Você está na página 1de 14

Penanganan Acute Respiratory Distress Syndrome

pada Kasus Emergensi


Asher Juniar
102011201
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Terusan Arjuna no.6
Jakarta 11510
Email : azher_juny@hotmail.com

Pendahuluan
Perawatan pada pasien dengan tingkat kesakitan kritis, merupakan suatu hal yang
berbeda seperti yang diterapkan kepada pasien sakit baik ringan, sedang maupun berat.
Perawatan pada pasien dengan kondisi kritis memerlukan pemahaman yang baik mengenai
patofisologi dari kausa yang menyebabkan pasien kritis, dan seringkali perawatan dipusatkan
pada cara untuk meresusitasi pasien, yang terus-menerus mengalami penurunan fungsi
fisiologis tubuhnya. Resusitasi yang dikerjakan pun seringkali dilakukan secara cepat, serta
tanpa memperhatikan mengenai kondisi medis yang mungkin pasien alami di masa lampau.
Namun, sembari dilakukan stabilisasi dari fungsi fisiologis tubuh terutama organ-organ vital,
maka sebaiknya dilakukan pengumpulan data/riwayat medis dari pasien bersangkutan yang
sewaktu-waktu akan diperlukan untuk kepentingan pasien ke depannya ketika pasien sudah
berhasil melewati kondisi kritisnya.
Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dari klinisi ialah mengenai gagal
napas. Gagal napas merupakan salah satu dari alasan umum pasien dilarikan ke ICU. Pada
beberapa ICU, sekitar 75% pasien membutuhkan ventilasi mekanik selama perawatan. Gagal
napas dapat dikategorikan berdasarkan patofisiologinya menjadi 4 kelompok gagal napas,
yaitu (1) gagal napas akut hipoksemik, (2) gagal napas oleh karena hipoventilasi alveolar dan
ketidakmampuan untuk mengeliminasi karbondioksida secara efektif, (3) gagal napas oleh
karena atelektasis paru, dan (4) gagal napas oleh karena hipoperfusi dari otot-otot pernapasan
pada pasien syok. Monitoring yang baik terhadap fungsi pernapasan sekaligus fungsi sirkulasi
pasien menjadi hal utama yang perlu dilakukan pada pasien dengan kondisi kritis dan
1 | ARDS pada Emergensi

memegang makna penting bagi keselamatan jiwa pasien. Kejadian gagal napas serta gagal
jantung di ICU seringkali menjadi tantangan bagi para klinisi oleh karena merawat pasien
dengan kedua kejadian ini membutuhkan pertimbangan kritis dan tindakan yang segera.
Intervensi yang tepat waktu dan layak, baik saat di lapangan kejadian maupun ketika di ICU,
dapat menentukan kemungkinan recovery atau bahkan kemungkinan pasien tidak bisa
bertahan hidup.
Acute Respiratory Distress Syndrome atau disingkat ARDS, merupakan salah satu dari
sekian

banyak

penyakit

yang

mengancam

nyawa

dan

membutuhkan

perawatan

kegawatdaruratan yang ekstensif. Oleh karena itu, pembahasan dan pemahaman yang baik
mengenai tatalaksana emergensi terhadap penyakit ini menjadi suatu hal yang fundamental.1-3

Anamnesis
Pada pasien gawat darurat sebaik hanya dilakukan anamnesis singkat terlebih dahulu
sementara bila kondisi pasien telah tertanggani dengan baik dapat dilakukan anamnesis
lengkap pada pasien, atau keluarga.2
Pada yang datang dengan sesak nafas dapat ditanyakan :2

Sudah berapa lama sesak?

Apakah tiba-tiba atau bertahap?

Apakah yang memicu? Postur tubuh, obat, oksigen?

Adakah gejala penyerta seperti nyeri dada, batuk, palpitasi, hemoptisis, mengi,
demam?

Apakah ada episode sebelumnya

Riwayat penyakit kardiovaskular atau pernafasan,

Kemungkinan adanya diabetes ketoasidosis?

Riwayat Alergi dan kebiasaan merokok

Bagaimana pengaruh sesak pada aktivitas?

