Você está na página 1de 10

1.

Epidemiologi
Atelektasis lebih sering didapati pada anak dengan usia kurang dari 10 tahun

karena saluran udara yang lebih sempit dan lebih mudah terobstruksi oleh sekret,
serta peradangan saluran napas. Selain itu, saluran udara yang lebih kecil lebih mudah
dikompresi dan pada anak-anak cenderung tidak ada ventilasi kolateral (Bye, 2013)
Atelektasis pasca operasi dan lobar atelektasis umum terjadi di Amerika,
namun insiden dan prevalensi gangguan ini tidak terdokumentasi dengan baik.
Kematian pasien tergantung pada penyebab yang mendasari atelektasis. Pada
atelektasis pasca operasi, kondisi umumnya membaik. Prognosis lobar atelektasis
sekunder, obstruksi endobronkial, tergantung pada pengobatan keganasan (Madappa,
2014).
2.

Definisi
Berasal dari bahasa Yunani, atelek dan ektasis yang berarti ekspansi yang

tidak lengkap. Atelektasis diartikan sebagai volume yang berkurang mempengaruhi


seluruh atau sebagian dari paru (Madappa, 2014). Atelektasis merupakan keadaan
ketika sebagian/sekuruh paru mengempis dan tidak mengandung udara (Djojodibroto,
2009).
3.

Etiopatogenesis
Atelektasis dapat disebebakan oleh obstruksi saluran pernapasan, kompresi

jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks, intratoraks, maupun proses pada
dinding dada, penyerapan udara dalam alveoli, dan gangguan fungsi dan defisiensi
surfaktan (Bye, 2013).
1. Atelektasis Resorpsi
Terjadi akibat adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk udara
ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus
akhirnya berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps. Penyumbatan aliran
udara biasanya akibat penimbunan mukus dan obstruksi aliran udara
bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus tertentu. Setiap keadaan
yang menyebabkan akumulasi mukus, seperti: fibrosis kistik, pneumonia,
atau bronkitis kronik yang meningkatkan resiko atelektasis resorpsi.

Obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke dalam alveolus


yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang sudah terdapat dalam
alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan
alveolus menjadi kolaps.
Atelektasis absorpsi dapat

disebabkan

oleh

obstruksi

bronkus

intrinsik atau ekstrinsik. Obstruksi bronkus intrinsik paling sering


disebabkan oleh sekret atau eksudat yang tertahan. Tekanan ekstrinsik
pada bronkus biasanya disebabkan oleh neoplasma, pembesaran kelenjar
getah bening, aneurisma atau jaringan parut. Pembedahan merupakan
faktor resiko terjadinya atelektasis resorpsi karena efek anastesia yang
menyebabkan terbentuknya mukus serta keengganan membatukkan mukus
yang terkumpul setelah pembedahan. Hal ini terutama terjadi pada
pembedahan di daerah abdomen atau toraks karena batuk akan
menimbulkan nyeri yang hebat. Tirah baring yang lama setelah
pembedahan meningkatkan resiko terbentuknya atelektasis resorpsi karena
berbaring menyebabkan pengumpulan sekret mukus di daerah dependen
paru sehingga ventilasi di daerah tersebut berkurang. Akumulasi mukus
meningkatkan resiko pneumonia karena mukus dapat berfungsi sebagai
media perkembangbiakan mikroorganisme.
Atelektasis resorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang
menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan. Tanpa surfaktan
tegangan permukaan alveolus sangat tinggi, meningkatkan kemungkinan
kolapsnya alveolus. Bayi prematur dikaitan dengan penurunan produksi
surfaktan dan tingginya insiden atelektasis resorpsi. Kerusakan sel
alveolus tipe II yang menghasilkan surfaktan juga dapat menyebabkan
atelektasis resorpsi. Sel-sel ini dihancurkan oleh dinding alveolus yang
rusak, hal ini terjadi selama proses beberapa jenis penyakit pernapasan.
Demikian juga dengan terapi tinggi oksigen dalam periode lebih dari 24
jam. Akibat tidak adanya sel-sel ini produksi surfaktan mengalami
penurunan.
2. Atelektasis Kompresi

Terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan eksudat,
darah, tumor, atau udara, bersifat reversibel jika udara dan cairan
dihilangkan. Kondisi ini ditemukan pada pneumotoraks, efusi pleura, atau
tumor dalam toraks. Keadaan ini terjadi ketika sumber dari luar alveolus
menimpakan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus
menjadi kolaps.
Atelektasis kompresi terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka,
karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru
mengembang (tekanan pleura), dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru
akan kolaps. Atelektasis kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan
yang bekerja pada paru atau alveoli akibat pertumbuhan tumor, distensi
abdomen yang mendorong diafragma ke atas, atau edema dan penimbunan
ruang interstisial yang mengelilingi alveolus. Tekanan ini yang mendorong
udara ke luar dan mengakibatkan kolaps. Atelektasis tekanan lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan atelektasis absorpsi. Bentuk atelektasis
kompresi biasanya dijumpai pada penyakit payah jantung, penyakit
peritonitis atau abses diafragma yang dapat menyebabkan diafragma
terangkat keatas dan mencetuskan terjadinya atelektasis. Pada atelektasis
kompresi diafragma bergerak menjauhi atelektasis.
3. Atelektasis Kontraksi
Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru lokal
atau menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru secara
sempura. Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.
4. Mikroatelektasis
Mikroatelektasis (atelektasis adhesive) adalah berkurangnya ekspansi
paru-paru yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa kompleks yang
paling penting yaitu hilangnya surfaktan. Surfaktan memilki phospholipid
dipalmitoyl phosphatidylcholine yang mencegah kolaps paru dengan
mengurangi tegangan permukaan alveolus. Berkurangnya produksi
atauinaktivasi surfaktan, keadaan ini biasanya ditemukan pada NRDS
(Neonatal Respiratory Distress Syndrome), ARDS (Adult Respiratory
Distress Syndrome), dan proses fibrosis kronik.
3

NRDS atau dikenal sebagai hyaline membrane disease merupakan


keadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur, lebih sering
pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat
dibawah1500 gram. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfaktan
memadai. Surfaktan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli,
mencegah alveoli kolaps dan menurunkan kerja respirasi dengan
menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfaktan, tegangan
permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya
komplians paru, yang akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga
terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan asidosis respiratorik.
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas
membran alveolar kapiler terhadap air, larutan,dan protein plasma, disertai
kerusakan alveolar difus dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang
mengandung protein. Cairan dan protein tersebut merusak integritas
surfaktan di alveolus dan terjadi kerusakan yang lebih parah. Penyebab
langsung ARDS adalah injuri pada epitel alveolus, seperti aspirasi isi
gaster, infeksi paru difus, contusion paru, tenggelam, inhalasi toksik,
sedangkan penyebab tidak langsung ialah sepsis, trauma non toraks,
pankreatitis, dan transfuse darah yang masif.
4.

Patofisiologi
Mekanisme atelektasis obstruktif dan non-obstruktif sangat berbeda dan

ditentukan oleh beberapa faktor (Madappa, 2014).


1. Atelektasis Obstruktif
Berhubungan dengan

obstruksi

bronkus,

kapiler

darah

akan

mengabsorbsi udara di sekitar alveolus, dan menyebabkan retraksi


paru dan akan terjadi kolaps dalam beberapa jam. Pada stadium awal,
darah melakukan perfusi paru tanpa udara, hal ini mengakibatkan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi sehingga arterial mengalami
hipoksemia. Jaringan hipoksia hasil dari transudasi cairan ke dalam
alveoli menyebabkan edema paru, yang mencegah atelektasis komplit.
Ketika paru-paru kehilangan udara, bentuknya akan menjadi kaku dan
4

