Você está na página 1de 18

BAB V

ACEH SEBAGAI DAERAH


OPERASI MILITER DAN KEKEJAMAN

Ta jak lam uteuen ji kap le romueng,


Ta treun lam krueng ji kap le buya.
Ta jak u laot ji top le parou,
Ta wou u nanggrou ji poh le bangsa.
(Syamaun Gaharu)

APA yang disebut dengan operasi militer, sesungguhnya lah mulai digelar
sejak mula munculnya AM di Aceh. Pemerintah pusat mulai menganggap
serius terhadap gerakan yang diprakarsai oleh Hasan Tiro ini, setelah
terjadinya penyerangan terhadap 2 orang asing (AS) kontraktor pada
perusahan pengeboran minyak/gas Bechtel di sekitar Lhoksukon, yang
termasuk Aron Field, cluster III, dan seorang Cina warganegara Malaysia,
pengusahan HPH. Salah seorang di antaranya yang berkewarganegaraan AS,
bernama George Parucome ditembak oleh orang AM yang akan menagih
Pajak, pada tanggal 29 Nopember 1977, dan meninggal dunia, sedangkan
seorang lagi bernama Donal Stayer, mengalami luka berat. Konon kabarnya
kemudian dia pun meninggal.
Pelaku penembakan tersebut, menurut pihak intelijen, yang ketika itu
sebagai aparat dari Operasi Nanggala XVI Kopassus, adalah pasukan GAM di
bawah pimpinan Fauzi Hasbi (Abu Jihad). Ada pula yang menyebutkan bahwa
pelakunya adalah pimpinan AM di sekitar Aron ketika itu, adalah sesorang
yang bernama Robert dan/atau Yusuf Ali.
Tertembaknya mereka, berbarengan dengan semakin meningkat-nya
gangguan terhadap pembanguan proyek vital LNG. Korban pun berjatuhan,
baik dalam bentuk nyawa orang, luka-luka, maupun harta benda. Bersamaan
dengan itu, sebenarnya telah ada di Aceh, apa yang disebut dengan Operasi

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

45

Keamanan Dalam Negeri, baik berupa operasi teritorial, operasi tempur,


maupun operasi intellijen dan sebagainya. Demikian dikatakan oleh Jenderal
(Purn) Try Sutrisno dalam dengar Pendapat dengan Pansus DPRRI tentang
Aceh, pada tanggal 19 Nopember, 1999. Mungkin sejak adanya berbagai
macam operasi tersebutlah, Aceh lalu disebut berstatus sebagai daerah
operasi militer, yakni sejak tahun 1989. Mengingat daerah operasi militer
atau sering disingkat dengan DOM, bukanlah suatu status bagi suatu daerah
yang dikenal dalam lingkup Dephankam dan/ atau di kalangan Mabes TNI
dan/ atau di Mabes Polri, sehingga tidak ada deklarasi kapan operasi tersebut
dimulai sebagai suatu status formal bagi Aceh. Oleh karenanya juga, maka
tidaklah diketahui dengan jelas, kapan mulainya DOM tersebut.
Sementara itu dakwah GAM pun semakin sering dan intensif
dilaksanakan, yang kadang kala dikaitkan dengan peusijuek senjata,
sebagaimana antara lain yang dilaksanakan oleh Yusuf Ali, Panglima Pase, di
Meunsah Dayah, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, yang membaiat 40
orang pejuang GAM, dan juga perusijuek senjata mereka, pada tanggal 17
September 1989. Demikian pula yang dilakukan oleh Rais di Meureudu,
rekruitmen anggota GAM oleh Tgk Serawak di Banda Aceh dan Aceh Besar,
oleh Tgk. Iskandar di Langsa serta oleh Pawang Rasyid, di Geumpang,
semuanya pada tahun 1990. Aksi perampasan senjata pun semakin
meningkat, baik yang dilakukan oleh Yusuf Ali, maupun oleh GAM bersenjata
lainnya, di berbagai daerah, seperti di Pos jalan KKA Krueng Tuan oleh Robert
yang bernama asli Surya Darma, seorang desersi Pratu TNI, tanggal 26
September 1989, di Proyek PT Gruti, Krueng Tuan, pada tanggal 27 Februari
1990, di desa Pulo Naleueng Peusangan, oleh Umarmiyah, pada 20 April
1990, di Polsek Syamtalira Bayu, Aceh Utara, pada bulan April 1990, di
Polsek Kec, Peukan Baro, Pidie, tanggal 2 Januari 1990, di dekat Kampus
Jabal Gafur, Pidie, pada tanggal 10 Maret 1990, di Reubei, tanggal 2 Mei
1990, di desa Aramiah, Aceh Timur, pada tanggal 20 Mei 1990, di Simpang
Ulim, Aceh Timur, pada tanggal 6 Juni 1990.
Orang-orang GAM juga mulai melakukan intimidasi dan teror terhadap
transmigran, di UPT (Unit Penempatan Transmigrasi) Pintu Rimba, Kecamatan
Peudada, di Pirbun (Perusahaan Inti Perkebunan) Krueng Pase, Kecamatan
Kuta Makmur, di Bukit Hagu, Lhok Sukon, di Kecamatan Julok, di Rambung
Lup, Kecamatan Idi Rayeuk, yang mengakibatkan sejumlah transmigran
pulang kembali keJawa, atau melarikan diri ke tempat lainnya seperti ke
Langkat, dan Deli Serdang, sementara sebanyak 44 KK atau 210 orang
mengungsi ke Bireuen, dan Lhokseumawe, untuk memperolah perlindungan
dari aparat keamanan.
Aksi kekerasan orang GAM bersenjata terhadap suku tertentu, dalam hal
ini Jawa, selain meresahkan masyarakat, rupa-rupanya juga cukup
mengkhawatirkan orang-orang GAM tertentu lainnya, demikian pula
khususnya di kalangan beberapa aktivis mahasiswa, yang oleh apkam
dikategorikan sebagai pendukung atau simpatisan GAM. Mereka merasakan
kurang tepatnya cara-cara kekerasan terhadap suku tertentu tersebut. Untuk

