yang baik/semua yang baik yang dibutuhkan manusia, baik
lahir maupun batin, terpenuhi dengan cukup. Cukup di sini adalah batas minimal untuk
mengukur sebuah kesejahteraan. Memang ukuran cukup akan bersifat subyektif, karena akan
dikatakan cukupnya orang bisa berbeda-beda. Ada yang sudah memperoleh banyak, tetapi
merasa belum cukup. Ada yang baru terpenuhi sedikit, tapi merasa sudah cukup. Tetapi tentu
saja tolok ukurnya adalah situasi pada umumnya di masing-masing tempat. Misalnya dalam
hal pendapatan keuangan tolok ukurnya adalah UMR di daerah atau suatu negara. Itu hanya
satu poin saja dari aneka kebutuhan manusia . Maka kalaupun dilihat dari pendapatannya,
orang sudah cukup, belum dapat dikatakan bahwa ia sudah sejahtera.
Kesejahteraan lahir apakah itu? Kesejahteraan lahir ialah terpenuhinya dengan cukup semua
kebutuhan lahiriah. Apa saja kebutuhan lahiriah? Kebutuhan Primer : Sandang, Pangan,
Papan. Kebutuhan sekunder: kepemilikan barang-barang (uang, tanah, memilih sekolah: sttb,
gelar, pekerjaan, ktp, akte kelahiran, kesehatan), kebutuhan pelengkap (kemewahan). Secara
lahiriah, jasmaniah/badaniah orang akan disebut sejahtera bila semua kebutuhan lahiriahnya
terpenuhi dengan cukup. Bila tidak semua/belum semua, otomatis secara lahiriah dia belum
sejahtera.
Kesejahteraan batin, yakni terpenuhinya dengan cukup semua kebutuhan batiniahnya. Apa
saja kebutuhan batiniah itu? Tentu semua yang berkaitan dengan sisi dalam kepribadian
manusia yakni sisi psikologis-kejiwaan, rohani-keyakinan, rasa-perasaan (empati) dan
intelektualitasnya. Bisa dicatat di sini antara lain: kebutuhan akan rasa adil, rasa aman, rasa
tentram, rasa damai, rasa senang dan bahagia. Lagi, kebutuhan akan rasa dicintai, dihargai,
dihormati, diakui dan diterima serta diperhatikan/diberi tempat dan kesempatan untuk berada.
Tak lupa pula kebutuhan akan kebebasan untuk bersuara dan mengeluarkan pendapat serta
kebutuhan untuk memeluk agama atau keyakinan.
Dalam arti ini bila orang menyatakan bahawa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, itu
tak lain maksudnya adalah kesejahteraan. Tapi kalau kebahagiaan dalam arti hanya sekedar
rasa bahagia, itu hanya sebagian kecil dari kesejahteraan. Bisa kita teliti dari ungkapan ini :
Orang yang bahagia belum tentu sejahtera, tapi orang yang sejahtera pasti bahagia .

Memang orang bisa merasa bahagia walapun belum sejahtera. Misalnya dalam ungkapan :
Saya bahagia jadi istrimu, walaupun kita belum punya rumah, belum punya pekerjaan tetap
dan masih sangat kekurangan untuk makan sehari-hari kita . Saya dalam ungkapan itu
sudah merasa bahagia, tapi jelas belum sejahtera. Tapi kalau orang sudah disebut sejahtera
pastilah ia bahagia, karena seluruh kebutuhannya terpenuhi. Termasuk kebutuhan akan rasa
bahagia, yang adalah salah satu dari kebutuhan batiniahnya.
Kesejahteraan dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang. Uang menjadi berguna bila
memiliki dua sisinya dengan lengkap. Kesejahteraan akan menjadi lengkap dan penuh bila
kebutuhan pada kedua sisinya terpenuhi. Orang baru akan disebut sejahtera bila seluruh apa
yang baik, yang menjadi kebutuhan baik lahir maupun batinnya terpenuhi dengan cukup. Dan
itulah sebetulnya yang menjadi tujuan hidup manusia. Bila orang sejahtera secara lahir dan
batin, itulah keadaan yang disebut dengan keselamatan di dunia ; yang kelak akan mendapat
kesempurnaannya dalam hidup baru di dunia-akherat. Itulah tujuan perkawinan:
kesejahteraan bagi suami-istri. Keduanya akan saling memenuhi kebutuhan dengan cara
saling melengkapi kekurangan, saling memberi diri dan saling menyerahkan diri secara
batiniah dan saling berusaha keras memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriah, bagi mereka
sendiri dan bagi anak-anaknya atau keluarganya.

Kelahiran anak (Penerusan keturunan)