Adakah pajanan pada tempat kerja? (pnemonkoniosis)

Pemeriksaan fisik
Pada observasi dinilai keadaan umum, apakah jalan nafas adekuat (betulkan posisi
kepala, alat bantu nafas), tanda-tanda vital berupa frekuensi nafas, frekuensi nadi, tekanan

2 | ARDS pada Emergensi

darah, suhu. Pasien dinilai apakah terdapat takikardi, takipnoe, stridor, demam, sianosis,
anemia, atau syok. 2
Pada inspeksi dinilai bentuk dada, apakah pasien menggunakan otot-otot bantu
pernafasan, retraksi interkostal, pergerakan dinding dada (bagian tertinggal), laju dan irama
pernafasan. Dilakukan palpasi adakah rasa nyeri tekan, dan ekspansi dinding dada. Perkusi
dinilai adanya bunyi tumpul, hiperesonansi. Auskultasi dinilai suara nafas, adakah suara nafas
tambahan (ronki, mengi), dan vocal fremitus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan ialah
menilai apakah terdapat tanda-tanda gagal jantung atau kelebihan cairan berupa ronki, irama
gallop, peningkatan JVP, edema perifer). Dinilai juga status kesadaran pasien, pasien yang
mengatuk atau bingung dengan sesak nafas, takipnoe, sianosis, takikardi merupakan tandatanda suatu distress pernafasan.2

Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen dada (Chest X-Ray)
Pada pasien ALI atau ARDS dapat ditemukan adanya infltrat alvelolar bilateral difus
dengan gambaran udem pulmonar. Namun pada stadium awal bayangan infiltrat sangat
bervariasi dapat ringan atau berat, pada intersititial atau pada alveolar, dapat terlihat
banyangan radio-opak difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya
lagi gambaran confluent. Pemeriksaan pada tahap awal dapat menunjukkan adanya
infiltrat asimetrik yang dapat menyebabkan hasil terlihat seperti pneumonia atau
atelektasis. Udem pulmonar yang terjadi juga harus dibedakan dengan udem pulmonar
kardiogenik dengan menilai, ukuran jantung, peningkatan corakan bronkovaskuler,
distribusi perihiler terhadap udem pulmonar. 1,3
b. Laboratorium

Analisa gas darah, meskipun tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik
untuk ALI atau ARDS namun, analisis gas darah dapat menjadi alat bantu
diagnosis. PaO2/ FiO didapatkan abnormal untuk pasien ARDS dan ALI.
Alkalosis respiratori (Ph > 7,45) dapat timbul pada stadium awal.

Terdapat

hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkapnea (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi


gangguan pernapasan. Pada stadium lanjut kebutuhan ventilasi per menit
meningkat yang berhubungan dengan peningkatan dead space dan penurunan
ventilasi alveolar. Asidosis metabolik dapat timbul pada stadium lanjut yang
berhubungan dengan peningkatan nilai laktat darah, akibat metabolisme anaerob.3
3 | ARDS pada Emergensi

Nilai rujukan untuk analisa gas darah arteri ialah pH : 7,35-7,45, PaCO2 : 35
-45 mmHg, PaO2 ; 75-100 mmHg, SaO2 : >95 %, HCO3 : 24-28 mEq/l,
kelebihan basa (BE) +2 sampai 2 mEq/l. 4 Jika didapatkan pH < 7,35, PaCO2
normal, sementara HCO3 dan BE <24 mmHg dan <-2 mEq/l dapat disimpulkan
adanya keadaan asidosis metabolic.4

Enzim jantung, pemeriksaan laboratorium lain yang dapat digunakan untuk


mengetahui penyebab gagal nafas ialah enzim jantung seperti cardiac
phosphokinase dan troponins, untuk mengetahui adanya apakah terjadi infrak
miokardium. 3

Darah rutin, didapatkan leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia


(kerusakan

endotel

dan

reaksi

inflamasi),

peningkatan

kadar

amilase

(pankreatitis).1
c. Ekokardiografi, pemeriksaan ini digunakan untuk menilai apakah udem pulmonar
disebabkan oleh faktor kardiogenik. Pada udem paru kardiogenik bisa didapatkan
adanya stenosis atau regurgitasi katup mitral, dilatasi ventrikel kiri, disfungsi sistolik.
Pemeriksaan ini dapat membantu menentukan menajemen awal pada pasien dengan
gagal nafas.3
d. CT-scan toraks, pada CT-scan didapatkan pola heterogen, predominasi infiltrate pada
area dorsal paru (posisi supine). Konferensi consensus amerika-eropa menetaplan
defines berupa infiltrat harus bilateral dan konsisten dengan edema paru. 1