46

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

itu sekitar bulan Juni dan Juli 1990, yang menurut Isa Sulaiman, mereka
yang terdiri dari Hasbi Abdullah, Mulkan, Nurdin AR, dan beberapa orang
lainnya, sering duduk membicarakan perihal tersebut, dan akhirnya sampai
pada kesimpulan untuk mengusulkan agar kekerasan terhadap suku Jawa
tersebut dihentikan. Namun usulan tersebut tidak mendapat respon yang
memuaskan dari pihak GAM yang bersenjta, dibuktikan dengan masih
terjadinya kekerasan serupa setelah itu, walaupun kualitas dan frekuensinya
sudah semakin berkurang. Namun di lain pihak muncul pula kekerasan
model baru, dengan modus operandi yang baru pula, yakni pembakaran
rumah-rumah sekolah, seperti misal nya: pembakaran SMA Negeri Idi
Rayeuk, SMA Negeri Bireuen, SMA Negari Peudada, SMP Negeri Lueng Putu,
SMP Negeri Trieng Gadeng, dan sebagainya.
Selain mengganggu keamanan dan ketertiban serta sangat meresahkan
masyarakat, pihak Aparat ke mana pun menjadi lebih serius menanggapinya.
Kalau tadinya masih ada sikap anggap enteng kepada GAM, malah ada yang
mengatakan, GAM akan segara dapat dibasmi atau diberantas, atau
ditumpas, sejak saat itu sikap seperti itu terkoreksi dengan sendirinya.
Apalagi setelah GAM menunjukkan kemampuannya menghadapi ABRI atau
aparat ke-amanan yang persenjataannya lebih lengkap, dan lebih modern,
misalnya ketika terjadinya perampasan 19 pucuk senjata M-16, beberapa
pistol dan 2 pucuk minimi, serta 4.000 butir peluru, dari TNI yang sedang
melakukan kegiatan pembangunan jalan dalam rangka ABRI masuk Desa,
atau juga sering disebut dengan Operasi Bhakti ABRI. Parampasan senjata
tersebut terjadi pada tanggal 26 September 1989 di Muara Batu, Krueng Tuan
dan tanggal 28 Mei 1990, di suatu desa di Kecamatan Buloh Blang Ara (Kuta
Makmur), sekitar 15 km dari Ibukota Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.
(Buku Kontras). Tiga orang prajurit TNI, tewas, dan beberapa orang luka-luka,
dalam insiden tersebut. Dengan kejadian itu nama Robert sebagai tokoh AM
bersenjata, di sekitar Aceh Utara semakin tenar dan semakin diburu siang
malam oleh TNI/Polri, sehingga menurut informasi ada sebagian dari senjata
tersebut, berhasil direbut kembali. Ada pula yang mengatakan bahwa Yusuf
Ali, yang saat itu sebagai Panglima Pase dan Ishak Daud, yang kemudian
menjadi Panglima Peureulak, juga ikut berperan dalam perebutan senjata
tersebut.
Sejak itulah operasi militer lebih intensip dan lebih teratur dilaksanakan, baik operasi intellijen yang ketika itu diperankan oleh Kopassus,
mulai dari operasi Nanggala-16, yang dipimpin oleh Mayor Sofian Efendi,
digantikan dengan operasi Nanggala-21, pimpinan Letda Syafrie Syamsuddin,
kemudian digantikan oleh Operasi Nanggala 35, dipimpin oleh Kapten
Sutiyoso, di samping operasi-operasi lainnya. Tujuan utama dari operasioperasi tersebut antara lain adalah, menetralisir situasi dan kondisi,
memulihkan keamanan agar konstruksi dari proyek-proyek LNG dapat
berjalan tanpa gang-guan, dan tentunya untuk mengatasi gerakan Aceh
Merdeka. Anehnya, sudah demikian kondisinya, masih saja pemerintah atau
tepatnya pihak keamanan mengatakan bahwa kekerasan dan pelanggaran

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

47

hukum tersebut dilakukan oleh orang-orang atau kelompok kriminal, yang


tidak mempunyai motivasi politik. Mereka adalah Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK). (Buku Kontras).
Status sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), kalaupun dapat dikatakan
sebagai
status,
sesungguhnya
dimulai
dengan
adanya
penempatan/penugasan (deployment) pasukan TNI untuk melaku-kan operasi
dengan nama sandi Operasi Jaring Merah di Aceh yang dimulai pada tahun
1989 dan berakhir dengan dihentikannya operasi tersebut. Sejak operasi
jaring merah tersebut, terjadi penambahan jumlah personil pasukan nonorganik sebanyak 6.000 orang, suatu angka yang cukup fantastis. Sementara
dihentikannya Operasi Jaring Merah, terkesan sebagai mencabut status DOM
oleh Panglima TNI Wiranto pada tanggal 7 Agustus 1998. Banyak petinggi
militer, merasa kurang pas, dengan istilah pecabutan DOM dan mereka terus
berargumentasi dengan mengatakan, sesungguhnya tidak ada istilah baku di
kalangan ABRI, untuk menyatakan atau memberi status suatu daerah
sebagai Daerah Operasi Militer atau DOM, jadi tidak ada yang perlu dicabut.
Yang ada adalah, untuk Aceh sejak akhir tahun 1989-an, mengingat
meningkatnya kegiatan GAM, diadakan dan di tingkatkan operasi militer yang
menurut Try Sutrisno, tergolong sebagai Operasi Keamanan dalam Negeri
(Ops Kamdagri), dan bukan operasi tempur. Yang dilakukan di Aceh ketika
itu, lebih berbobot sebagai operasi intellijen yang inti kekuatannya didominasi
oleh aparat Kopassus (Komando Pasukan Khusus), dibantu oleh pasukan elit
lainnya, yang merupakan pa-sukan non-organik di Aceh, yang dikenal dengan
nama Operasi Jaring Merah. Operasi intellijen, dapat saja digabung dengan
operasi teritorial, yang tujuan utamanya adalah membina, membimbing dan
mengembangkan masyarakat. Sedangkan status Aceh adalah tap saja sebagai
tertib sipil, sebagaimana daerah (Propinsi) lainnya.
Gangguan serius terhadap keamanan dan ketertiban yang diduga
dilakukan oleh orang-orang GAM, membuat Gubernur Aceh. Prof. Dr. Ibrahim
Hasan kuatir, jangan-jangan gangguan keamanan yang semakin meningkat
tersebut pada waktunya akan mengganggu proyek vital yang sedang giatgiatnya dibangun saat itu, serta akan mengganggu ketenangan dan
keselamatan rakyat pada umumnya. Oleh karenanya Ibrahim Hasan
melaporkan perihal tersebut, kepada Mendagri dan Presiden RI di Jakarta,
dan itu memang salah satu kewajibannya sebagai Gubernur/Wakil
Pemerintah Pusat di Daerah.
Sebenarnya yang di permalahkan dan/atau yang menjadi masalah dan
bahkan ditentang, bukanlah operasi militernya, apalagi kalau operasi,
tersebut benar-benar bertujun baik, demi kemas-lahatan rakyat Aceh, dan
keberlanjutan pembangunan Aceh. Tetapi justru berbagai kasus pelanggaran
hukum, pelanggaran HAM, dan berbagai tindak kekerasan, yang telah sangat
menyengsarakan dan menzalimi rakyat, yang menyertai operasi tersebut, yang
ditentang habis-habisan oleh orang Aceh, bahkan oleh siapa saja di muka
bumi ini, yang punya hati dan perasaan. Banyak sekali contoh dapat
dikemukakan sebagai indikator untuk mengatakan bahwa di Aceh telah

