Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan Syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI )
tidak hanya sebagai sebuah wacana, namun sudah dipraktikkan oleh mayoritas
penduduknya. Diantara daerah yang ada dalam wilayah NKRI ini adalah Aceh,
yang merupakan provinsi paling barat di pulau Sumatera ini sedang menerapkan
pelaksanaan syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam ini diberlakukan dan
mendapat legalitas karena didukung sosio-kultural dan historis masyarakatnya,
seperti Aceh dulunya dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di nusantara.
Namun demikian, pelaksanaan syariat Islam tersebut tidak serta merta berjalan
sesuai yang diharapkan. Ini terjadi disebabkan belum adanya rujukan yang jelas dan
formulasi yang tepat dalam penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, meskipun ada
beberapa Negara yang menerapkan syariat Islam bagi penduduknya.
Di masa dewasa ini, masyarakat Aceh tidak berperang melawan para
penjajah-penjajah seperti masa perjuangannya dahulu. Tetapi maksiat dan perbuatan
mungkarlah yang menjadi musuh terbesar masyarakat Aceh saat ini. Ini merupakan
tugas mulia sekaligus berat yang dipikul oleh Pemda Nanggroe Aceh Darussalam
( NAD ). Khususnya Dinas Syariat Islam yang membantu dalam proses pemulusan
pengimplementasiaan syariat Islam secara kaffah ( sempurna ) di propinsi paling
barat Indonesia ini. Pemberantasan budaya pacaran dan hubungan seks diluar nikah
yang digemari oleh para pemuda-pemudi Aceh dalam pergaulannya saat ini
merupakan sekelumit contoh-contoh yang bisa diangkat untuk menggambarkan
betapa beratnya tugas menjalankan syariat Islam secara sempurna karena hal ini
berkenaan dengan proses bagaimana mengubah cara pendang dunia seseorang.
Beranjak dari pemikiran tersebut maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya
implementasi syariat Islam secara kaffah memang tidak bisa dilaksanakan dengan
secara instan.
Pro kontra masih saja terjadi menyangkut diberlakukannya pelaksanaan
syariat Islam, apalagi dalam bidang hukum publik ( pidana ). Lahirnya UndangUndang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Syariat Islam
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah
untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al Quran maupun dengan
sunnah Rasul.
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara
harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh
setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan
Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh
aspek manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan
atau hukum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam Al
Quran maupun hadits dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup
umat manusia di dunia dan di akhirat.
filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segalanya yang
ada (al ilm bil maujudat bi ma hiya al maujudat).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis adalah segala bukti filosofis
yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu
permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan filosofis ini adalah
pelaksaan Syariat Islam di Aceh.
2.5 Pengertian Landasan Yuridis
Menurut bahasa, Yuridis dapat juga diartikan Rechtens yang berarti segala hal
yang berdasarkan hukum, menurut hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata Yuridis berarti menurut hukum; secara hokum.
Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan yuridis adalah segala bukti yang
yuridis atau berdasarkan hukum yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan
sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan.
BAB 3
PEMBAHASAN
pasang surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri Aceh memiliki
masyarakat yang unik, misalnya disebutkan heroik, berani, ulet, tanpa mengenal
menyerah dan malah ada yang menyebutkan dengannya dengan sebutan Moorden.
Julukan yang terakhir bermakna kegilaan, yang disebutkan oleh seorang jurnalis
Belanda, RA. Kern. Masyarakat Aceh menurutnya memilliki sifat-sifat kegilaan,
suka membuang nyawa atau suka mati dengan melakukan penyerangan terhadap
orang-orang Belanda yang siaga dengan persenjataan mereka yang lengkap demi
membela agama mereka dan tanah airnya, padahal mereka tidak memiliki senjata
yang berarti untuk mengimbangi senjata lawan (Belanda). Nilai-nilai Islami
memang telah mendarah-daging dalam masyarakat Aceh. Karenanya, meskipun
Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang dikumandangkan
Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya tetap
bersendikan pada syariat Islam.
3.2 Landasan Filosofis dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma
dasar Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena
dari Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam
sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh, karena setiap Negara didirikan atas
dasar falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.
Keberadaan Pancasila dalam Qanun Aceh merupakan pelaksanaan Pancasila
yang terdapat dalam isi Qanun tersebut, karena sila pertama tersebut mengandung
sisi mutlak, bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada tempat
bagi pertentangan dalam hal ketuhanan atau keagamaan, karena di Indonesia tidak
hanya memiliki satu agama saja yaitu agama Islam, melainkan banyak agama yang
ada di Indonesia, oleh karena itu setiap manusia yang ada di Indonesia diberikan
kesempatan untuk memeluk agamanya masing-masing. Dalam hal ini, pemeluk
agama Islam, bagaimana yang ditafsirkan dalam sila pertama Pancasila bahwasanya
dijamin untuk melakukan pelaksanaan syariat yang diajarkan oleh agama Islam,
yang diistilahkan dengan nilai adil dan beradab. Kata wajib dalam pelaksanaan
8
dalam bidang hukum keluarga dan sebagian kecil bidang muamalah seperti wakaf,
hibah, sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang
muamalah lainnya hampir sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan
undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment
penting dalam rangka menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living
law) di Aceh. Artinya, keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan
hukum nasional yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat
formalisasi syariat Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah
berbagai aturan syariat Islam dapat ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Yang menjadi persoalan sekarang adalah merumuskan materi Qanun
yang sesuai dengan semangat sosiologis yang dikandung syariat.
