Você está na página 1de 25

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


Pembimbing

: Dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc

Nama Mahasiswa

: Okti Rahmawati

NIM

: G99141011
Morbus Hansen

I. SINONIM
Lepra,Morbus Hansen1,5,6
II. DEFINISI
Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf perifer, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial,
mata, otot, tulang dan testis,kecuali susunan saraf pusat.4
Penyakit kusta juga dapat mengenai mukosa hidung, konka, nasofaring dan
laring.11
1.

ETIOLOGI
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae ditemukan oleh G.A
Hansen pada tahun 1873 yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media
artifisial. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar
0,2-0,5 biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada hewan Armadilo. Masa belah
diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain
yakni 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu 2-5 tahun.7

Mycobacterium leprae
IV. EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan karena cara penularannya
belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi,
sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,
cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas dan kemungkinan
adanya reservoir luar manusia. Belum ditemukannya medium artifisial mempersulit
untuk mempelajari sifat-sifat Mycobacterium Leprae.5
Angka kejadian penyakit kusta di dunia dilaporkan mencapai 5.5 juta kasus,
kebanyakan penyakit menginfeksi penduduk yang hidup di daerah tropis dan sub tropis.
Secara keseluruhan 80 % kasus didapatkan di 5 negara, diantaranya India, Myanmar,
Indonesia, Brazil dan Nigeria.
Penyakit kusta jarang menyebabkan kematian, tatapi penyakit ini

sering

menyebabkan kecacatan yang signifikan, pada penderita kusta tipe LL 70-75%


mengalami kecacatan pada mata, tangan dan kaki. Berdasarkan suatu penelitian angka
kejadian dari gangguan fungsi saraf pada daerah yang endemik tercatat 1,7 per 100
pasien pertahun pada kusta tipe paubasiler dan 12 per 100 pasien pada kusta tipe
multibasiler. Frekuensi angka kejadian lesi saraf baru selama penderita mendapatkan
pengobatan adalah 2% pada kusta tipe PB dan 11 % pada kusta tipe MB. Pada
penelitian secara luas komplikasi okular pada penyakit kusta ditemukan kebutaan
akibat penyakit kusta sekitar 10 % penderita.7

Kusta dapat terjadi pada semua ras di dunia, pada orang afrika dilaporkan
insiden kusta bentuk tuberkuloid lebih tinggi. Orang kulit putih dan penduduk cina
lebih sering terkena kusta tipe leprosa.2
Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun 13 %, tetapi anak
dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara
25-35 tahun. Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial
ekonominya makin subur penyakit kusta.7
V. PATOGENESIS
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mucosa
nasal. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.7
M. Leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada
sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel schwann di
jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk dalam tubuh dan bereaksi mengeluarkan
makrofag (berasal dari sel monosit darah,sel mononuclear, histiosit)4
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae, di samping
itu sel schwann berfungsi sebagai dieliminasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi bila terjadi gannguan imunitas tubuh dalam sel schwann, kuman dapat
bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan yang progresif.7
VI. KLASIFIKASI
Jenis Klasifikasi yang umum
A. Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (1953)
o Indeterminate ( I )
o Tuberkuloid ( T )
o Borderline Dimorphous ( B )
o Lepromatosa ( L )
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley Jopling (1962)

o Tuberkuloid ( TT )
o Borderlne Tuberkuloid ( BT )
o Mid- borderline ( BB )
o Borderlne Lepromatous ( BL )
o Lepromatosa ( LL )
C. Klasifikasi untuk kepentingan Program Kusta : Klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988)
o

Paubasilar ( PB )
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
Kriteri Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

o Multibasiler ( MB )
Termasuk Kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut criteria Ridley
dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan
BTA positif.6
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan diklasifikasikan sebagai berikut :
1.

Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasil
pemeriksaan BTA nya saat ini.

2.