48

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

terjadi eskalasi atau peningkatan gangguan keamanan dan ketertiban umum,


sekaligus juga banyak sekali terjadi tindak keke-rasan, kekejaman terhadap
rakyat, serta pelanggaran HAM.
Pasukan organik yang ada di Aceh juga tentunya ikut membantu operasi
tersebut. Dengan legalitas Operasi Jaring Merah, keberadaan militer menjadi
merata dihampir seluruh Aceh, terutama di daerah-daerah kantong GAM.
Selama 9 tahun berada dalam status DOM, cukup banyak menelan korban
nyawa manusia, orang hilang, harta benda yang hancur dan musnah, baik
milik pribadi maupun milik publik. Adanya kuburan massal, adanya orang
mati tak tahu di mana kuburannya, adanya orang hilang karena dihilangkan,
adanya orang diculik atau ditahan untuk disiksa, adanya pembakaran
rumah/tempat-tinggal, toko atau kedai dan bahkan bangunan publik, yang
kesemuanya tergolong sebagai pelanggaran HAM, sangat menonjol terjadinya
dimasa DOM. Bahkan setelah DOM pun masih banyak korban berjatuhan.
Inilah antara lain yang dikatakan sebagai sesuatu yang baru oleh Prof. Jim
Siegel, Pengamat Aceh dari Cornell University, sebagaimana ditulis oleh Fikar
F. Weda, dan S. Satya Dharma, sebagai berikut: Sekarang Pemerintah
Indonesia dengan ABRI-nya melakukan tindakan terhadap rakyat yang berat
sekali. Kalau boleh bilang malah ganas. Kita melihat kuburan massal, itu luar
biasa. Luar biasa buat saya. Sejak perang Aceh melawan Belanda, tidak ada
kuburan massal. Kalau ada foto-foto, kita hanya lihat banyak orang yang
terbunuh oleh Belanda. Dan itu terjadi dengan cara bertempur. Jadi lain yang
terjadi di Aceh sekarang. Orang diculik, dibunuh, disiksa. Itu hal yang baru
dalam sejarah Aceh.1
Forum Peduli HAM Aceh melaporkan tentang berbagai korban kekerasasn,
selama DOM, sebagai berikut:
Orang tewas/terbunuh, sebanyak 1. 321 kasus.
Orang hilang, sebanyak 1. 958 kasus.
Penyiksaan, sebanyak 3. 430 kasus.
Pemerkosaan, sebanyak 128 kasus.
Pembakaran, sebanyak 597 kasus.2
Total keseluruhannya, sebanyak 7. 434 kasus.
Pada prinsipnya dan logikanya, penambahan personil militer ke Aceh,
untuk melakukan operasi militer adalah untuk menghadapi semakin
meningkatnya kegiatan-kegiatan GAM, dan/atau pengacau keamanan
lainnya, yang tidak mampu di atasi oleh personil TNI/ Polri organik, yang ada
di Aceh saat itu. Dengan penambahan baik personil TNI/Polri, berikut
peralatan dan persenjataannya, menjadi lebih mudahlah bagi TNI/Polri untuk
melakukan operasi, apa pun namanya, tegasnya dalam mengejar/memburu
dan mengeliminir ruang gerak GAM. Pihak GAM pun sangat sadar akan
Fikar F. Weda, dan S. Satya Dharma, Aceh Menggugat, 1999; dan buku
laporan lembaga Kontras.
2
Sumber: Forum Peduli HAM Aceh, 1999.
1

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

49

kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi mereka tersebut. Mulailah


mereka menempuh taktik menghindar, bahkan menjauh dari konsentrasi dan
area operasi TNI/Polri dan/atau dari perkampungan masyarakat, atau dari
sekitar jalan raya. Sebagian dari orang-orang GAM melari-kan diri ke luar
negeri, rerutama ke Malaysia, terutama melalui cara-cara illegal, yang
menurut Isa Sulaiman, ada sebanyak 286 orang mendarat di berbagai tempat
disepanjang pantai Malaysia, antara tanggal 15 Maret s/ 5 September 1991.
Tentunya tidak semuanya mereka adalah orang GAM, tetapi yang pasti adalah
mereka semuanya tidak tahan dan/atau takut kepada kekejaman operasi
apkam di Aceh yang tidak pilih bulu. Banyaknya pendatang illegal (haram)
dari Aceh ke Malaysia itu, telah menimbulkan masa-lah tersendiri dalam
hubungan diplomatik Indonesia Malaysia, walaupun kemudian masalah
tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Sebagian dari mereka kemudian
berhasil dibujuk untuk dipulangkan kembali ke Aceh melalui apa yang
disebut sebagai operasi bujuk yang digelar pada akhir tahun 1991. Sebagian
dari mereka selamat sampai di Aceh, namun sebagian ada pula yang hilang di
tengah jalan, atau tepatnya di tengah laut. Namun, Musanna, putranya A.
Wahab Umar Tiro. Iklil Iyas Leube, Said A. Hanan Adami, Yusra Habib Gani,
dan lain-lain sebanyak 43 orang, menerobos masuk halaman kantor UNHCR
(United Nations High Commisioner of Refugees) di Kuala Lumpur, pada
tanggal 22 Juni 1992, untuk meminta status pengungsi (refugee). Setelah itu
bebas-lah bagi mereka untuk menetap di negara mana yang dipilihnya.
Sementara itu, ada pula orang GAM yang tidak bernasib baik, mereka
tetap berada di Aceh, dan terus berjuang sambil dikejar-kejar oleh apkam RI,
sampai ke pucuk-pucuk gunung dan ke rawa-rawa dipantai, siang-malam,
sehinga banyak pula di antara mereka yang tewas, seperti: Iskandar di
Langsa, Amin Nafi di Pidie, Imum Hamzah di Batei Iliek, Yusuf AB di Matang
Keusijuek, Yusuf Ali di Krueng Guci, dan sebagainya, atau tertangkap seperti
T. M. Said, Ir. Linggadiansyah, dan sebagainya. Namun GAM tentunya, sangat
sadar bahwa semuanya tersebut adalah resiko atau harga yang harus dibayar
oleh suatu perjuangan, yang akan dipikul/diterima oleh siapa pun, apalagi
untuk suatu perjuangan yang diyakini oleh GAM sebagai suatu perjuangan
besar. Adalah wajar menurut masya-rakat, jika resiko dari operasi apkam
tersebut diterima secara pro-porsional oleh GAM, sebagai pihak yang terlibat
langsung dalam suatu konflik besar. Demikian juga halnya, adalah wajar, jika
ada akibat konflik yang diterima oleh apkam RI.
Tetapi yang tidak dapat diterima oleh masyarakat dan oleh fikiran sehat,
adalah mengapa rakyat yang tak terlibat langsung sebagai pihak dalam
konflik atau orang-orang yang tak berdosa, orang-orang sipil, termasuk anakanak dan kaum perempuan yang tidak tahu menahu, menerima akibat buruk
dari kekerasan dan kekejaman Operasi Militer tersebut. DOM. kenyataannya
tidak hanya mengatasi, menekan dan mengeliminir gerakan atau pasukan
dan orang-orang GAM, tetapi juga banyak, dan menurut sementara laporan,
bahkan lebih banyak tertuju kepada rakyat biasa yang bukan GAM.
Walaupun hal itu dikategorikan oleh aparat keamanan, sebagai akibat

