Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
HASAN TIRO
13
Menurut Abu Jihad, Hasan Tiro kembali ke Aceh pada akhir tahun 1976.
Beliau segera mengumpulkan teman-teman dan pengikut setianya untuk
persiapan deklarasi ASNLF (Aceh-Sumatra National Liberation Front). Ada
sedikit perbedaan pendapat dalam menentukan tanggal dan hari deklarasi
tersebut, namun akhirnya ditetapkan tanggal 4 Desember 1976. Mengenai
tempat pengucapan Redeklarasi tersebut, menurut catatan harian Hasan
Tiro4, adalah di Bukit Cokan (Tjokkan Hill).
Setelah dirasakan cukup matang persiapannya, maka dikumandangkanlah deklarasi kembali ASNLF pada tanggal tersebut, yang menurut
Abu Jihad dan Al Chaidar, yang ternyata cocok pula dengan catatan harian
Hasan Tiro berbunyi sebagaimana terlampir.5
REDECLARATION OF INDEPENDENCE
OF ACHEH-SUMATRA
Acheh, Sumatra, December 4, 1976
To the peoples of the world:
We, the peoples of Acheh, Sumatra, exercising our rights of self-determination,
and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby
declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime
of Jakarta and the alien peoples of the island of Java.
Our fatherland Acheh, Sumatra had always been a free and independent
sovereign State since the world begun. Holland was the first foreign power to
attempt to colonialize us when it declare war against the sovereign State of Acheh,
on March 26. 1873, and on the same day invaded our territory, aided by Javanese
mercenaries. The aftermath of this invasion was duly recorded on the front pages of
contemporary newspaper all over the world. The London Times on April 22, 1873
wrote: A remarkable incident in modern colonial history is reported in East Indian
Archipelago. A considerable of Europeans has been defeated and held in check by
the army of native state the state of Acheh. The Achehnese have gained a dicisive
victory. Their enemy is not only defeated, but compelled to withdraw. The New York
Times on May 6th, 1873 wrote: A sanguinary battle has taken place in Acheh, a
native Kingdom occupying the Northern portion of the island of Sumatra. The Dutch
delivered a general assault and now we have details of the result. The attack was
repulsed with great slaughter. The Dutch general was killed, and his army put to
disastrous flight. It appear indeed to have been leterally decimated This event had
attracted powerfull worldwide attention. President Ulysses S.Grant of the United
State, issued his famous proclamation of impartial neutrality in this war between
Holland and Acheh.
On Christmas day 1873,. The Dutch invaded Acheh for the second time, and
thus begun what Harpers Magazine had called A Hundred Years War of Today,
4
5
14
one of the bloodiest and longest colonial war in human history, during which onehalf
of our people have laid down of their lives defending our souvereignity State. It was
being fought right up to the beginning of world war II. Eight immediate forefathers of
the signer of this Declaration died in the battlefields of that long war, defending our
souvereign nation, all as neccessive rulers and supreme commanders of the forces of
the souvereign and independent State of Acheh, Sumatra.
However, when, after World War II, the Dutch East Indies, was supposed to
have been liquidate, --an empire is not liquidated if its territorial integrity is
preserved, -- our fatherland Acheh, Sumatra, was not return to us. Instead, our
fatherland was turned over
by the Dutch to the Javanese their ex mercenairies by hasty flat of former
colonial powers. The Javanese are alien and foreign people to us Achehnese,
Sumatrans. We have no historic, political, cultural, economic or geographic
relationship with them. When the fruits of Dutch were conquests are preserved,
intact, and then bequeathed, as it were, to the Javanese, the result is inevitable that
the Javanese colonial empire would be established in place of that of the Dutch over
our fatherland, Acheh, Sumatra. But, colonialism, either by white, Dutch, Europeans
or by brown Javanese, Asians, is not acceptable to the people of Acheh, Sumatra.