Bila awalnya di diagnosis tipe MB harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan


gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Selain Klasifikasi diatas juga di dapatkan :


o Kusta tipe neural
Yaitu penyakit kusta yang ditandai oleh hilangnya fungsi sensoris pada daeerah
sepanjang distribusi sensoris batang saraf yang menebal (dapat disertai paralysis
motoris maupun tidak), tanpa ditemukannya bercak pada kulit.
o Kusta Histoid
Pada kusta Histoid didapatkan lesi kulit berupa nodula-nodula dengan kulit
sekitarnya

normal,

secara klinis didapatkan nodula-nodula licin berkilat,

padat,eritematosa, bentuk bulat atau oval dengan ukuran penampang bervariasi 1


20 mm.3

VII. MANIFESTASI KLINIS


Kusta Multibasiler
Sifat

Lesi
Bentuk
Jumlah

Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia

Lepromatosa

Borderline

Mid Borderline

( LL)

Lepromatosa

( BB )

Makula, Infiltrat

(BL)
Macula, Plakat,

Plakat, Dome-

difus, papul, nodul papul

shaped (kubah),

Tak terhitung,

Sukar dihitung,

Punched-out
Dapat dihitung,

praktis tidak ada

masih ada kulit

kulit sehat jelas

kulit yang sehat


Simetris
Halus berkilat

sehat
Hampir simetris
Halus berkilat

ada
Asimetris
Agak kasar,agak

Agak jelas
Tak jelas

berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak

Agak banyak

Tak jelas
Tak ada sampai
tak jelas

BTA
Lesi kulit

Banyak (ada
globus)

Sekret hidung

Banyak (ada

Biasanya negatif

Negatif

Tes Lepromin

globus)
Negatif

Negatif

Biasanya negatif

Tuberkuloid (TT)

Indeterminate (I)

Kusta Paubasiler
Sifat
Lesi

Borderline

Tuberkuloid (BT)
Makula dibatasi
Makula saja,

Hanya macula

Bentuk

infiltrat, infiltrat

Jumlah

saja
infiltrat
Beberapa atau satu Satu dapat

Satu atau beberapa

dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik

beberapa
Asimetris
Kering bersisik

Variasi
Halus agak

Jelas

berkilat
Dapat jelas atau

Jelas

Jelas

dapat tidak jelas


Tak ada sampai

Negatif atau + 1

Negatif

tak jelas
Negative

Positif lemah

Positif kuat ( 3+)

Dapat positif

Distribusi
Permukaan
Batas
Anesthesia
BTA
Tes lepromin

Jelas

makula dibatasi

lemah atau negatif

Perbedaan tipe PB dan MB


No
1. Bercak :

Multibasiler (MB)

Paubasiler (PB)

1.

Jumlah

1-6

Banyak

2.

Ukuran

kecil dan besar

Kecil

3.

Batas

tegas

Tidak tegas

4.

Permukaan

kering dan kasa

Halus dan berkilat

5.

Mati rasa

selalu ada dan jelas

Biasanya tidak jelas

6.

Kehilangan

biasanya ada

Biasanya tidak ada

unilateral/bilateral,

Bilateral dan simetris

kemampuan
berkeringat, bulu
rontok
7.

Distribusi

asimetris
2.

Infiltrat
1. Kulit

Tidak ada, kadang ada

Ada, kadang tidak ada

2. Mukosa (hidung

Tidak pernah ada

Ada, kadang tidak ada

Tidak ada
Penyembuhan di bag.

Ada
Ginekomastia,

Tengah bercak (central

madarosis, suara parau

tersumbat, perdarahan
3.
4.

5.

6.

hidung)
Nodulus
Ciri-ciri khusus

Penebalan saraf

Deformitas (cacat)

7. Hapusan kulit
Ridley-Jopling

healing)
Jumlah sedikit, unilateral, Jumlah banyak,
lebih sering terjadi dini

bilateral, pada fase

Biasanya terjadi dini,

lanjut
Pada fase lanjut,

asimetris
BTA (-)

simetris
BTA (+)

Gambaran Klinis organ tubuh lain yang dapat diserang :


1.

Mata

: Iritis, Iridosiklitis, gangguan visus sampai


kebutaan

2.

Hidung

: Epistaksis, hidung pelana.

3.

Tulang dan sendi

4.

Lidah

: Absorbsi, mutilasi, arthritis

: ulkus, nodus

5.

Testis

: ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi

6.

Kelenjar Limfe

7.

Rambut

: Alopesia, Madarosis

8.