50

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

sampingan dari suatu operasi militer, namun nyata-nya terjadi terus menerus
dan semakin meluas, tanpa perbaikan yang berarti, betapapun dikritik keras
oleh banyak pihak. Oleh karenanya, akhirnya terbentuklah citra, DOM adalah
kekejaman dan kekasaran/kebrutalan/ penyiksaan terhadap rakyat sipil,
yang kesemuanya adalah pelanggaran HAM berat. Sudah barang tentu,
Pemerintah atau pimpinan instansi keamanan, mengatakan bahwa itu
bukanlah kebijakan yang disengaja, tetapi lebih merupakan ekses. Kalaupun
ada yang disengaja, hanya lah berupa shock teraphy semata. Tetapi
masyarakat tentu dapat menilai, masa iya suatu shock teraphy berlangsung
selama 9 tahun secara terus-menerus dan merata diseluruh Aceh.
Kalau kita bertanya mengapa hal tersebut terjadi? Tentu banyak sekali
jawabannya, tetapi yang paling masuk akal, mungkin jawaban berikut:
1. Memang lebih mudah menemukan dan kemudian menganiaya rakyat sipil
di kampung-kampung, atau dikedai-kedai dari pada repot-repot mencari
GAM ke gunung-gunung, atau ke rawa-rawa, sedangkan ongkos operasinya
sama saja kalau dihitung perhari. Mencari GAM akan ada resiko
kemungkinan kena tembak oleh senapang GAM, tetapi menemukan rakyat
yang tak bersenjata, tidak ada resiko apa-apa. Mendapatkan orang-orang
kampung atau siapa saja, dan sekaligus menganiayanya menjadi perlu dan
bahkan harus, bagi apkam yang tidak professional dan cenderung untuk
sekedar balas dendam, atau untuk memenuhi dorongan emosional setia
kawan/solidaritas korp, mengingat pada waktu lain ada teman mereka
yang diganggu dan/atau ditembak oleh GAM, bukan oleh orang kampung
yang dianiaya tersebut. .
2. Perlu ada laporan, baik ke induk pasukan, maupun ke Jakarta, tentang
berapa orang GAM yang ditemui dan dimusnahkan, atau dibina, sehingga
kalau memang sulit mencari GAM yang se-benarnya, ya, siapa sajalah yang
ketemu, yang penting dalam laporannya disebutkan bahwa mereka adalah
orang GAM.
3. Setaip ada laporan menemukan atau memusnahkan orang GAM, adalah
suatu prestasi, dan credit point, yang mempunyai dampak bagi kenaikan
pangkat. Oleh karenanya setiap operasi, dibenak masing-masing orang
yang ikut operasi, adalah kenaikan pangkat, dan tambahan insentif
lainnya, tidak perduli siapa yang akan menjadi korban, atau dikorbankan
untuk itu. .
4. Prajurit apkam RI memang rendah sekali sense of Human Rightsnya,
sehingga nyawa manusia bagi mereka adalah sesuatu yang tidak ada
nilainya sama sekali, dibandingkan dengan kanaikan pangkat dan insentif
yang mungkin dirimanya. Lain halnya kalau nyawa tersebut adalah nyawa
dia sendiri, atau kalau kejadian tersebut menimpa dia sendiri dan/atau
keluarga-nya. Hak Asasi Manusia oleh karenanya akan kalah atau pun

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

51

dikorbankan umtuk sesuatu yang dibungkus dengan adagium to kill or to


be killed dalam suatu pertempuran.
5. Diduga ada grant strategy untuk menganiaya dan menghancur- leburkan
orang Aceh, karena selalu berontak, dengan cara menyamaratakan atau
berasumsi bahwa semua orang Aceh ada-lah GAM atau pendukung GAM
atau simpatisan GAM. Maka semua orang Aceh haruslah diperlakukan
sebagaimana perla-kuan terhadap GAM, jadi harus dimusnahkan atau
paling tidak harus di lumpuhkan, atau dibuat tak berdaya.
6. Diduga ada grant strategy lain, yakni untuk memelihara kelanggengan
konflik di Aceh. Dengan berbuat kejam dan sangat menyakiti hati orang
Aceh tersebut, akan terpeliharalah dendam di hati sanubari orang Aceh,
kepada apkam RI. Sehingga sedikit saja ada masalah, diharapkan oleh
sutradara grant strategy tersebut, agar Aceh akan berontak lagi, karena
dendam dan sakit hati itu. Orang-orang yang menghendaki kelanggengan
konflik Aceh atau konflik di Aceh, adalah mereka yang memang bisnisnya
hanya akan hidup dan menguntungkan dalam suasana konflik. Adalah
paling keji, jika ada di antara mereka yang mendesain, Aceh sebagai tempat
atau wilayah ajang latihan bagi apkam RI, terutama latihan perangperangan secara fisik atau latihan menggunakan senjata, dengan
menjadikan tubuh orang Aceh sebagai sasaran tembak, atau sasaran
penganiayaan. Ada pula yang ingin menjadikan konflik Aceh sebagai ajang
latihan untuk meningkatkan kewaspadaan dan Katahanan Nasional di
segala bidang.
Ada di antara korban kekejaman tersebut diambil atau diculik, disiksa,
dan kemudian dibunuh diam-diam di suatu tempat, atau ada juga yang
bernasib baik, dilepas. Ada pula yang dibunuh terang-terangan atau
dipertontonkan di depan publik, atau di depan keluarga dan kaum
kerabatnya. Oleh karenanya rakyatlah yang paling banyak menderita selama 9
tahun masa DOM. Rakyat benar-benar terzalimi, bagaikan berada dalam
neraka, dan tidak tahu mau berbuat apa, dan tidak pula tahu mau
mengadu ke mana atau kepada siapa.
Kondisinya persis, sebagaimana yang digambarkan oleh banyak panyair,
yang diinspirasikan oleh syair Taib Adami 3 ketika membela diri di pengadilan,
lebih kurang sebagai berikut:
Ta jak bak Geusyhik, lagei bok pik hana sagou
Ta jak bak Camat, haba mangat geunap urou ....
Ta jak bak Wedana, lagei tima hana talou,
Ta jak bak Bupati, lageu gusi hana gigou,
Ta jak bak Gubernur, hom hai, ta meuleueh-lheueh keudrou ....

Taib Adami, Aceh Mendakwa..

