Você está na página 1de 27

Mengapa Semua Agama itu Benar?

Sumber: Majalah Tempo Edisi 44/XXXIII/26 Des-01 Jan.


M. Dawam Rahardjo
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa semua agama itu pada hakikatnya
sama, dan hanya penampilannya saja yang berbeda-beda. Tapi secara keseluruhan,
bangunan agama itu nampak sama atau serupa, atau dapat diabsraksikan menjadi sesuatu
yang sama.
Dua orang tokoh pluralis agama, Dr. M. Syafii Anwar (MSA), Direktur The International Centre
for Islam and Pluralism (ICIP) dan Budhy Munawar-Rachman (BMR), mantan Direktur
Eksekutif Yayasan Paramadina, punya persepsi berbeda mengenai pluralisme. MSA, lebih
menekankan pandangan mengenai perbedaan agama-agama atau pluralitas agama-agama sebagai
premis paham pluralisme agama. Sementara BMR sebaliknya; ia menganut paham pluralisme
berdasarkan pandangan bahwa semua agama itu sama-sama baik dan benar.
Persepsi yang pertama itu diterima sebagai kenyataan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Tapi pluralisme menurut BMR ditolak, karena pluralisme dinilai sebagai suatu paham.
Yang pertama bersifat obyektif, sedangkan yang kedua subyektif. Namun, yang menarik adalah,
kedua tokoh pemikir muda yang sama-sama berhaluan Islam liberal itu tidak saling mengklaim
bahwa persepsinya yang benar dan karena itu tidak saling berbantah. Bahkan keduanya nampak
saling membenarkan karena sama-sama memahami bahwa perbedaan itu sebenarnya disebabkan
perbedaan titik pandang atau perbedaan dasar teori saja, tapi mengarah pada perspektif yang
sama, yaitu pluralisme.
Memang, bagi kaum pluralis, pluraritas agama-agama adalah suatu kenyataan. Tapi justru
berdasarkan kenyataan itu, diperlukan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with
plurality). Hal ini sesuai dengan definisi pluralisme itu sendiri, yaitu suatu paham mengenai
pluralitas (pluralism is an ism about plurality) Karena itu, tidak bisa disikapi bahwa pluralitas
diterima sebagai kenyataan, sedangkan pluralisme ditolak sebagai suatu paham. Namun jika
pluralisme ditolak juga, maka hal itu disebabkan ketidak-pahaman, kesalah-pahaman tentang,
atau kecutigaan. Misalnya karena pluralisme itu dikaitkan dengan ideologi politik tertentu atau
dengan konspirasi global dari Barat.
Penolakan dari pihak Islam juga disebabkan penilaian bahwa pluralisme itu adalah suatu teologi
yang lahir dengan latar belakang Kristiani di Barat. Buktinya, pelopor pluralisme agama adalah
William Cantwell Smith, John Hick, Hans Kung, atau Leonard Swindler, kesemuanya adalah
para pemikir dan teolog Kristen, walau ada juga teolog atau filsuf muslim yang juga berpaham
pluralis, seperti Sayed Hosen Nasr, F. Schoun, dan Hasan Askari. Tapi baik pluralisme yang
bertitiktolak dari segi perbedaan agama-agama maupun semua agama itu baik dan benar,
keduanya tetap saja ditolak. Alasannnya, paham pluralisme agama bisa menyebabkan pelemahan
akidah. Jika semua agama itu dianggap benar dan sama, maka orang akan mudah berganti
agama. Tapi yang lebih penting adalah pernyataan bahwa pandangan semua agama itu baik dan