mengakibatkan dispnea, jika obstruksi berlanjut dapat mengakibatkan


fibrosis dan bronkiektasis.
2. Atelektasis Non-Obstruktif
Penyebab utama yaitu oleh karena tidak adanya hubungan antara
pleura viseralis dan pleura parietalis. Efusi pleura maupun
pneumothorax menyebabkan atelektasis pasif. Efusi pleura yang
mengenai lobus bawah lebih sering dibanding dengan pneumothorax
yang sering menyebabkan kolaps pada lobus atas. Atelektasis adesif
lebih sering dihubungkan dengan kurangnya surfaktan. Surfaktan
mengandung phispolipid

dipalmitoy

phosphatidyicholine,

yang

mencegah kolaps paru dengan mengurangi tegangan permukaan


alveoli. Kurangnya produksi atau inaktivasi surfaktan biasanya terjadi
pada ARDS, pneumonitis radiasi, atau trauma tumpul ke paru yang
menyebabkan alveoli tidak stabil dan kolaps. Kerusakan parenkim
paru juga dapat menyebabkan atelektasis sikatrik yang membuat
tarikan-tarikan yang bila terlalu banyak membuat paru kolaps,
sedangkan replacement atelektasis dapat disebabkan oleh tumor
seperti bronchialveolar carcinoma.
3. Platlike atelektasis (Focal atelectasis)
Disebut juga discoid atau subsegmental atelektasis, tipe ini sering
ditemukan pada penderita obstruksi bronkus dan didapatkan pada
keadaan hipoventilasi, emboli paru, infeksi saluran pernafasan bagian
bawah dengan horizontal atau platlike. Atelektasis minimal dapat
terjadi karena ventilasi regional yang tidak adekuat dan abnormalitas
formasi surfaktan akibat hipoksia, iskemia, hiperoxia, dan ekspos
berbagai toksin.
4. Postoperative atelektasis
Atelektasis merupakan komplikasi yang umum terjadi pada pasien
yang melakukan anastesi ataupun bedah, hal ini dapat disebabkan oleh
disfungsi diafragma dan berkurangnya aktivitas surfaktan. Atelektasis
ini biasanya pada bagian basal (bawah) paru ataupun segmen tertentu.
5.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Atelektasis

1. Obesitas
Dijelaskan bahwa selama anestesi umum, pasien yang mengalami
obesitas

memiliki

resiko

lebih

besar

terbentuk

atelektasis

dibandingkan pada pasien non-obesitas.


2. Tipe Anastesi
Atelektasis terbentuk akibat anastesi inhalasi dan intravena, terlepas
dari apakah pasien bernapas spontan atau lumpuh dan menggunakan
ventilasi mekanis. Ketamine adalah satu-satunya anastesi yang tidak
mencetuskan terjadinya atelektasis ketika digunakan secara tunggal,
meskipun terdapat hubungan dengan blokade neuromuskular, keadaan
ini dapat mengakibatkan atelektasis. Efek ventilasi dari anestesi
regional bergantung pada jenis dan luasnya blockade motorik. Blokade
neuroaxial dapat megurangi kapasitas inspirasi hingga 20% dan
volume cadangan ekspirasi yang mendekati nol, efek blokade yang
kurang luas dapat mempengaruhi pertukaran gas paru yang hanya
minimal, oksigenasi arteri dan eliminasi karbondioksida yang baik.
Keadaan ini dipertahankan selama anestesi spinal dan epidural.
3. Pengaruh Posisi
Penurunan volume sisa fungsional paru merupakan faktor predisposisi
terjadinya atelektasis, yaitu penutupan bronkus bagian bawah,
sehingga dapat menciptakan pola khas atelektasis basis. Pada orang
dewasa, terjadi perubahan FRC (Functional Respiratory Capacity)
dari posisi tegak ke posisi terlentang, yaitu terjadi penurunan FRC dari
0,5 liter ke 1,0 liter, ketika pasien terjaga. Setelah anestesi, FRC
berkurang dari 0,5 ke 0,7. Posisi trendelenburg memungkinkan isi
perut mendorong diafragma sehingga terjadi penurunan FRC. Posisi
terlentang pada pasien pasca bedah yang terbaring dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan pengurangan FRC dan dapat mencetuskan
terjadinya atelektsis.
4. Fraksi Oksigen Terinspirasi
Fraksi oksigen terinspirasi (FiO2) adalah jumlah oksigen yang
dihantarkan atau diberikan ke pasien melalui ventilator. Konsentrasi