52

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

Akhirnya rakyat pasrah, tidak tahu lagi ke mana mengadu, apa yang
terjadi terjadilah. Rakyat pun berfikir, tentu disuatu waktu pertolongan dan
keadilan akan datang, karena keadilan tersebut ada di tangan Allah SWT,
dapat saja disalurkan melalui tangan-tangan makhluk yang dikendakinya.
Hanya dengan berfikir pendek yang sedemikianlah rakyat akhirnya mengurut
dada, menerima kenyataan tersebut, semata sebagai takdir Allah. Mungkin
dengan cara demi-kianlah dia dapat kembali tegak dan tegar menghadapi
masa depan yang lebih penting lagi dari pada masa yang lalu yang penuh
keke-laman dan kepahitan.
Rakyat ketika itu, memang serba salah, baik dalam menghadapi berbagai
operasi militer TNI/Polri, dan juga dalam menghadapi kontra operasi tersebut
dari pihak GAM, atau orang-orang yang mengatas namakan GAM. Hampir
tiap hari orang mati, orang hilang atau dihilangkan, pembakaran,
pemerkosaan,
perampasan
hak
dan
harta
bendanya,
penganiayaan/penyiksaan, dan hampir tiap hari pula kedapatan mayat
bergelimpangan baik tanpa maupun dengan identitas di pinggir jalan, di
semak-semak, dalam sungai, dan di tempat-tempat lain.
Sementara itu terkenallah beberapa arena pembunuhan (killing field) dan
pasca pembunuhan baik kuburan massal yang sengaja digali, atau kuburan
gelap dan/atau tempat pembuangan mayat, setelah dibunuh dengan kejam,
seperti:
- Kuburan massal, atau tempat pembuangan mayat, dengan mayat yang
bertumpuk-tumpuk di Bukit Tengkorak, di Kec. Jambo Aye, Aceh Utara,
pada tahun 1990.
- Kamp Tahanan dan Jembatan di di Buket Takteh, Peureulak Aceh Timur, 7
orang tewas, ditembak setelah/pada saat diinterogasi di jembatan dan
mayatnya jatuh ke sungai.
- Tanggal 12-16 September 1990, ditemukan tiga jenazah dalam karung, di
tepi jalan raya, di Seumadam, Aceh Timur, dan beberapa hari kemudian
ditemukan lagi 4 jenazah di Kejuruan Muda, kemudian di Halaban, Besitang
Sumut pada tanggal 19 September 1990, ditemukan satu jenazah, sedang di
Jempa, Aceh Utara, ditemukan pula 8 jenazah pada pertengahan September
1990, dan seterusnya.
- Desa Lueng Sa, Simpang Ulim, Aceh Timur, dua orang tewas, dieksekusi di
depan umum, pada hari 17 Ramadham 1991.
- Kuburan massal Blok B, UPT IV, Kebun Kelapa Sawit, Jambo Aye, Februari
1991.
- Tempat tahanan dan penganiayaan serta pembunuhan Rumoh Geudong, di
Pidie, dan juga Kamp Tahanan dan penyiksaan Rancung, dikomplek Proyek
Vital, dekat Lhokseumawe. Dua Kamp ini sangat termasyhur dimasa DOM,
dan tentu saja, jangankan masuk ke dalamnya, mendengar namanya
sajapun orang sudah menggeletar ketakutan.

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

53

- Beberapa kuburan massal, seperti di Jalan Mobil Oil, Kec. Sukamakmur, di


Perkebunan Kelapa Sawit PTP-V hutan Seureuke, Perkebunan Alue Nireh,
Jurang Jalan TangseBeureunuen.
Demikian pula banyak terdapat tempat pembuangan mayat, seperti
Sungai Arakundou, Lhok Nibong, di desa Seureuke, Kec. Jambo Aye, Kuburan
massal di Bukit Sentang, Lhok Sukon, Jurang Cot Panglima, Pembantaian
Tgk. Bantaqiah, dan sebagainya. Di samping itu menonjol pula adanya
kampung janda sebagai simbol dari pemusnahan kaum laki-laki di suatu
kampung, sehingga tinggallah para janda dan anak-anak.
Memang, dari berbagai fakta di lapangan, tidak seluruhnya kekerasan dan
kekejaman serta pembunuhan/penghilangan tersebut dilakukan oleh aparat
keamanan TNI/Polri. Ada juga yang dilakukan oleh orang-orang tak dikenal,
atau oleh orang yang dikenal masyarakat sebagai GAM, atau orang-orang
yang mengatasnamakan TNI/Polri dan/atau GAM. Namun yang sangat
disesali masyarakat adalah perlakauan-perlakuan yang menyakiti hati,
perasaan dan fisik rakyat, tegasnya yang menzalimi rakyat, yang dilakukan
oleh apkam RI. Karena mereka adalah warganegara syah dari RI. Karena
tugas apkam RI, adalah untuk melindungi rakyat dan bukan sebaliknya, dan
tugas mereka adalah untuk membina dan mendekati rakyat dan bukan
sebaliknya, tugas mereka adalah untuk mencari simpati rakyat dan
masyarakat dan bukan sebaliknya. Perlakuan/ kekejaman/kekasaran
mereka, diakui oleh masyarakat sebagai lebih menonjol dan lebih merata
ketimbang yang dilakukan oleh pihak GAM dan atau oleh provokator lainnya.
Jika di renung-renung kembali, memang masuk akal juga, mana mungkin
GAM sempat melakukaan sesuatu lagi, termasuk keke-jaman dan kekerasan
terhadap rakyat, sementara mereka sedang atau pagi-sore, siang-malam,
dikejar-kejar oleh TNI/Polri, mereka lebih memilih lari terbirit-birit
menyelamatkan diri, ketimbangan melakukan sesuatu yang menyakiti rakyat
dikampung. Perlu juga dicatat, bahwa selama DOM, operasi TNI/Polri sangat
intensip dan merata setiap saat, dan diseluruh wilayah Aceh, dari pantai
sampai ke kaki-kaki bukit.
Sangat tragis, mencekam dan menyakitkan rakyat Aceh ter-hadap
berbagai kekejaman dan kebrutalan selama DOM tersebut, oleh karenanya
ketika Pangab Wiranto, mengumumkan akan mena-rik semua pasukan nonorganik dari Aceh dihadapan Muspida Aceh di pendopo Aceh Utara, pada
tanggal 7 Agustus 1998, disambut oleh hadirin/hadirat, dengan kumandang
Allahu Akbar, disertai dengan katerharuan yang mendalam, serta secara
beramai-ramai pula mere-ka melakukan sujud syukur, demikian pula di
kalangan masyarakat. Pangab Wiranto, antara lain mengatakan Setelah
mendapat restu dari Presiden Habibie, mulai hari ini, ABRI akan segera
menarik satuan-satuan ke luar Aceh, September tahun ini. Kepada Pangdam,
saya beri waktu satu bulan untuk menarik semua pasukan yang bukan
organik Aceh, Sebagai pimpinan ABRI saya putuskan bahwa keamanan Aceh,
sepenuhnya saya serahkan kepada rakyat Aceh sendiri, yaitu kepada para

