Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
APA yang disebut dengan operasi militer, sesungguhnya lah mulai digelar
sejak mula munculnya AM di Aceh. Pemerintah pusat mulai menganggap
serius terhadap gerakan yang diprakarsai oleh Hasan Tiro ini, setelah
terjadinya penyerangan terhadap 2 orang asing (AS) kontraktor pada
perusahan pengeboran minyak/gas Bechtel di sekitar Lhoksukon, yang
termasuk Aron Field, cluster III, dan seorang Cina warganegara Malaysia,
pengusahan HPH. Salah seorang di antaranya yang berkewarganegaraan AS,
bernama George Parucome ditembak oleh orang AM yang akan menagih
Pajak, pada tanggal 29 Nopember 1977, dan meninggal dunia, sedangkan
seorang lagi bernama Donal Stayer, mengalami luka berat. Konon kabarnya
kemudian dia pun meninggal.
Pelaku penembakan tersebut, menurut pihak intelijen, yang ketika itu
sebagai aparat dari Operasi Nanggala XVI Kopassus, adalah pasukan GAM di
bawah pimpinan Fauzi Hasbi (Abu Jihad). Ada pula yang menyebutkan bahwa
pelakunya adalah pimpinan AM di sekitar Aron ketika itu, adalah sesorang
yang bernama Robert dan/atau Yusuf Ali.
Tertembaknya mereka, berbarengan dengan semakin meningkat-nya
gangguan terhadap pembanguan proyek vital LNG. Korban pun berjatuhan,
baik dalam bentuk nyawa orang, luka-luka, maupun harta benda. Bersamaan
dengan itu, sebenarnya telah ada di Aceh, apa yang disebut dengan Operasi
45
46
itu sekitar bulan Juni dan Juli 1990, yang menurut Isa Sulaiman, mereka
yang terdiri dari Hasbi Abdullah, Mulkan, Nurdin AR, dan beberapa orang
lainnya, sering duduk membicarakan perihal tersebut, dan akhirnya sampai
pada kesimpulan untuk mengusulkan agar kekerasan terhadap suku Jawa
tersebut dihentikan. Namun usulan tersebut tidak mendapat respon yang
memuaskan dari pihak GAM yang bersenjta, dibuktikan dengan masih
terjadinya kekerasan serupa setelah itu, walaupun kualitas dan frekuensinya
sudah semakin berkurang. Namun di lain pihak muncul pula kekerasan
model baru, dengan modus operandi yang baru pula, yakni pembakaran
rumah-rumah sekolah, seperti misal nya: pembakaran SMA Negeri Idi
Rayeuk, SMA Negeri Bireuen, SMA Negari Peudada, SMP Negeri Lueng Putu,
SMP Negeri Trieng Gadeng, dan sebagainya.
Selain mengganggu keamanan dan ketertiban serta sangat meresahkan
masyarakat, pihak Aparat ke mana pun menjadi lebih serius menanggapinya.
Kalau tadinya masih ada sikap anggap enteng kepada GAM, malah ada yang
mengatakan, GAM akan segara dapat dibasmi atau diberantas, atau
ditumpas, sejak saat itu sikap seperti itu terkoreksi dengan sendirinya.
Apalagi setelah GAM menunjukkan kemampuannya menghadapi ABRI atau
aparat ke-amanan yang persenjataannya lebih lengkap, dan lebih modern,
misalnya ketika terjadinya perampasan 19 pucuk senjata M-16, beberapa
pistol dan 2 pucuk minimi, serta 4.000 butir peluru, dari TNI yang sedang
melakukan kegiatan pembangunan jalan dalam rangka ABRI masuk Desa,
atau juga sering disebut dengan Operasi Bhakti ABRI. Parampasan senjata
tersebut terjadi pada tanggal 26 September 1989 di Muara Batu, Krueng Tuan
dan tanggal 28 Mei 1990, di suatu desa di Kecamatan Buloh Blang Ara (Kuta
Makmur), sekitar 15 km dari Ibukota Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.
