Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
sekolah merupakan perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar
sistem dan kebijakan tertentu.
Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas adalah Perguruan Tinggi. Dimana
pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Maka tidaklah
mengherankan jika perguruan Tinggi menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah salah satu peran dan fungsi Perguruan Tinggi.
Dengan menyandang peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan
Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter
dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan selaras
dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter
berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi
yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat1[1].
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan
momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial.
Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang meningkatnya dropout rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi
Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive
advantage, memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh
tantangan seperti saat ini. Pengembangan perguruan-perguruan tinggi Islam (PTI), dengan
demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik
pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan
PTI sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik
nasional dan global.
Penjaminan mutu yang menekankan pada bagaimana cara suatu institusi pendidikan
menjalankan kegiatan belajar mengajar, menjaminkan bahwa: (1) setiap peserta didik akan
mendapatkan kurikulum dan materi yang bermutu serta terkini; (2) pelaku didik (dosen)
memiliki kualitas yang sama ketika menyampaikan materi yang diperuntukkan bagi peserta
didik; (3) setiap pendukung kegiatan proses belajar mengajar memiliki kompetensi yang sesuai;
(4) setiap lulusan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu; dan (5) keberadaan
institusi dapat dipertahankan karena adanya kesesuaian antara perencanaan dan implementasi
yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan perkembangan zaman.2[2]
1[1] . http://zaldym.wordpress.com/2009/02/15/problematika-pendidikan-tinggi/.
antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses
komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu.4[4]
c. Marat mengutip pendapat Browr, menyatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang
memiliki posisi dengan potensi tinggi di lapangan.5[5]
d. Kartini Kartono mengatakan, bahwa pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan
khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi untuk dapat mempengaruhi kelompok yang
dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah kepada sasaran-sasaran tertentu.6[6]
Dari pengertian di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu
hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang di arahkan untuk
tercapainya tujuan bersama.
Dibawah ini dijelaskan beberapa pendapat yang menjelaskan tentang pengertian
manajemen.
a. George R. terry dalam bukunya yang terkenal berjudul Principle of Management, dikemukakan
bahwa:
"Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan:
perencanaan, pengorganisasian, kegiatan, dan tindakan pengawasan (controlling), yang
dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lain.
b. The Liang Gie
2[2]. Rinda Hedwig, dkk., Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya
di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, hlm. 48
3[3] . Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta.
Prenhallindo. 1994. Hlm 2
4[4]. Ibid.
5[5]. Marno dan Triyo Supriyatno. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam.
2008. Malang. Refika Aditama. Hlm 22.
6[6]. Ibid,
a) Metode normativ, berkenaan dengan konsep manusiawi yang diidealkan yang ingin dicapai.
b) Metode eksplanatori, berkenaan dengan pertanyaan kondisi, dan kekauatan apa yang membuat
suatu proses pendidikan berhasil.
c) Metode teknologis, berkenaan dengan bagaimana melakukannya dalam rangka mencapai tujuan
yang diinginkan.
d) Metode deskriptif, fenomenologis mencoba menguraikan kenyataan-kenyataan pendidikan dan
lalu mengklasifikasikannya.
e) Metode hermeneutis, untuk memahami kenyataan pendidikan yang konkrit dan historis untuk
f)
membantu melindungi dan meningkatkan martabat manusia dan warisan budaya melalui
penelitian, pengajaran, dan berbagai pelayanan yang diberikan kepada komunitas setempat,
nasional, dan bahkan internasional. Peran universitas pada perlindungan martabat manusia serta
pada tanggungjawab moral penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah beberapa contoh
dimensi etis dari makna perguruan tinggi.11[11]
b.
Dimensi Keilmuan
Dunia perguruan tinggi adalah dunia ilmu pengetahuan. Tujuan utama pendidikan tinggi
adalah mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan
proses belajar mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya di perguruan
tinggi melalui pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan betul-betul dikembangkan dan bukan di
pendidikan yang lebih rendah atau di tempat lain. Oleh karena itu, para dosen harus berusaha
selalu meningkatkan kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan penelitian yang dikuasainya.
Demikian pula, para mahasiswa dirangsang untuk berpikir secara kritis, sistematis dan taat asa
serta mau dan mampu belajar seumur hidup.
c.