Tujuan penerusan keturunan atau kelahiran anak menjadi sesuatu yang hakiki dalam
perkawinan katolik. Suami istri dipanggil untuk ikut serta dalam karya kelangsungan
penciptaan Allah di dunia. Hal ini merupakan tugas perutusan yang sangat khas bagi
pasangan suami-istri, karena hadirnya secara berkelanjutan generasi manusia untuk mengisi
muka bumi. Di samping bahwa kelahiran anak dalam keluarga akan membawa kebahagiaan
tersendiri, hadirnya anak akan menjadi sarana agar cinta kasih Allah Tritunggal atau cinta
yang berdimensi triniter dapat dihayati secara lengkap dalam keluarga.
Tentu saja tugas dan tanggungjawab suami istri terhadap anak, tak berhenti pada kelahiran
dan pemeliharaannya saja tetapi juga pendidikannya baik dalam budi pekerti, maupun ilmu
dan iman. Sebagaimana orangtua bisa yakin pada pedoman hidupnya dalam Kristus,
demikian mereka hendaknya mewariskannya dalam hidup anak-anak mereka. Hendaknya
pendidikan itu ditanamkan sejak usia dini mereka, karena memberi dasar yang kuat itu jauh
lebih menjamin ketimbang kelak menyerahkan kepada anak sendiri setelah mereka dewasa,
atau ketimbang harus mengubahnya ketika anak sudah salah jalan ketika mereka dewasa.
Demikian gambaran singkat mengenai hakikat dan tujuan perkawinan katolik, yang oleh
Kristus sendiri telah diangkat kepada martabat sakramen. Jadi perkawinan adalah juga tanda
dan sarana keselamatan dari Allah bagi manusia.
Sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/06/hakikat-dan-tujuan-perkawinan-katolik475898.html

Artikel 2

Pemahaman Perkawinan Menurut


Gereja Katolik
AJARAN GEREJA KATOLIK TENTANG PERKAWINAN
Ada begitu banyak pasangan calon mempelai yang sudah lama berpacaran, namun seringkali
mereka belum mempergunakan kesempatan pacaran itu untuk dapat mempersiapkan diri
dalam membangun keluarga katolik. Salah satu hal yang sangat penting namun seringkali
terlupakan adalah kurangnya/ tidak pernah dilaksanakan pengolahan pengalaman hidup untuk
melangsungkan suatu pernikahan sesuai ajaran Gereja Katolik. Oleh karena itu pentinglah,
dalam membaca uraian di bawah ini, pembaca menggali pengalaman pribadi, khususnya
ketika mempersiapkan perkawinannya. Rumusan ini bisa membantu untuk menilai diri
sendiri, apakah memang sudah siap (minimal) secara mental dan rohani untuk
melangsungkan perkawinan.

Perkawinan adalah:
PERSEKUTUAN HIDUP - ANTARA SEORANG PRIA DAN SEORANG WANITA YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN PRIBADI - YANG TAK DAPAT DITARIK
KEMBALI - DAN HARUS DIARAHKAN KEPADA SALING MENCINTAI SEBAGAI
SUAMI ISTERI - DAN KEPADA PEMBANGUNAN KELUARGA - DAN OLEH
KARENANYA MENUNTUT KESETIAAN YANG SEMPURNA - DAN TIDAK
MUNGKIN DIBATALKAN LAGI OLEH SIAPAPUN, KECUALI OLEH KEMATIAN.

a. PERSEKUTUAN HIDUP
Apa yang pertama-tama kelihatan pada perkawinan Katolik? Jawabnya adalah: Hidup
bersama. Namun, hidup bersama itu masih beranekaragam isinya. Dalam perkawinan
Katolik, hidup bersama itu mewujudkan persekutuan. Jadi, hidup bersama yang bersekutu.
Bersekutu mengisyaratkan adanya semacam kontrak, semacam ikatan tertentu dengan
sekutunya. Bersekutu mengandaikan juga kesediaan pribadi untuk melaksanakan persekutuan
itu, dan untuk menjaga persekutuan itu. Ada kesediaan pribadi untuk mengikatkan diri kepada
sekutunya, dan ada kesediaan pribadi untuk memperkembangkan ikatannya itu supaya
menjadi semakin erat.

Ikatan ini tidak mengurangi kebebasannya. Justru ikatan itu mengisi kebebasan orang yang
bersangkutan. Pertama-tama karena para calon mempelai memilih sendiri untuk bersekutu,
dan bebas untuk memilih mau bersekutu dengan siapa, memilih untuk terikat dengan
menggunakan kebebasan sepenuhnya; tetapi juga karena kebebasan itu hanya dapat
terlaksana dalam melaksanakan pilihannya untuk bersekutu ini. Dengan kata lain boleh
dikatakan bahwa persekutuan itu membuat orang sungguh-sungguh bebas karena dapat
memperkembangkan kreatifitas dalam memelihara dan mengembangkan persekutuan itu;
bukan dengan menghadapkan diri pada pilihan-pilihan yang baru lagi. Persekutuan yang
dibangun itu menjadi tugas kehidupan yang harus dihayatinya.

b. SEORANG PRIA DENGAN SEORANG WANITA


Penekanan pertama di sini adalah seorang dengan seorang: artinya orang seutuhnya dengan
orang seutuhnya. Ini menggambarkan penerimaan terhadap satu pribadi seutuhnya. Yang
diterima untuk bersekutu adalah pribadi, bukan kecantikan, kegantengan, kekayaan atau
kepandaiannya saja. Ada beberapa catatan untuk penerimaan satu pribadi ini: Pertama,
menerima pribadi itu berarti menerima juga seluruh latar belakang dan menerima seluruh
masa depannya. Artinya, saya tidak dapat menerima pribadi itu hanya sebagai satu pribadi
yang berdiri sendiri. Selalu, saya harus menerima juga orang tuanya, kakak dan adiknya,
saudara-saudaranya, teman-temannya, bahkan juga bahwa dia pernah berpacaran atau
bertunangan dengan si ini atau si itu. Lebih jauh lagi, saya juga harus menerima segala
sesuatu yang terjadi padanya di masa mendatang: syukur kalau ia menjadi semakin baik,
tetapi juga kalau ia menjadi semakin buruk karena penyakit, karena ketuaan, karena
halangan-halangan; saya masih tetap harus menerimanya. Yang ke dua, menerima pribadi
berarti menerima dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau dipikir
secara matematis: yang bersekutu itu satu dengan satu; bukan 3/4 + 1/2, atau 1 + 6/8; lebihlebih lagi, bukan satu dengan satu setengah/satu seperempat/satu tiga perempat/apalagi
dengan dua, tiga, dan seterusnya.
Dengan ungkapan lain lagi: Saya seutuhnya, mau mencintai dia seutuhnya/apa adanya. Ini
berarti, saya mau menerima dia seutuhnya, apa adanya; tetapi juga sekaligus saya mau
menyerahkan diri seutuhnya kepadanya saja. Yang lain sudah tidak mendapat tempat lagi di
hati saya, di pikiran saya. Hanya dia saja. Bahkan, anak-anakpun tidak boleh melebihi dia di
hadapan saya, dalam pelayanan saya.
Penekanan ke dua pada seorang pria dengan seorang wanita.Yang ini kiranya cukup jelas.
Hanya yang sungguh-sungguh pria dan yang sungguh-sungguh wanita yang dapat
melaksanakan perkawinan secara katolik.