(Buku Kontras). Tiga orang prajurit TNI, tewas, dan beberapa orang luka-luka,
dalam insiden tersebut. Dengan kejadian itu nama Robert sebagai tokoh AM
bersenjata, di sekitar Aceh Utara semakin tenar dan semakin diburu siang
malam oleh TNI/Polri, sehingga menurut informasi ada sebagian dari senjata
tersebut, berhasil direbut kembali. Ada pula yang mengatakan bahwa Yusuf
Ali, yang saat itu sebagai Panglima Pase dan Ishak Daud, yang kemudian
menjadi Panglima Peureulak, juga ikut berperan dalam perebutan senjata
tersebut.
Sejak itulah operasi militer lebih intensip dan lebih teratur dilaksanakan, baik operasi intellijen yang ketika itu diperankan oleh Kopassus,
mulai dari operasi Nanggala-16, yang dipimpin oleh Mayor Sofian Efendi,
digantikan dengan operasi Nanggala-21, pimpinan Letda Syafrie Syamsuddin,
kemudian digantikan oleh Operasi Nanggala 35, dipimpin oleh Kapten
Sutiyoso, di samping operasi-operasi lainnya. Tujuan utama dari operasioperasi tersebut antara lain adalah, menetralisir situasi dan kondisi,
memulihkan keamanan agar konstruksi dari proyek-proyek LNG dapat
berjalan tanpa gang-guan, dan tentunya untuk mengatasi gerakan Aceh
Merdeka. Anehnya, sudah demikian kondisinya, masih saja pemerintah atau
tepatnya pihak keamanan mengatakan bahwa kekerasan dan pelanggaran
47
48
49
50
sampingan dari suatu operasi militer, namun nyata-nya terjadi terus menerus
dan semakin meluas, tanpa perbaikan yang berarti, betapapun dikritik keras
oleh banyak pihak. Oleh karenanya, akhirnya terbentuklah citra, DOM adalah
kekejaman dan kekasaran/kebrutalan/ penyiksaan terhadap rakyat sipil,
yang kesemuanya adalah pelanggaran HAM berat. Sudah barang tentu,
Pemerintah atau pimpinan instansi keamanan, mengatakan bahwa itu
bukanlah kebijakan yang disengaja, tetapi lebih merupakan ekses. Kalaupun
ada yang disengaja, hanya lah berupa shock teraphy semata. Tetapi
masyarakat tentu dapat menilai, masa iya suatu shock teraphy berlangsung
selama 9 tahun secara terus-menerus dan merata diseluruh Aceh.
Kalau kita bertanya mengapa hal tersebut terjadi? Tentu banyak sekali
jawabannya, tetapi yang paling masuk akal, mungkin jawaban berikut:
1. Memang lebih mudah menemukan dan kemudian menganiaya rakyat sipil
di kampung-kampung, atau dikedai-kedai dari pada repot-repot mencari
GAM ke gunung-gunung, atau ke rawa-rawa, sedangkan ongkos operasinya
sama saja kalau dihitung perhari. Mencari GAM akan ada resiko
kemungkinan kena tembak oleh senapang GAM, tetapi menemukan rakyat
yang tak bersenjata, tidak ada resiko apa-apa. Mendapatkan orang-orang
kampung atau siapa saja, dan sekaligus menganiayanya menjadi perlu dan
bahkan harus, bagi apkam yang tidak professional dan cenderung untuk
sekedar balas dendam, atau untuk memenuhi dorongan emosional setia
kawan/solidaritas korp, mengingat pada waktu lain ada teman mereka
yang diganggu dan/atau ditembak oleh GAM, bukan oleh orang kampung
yang dianiaya tersebut. .
2. Perlu ada laporan, baik ke induk pasukan, maupun ke Jakarta, tentang
berapa orang GAM yang ditemui dan dimusnahkan, atau dibina, sehingga
kalau memang sulit mencari GAM yang se-benarnya, ya, siapa sajalah yang
ketemu, yang penting dalam laporannya disebutkan bahwa mereka adalah
orang GAM.