berkisar 21-100%, Rekomendasi untuk pengaturan FiO2 pada awal


pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak
boleh terlalu lama sebab resiko keracunan oksigen akan meningkat.
Keracunan O2 menyebabkan perubahan struktur pada membran
alveolar kapiler, dan keadaan ini dapat menyebabkan edema paru,
atelektasis, dan penurunan PaO2 yg refrakter (ARDS).
Ketika gradien konsentrasi kapiler alveoli meningkat, kapiler akan
menyerap oksigen secara berulang dan terjadilah atelektasis.
Walaupun terdapat perbedaan pengguanaan konsentrasi oksigen, lebih
baik jika FiO2 diberikan lebih dari 0,8.
6.

Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas,

pengembangan dada yang tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala-gejala
lainnya adalah demam, takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi pernapasan,
pernapasan bronkial, dan sianosis. Jika kolaps paru terjadi secara tiba-tiba, maka
gejala yang paling penting didapatkan pada atelektasis adalah sianosis. Jika obstruksi
melibatkan bronkus utama, mengi dapat didengar, dapat terjadi sianosis dan asfiksia,
dapat terjadi penurunan mendadak pada tekanan darah yang mengakibatkan syok.
Jika terdapat sekret yang meningkat pada alveolus dan disertai infeksi, maka gejala
atelektasis yang didapatkan berupa demam dan denyut nadi yang meningkat
(takikardi). Pada pemeriksaan klinis inspeksi didapatkan berkurangnya gerakan pada
sisi yang sakit, bunyi nafas yang berkurang, pada palpasi ditemukan vokal fremitus
berkurang, trakea bergeser ke arah sisi yang sakit, pada perkusi didapatkan pekak dan
auskultasi didapatkan penurunan suara pernapasan pada satu sisi (Harrison, 2009).
7.

Diagnostik
Diagnosis atelektasis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang

didapatkan, serta pemeriksaan radiografi. Foto radiografi dada digunakan untuk


konfirmasi diagnosis. CT scan digunakan untuk memperlihatkan lokasi obstruksi.
Foto radiografi dada dilakukan dengan menggunakan proyeksi anterior-posterior dan
lateral untuk mengetahui lokasi dan distribusi atelektasis. Sebagai dasar gambaran

radiologi pada atelektasis adalah pengurangan volume paru baik lobaris, segmental,
atau seluruh paru, yang akibat berkurangnya aerasi sehingga memberi bayangan yang
lebih suram (densitas tinggi) dan pergeseran fissura interlobaris. Tanda-tanda tidak
langsung dari atelektasis adalah sebagian besar dari upaya kompensasi pengurangan
volume

paru,

yaitu:

penarikan

mediastinum

ke

arah

atelektasis,

elevasi

hemidiafragma, sela iga menyempit, pergeseran hilus (Madappa, 2014; Bye, 2013;
Sjahriar, 2009).

Gambar 1. Atelektasis pada lobus kiri bawah. Panah biru menunjukkan tepi daerah segitiga
menunjukkan kepadatan yang meningkat pada sulkus cardiophrenikus kiri. Panah merah pada CT Scan
aksial menunjukkan atelektasis pada lobus kiri bawah dibatasi oleh celah besar pengungsi.

8.

