Você está na página 1de 27

BAB I

PENDAHULUAN

Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan


keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesi sendiri terdiri dari tiga jenis, yakni secara lokal,
regional dan secara umum.1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible
akibat pemberian obat obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral .
Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
tanpa kehilangan kesadaran. Analgesia regional paling sering dikerjakan, terutama blok
spinal yang dengan bertambahnya waktu pengerjaan paling sering digunakan karena
tekniknya sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.2
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2004, diabetes melitus merupakan
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

4,5

Tahun 1992, lebih dari 100 juta

penduduk dunia menderita DM dan pada tahun 2000 jumlahnya meningkat menjadi 150 juta
yang merupakan 6% dari populasi dewasa. Jumlah penderita diabetes melitus di Amerika
Serikat pada tahun 1980 mencapai 5,8 juta orang da pada tahuun 2003 meningkat menjadi
13,8 juta orang. Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes
tersbesar didunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Dengan prevalensi 8,4% dari total
penduduk, diperkirakan pada tahun 1995 terdapat 4,5 juta pengidap diabetes dan pada tahun
2025 diperkirakan meningkat menjadi 12,4 juta penderita. Penelitian epidemiologis di
Manado mendapat prevalensi DM 6,1%. Penelitian terakhir tahun 2005 prevalensi DM tipe
dikota Makassar mencapai 12,5%. 3
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus dibeberapa negara berkembang, akibat
peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Perubahan gaya hidup terutama di kota
kota besar, menyebabkan peningkata prevalensi penyakit degeneratif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1

Anestesi Blok Subarakhnoid


1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal atau
blok subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis.
Batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.5

2. Indikasi dan Kontraindikasi:


Indikasi :5

Bedah ekstremitas bawah

Bedah panggul

Tindakan sekitar rektum perineum

Bedah obstetrik-ginekologi

Bedah urologi

Bedah abdomen bawah

Kontraindikasi absolut:5

Pasien menolak

Infeksi pada tempat suntikan

Hipovolemia berat, syok

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

Tekanan intrakranial meningkat

Fasilitas resusitasi minim

Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif4:

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)

Infeksi sekitar tempat suntikan

Kelainan neurologis

Kelainan psikis

Bedah lama

Penyakit jantung

Hipovolemia ringan

Nyeri punggung kronis

3. Persiapan dan peralatan analgesia spinal :


Persiapan analgesia spinal:5
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali
sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di
bawah ini:
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated partial
thromboplastine time)
Peralatan analgesia spinal:5
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesi umum
3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock) atau
jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
4. Teknik analgesia spinal:
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.5
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.

5. Komplikasi Anastesi Spinal :


Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.5
Komplikasi tindakan :5
1.

Hipotensi berat
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah
terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal
merupakan manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena : (1)
Penurunan darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif
karena venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh
darah sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena
penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.5
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah
blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri
menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik
sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai
akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini
tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak
adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya pada
pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri). Dikatakan
hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100
mmhg, atau penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya
perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu kejadian
hipotensi harus dicegah.5
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat
spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat
(RL) dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin.
Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric
sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal.
Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung

yang menstimuli reseptor 1, 2, 1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan


melepaskan nor-epinefrin endogen.5
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut
jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah
splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot.
Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan
infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV
5-10 mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal.5
2.

Bradikardia5
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman

tentang

mekanisme

homeostasis

yang

bertujuan

untuk

mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat


perubahan kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.5
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan.
Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting
mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan
tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan
efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan
respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi
perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah
dan frekuensi denyut nadi.5
3.

Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4.

Trauma pembuluh saraf

5.

Trauma saraf

6.

Mual-muntah

7.

Gangguan pendengaran

8.

Blok spinal tinggi atau spinal total


Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:

Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah analgesia

Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas


daerah analgetik

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang


tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml
larutan.

Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal


dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung


berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.

Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat


batas analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin


besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis
obat)

Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan


analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah
dengan posisi pasien.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris


dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.
Komplikasi pasca tindakan4:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai,
semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa
terjadi kebocoran cairan serebrospina l sampai 1-2 minggu. Kehilangan CSS
sebanyak 20 ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal

headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan
pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi
postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :

Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).


Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga

jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.


Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari,
hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :1-3

Memakai abdominal binder


Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang

epidural tempat kebocoran.


Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10% bila
dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas.
Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
4. Retensio urine
5. Meningitis.
6.

Persiapan dan Penilaian Pra Anastesia


Persiapan Tindakan Anestesi4
Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi
(misalnya, lutut kanan).

Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali

Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).


Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur tekanan
tekanandarah arteri.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan
wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi
sebelumnya, adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.
Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil

pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang


dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa
pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
Kelas I
: Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
Melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupan setiap saat.
Kelas V

: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa


pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat
huruf E (E = EMERGENCY).

2.2 Diabetes Melitus


1. Definisi
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Soegondo, 2009). Menurut kriteria
diagnostik PERKENI 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki
kadar gula puasa > 126 mg/dl dan tes sewaktu >200 mg/dl. Kadar gula darah
sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah makan dan akan kembali
normal dalam waktu 2 jam.

Sedangkan menurut WHO, diabetes adalah keadaan

hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara
bersama-sama

mempunyai

karakteristik

hiperglikemia

kronis

tidak

dapat

disembuhkan tetapi dapat dikontrol, dan menurut ADA diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karasteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.7
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus adalah suatu
penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh menggunakan insulin

atau memproduksi insulin. Seseorang dikatakan menderita diabetes melitus jika


memiliki kadar gula darah puasa > 126 mg/dl dan pada tes sewaktu > 200 mg/dl.3
2. Klasifikasi Diabetes Melitus8
a. Diabetes mellitus tipe 18
Diabetes mellitus tipe 1, (insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah
diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat
hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhanspankreas. IDDM
dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.8
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan,
bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki
kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu,
sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita
diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.8
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi
autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.8
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin,
dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor
pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal
sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis
bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga
diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian
injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang
memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis
yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang
dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan
insulin melalui "inhaled powder".8
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan
memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan
yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat
Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka

normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l. Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150
mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih
rendah, seperti "frequent hypoglycemic events".Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l)
seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering
sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya
membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat
glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan
kehilangan kesadaran.8

b. Diabetes mellitus tipe 27-8


Diabetes mellitus tipe 2 (non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM)
merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di
dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan
oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel ,
gangguan sekresihormoninsulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh
disfungsi GLUT10 dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan,
terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulinserta RBP4 yang menekan
penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.
Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom
terpadat yang ditemukan pada manusia.8
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan
hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan
glukoneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi
esterifikasi pada hati.7
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas
terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.
Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan
sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun
semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan
insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan
mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor
predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran

dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosaObesitas
ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2
kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di
dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja
dan anak-anak.8
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik
(olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan
berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika
kerugian berat/beban adalah rendah hati. 8

c. Diabetes mellitus tipe 38


Diabetes mellitus gestasional atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama
kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein
reaktif C pada lintasan patogenesisnya. GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin
atau ibu, dan sekitar 2050% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.8
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 25% dari semua
kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah
melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang
cermat selama masa kehamilan.8
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat
membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh
bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung
bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon
insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom
gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah
merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling
umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan
vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta.
Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau
peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia

bahu.8

3. Tanda dan gejala Diabetes Militus8


Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau
kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana
peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni
(urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine
sering dilebung atau dikerubuti semut.8
Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah
ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita :8

Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria)


Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia)
Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia)
Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria)
Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya
Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki
Cepat lelah dan lemah setiap waktu
Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya
Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

4. Faktor penyebab Diabetes Militus8


Penyakit diabetes bisa disebabkan oleh beberapa faktor pemicu,diantaranya:
a. Pola makan8
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan
oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes mellitus. konsumsi makan yang
berlebihan dan tidak diimbangi dengan sekresi insulin dalam jumlah yang memadai
dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan pastinya akan
menyebabkan diabetes melitus.
b. Obesitas (kegemukan)8
Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung memiliki
peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes militus. Sembilan dari sepuluh
orang gemuk berpotensi untuk terserang diabetes mellitus.