3. Setaip ada laporan menemukan atau memusnahkan orang GAM, adalah
suatu prestasi, dan credit point, yang mempunyai dampak bagi kenaikan
pangkat. Oleh karenanya setiap operasi, dibenak masing-masing orang
yang ikut operasi, adalah kenaikan pangkat, dan tambahan insentif
lainnya, tidak perduli siapa yang akan menjadi korban, atau dikorbankan
untuk itu. .
4. Prajurit apkam RI memang rendah sekali sense of Human Rightsnya,
sehingga nyawa manusia bagi mereka adalah sesuatu yang tidak ada
nilainya sama sekali, dibandingkan dengan kanaikan pangkat dan insentif
yang mungkin dirimanya. Lain halnya kalau nyawa tersebut adalah nyawa
dia sendiri, atau kalau kejadian tersebut menimpa dia sendiri dan/atau
keluarga-nya. Hak Asasi Manusia oleh karenanya akan kalah atau pun
51
52
Akhirnya rakyat pasrah, tidak tahu lagi ke mana mengadu, apa yang
terjadi terjadilah. Rakyat pun berfikir, tentu disuatu waktu pertolongan dan
keadilan akan datang, karena keadilan tersebut ada di tangan Allah SWT,
dapat saja disalurkan melalui tangan-tangan makhluk yang dikendakinya.
Hanya dengan berfikir pendek yang sedemikianlah rakyat akhirnya mengurut
dada, menerima kenyataan tersebut, semata sebagai takdir Allah. Mungkin
dengan cara demi-kianlah dia dapat kembali tegak dan tegar menghadapi
masa depan yang lebih penting lagi dari pada masa yang lalu yang penuh
keke-laman dan kepahitan.
Rakyat ketika itu, memang serba salah, baik dalam menghadapi berbagai
operasi militer TNI/Polri, dan juga dalam menghadapi kontra operasi tersebut
dari pihak GAM, atau orang-orang yang mengatas namakan GAM. Hampir
tiap hari orang mati, orang hilang atau dihilangkan, pembakaran,
pemerkosaan,
perampasan
hak
dan
harta
bendanya,
penganiayaan/penyiksaan, dan hampir tiap hari pula kedapatan mayat
bergelimpangan baik tanpa maupun dengan identitas di pinggir jalan, di
semak-semak, dalam sungai, dan di tempat-tempat lain.
Sementara itu terkenallah beberapa arena pembunuhan (killing field) dan
pasca pembunuhan baik kuburan massal yang sengaja digali, atau kuburan
gelap dan/atau tempat pembuangan mayat, setelah dibunuh dengan kejam,
seperti:
- Kuburan massal, atau tempat pembuangan mayat, dengan mayat yang
bertumpuk-tumpuk di Bukit Tengkorak, di Kec. Jambo Aye, Aceh Utara,
pada tahun 1990.
- Kamp Tahanan dan Jembatan di di Buket Takteh, Peureulak Aceh Timur, 7
orang tewas, ditembak setelah/pada saat diinterogasi di jembatan dan
mayatnya jatuh ke sungai.
- Tanggal 12-16 September 1990, ditemukan tiga jenazah dalam karung, di
tepi jalan raya, di Seumadam, Aceh Timur, dan beberapa hari kemudian
ditemukan lagi 4 jenazah di Kejuruan Muda, kemudian di Halaban, Besitang
Sumut pada tanggal 19 September 1990, ditemukan satu jenazah, sedang di
Jempa, Aceh Utara, ditemukan pula 8 jenazah pada pertengahan September
1990, dan seterusnya.
- Desa Lueng Sa, Simpang Ulim, Aceh Timur, dua orang tewas, dieksekusi di
depan umum, pada hari 17 Ramadham 1991.
- Kuburan massal Blok B, UPT IV, Kebun Kelapa Sawit, Jambo Aye, Februari
1991.
- Tempat tahanan dan penganiayaan serta pembunuhan Rumoh Geudong, di
Pidie, dan juga Kamp Tahanan dan penyiksaan Rancung, dikomplek Proyek
Vital, dekat Lhokseumawe. Dua Kamp ini sangat termasyhur dimasa DOM,
dan tentu saja, jangankan masuk ke dalamnya, mendengar namanya
sajapun orang sudah menggeletar ketakutan.