Dimensi Pendidikan
Pendidikan tinggi adalah pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat tinggi. Namun, hal ini
sering menimbulkan polemik, apakah memang betul bahwa proses yang terjadi di universitas
merupakan suatu pendidikan atau suatu pembelajaran karena arti pendidikan lain sama sekali
dengan pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa diusahakan menjadi orang yang
belajar, mau belajar terus-menerus. Proses pembelajaran umumnya bersifat formal. Sebaliknya,
pendidikan adalah proses penyiapan manusia muda menjadi manusia dewasa, yaitu manusia
yang mandiri dan bertanggungjawab. Proses pendidikan bersifat informal dan terjadi terutama di
dalam keluarga, tetapi dapat pula di dalam masyarakat dan sekolah.
Dalam proses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, tidak ada pengaturan, kurikulum,
maupun penjenjangan. Yang ada hanyalah perjenjangan, pengaturan, perencanaan, struktur, dan
sistem mengenai pembelajaran. Namun polemik mungkin dapat didamaikan dengan penjelasan
bahwa di dalam perguruan tinggi terjadi pendidikan melalui pembelajaran. Pendidikan dapat
diberikan, baik dalam kurikulum intra, kurikulum ekstra. Dalam kurikulum intra, pendidikan
dapat diberikan dalam bentuk penjelasan dan contoh aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam
kurikulum ekstra, pendidikan dapat diberikan dalam seni budaya, seni olahraga, seni organisasi,
dan sebagainya. Disiplin, keterbukaan, pelayanan, bantuan pada yang lemah, kejujuran, kerja
keras, dan sebagainya yang diperlihatkan dalam pengelolaan universitas adalah nilai-nilai
konkret yang merupakan contoh nyata untuk pendidikan.
d.
Dimensi Sosial
Penemuan ilmiah dan penemuan teknologi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan
industri yang sangat besar. Melalui pertumbuhan ekonomi dan industri, kesejahteraan manusia
pun ditingkatkan. Melalui kegiatan dan perjuangan para ahli dan mahasiswa, kehidupan
demokrasi ditingkatkan dan martabat manusia lebih dihargai. Perguruan tinggi mempersiapkan
para mahasiswa untuk mengambil tanggungjawab di dalam masyarakat. Dari para lulusannya,
masyarakat mengharapkan pembaruan dan perbaikan terus-menerus dalam tata kehidupan
11[11] . Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3859, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia, Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta: 1999
bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut, melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi
diharapkan memberikan sumbangan dalam memecahkan berbagai problem yang sedang dihadapi
masyarakat seperti kekurangan pangan, pengangguran, kekurangan pemeliharaan kesehatan,
ketidakadilan, kebodohan, dan sebagainya.
e.
Dimensi Korporasi
Perguruan tinggi memberikan jasa kepada masyarakat berupa pendidikan tinggi dalam
bentuk proses belajar mengajar dan penelitian. Yang diajarkan dan diteliti adalah ilmu
pengetahuan. Jadi, bisnis pendidikan tinggi ialah ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi mempunyai
pelanggan, yaitu para mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Perguruan tinggi
menghadapi persaingan, yaitu antar perguruan tinggi lain, baik dari dalam maupun luar negari.
Apabila mahasiswa (pelanggan) perguruan tinggi terlalu sedikit, perguruan tinggi tidak dapat
membiayai dirinya sendiri, sehingga mengalami defisit dan kalau terus-menerus demikian,
kelangsungan hidupnya akan terancam. Perguruan tinggi memiliki dan mengelola berbagai
sumber daya seperti manusia, barang-barang, peralatan, keuangan, dan metode. Perguruan tinggi
perlu memperkenalkan produknya pada masyarakat agar dikenal dan dibeli. Semua
menunjukkan kesamaan antara perguran tinggi dengan perusahaan. Inilah dimensi korporasi
perguruan tinggi.
Di era kontemporer, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan
pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini mensyaratkan adanya upaya pihak
pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen
perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan
istilah Total Quality Education (TQE) yang dikembangkan dari konsep Total Quality
Management (TQM), pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada
dunia pendidikan (Salis, 2010).
Secara filosofis, konsep ini menekankan pada perbaikan yang berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sehingga tidak mengherankan, jika institusi
pendidikan, baik pendidikan dasar dan menengah mau pun pendidikan tinggi berlomba-lomba
mengadopsi teori dan praktek manajemen mutu di perusahaan untuk diterapkan di institusi
pendidikannya, yang disahkan melalui sertifikasi yang diberikan oleh lembaga yang berwenang.