Working diagnosis
Acute Respiratory Distress Sydrome atau ARDS. ARDS ialah merupakan sindrom
yang ditandai olah peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan
dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang
mengandung protein dalam parenkim paru. Dasar definisi dipakai Konsensus Komite
Konferensi ARDS Amerika-Eropa pada tahun 1994 yang terdiri dari (1) gagal napas
(respiratory failure/distress) dengan onset akut, (2) rasio tekanan oksigen pembuluh arteri
berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi (PaO2/FIO2) < 200 mmHg hipoksemia berat, (3)
radiografi torak akan ditemukan infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru,
(4) tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg, tanpa
tanda-tanda klinis adanya hipertensi atrial kiri/(tanpa adanya tanda gagal jantung kiri). Bila
PaO2/FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut sebagai Acute Lung Injury. Konsensus juga
mensyaratkan terdapatnya faktor risiko terjadinya ALI dan tidak adanya penyakit paru kronik
4 | ARDS pada Emergensi

yang bermakna. Kedua jenis penyakit yaitu ALI dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi
sebagai kegagalan pernapasan berbentuk hipoksemi akut bukan karena peningkatan tekanan
kapiler paru.
ARDS ini biasanya akan diikuti dengan kegagalan pernapasan yang berlanjut menjadi
hipoksemia akut akibat dari gangguan baik yang secara sistemik maupun kepada paru itu
sendiri tanpa adanya tanda-tanda gagal jantung. ARDS ialah bentuk gagal napas akut yang
paling berat dengan persebaran infiltrat bilateral pada foto radiografi dada. Sebanyak
sepertiga pasien yang mengalami ARDS, sebelumnya mengalami sepsis terlebih dahulu.
Definisi yang diberikan oleh AECC merupakan definisi yang umum digunakan dan
mudah untuk diaplikasikan, namun juga memiliki kekurangan yang cukup serius untuk
membedakannya dengan penyakit lain yang memiliki gejala serupa, bahkan seringkali tidak
ada korelasi yang baik antara definisi klinisi yang luas ini dengan kerusakan alveolar difus
yang dikatakan merupakan karakteristik besar dari gambaran histologik ARDS/ALI. Definisi
AECC juga tidak mempertimbangkan variabel lain seperti mode ventilasi dan kadar dari
PEEP, yang dapat secara signifikan mempengaruhi oksigenasi. Sebagai tambahan, dengan
dipublikasikannya studi yang menunjukkan penggunaan rutin dari kateter Swan-Ganz yang
dikaitkan dengan komplikasi yang lebih tinggi, tekanan oklusif kapiler pulmoner yang
menjadi komponennya justru tidak diukur, dan malah menempatkan penekanan yang lebih
pada interpretasi radiografi dada yang memiliki reliabilitas yang kurang antar pengamat.
Namun walau begitu, definisi oleh AECC telah secara khusus membuktikan prediktabilitas,
singkatnya pasien dengan ARDS berdasarkan definisi ini memiliki tingkat mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak terdefinisi. Oleh karena itu, banyak kelompok
studi yang berbeda telah merekomendasikan perubahan untuk definisi ini, salah satu saran
yang dikemukakan ialah dengan menambahkan faktor risiko yang mungkin menimbulkan
ARDS

baik

berupa

faktor

langsung

(pulmoner)

atau

tidak

langsung

(ekstrapulmoner/sistemik) karena kedua jenis faktor ini memiliki mekanisme patogenik yang
berbeda, selain faktor risiko sebaiknya penghitungan rasio P/F dengan pengaturan yang
terstandar dan spesifik (PEEP dan MAP) juga diikutsertakan dalam definisi, mennyingkirkan
gagal jantung secara lebih objektif (dengan penggunaan ekokardiogram), dan hanya pasien
dengan P/F ratio kurang dari 200. Kesemua rekomendasi ini diharapkan dapat memberikan
gambaran lebih akurat mengenai derajat berat/ringannya kerusakan pada alveolar
sebagaimana yang terjadi pada kasus ARDS.
Temuan klinis yang didapatkan pada pasien ARDS ialah dispnea akut dan hipoksemia
dalam hitungan jam sampai hari terhitung dari kejadian yang menginduksinya, seperti
5 | ARDS pada Emergensi

trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut atau aspirasi. Pasien dengan
ARDS, nampak sangat sakit bahkan kritis, dengan kegagalan sistem multiorgan, dan
beberapa di antara mereka tidak dapat memberikan informasi yang justru dibutuhkan oleh
klinisi. Secara khas, keadaan sakit yang dialami pasien akan berkembang dalam 12-48 jam.
Dengan onset dari cidera paru akut, maka pasien awalnya akan mengalami dispnea yang
dipicu kelelahan, namun gejala akan terus berprogresi hingga pasien akan mengalami dispnea
berat saat istirahat, takipnea, ansietas, agitasi dan kebutuhan akan konsentrasi tinggi oksigen
yang dihirupnya. Temuan fisik kadangkala tidak spesifik dan hanya menunjukkan adanya
takipnea, takikardia, dan kebutuhan akan high fraction of inspired oxygen (FIO2) untuk tetap
menjaga saturasi oksigen tubuh pasien. Pasien dapat demam atau hipotermik. Karena ARDS
sering terjadi pada sepsis, makan hipotensi dan vasokonstriksi perifer dengan ekstremitas
dingin dapat ditemukan. Sianosis pada bibir dan nail-bed dapat terjadi. Pemeriksaan pada
paru akan menyingkap adanya bising paru yang tidak normal bilateral. Karena edema paru
kardiogenik perlu untuk dibedakan dari ARDS, maka pengamatan yang lebih teliti pada
tanda-tanda kongesti jantung atau volume overload intravaskuler, distensi dari vena juguler,
murmur dan gallop jantung, hepatomegali dan edema harus dicari. 3-5

Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti,banyak factor penyebab yang dapat
berperan dalam gangguan ini.ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi sebuah
sindrom.Sepsis merupakan factor risiko yang paling tinggi,terutama mikroorganisme dan
produknya (endotoxin) sangat toksis terhadap parenkim paru dan merupakan factor risiko
terbesar kejadian ARDS berkisar 30-50%.Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua
sebagai factor risiko ARDS (30%).Dengan ph <2.5 akan menyebabkian penderita mengalami
chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan kerusakan berat pada epitel alveolar.6
Menurut Hudak & Gallo (1997) , gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS :
1. Sistemik (non-pulmonal)
Shock karena beberapa penyebab :
Sepsis gram negative
Hipotermia
Hipertermia
Obat (Narkotik,Salisilat,Trisiklik,Paraquat,Metadon,Bleomisin)
Gangguan hematologi ( DIC,Transfusi masiv,Bypass cardiopulmonal)
6 | ARDS pada Emergensi

Eklampsia
Luka Bakar
Major trauma
Pankreatitis
Emboli lemak
Tumor lisis
2. Pulmonal
Pneumonia (Viral,Bakteri,Jamur,Pneumositik Karinii)
Trauma (Emboli lemak,Kontusio Paru)
Aspirasi (cairan lambung,tenggelam,cairan hidrokarbon)
Pulmonary vasculitis
Toxic Inhalasi
Reperfusion Injury (Lung transplantation)

Epidemiologi
ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun 1967.Diperkirakan
ada 150.000 orang yang menderita ARDS tiap tahunnya dan laju mortalitas tergantung pada
etiologi dan sangat bervariasi.Tingkat mortilitasnya 50 %.Sepsis sistemik merupakan
penyebab ARDS terbesar sekitar 50%, trauma 15 %, cardiopulmonary baypass 15 %, viral
pneumoni 10 % dan injeksi obat 5 %.7

Manifestasi Klinik
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24-48 jam setelah kerusakan awal pada
paru.Awalnya pasien akan mengalami dispneu,kemudian biasanya diikuti dengan pernafasan
cepat

dan

dalam.Selain

itu

juga

terdapat

penurunan

kesadaran

mental,takikardi,takipneu,retraksi intercostals,hipoksemia, dan juga sianosis biasa terjadi


secara sentral dan perifer,bahkan tanda khas dari ARDS adalah tidak membaiknya sianosis
meskipun pasien sudah diberi oksigen.Sedangkan pada auskultasi paru dapat ditemui ronkhi
basah kasar,serta kadang wheezing, dan pada auskultasi jantung didapatkan normal tanpa
murmur maupun gallop.5,6,8

