Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh
Alfian Rokhmansyah
A.
Pendahuluan
Beberapa kurun waktu terakhir ini banyak film yang diadaptasi dari sebuah
novel. Perubahan dari novel ke film merupakan sebuah bentuk resepsi penulis
sekenario dan sutradara film terhadap novel yang dijadikan acuan film yang
dibuat. Perubahan ini tentu menimbulkan perubahan yang menyebabkan
perbedaan antara novel dan film.
Novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan sebuah novel islam yang
mengandung banyak kritikan terhadap kehidupan pesantren tradisional. Novel
Perempuan Berkalung Sorban ini juga bertujuan untuk mencari idealitas
perempuan dalam pandangan Islam. Sebagaimana novel Perempuan Berkalung
Sorban, film yang berjudul sama dengan novelnya ini juga mengandung beberapa
kritikan terhadap kehidupan pesantren tradisional, yang masih dianggap kolot.
Selain itu, film Perempuan Berkalung Sorban juga mengaktulisasikan gerakan
feminisme yang dilakukan tokoh utama untuk menyejajarkan dirinya dengan
kaum laki-laki,
Film Perempuan Berkalung Sorban sempat dilarang beredar setelah
beberapa minggu nangkring di beberapa bioskop. Larangan ini muncul dari MUI
yang menganggap bahwa film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film
yang salah dan tidak sesuai syariat Islam. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian
antara adegan yang ada dalam film dengan syariat Islam mengenai kehidupan
perempuan dari segi pandang hukum Islam.
Dari uraian di atas, kajian ini menitikberatkan pada perspektif feminis tokoh
utama dan penggambaran kehidupan pesantren yang terkandung dalam novel dan
film Perempuan Berkalung Sorban. Ada beberapa perbedaan pengisahan dan
pengungkapan gerakan feminisme perempuan dan kehidupan pesantren yang
muncul dalam novel dan film Perempuan Berkalung Sorban. Kajian ini akan
menggunakan metode perbandingan dalam kajian feminisme dan penggambaran
kehidupan pesantren dalam novel dan film Perempuan Berkalung Sorban.
B.
Landasan Teori
Dalam kajian bandingan antara novel dan film Perempuan Berkalung
Sorban ini, digunakan tiga teori umum, yaitu teori sastra bandingan, teori
ekranisasi, dan teori feminisme.
1.
berfungsi
sebagai
sarana
untuk
memperjuangkan
aspirasi
dan
tertentu. Karya sastra dibuat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengarang harus
mampu
mempengaruhi
pembaca
untuk
meyakini
kebenaran
yang
2.
Konsep Ekranisasi
Transformasi dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah
ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, cran yang berarti layar. Selain
ekranisasi yang menyatakan proses transformasi dari karya sastra ke film ada pula
istilah lain, yaitu filmisasi.
Ekranisasi (1991: 60) adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel
ke dalam film. Eneste menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses
pelayarputihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film.
Eneste juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak
mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi
juga bisa disebut sebagai proses perubahan bisa mengalami penciutan,
penambahan (perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.
Damono (2005:96) memiliki istilah alih wahana untuk membicarakan
transformasi dari satu ke yang lain. Istilah ini hakikatnya memiliki cakupan yang
lebih luas dari ekranisasi. Ekranisasai merupakan perubahan ke- atau menuju layar
putih, sedangkan alih wahana seperti yang dijelaskan Damono bisa dari berbagai
jenis karya seni ke jenis karya seni lain. Akan tetapi, istilah ini tidak bertentangan
dengan makna dan konsep dasar yang dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses
pengubahan dari satu wahana ke wahan lain.
Damono menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis
kesenian ke dalam jenis kesenian lain. Alih wahana yang dimaksudkan di sini
tentu saja berbeda dengan terjemahan. Terjemahan dan penerjemahan adalah
pengalihan karya sastra dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sedang alih wahana
adalah pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi jenis kesenian lain.
Damono mencontohkan cerita rekaan diubah menjadi tari, drama, atau film.
Bukan hanya itu, alih wahana juga bisa terjadi dari film menjadi novel, atau
bahkan puisi yang lahir dari lukisan atau lagu dan sebaliknya. Alih wahana novel
ke film misalnya, tokoh, latar, alur, dialog, dan lain-lain harus diubah sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain.