53
54
55
56
57
58
59
aktivis HAM di daerah antara lain Dr. Humam Hamid, dan Syaifuddin
Bantasyam, yang kemudian membentuk Forum Peduli HAM (FP HAM), serta di
tingkat pusat antar lain oleh Asmara Nababan, SH., Munir, SH., Hakim
Garuda Nusantara, SH., Bambang Wijayanto, SH., dan sebagainya. Sedangkan di kalangan masyarakat Aceh sendiri, selain di Aceh, juga mahasiswa
Aceh di Jakarta, yakni IMAPA (Ikatan Mahasiswa Pelajar Aceh), Pimpinan
Fajran Zein S. Ag, dan Ismail Bardan, SH. Kesemua-nya menuntut (meminta
dengan hormat kepada) Pemerintah agar segera menghapuskan DOM untuk
Aceh. Di Aceh sendiri banyak LSM dan/atau akitivis yang muncul menghujat
DOM dan menuntut agar DOM dicabut, seperti Yusuf Ismail Pase, SH a/n
LPLH (Lembaga Pembelaan Lingkungann Hidup), Aguswandi, yang melakukan
mogok makan bersama 12 mahasiswa lainnya, Radhi Darmansyah, SMUR,
FORMIDA, 12 senat mahasiswa perguruan tTinggi, KARMA (Kesa-tuan Aksi
Reformasi Mahasiswa Aceh), beberapa wanita dan juga pria korban DOM, Otto
Syamsuddin, M, Yacob Hamzah, SH. a/n LBH Lhokseumawe, Akitivis Wanita
yang tergabung dalam FOPA (Forum Organisasi Perempuan Aceh), SOMAKA
(Solidaritas Mahasiswa untuk Kasus Aceh) Jakarta yang dipimpin oleh Fajran
Zein dan Fadli Ali, semuanya menuntut agar para pelanggar HAM segara
diproses menurut hukum yang berlaku dan dicabutnya DOM. Demonstrasi
pun hampir tiap hari terjadi baik yang dilakukan oleh Mahasiswa dari
berbagai universitas, di Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, Langsa dan di kotakota lainnya. Ada juga sebagian mereka yang pergi ke Jakarta dengan bus
untuk demonstrasi di sana, menuntut pancabutan DOM, dan agar pelanggar
HAM diadili, seperti yang dilakukan oleh Taufik Abda, bersama 40 mahasiswa
IAIN, pada tanggal 20 Juli 1998.
Demikian pula rapat kerja ulama Insyafuddin (ulama dayah), yang
berlangsung dari tgl 23-26 April 1997, di Banda Aceh, mene-lurkan
keputusan yang cukup penting yaitu: melawan, menentang dan melakukan
makar terhadap pemerintah yang sah, kedudukan-nya haram. Hukum serupa
juga berlaku bagi yang memberikan bantuan dan dukngan kepada yang
menentang dan melawan pemerintah RI. 5 Terlibat aktif dalam Raker tersebut,
sebagai pemakalah antara lain adalah: Tgk. H. Daud Zamzami, Tgk Usman Ali
Kuta Krueng, Tumin (Tgk. H. M. Amin Mahmud), Blang Bladeh, Drs. Tgk.
Ismail Yakub, dan juga Pandam I, Mayjen Sudaryanto, dan sebagainya.
Para pejabat formal pun tidak ketinggalan menghimbau agar DOM
dicabut, antara lain yang diusulkan oleh Gubernur Aceh, Syamsuddin
Mahmud, Ketua DPRD Aceh, T. Johan, Pimpinan MUI Aceh Prof. Dr. Ibrahim
Husen, MA dan H. Badaruzzaman, SH., Ghazali Abbas Adan sebagai anggota
DPRRI, Drs. Djafar Hatta sebagai Rektor Unima.
Selain itu banyak pula reaksi dari berbagai pihak terhadap DOM dan
lebih-lebih lagi terhadap berbagai dampak negatifnya. Reaksi tersebut,
terutama muncul setelah DOM dicabut, yang umumnya menyerang dan
60
61
62