Você está na página 1de 12

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Penelitian Pembelajaran Fisika


Dosen Pengampu: Dr. Triyanto, SH. MHum.

Disusun Oleh:
AKHMAD RIZAL BUSTHOMI (K2312002)
AWALIA RIFDAH N.K. (K2312014)
AYA SOFIA (K2312015)
BAGASWARA DEAS ARISTA (K2312017)
NURI ISTIFAH KHASANAH (K2312055)
RIZAL MUSTOFA (K2312060)
SUNARTI (K2312069)
PENDIDIKAN FISIKA 2012

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUUX/2012 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22
TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
A. OBJEK DAN SUBJEK PERKARA
1. Objek Perkara
Objek perkara yang dimaksud di sini adalah terkait perkara apa yang dimohonkan
oleh pihak Pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Objek perkara konstitusi yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi,
diantaranya adalah:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 tersebut terlihat
jelas bahwasanya objek dari perkara yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi tersebut
adalah terkait pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya rumusan Pasal 310 undang-undang tersebut,
yaitu berbunyi:
1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00- (Satu Juta
Rupiah)
2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan
kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
2.000.000,00- (Dua Juta Rupiah)

3) Setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya


mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00- (Sepuluh Juta Rupiah)
4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda Rp. 12.000.000,00- (Dua Belas Juta Rupiah)
2. Subjek Hukum ( Para Pihak )
Pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi tentu ada para pihak atau subjek
hukum yang mengajukan permohonan perkara tersebut. Para pihak dalam perkara di
Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengenal yang namanya Penggugat dan Tergugat,
akan tetapi memakai istilah pihak Pemohon sebagai pihak yang mutlak harus ada dan
jelas

tercantumkan

di

dalam

suatu

surat

permohonan,

kemudian

adanya pihak Termohon atau Pihak Terkait.


Syarat-syarat dari para pihak yang dapat dikatakan sebagai Pemohon dalam
pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah tergantung pada 4 (empat) bentuk
permohonan perkara (objek perkara) yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi itu
sendiri, dimana masing-masing tersebut telah diatur di dalam Undang-undang
Mahkamah Konstitusi, diantaranya :
a. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar.
Merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan
c. Pembubaran partai politik
Pemohon adalah Pemerintah.
d. Perselisihan hasil pemilihan umum
Merupakan perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah peserta pemilihan umum;
Merupakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden; dan
Merupakan partai politik peserta pemilihan umum.

Pada contoh

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

Nomor 57/PUU-X/2012 terkait

pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pihak yang
berperkara adalah :
a. Pemohon
Nama
Kewarganegaraan
Alamat

:
:
:

Saipul Jamil
Indonesia
Jalan Gading Indah Utara VI Nomor 05 Blok NH 10
RT/RW

Pekerjaan

025/012,

Kelurahan

Pegangsaan

Dua,

Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara


Swasta

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Mei 2012 dan 19 Juni 2012
memberi kuasa kepada 1) R.M Tito Hananta Kusuma,SH,.MH., 2) Andi Faisal,
SH,.MH.,

3)

Teguh

Prasetyo,SH.,

4)

Roland

Hutabarat,SH,

5)

Arvid

Martdwisaktyo,SH., 6) Rioberto P Sidauruk,SH., 7) Ihwansyah A Udaya,SH., 8)


Santoso SH, Advokat/Pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Tito
Hananta Kususma & Co
b. Termohon atau Pihak Terkait
Secara Eksplisit yang disebut dengan pihak Termohon hanyalah untuk sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, sedangkan untuk pembubaran partai
politik, perselisihan hasil pemilu, dan impeachmentadanya pihak Termohon bersifat
implisit, dan bahkan untuk pengujian konstitusionalitas undang-undang tidak ada pihak
Termohon, DPR dan Pemerintah (Presiden) hanya pemberi keterangan sebagai
pembentuk undang-undang (Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 131).
Berdasarkan hal di atas, maka perkara dalam contoh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak ada yang namanya Pihak Termohon,
akan tetapi dalam perkara tersebut Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
hanyalah sebagai pemberi keterangan atas dasar permintaan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang

berkenaan

dengan

permohonan

yang

sedang

diperiksa

kepada

Majelis

Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.


Hal demikian berlaku karena berkaitan erat dengan amanat konstitusi yang
menyebutkan bahwa Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat membentuk
Undang-undang,

sehingga

beralasanlah

kalau Mahkamah

Konstitusi

meminta

keterangan dan/atau risalah rapat terkait pembentukan UU yang merupakan


permohonan yang sedang diperiksa.
B. KEDUDUKAN PERKARA
1. Pokok Permohonan ( Posita)
Di dalam permohonan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012
yang diajukan oleh Saipul Jamil beserta kuasanya yang dalam hal ini bertindak sebagai
Pemohon, yang menjadi pokok-pokok permohonannya (Posita) adalah:
a. Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo (Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) tidak memberikan penjelasan secara khusus
mengenai frasa kelalaiannya dan orang lain sehingga tidak memberikan
kepastian hukum, terdapat potensi ketidakadilan terhadap diri Pemohon yang
bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-undang a quosehingga merugikan Pemohon incasu melanggar Pasal
28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi Setiap orang berhak atas pengakuan ,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum juncto Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.
b. Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo sepanjang frasa kelalaiannya dan orang
lain yang sudah diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang pada intinya mengatur tentang kelalaian yang mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain. Bahwa dalam Pasal 310 Undang-Undang a quo juga
mengatur rumusan perbuatan dan akibat yang sama tetapi ancaman hukumannya
lebih berat yaitu 6 (enam) tahun penjara, sehingga dapat dikatakan Pasal 310
Undang-Undang a quo merupakan aturan yang lebih khusus (lex specialis) dari
Pasal 359 KUHP sebagai aturan yang lebih umum (lex generalis).