Di dalam ekranisasi, pengubahan wahana dari karya sastra ke wahana film,
berpengaruh pula pada berubahnya hasil yang bermediumkan bahasa atau katakata, ke dalam film yang bermediumkan gambar audiovisual. Jika di dalam novel
ilustrasi dan penggambaran atau pelukisan dilakukan dengan menggunakan media
bahasa atau kata-kata, dalam film semua itu diwujudkan melalui gambar-gambar
bergerak atau audiovisual yang menghadirkan suatu rangkaian peristiwa.
Perbedaan media dua genre karya seni, memiliki karakteristik yang berbeda
pula. Bahasa sebagai medium karya sastra memiliki sifat keterbukaan pada
imajinasi pengarang. Proses mental lebih banyak terjadi dalam hal ini. Bahasa
yang digunakan memungkinkan memberi ruang yang luas bagi pembaca untuk
menafsir dan mengimajinasi tiap-tiap yang ditontonnya. Faktor lain yang
berpengaruh adalah durasi waktu dalam penikmatan film. Terbatasnya waktu
memberikan pengaruh tersendiri dalam proses penerimaan dan pembayangan.
Selain transformasi bentuk, ekranisasi juga merupakan transformasi hasil
kerja. Dalam proses penciptaan, novel merupakan kerja atau kreasi individu,
sedangkan film merupakan kerja tim atau kelompok. Novel merupakan hasil kerja
perseorangan yang melibatkan pengalaman, pemikiran, ide, dan lain-lain. Maka
dengan demikian, ekranisasi juga dapat dikatakan sebagai proses perubahan dari
sesuatu yang dihasilkan secara individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara
bersama-sama atau gotong royong.
Perbedaan wahana atau media dari dua genre karya tersebut tentu saja
berpengaruh pada bentuk sajiannya. Dengan kata lain, perbedaan media
memengaruhi cara penyajian cerita, bentuk penyajian cerita. Selain dipengaruhi
oleh keterbatasan (limit) yang dimiliki oleh masing-masing media tersebut, dalam
novel dan film, juga dipengaruhi oleh adanya proses resepsi, pembacaan,
sutradara atau penulis skenario terhadap cerpen tersebut. Lebih dari itu, resepsi itu
dapat lepas dari interpretasi dan pada itu juga akan dimasukkan juga ideologi dan
tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi, dan keinginan sutradara ataupun penulis
skenario. Kompleksitas ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh jiwa zaman,
fenomena sosial yang berkembang, kultural, dan sosial masyarakatnya.
3.
Teori Feminisme
Feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Suharto 2002: 18) adalah
teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan wanita di segala bidang. Suatu
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.
Hal ini disebabkan wanita selalu mengalami ketimpangan gender selama ini.
Feminisme berupaya menggali identitas wanita yang selama ini tertutupi
hegemoni
patriarkat.
Identitas
diperlukan
sebagai
dasar
pergerakan
diri
pada
partisipasi
wanita
dalam
pembangunan
tanpa
mempersoalkan hak serta kepentingan wanita yang selama ini dinilai tidak adil.
Wanita dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri
untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan
(Sofia 2003: 24).
Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan
terhadap sistem patriarkhi yang ada pada masyarakat. Pendapat tersebut
dikemukakan oleh Millet (dalam Selden 1991: 139) dalam buku Sexual Politics
yang menggunakan istilah patriarkhi (pemerintahan ayah). Istilah ini mempunyai
arti sangat mementingkan garis keturunan laki-laki. Budaya patriarkhi juga
menggunakan kekuatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupan
sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita. Konsep yang dianggap tidak adil
inilah yang digunakan sebagai dasar oleh Millet untuk mengungkap sebab
penindasan terhadap wanita (Selden 1991: 139).
Berkaitan dengan fenomena feminisme dalam dunia sastra, Faruk (dalam
Sugihastuti 2002: 66) menyatakan bahwa bahasa adalah proses yang terusmenerus melakukan tindakan gender dalam berbagai situasi interaksi antara
wanita dengan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Ketika laki-laki dan wanita
berpikir melakukan komunikasi kebahasaan, mereka dihadapkan pada bahasa
sebagai sebuah kondisi objektif yang bersifat eksternal yang memberikan batas,
kerangka, dan bahkan arah terhadap apa yang dapat dipikirkan dan
dikemukakannya.