54

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

ulama, tokoh masyarakat, guru, pejabat pemerintah, dan seluruh lapisan


masyarakat, termasuk satuan-satuan ABRI milik Polda dan Korem-Korem
Aceh sendiri
Kekerasan dan Kekejaman setelah DOM
Namun setelah DOM dicabut, bersama dengan dihentikannya Operasi
Jaring Merah, bukanlah berarti Aceh terbebas dari operasi militer. Setelah
keamanan Aceh beralih ke tangan Pasukan TNI dan Polri organik, dibentuklah
kemudian operasi yang menggunakan tenaga inti Polri dan TNI organik
tersebut, antara lain yang dikenal dengan nama: Operasi Sadar Rencong-I
(Mei 1999-Januari 2000, Operasi Sadar Rencong II (Februari 2000-Mei 2000),
Operasi Sadar Rencong III (Juni 2000-Februari 2001), PPRM (Pasukan
Penindak Rusuh Massa), Operasi Cinta Meunasah (Juni 2000-2001), dan
Operasi Cinta Damai ( 2001-2002).
Suatu kenyataan yang sangat disesalkan, kembali terjadi seba-gaimana
adagium operasi militer tetap saja menelan korban, siapa pun pelaksananya,
tidak perduli organik ataupun non-organik. Dicabutnya DOM, kemudian
digantikan oleh PPRM (Pasukan Penin-dak Rusuh Massa), Operasi Satgas
Wibawa 1999, tetap saja yang menonjol adalah pembunuhan, kekejaman,
kekerasan di mana-mana, dan tetap saja tidak pilih bulu dan pelanggaran
HAM, baik yang diduga dilakukan oleh oknum aparat keamanan, maupun
oleh oknum GAM atau oleh orang tak dikenal lainnya, dengan korban yang
sama, yaitu rakyat sipil. Ada beberapa kasus yang tampil di media massa, di
samping banyak lainnya yang tidak terekspos, seperti:
- Penganiayaan di gedung KNPI, Lhokseumawe, pada hari Sabtu tang-gal 9
Januari 1999, di mana 4 orang tewas, dan 23 orang tahanan lainnya
terpaksa dirawat di Rumah Sakit.
- Penembakan membabi buta di Idi Cut, terhadap kerumunan orang/ rakyat
yang baru pulang dari (baru selesai) mendengarkan dakwah, pada tanggal 2
Februari 1999, dan sweeping yang dilakukan oleh aparat keamanan besok
harinya tgl 3 Februari 1999, sehingga jumlah orang tertembak dan hilang
sebanyk 25 orang.
- Penembakan brutal di Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh), Krueng Geukueh,
Aceh Utara, tanggal 3 Mei 1999, yang menewaskan rakyat sebanyak 65
orang, dan luka-luka sebanyak 119 orang, termasuk perempuan dan anakanak.
- Pembunuhan orang di Alue Nireh, Aceh Timur, tanggal 14 Mei 1999.
- Penghadangan pasukan PPRM dan tenaga medis, di Cot Kruet, Peudada,
Aceh Utara, tanggal 25 Mei 1999, yang menewaskan dua orang polisi,
seorang Dokter, dan seorang tenaga para medis.

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

55

- Penghadangan pasukan Aparat Keamanan yang berpatroli di Gunung


Malem, Aceh Barat pada tanggal 29 Mei 1999, yang menewaskan 9 orang
aparat keamanan.
- Penembakan kepada kerumunan rakyat, akibat pecah ban mobil PPRM yang
sedang operasi di Alue Nireh, Peureulak, Aceh Timur, pada tanggal 13 Juni
1999, menewaskan 2 orang anak dan 3 orang dewasa, serta beberapa orang
luka-luka.
- Upaya menggagalkan Pemilu dengan ancaman, di Aceh Utara dan Pidie,
pada bulan Juni 1999.
- Pembantaian Tgk Bantaqiah, seorang Pimpinan Pesantren (Dayah) di desa
Blang Meurandeh, Beutong Ateueh, Aceh Barat, berikut anak dan santrinya
serta penduduk sekitar, seluruhnya sebanyak 57 orang, pada tanggal 23
Juli 1999, karena dituduh (menurut laporan intelijen) menyimpan senjata
dan menanam ganja. Mereka ditembak mati di Pesantren tersebut dan
meninggal di tempat sebanyak 31 orang, selebihnya dieksekusi di kilometer
7, dan 8 dalam perjalanan menuju ke Takengon.
- Upaya mengancam rakyat yang hendak mengibarkan bendera Merah-Putih
pada tanggal 17 Agustus 1999, dan merampas bendera tersebut.
- Pembakaran Hotel Meutia, milik Pupuk Iskandar Muda, di Aceh Utara
Oktober 1999.
- Pembakaran kantor Bupati, DPRD, Bappeda, dan kantor lainnya di
Meulaboh, Aceh Barat, tanggal 2 Nopember 1999.
- Mengancam dan memaksa Geusyhik untuk tidak bekerja, sehingga banyak
Geusyhik yang mengembalikan Cap Stempel ke kantor Camat.
- Memaksa orang/rakyat untuk mengungsi, dengan alasan takut kepada
operasi Aparat Keamanan.
- Merajalelanya produksi dan lalu lintas Ganja.
- Ustaz atau ulama, yang sering menganjurkan amar maruf nahi munkar,
walaupun sedang pulang sholat di masjid atau di meu-nasah, atau mereka
yang tidak membayar uang pajak nanggrou, diculik, kemudian dianiaya atau
dibunuh.
- Seseorang, laki atau perempuan, dibunuh dengan semena-mena dengan
tuduhan cuak, atau dekat dengan si pai.
- Seseorang dibunuh di depan keluarganya tanpa diketahui apa kesa-lahannya,
kecuali dia adalah suku Jawa, demikian juga pembu-nuhan lainnya seperti
terhadap orang yang tidak bersedia atau tidak cukup membayar uang
tebusan.
- Penculikan dan Pemerasan terhadap Pegawai negeri atau pejabat negara
atau kontraktor, atau orang tertentu, yang diharuskan membayar upeti atau

56

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

uang tebus nyawa sejumlah tertentu, jika tidak sanggup memenuhinya


akan dianiaya atau diseksekusi, atau dirampas harta bendanya.
- Pembakaran atau perampokan atau perampasan dijalanan umum baik
terhadap Bus, dan atau angktuan barang.
- Pembakaran bangunan publik, terutama rumah-rumah sekolah.
- Sweeping di jalanan umum, jika menemukan anggota TNI/ Polri dan atau
orang-orang tertentu yang curigai, segera diculik, dianiaya dan atau
dieksekusi.
- Pamaksaan atau anjuran untuk mogok kerja pada tanggal 4-5 Agustus
1999, dan anjuran mogok kerja bagi pegawai negeri, kecuali pegawai Rumah
Sakit, PLN, kantor Pos, dan beberapa kantor pelayanan umum, sejak tanggal
1 Oktober 1999 s/d merdekanya Aceh.
- Penembakan terhadap 6 orang anggota Marinir di Jeunieb, Bireun, saat
menunaikan sholat maghrib di suatu Mushalla, pada bulan Januari 2000.
- Penculikan dan pembunuhan terhadap Tgk. Nashiruddin Daud, Wakil Ketua
Pansus DPRRI tentang Permasalahan Aceh, di Medan, dan mayatnya
kemudian ditemui di desa Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra
Utara.
- Diculik dan kemudian dibunuhnya Djafar Siddik, aktivis IFA (International
Forum for Aceh), suatu LSM yang berbasis di New York.
- Dan berbagai bentuk praktek kekerasan lain.
Reaksi DPRRI dan Masyarakat terhadap DOM dan Kekerasa
DPRRI, menanggapi kekejaman dan kekerasan, serta buruknya akibat
DOM ini, segera membentuk apa yang disebut dengan Tim Pencari Fakta
(TPF), yang diketuai oleh Letjen Hari Sabarno, dengan anggotanya antara lain
Ghazali Abbas Adan, Dr. Muchtar Azis, T. Syahrul, ketiganya anggota DPRRI
dari Daerah Pemilihan Aceh, dan sebagainya. TPF inipun mengadakan
kunjungan ke Aceh. dan bertemu dengan banyak kalangan. Selama
kunjungan lima hari ke Aceh, selain TPF banyak sekali menemukan kejadiankejadian dan/atau laporan tentang kejadian yang dapat digolongkan sebagai
pelangaran HAM. Namun yang mengherankan adalah bahwa TPF tidak
menemukan adanya latar belakang ideologis dari Gerakan Aceh Merdeka,
tetapi semata-mata berkaitan dengan keadilan terutama di bidang ekonomi,
dan kesejahteraan rakyat.4
Sementara itu Taman Iskandar Muda (TIM), untuk meng-antisipasi akibat
buruk dari DOM tersebut segera pula membentuk Komite Solidaritas HAM
Daerah Istimewa Aceh, disingkat KOSHAMDA, yang diketuai oleh Amran
Zamzami, Wakil-wakil Ketua: Dr. Said Zainal Abidin, dan Debra H. Yatim,
Sekretaris Drs. Hasballah Saad, Wakil-wakil Sekretaris, Mawardi Abdullah, SE
4

Weda, op.cit, hlm. 159 dan 216.