Dengan demikian, kalaulah ada aturan yang lebih khusus (lex specialis) in
casu Pasal 310 Undang-Undang a quo. Menurut hemat Pemohon haruslah ada
kondisi yang lebih khusus lagi dalam hal yang bagaimana frasa kelalaiannya
tersebut didefenisikan dalam Pasal 310 Undang-Undang a quo. Oleh karenanya
Pemohon dalam permohonannya memohon agar frasa kelalaiannya didefenisikan
lebih khusus lagi,misalnya :
Yang dimaksud dengan kelalaiannya adalah dalam hal seseorang keadaan
seseorang yang menkonsumsi zat-zat adiktif, minuman beralkohol, Narkotika (baik
berupa tanaman maupun bukan tanaman) yang mengakibatkan hilang atau
berkurangnya kesadaran dan melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak wajar dalam
berkendara.
c. Bahwa sebagai akibat tidak adanya penafsiran dalam Pasal 310 Undang-Undang a
quo, sepanjang frasa kelalaiannya dan orang lain maka pasal tersebut dapat
menimbulkan

kerugian

ketidakpastian

hukum

dan

dapat

melanggar

hak

konstitusional Pemohon.
2. Petitum
Berdasarkan dalil-dalil yang tercantum dalam pokok permohonan di atas,
Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk :
a. Memberikan penafsiran yang lebih khusus atas Pasal 310 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sepanjang frasa
kelalaiannya dan orang lain.
b. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
C. PANDANGAN AHLI
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan
bahwa dapat dilakukannya Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah jika Pemohon menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, dimana lebih
lanjut diatur dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa kerugian konstitusional
tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta harus adanya hubungan
sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan
pengujiannya.

Hal demikian sejalan dengan yang dipaparkan oleh Dr. Moh.Mahfud MD, di dalam
bukunya Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia yang menyebutkan diantara syaratsyarat (ciri-ciri) pemerintahan yang demokratis di bawah Rule Of Law adalah adanya
perlindungan konstitusional, dan Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
Perlindungan konstitusional yang dipaparkan tersebut mengandung arti bahwasanya
suatu negara yang dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah selain menjamin hak-hak
individu konstitusi juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut.
Gustav Rabruch dalam Fery Amsary, Terdapat tiga nilai yang harus selalu
diperhatikan dalam menegakkan hukum, yaitu; Kepastian hukum, kemanfaatan, dan
keadilan. Pendapat Gustav Rabruch tentu akan dapat dijadikan salah satu pedoman bagi
Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara disamping adanya pedoman-pedoman
lainnya.
D.

ANALISIS
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan, Mahkamah
Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia, merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan, yang memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final, artinya tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan dan karenanya
Putusan tersebut akan mengikat para pihak secara umum dimana para pihak tersebut harus
tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut.
Oleh karena putusan bersifat final tersebut, maka jelaslah bahwasanya Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya segala hal
menyangkut perkara yang diajukan oleh Pemohon sebagai salah satu bentuk usaha untuk
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi.
Secara keseluruhan jika kita sudah berada pada penganalisaan suatu Putusan
Mahkamah Konstitusi maka secara tidak langsung hal tersebut telah menunjukkan bahwa
prosedur sebelum perkara dapat diadili di Mahkamah Konstitusi sudah terpenuhi dan telah
melalui tahap-tahap atau proses pemeriksaan di persidangan Mahkamah Konstitusi, seperti
syarat-syarat dari pengajuan suatu permohonan perkara yang didaftarkan , baik itu syarat-

syarat yang melekat pada diri para pihak maupun pada objek yang dimohonkan ,
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Maka untuk selanjutnya Penulis akan mencoba menjelaskan dan menguraikan satu
per satu dari hal-hal yang perlu untuk disoroti lebih jauh lagi terkait penganalisaan
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
1. Isi/Bagian Putusan
Secara umum yang menjadi Isi atau Bagian dari suatu Putusan Mahkamah
Konstitusi adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi:
a. Kepala Putusan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
b.
c.
d.
e.
f.
g.