C.
emansipasi atau gerakan feminisme yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini
dilakukan untuk menyamakan derajat antara perempuan dan laki-laki. Gerakan
feminisme dalam novel Perempuan Berkalung Sorban pertama kali muncul ketika
Nisa merasa dirinya dibedakan dari kedua kakak laki-lakinya.
Benar, Mbak. Habis Rizal dan Wildan boleh kembali tidur,
sementara Nisa harus membersihkan tempat tidur dan membantu ibu
memasak di dapur. Sementara Rizal dan Wildan masuk lagi ke kamar,
katanya mau belajar, padahal Nisa lihat sendiri mereka kembali tidur sehabis
shala shubuh. (PBS, hlm. 21)
Pada kutipan di atas terlihat adanya ungkapan Nisa mengenai perbedaan
peraturan antara anak laki-laki dan perempuan. Nisa sebagai anak perempuan
harus mau membantu ibunya di dapur, sedangkan kedua kakaknya bisa bebas
tanpa harus mengerjakan kewajiban.
Pada diri Nisa terbentuk suatu pertentangan batin mengenai perbedaan yang
terjadi antara dirinya dan kedua kakak laki-lakinya. Nisa merasa dirinya
dibedakan oleh ayah dan ibunya dengan kedua kakaknya. Perilaku Nisa yang
ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa lebih dari laki-laki terjadi saat ia
berdebat dengan Kiai Ali.
Perdebatan itu membahas masalah peran istri dalam hubungan badan
dengan suaminya. Pertanyaan Nisa dianggap kurang logis menurut Kiai Ali.
Karena Islam tidak pernah mengajarkan seorang istri meminta dan memaksa
suaminya untuk berhubungan badan.
Bagaimana jika istrinya yang mengajak ke tempat tidur dan suami
menunda-nunda hingga istri tertidur, apa suami juga dilaknat Allah, Pak
Kiai?
Tidak. Sebab tak ada hadis yang menyatakan seperti itu. lagi pula,
mana ada seorang isteri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur. Seorang
istri biasanya pemalu dan bersikap menunggu.
Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan
mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.
Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu
agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang
isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.
(PBS, hlm. 80-81)
Pada kutipan di atas, terlihat adanya rasa keingintahuan Nisa terhadap
perempuan yang mempunyai keinginan untuk mengajak suaminya melakukan
hubungan badan. Hal itu disebabkan karena sebelumnya Kiai Ali telah
mengatakan bahwa perempuan yang menolak ajakan suami untuk berhubungan
badan akan dilaknat Allah.
2.
Gambar 1. Kedatangan Ibu Nisa saat Nisa berlatih naik kuda di pinggir pantai
bersama kedua kakak laki-lakinya.
Ayah Nisa melarangnya untuk bermain kuda karena Nisa adalah seorang
perempuan. Kedua kakaknya juga melarang Nisa untuk bermain kuda. Hingga
akhirnya ayahnya marah karena Nisa selalu menentang aturan dan keputusan
ayahnya.
Pemberontakan Nisa juga muncul ketika ia tidak menjadi ketua kelas.
Dalam pemilihan ketua kelas itu, Nisa berhasil mengalahkan teman laki-lakinya
dalam perolehan suara. Tetapi Pak Guru yang mengajar di kelas memilih teman
laki-laki Nisa sebagai ketua kelas. Pak Guru menganggap bahwa yang berhak
menjadi pemimpin adalah laki-laki. Nisa keluar dari kelas tanpa permisi.
Ayah Nisa marah karena Nisa keluar kelas tidak permisi. Nisa memberontak
dan mengatakan bahwa Pak Guru tidak adil karena telah memilih teman lakilakinya sebagai ketua kelas. Padahal Nisa yang memenangkan pemilihan ketua
kelas itu.
Kalsum yang datang ke rumah mereka dalam keadaan hamil. Nisa mulai bersabar
untuk menerima Kalsum menjadi istri Samsudin.
Keinginan Nisa untuk lepas dari jeratan laki-laki menjadi besar. Nisa
mengatakan pada Kalsum bahwa perempuan tidak boleh lebih lemah dari laki-laki
dan tidak boleh tergantung pada laki-laki.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Khudhori. Ia mengatakan bahwa
perempuan dan laki-laki tidak ada bedanya. Laki-laki dan perempuan sama-sama
mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
3.