Ginjal

: Glomerulonefritis, amilodosis ginjal,

: Limfadenitis

piolonefritis, nefritis interstisial


Predileksi Lesi Kulit
Bagian tubuh yang relatif lebih dingin, misalnya pada muka, hidung,
(mukosa), telinga, anggota tubuh dan bagian tubuh yang terbuka.4
Predileksi kerusakan Saraf tepi
Kuman ini lebih sering mengenai saraf tepi yang lebih superfisial dengan
suhu yang relatif lebih dingin. Saraf tepi yang terkena akan menunjukan
berbagai kelainan yaitu :
o N.Fasialis

: Lagoftalmus,mulut mencong

o N.Trigeminus

: anestesi kornea

o N. aurikularis magnus

: anestesi daun telinga

o N. Radialis

: Tangan lunglai (drop wrist)

o N. Ulnaris

: Anestesi dan paresis/paralysis otot tangan jari V dan

sebagian jari IV. Kerusakan N. Ulnaris dan N. Medianus menyebabkan jari kiting
(claw Toes) dan tangan cakar (claw hand)
o N. Peroneus komunis

: Kaki samper (droop foot)

o N. Tibialis posterior

: Mati rasa telapak kaki dan jari kiting.

Manifestasi penyakit yang menunjukan bahwa penyakit kusta masih aktif adalah :
Kulit:

Lesi

membesar,

jumlah

bertambah,

ulserasi,

eritematosa, infiltrat atau nodus.


Saraf

: Nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah

saraf yang terkena bertambah.


Tanda sisa penyakit kusta :
o

Kulit: Atrofi, keriput, non-repigmentasi dan bulu hilang

Saraf
atrofi otot.7

: Mati rasa persisten, paralysis, kontarktur dan

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis Penyakit kusta di dasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda
utama), yaitu :
2. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopgmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu,
rasa nyeri.
3. Penebalan Saraf Tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gannguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu :
a. Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris

: paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom

: kulit kering, retak, edema, tempat pertumbuhan

rambut terganggu
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang diperoleh dari biops di kulit atau saraf.9
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6
bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.7
Gejala prodormal penyakit kusta biasanya tidak terlihat dan penyakit ini tidak
dikenali sampai didapatkan erupsi pada kulit. Pada 90% pasien menunjukan gejala
kehilangan sensasi rasa beberapa tahun lebih dulu sebelum lesi pada kulit tampak.
Rangsang suhu adalah sensasi yang pertama hilang, pasien sulit memebedakan rasa
panas dan dingin, selanjutnya pasien baru kehilangan sensasi raba dan nyeri.
Kehilangan sensasi ini terutama pada tangan dan kaki.3
IX. PEMERIKSAAN PASIEN
1.

2.

Anamnesis
a.

Keluhan pasien

b.

Riwayat kontak dengan pasien

c.

Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi


Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
3.

Palpasi
a.

Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki

b.

Kelainan saraf : Pemeriksaan saraf dengan teliti, N. Aurikularis magnus,


N.Ulnaris dan N.Peroneus. Harus dicatat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf,
pemeriksaan harus simetris .
Pemeriksaan saraf tepi :
o Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
o Membesar atau tidak
o Pembesaran regular (smooth) atau irreguler, bergumpal
o Perabaan keras atau kenyal
o Nyeri atau tidak

4.

Tes fungsi saraf


a.

Tes Sensoris, dengan menggunakan kapas, jarum serta tabung reaksi berisi air
hangat dan dingin.

b.

Tes otonom, berdasarkan adnya gangguan berkeringat di makula anestesi.


o

Tes dengan pensil tinta (tes Gunawan)


Pensil tinta digoriskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai kedaerah kulit normal.

Tes Pilocarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntikan pilokarpin subkutan
setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan
daerah lesi tetap kering.

c. Tes motoris
o
5.

Voluntary Muscle Test ( VMT )

Mencari komplikasi7

X. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1.

Pemeriksaan Bakterioskopis (sayatan kulit)


Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Tempat yang paling sering
diambil adalah cuping telinga, lengan, pungung, bokong dan paha atau bisa juga dari

sekret hidung. Dengan cara membuat kerokan pada kulit dengan menggunakan skapel
kemudian hasil kerokan diletakan pada gelas obyek, dapat dibuat beberapa apusan
dari tempat yang berbeda. Preparat apusan dipulas dengan Ziehl-nielsen atau
modifikasi dengan Kinyoun menurut prosedurnya.5
Indeks Bakteri ( IB ) :
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks Morfologi (IM)
Indeks morfologi dikalkulasi dengan menghitung kuman batang yang solid pada
pewarnaan tahan asam, basil lepra yang diwarnai dengan karbol fuchsin yang solid
merupakan bakteri yang viabel, basil yang terwarna irreguler mungkin karena mati
dan berdegenerasi.3
2.

Biopsi Kulit
Biopsi kulit dapat digunakan untuk menunjukan indeks morfologi, yang berguna
untuk evaluasi pengobatan pasien yaitu jumlah bakteri yang viabel per 100 bakteri
pada jaringan lepra.3

3.