Terapi
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengeluarkan dahak dan kembali

mengembangkan jaringan paru yang kolaps. Terapi bisa dimulai dengan fisioterapi
thoraks agresif, tetapi mungkin memerlukan bronkoskopi untuk melepaskan
sumbatan pada paru dan reekspansi segmen paru yang kolaps. Jika penyebab
atelektasis adalah obstruksi parsial, maka langkah pertama adalah menghilangkan
obstruksinya. Sebuah benda asing dapat dihilangkan dengan cara membuat pasien
batuk, dengan suction, dan bronkoskopi (Hadjiliadis, 2014; Madappa, 2014).
Sumbatan lendir dapat dilakukan dengan cara drainase postural, yaitu cara
klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan mempergunakan gaya berat dan
sekret itu sendiri. Drainase postural dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya
sekret dalam saluran nafas dan mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak
terjadi ateletaksis. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk berbaring pada sisi normal

sehingga paru yang kolaps mendapat kesempatan untuk kembali berkembang. Pasien
dapat melakukan pernapasan yang dalam dengan tujuan agar paru dapat
mengembang. Dalam kasus atelektasis yang dikarenakan oleh pengumpulan cairan di
rongga pleura dilakukan drainase interkostalis (Hadjiliadis, 2014).
Jika alveoli mengalami kompresi karena beberapa tumor di rongga dada,
maka pengangkatan tumor dengan operasi harus dilakukan. Tetapi jika jaringan paruparu yang rusak diperbaiki dan tidak dapat dikembalikan secara normal maka satusatunya jalan untuk jenis atelektasis adalah lobektomi (Hadjiliadis, 2014; Madappa,
2014; Bye, 2013).
Terapi medikamentosa yang dapat diberikan seperti bronkodilator, antibiotik,
dan agen mukolitik. Bronkodilator (albuterol) dapat digunakan untuk mendorong
dahak sputum dan meningkatkan ventilasi. Antibiotik spektrum luas (cefaclor) untuk
mengobati infeksi yang mendasari, yang mungkin terjadi karena obstruksi bronkus.
N-acetylcysteine aerosol tidak rutin dianjurkan karena risiko bronkokonstriksi dan
kurangnya efikasi yang didokumentasikan (Madappa, 2014).
9.

Prognosis
Prognosis sangat bergantung pada penyebab yang mendasari, dan luasnya

paru-paru yang kolaps. Jika hanya sebagian kecil daerah paru-paru yang kolaps,
prognosis sering sangat baik. Di sisi lain, atelektasis bisa menjadi kondisi yang
mengancam hidup jika sebagian besar paru-paru terlibat, atau gejala-gejala muncul
dengan cepat (Hadjiliadis, 2014).
10.

Komplikasi (Madappa, 2014)


1. Pnemonia. Keadaan ini diakibatkan oleh berkurangnya oksigen dan
kemampuan paru untuk mengembang sehingga sekret mudah tertinggal
dalam

alveolus

dan

mempermudah

menempelnya

kuman

dan

mengakibatkan terjadinya peradangan pada paru.


2. Hypoxemia dan gagal napas. Bila keadaan atelektasis dimana paru tidak
mengembang dalam waktu yang cukup lama dan tidak terjadi perfusi ke
jaringan sekitar yang cukup maka dapat terjadi hypoxemia hingga gagal

napas. Bila paru yang masih sehat tidak dapat melakukan kompensasi dan
keadaan hipoksia mudah terjadi pada obstruksi bronkus.
3. Sepsis. Hal ini dapat terjadi bila penyebab atelektasis itu sendiri adalah
suatu proses infeksi, dan bila keadaan terus berlanjut tanpa diobati maka
mudahterjadi sepsis karena banyak pembuluh darah di paru, namun bila
keadaan segera ditangani keadaan sepsis jarang terjadi.
4. Bronkiektasis. Ketika paru paru kehilangan udara, bentuknya akan
menjadi kaku dan mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat
mengakibatkan fibrosis dan bronkiektasis.
11.

Daftar Pustaka

Bye, Michael R. 2013. Pulmonary Atelectasis. http://emedicine.medscape.com/article


/1001160-overview#showall Diunduh pada 12 Mei 2015.
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Hadjiliadis,

Denis.

2014.

Atelectasis.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus

/ency/article/ 000065.htm Diunduh pada 12 Mei 2015.


Harrison. 2009. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Penerbut Buku
Kedokteran EGC.
Madappa,

Tarun.

2014.

Atelectasis.

http://www.emedicine.medscape.com/

article/296468 Diunduh pada 12 Mei 2015


Sjahriar, Rasad. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

10

Você também pode gostar