Você está na página 1de 21

ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENANGANAN

KASUS KORUPSI DI INDONESIA


(Studi Persepsi Masyarakat Yogyakarta)
Proposal Penelitian
A. Latar Belakang
Kasus korupsi sudah menjadi trend pembicaraan media massa di
Indonesia. Sejak jaman era reformasi hingga tahun 2015 ini pembicaraan kasus
korupsi menjadi topik hangat dan tidak ada habisnya, mulai dari masyarakat yang
tinggal di perkotaan besar hingga pelosok pedesaan. Kasus korupsi yang membuat
hati masyarakat miris adalah kasus korupsi yang banyak merugikan keuangan
negara, dan keuangan daerah, mulai dari pejabat sektor publik seperti bupati,
walikota, kementrian, kepala dinas, hingga kepala kecamatan atau kelurahan.
Kasus korupsi seperti ini tidak ada habisnya dalam kurun waktu 25 tahun terakhir.
Berdasarkan penulusuran penulis di Internet dan media sosial lainnya, setiap tahun
terdapat orang yang tersandung kasus korupsi lebih dari 10 orang. Dan anehnya
kasus korupsi tersebut banyak yang tidak mengalami proses penegakkan hukum
yang diharapkan, seperti keputusan bebas pada sidang tingkat pertama, hukuman
yang sangat ringan dan tidak sebanding dengan uang yang dikorupsi, bukti-bukti
kasus korupsi yang hilang dan sebagainya.
Kasus korupsi tentunya terkait dengan hukum pidana dan tindak pidana
korupsi. Hukum pidana, dan tindak pidana korupsi memberikan keterangan dan
penjelasan yang kongkrit akan sangsi bagi pelaku yang melanggarnya dan
merugikan keuangan negara khususnya dalam jumlah besar. Lembaga dan isntansi

berwenang seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK (Komisi Pemberantasan


Korupsi) hendaknya bersinergi dalam mengakkan hukum ini. Namun demikian,
seringkali kita melihat di media televisi dan koran-koran bahwa ketiga lembaga
ini tidak bersinergi dengan baik dalam pemberantasan korupsi, dan bahkan saling
menjatuhkan. Kasus terakhir yang tidak luput dari ingatan kita adalah kasus
dugaan korupsi dan dugaan tindak pencucian uang yang dilakukan oleh calon
Kapolri Budi Gunawan. Kasus ini sampai membuat KPK dan Mabes POLRI
bersitegang dan menyebabkan kedua lembaga ini sempat konflik karena samasama memiliki wewenang. Kasus ini juga membuat Presiden Jokowi mengundang
Tim Dewan Pertimbangan Presiden untuk meminta saran dan masukan atas kasus
yang terjadi. Salah satu point penting yang menjadi keputusan Presiden Jokowi
adalah bahwa kedua institusi tidak boleh saling mengkriminalisasi dan harus
bersinergi dalam pemberantasan kasus korupsi.
Kasus Budi Gunawan sebagai contoh kasus korupsi yang ditangani
lembaga terkait menjadi headline di media massa dan televisi. Hal ini terkait
dengan gugatan yang diajukan oleh pihak Budi Gunawan beserta tim kuasa
hukum dalam upaya memperoleh keadilan melalui pra peradilan. Gugatan ini
dilayangkan pada Pengadilan yang saat itu dipimpin oleh Hakim Tunggal, yaitu
Hakim Saprin. Berdasarkan proses pengadilan yang ada, Hakim Saprin kemudian
mengabulkan gugatan pra peradilan Budi Gunawan dan Tim Kuasa hukumnya.
Hal ini seketika membuat pihak Budi Gunawan merasa senang dengan
dikabulkannya gugatan. Namun demikian ternyata ini menjadi trend bagi pihak

tersangka kasus korupsi lainnya seperti Suryadharma Ali untuk juga mengajukan
gugatan pra peradilan meskipun pada akhirnya ditolak oleh hakim.
Jika dilihat dari konteks di atas, kita bisa melihat bahwa seseorang yang
tersangkut kasus korupsi dan sudah menjadi tersangka masih bisa lolos dari
jeratan hukum melalui pra peradilan. Secara teoritis hukum berdasarkan UndangUndang Nomer 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 Pasal 2
dinyatakan bahwa segala sesuatu perbuatan yang merugikan keuangan Negara
dan atau perekonomian Negara, memenuhi unsur hukum, dan bertujuan
memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi adalah masuk dalam
tindak pidana korupsi1. Dari pasal UU ini, jelas menyiratkan suatu kondisi bahwa
lembaga KPK selaku lembaga yang melakukan penyelidikan dan penindakan
kasus korupsi, dan telah menetapkan seseorang sebagai tersangka ternyata masih
bisa lolos dari jeratan korupsi melalui pra peradilan. Kondisi ini tentunya
membuat masyarakat bertanya-tanya akan penegakkan hukum di Indonesia,
khususnya yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
Masih dari UU yang sama yaitu UU Nomer 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang Nomer 20 Tahun 2001 Pasal 5 menyebutkan bahwa penyuapan juga
1 Undang-undang No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 5.