This illegal transfer of souvereignity over our fatherland by old, Dutch
colonialists to the new, Javanese colonialists, was done in the most appalling
political fraud of the century: the Dutch colonialist was supposed to have turn over
souvereignity over our fatherland to a new nation called indonesia. But,
indonesia was a fraud: a cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world
begun, there never was a people,
much less a nation, in our part of the world by that name.. no such people
existed in the Malay Archipelago by definition of ethnology, philology, cultural
anthropology, sociology and by any other scientific findings. Indonesia is merely a
new lebel, in a totally foreign nomenclature, which nothing to do with our own
history, language, culture or interests; it was a new lebel considered useful by the
Dutch to replace the despicable Dutch East Indies, in an attempt to unite
administration of their illgotten, far-flung colonies, and the Javanese neo-colonialists
knew its usefulness to gain fraudulent recognition from the unsuspecting world,
ignorant of the history of the Malay-Archipelago. If Dutch colonialism was wrong, the
Javanese colonialism which was squarely based on it cannot be right. The most
fundamental priciple of international Law states: Ex injuria jus non oritur, -- Right
cannot originate from wrong. !
The Javanese nevertheless are attempting to perpetuate colonialism which all
the Western colonial powers had abandoned and the world had condemed. During
these last thirty years the peoples of Acheh, Sumatra, have witnessed how our
fatherland has been exploited and driven into ruinous conditions by the Javanese
colonialists: they have stolen our properties; they have robbed us from our livelihood,
they have abused the education of our children; they have exiled our leaders; they
have put our people in chains of tyranny, poverty and neglect; the life expectancy of
our people is 34 years and decreasingcompare this to the worlds standart of 70
15
16
Paragraf IV: Setelah berakhirnya Perang Dunia II, harusnya Belanda telah
dilikuidasi, tetapi nyatanya Aceh tidak kembali kepada kami, tetapi
diserahkan kepada Jawa. Jawa adalah sesuatu yang lain dan orang asing bagi
orang Aceh.
Paragraf V: Penyerahan yang tidak sah (illegal transfer) dari pen-jajah lama
Belanda kepada penjajah baru Jawa. Belanda sebetulnya menyerahkannya
kepada Indonesia, tetapi Indonesia sesungguhnya adalah negara baru yang
palsu yang hanya untuk menutupi penjajah Jawa.
Paragraf VI: Jawa berusaha untuk menjajah semua wilayah yang telah
ditinggalkan oleh penjajah Barat.
Paragraf VII: Kami orang Aceh tidak akan ada pertengkaran apa-apa
dengan orang Jawa, jika mereka tinggal di negaranya sendiri.
Paragaraf VIII: Yang kami inginkan adalah keadilan, tanah kami adalah
rakhmat Tuhan Yang Mahabesar, kami tidak akan meng-ganggu negara asing,
kami mengharapkan pengakuan dari masya-rakat dunia.
Redeklarasi asli tersebut memang dalam bahasa Inggris, yang beredar di
kalangan perwakilan negara asing dan di kantorkantor orang asing, tetapi
untuk kepentingan propaganda, juga dicetak dalam bahasa Aceh, dan beredar
di kalangan masyarakat Aceh baik di Aceh maupun di luar Aceh. Secara
terbatas juga beredar dalam bahasa Indonesia/bahasa Melayu. Siapa
persisnya yang mengedar-kan redeklarasi tersebut, tidak ada yang tahu
secara pasti, tetapi, seorang petugas loper IPTR (Ikatan Pemuda Pelajar dan
Mahasiswa Tanah Rencong), Medan bernama Dailami, mengakuinya bahwa
dia juga ikut mengedarkannya terutama kepada beberpa orang Aceh di
Medan, dan juga kepada beberapa kantor konsul negara asing atau
perusahaan asing yang ada di Medan. Sedangkan di Banda Aceh juga beredar
awal mulanya di kalangan mahasiswa, konon kabarnya diedarkan oleh
beberapa mahasiswa Darussalam yang telah ter-sentuh sejak tahapan mula
pertama, baik secara langsung maupun melalui teman-teman mereka yang
ada di Medan
Selanjutmya kapan AM atau ASNLF berubah atau bermeta-morfose
menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebagaimana populer disebut saat ini,
kami tidak menemui catatan tentang waktu yang pasti. Catatan yang ada
memang sedikit meragukan yakni dari buku Al Chaidar dan buku Abu Jihad,
yang berkenaan dengan susunan Kabinet Pertama Negara Islam Aceh, yang
berbunyi sebagai berikut: untuk segera berjalannya roda pemerintahan,
dalam mengatasi masalah-masalah yang mendesak, setelah empat hari
diproklamasikannya GAM, maka Kabinet Pertama Negara Islam Aceh disusun,
pada tanggal 24 Mei 1977, di Gunung Halimon, Aceh Pidie. Sedangkan
catatan harian Hasan Tiro6, yang ditulis untuk (pada) tanggal 22 Oktober
1977, antara lain menyebutkan bahwa: Pembentukan Kabinet Aceh Merdeka
adalah bersamaan waktunya dengan redeklarasi Kemerdekaan Aceh Merdeka,
yakni tanggal 4 Desember 1976. Pelantikan dan pengambilan sumpah
6
17
18
Duta Kuasa Penuh/Duta Keliling: Malik Mahmud sama tidak disebut (di
Singapura)
Panglima Pengawal Wali Negara: Daud Husen sama tidak disebut
Catatan:
1. Semua gelar Tengku (Tgk.), tidak dituliskan.
2. Jika tertulis sama, berarti sama dengan pendapat Abu Jihad.
3. Isa Sulaiman tidak menyebut tanggal dan tempat pengumuman kabinet
tersebut.
4. Catatan Harian Hasan Tiro, menyebutkan bahwa Asnawi Ali adalah Menteri
PU dan Industri, sementara Daud Husen, sebagai Kepala Staf AD.
Dari kalimat intro, (sumber Abu Jihad dan Al Chaidar), sebelum daftar
para Menteri, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kabinet Pertama tersebut disusun pada tanggal 24 Mei 1977, di Gunung
Halimon, Pidie, sedangkan catatan harian Hasan Tiro, dan Isa Sulaiman,
mengatakan pada hari yang sama dengan Redeklarasi Kemerdekaan Aceh,
Merdeka, yakni tanggal 4 Desember 1976.
2. Kabinet tersebut adalah Kabinet Negara Islam Aceh; bukan kabinet GAM,
atau bukan kabinet Republik Islam Aceh (RIA). Kalaupun ya, maka berarti
Kabinet Pertama GAM sama dengan Kabinet Republik Negara Islam Aceh,
walaupun Isa Sulaiman tidak mengatakannya demikian.
3.
tersebut
adalah
empat
hari
setelah
19
20
21
- Nanggrou, atau wilayah terdiri dari beberapa distrik atau daerah, namun
setelah Deklarasi Stavanger dibatasi hanya 4 distrik yang dipimpin oleh
kepala distrik. Sayap militernya adalah panglima distrik.
- Setiap distrik terdiri dari beberapa sagou, yang dipimpin oleh ulee sagou
sebagai pimpinan masyarakat, dan kemudian terdiri dari beberapa mukim,
sedangkan mukim terdiri pula dari beberapa desa yang dipimpin oleh kepala
desa yang disebut sebagai geu-syhik. Setiap geusyhik dibantu oleh seorang
wakil yang disebut gaki, dan dikelilingi oleh empat orang yang dituakan,
yang disebut sebagai tuha peuet.
Dari struktur menurut Kirsten tersebut, terasa agak rancu tentang
struktur pada tingkat distrik ke bawah.
Mengenai 17 wilayah yang disebutkan di atas, Kirsten merincinya sebagai
berikut: 1) Langkat, 2) Teumieng, 3) Peureulak, 4) Pase, 5) Batei Iliek, 6) Pidie,
7) Atjeh Rayeuk, 8) Meureuhom Daya, 9) Meulaboh, 10) Linge, 11) Alas, 12)
Lhok Tapak Tuan, 13) Blang Pidie, 14) Simeulu, 15) Pulo Le, 16) Sabang, 17)
Tiro.
Ada beberapa fase yang telah dilalui oleh GAM, yang menurut Kirsten 9,
menyebutkan sebagai berikut:
Fase I: Tahun 1976-1982, yang oleh Hasan Tiro disebutnya sebagai fase
pendidikan, yang lebih banyak berisi motivasi politik, latar belakang sejarah
serta membangkitkan kesadaran nasional Aceh. Menurut Hasan Tiro bahwa
ketika rakyat kehilangan kesadaran nasionalnya dan melupakan sejarahnya,
mereka tidak lagi akan menggunakan haknya untuk self-determination.