c. PERSETUJUAN PRIBADI
Hidup bersekutu itu terjadi karena setuju secara pribadi. Yang harus setuju adalah yang akan
menikah. Dan persetujuan itu dilakukan secara pribadi, tidak tergantung pada siapapun,
bahkan juga pada pasangannya. Maka, rumusannya yang tepat adalah: Saya setuju untuk
melangsungkan pernikahan ini, tidak peduli orang lain setuju atau tidak, bahkan tidak peduli
juga pasangan saya setuju atau tidak.
Lalu bagaimana kalau pasangan saya kurang atau bahkan tidak setuju?. Dia hanya pura-pura
setuju. Kalau demikian, bukankah pihak yang setuju dapat dirugikan? Ya, inilah resiko cinta
sejati. Cinta sejati di sini berarti saya setuju untuk mengikatkan diri dengan pasangan, saya
setuju untuk menyerahkan diri kepada pasangan, saya setuju untuk menjaminkan diri pada
pasangan; juga kalau akhirnya persetujuan saya ini tidak ditanggapi dengan baik/sesuai
dengan kehendak saya. Yang menjadi dasar pemahaman ini adalah karena setiap mempelai
membawa cinta Kristus sendiri. Kristuspun tanpa syarat mengasihi kita, Kristus tanpa syarat
menerima kita dan memberikan DiriNya bagi kita.

d. PERSETUJUAN PRIBADI YANG TAK DAPAT DITARIK KEMBALI


Persetujuan pribadi untuk bersekutu itu nilainya sama dengan sumpah/janji dan bersifat
mengikat seumur hidup. Sebab persetujuan itu mengikutsertakan seluruh kehendak, pikiran,
kemauan, perasaan. Pokoknya seluruh kepribadian. Maka dinyatakan bahwa persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali. Sebab, penarikan kembali pertama-tama berarti pengingkaran
terhadap diri sendiri, pengingkaran terhadap kebebasannya sendiri, pengingkaran terhadap
cita-cita dan kehendaknya sendiri. Tetapi, kemudian, juga berarti bahwa pribadinya sudah
tidak menjadi utuh kembali.

e. DAN YANG DIARAHKAN


Sebenarnya, pengalaman untuk membuat dan memelihara dan memper kembangkan
persetujuan pribadi untuk bersekutu itu sudah harus dipupuk sejak masa pacaran Maka, ada
banyak yang merasa bahwa persetujuan semacam itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Pokoknya sudah beres, begitu. Semua sudah siap. Namun, kenyataannya persetujuan yang
terjadi pada masa pacaran belumlah memenuhi syarat perkawinan. Dan benarlah, persetujuan
yang dibangun pada masa pacaran baiklah persetujuan sebagai pacar. Persetujuan yang
dibangun pada masa tunangan, baiklah persetujuan sebagai tunangan. Baru, setelah menikah,
persetujuan itu boleh menjadi persetujuan sebagai suami-isteri. Maka, Kita lihat, misalnya
adanya pembatasan-pembatasan dalam berpacaran, menunjukkan bahwa persetujuan itu
belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Secara lebih positif dapat dikatakan bahwa persetujuan
semasa pacaran lebih diarahkan untuk dapat melaksanakan janji pada saat perkawinan.
Supaya janji pada saat perkawinan sungguh berisi dan memberi jaminan bagi masa depan
baik pribadi maupun pasangannya. Tiga kata ini juga dapat diartikan penegasan terhadap
perkawinan sebagai awal dari kehidupan baru bagi kedua mempelai. Bagaimanapun oleh
perubahan situasi manusia masih dapat berubah. Penegasan ini membantu para suami/isteri
untuk melaksanakan isi persetujuan itu.