7 | ARDS pada Emergensi

Gambaran Patofisiologi ARDS


Cidera paru-paru

Kerusakan
Sistemik

Kebocoran cairan
Dalam ruang
Intestisial
Alveolar

Penurunan
Defusi Jaringan
Hipoksia
Seluler

Permeabilitas
Membran alveolar
Meningkat

Pelepasan factor-faktor
(enzim tisosom, vasoaktif, sistem
Komplemen, asam metaboli, kolagen, histamine)

Cairan bergerak
Kealveoli
kerusakan kembran alveolar kapiler

MK : gguan

pertukaran gas
Produksi Surfaktan

Edema intestisial
alveolar paru

Kolaps alveolar
yang progresif

pe

Komplain
Paru
Hipoksia

arterial
Odema paru

Pe pengembangan paru

Penurunan Fungsi
Paru
Hipoventilasi

sianosis

Penurunan efektif paru


MK :
MK : gguan pertukaran
gas

MK :

ARDS

Gangguan

Plasma & sel darah


Merah keluar dari
Kapiler-kapiler yang rusak
Perdarahan
8 | ARDS pada Emergensi

Peningkatan
frekuensi
pernafasan
dispnea

Gangguan

Hipoksemia

MK :
Kelemahan

MK : Pola nafas
tidak efektif

Bagan 1. Gambaran pathogenesis ARDS5

Penatalaksanaan
-Mengidentifikasi dan mengatasi penyebab.9
-Memastikan ventilasi yang adekuat Intubasi untuk pemasangan ETT
Ventilasi mekanis dilakukan kalau timbul hiperkapnia, kalau pasien lelah dan
tidak dapat lagi mengatasi beban kerja nafas atau timbulnya renjatan. Tujuan ventilasi
mekanis adalah mengurangi kerja nafas, memperbaiki oksigenasi arterial, dengan
pemakaian O2 yang non toksik.10,11
Pemberian tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) dengan respirator volume
merupakan langkah besar dalam penanganan ARDS. PEEP membantu memperbaiki
sindrom distress pernafasan dengan mengembangkan daerah yang sebelumnya
mengalami ateletaksis dari kapiler. Keuntungan lain dari PEEP adalah alat ini
memungkinkan pasien untuk mendapatkan FiO 2 dalam konsentrasi yang lebih rendah.
Hal ini penting karena pada satu segi FiO2 yang tinggi umumnya diperlukan untuk
mencapai PaO2 dalam kadar minimal, dan pada segi lain oksigen konsentrasi tinggi
bersifat toksik terhadap paru-paru dan menyebabkan ARDS. Efek dari PEEP adalah
memperbaiki tekanan oksigen arterial dan memungkinkan penurunan FiO2. Bahaya
yang mungkin terjadi dalam penggunaan PEEP adalah pneumothoraks dan
terganggunya curah jantung karena tekanan yang tinggi. Perhatian dan pemantauan
yang ketat ditujukan untuk mencapai PEEP terbaik yaitu ventilasi pada tekanan
akhir ekspirasi yang menghasilkan daya kembang paru terbaik dan penurunan PaO 2
dan curah jantung yang minimal.
- Sedasi untuk mengurangi kecemasan dan kelelahan akibat pemasangan ventilator
-Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.
-Memberikan dukungan sirkulasi
-Memastikan volume cairan yang adekuat
-Memberikan dukungan nutrisi