(when a people lose their national consciousness and forget their history, they
will no longer exercise their right to self-determination). Hasan Tiro sendiri
ketika itu berada di pedalaman Aceh, besama para pengikutnya, sampai
dengan tanggal 30 Oktober 1979, dan kemudian pergi ke Swedia dan menetap
di sana. Dalam fase ini pemerintah RI terutama jajaran Ke-amanan Negara,
masih menganggap enteng terhadap GAM. Mereka baru tersentak kaget,
ketika, pada tahun 1977, GAM menyerang Mobil Oil di Aceh Utara dan
terbunuhnya seorang kontraktor Warganegra AS, dan melukai warga asing
lainnya. Sejak itulah GAM dianggap serius, dan mulailah berbagai macam
operasi militer di Aceh, yang diawali dengan operasi intelijen yang intinya
adalah pasukan Kopassus, dengan kode sandi Ninggala-16.
Pada akhir fase ini, dan awal faseII, banyak di antara pimpinan GAM yang
tewas, tertangkap dan atau melarikan diri keluar daerah atau keluar negeri.
Fase II: tahun 1982 1988; yang mulanya menggunakan taktik
mengundurkan diri, atau calm down. Dalam Fase ini juga lebih banyak
manuver GAM di luar negeri, baik dalam rangka mencari dukungan
masyarakat internasional, mengumpulkan dukungan dana dari masyarakat
Aceh di Malaysia, melakukan pelatihan bagi anggota militer GAM di Lybia,
setelah mendapatkan green light dari Pemerintah Lybia, dan sebagainya.
Kirsten E. Schulze, dalam makalahnya, The Struggle for an Independent
Aceh: The Ideology, Capacity, dan Strategy of GAM, 2003.
9
22
Fase III: tahun 1988-1998; adalah masa operasi militer untuk menghadapi
operasi militer Apkam RI yang sangat intensif, yang dimulai dengan DOM
pada tahun 1989. Kapasitas dan daya tempur pasukan GAM, berikut kondisi
moril mereka agak meningkat, dengan adanya tambahan tenaga dan
semangat dari para alumni Lybia. Sebagaimana diketahui, dalam fase ini
korban rakyat sipil sangat banyak, disebabkan oleh berbagi tindak kekerasan,
oleh kedua pihak.
Fase IV: tahun 1998-2006; setelah dicabutnya DOM pada bulan Agustus
tahun 1998, dimulailah proses dialog, dan atau perun-dingan, untuk mencari
pemecahan permasalahan Aceh secara damai, tidak lagi dengan kekerasan
Ideologi GAM, menurut Kirsten, yang disarikannya dari berbagai
pendapat, tulisan, dan ucapan Hasan Tiro 10, antara lain, pada garis besarnya
terdiri dari 4 elemen yaitu:
1. Berkenaan dengan kebesaran sejarah Aceh dan kekhasan identitas orang
Aceh
2. Sentimen anti Jawa dan anti-Indonesia, yang diartikulasikan sebagai anti
kolonialisme
3. Anti kapitalisme
4. Islam.
Untuk kedua elemen yang terakhir, Kirsten menuliskan/ menilainya
sebagai elemen ideologi yang sedikit kurang kental, dibandingkan dengan dua
eleman lainnya.
Sementara itu Kirsten juga memerinci 4 kategori dari orang-orang
(pengikut) GAM, yakni: pertama: GAM yang tergolong garis keras, yang
kadar ideologinya jauh lebih kental dari pada yang lainnya, yakni mereka yang
lebih memilih aksi militer, ketimbang dialog, dan referendum. Kedua, adalah
GAM yang ideologinya moderat, yakni yang mau/dapat menerima proses
dialog dan referendum, sedang-kan yang ketiga adalah, GAM yang menjadi
GAM karena sakit hati atau ingin balas dendam, disebabkan orang tuanya
atau saudaranya menjadi korban kekerasan dan/atau kekejaman Apkam RI,
baik salama DOM, setelah atau sebelum DOM, maupun selama Darurat
Militer. Untuk kategori pertama dan kedua ini, dikonfirmasi oleh Said
Mustafa, salah seorang mantan petinggi GAM di Aceh Barat. Beliau sendiri
menurutnya, masuk menjadi GAM betul-betul karena per-timbangan
ideologis, ingin memperjuangkan agar Aceh berdiri tegak sebagai Bangsa yang
merdeka, berdaulat dan bermartabat, walau-pun Said kurang sepakat jika dia
disebut sebagai berada di garis keras. Adapun ketegori keempat adalah, GAM
ekonomi, atau GAM preman, yang lebih sering melakukan tindakan-tindakan
untuk mencari/ mendapatkan uang, ataupun tindak kriminal lainnya. GAM
seperti yang terakhuir ini juga sering disebut sebagai GAM cantoi, walaupun
tidak semua GAM cantoi tersebut melakukan tindakan kriminal.11
10
11
Hasan, op.cit.