Dari beberapa Qanun yang pernah dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam
kelihatannya belum seluruhnya mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka
kontekstual. Klausul yang dirumuskan dalam Qanun masih sangat normatif
sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh klasik dan kering dengan nuansa
sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa
pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi pemikiran hukum Islam di
Aceh hari ini.
Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat
Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan bahwa orang Islam yang
melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh. Ancaman pidana yang
dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara komprehensif melihat konteks
sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariatkan. Akibatnya, Qanun No 11 Tahun
2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama di
Aceh. Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata hukuman bunuh bagi orang
Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan peristiwa orang Islam yang
keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh (desertir). Jadi, ancaman bunuh
bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari Islam, akan tetapi karena ada unsur
desertirnya. Al Quran mengakui adanya kebebasan beragama, dan menghargai
orang yang berbeda agama.
10
constitutum),
hal
inilah
yang
memicu
masyarakat Aceh
menuntut
diberlakukannya kembali hukum Islam dan sebagai salah satu penyebab Aceh untuk
merdeka.
Dari seluruh rangkaian sejarah tuntutan masyarakat Aceh akhirnya
pemerintah pusat memberikan otonomi khusus berdasarkan undang undang otsus
yang disebut Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dan pada akhirnya
pemerintah daerah Aceh atau yang disebut pemerintah Aceh membuat peraturan
daerah yang disebut Qanun dan secara resmi menjadikan hukum islam sebagai
hukum positif yaitu hukum public yang meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman
keras), dan khalawat.
Proses pelaksanaan hukum public tersebut di atas dilaksanakan oleh polisi
syariat dan polri sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan
11
pengadilan agama yang disebut sebagai mahkamah syariah sebagai yang berwenang
mengadili. Dengan ancaman hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.
12
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah
disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya
lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah.
Nilai-nilai Islami memang telah mendarahdaging dalam masyarakat Aceh.
Karenanya, meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang
dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam negara Kesatuan
Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya
tetap bersendikan pada syariat Islam.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma
dasar Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena
dari Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam
Sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh. Karena setiap Negara didirikan atas
dasar falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat
bagi tegaknya pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh
melaksanakan syariat Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga
dan sebagian kecil bidang mumalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat.
Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang mumalah lainnya hampir sama
sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44
Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka
menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya,
keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Proses pelaksanaan hukum publik dilaksanakan oleh polisi syariat dan polri
sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan mahkamah
13
syariah sebagai yang berwenang mengadili dengan ancaman hukuman cambuk bagi
para pelanggarnya.
4.2 Saran
a. Hukum publik tetap diberlakukan di Aceh dan ditambah pidana Islam atau
jinayat.
b. Dengan adanya hukum public, pelaksanaan hukum cambuk di Aceh, hendaknya
dapat menjadikan masyarakat muslim lainnya untuk memilki kesadaran hukum
agar lebih mentaati ketentuan ketentuan yang berlaku dengan kesadaran yang
paling dalam bahwa perbuatan tersebut adalah melanggar agama.
c. Untuk pembaca, hendaknya mempelajari landasan dalam penerapan syariat
Islam dengan begitu dapat menambah wawasan kita dalam mengetahui agama
Islam di Aceh sehingga dapat menambah rasa bangga kepada agama Islam yang
kita anut ini.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar. Al yasa.2006. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh DarussalamParadigma, Kebijakan dan Kegiatan. Dinas syariat islam: Banda aceh.
Musa, Muhammad Yusuf.1988.Islam: Suatu Kajian Komprehensif. Jakarta: Rajawali
Press.
Adan, Hassanuddin Yusuf. Sejarah dan Perkembangan Islam di Aceh. Jurnal Ar-Raniry,
Nomor
82
Tahun
2003.
Tersedia
dalam
https://www.academia.edu/10291095/makalah_studi_syariat_islam_di_aceh_qanun
Amanda, Rizky Rachmani. 2014. Aceh dan Syariat Islam. diambil pada 20 Mei 2015
dari https://www.academia.edu/7475125/ACEH_DAN_SYARIAT_ISLAM
Amal, Taufik Adnan, dkk. 2004. Politik syariat Islam: dari Indonesia
hingga Nigeria. Pustaka Alvabet : Jakarta. Tersedia dalam
https://books.google.co.id/books?
id=3PTxZVyzIfwC&pg=PA26&dq=buku+tentang+syariat+islam+di+a
ceh&hl=id&sa=X&ei=qzFjVfTBD82ruQSxvoKgDA&redir_esc=y#v=one
page&q=buku%20tentang%20syariat%20islam%20di
%20aceh&f=false diakses pada 19 Mei 2015 pukul 20:15
Berutu, Ali Geno .2014. Review Disertasi Tentang Penerapan Syariat Islam di Aceh.
Diambil pada 19 Mei 2015 dari
https://www.academia.edu/7419800/REVIEW_DISERTASI_TENTANG_PENERAPA
N_SYARIAT_ISLAM_DI_ACEH
15
16