YANG MAHA ESA;


Identitas para pihak;
Ringkasan permohonan;
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
Pertimbangan hukum yang menjadi dasar Putusan;
Amar putusan;
Hari, tanggal putusan, nama Hakim Konstitusi, dan Panitera.
Menurut hemat Penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012

terkait pengujian UU Nomor 22 Tahun 2009 terhadap Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan sudah memenuhi syarat dari Isi
atau Bagian-bagian yang harus termuat dalam suatu Putusan Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU MK tersebut di atas.
2. Kompetensi Mengadili
Perkara yang diajukan oleh Pihak Pemohon Saipul Jamil ke Mahkamah
Konstitusi, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 10 UU MK, maka perkara yang
diajukan tersebut adalah termasuk kedalam salah satu dari wewenang Mahkamah
Konstitusi, yaitu menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi hal
tersebut belumlah serta merta menunjukkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena
selain dari pada itu yang perlu diperhatikan dalam pengujian UU terhadap UUD 1945,
juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 50 UU MK bahwa Undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah Undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945.
Jika dilihat dan dibandingkan antara tahun perubahan terakhir UUD 1945 dengan
tahun diundangkannya Undang-undang yang diajukan untuk di uji di Mahkamah
Konstitusi yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009, maka UU yang diujikan oleh Pemohon

Saipul Jamil ke MK sudah memenuhi ketentuan dari Pasal 50 UU MK tersebut, karena


UU tersebut dibuat dan disahkan setelah terjadinya perubahan UUD 1945.
3. Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemohon yang dapat
mengajukan permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-undang.
Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan konstitusinya dirugikan oleh
Undang-undang adalah sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/25 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor II/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 adalah bahwasanya
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidaktidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 dimana
Saipul Jamil sebagai Pihak Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan perkaranya ke Peradilan Mahkamah Konstitusi.
4. Pertimbangan Hukum
Secara garis besar pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012
terkait pengujian Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 terhadap UUD 1945 tersebut
Penulis sependapat dengan dengan pertimbangan tersebut.
Namun, disamping itu masih ada pendapat Majelis Hakim dalam pertimbangan
hukum terhadap perkara tersebut yang menurut Penulis masih kurang tepat, ialah yang
mana salah satu pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terkait
frasa kelalaiannya yang diartikan bahwasanya dalam Pasal 28 G Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak melarang Negara melalui Undangundang menjatuhkan pidana terhadap orang yang nyata-nyata lalai.
Akibat pertimbangan Majelis Hakim tersebut, Pemohon tetap merupakan Subjek
hukum yang termasuk kedalam kategori lalai, yaitu lalai dalam mengendarai
kendaraannya yang mengakibatkan meninggalnya istri Pemohon sendiri, yang menjerat
pemohon dalam kasus pidana, yang merupakan perkara yang terpisah dengan
permohonan perkara pemohon di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Penulis, seharusnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus
memberikan penafsiran yang jelas atas frasa kelalaian dalam Pasal 310 UU Lalu

Lintas ssebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon dalam pengajuan perkara di MK


tersebut.
Karena Penulis beranggapan bahwa harus adanya kejelasan-kejelasan sebabsebab kelalaian yaitu disamping kelalaian mengakibatkan dapat dipidananya
seseorang, akan tetapi juga harus adanya suatu pertimbangan pemaafan dalam hal
kelalaian tersebut, dan dalam hal ini meninggalnya seseorang dalam kecelakaan lalu
lintas yang dimana pengendaranya sendiri memiliki hubungan keluarga dengannya.
Seharusnya untuk hal tersebut Majelis Hakim memberikan penafsiran suatu perbuatan
yang diluar kehendak orang yang bersangkutan.
Oleh karena itu frasa kelalaiannya tersebut tidak tepat jika ditujukan untuk
kasus yang menimpanya (Saipul Jamil) tersebut.
5. Amar Putusan
Setelah semua pemeriksaan di persidangan dilakukan, selanjutnya adalah tahap
penjatuhan putusan akhir. Amar putusan adalah apa yang diputuskan secara final oleh
Mahkamah Konstitusi.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah dilakukannya
pemeriksaan perkara di persidangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Mahkamah Konstitusi, bentuk-bentuk
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat berupa :
a. Menyatakan permohonan tidak dapat diterima,jika dalam hal Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat
dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU MK.
b. Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan.
c. Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal pembentukan Undang-undang
dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Menyatakan permohonan ditolak, jika dalam hal undang-undang dimaksud tidak
bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagaian atau keseluruhan.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 yang menjadi Amar
Putusan/Putusan akhir Majelis Hakim terhadap perkara yang diajukan Pemohon
sebagaimana yang telah diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim tanggal

8 Agustus 2012, yaitu mengadili MENYATAKAN MENOLAK PERMOHONAN


UNTUK SELURUHNYA
Dengan dinyatakannya permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya, maka
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
diperkarakan oleh Pemohon akan tetap berlaku, dimana dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi berpandangan bahwasanya Undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak
bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang
dijadikan acuan oleh Pemohon dalam mengajukan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA
Anneka Saldian Mardhiah. 2013. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi.
http://annekasaldianmardhiah.blogspot.com/2013/03/analisis-putusan-mahkamahkonstitusi.html (diakses pada 18 Mei 2015 pukul 14.28 WIB)
Mahkamah Konstitusi. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=57%2FPUU-X%2F2012 (diakses pada 18
Mei 2015 pukul 14.28 WIB)

Você também pode gostar