f. SALING MENCINTAI SEBAGAI SUAMI ISTERI


Pengalaman menunjukkan bahwa calon mempelai biasanya bingung dengan ungkapan ini.
Mereka merasa sudah saling mencintai, kok masih ditanya soal ini. Masalahnya, sering tidak
disadari bahwa cinta itu bermacam-macam. Ada cinta sebagai saudara, ada cinta sebagai
sahabat, ada cinta karena belas kasihan, demikian pula ada cinta suami isteri. Tentu saja, yang
namanya cinta sejati tidak pernah dapat berbeda-beda. Yesus menunjuk cinta sejati itu sebagai
orang yang mengorbankan nyawaNya bagi yang dicintaiNya. Dan Yesus memberi teladan
dengan hidupNya sendiri yang rela sengsara, bahkan sampai wafat untuk kita semua yang
dicintaiNya. Namun, perwujudan cinta sejati itu ternyata bisa beranekaragam. Kekhasan dari
cinta suami isteri adalah adanya keterikatan istimewa yang membuat mereka dapat
menyerahkan diri seutuhnya bagi pasangannya. Dalam hal ini kiranya cinta suami isteri dapat
disejajarkan dengan cinta yang diwujudkan dalam suatu kaul biara atau janji seorang imam.
Bedanya, kalau kaul biara atau janji seorang imam tertuju kepada Tuhan di dalam umatNya;
dalam perkawinan cinta itu tertuju kepada Tuhan di dalam pasangannya. Yang mau dituju
adalah membangun suasana saling mencintai sebagai suami/isteri. Maka, tidak hanya
membabi buta dengan cintanya sendiri. Pokoknya saya sudah mencintai. Ini tidak cukup.

Perjuangan seorang suami/isteri adalah di samping memelihara dan memperkembangkan


cintanya, juga mengusahakan supaya pasangannya dapat ikut mengembangkan cintanya
sebagai suami/isteri.

g. PEMBANGUNAN KELUARGA
Hidup dalam persekutuan sebagai suami-isteri mau tidak mau mewujudkan suatu keluarga.
Harus siap untuk menerima kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai keluarga,
baik di hadapan saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di hadapan masyarakat pada
umumnya. Maka, membangun hidup sebagai suami-isteri membawa juga kewajiban untuk
mampu menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan dengan pasangannya. Mampu
bekerjasama menerima, memelihara dan mendewasakan anak, mampu bekerjasama
menerima atau datang bertamu kepada keluarga-keluarga lain, mampu ikut serta membangun
Gereja. Semuanya dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.

h. KESETIAAN YANG SEMPURNA


Setia dalam hal apa? Empat hal yang sudah diuraikan di atas, yakni persekutuan hidup antara
seorang pria dan seorang wanita, memelihara dan memperkembangkan persetujuan pribadi,
membangun sa ling mencintai sebagai suami isteri, membangun hidup berkeluarga yang
sehat. Tidak melaksanakan salah satunya berarti sudah tidak setia. Apalagi kalau kemudian
mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lain: membangun persekutuan yang lain,
membuat persetujuan pribadi yang lain, membangun hubungan saling mencintai sebagai
suami isteri dengan orang lain, membangun suasana kekeluargaan dengan orang lain (juga
saudara): Ini dosanya besar sekali
Satu pedoman untuk kesetiaan yang sempurna adalah Kristus sendiri. Ia setia kepada tugas
perutusanNya, Ia setia kepada BapaNya, Ia setia kepada manusia, kendati manusia tidak setia
kepadaNya.

i. TAK DAPAT DIPISAHKAN OLEH SIAPAPUN


Persekutuan perkawinan terjadi oleh dua pihak, yakni oleh suami dan isteri. Maka, tidak ada
instansi atau siapapun yang akan dapat memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami
isteri itu sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu dibangun atas dasar
kehendak Tuhan sendiri. Dan Tuhanlah yang merestuinya. Maka, pemutusan persekutuan
perkawinan bisa dipandang sebagai pemotongan kehidupan pribadi suami/isteri. Ini bisa berarti pembunuhan, karena pribadi itu dihancurkan.

j. KECUALI OLEH KEMATIAN.

Pengecualian ini didengar tidak enak. Namun, nyatanya, misteri kematian tidak terhindarkan.
Karena kematian yang wajar, persetujuan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu
sudah tidak mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya.

Sumber: http://www.imankatolik.or.id/pemahaman-perkawinan-menurut-gereja-katolik.html

Artikel 3

Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik


Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin
pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang
perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan
sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen
Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu
keras di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat
bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan
sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.

Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci

Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan
perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman penolong yang sepadan dengannya (Kej 2:20),
sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu daging (Kej 2:24). Jadi persatuan lakilaki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan
perintahnya kepada mereka, Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu. (Kej 1:28).
Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak
selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan
monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan
kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan
perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6,
Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh
nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana
Allah pada awalnya (Mat 19:8).
Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra
Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah
ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang
tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah
Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas
antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera menghasilkan Roh Kudus. Walaupun
demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti
hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya
tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan
suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah,
manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah
itu.

Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada
paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi
Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat
di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi

Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah
Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk
digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan
perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan
umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan
Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2;
Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.
Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan
mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32).
Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk
menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan
menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya;
dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai kepala istri (Ef 5:23),
seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang
Kepala.

Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena
sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan
Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita
menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi satu daging. Pemahaman arti
Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena
dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.

Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil
untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan
kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan
banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan
dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu
semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui
Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan
pengajaran Gereja.

Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai perjamuan kawin Anak Domba (Why
19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri
persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua
akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan
kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah
itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.

Makna Sakramen Perkawinan

Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan
antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1]
Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang
telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan
pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas
(tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan berbuah.

Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi karunia satu bagi yang lainnya,
yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam
Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan
minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri.
Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi
istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki
perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan
antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan seumur
hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia,
seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya.
Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: Sudahkah hari ini aku menjadi
tanda kasih Tuhan kepada istriku? demikian juga, istri merenungkan, Sudahkah hari ini aku
menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?

Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk
mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia.
Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri,
jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan
kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah.
Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya
manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal
(immortal). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa. Jadi peran serta
manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur,
karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.

Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua,
untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran
terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (Gods
maternity) dan pendidikan/ pengaturan (Gods paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat
betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain
diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan
mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia

dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan,
pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.

Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah
sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita
manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk
memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam
Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang
lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan
demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut
kebahagiaan, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota
keluarga menguduskan satu sama lain.

Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami
istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan
akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai
kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.

Syarat Perkawinan Katolik yang sah

Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk
menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang
menjadi ciri-cirinya.
Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh
seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan
sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[2]
Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan;
sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. (KGK 1626) Kesepakatan
di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan,
dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari
luar. (KGK 1628) Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang
bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat
Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan
diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke
dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anakanak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak
perlu. (KGK 1631)
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab,
maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. (KGK

1632) Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran
masing-masing dan pelaksanaannya.
Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja
menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya
perkawinan, pembatalan perkawinan (annulment) dan mengenai perkawinan campur (antara
pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.

Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan


Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur
hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak
terceraikan.[3] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam
ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka,
untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini.
Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena
itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi. (KGK 1639) Atas dasar inilah,
maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan.
Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan,
tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan
Allah ini. (KGK 1640)

Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat
Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan
tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat
keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[4] Kristus-lah sumber rahmat dan
berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia
tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk
memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.
Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang
manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai
pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang
tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini.
Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan
untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan
pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan
Dia?

Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja

Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman
Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya,
sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.
The Shepherd of Hermas (80): Mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah,
dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami
itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.Lalu apakah
yang dilakukan seorang suami, jika istrinya tetap dalam disposisi ini [perzinahan]? Biarlah ia
[suaminya] menceraikan dia, dan biarlah suaminya tetap sendiri. Tetapi jika ia menceraikan
istrinya lalu kawin dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah. (The Shepherd of
Hermas, 4:1:6)
Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan
kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus
mengasihi Gereja-Nya.[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja
ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
Yustinus Martyr (151): Yesus berkata begini: Barangsiapa melihat dan menginginkan
seorang wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan. Dan,
Barangsiapa kawin dengan seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.
Menurut Guru kita, seperti mereka yang berdosa karena perkawinan kedua, demikianlah
juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu kepada seorang wanita. Ia menentang
bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka yang ingin berbuat zinah; sebab
bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan pikiran kita (St. Justin
Martyr, First Apology 15)
Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan
kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus
mengasihi Gereja-Nya.[6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja
ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
Tertullian (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi
perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan
tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[7] Bagaimana saya mau melukiskan
kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan,
dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?.
Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu Mereka yang adalah anak-anak
dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka
menjadi satu daging dan satu roh.[8] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat
menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
Clemens dari Alexandria (150-216):
Mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, Setiap orang yang
menceraikan istrinya kecuali karena zinah Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara
mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu
belum meninggal.[9] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai
yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah
menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).Maka bahwa Kitab Suci
menasihati perkawinan, dan tidak pernah mengizinkan lepasnya ikatan tersebut, telah nyata

dalam hukum: Kamu tidak dapat menceraikan istrimu, kecuali karena alasan zinah. Dan
dianggap sebagai perzinahan, perkawinan dari sebuah pasangan, di mana pihak yang
diceraikan oleh salah satu dari pasangan itu, masih hidup. Barangsiapa menceraikan istrinya,
berbuat zinah, ; sebab barangsiapa menceraikan istrinya, merusaknya, sebab ia memaksa
istrinya itu untuk melakukan perzinahan. Tidak saja ia [suaminya yang terdahulu] yang
menceraikannya menjadi sebab dari hal ini, tetapi juga ia [pria yang kemudian
mengawininya] yang mengambil wanita itu dan memberikan kepada kesempatan untuk
berbuat dosa; sebab jika ia tidak mengambilnya, wanita itu akan kembali kepada suaminya.
(St. Clement of Alexandria, Miscellanies 2:23:145:3)
Athenagoras (133-190) dan Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan
monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah
yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang
menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[10]
Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan
istri bukan lagi dua melainkan satu daging. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah
terdapat karunia, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah karunia, sama seperti
kehidupan selibat adalah karunia.[11]Seperti seorang wanita adalah pezinah, meskipun
nampaknya ia menikah dengan seorang pria, sementara suaminya yang terdahulu masih
hidup, maka pria itu yang sepertinya telah menikahi wanita yang telah bercerai itu,
sesungguhnya tidak menikahinya, tetapi, menurut pernyataan Penyelamat kita, ia berbuat
zinah dengan wanita itu. (Origen, Commentaries on Matthew 14:24)
Konsili Elvira (300):
Demikianlah para wanita yang telah meninggalkan suami mereka tanpa sebab sebelumnya,
dan telah menyatukan diri dengan orang lain, tidak dapat menerima Komuni saat wafatnya
(Kanon 8).Dengan demikian, seorang wanita yang beriman, yang telah meninggalkan
suami yang telah berbuat zinah, dan menikah dengan orang lain, maka perkawinan wanita
yang sedemikian dilarang. Jika toh ia telah menikah, ia tidak dapat menerima Komuni,
kecuali jika suami yang telah ditinggalkannya telah meninggal dunia. (Kanon 9).
Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, Apa yang telah
dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang
suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau
memutuskan dia.[12]
Ambrosius dari Milan (387- 389): Tak seorangpun diizinkan untuk bersetubuh dengan
seorang wanita, selain dengan istrinya sendiri. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu
untuk alasan ini; supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing. Jika kamu
terikat dengan seorang wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah
dengan orang lain, selagi istrimu masih hidup. (St. Ambrosius, Abraham
1:7:59)Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka yang mengajarkannya harus juga
mematuhinya: Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia (Commentary on
Luke 8:5)
Hieronimus (396): Sepanjang suami masih hidup, meskipun ia berzinah.. atau terikat
kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia

[suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang
lain. (St. Jerome, Letters 55:3).
Paus Innocentius I (408): Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang
dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara
suaminya masih hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai
salah satu dari pria itu meninggal dunia. (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15).
Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen.
Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian
atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan
kemurnian.[13]Seorang wanita tidak menjadi istri suami berikutnya, jika masih menjadi istri
dari suami yang terdahulu. Ia tidak lagi menjadi istrinya, jika suaminya itu meninggal dunia,
dan bukan jika ia [suaminya] berbuat zinah. Maka, seorang pasangan secara hukum boleh
dilepaskan, pada kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku.
Itulah mengapa, seorang laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah
dilepaskan [oleh suaminya], justru karena alasan perzinahan ini. (St. Augustine, Adulterous
Marriages 2:4:4)
Tak diragukan lagi hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki
dan perempuan telah dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan
sepanjang hidup mereka, atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain,
kecuali karena alasan perzinahan. Sebab ini dilestarikan dalam kasus Kristus dan Gereja,
sehingga tidak ada perceraian, tidak ada perpisahan selamanya. (St. Augustine, (Marriage
and Concupiscence 1:10:11)

Kesimpulan

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan
secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk
menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah
Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan
juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya
gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap
seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciriciri yang demikian, Perkawinan merupakan sakramen, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia,
sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada
umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak,
yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. Marriage takes three to make a go
and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a
foretaste of the wedding feast of the Lamb!
Sumber : http://www.katolisitas.org/257/indah-dan-dalamnya-makna-sakramen-perkawinankatolik

Artikel 4
Sifat atau Ciri Hakiki Perkawinan Katolik
Sifat atau ciri hakiki perkawinan katolik adalah: 1. monogami, 2. tidak dapat diceraikan dan
3. berlangsung seumur hidup. Berikut refleksinya.
Monogami:
Perkawinan katolik bersifat monogami, artinya bahwa perkawinan itu dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Perempuan dicipta dari tulang rusuk laki-laki, untuk
menunjukkan kesetaraan dan kesederajatan, seperti yang telah kita bahas sebelumnya.
Kenapa tulang rusuk? Itu untuk pertanda kesederajatan, dari tengah, biar tidak merendahi dan
direndahi: sejajar biar tidak dikuasai maupun menguasai. Agar mereka berdua saling
memiliki, saling memberi dan menerima secara adil dan seimbang. Karena sehakekat dan
semartabat itulah perkawinan yang satu lawan satu itu menjadi sudah lengkap, penuh dan
sempurna. Itu sesuai kehendak Allah sendiri, Laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya dan keduanya menjadi satu daging, dalam tingkat yang sama-sama
seimbang; menjadi satu daging berarti kedua pribadi itu akan menyatu secara mesra dan intim
dalam cinta yang sejati dan benar. .

Menurut St. Paulus persatuan perkawinan suami istri ini menggambarkan persatuan ilahi
antara Anak Domba Allah dengan mempelai-Nya, atau antara Kristus dan Gereja-Nya, dan
bukan sebaliknya. Oleh karena itu persatuan Ilahi itulah yg mendasari perkawinan katolik,
sehingga martabat perkawinan katolik diangkat ke dalam martabat ilahi dan sakramental,
sebagai persatuan yang menyelamatkan, sebagaimana Kristus menyelamatkan Gereja-Nya.

Perkawinan yang bersifat monogami tentunya dikehendaki Allah sendiri. Allah ingin agar
pilihan hidup manusia untuk menikah dan membentuk keluarga membawa mereka kepada
kebahagiaan yang utuh dan lengkap. Oleh karena itu hendaknya pasangan benar-benar
mengerti apa artinya sifat monogami ini dan menghayatinya dengan sungguh. Keinginankeinginan untuk membiarkan diri jatuh pada godaan-godaan hadirnya pihak lain dalam
keluarga, relasi-relasi rahasia dengan orang lain menjadi sesuatu yang amat bertentangan
dengan sifat monogami ini. Maka sudah selayaknya dihindari. Karena perkawinan adalah
sarana keselamatan (sakramen) maka penodaan terhadapnya tentulah merupakan dosa.

Tidak dapat diceraikan

Sebetulnya ini berkaitan erat dengan sifat monogami dari perkawinan katolik tadi. Sebab,
kalau perjanjiannya itu sah, hanya maut yang bisa memisahkan. Jadi tidak ada kuasa apapun
yang boleh dan dapat memisahkan atau memutuskan ikatan perkawinan itu. Di dalam ikatan
Perkawinan ini, kesepakatan suami dan istri yang telah dibaptis untuk saling memberi dan
saling menerima, telah dimetiraikan oleh Allah sendiri. Atas dasar inilah, maka Perkawinan
Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan melalui perjanjian yang layak dan legitim

tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri,
dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah
penetapan kebijaksanaan Allah ini.