terkait tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsur sebagai penyelenggara


negara dan bertentangan dengan tugas dan kewajiban yang dimiliki sebagai
penyelenggara negara. Dari pasal ini jika kita melihat dalam konteks Indonesia,
juga terdapat banyak kasus korupsi yang terkait dengan penyuapan, dan ternyata
kasus tersebut juga mengalami hal yang sama, yaitu berhenti di tengah jalan atau
setelah masuk sidang pengadilan memperoleh hukuman yang sangat kecil dan
tidak menyentuh aspek keadilan. Kondisi ini juga diperburuk dengan adanya isu
bahwa hakim yang mengadili perkara diduga menerima suap dari pihak tersangka.
Sebenarnya KPK sebagai lembaga yang melakukan tindakan penanganan
kasus korupsi tetap memiliki landasan hukum yang kuat dalam menetapkan
seseorang sebagai tersangka, dasar hukum yang dipegang oleh KPK adalah
Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan KPK, yaitu:
UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi2
UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
dari KKN3
UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidaan korupsi
2
Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan
pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi
UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi4
UU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi5
3
Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas
dari KKN

Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi

Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi

UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang6


Peraturan pemerintah nomor 63 tahun 2005 tentang system manajemen sumber
daya manusia KPK7
Berdasarkan landasan hukum di atas, rasanya sulit untuk bisa dimengerti
bahwa seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ternyata
masih bisa lolos dari jeratan hukum. Hal ini tentunya akan menimbulkan persepsi
di masyarakat bahwa memang ada yang salah dengan penegakkan hukum di
Indonesia, khususnya terkait dengan pemberantasan korupsi. Masyarakat tentunya

Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian


Uang

PP No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya


Manusia KPK

akan memiliki kesan tidak percaya lagi akan penegakkan hukum di Indonesia.
Berdasarkan gambaran di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai persepsi masyarakat akan penanganan kasus korupsi di Indonesia. Bagi
penulis penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan, sebab masih sangat sedikit
para ahli hukum yang melakukan penelitian sejenis. Alasan berikutnya adalah
bahwa penelitian ini akan menggugah pandangan masyarakat Indonesia akan
penanganan kasus korupsi di Indonesia, dengan harapan masyarakat akan ikut
aktif dan peduli dalam memberikan masukan bagi pihak terkait dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia. Alasan ketiga adalah bahwa masyarakat
Yogyakarta merupakan masyarakat terpelajar dan berpendidikan. Kondisi ini
tentunya akan memberikan suatu khasanah dan gambaran tersendiri mengenai
pemberantasan kasus korupsi di Indonesia dan apa yang seharusnya dilakukan
oleh pihak terkait, dengan harapan bahwa masyarakat Yogyakarta sebagai
masyarakat terpelajar akan memiliki respon yang dapat diterima secara lokal dan
nasional mengenai penanganan korupsi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran pada latar belakang masalah di atas, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana persepsi masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus


korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus
korupsi yang seharusnya dilakukan oleh pihak terkait?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan kasus
korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Yogyakarta terhadap penanganan
kasus korupsi yang seharusnya dilakukan oleh pihak terkait.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat umum
Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan kajian informasi mengenai penanganan
kasus korupsi di Indonesia, sehingga masyarakat umum akan mengetahui
gambaran kasus korupsi yang terjadi selama ini, dan bagaimana proses
penanganannya oleh pihak terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.
2. Bagi mahasiswa
Penelitian ini juga akan bermanfaat bagi mahasiswa, yaitu sebagai referensi
bagi penelitian sejenis untuk penelitian yang akan datang. Penelitian ini
diharapkan berfungsi sebagai dasar penyempurnaan penelitian berikutnya.
3. Bagi pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK
Penelitian ini bermanfaat bagi pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk
lebih bersinergi dan bekerjasama dalam penanganan kasus korupsi di
Indonesia.

Tinjauan Pustaka

E. Tinjauan Pustaka

1. Definisi dan Ruang Lingkup Korupsi


Definisi korupsi menurut kamus Bahasa Indonesia adalah
segala perbuatan yang termasuk memperkaya diri sendiri dengan
cara menipu atau merugikan orang lain dan pihak lain 8. Dari definisi
ini terlihat jelas bahwa perbuatan yang memperkaya diri sendiri dan
juga memperkaya pihak lain dengan merugikan keuangan daerah,
keuangan negara, maupun merugikan instansi atau organisasi
dimana orang tersebut bekerja dapat dikategorikan sebagai korupsi.