Tes Lepromin
Lepromin adalah suspensi yang berisi M.Lepra yang dimatikan diambil dari manusia
yang terinfeksi dan jaringan Armadillo. Setelah terjadi inokulasi intradermal, akan
timbul reaksi cepat (48 jam, reaksi Fernandez) juga reaksi lambat (3-4 minggu, reaksi
mitsuda). Reaksi Mitsuda merupakan respon granulomatosis terhadap antigen adalah
lebih tepat. Pasien-pasien dengan kusta tipe TT atau BT mempunyai respon positif
kuat (> 5 mm) akan tetapi pasien dengan tipe LL tidak ada respon. Tes ini merupakan
petunjuk untuk mengetahui fungsi sistem imunitas seluler seseorang. Respon imunitas
seluler terhadap M.Leprae juga dapat dilihat dengan menggunakan Lymphocite
Transformation Test (LTT) dan Lymphocyte Migration Inhibition Test (LMIT). Dasar
test ini adalah untuk mendeteksi antibodi atau antigen M.Leprae.3

4.

Tes-tes Serologis

Tes serologi mayor meliputi Fluorescent Antibody absorbtion test (FLA-ABS),


Radioimunoassay (RIA), ELISA, Passive Hemaglutination Assay (PHA), Serum
Antibody Compettion Test (SACT) dan Particle agglutination assay (PAA).
5.

Analisa Polymerase Chain Reaction (PCR)


o

PCR bisa untuk mendeteksi dan mengidentifikasi M.Leprae.

Tehnik ini sering digunakan ketika basil tahan asam telah ditemukan
tetapi gambaran klinis atau gambaran histopatologinya atipikal. Test ini tidak
berguna saat basil tahan asam tidak ditemukan dengan mikrosakop cahaya. 3

6.

Pemeriksaan Histopatologi
o

Pada tipe TT didapatkan bangunan epiteloid granuloma dalam papiladermis,


di sekitarnya di dapatkan struktur neovaskuler. Granuloma tertangkap oleh
Limfosit yang meluas ke epidermis dan kadang terbentuk sel datia langhans.
Nervus pada dermal dihancurkan atau mengalami pembengkakan karena adanya
granuloma, tidak didapatkan basil tahan asam.

Pada tipe LL epidermis normal, daerah yang tidak patologik memisahkan


epidermis dari reaksi granulomatous difus dengan makrofag, sel busa histiosit
yang besar (Virchow atau sel lepra) dan didapatkan banyak basil tahan asam yang
bergabung membentuk globi. Sel epiteloid dan sel datia tidak ditemukan.
Granuloma banyak terdapat di sekitar pembuluh darah, saraf dan kulit kadang
ditemukan banyak sel plasma. Saraf kulit dapat terlihat dengan mudah.

Tipe BT, Granuloma terdiri dari epiteloid dan limfosit, saraf pada kulit
kebanyakan sudah rusak, basil mungkin ditemukan atau tidak ada.

Tipe BB, granuloma terdiri dari epiteloid, saraf kulit mungkin masih ada dan
basil terlihat lebih banyak dari tipe BT.

Tipe BL, granuloma dibangun oleh histiosit, saraf kulit masih ada dan basil
ditemukan lebih banyak dari tipe lainya.2

XI. KOMPLIKASI
Reaksi Kusta
Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai
berbagai gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta,yang dapat dianggap
sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit atau bagian komplikasi penyakit kusta.
Seluruh komplikasi penyakit kusta yang dimaksud meliputi :
o Komplikasi jaringan akibat invasi massif M.leprae

o Komplikasi akibat reaksi


o Komplikasi akibat imunitas yang menurun
o Komplikasi akibat kerusakan saraf
o Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta
Penyebab pasti dari reaksi kusta belum diketahui dengan pasti, kemungkinan
reaksi ini menggambarkan reaksi hipersensitifitas akut terhadap antigen basil yang
menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.
Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara
lain :
o

Setelah pengobatan antikusta yang intensif

Infeksi rekuren

Pembedahan

Stress fisik

Imunisasi

Kehamilan

Saat-saat setelah melahirkan

Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya, yaitu:


1.

Reaksi lepra tipe 1, yang disebabkan oleh hipersensitivitas seluler

2.

Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral

3.