9 | ARDS pada Emergensi

Dukungan nutrisi yang adekuat sangat penting dalam mengobati ARDS.Pasien dengan
ARDS membutuhkan 35-45 kkal/kg sehari untuk memenuhi kebutuhan normal.Pemberian
makan enteral adalah pertimbangan pertama,namun nutrisi parenteral total dapat saja
diperlukan.
Secara umum obat-obat yang diberikan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
Obat untuk menekan proses inflamasi
1. Kortikosteroid
Saat ini efek steroid masih dalam penelitian dan penggunaan secara rutin
tidak dianjurkan kecuali bila ada indikasi yang spesifik yang berkaitan dengan
penyakit dasarnya. Steroid dapat mengurangi pembentukan kolagen dan
meningkatkan penghancuran kolagen sehingga penggunaannya mungkin
bermanfaat untuk mencegah fibrosis paru pada pasien yang bertahan hidup.
Kortikosteroid biasanya diberikan dalam dosis besar, lebih disukai
metilprednisolon 30 mg/kg berat badan secara intravena setiap 6 jam.
2. Protaglandin E1
Obat ini mempunyai efek vasodilator dan antiinflamasi serta antiagregasi
trombosit. Sebanyak 95% PGE1 akan dimetabolisme di paru sehingga bersifat
selektif terhadap pembuluh darah paru dengan efek sistemik yang minimal.
Pemberian secara aerosol dilaporkan dapat memperbaiki proses ventilasi
perfusi karena menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada daerah paru yang
ventilasinya masih baik. Walaupun demikian penggunaan PGE1 dalam klinis
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
3. Ketokonazol
Dapat menghambat sintesis tromboksan dan leukotrien dan pada sejumlah
kecil kasus dapat bermanfaat untuk pencegahan pada pasien yang mengalami
sepsis akibat trauma multipel.
4. Anti endotoksin dan antisitokinin
Antibodi terhadap endotoksin dan sitokin akhir-akhir ini sedang diteliti.
Sejauh ini penggunaan secara rutin obat-obat ini masih belum dianjurkan.

10 | A R D S p a d a E m e r g e n s i

Obat untuk memperbaiki kelainan faal paru :


Amil nitrit
Dapat diberikan intravena untuk memperbaiki proses ventilasi perfusi
dengan cara meningkatkan refleks pembuluh darah paru akibat hipoksia. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek tersebut.
Oksida nitrit
Pemberian secara inhalasi dalam dosis rendah akan menyebabkan dilatasi
pembuluh darah paru secara selektif khususnya pada daerah paru dengan ventilasi
yang masih baik. efek oksida nitrit ini diharapkan dapat mengurangi pirau
intrapulmonal, memperbaiki proses ventilasi-perfusi sehingga akan meningkatkan
oksigen arteri pulmonalis. Sayangnya hingga saat ini belum ada data yang
menunjukkan prognosis pada pasien yang mendapatkan oksida nitrit
Antibiotik
Karena angka kejadian sepsis tinggi pada pasien yang mengalami ARDS maka
dianjurkan untuk diberikan sejak awal antibiotik yang berspektrum luas, hingga
didapatkan adanya sumber infeksi yang jelas serta adanya hasil kultur.

Komplikasi
Pasien dengan ARDS seringkali emmbutuhkan ventilasi mekanis dengan intesitas
tinggi, mencakup positive end-expiratory pressure (PEEP) tingkat tinggi atau continous
positive airway pressure (CPAP) dan mungkin saja, tekanan udara dengan rata-rata tinggi,
oleh karena itu barotrauma dapat terjadi. Pasien dapat pula mengalami pneumomediastinum,
pneumothoraks atau bahkan keduanya. Komplikasi lain yang potensial terjadi ialah
kecelakaan saat ekstubasi. Bila ventilasi mekanis dibutuhkan dalam jangka waktu panjang,
pasien nyatanya membutuhkan trakeostomi. Dengan perpanjangan intubasi dan trakeostomi,
komplikasi dari saluran napas atas dapat terjadi, seperti edema laring post-ekstubasi dan
stenosis subglotis.
Pasien dengan ARDS memerlukan ventilasi mekanis yang lama dan monitoring
hemodinamik yang invasif, oleh karena itu mereka semua berisiko untuk menderita infeksi
nosokomial serius, seperti pneumonia yang berkaitan dengan ventilator dan sepsis. Insidens
dari pneumonia yang berkaitan dengan ventilator pada ARDS dapat mencapai 55%
dibandingkan pada populasi yang membutuhkan ventilasi mekanis tanpa ARDS. Strategi

11 | A R D S p a d a E m e r g e n s i

preventifnya mencakup peninggian kepala saat tidur, penggunaan subglottic suction


endotracheal tube dan dekontaminasi oral.
Infeksi potensial lain yang bisa terjadi ialah infeksi traktus urinarius oleh karena
pemasangan kateter dan sinusitis oleh karena pemberian makan melalui hidung dan drainase
tube. Pasien dapat pula mengalami kolitis oleh karena Clostridium difficile, sebagai
komplikasi terapi antibiotik spektrum lebar. Pasien dengan ARDS, dikarenakan waktu stay
yang cukup lama di ICU dan perawatan dengan antibiotik multipel, juga bisa mengalami
infeksi

oleh karena organisme

resisten banyak

obat seperti

methicillin-resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) dan Vancomycin-resistant Enterococcus (VRE).