Korupsi juga adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat
merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Kita melihat akhir-akhir ini
banyak sekali pemberitaan dari koran maupun media elektronik yang banyak
8

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama

sekali memberitakan beberapa kasus korupsi di beberapa daerah di Indonesia


yang oknumnya kebanyakan berasal dari pegawai negeri yang seharusnya
mengabdi untuk kemajuan bangsa ini.
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi
adalah: Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Korupsi merupakan penyakit negara yang sangat berdampak pada
pembangunan, tatanan sosial dan juga politik. Korupsi mempunyai
karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan
melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian
suatu kenyataan. Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara
baik secara langsung maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari
aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran hak
orang lain yang berat.
Tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan publik dimana
tidak dibutuhkan laporan oleh siapapun sebagai syarat untuk melakukan proses
hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindakan tersebut. Jika dalam
pidana umum proses hukum dimulai dari tahap penyelidikan oleh pihak
Kepolisian sebelum dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan, maka dalam tindak

10

pidana korupsi penyelidikan juga bisa dilakukan oleh Kejaksaan, maupun KPK
sehingga proses hukum tidak harus melalui tahap di Kepolisian.

2. Lembaga Berwenang Yang Menangani Korupsi

Sebagaimana diketahui bahwa lembaga yang berwenang dalam


melakukan penindakan korupsi adalah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Ketiga lembaga ini memiliki kewenanganan dalam penindakan korupsi
termasuk meneruskannya ke sidang pengadilan. Namun demikian KPK
memiliki otoritas lebih dalam untuk melakukan tindak penanganan korupsi,
baik itu mulai anggota DPR dan DPRD, kementrian, dan dinas-dinas.
Pada awalnya pembentukan KPK diiringi dengan semangat yang
tinggi untuk memberantas korupsi, namun beberapa bulan terbentuk
tampaknya KPK dibiarkan untuk statis. Hal tersebut terjadi karena kesalahan
pemerintah dan DPR pada waktu itu yang tidak serius memfasillitasi KPK
untuk membangun infrastruktur yang kuat. Hal ini terbukti dengan KPK tidak
memiliki penyidik sendiri, tidak punya pegawai, tidak punya gedung yang
representatif dan tidak punya peralatan serta infrastruktur untuk bergerak
cepat. Dalam tahun pertama menjalankan peranannya sebagai ujung tombak
memerangi korupsi, KPK menghadapi beberapa kendala yang klasik antara
lain keterlambatan pencairan dana dari pemerintah. Hal ini mengundang
kritik pedas dari berbagai pihak bahwa KPK hanya mencari-cari alasan
apabila ditagih tentang kinerja pimpinan KPK. Dalam menangani kasus,
KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses dalam
penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas

11

Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memerangi
korupsi. Disamping itu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan,
penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang
dalam melaksanakan pelayanan publik. Selanjutnya KPK mengambil alih
kasus korupsi yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan apabila :
1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
2. Proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarutlarut/ tertunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan;
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
korupsi yang sesungguhnya;
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5. Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur
tangan dari Eksekutif, Yudikatif atau Legislatif; atau
6. Keadaan lain yang menurut pertimbangnan Kepolisian atau Kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.

12

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga


diberi kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang :
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum dan penyelenggara negara;
2. Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar
rupiah).
Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai
tindak pidana luara biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan
kewenangan yang tidak dimiliki institusi lain yaitu:
1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
berpergian keluar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi terkait;

13

6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,


dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti
diluar negeri;
8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki KPK di atas sempat membuat
banyak kalangan memiliki kekhawatiran besar, bahwa KPK akan bertindak
arogan dalam pemberantasan korupsi. Namun demikian harapan besar
masyarakat juga adalah bahwa KPK tetap menjalankan tugasnya dengan tetap
berpegang pada koridor hukum, etika serta tidak arogan. Dari penjelasanpenjelasan di atas, penulis mencantumkan dasar hukum bagi KPK sebagai
lembaga yang melakukan penindakan terhadap korupsi yaitu:
UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan
bebas dari KKN
UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidaan korupsi

14

Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat


dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi
UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
UU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi
UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
Peraturan pemerintah nomor 63 tahun 2005 tentang system manajemen
sumber daya manusia KPK

Bab III
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian
deskriptif kuantitatif merupakan kegiatan penelitian yang hendak membuat
gambaran atau mencoba menggambarkan suatu peristiwa, kondisi, atau gejala,

15

secara sistematis, faktual, dengan berdasarkan data-data angka yang akurat910.