Fenomene Lucio atau reaksi kusta tipe 3, yang merupakan lanjutan dari reaksi
tipe 2.7

Raksi Kusta tipe I


Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 adalah delayed hypersensitivity reaction.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi
kusta tipe 1 ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas seluler dan
basil maka hasil akhir reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal apabila
menuju ke arah tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading apabila
menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).2
Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat digolongkan
sebagai berikut :
Organ yang
diserang

Reaksi ringan

Reaksi berat

Kulit

Lesi kulit yang telah ada

Lesi yang telah ada menjadi

menjadi lepromatosa

eritematosa. Timbul lesi baru


kadang-kadang disertai panas dan

Saraf

Kulit dan
saraf

Membesar tidak nyeri

malaise.
Mrmbesar, nyeri, fungsi terganggu

fungsi tidak terganggu.

berlangsung lebih dari 6 minggu

lesi kurang dari 6 minggu


Lesi yang telah ada

Lesi kulilt yang eritematosa disertai

menjadi lebih

ulserasi atau edema pada

bersama-sama eritematosa, nyeri saraf


berlangsung kurang dari

tangan/kaki dan fungsinya


terganggu, berlangsung > 6 mg

6 minggu
Reaksi Kusta tipe II
Reaksi kusta tipe 2 ini dikenal dengan nama Eritema Nodusum Leprosum
(ENL). Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut comb dan
Gell, antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan
antibody membentuk kompleks Ag-Ab yang mengaktivasi komplemen sehingga
terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi
sindrom komplek imun. Terutama terjadi pada bentuk LL dan kadang-kadang pada
bentuk BL, biasanya terjadi gejala sistemik.
Baik Reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungannya dengan pemberian
pengobatan antikusta hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi pada 6 bulan
pertama pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah
menjadi granular. Selain itu pada reaksi ini tidak terlihat gambaran perubahan lesi
kusta.
Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut :
Organ
diserang
Kulit

Saraf

yang Reaksi ringan

Reaksi berat

Timbul sedikit nodus yang

banyak nodus yang nyeri dan

beberapa diantaranya terjadi

mengalami ulserasi disertai

ulserasi. Disertai demam

demam tinggi dan malaise

ringan dan malaise


Saraf membesar tetapi nyeri

Saraf membesar ,nyeri dan

dan fungsinya tidak

fungsinya terganggu.

terganggu
Tidak ada gangguan

Mata
Testis
Kulit,

Lunak,tidak nyeri
saraf, Gejalanya seperti tersebut

Nyeri, penurunan visus dan


merah di sekitar limbus
Lunak, nyeri dan membesar
Gejalanya seperti tersebut diatas

mata dan testis diatas

disertai keadaan sakit yang

bersama-sama

keras dan nyeri yang sangat.

Fenomena Lucio
Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy ) yang ditetapkan pertama
kali oleh Lucio dan Alvarado pada tahun 1852 di mexico adalah salah satu tipe dari
kusta dengan gambaran klinik kusta tipe muiltibasiler. Gambaran klinis lcio leprosy
umumnya status generalis tidak ditemukan kelainan, kulit terlihat eritem yang
menebal dan mengkilat, kerontokan rambut, penebalan kelopak mata sehingga
penderita terlihat mengantuk dan melankolik. Penurunan sensoris terjadi biasanya
setelah kelainan kulit menghilang. Sama seperti pada kusta tipe lepromatosa dapat
terjadi edema dan ulkus pada kedua tungkai.
Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa hidung menyebabkan gejala-gejala
hidung dan epistaksis, mengenai laring sehingga suara menjadi serak dan iktiosis
pada fase lanjut. Namun demikian tidak terdapat nodul, kelemahan motorik,
kontraksi jari-jari dan kerusakan mata.
Pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan anemia normokrom normositer
ringan dan pada pemeriksaan bubur jaringan kulit dengan pewarnaan Zeihl Neelsen
ditemukan banyak basil tahan asam. Kerusakan akibat kusta dapat menyebabkan
ulserasi, selulitis, skar da destruksi tulang. Kerusakan pada mata dapat terjadi
lagoftalmus, ectropion dan entropion.10
Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki


Tingkat 0:
Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 1:
Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2:
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 :
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gannguan penglihatan
Tingkat 1 :
Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan
Tingkat 2 :
Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60;tidak dapat menghitung jari pada jarak
6 meter
XII.