benar, bertentangan dengan akidah Islam atas dasar dalil Sesungguhnya agama yang diterima
oleh Allah itu (hahya) Islam (Q.S. Ali Imran: 18). Karena itu, pandangan yang dianggap benar
adalah: Semua agama itu salah, kecuali Islam, atau hanya Islam sajalah agama yang benar.
Karena kenyataan tentang pluralitas itu tidak menimbulkan kontroversi, maka yang perlu
dijelaskan adalah apa maksud pandangan bahwa semua agama itu baik dan benar? Pertama,
pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan keterangan bagi
para pemeluknya. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pemeluk agama akan
berkeyakinan bahwa agama merekalah yang paling baik dan benar. Karena itu, pernyataan bahwa
Sesungguhnya agama yang diterima oleh Allah itu (hanya) Islam, hanya benar bagi orang
Islam. Sedang umat Kristen, tentu akan berpendapat bahwa keselamatan hanya ada dalam (iman
kepada) Kristus, sebagaimana dinyatakan oleh Vatikan sebelum tahun 1965. Setelah itu, Konsili
Vatikan mengakui bahwa keselamatan itu juga terdapat (bisa melalui) agama-agama lain, sebagai
pandangan baru atau qaul jadid. Bahkan secara khusus, Vatikan sangat menghargai iman Islam.
Namun tetap boleh saja dilakukan klaim bahwa agama tertentulah yang benar, tetapi bagi
pemeluknya masing-masing.
Kedua, kebenaran dan keselamatan (salvation) agama itu ada dua macam. Yang satu kebenaran
eksklusif, yang lain kebenaran inklusif. Kebenaran eksklusif adalah kebenaran tertentu yang
hanya diyakini dalam agama tertentu. Misalnya mengenai doktrin Trinitas. Umat Islam tidak
mungkin menerima doktrin itu, namun doktrin itu bersifat fundamental bagi umat Kristen.
Sedangkan ajaran cinta kasih dalam agama Kristen adalah kebenaran inklusif yang bisa diterima
oleh pemeluk semua agama.
Ketiga, semua agama itu sama, dalam arti semua agama itu, dalam perspektif masing-masing,
pada hakikatnya merupakan jalan menuju kebenaran dan kebajikan. Tidak ada agama yang
mengajarkan kesalahan atau keburukan dan kejahatan. Namun memang, substansi dari kebenaran
dan kebaikan itu berbeda dari satu agama ke agama yang lain.
Keempat, setiap agama mengandung kebenaran, bukan saja bagi pemeluk agama yang
bersangkutan, tetapi juga bisa dilihat begitu oleh pemeluk agama lain. Sebagai contoh, umat
Islam atau Kristen bisa memetik kebenaran dari Kitab Baghawatgita atau buku-buku Taoisme
dan Konfusianisme. Itulah sebabnya Raja Penyair Pujangga Baru, yang juga dianggap sebagai
seorang penyair sufi, menerjemahkan Baghawatgita dan puisi-puisi Timur yang secara khusus
dihimpun dalam kumpulan sajak Setanggi Timur. Karena itu, mengapa para pemeluk agama
tidak saling mempelajari agama-agama lain untuk dapat memetik hikmah dan kearifan hidup dari
ajaran agama-agama lain? Tidak ada salahnya atau tidak berdosa bagi kaum pluralis untuk
mengutip hikmah dari ajaran agama-agama lain dalam khotbah di masjid atau gereja.
Kelima, terdapat kesamaan antara agama-agama. Misalnya ajaran the Ten Commantments atau
Sepuluh Perintah Tuhan dari agama Yahudi, dapat ditemui juga pada agama-agama lain. Ajaran
puasa juga dapat ditemui pada agama-agama lain, walau tidak semua pemeluk agama bisa
melestarikan tradisi itu pada zaman modern ini. Namun para pemeluk agama lain bisa
menganggap bahwa ajaran puasa itu adalah suatu ajaran yang benar, karena tujuannya adalah
mendidik kemampuan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu (takwa).