Berkalung Sorban
Penggambaran kehidupan pesantren dalam novel dan film sangat terlihat
jelas. Dalam novel, kekolotan dalam kehidupan pesantren hanya terjadi pada
ketidakbolehan santri untuk membaca dan menonton film yang tidak berhubungan
dengan Islam. Hal ini terjadi ketika Nisa melakukan debat dengan Kiai Ali.
Apa yang dimaksud Pak Kiai, dengan buku-buku tak berguna dan
film-film yang dibikin oleh orang kafir?
Buku-buku tak berguna adalah semua buku yang tidak mengacu pada
dalil-dalil al-quran dan hadis Nabi. Yaseperti novel-novel itu, majalah
atau komik-komik yang mengandung nafsu. Sedangkan cerita-cerita dalam
film, selalu berisi cinta palsu dan semu, seperti yang dilihat oleh orangorang kita yang isinya Cuma khayalan dan kebohongan serta jauh dari
kenyataan hidup yang sebenarnya.
(PBS, hlm. 83)
Pada kutipan di atas terlihat larangan dari Kiai Ali pada santri untuk tidak
membaca buku dan menonton film yang tidak sesuai dengan dalil dan hadis.
Semua buku dan film hanya dibuat untuk menonjolkan cinta semu dan nafsu
syahwat. Hal itu dapat merusak akidah dan akhlak para santri. Kiai Ali hanya
menghimbau santri agar tidak membaca buku selain kitab pelajaran dan tidak
menonton film.
Berbeda dengan novel, film Perempuan Berkalung Sorban lebih berani
menonjolkan dan memvisualisasikan kekolotan-kekolotan yang ada di pesantren
tradisional. Larang Ayah Nisa agar Nisa tidak berlatih naik kuda merupakan salah
satu kekolotan kiai pesantren. Ayah Nisa yang notabene adalah seorang pimpinan
pesantren dan seorang kiai, melarang Nisa tanpa alasan yang jelas.
Ayah Nisa mengatakan bahwa Nisa adalah anaknya dan menjadi alasan
larangan kepada Nisa. Ia dianggap berbeda dengan anak-anak yang lain karena dia
adalah anak seorang kiai dan harus menuruti perkataan ayahnya.
Kekolotan ayah Nisa sebagai seorang kiai adalah melarang anaknya untuk
menonton di bioskop. Ketika Nisa diketahui akan menon ton di bioskop, ayahnya
sangat marah. Ia menyatakan bahwa ia takut jika hal itu diketahui oleh orang
diluar pesantren termasuk orang tua dari para santri.
Nisa yang tidak tahu menahu mengenai kaburnya Ulfah dan kawankawannya menjadi sasaran pihak pesantren. Akhirnya Nisa dan Maryam mencari
Ulfah di acara workshop yang dilakukan di UGM. Ia menemukan Ulfah dan
kawannya mengikuti acara tersebut.
Kekolotan pesantren Al Huda dengan adanya buku-buku dari luar pesantren
akhirnya hilang setelah Nisa kembali ke pesantren. Nisa mengungkapkan bahwa
seorang perempuan harus bisa menjadi yang terbaik bagi kaum laki-laki. Atas
kesabarannya akhirnya kakaknya mengizinkan Nisa untuk membuka perpustakaan
di Al Huda.
4.
hasil resepsi sutradara tentu bukan berjalan begitu saja. Dengan melihat
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh kedua wahana tersebut kita bisa
menangkap adanya persoalan sebagai apa karya tersebut dalam hubungannya
dengan masyarakat penerimanya dan pengarang sebagai outhor.
salaf-nya, ada yang semi modern dengan menggabungkan salaf dan sekolah
umum, dan ada juga yang modern penuh. Namun dari bentuk yang bemacammacam itu, kiailah yang masih tetap memegang otoritas tertinggi. Dengan
demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk sastra di dalamnya,
sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi sang kiai sebagai pimpinan.