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding :
o

Ada macula hipopigmentasi

Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam

Ada daerah anestesi

Ada pembengkaan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

Tipe I ( Makula hipopigmentasi ) :


o

Tinea versikolor

Vitiligo

Ptiriasis Rosea

Dermatitis seboroika

Liken simplek kronik

Tipe TT ( Makula eritematosa dengan pinggir meninggi )


o

Tinea Corporis

Psoriasis

Lupus eritematosus tipe discoid

Ptiriasis rosea

Tipe BT, BB, BL (Infiltrat merah tak berbatas tegas)


o

Selulitis

Erisipelas

Psoriasis

Tipe LL ( Bentuk nodula )


o

Lupus eritematosis sistemik

Dermatomiositis

Erupsi obat

XIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan farmakoterapi pada penderita kusta adalah untuk mengurangi
morbiditas, mencegah komplikasi dan menghilangkan penyakit ini nantinya. 7
Manajemen paenatalaksanaan penderita mencakup terapi medikamentosa
diantaranya kemoterapi untuk menghentikan proses infeksi, penatalaksanaan untuk
meminimalkan deformitas berupa rehabilitasi fisik, sosial dan psikologi. Deformitas
potensial dapat dicegah dengan memberi edukasi pada pasien tentang adanya
kerusakan saraf dengan perawatan diri untuk mengurangi kerusakan yang lain.
Mengetahui perjalanan penyakit pasien sangat penting untuk mengetahui
kepatuhan pasien dalam berobat, memonitor resistensi terhadap obat dan reaksi yang
timbul akibat obat.

A. MEDIKAMENTOSA
Progaram Multi Drug Terapi (MDT) dimulai pada tahun 1981 yaitu ketika
kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO.
Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan Dapson, Rifampisin dan klofasimin.
Kombinasi obat-obatan ini dapat membunuh bakteri patogen dan menyembuhkan
pasien.

MDT adalah suatu terapi yang aman, efektif dan mudah didapatkan oleh
penderita yang kurang mampu.
Obat-obat pada rejimen MDT-WHO
1.

Dapson (DDS, 4,4 diamino difenil sulfon). Obat ini bersifat bakteriostatik
dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Jadi tidak sperti pada kuman
lain, dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Resistensi terhadap dapson
timbul sebagai akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman
kusta. Dapson biasanya diberikan dalam dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari
untuk dewasa atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Indeks morfologi kuman pada
penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi 0 setelah 5 sampai 6
bulan. Obat sangat murah, efektif dan relatif aman. Efek samping yang mungkin
timbul antara lain : erupsi obat, Anemia hemolitik, leukopenia, insomnia
neuropati, nekrosis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun
efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.

2.

Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan bersifat
bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja dengan menghambat
enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Dosis tunggal 600
mg/hari (atau 5-15 mg/kg bb) mampu membunuh kuman kira-kira 99,9 % dalam
waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi ( 900-1200
mg) dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrom. Pemberian 600 mg
atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi
kulit. Obat ini harganya mahal dan saat ini telah dilaporkan adanya resistensi.

3. Klofazimin (lamprene CIBA GEIGY : B-663). Obat ini merupakan turunan


zat warna iminofenazine dan mempunyai efek bakteriostatik sama dengan
dapson. Bekerjanya mungkin melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Di
samping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk
pengobatan reaksi kusta khususnya : ENL. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari
atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1mg/kg BB/hari. Selain itu
dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe 1
dan 2. Kekurangan obat ini harganya mahal di samping itu menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan penderita. Efek
sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi,berupa gangguan gastrointestinal
(Nyeri abdomen, diare, anoreksi dan vomitus).

4. Etionamid dan protionamid, Kedua obat ini merupakan obat antituberkulosis


dan hanya sedikit dipakai pada kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti
klofazimin, pada kasus-kasus yang keberatan karena pigmentasinya obat ini
bekerja bakteriostatik tetapi karena cepat tiombul resistensi, lebih toksik
harganya mahal serta efek hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi
pada rejimen pengobatan kusta.
Skema Rejimen MDT-WHO
Rejimemen MDT-WHO baku terdiri atas kombinasi obat-obatan dapson, Rifampisin
dan klofazimin dengan skema menurut WHO sebagai berikut :
1. Rejimen PB untuk kusta PB, terdiri atas Rifampisin 600 mg sebulan
sekali, di bawah pengawasan ditambah dapson 100 mg/hr (1-2
mg/kgBB) selama 6 bulan
2. Rejimen MB untuk kusta MB, terdiri atas kombinasi Rifampisisn 600
mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola,
ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari
swakelola. Lama pengobatan minimal 2 tahun dan juga mungkin sampai
BTA negatif. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa untuk anak-anak
disesuaikan dengan berat badan
Obat dan dosis Rejimen MDT-PB
Obat