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

57

dan Dra Umaimah Wahid, Bendahara, Marzuki Djoened, SH., Wakil


Bendahara, Drs. H A. Wahab Rachmadsyah, dengan 14 orang relawan yakni:
H. M. Yusuf Gading, H. Syamsuddin Abubakar, SH., Drs. H. Ali Hasyim, Drs.
H. Said Umar Husin, Fachry Ali, MA, Drs. Sayed Mudhahar Ahmad, SH., Drs.
H. Ramly Ganie, H. Said Mustafa, Ir. H. T. Zulkarnain Yusuf, Drs. Hasyim
Syam, Fajran Zein, SH., Christine Hakim, Eros Djarot, dan Ir. H. Nur Gaybita.
Penasihat adalah: Prof. Dr. Ismail Sunny, SH., H. Ismail Hasan
Metareuem, SH., M. Salim, SH., dan Ir. Mustafa Abubakar.
Pernyataan atau resolusi perdana yang dikeluarkan oleh Komite
Solidaritas HAM di Aceh ini, yang ditandatangani oleh Amran Zamzami
sebagai Ketua dan Hasballah M. Saad sebagai Sekretaris, adalah terdiri dari 6
butir Pokok-Pokok Pikiran Masyarakat Aceh, Jakarta. Pokok-pokok pikiran
tersebut disampaikan oleh KOSHAMDA, dalam dengar pendapat dengan
Komisi-I DPRRI, tanggal 19 Februari 1999, yakni sebagai berikut:
Meminta kepada pemerintah dan ABRI agar segera menghenti-kan
berbagai tindak kekerasan, pembunuhan dan pelanggaran HAM di Aceh yang
berlarut-larut. Mengharapkan pemerintah dan ABRI bertanggung jawab
dalam memberikan rasa aman dan perlindungan hukum terhjadap anggota
masyarakat yang hak-hak dasarnya telah dirampas, sehingga mereka dapat
kembali hidup layak sebagai warga negara.
Meminta agar pemerintah dan ABRI segera mengusut tuntas dan memberi
tindakan hukum yang tegas terhadap para pelaku tindak kekerasan dan
penembakan terhadap anggota masyarakat di ber-bagai tempat di Daista
Aceh.
Meminta agar pemerintah dan ABRI menjelaskan kepada masya-rakat
secara jujur dan terbuka, siapa saja para pelaku penembakan dan tindak
kekerasan itu, serta segera dilakukan penyelidikan ter-hadap motivasi dibalik
tindak kekerasan itu secara obyektif dan terus-terang, sehingga para
pelakunya dapat dibawa ke depan pe-ngadilan.
Meminta kepada pemerintah dan ABRI menindak lanjuti berbagai
komitmen, seperti membantu pemulihan para korban dengan pemberian
kompensasi yang lauak dan pelayan yang berdasrkan niali agama terhadap
korban pembunuhan massal, dan penyelesaian jaminan kelangsungan hidup,
kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak korban tindak kekerasan.
Meminta pemerintah dan ABRI, agar bersunguh-sungguh men-cari
penyelesaian terhadap masalah Aceh secara politik, hukum dan keamanan,
ekonomi, sosial dan budaya, sehingga akar masalah pertentangan dan
perbedaan pandangan dapat diselesaikan secara tuntas, namun bukan
dengan jalan kekerasan dan arogansi kekuasaan sepihak. Pengalaman di Aceh
menunjukkan bahwa cara-cara kekerasan tidak pernak dapat menyelesaikan
masalah secara tuntas.
Anggota ABRI non-organik yang beroperasi di Aceh, perlu segera ditarik,
untuk mencegah terulangnya tindak kekerasan dan pelang-garan HAM yang

58

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

berkepanjangan, serta memudahkan jalan penye-lesaian secara damai,


obyektif, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Pedihnya DOM, dirasakan secara merata oleh semua penduduk Aceh.
Walaupun operasi jaring merah sebagai inti dari DOM dimaksudkan untuk
mengatasi dan mengantisipasi serta membe-rantas GAM, tetapi yang
merasakan dampak negatifnya adalah umumnya rakyat sipil yang tidak
bersenjata, dan tidak ada urusan apa pun dengan GAM. Oleh karenanya
secara bergelombang timbul reaksi masyarakat, tidak hanya di Aceh tetapi
juga di luar Aceh bahkan di luar negeri sekalipun. Sesungguhnya banyak
usaha dari instansi keamanan di Aceh untuk mendekati tokoh-tokoh nonformal, termasuk para ulama, dan mengikutsertakan mereka dalam upaya
mempersuasi, mengajak dan membina masyarakat agar menjauhi dan tidak
mengukuti GAM. Namun perlakuan kejam dan berbagai kekerasan oleh
apkam RI, serta ekses negatif lainnya dari DOM terhadap rakyat, yang sangat
menyakitkan hati, akhirnya tidak membuat rakyat lebih dekat dan lebih
sayang kepada apkam RI. Bahkan mereka menjadi lebih jauh dan membenci
mereka. Dan sebaliknya walaupun mereka tadinya sesungguhnya bukan
orang GAM, tetapi karena sakit hati dan fisiknya oleh apkam, timbullah
dendam atas kekejaman dan kekerasan tersebut, mereka menjadi lebih
memihak orang-orang GAM ketimbang kepada apkam RI. Beberapa kali
pimpinan apkam RI baik di tingkat Kodim, Korem, yakni Korem Lilawangsa
yang dipimpim oleh Kol. Sofian Efendi, dan kemudian digantikan oleh Kol.
Syarwan Hamid, demikian pula Korem Teuku Umar, maupun Pangdam,
Mayjen Pramono, mengada-kan pertemuan dan melibatkan banyak ulama dan
tokoh masyarakat seperti Ali Hasjimi, Ketua MUI, Aceh, Hasan Ali, Tgk. H.
Usman Ali Kuta Krueng, pimpinan Pesantren Al Munawarah Ulee Gle, Tgk. H.
Ibrahim Bardan, pimpinan Pesanten Maklikussaleh, Panton Labu, Tgk H.
Abdullah Trubue, Tgk. H. M. Ali Irsyad, pimpinan Pesantren Darussaadah,
Teupin Raya, dan banyak tengku-tengku atau abu-abu lainnya. Selain itu,
Bustanil Arifin sebagai Menteri Koperasi pun ditugaskan oleh Presiden
Soeharto untuk ikut membantu pemulihan keamanan di Aceh, dan kemudian
juga M. Nur Nikmat dari Medan, namun semuanya tidak membuahkan hasil
yang memuaskan. Upaya-upaya tersebut ternafikan oleh kekejaman dan
kekerasan apkam RI terhadap rakyat di Aceh.
Rektor Unsyiah Prof. Dr. Dayan Dawood pun nimbrung dengan
mengajukan fikiran bahwa agar status trouble spot untuk Aceh segara dicabut
agar pembangunan dapat berjalan lebih lancar. Beliau nampaknya sengaja
menggunakan istilah trouble spot untuk tidak menyebut DOM. Sayangnya
saran yang keluar dari fikiran jernih sang Rektor tersebut, yang ditanggapi
positif oleh para penguasa di bidang Keamanan di tingkat pusat, tetapi
nyatanya berbeda prakteknya di tingkat daerah.
Hampir bersamaan dengan itu Aktivis HAM, Ir. Gani Nurdin juga
menyuarakan hal-hal yang berkenaan dengan pelanggaran HAM selama DOM
di Aceh, yang mendapat sambutan dari para aktivis lainnya, walaupun tidak
digubris oleh penguasa. Suara Gani Nurdin tersebut disambut positip oleh