Dalam hal ini, jenis penelitian ini digunakan dalam mengetahui persepsi
masyarakat Yogyakarta mengenai penanganan kasus korupsi di Indonesia.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di wilayah Yogyakarta

3. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan warga Yogyakarta yang
menjadi subjek penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari warga
Yogyakarta yang memenuhi kriteria pengambilan sampel. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling
9

Supardi (2005), Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis,


Yogyakarta: UII PRESS

10

Sarwono dan Martadiredjo (2008), Riset Bisnis Untuk Pengambilan


Keputusan, Yogyakarta:
ANDI

16

merupakan teknik pengambilan sampel dimana peneliti telah membuat kriteria,


atau batasan pengambilan sampel11. Kriteria yang digunakan adalah sampel
(responden) yang memiliki usia minimal 25 tahun, berjenis kelamin pria dan
wanita, berpendidikan minimal diploma 3, dan yang sudah bekerja. Penulis
menggunakan kriteria ini dikarenakan sampel (responden) tersebut dianggap
memiliki pemahaman yang baik akan penanganan kasus korupsi di Indonesia.
4.

Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka,

dan angket12. Studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan literatur-literatur,


kajian teori, dan penelitian terdahulu terkait dengan penelitian yang penulis
11

Indriantoro dan Supomo (2002), Metodologi Penelitian Bisnis untuk


Akuntansi dan
Manajemen, Yogyakarta: BPFE UGM

12

Masyhuri dan Zainuddin (2008), Metodologi Penelitian: Pendekatan


Praktis dan Aplikatif,
Bandung: Refika Aditama
17

lakukan13. Sedangkan angket digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat


Yogyakarta terhadap penanganan kasus korupsi di Indonesia. Penulis tidak
menggunakan metode wawancara dan observasi dikarenakan melalui studi
literatur dan angket sudah cukup mewakili dalam pengumpulan data
penelitian14.Metode pengumpulan data melalui studi literatur dan angket juga
sangat lazim digunakan pada penelitian mahasiswa umumnya.

5.

Alat Analisis Penelitian


Alat analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis

kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk memberikan


gambaran penanganan kasus korupsi di Indonesia. Sedangkan analisis kuantitatif
13

Rangkuti (2002), Riset Pemasaran, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


14

Azwar (2007), Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


18

digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat Yogyakarta terhadap


penanganan kasus korupsi tersebut. Alat analisis kuantitatif ini juga sangat terkait
dengan angket yang digunakan15. Di dalam angket, terdapat pertanyaanpertanyaan yang harus diisi oleh responden mengenai penanganan kasus korupsi
di Indonesia. Jawaban pertanyaan angket menggunakan skala likert yang dimulai
dari skor 1 sampai dengan skor 516. Di dalam angket juga akan berisikan biodata
responden. Untuk melakukan analisis data kuantitatif, peneliti menggunakan alat
bantu program SPSS 17.0 untuk memudahkan penginterpretasian hasil analisis.
Dalam memproses data kuantitatif yang diperoleh, penulis menggunakan
distribusi frekuensi, statistik deskriptif yang disertai dengan grafik pie, dan grafik

15

Sugiyono (2007), Statistik untuk Penelitian, Bandung: ALFABETA


16

Husein Umar (2003), Metode Riset Perilaku Organisasi, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama
19

histogram. Berikut disajikan contoh skala jawaban dari pertanyaan penanganan


kasus korupsi di Indonesia:
Skala 1 (skor 1) = Sangat buruk
Skala 2 (skor 2) = Buruk
Skala 3 (skor 3) = Cukup baik
Skala 4 (skor 4) = Baik
Skala 5 (skor 5) = Sangat baik

Daftar Pustaka

Undang-undang dan peraturan pemerintah:


Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan
pemberian penghargaan dalam pencegahaan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi
Peraturan pemerintah nomor 63 tahun 2005 tentang system manajemen sumber
daya manusia KPK
UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
dari KKN
UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidaan korupsi

20

UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi


UU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi
UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
Buku-buku:
Azwar. (2007). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Husein Umar. (2003). Metode riset perilaku organisasi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Indriantoro & Supomo. (2002). Metodologi penelitian bisnis: untuk akuntansi
dan manajemen. Yogyakarta: BPFE UGM.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Masyhuri & Zainuddin. (2008). Metodologi penelitian: pendekatan praktis dan
aplikatif. Bandung: Refika Aditama.
Rangkuti. (2002). Riset pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sugiyono. (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Supardi. (2005). Metodologi penelitian ekonomi dan bisnis. Yogyakarta: UII
PRESS.

21

Você também pode gostar