Rifampisin

Dapson (swakelola)

Dewasa

Anak

BB< 35 kg

BB > 35 kg

10-14 tahun

450 mg/bln

600 mg/bln

450 mg/bln

(diawasi)

(diawasi)

(diawasi)

50 mg/hr (1-2 mg/kg BB/hr)

100mg/hr

50 mg/hr
1-2 mg/kgBB/hari)

Obat kusta dalam Rejimen MDT MB


Obat

Rifampisin

Dewasa

Anak

BB<35 kg

BB . 35 kg

10-14 tahun

450mg/bln (diawasi)

600mg/bulan (diawasi)

450 mg/bln
(12-15 mg/kgBB/bl)
(diawsi

Klofazimin

300

mg/bln

diawasi

dan

200 mg/bln diawasi

diteruskan 50 mg/hr

diteruskan

swakelola

selang sehari

50

mg

Dapson swakelola

50 mg/hr

100mg/hari

50 mg/hari

(1-2 mg/kg BB/hari)

Obat Kusta baru


Dalam pelaksanaanya program MDT WHO masih ada beberapa masalah yang
timbul, yaitu adanya persisten, resistensi, rifampisin dan lamanya pengobatan
terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB rejimen MDT-PB juga masih
menimbulkan beberapa masalah antara lain: masih menetapnya lesi kulit setelah 6
bulan pengobatan dan late reversal Reaction yang timbul setelah MDT. Oleh karena
itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan
obat-obat rejimen MDT saat ini, obat-obat kusta baru yang ideal memiliki syarat
antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.Leprae, tidak antagonis dengan obat
yang sudah ada aman dan akseptabilitas penderita baik dapat di berikan per oral dan
sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Obat-obatan yang dipakai yaitu :
1.

Ofloksasin 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600mg/hari selama 1 bulan


baik untuk penderita kusta MB atau PB

2.

Minosiklin 100 mg/hari

3.

Klaritromisin 500 mg/hari untuk penderita kusta tipe MB.2

B. NON MEDIKAMENTOSA
Edukasi :
-

Pasien harus diberi penjelasan tentang diagnosis dan prognosis


penyakitnya.

Pasien harus diberitahu bagaimana tentang hilangnya sensasi rasa yang


terjadi, pasien harus berhati-hati dan mencegah terjadinya trauma dengan
menggunakan alas kaki.

Mengetahui kapan

terjadinya anestesi pada anggota tubuh dan

kelemahanya serta kerusakan pada matanya.


-

Pasien harus mempelajari bagaimana mengenal timbulnya reaksi kusta


dan ia harus mendapatkan pengobatan secepatnya jika hal ini terjadi.

Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika penderita


dapat mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan berlatih untuk mengurangi
kerusakan lebih lanjut.

Kemungkinan

pasien

membutuhkan

konsultasi

psikologi

dalam

menghadapi penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di masyarakat.


-

Fisio terapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi.

Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian,


jangan terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi.7

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr.dr. H. Muh. Dali Amiruddin. Penyakit Kusta. Dalam : Marwali Harahap, Prof.,
Dr.(Ed), Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta. 2000 : 260-76

2. WHO Media Centre. Leprosy. Available from: http//www. whoint.co.id


3. Sidharta. What is Leprosy ?. Available from : http//www.medline.com
4. Rea, L Modlin. Leprosy. In : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th ed. Vol.
I, Mc Graw Hill, New York, 2003 : 1962-1972
5. Djuanda A. Kusta. Dalam : Kosasih, I made Wisnu, Syamsoe- Daili, Menaldi. Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2002 ; 173-80.
6. Siregar RS. Kusta. Dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta. 1996.
Hal : 179-186.
7. Djuanda A. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan.Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1997.
8. Graham R, Tony Burns. Infeksi Bakteri dan Virus. Dalam : Lecture Notes Dermatology.
EMS. Edisi Kedelapan. Balai Penerbit Erlangga. Jakarta. 2002. Hal : 23-25
9. Riddley S. The Pathogenesis Of A Skin Lession. In : Skin Biopsy in Leprosy Histological
interpretation and Clinical Application. Second Edition 1985. CIBA-GEIGY Limited,
Basle (Switzerland).Pp: 17-22
10. A.Haris L.,dkk.Lucio Leprosy .Dalam :Perkembangan penyakit kulit kelamin di
Indonesia menjelang Abad 21.Erlangga University Pers.Surabaya.1999