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

59

aktivis HAM di daerah antara lain Dr. Humam Hamid, dan Syaifuddin
Bantasyam, yang kemudian membentuk Forum Peduli HAM (FP HAM), serta di
tingkat pusat antar lain oleh Asmara Nababan, SH., Munir, SH., Hakim
Garuda Nusantara, SH., Bambang Wijayanto, SH., dan sebagainya. Sedangkan di kalangan masyarakat Aceh sendiri, selain di Aceh, juga mahasiswa
Aceh di Jakarta, yakni IMAPA (Ikatan Mahasiswa Pelajar Aceh), Pimpinan
Fajran Zein S. Ag, dan Ismail Bardan, SH. Kesemua-nya menuntut (meminta
dengan hormat kepada) Pemerintah agar segera menghapuskan DOM untuk
Aceh. Di Aceh sendiri banyak LSM dan/atau akitivis yang muncul menghujat
DOM dan menuntut agar DOM dicabut, seperti Yusuf Ismail Pase, SH a/n
LPLH (Lembaga Pembelaan Lingkungann Hidup), Aguswandi, yang melakukan
mogok makan bersama 12 mahasiswa lainnya, Radhi Darmansyah, SMUR,
FORMIDA, 12 senat mahasiswa perguruan tTinggi, KARMA (Kesa-tuan Aksi
Reformasi Mahasiswa Aceh), beberapa wanita dan juga pria korban DOM, Otto
Syamsuddin, M, Yacob Hamzah, SH. a/n LBH Lhokseumawe, Akitivis Wanita
yang tergabung dalam FOPA (Forum Organisasi Perempuan Aceh), SOMAKA
(Solidaritas Mahasiswa untuk Kasus Aceh) Jakarta yang dipimpin oleh Fajran
Zein dan Fadli Ali, semuanya menuntut agar para pelanggar HAM segara
diproses menurut hukum yang berlaku dan dicabutnya DOM. Demonstrasi
pun hampir tiap hari terjadi baik yang dilakukan oleh Mahasiswa dari
berbagai universitas, di Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, Langsa dan di kotakota lainnya. Ada juga sebagian mereka yang pergi ke Jakarta dengan bus
untuk demonstrasi di sana, menuntut pancabutan DOM, dan agar pelanggar
HAM diadili, seperti yang dilakukan oleh Taufik Abda, bersama 40 mahasiswa
IAIN, pada tanggal 20 Juli 1998.
Demikian pula rapat kerja ulama Insyafuddin (ulama dayah), yang
berlangsung dari tgl 23-26 April 1997, di Banda Aceh, mene-lurkan
keputusan yang cukup penting yaitu: melawan, menentang dan melakukan
makar terhadap pemerintah yang sah, kedudukan-nya haram. Hukum serupa
juga berlaku bagi yang memberikan bantuan dan dukngan kepada yang
menentang dan melawan pemerintah RI. 5 Terlibat aktif dalam Raker tersebut,
sebagai pemakalah antara lain adalah: Tgk. H. Daud Zamzami, Tgk Usman Ali
Kuta Krueng, Tumin (Tgk. H. M. Amin Mahmud), Blang Bladeh, Drs. Tgk.
Ismail Yakub, dan juga Pandam I, Mayjen Sudaryanto, dan sebagainya.
Para pejabat formal pun tidak ketinggalan menghimbau agar DOM
dicabut, antara lain yang diusulkan oleh Gubernur Aceh, Syamsuddin
Mahmud, Ketua DPRD Aceh, T. Johan, Pimpinan MUI Aceh Prof. Dr. Ibrahim
Husen, MA dan H. Badaruzzaman, SH., Ghazali Abbas Adan sebagai anggota
DPRRI, Drs. Djafar Hatta sebagai Rektor Unima.
Selain itu banyak pula reaksi dari berbagai pihak terhadap DOM dan
lebih-lebih lagi terhadap berbagai dampak negatifnya. Reaksi tersebut,
terutama muncul setelah DOM dicabut, yang umumnya menyerang dan

Sulaiman, op.cit., hlm. 87-88.

60

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

menggugat pihak-pihak pelaku kekejaman, kekerasan dan pelanggaran HAM


selama berlangsungnya DOM.
Data, fakta dan bahan-bahan, serta informasi yang dikumpulkan oleh
berbagai pihak, terutama oleh LSM yang bergerak di bidang HAM, kemudian
menjadi masukan bagi badan-badan yang terbentuk kemudian, dalam rangka
mengungkap dan menyelesaikan pelang-garan HAM selama DOM.
Duek Pakat Inong Aceh misalnya, yang mengadakan rembukan dari
tanggal 20-22 Februari 2000, di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, dan dihadiri
oleh 358 orang dari seluruh Aceh, ditambah dengan Inong Aceh di perantauan, dalam salah satu rekomendasinya menyebutkan, bahkan pada rekomendasi No. 1, agar pemerintah harus segera menghentikan tindak kekerasan
yang terus-menerus terjadi di Aceh. Mereka juga merekomendasikan agar
pemerintah harus memberi jaminan kepada masyarakat Aceh, bahwa para
pelaku tindak kekerasan agar diadili menurut hukum yang berlaku. Forum
perempuan orang Aceh tersebut juga menyarankan agar pemerintah memberikan rasa aman dan damai kepada seluruh warga masyarakat Aceh dengan
berusaha menahan diri dan mengadakan gencatan senjata supaya pihakpihak tertentu antara lain provokator tidak memanfaatkan situasi dengan
menangguk di air keruh. Selain itu mereka juga mendesak pemerin-tah pusat
dan Komnas HAM, agar segera membentuk KPP HAM di Aceh guna mengusut
dan mengadili pelanggaran HAM di Aceh baik selama masa DOM maupun
pasca-DOM, hingga terciptanya Aceh yang adil dan damai. ***

BAB V: Aceh sebagai DOM dan Kekejaman

61

62

DAMAI DI SERAMBI MEKKAH

Você também pode gostar