Salah satu jenis sertifikasi yang banyak dikejar oleh institusi pendidikan adalah sertifikasi ISO
dengan berbagai variasinya. ISO sebetulnya berasal dari istilah International Organization for
Standardization, supaya lebih mudah disingkat menjadi ISO (Chatab, 1996). Sertifikasi ISO akan
diberikan jika institusi pendidikan tersebut telah berhasil menerapkan standar mutu pendidikan
secara konsisten sesuai dengan persyaratan ISO.
Sejalan dengan penerapan manajemen mutu pada institusi pendidikan tinggi, pemerintah
melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) telah mengeluarkan sebuah pedoman,
yaitu Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi, yang secara tegas
mensyaratkan bahwa proses penjaminan mutu di pendidikan tinggi merupakan keharusan yang
tidak dapat ditawar lagi. Pedoman ini disusun tidak dengan maksud untuk mendikte perguruan
tinggi dalam melakukan proses penjaminan mutu pendidikan tinggi, melainkan untuk
memberikan inspirasi tentang siapa, apa, mengapa, dan bagaimana penjaminan mutu tersebut
dapat dijalankan (Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
Dengan melaksanakan penjaminan mutu secara konsisten dan berkesinambungan
diharapkan perguruan tinggi dapat meningkatkan kinerjanya dengan maksimum, sehingga dapat
bersaing secara sehat dengan perguruan tinggi yang sejenis. Lebih jauh lagi, dengan pelaksanaan
penjaminan mutu artinya perguruan tinggi tersebut bisa memberi kepastian dan keyakinan
kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa mutu pendidikan di perguruan tinggi
tersebut sudah mengikuti standar-standar yang disyaratkan oleh lembaga pemberi sertifikasi atau
akreditasi.
Di bagian akhir pedoman tersebut dijelaskan tentang pelaksanaan penjaminan mutu di
perguruan tinggi, seperti kutipan berikut ini.
Agar penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi dapat dilaksanakan, maka
terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan penjaminan mutu tersebut
dapat mencapai tujuannya, yaitu komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para
pelaku proses pendidikan tinggi, serta pengorganisasian penjaminan mutu di perguruan tinggi.
Komitmen adalah syarat pertama yang harus ada. Komitmen di sini meliputi komitmen
semua pihak, baik pimpinan, tenaga edukatif, tenaga non edukatif, atau pun tenaga penunjang,
dengan kata lain seluruh civitas academica. Tetapi yang terpenting adalah komitmen pimpinan,
karena untuk mengubah paradigma dan sikap mental, serta pengorganisasian penjaminan mutu
yang baik dibutuhkan komitmen pimpinan. Tanpa komitmen pimpinan semua hal yang sudah
dirancang tidak akan ada gunanya.
Jelas sekali bahwa peran pimpinan dalam melaksanakan penjaminan mutu di perguruan
tinggi sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Salis (2010) bahwa: Kepemimpinan
adalah unsur penting dalam TQM. Pemimpin harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan
visi tersebut ke dalam kebijakan yang jelas dan tujuan yang spesifik.
Pemangku Kepentingan di Perguruan Tinggi
Perguran tinggi di Indonesia dapat dibedakan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN),
Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), dan Perguruan Tinggi
Agama (PTA). Pada dasarnya pemangku kepentingan di semua perguruan tinggi di atas hampir
sama, yang membedakan adalah lembaga penyelenggaranya. PTN diselenggarakan oleh
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, PTS diselenggarakan oleh yayasan
pribadi, PTK diselenggarakan oleh kementerian lain di luar Kementerian Pendidikan Nasional,
dan PTA diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Untuk merinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi bisa digunakan pendekatan
sistem, yaitu dengan melihat mekanisme input-proses-output di perguruan tinggi, dengan
menganggap bahwa perguruan tinggi sebagai sistem terbuka. Berdasarkan gambar mekanisme
input-proses-output perguruan tinggi, maka dapat dirinci pemangku kepentingan di perguruan
tinggi secara umum adalah:
a. Dosen
b. Mahasiswa
c. Tenaga non edukatif
d. Lembaga penyelenggara
e. Pemerintah
f. Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala
Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya)
g. Alumni
h. Lembaga lain
i. Masyarakat
(kadang-kadang dibagi menjadi enam) kebutuhan dasar manusia, dari yang paling rendah sampai
yang paling tinggi, adalah sebagai berikut:
1)
Kebutuhan fisiologis (physiological need)
Lapar dan haus adalah kebutuhan yang paling dasar bagi kebutuhan manusia dan harus
dipenuhi terlebih dahulu sebelum semua kebutuhan lainnya dipenuhi.