Di pesantren-pesantren semi modern atau modern pendidikan sastra secara
formal didapatkan para santri dari pelajaran sekolah seperti halnya yang terjadi di
sekolah-sekolah umum. Dan sastra yang diajarkan tentu saja bagian dari pelajaran
bahasa Indonesia. Pelajaran sastra di sekolah ini tentu saja kurang maksimal
karena terbatasnya jam pelajaran dan juga kapasitas gurunya, yang tidak
semuanya punya minat yang besar pada sastra. Kehidupan sastra di pesantrenpesantren jenis ini tak jauh berbeda dengan kondisi di sekolah-sekolah umum.
Sedang di pesantren-pesantren tradisional jelas tak ada pelajaran sastra
seperti halnya di sekolah umum, namun atmosfir kesusastraan bisa didapat para
santri melalui proses pengajian kitab kuning yang kebetulan banyak berisi syairsyair yang bernilai sastra tinggi. Pada awalnya para santri hanya menyimak makna
dari syair-syair tersebut sebagai materi pengajian, namun dengan kekhusyukan
mereka pun menjadi akrab juga dengan keindahan bahasanya, dengan kemerduan
bunyinya dan sebagainya. Dengan demikian bagi para santri salaf pelajaran sastra
mereka dapatkan secara tidak langsung, yakni lewat pengajian kitab kuning.
Lewat atmosfir pengajian. Dan jika kebetulan kiainya berjiwa seniman proses
pengajaran sastra secara tidak langsung ini bisa menjadi lebih khusyuk dan
mendalam karena tidak terlalu dibatasi waktu, bahkan bisa sampai subuh. Di masa
lalu jenis karya sastra yang banyak ditulis para santri atau kiai ini kebanyakan
berupa nadoman atau syiiran, sejenis salawat atau puji-pujian yang merupakan
penghormatan kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang ditulis dalam bahasa Arab
atau daerah. Padoman atau syiiran ini kadang juga berisi petuah atau nasihat. Di
beberapa pesantren ada juga yang menulis naskah drama berdasarkan sejarah
Islam atau riwayat para nabi.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa film Perempuan Berkalung
Sorban salah, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Islam tidak mendidik
perempuan untuk memberontak dan islam memberikan kebebasan pada kaum
hawa untuk bebas tetapi masih dalam batas kewajaran. Dalam masalah kehidupan
pesantren yang kolot, hal ini berhubungan dengan cara hidup masyarakat
pesantren itu sendiri. Penerimaan atau penolakan atas informasi dan ilmu
pengetahuan dari luar merupakan hak dari masing-masing warga pesantren.
D.
Penutup
Film Perempuan Berkalung Sorban merupakan adaptasi dari novel
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah.
El Khalieqy, Abidah. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Arti Bumi
Intaran.
Suseno. Filmisasi Karya Sastra Indonesia: Kajian Ekranisasi pada Cerpen dan
Film Tentang Dia.
______. Isu Poligami dalam Novel dan Film Ayat-ayat Cinta: Kajian
Perbandingan.
Website:
http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Kedudukan-Wanita-Dalam-Islam
(diakses 26 April 2010)
http://bahrudinonline.cilacaponline.web.id/index.php/sastro-muni/82-sastra-dankomunitas-santri?format=pdf (diakses 28 April 2010)
http://www.shalimow.com/etcetera/perempuan-berkalung-sorban-kontraversifilm-baru.html (diakses 24 April 2010)
http://blog.nikenike.net/2005/08/15/perempuan-berkalung-sorban
(diakses 29 April 2010)
http://dhieeewhe.wordpress.com/2009/01/16/perempuan-berkalung-sorban
(diakses 26 April 2010)
http://go2.wordpress.com/?
id=725X1342&site=ocehanpuput.wordpress.com&url=http%3A%2F
%2Fen.wordpress.com%2Ftag%2Fperempuan-berkalung-sorban-sebuahpotret-penyalahartian-peran-dan-posisi-perempuan-dalam-islam-disebuah-ponpes%2F&sref=file%3A%2F%2Flocalhost%2FD%3A
%2FNew%2520Folder%2FPerempuan%2520Berkalung%2520Sorban
%2520%2520%2520Sebuah%2520Potret%2520Penyalahartian
%2520Peran%2520dan%2520Posisi%2520Perempuan%2520dalam
%2520Islam%2520di%2520Sebuah%2520PonPes%2520%25C2%25AB
%2520Puput%25E2%2580%2599s%2520Blog.htm (diakses 26 April
2010)