STATUS RESPONSI
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama

: Tn. T

Umur

: 45 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Wirausaha

Status

: Menikah

Alamat

: Karanganyar

Tanggal Periksa

: Selasa, 26 Mei 2015

No rekam medik

: 009111xx

B. Keluhan utama
Muncul bercak merah di pipi kanan
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Moewardi dengan keluhan muncul
bercak merah di pipi kanan sejak 1 minggu yang lalu. Bercak berjumlah satu buah
berukuran diameter 5 cm. Bercak tidak gatal. Bercak juga tidak gatal dan tidak mati rasa.
Pasien tidak mengeluhkan adanya panas, mual, dan muntah.
Pasien merasakan tangan kirinya terutama jari manis terasa tebal dan sedikit mati
rasa. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Dirasakan terus menerus
dan menganggu pasien. Pasien sudah berobat ke dokter tapi belum ada perbaikan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa
Riwayat hipertensi
Riwayat alergi
Riwayat gula
E. Riwayat Kebiasaan
Riwayat tempat tinggal
Riwayat makan

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Selama hidupnya pasien tinggal di indonesia
: Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi lauk dan sayur

F. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Kesadaran
: Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Status gizi
:
Berat badan
:51 Kg
Tinggi badan
:165 cm
IMT
:18,732
Kesan
: Gizi normal

: Disangkal

Vital Sign

Tekanan darah

: 120/70mmHg

Respiratory rate

: 18 x/menit

Heart rate

: 82x/menit

Suhu

: 36,6 C

Kepala

: Normocephal

Mata

: Dalam batas normal

Mulut

: Dalam batas normal

Telinga

: Dalam batas normal

Wajah

: Lihat status dermatologis

Abdomen

: Dalam batas normal

Ektremitas Atas

: Dalam batas normal

Ektremitas Bawah

: Dalam batas normal

B. Status Dermatologis
Regio fascialis :
Tampak plak eritem, berbatas tegas

C. Pemeriksaan Saraf
1. Sensibilitas Lesi di regio fasicalis
Raba
: normal
Tajam/tumpul
: normal

Panas/dingin
: normal
2. Sensibilitas Lesi di regio manus sinistra
Raba

: berkurang

Tajam/tumpul

: berkurang

Panas/dingin

: berkurang

3. Pembesaran Saraf
N. Aurikularis magnus

: +/-

N. Ulnaris

: -/-

N. Peroneus Lateralis

: -/-

N. Tibialis posterior
4. Pemeriksaan Sensorik
N. Ulnaris
N. Medianus
N. Tibialis Posterior
5. Pemeriksaan Motorik
N. Ulnaris
N. Medianus
N. Radialis
N. Tibialis Posterior
D. Pemeriksaan Penunjang BTA :
IB : +1
IM : 0%

: -/: normal /hipoestesi


: normal/normal
: normal/normal
: kuat/berkurang
: kuat/kuat
: kuat/kuat
: kuat/kuat

III. DIAGNOSIS BANDING


Erisipelas
Psoriasis
Tinea Corporis
IV. DIAGNOSIS
Morbus Hansen tipe Boderline Tuberculoid dd Mid Boderline dengan cacat derajat 0

V. Terapi
Non medikamentosa
Penjelasan tentang diagnosis dan prognosis penyakitnya.
Pasien harus berhati-hati dan mencegah terjadinya trauma dengan menggunakan alas

kaki karena terjadi hilangnya sensasi rasa


Mengetahui kapan terjadinya anestesi pada anggota tubuh dan kelemahanya serta
kerusakan pada matanya.

Mengenal timbulnya reaksi kusta dan pasien mendapatkan pengobatan secepatnya

jika hal ini terjadi.


Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika penderita dapat
mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan berlatih untuk mengurangi kerusakan lebih

lanjut.
Kemungkinan pasien membutuhkan konsultasi psikologi dalam menghadapi

penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di masyarakat.


Fisioterapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi.
Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian, jangan terlalu
berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi

Medikamentosa
Rifampisin mg 600 No. I
1 dd 1 per bulan
Ofloksasin mg 400 No. XXX
1 dd 1
Nervaplus tab mg 5000 No. XXX
2 dd 1
VI. PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanam
Ad fungsionam
Ad kosmetikam

: bonam
: bonam
: bonam
: bonam

Você também pode gostar