c. Faktor genetis7
Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen penyebab
diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes
mellitus. Pewarisan gen ini dapat sampai ke cucunya bahkan cicit walaupun
resikonya sangat kecil.
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan8
Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang
pankreas, radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi pankreas menurun
sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh
termasuk insulin. Segala jenis residu obat yang terakumulasi dalam waktu yang
lama dapat mengiritasi pankreas.
e. Penyakit dan infeksi pada pancreas8
Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat menyebabkan
radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan fungsi pankreas turun sehingga
tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk
insulin. Penyakit seperti kolesterol tinggi dan dislipidemia dapat meningkatkan
resiko terkema diabetes mellitus.
f. Pola hidup8
Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab diabetes mellitus. Jika
orang malas berolah raga memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit
diabetes mellitus karena olah raga berfungsi untuk membakar kalori yang
berlebihan di dalam tubuh. Kalori yang tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor
utama penyebab diabetes mellitus selain disfungsi pankreas. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) mengatakan, kasus diabetes di negara-negara Asia akan naik hingga
90 persen dalam 20 tahun ke depan. Dalam 10 tahun belakangan, jumlah
penderita diabetes di Hanoi, Vietnam, berlipat ganda. Sebabnya? Di kota ini,
masyarakatnya lebih memilih naik motor dibanding bersepeda, kata Dr Gauden
Galea, Penasihat WHO untuk Penyakit Tidak Menular di Kawasan Pasifik Barat.
Kesimpulannya, mereka yang sedikit aktivitas fisik memiliki risiko obesitas lebih
tinggi dibanding mereka yang rajin bersepeda, jalan kaki, atau aktivitas lainnya.

5. Patofisiologi8

Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal,


seperti hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi
pengamatan yang sedang naik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan
diabetes melitus sering disebut terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau
sindrom Cushing.8
Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering
berakibat pada resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma
hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular
dan berakibat kematian. 8
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan
menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan
asam lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan
terhadap insulin, terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada akromegali,
peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi insulin, oleh karena
berlebihnya GH. 8
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian
banyak orang, tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini
akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa. 8
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi
penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada
hiperglisemia dan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi
glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi,
hiperkoagulasi, dapat meningkatkan risiko kardiovaskular. 8
Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-iodotironina
dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa. 8
Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang
disebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas,
feokromositoma, glukagonoma dan somatostatinoma. 8
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe
1. Sinergi hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-, dijumpai
membawa sinyal apoptosis bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo. Apoptosis sel

beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL, dan/atau hipersekresi molekul


sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4-. 8
6. Komplikasi 6,8
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda),
kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat
menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan
gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila
kontrol kadar gula darah buruk. 8
Komplikasi jangka panjang dari diabetes : 8
Organ/jaringan
yg terkena

Yg terjadi

Komplikasi

Plak aterosklerotik terbentuk & menyumbat arteri

Pembuluh darah

berukuran besar atau sedang di jantung, otak,

Sirkulasi

tungkai & penis.

penyembuhan luka yg jelek & bisa

Dinding
kerusakan

pembuluh
sehingga

darah

kecil

pembuluh

mengalami
tidak

dapat

mentransfer oksigen secara normal & mengalami

yg

jelek

menyebabkan

menyebabkan penyakit jantung, stroke,


gangren kaki & tangan, impoten &
infeksi

kebocoran

Mata

Terjadi kerusakan pada pembuluh darah kecil retina

Gangguan penglihatan & pada akhirnya


bisa terjadi kebutaan

Penebalan pembuluh darah ginjal


Fungsi ginjal yg buruk
Protein bocor ke dalam air kemih

Ginjal

Gagal ginjal
Darah tidak disaring secara normal
Kelemahan tungkai yg terjadi secara
tiba-tiba atau secara perlahan
Kerusakan saraf karena glukosa tidak dimetabolisir

Saraf

secara normal & karena aliran darah berkurang

Berkurangnya rasa, kesemutan & nyeri


di tangan & kaki
Kerusakan saraf menahun

Sistem

saraf

Kerusakan pada saraf yg mengendalikan tekanan

Tekanan darah yg naik-turun

otonom

darah & saluran pencernaan

Kesulitan menelan & perubahan fungsi


pencernaan disertai serangan diare

Berkurangnya aliran darah ke kulit & hilangnya

Kulit

rasa yg menyebabkan cedera berulang

Darah

Penyembuhan luka yg jelek


Mudah terkena infeksi, terutama infeksi

Gangguan fungsi sel darah putih

Jaringan ikat

Luka, infeksi dalam (ulkus diabetikum)

saluran kemih & kulit

Gluka tidak dimetabolisir secara normal sehingga

jaringan menebal atau berkontraksi

Kontraktur Dupuytren

Sindroma

terowongan

karpal

7. Cara pengobatan dan penanganan Diabetes Militus8


Penderita diabetes tipe 1 umumnya menjalani pengobatan therapi insulin
(Lantus/Levemir, Humalog, Novolog atau Apidra) yang berkesinambungan, selain itu
adalah dengan berolahraga secukupnya serta melakukan pengontrolan menu makanan
(diet). 8
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan
penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai kadar
gula dalam darah adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan
mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang
diharapkan, maka pemberian obat tablet akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan
insulin turut diperlukan bila tablet tidak mengatasi pengontrolan kadar gula darah. 8