2)
Kebutuhan keamanan (safety need)
Keamanan adalah tingkat kebutuhan kedua, yaitu berupa pakaian, tempat perlindungan
atau rumah tempat tinggal dan lingkungan yang menjamin keamanan seperti pekerjaan tetap,
pensiun dan asuransi.
3)
Kebutuhan afeksi (affection need)
Termasuk dalam kebutuhan tingkat tiga adalah pengakuan termasuk dalam lingkungan
tertentu, bukan hanya lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sosial lainnya seperti tempat
kerja.
4)
Kebutuhan penghargaan (esteem need)
Kebutuhan penghargaan berbentuk kebutuhan penghargaan diri, rasa keberhasilan, dan
pengakuan dari orang lain. Kebutuhan akan status merupakan dorongan utama untuk mencapai
keberhasilan lebih lanjut.
5)
Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization need)
Tingkat tertinggi kebutuhan manusia adalah rasa pemenuhan diri, yaitu sumbangan
optimalnya pada sesama manusia, suatu realisasi penuh atas potensi diri manusia.
d. Pengawasan
Pengawasan adalah fungsi terakhir manajemen, namun bukan berarti yang tidak
memiliki peran yang penting. Pengawasan adalah pengamatan dan pengukuran, apakah
pelaksanaan dan hasil kerja sudah sesuai dengan perencanaan atau tidak. Kalau tidak, apa
kendalanya dan bagaimana menghilangkan kendala agar hasil kerja dapat sesuai dengan yang
diharapkan. Fungsi pengawasan tidak harus dilakukan hanya setiap akhir tahun anggaran, tetapi
justru harus secara berkala dalam waktu yang lebih pendek, misalnya setiap bulan, sehingga
perbaikan yang perlu dilakukan tidak terlambat dilaksanakan.12[12]
Problematika PTAIS
Terkait dengan perguruan tinggi Islam swasta, dewasa ini, jumlah perguruan tinggi
Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan.
Ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah
Tinggi, Universitas dan lain sebagainya. Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari segi
kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan sejauhmanakah
kondisi dari sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan
PTAIN dan PTUN? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau hanya
sekedar menjadi lembaga "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah
kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat
keadaan makro PTAIS sekarang ini, pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat
mendesak, apalagi dikaitkan dengan tugas pemerintah (baca: Depag) untuk mengembangkan
PTAIS.13[13]
12[12] Ibid., hlm. 57-60
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem yang
merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi
infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, kualitas guru dan dosen-dosen.dan
kualitas lulusan. Kualitas guru adalah merupakan salahsatu variebelpenting sangat menentukan
dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui lembaga pendidikan
yang berkualitas akan memungkinkan para siswa untuk bisa belajar dengan maksimal.guru
memiliki peran penting untuk memungkinkan para siswa akan dapat belajar dengan optimal,
untuk itu perlu melakukan upaya maksimal yang sistematis untuk terus meningkatkan kualita
spara guru14[14].
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun
bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang
memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih
sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun
mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi
dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya.
Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas,
bahkan ada yang belum memiliki.15[15]
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya, apalagi yang
selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan
mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut karena
angka partisipasi kasar nasional masih rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang
menyedot animo yang biasa masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu
implikasi dari kondisi ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan
mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya
pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan
Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTAIS
yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program
akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran
bagi perguruan tinggi negeri dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara berkala mendapat alokasi
anggaran dari Pemerintah Daerah setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya
dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang
tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh
pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya
perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi
penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat
terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja
Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada
masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.16[16]
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia sarana dan
dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme
yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang
memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi masalah kualitas yang belum optimal, baik
kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put PTAIS. Namun patut
disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi,
PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi
puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata
mendapat job di masyarakat karena mayoritas adalah guru agama yang sudah mendapat status
sebelum masuk kuliah atau mendapat tugas setelah lulus, baik sebagai guru, mubalig, pimpinan
organisasi Islam, kader politik dan lain-lain. Memang masih banyak alumni yang berorientasi
untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen
lain dan Pemerintah Daerah. Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun
kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
Sudah diakui oleh kalayak luas bahwa perguruan tinggi merupakan tempat untuk
meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek jiwa atau ruh, intelektual, sosial dan
profesionalitasnya. Amanah atau beban itu sebenarnya tidak mudah dipikul oleh perguruan
tinggi, utamanya perguruan tinggi yang tidak didukung oleh finansial yang mencukupi.