Wawancara penulis dengan Said Mustafa, di Jeuram, tanggal 3 Juli 2006.
23
Hasan, op.cit.
Hasan Tiro, Demokrasi untuk Indonesia, 1958.
Isa Sulaiman, Aceh Merdeka, 2000.
24
Hasan. Yang bernama Tgk. Hasan inilah yang kemudian dikenal sebagai
Hasan Tiro.
Hasan Tiro kemudian, menikahi seorang Perempuan, yang me-nurut Isa
Sulaiman bernama, Dora, berkebangsaan AS, serta melahirkan sorang putra
bernama, Karim. Sedangkan Tgk. Zainal Abidin, menikahi seorang perempuan
bernama Zainab, yang saat ini menempati rumah pusaka mereka di desa
Lhok Rheuem, Kecamatan Tiro, melahirkan dua orang putra, yakni: 1). Fauzi,
dan 2). Iskandar. Skemanya adalah sebagai berikut:
Tgk. Chik di Tiro M.Saman X Aisyah: 7 orang Putra/Putri: a.l: Mahyiddin
X Perempuan: 3 Putra dan seorang Putri: Yaitu: Umar, Abdullah, Cut Amat,
dan Fatimah X Muhammad: 2 orang Putra, yaitu: Zainal Abidin dan Hasan =
Tgk. Hasan Tiro
Ayahnya Hasan Tiro, Leube Muhammad, meninggal pada tahun 1932,
yang berarti ketika itu Hasan Tiro baru berusia, 7 tahun. Oleh karenanya
Hasan Tiro, bersama abangnya Zainal Abidin, dipelihara/diasuh dan
dibesarkan oleh ayahwanya yakni Tgk. Umar, yang lazim disapa dengan Tgk.
Umar Tiro, atau menurut isterinya Zainal Abidin, anggota keluarga atau orang
sekampung sering menyapanya dengan Tu. Hasan Tiro bersekolah di
madrasah Saadah al Abadiah, pimpinan Tgk. Daud Beureueh, di Sigli, Pidie.
Kemudian beliau bersama Zainal Abidin, abangnya, melanjutkan pendidikan
ke Pergu-ruan Normal Islam di Bireuen, yang dipimpin oleh Tgk. M.Nur El
Ibrahimi, Sejak awal kemerdekaan Indonesia Hasan Tiro muda bersama
abangnya Zainal Abidin, telah mengambil bagian dalam perjuangan atau
berbagai kegiatan memperta-hankan kemerdekaan Republik Indonesia, dilevel
Lameulo, suatu Kecamatan di kabupaten Pidie. Mereka berdua ketika itu,
menurut Isa Sulaiman, adalah pengurus dari organisasi PRI, singkatan dari
Pemuda Republik Indonesia, di Kecamatan tersebut, sedangkan menurut Abu
Jihad, Hasan Tiro, ketika itu adalah Ketua BPI singkatan dari Barisan
Pemuda Indonesia.
Usia beliau saat itu adalah sekitar 20 tahun, seorang muda belia. Tidak
lama kermudian Hasan Tiro, meninggalkan Aceh dan kampung halamannya
berangkat ke Yogyakarta, untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas
Hukum, Universitas Islam Yogyakarta. Setelah membantu, terutama dalam
hal membangun kantor sementara dari Pemerintahan Sementara RI, di
Kutaradja, Hasan Tiro menjadi cukup dekat dengan Syafruddin
Prawiranegara. Hasan Tiro pun sangat efektik memanfaatkan ke dekatannya
tersebut dengan Syafruddin, dan setelah kembali ke Yogya, dia pun kemudian
mendapatkan beasiswa Colombo Plan. Menurut Isa Sulaiman pada tahun
1950, berangkat-lah beliau bersama Harun Ali, ke Amerika Serikat, dengan
fasilitas beasiswa tersebut. Sejak itulah Hasan Tiro berdomisili dan
25
26