2.3 Diabetes dan luka pada bagian kaki.

Ulkus atau luka kaki dapat menjadi masalah yang sangat serius bagi penderita
diabetes. Penting untuk menyembuhkan ulkus secepatnya.Kerusakan saraf pada diabetes
dapat mengurangi nyeri sehingga ulkus kaki kadang tidak menimbulkan rasa nyeri jadi
sering diabaikan. Sejalan dengan waktu ulkus kaki atau gejala-gejala penyakit dapat
merusak kaki secara serius. 8
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir. Ulkus bisa

dikatakan kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit. Adanya
kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga merupakan
salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit DM dengan neuropati perifer. Ulkus kaki
diabetes (UKD) merupakan komplikasi yang berkaitan dengan morbiditas akibat diabetes
mellitus. 8

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: Ny. D.M

Umur

: 45 tahun

Alamat

: Polimak

BB

: 65 Kg

TB

: 162 cm

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Kristen Protestan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Suku bangsa

: Biak

Ruangan

: Penyakit Dalam Wanita

Tanggal masuk rumah sakit

: 07 Februari 2015

Tanggal operasi

: 16 Maret 2015

3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Luka di jari jempol kaki kiri sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan luka di jari jempol kaki kiri sejak 6 hari yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Luka yang dialami pasien terjadi akibat tertusuk paku tindis,
sehingga lama kelamaan luka menjadi besar dan tidak sembuh - sembuh. Kemudian
pasien di antar oleh anaknya ke Poli penyakit dalam RSU Jayapura untuk berobat dan
akhirnya pasien dianjurkan untuk di rawat inap di ruang penyakit dalam wanita.
Riwayat Penyakit Sebelumnya :
DM (+) pasien baru mengetahui kalau menderita DM sejak 1 tahun yang lalu; Riwayat
operasi (debridement) pada tahun 2013 pada punggung kaki kanan; Hipertensi disangkal,
Asma disangkal, penyakit jantung disagkal, riwayat alergi obat disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik (Saat Tiba Diruang Operasi)


Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran

Tinggi Badan

: 162 cm

Berat Badan

: 65 kg

: Compos Mentis

Tanda-tanda vital :

Kepala

Leher
Thoraks
Abdomen

Tekanan darah

: 140/90 mmHg

Nadi

: 70 x/m

Respirasi

: 20 x/m

Suhu badan

: 36.80C

: Mata
: Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/Hidung
: Deformitas (-)
Telinga
: Deformitas (-)
Mulut
: Deformitas (-)
: Pembesaran kelenjar getah bening (-)
: Paru
: Suara napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada,
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada
: Agak Cembung, supel, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba

membesar
Ekstremitas : Akral hangat, edema tidak ada
Refleks
: Refleks patella +/+
Status Anestesi
PS. ASA

: II

Hari/Tanggal

: 16/03/2015

Ahli Anestesiologi

: dr. D. S. Sp.An, KIC

Ahli Bedah

: dr. R (Residen Ortopedi)

Diagnosa Pra Bedah

: Ulkus Diabetic regio pedis sinistra

Diagnosa Pasca Bedah

Makan terakhir

sinistra
: 12 jam yang lalu

TB

: 162 cm

BB

: 65 Kg

TTV

: TD :130/80 mmHg, N: 80 x/m, SB: 36,8oC

SpO2
B1

: 100 %
: Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 16

Post Debridement pada ulkus DM tipe 2 redio pedis

x/m, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+, ronkhi-/-,


B2

wheezing -/-, malampati score : II


: Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2

detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis -/B3

: Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15 (E4V5M6), riwayat

B4

kejang (-), riwayat pingsan (-)