Di Indonesia semangat membangun perguruan tinggi sedemikian besar. Semangat itu
terlihat dengan jelas dari jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak jumlahnya. Jika
dihitung, maka tidak kurang dari 3500 perguruan tinggi di Indonesia, baik yang berstatus negeri
maupun yang berstatus swasta.
Perguruan tinggi negeri, dalam arti dikelola oleh pemerintah, jumlahnya lebih dari 130
an buah. Sebagian berada di bawah pengelolaan kementerian pendidikan dan kebudayaan,
sedang 52 lagi di antaranya dikelola oleh kementerian agama. Dualisme pengelolaan perguruan
tinggi itu tidak lepas dari sejarah kelahirannya. Perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari
sejarahnya justru dimulai dari perguruan tinggi yang berbasis agama. Oleh karena itu tatkala ada
pikiran untuk menyatukan di antara keduanya, bukan merupakan pekerjaan mudah.
Hal lain lagi, menyangkut perguruan tinggi swasta, jumlahnya jauh lebih banyak, hingga
ribuan, dan berada di hampir semua kota di Indonesia. Hampir-hampir tidak ada kota setingkat
kabupaten, apalagi di pulau Jawa, yang belum memiliki perguruan tinggi. Perguruan tinggi
sudah dirasa serbagai kebutuhan oleh masyarakat. Oleh karena itu, bagi kota yang belum
memiliki perguruan tinggi, mereka segera mendirikan, setidak-tidaknya berstatus swasta.
Semangat mendirikan perguruan tinggi yang sedemikian besar itu menjadikan
pertumbuhannya sedemikian cepat. Fenomena
itu pada aspek tertentu, memang
menggembirakan. Akan tetapi seringkali penambahan perguruan tinggi itu tidak memperhatikan
kualitas yang sebenarnya dibutuhkan. Tidak sedikit perguruan tinggi yang tidak didukung oleh
tenaga pengajar, sarana dan prasarana, dan lingkungan yang dibutuhkan. Ada saja peruruan
tinggi yang menggunakan fasilitas seadanya, hingga program pembelajaran yang dijalankan juga
sebatas memenuhi ukuran formal dan kemudian yang terjadi adalah serba formalitas. Inilah satu
di antara problem perguruan tinggi.
16[16] . www.beritamakasar.com. juga baca di,
http://alumnigontor.blogspot.com/2008/06/problematika-ptais.html
perguruan tinggi. Prioritas terhadap kualitas dan kuantitas agar bisa berjalan bersama-sama
dengan cara pembagian tugas itu. Jika demikian, maka tuntutan tersebut akan sama-sama
terpenuhi dan problem perguruan tinggi sedikit banyak terselesaikan.
PENUTUP
Dari pemaparan tersebut di atas dapat penulis memberikan kesimpulan bahwa pendidikan
tinggi saat ini sudah berkembang dengan pesat, ini tidak terlepas dari manajemen dan
kepemimpinan dan kerjasama pihak yang berwewenang dari segala sisi yang dimaksud adalah.
Dosen, Mahasiswa, Tenaga non edukatif, Lembaga penyelenggara, Pemerintah, Unsur pimpinan
(Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala
Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya), Alumni, Lembaga lain, Masyarakat.
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem yang
merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi
infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.
DAFTAR PUSTAKA
Yukl Gary. 1994. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo.
Rinda Hedwig, dkk. 2006, Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi,
Yogyakarta: Graha Ilmu,
Marno dan Triyo Supriyatno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam.. Malang. Refika
Aditama.
Hamalik, Oemar. 2008, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fattah, 2004,Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
R. Djokopranoto & R. Eko Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006,
Furchan, Arief, 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia.Yogyakarta: Gama Media.
Indrajit, R. Eko. 2006, Manajemen Perguruan Tinggi Modern (Yogyakarta: Andi Offset.
Jurnal, Manajemen Usahawan Indonesia.vol.40.Februari 2011. Tentang Pola interaksi Guru-siswa dan
pengaruhnya terhadap kepuasaan siswa dalam belajar.oleh Agus Prianto. Dosen Pend.Ekonami
STKIP PGRI Jombang.