Studi yang dilakukan pada sekelompok survivor ARDS, melaporkan terjadinya
gangguan fungsi yang signifikan pada 1 tahun pertama, utamanya disebabkan oleh kelelahan
dan kelemahan otot. Perawatan dengan kortikosteroid dan penggunaan blokade
neuromuskuler merupakan faktor risiko yang menyebabkan hal ini.
Pasien dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan ventilasi mekanis. Untuk itu,
dapat diberikan sedasi secara rutin, pemberian terapi fisikawal, menjaga nutrisi psien dan
penggunaan protokol weaning yang benar, untuk mengurangi durasi perbaikan setelah
penggunaan ventilasi mekanis.
Gagal ginjal ialah komplikasi yang lebih jarang pada ARDS, secara khusus mungkin
karena sepsis pasien. Gagal ginjal dapat berkaitan dengan hipotensi, obat-obatan nefrotoksik,
atau penyakit yang mendasari sebelumnya. Manajemen cairan akan menjadi lebih sulit pada
konteks ini, khususnya bila pasien mengalami oliguria. Kegagalan beberapa sistem organ,
dibandingkan gagal napasnya sendiri, sering menjadi penyebab kematian pasien ARDS.
Komplikasi potensial lainnya, seperti ileus, stress gastritis dab anemia. Profilaksis
stress ulcer diindikasikan untuk pasien-pasien ini. Anemia dapat dicegah dengan penggunaan
epopoietin.8

Prognosis
Angka mortalitas pada pasien ARDS telah menurun dengan adanya perbaikan pada
pelayanan emergensi, serta pengenalan tatalaksana menggunakan tidal volume yang rendah.
Mortalitas ARDS sekarang ialah 41-65%, dengan penyebab paling sering sepsis dan gagal
organ multipel.8 Mayoritas pasien meninggal setelah 7 hari.5 Risiko mortalitas meningkat
seiring dengan usia, adanya gagal organ yang telah ada sebelumnya (gagal hati kronis,gagal
ginjal kronis, penyakit immunosupresan kronis,dll), adanya penyakit paru langsung
(pneumonia, aspirasi) dibandingkan dengan penyakit non-paru (sepsis, trauma, pakreatitis). 7
12 | A R D S p a d a E m e r g e n s i

Pasien yang dapat bertahan dapat memiliki fungsi paru yang normal kembali dalam 6 bulan
hingga 12 bulan.6

Kesimpulan
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah sekumpulan gejala dan tanda
yang terdiri dari gagal napas akut, dengan perbandingan antara PaO2/FiO2 <200 mmHg,
terdapat gambaran infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan gambaran edema paru pada
foto toraks dan tidak ada hipertensi atrium kiri serta tekanan kapiler wedge paru <18 mmHg.
Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS ialah dengan pengaturan volume tidal
rendah (4-6 mL/kgBB), PEEP yang adekuat, untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 >
60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman.

Daftar Pustaka
1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine. 18th ed. United States of America: McGraw-Hill;
2012.p.2205-9.
2. Mahadevan SV, Garmel GM. An introduction of clinical emergency medicine. 2nd ed.
New York: Cambridge University Press; 2012.
3. Raghavendran K, Napolitano LM. Critical care clinics.Vol.27(3). July 2011.
4. Rahmalia A, alih bahasa. Anamnesis at a glance. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2011.h.26-7.
5. Goldman L, Schafer AI. Goldmans cecil medicine. 24 th ed. Philadelhia: Elsevier;
2012.p.626.
6. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. United States of
America: McGraw-Hill; 2010.p.291-3.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi Ke-5. Jilid 1. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
8. Harman EM. Acute respiratory distress syndrome. Medscape 2014 Feb 18. Available
from URL : http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview
9. Root RK. Clinical infectious diseases: a practical approach. New York: Oxford
University Press; 2004.p.558-64.
13 | A R D S p a d a E m e r g e n s i

14 | A R D S p a d a E m e r g e n s i

Você também pode gostar