: Terpasang DC, produksi urin pre op 100 cc, warna kuning

B5

jernih.
: Perut agak cembung, nyeri tekan (-), BU (+) normal, hepar

B6

dan lien tidak teraba membesar


: Akral hangat (+), edema (+) pada tungkai kiri bawah,

Medikasi Pra Bedah

fraktur (-),
: -

Jenis Pembedahan

: Debridement

Lama Operasi

: (10.35 12.00 WIT)

Jenis Anestesi

: Blok subaraknoid (blok spinal)

Anestesi Dengan

: Decain 0,5% 20 mg

Teknik Anestesi

: Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk,


dilakukan aseptic di sekitar daerah tusukan yaitu di regio
vertebra lumbal 3-4, dilakukan blok subaraknoid (injeksi
Decain 0,5 % 20 mg) dengan jarum spinal No.27 pada
regio vertebra antara lumbal 3-4, Cairan serebro spinal

Pernafasan

keluar (+) jernih, darah (-), dilakukan blok.


: Spontan

Posisi

: Tidur terlentang

Infus

: Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL

Penyulit pembedahan

: -

Tanda vital pada akhir : TD: 150/90 mmHg, N:68 x/m, SB: 36,8, RR: 18 x/m
pembedahan
Medikasi

: Durante operasi:
-

Decain 0,5% (20 mg)


Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Antrain 1 amp

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
Hemoglobin

13 Maret 2015
10,1 g/dl

Leukosit

12.390/mm3

Trombosit

221.000/mm3

CT

900

BT

200

3.5 Observasi Durante Operasi


Observasi Tekanan Darah dan Nadi
160

160

158

150

140
98

120
80
60

70

130

90

100
68

150

88

72

40

90

Nadi
62

67

72

Sistole
Diastole

20
0
11.20

11.30

11:40

11.50

12.00

Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Balance Cairan
Waktu
Pre operasi

Input
RL : 500 cc

Output
IWL : 700 cc
Urin : 200 cc

Durante operasi

RL : 1000 cc

Urin : 100 cc
Perdarahan : 50 cc

Total

1500 cc

1050 cc

3.6 RESUME
Seorang pasien, wanita46 tahun, datang dengan keluhan luka di jari jempol kaki kiri
sejak 6 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Luka yang dialami pasien terjadi
akibat tertusuk paku tindis, sehingga lama kelamaan luka menjadi besar dan tidak
sembuh - sembuh. Kemudian pasien di antar oleh anaknya ke Poli penyakit dalam RSU
Jayapura untuk berobat dan akhirnya pasien dianjurkan untuk di rawat inap di ruang
penyakit dalam wanita. Riwayat Penyakit Sebelumnya: DM (+) pasien baru mengetahui

kalau menderita DM sejak 1 tahun yang lalu; Riwayat operasi (debridement) pada tahun
2013 pada punggung kaki kanan. Pasien akhirnya menjalani debridement pada tanggal
16 Maret 2015 dengan anestesi blok subaraknoid dengan decain 5% dan menjalani
operasi selama 25 menit. Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah
hipotensi. Untuk mencegah hipotensi pasien diberi cairan pre operasi yaitu Ringer Laktat
sebanyak 500 ml.

BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosa dengan ulkus
diabtes melitus. Sehingga pada pasien ini dilakukan debridement dengan anestesi blok
subaraknoid berupa decain 5%. Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini dianggap sudah tepat
karena relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan
kemampuan mencegah respon stress lebih sempurna
Pada persiapan pra anestesi diketahui bahwa pasien tidak mempunyai riwayat
penyakit asma, alergi dan uper respiratory infection. Namun pasien memiliki penyakit
metabolik berupa diabetes melitus tipe 2. Pasien sebelumnya sudah menjalani operasi berupa
debridement sebanyak satu kali pada satu tahun yang lalu di kaki kanan. Pasien berpuasa
sekitar 12 jam sebelum pembedahan.
Dari anamnesis didapatkan pada pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, alergi,
dan tidak adanya upper respiratory infection. Namun pasien mengalami gangguan metabolic
berupa diabetes melitus tipe 2. Pasien kemudian dipuasakan sekitar 12 jam sebelum
pembedahan. Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pemeriksaan fisik, pada umumnya kondisi pasien dalam keadaan baik. Namun
sesuai dengan pemeriksaan laboratorium dimana kadar hemoglobin 10,1 gr%. Pada kasus ini,
klasifiksai status penderita digolongkan dalam PS ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan
sistemik ringan sampai sedang, karena pada pasien ini terdapat gangguan metabolik berupa
diabetes melitus tipe 2 disertai dengan kadar HB 10,1 mg/dl. Medikasi prabedah pada pasien
ini adalah Cairan RL 500 cc. Pemberian cairan RL 500 ml secara intravena sebelum anestesi
spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi.
Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah Bupivacaine 0,5% 15 mg.
Bupivacaine adalah agen anastesi lokal yang sering digunakan, sering digunakan untuk
injeksi spinal pada tulang belakang untuk anestesi total bagian pinggul kebawah. Efek