Perkawinan yang bersifat tak dapat diceraikan ini mengisyaratkan bahwa idealnya tak ada
alasan apapun yang bisa menceraikan perkawinan setelah perkawinan itu disahkan. Sebab
perkawinan yang bersyarat tak akan pernah terjadi atau dilangsungkan. Sesuatu yang
bersyarat tidak memiliki kepastian dan tidak berasal dari keputusan bebas. Idealnya lagi tidak
akan ada perkawinan katolik yang mengandaikan kesetiaan pasangannya, pada sesuatu yang
belum terjadi. Entah itu peristiwa buruk, ataupun ketidakcocokan. Mengatakan begitu berarti
membuka peluang untuk mencari alasan-alasan yang egoistis. Maka juga idealnya
ketidakcocokan atau kecocokannya sudah diketemukan sebelum perkawinan. Kalau pada
kenyataannya ada ketidakcocokan pasti itu soal sedang tumbuhnya benih-benih egoisme.
Apalagi kalau sampai pada keputusan tak sanggup lagi hidup bersama terus mau berpisah. Itu
sudah jelas lari jauh dari hakikat perkawinan itu sendiri, apalagi kalau sebetulnya sudah
punya anak. Kalau pasangan sudah punya anak, lalu mengatakan mau bercerai demi anak, ini
sebuah pernyataan yang aneh. Kalau sudah demi anak, mustinya mereka kembali bersatu,
meninggalkan ego mereka. Kalau berpisah demi anak bisa, kenapa bersatu malah tidak bisa ?

Seumur hidup

Perkawinan katolik, yang monogami dan tak terceraikan itu mengisyaratkan ikatan
kebersamaan antara suami dan istri selama hidup. Batas akhir dari ikatan itu ada pada batas
hidup salah satu di antara mereka. Maka dikatakan bahwa ikatan itu tetap ada sampai ketika
maut memisahkan mereka. Dan ketika maut memisahkan mereka secara otomatis segala
ikatan formal baik secara hukum maupun tanggungjawab moral, menjadi tidak ada lagi.
Tentu saja karena tidak ada lagi ikatan perkawinan dengan yang sudah meninggal, maka yang
masih hidup tidak terhalang lagi jika ingin mengadakan ikatan perkawinan baru dengan orang
lain.

Oleh karena ikatan perkawinan ini bersifat seumur hidup, maka selama masih hidup suami
istri terikat secara eksklusif dan tetap sejak diucapkannya janji perkawinan, sampai maut
memisahkan mereka. Adanya persoalan apapun, yang terjadi setelah perkawinan, sejauh
dahulu perkawinannya adalah layak dan sah, tidak pernah dapat dijadikan alasan bahwa
ikatan perkawinan menjadi longgar, atau rusak atapun batal.

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/06/sifat-atau-ciri-hakiki-perkawinan-katolik475907.html

Artikel 5
Tentang Perkawinan tak terceraikan Mrk 10:1-12
Perikop Markus 10:1-12 sebenarnya ingin menjelaskan ajaran Yesus tentang Perkawinan
yang tidak terceraikan (walaupun di judul perikop dalam Alkitab LAI, ditulis: Perceraian).
Berikut ini saya sarikan apa yang tertulis dalam Navarre Bible, dan A Catholic Commentary
on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, OSB:

Secara umum ayat Mrk 10:1-12:

Perikop ini sebenarnya menggambarkan bagaimana para orang Farisi ingin menjebak Yesus
dengan pertanyaan- pertanyaan supaya Yesus didapatkan oleh mereka menentang hukum
Taurat Musa. Namun Yesus yang adalah Putera Allah, mempunyai pengertian yang sempurna
tentang hukum Taurat Musa, dan bagaimana sampai Musa mengeluarkan ketentuan yang
memperbolehkan perceraian. Musa memperbolehkan perceraian, karena kekerasan hati
bangsa Israel yang pada masa dahulu memang menganggap wanita sebagai warga kelas
rendah, bahkan seperti budak, hampir seperti binatang. Maka Musa melindungi hak martabat
wanita dari perlakuan semacam ini, sebab seandainya wanita tersebut dimadu, tentu
kondisinya lebih buruk lagi. Maka ketika Musa memperbolehkan membuat surat cerai, ini
sudah merupakan kemajuan kondisi sosial yang memperhatikan martabat pihak wanita.
Sebab pada saat suaminya mengusirnya, ia dapat memperoleh kebebasan.

Namun Yesus mengembalikan ajaran ini kepada hakekat perkawinan seperti yang ditentukan
Allah dari semula, pada awal penciptaan dunia. Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi
satu daging. (Kej 2:24). Allah telah menentukan sejak semula, bahwa kesatuan perkawinan
tidak terceraikan. Pengajaran Magisterium Gereja Katolik menjaga dan mempertahankan
ajaran ini dalam banyak dokumen (Konsili Florence, Pro Armeniis; Konsili Trente, De
Sacram. matr; Pius XI, Casti connubii; Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, dll)
10: 2

Dalam hukum Musa, Ul 24:1-4, Musa memang memperbolehkan perceraian, Apabila


seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak
menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis
surat cerai . sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya Dengan demikian ikatan
perkawinan dikatakan putus, dan kedua pihak dapat menikah lagi. Meskipun orang-orang

Yahudi setuju bahwa perceraian diizinkan, mereka tidak sepakat akan interpretasi perkataan
didapatinya tidak senonoh, yang dapat menjadi alasan bagi suaminya untuk
menceraikannya. Kelompok Shammai menyebutkan perzinahan sebagai satu-satunya alasan,
sedangkan kelompok Hillel memperbolehkan alasan- alasan yang lain. Orang-orang Farisi
mengetahui hal ini dan ingin menjebak Yesus, supaya Yesus membuat kontradiksi dengan
ajaran hukum Taurat Musa ini.