bupivacaine untuk anestesi spinal adalah 2-3 jam. Efek blokade motorik pada otot perut
menjadikan obat ini sesuai untuk digunakan pada operasi-operasi perut yang berlangsung
sekitar 45 - 60 menit. Lama blokade motorik ini tidak melebih durasi analgesiknya.
Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok
influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan
serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak
memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut
saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Dosis yang digunakan pada pasien ini
10 mg, sudah sesuai dengan literatur yaitu 3-4 mg/Kg BB. Anestesi spinal tinggi atau total
dapat terjadi akibat dari kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan.
Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran,
paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung.9,10
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah, denyut nadi serta pernapasan
selalu dimonitor. Pada pasien ini juga diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin
merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah
menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga dapat menghambat
sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal
akan menurun sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu
antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah
maupun mengatasi mual dan muntah. Pemberian obat-obat ini untuk mencegah mual serta
muntah yang dapat terjadi pada anestesi spinal. Kemudian diberikan antrain sebagai
analgesia.

BAB IV
KESIMPULAN

Dalam persiapan operasi, dilakukan evaluasi dan persiapan untuk mengetahui dan
menganalisis jenis operasi, memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai, dan
meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau pasca bedah,
serta mempersiapkan obat / alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan. Setelah
dilakukan langkah langkah diatas, pasien kemudian diklasifikasikan dalam The
American Society of Anesthesiologists (ASA). Pada Pasien ini, digolongkan dalam PS
ASA 2.
Medikasi prabedah pada pasien ini adalah Cairan RL 500 cc. Obat anestesi yang
digunakan pada pasien ini adalan Bupivacaine 0,5 % 20 mg. Bupivacaine bekerja dengan
cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam
inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Selain itu juga pasien diberikan
ranitidin dan ondansentron untuk mencegah maupun mengatasi mual dan muntah. Pada
tahap akhir pembedahan, pasien diberikan analgesik yang menghambat transmisi rasa
sakit ke susunan saraf pusat dan perifer.
Kebutuhan cairan pasien sebelum, selama dan sesudah operasi ialah 2174 cc
hingga pukul 22.00. Sehingga instruksi pasien post operasi ialah:
1. Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan kiri, tak
boleh duduk.
2. Ukur TD dan N tiap 15 menit selama 1 jam pertama. Bila TD < 90 beri efedrin 10
mg, bila N<60 beri SA 0,5 mg
3. Bila tidak ada mual muntah boleh minum sedikit-sedikit dengan sendok
4. Bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi.
Untuk cairan post op diberikan cairan rumatan 2600 cc/hari serta dianjurkan minum
banyak: 3 ltr/hari untuk mencegah hipotensi pasca anstesi spinal.
1. Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam buku< Sudowo A W. Dkk.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi % Jilid 3. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2010.h. 1873-1877

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief A.S, Suryadi A.K, Dachlan R.M. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua.
Jakarta. FK UI, 2002
2. Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam buku. Sudowo AW. Dkk. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi % Jilid 3. Jakarta; Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
2010.h.1873-1877
4. Vama R, Smith CSS. Management of women with previous caesarean section. In:
Warren R, Arulkumaran SS, editors. Best practice in labour and delivery. Chapter 22.
New York: Cambridge University Press; 2009. h. 241-51.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
6. Diabetes Melitus. [serial online]. [Diunduh 20 Maret 2015]. Tersedia dari: URL:
http://library.unpnvj.ac.id/pdf/.
7. Diabetes Melitus. [serial online]. [Diunduh 20 Maret 2015]. Tersedia dari: URL:
http://repository.usu.ac.id/.../Chapter%2011.pdf.
8. Diabetes Melitus. [serial online]. [Diunduh 23 Maret 2015]. Tersedia dari: URL:
http://scribd.ac.id/pdf/.

Você também pode gostar