10: 3-5

Yesus mengetahui maksud jahat orang-orang Farisi ini. Ia juga mengetahui bahwa Musa
memperbolehkan perceraian justru untuk melindungi hak dan martabat kaum wanita.
Peraturan Musa ini bukan untuk mendorong/ memberi hak istimewa kepada orang Yahudi
untuk menceraikan istrinya. Perceraian pada jaman nabi Musa diizinkan demi mentolerir
suatu kesalahan karena kekerasan hati mereka. Maka perceraian tidak pernah sesuai dengan
rencana awal Allah Bapa saat menciptakan laki-laki dan perempuan.

10: 6-9

Rencana Tuhan untuk perkawinan manusia dinyatakan dalam kitab Kej 1:27 dan 2:24. Ikatan
laki-laki dan perempuan itu nyata dan tetap seperti ikatan yang mempersatukan anggota
keluarga. Di tengah dunia yang berpikir bahwa mengikatkan diri pada satu orang sepanjang
hidup sebagai sesuatu yang sulit atau bahkan tidak mungkin; kita harus berani mengabarkan
Kabar Gembira, bahwa hal itu mungkin dan dapat terjadi, sebab memang demikianlah yang
menjadi rencana Tuhan terhadap perkawinan yang mempunyai dasar dan kekuatan di dalam
Kristus (lih. Ef 5:25).

Perkawinan berakar dari kasih penyerahan diri secara total antara suami dan istri dan
diarahkan untuk kebaikan anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka, dan oleh
karena itu Allah menghendaki agar perkawinan tidak terceraikan. Tuhan berkehendak agar
perkawinan menjadi buah, tanda, dan persyaratan dari kasih setia yang absolut Tuhan berikan
kepada manusia, dan yang Yesus berikan kepada Gereja-Nya.

Kristus memperbaharui dan mengembalikan makna perkawinan seperti yang direncanakan


Allah dari semula. Perkawinan yang diangkat oleh Yesus menjadi sakramen, memberikan
kepada pasangan suami istri sebuah hati yang baru yang dapat mengatasi kekerasan hati
(Mat 19:8). Kristus adalah ya bagi semua janji Allah (2 Kor 1:20) dan pasangan suami istri
diajak untuk mengambil bagian di dalam realisasi dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia
dengan juga mengatakan ya pada janji perkawinan. Maka dengan ikatan perkawinan yang
tak terceraikan ini, pasangan Kristiani mengambil bagian dalam ikatan kasih yang tak

terceraikan antara Kristus dengan Mempelai-Nya, yaitu Gereja-Nya, yang dikasihi-Nya


sampai akhir (lih. Yoh 13:1)

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, Untuk memberi kesaksian tentang nilai yang tak
terhingga dari perkawinan yang tak terceraikan dan kesetiaan perkawinan adalah salah satu
dari tugas-tugas yang paling berharga dan paling genting bagi para pasangan Kristiani di
masa sekarang ini. (Familiaris Consortio, 20)

10:10-12

Di sini Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya yang mungkin terkejut akan pengajaran
yang bertentangan dengan ajaran yang pada saat itu diterima oleh semua orang Yahudi. Yesus
mengajarkan bahwa tidak satupun pihak (baik istri maupun suami) yang mempunyai hak
untuk menikah lagi setelah berpisah.

Inilah yang sampai sekarang ini dipegang oleh Gereja Katolik, bahwa jika perkawinan yang
dilakukan itu sah (tidak ada cacat konsensus, tidak ada halangan pernikahan dan perkawinan
sesuai dilakukan dengan ketentuan kanonik), maka jika suatu saat kedua pihak memutuskan
untuk berpisah, kedua pihak tidak dapat menikah lagi. Namun ada kalanya, setelah dilakukan
pemeriksaan dari pihak tribunal Gereja (yang didahului permohonan dari pihak pasangan/
salah satu pasangan), dapat ditemukan adanya: 1) cacat konsensus 2) halangan/
ketidakmampuan seseorang untuk menikah, ataupun 3) perkawinan yang dilakukan tidak
sesuai dengan ketentuan kanonik, sehingga perkawinan dapat dianggap tidak sah. Inilah yang
disebut sebagai Anulasi (annulment) dalam Gereja Katolik. Maka anulasi tidak sama dengan
perceraian, tetapi pernyataan dari pihak tribunal keuskupan bahwa perkawinan tersebut tidak
sah dari awalnya, yang disebabkan oleh adanya ketiga hal tersebut yang terjadi sebelum dan
pada saat dibuatnya kesepakatan nikah (jadi bukan berdasarkan kejadian-kejadian negatif
yang baru terjadi sesudah kesepakatan perkawinan). Jika permohonan anulasi dikabulkan,
artinya di mata Gereja perkawinan tersebut tidak sah, sehingga kedua pihak dapat menikah
lagi, tentu harapannya kali ini dilakukan dengan sah, dan dengan demikian tidak terceraikan.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan tentang perikop Mrk 10:1-12. Semoga dapat dipahami,
bahwa pada dasarnya kehendak Tuhan bagi perkawinan adalah satu suami satu istri, yang
setia satu sama lain dan tidak terceraikan seumur hidup. Sebab Allah menghendaki agar
perkawinan menjadi tanda lambang kasih-Nya kepada manusia, dan melalui perkawinan
manusia mengambil bagian dalam kesetiaan kasih-Nya kepada manusia, yang juga tetap
selamanya.

Sumber: http://www.katolisitas.org/2854/tentang-perkawinan-tak-terceraikan-mrk-101-12

Você também pode gostar