Keenam, semua agama itu pada lahir atau detailnya, atau pada tingkat syariat memang
bervariasi, karena pada tingkat itu sudah berperan pemikiran dan perumusan manusia yang
dipengaruhi oleh kondisi dan sejarah. Namun pada tingkat yang lebih tinggi (tarekat dan
makrifat) akan dijumpai persamaan-persamaan dan akhirnya mencapai titik temu pada tingkat
trensenden (hakikat). Ini adalah teori yang disebut transcendent unity yang dikembangkan baik
oleh teolog Kristen maupun muslim, walau dalam wacana timbul pro dan kontra. Di lingkungan
Islam, teori semacam ini dikemukakan oleh para sufi seperti al-Hallaj, Ibn al-Arabi dan
Jalaluddin Rumi, dan dikembangkan oleh Sayed Hosen Nasr, F. Schuon, dan Hasan Askari, dari
teolog modern. Ketujuh, semua agama dipandang sama dan benar dimaksudkan sebagai
pandangan yang harus diambil oleh negara atau pemerintah. Sebab, negara yang harus bersikap
adil terhadap setiap individu dan kelompok, tidak boleh berpandangan bahwa hanya suatu agama
saja yang baik dan benar, sedangkan yang lain salah. Inilah sebenarnya salah satu unsur dari
sekularisme yang dianut dalam sebuah negara yang demokraris, termasuk di Indonesia. Tapi di
Indonesia sendiri yang berideologi Pancasila, juga memandang setiap agama itu benar dan baik.
Dengan begitu, setiap agama diharapkan berkontribusi terhadap pembangunan negara dan
masyarakat.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama, dan
hanya penampilannya saja yang berbeda-beda. Tapi secara keseluruhan, bangunan agama itu
nampak sama atau serupa, atau dapat diabsraksikan menjadi sesuatu yang sama. Misalnya,
Swidler bisa merumuskan bahwa semua agama itu terdiri dari empat aspek yang disebut 4C,
yaitu creed (akidah), cult (peribadatan), code (pedoman perilaku atau akhlak), dan community
structure (struktur kemasyarakatan). Hanya saja, isi dan substansi dari setiap C itu berbeda-beda.
Karena itulah dikatakan, agama-agama itu ide dasarnya sama, tetapi berbeda isi dan
eksperasinya.
Pluralisme memang memiliki beberapa dan bukan hanya satu perspektif saja. MUI agaknya
keberatan terhadap pluralisme karena hanya melihat satu perspektif saja, yaitu kemungkinan
timbulnya sinkretisme. Pihak Kristen, sebagai agama besar dan tentu juga memiliki kelompok
fundamentalis, juga keberatan terhadap perspektif ini. Salah satu agama sinkretisme adalah
agama Bahai atau Agama Jawa, sehingga timbul gerakan purifikasi di Indonesia yang dipelopori
oleh Muhammadiyah yang dinilai berpaham puritanisme. Tapi sebenarnya, ada beberapa
perspektif lain dengan tingkat penerimaan yang berbeda-beda dari agama-agama.
Pertama adalah persepktif persatuan agama-agama (unity of religions). Persepktif ini sudah
banyak diwacanakan di Barat, juga di kalangan Islam. Di kalangan Islam juga sudah dikenal
konsep Kesatuan Agama-Agama (wahdatul adyn) yang berkembang terutama di kalangamn
sufi. Tujuan dari perspektif ini adalah agar agama-agama itu tidak terpecah-belah dan bertengkar
satu sama lain, lalu bersatu menghadapi, misalnya ateisme, agnostisme, dan marjinalisasi
eksistensi dan peran agama-agama di dunia modern. Namun dalam persatuan itu, identitas
agama-agama tidak perlu dilebur seperti dalam sikretisme.
Kedua, terbentuknya Agama Kewargaan (civil religion). Kalangan Kristen banyak yang
keberatan dengan Agama Kewargaan ini. Namun konsep ini sudah berkembang di Amerika
Serikat. Hanya saja, bahan bakunya berasal dari ajaran agama Kristen dan Yahudi yang telah
dibumikan (mengalami rasionalisasi dan objektivikasi dalam bumi AS). Dalam masyarakat yang

lebih plural agama, bahan bakunya bisa digali dari semua agama-agama dunia. Konsep ini
menghimpun semua elemen kebenaran inklusif dari semua agama untuk dijadikan pedoman
perilaku bagi warga negara. Tapi agama ini tidak disucikan sebagai suatu akidah keagamaan.
Namun kaum Kristen juga keberatan dengan konsep ini, karena dianggap melemahkan
kedudukan agama-agama, khususnya Kristen. Dalam kenyataannya, agama Kristen formal justru
berkembang sangat marak di AS, dengan indikator tingkat kunjungan ke gereja yang makin
tinggi.
Ketiga adalah harapan terbentuknya Etika Global (global ethics). Konsep ini dikembangkan oleh
Hans Kung dan Leonard Swindler, keduanya adalah rohaniawan Katolik. Konsep ini sebenarnya
berlatarbelakang Eropa, karena di kawasan itu, agamakhususnya Kristentelah mengalami
marjinalisasi yang ditandai oleh tutupnya gereja-gereja karena sepi pengunjung. Masyarakat
Eropa tidak lagi menjadi penganut agama formal, tapi mengikuti etika umum. Masyarakat AS
dianggap paling religius tetapi kurang etis, sebaliknya masyarakat Eropa dianggap tidak religius
tetapi sangat etis. Di Jepang, agama-agama Sinto, Buddha, atau Konfusianisme, juga menyurut
sebagai agama formal, tetapi masyarakat Jepang memiliki etika yang sangat tinggi. Di tingkat
global, agama formal tampaknya juga menyurut karena saling berkelahi, tetapi spiritualisme
marak.
Keempat, berkembangnya Agama Publik (public religion). Gagasan ini sebenarnya adalah
reaksi terhadap sekularisasi agama yang sebagai kredo dan sistem peribadatan memang telah
mengalami sekularisasi dan privatisasi, namun doktrin sosial agama ingin dihidupkan kembali,
sehingga agama punya peran dalam wacana publik, di tingkat kebangsaan maupun global. Tetapi
berbeda dengan agama privat yang sifatnya suci, konsep agama publik bersifat profan. Di dunia
Islam, konsep ekonomi syariah umpamanya, dapat disebut sebagai salah satu contoh Agama
Publik yang bisa diikuti tidak saja oleh orang Islam, tetapi juga pemeluk agama lain. Dosendosen ekonomi syariah di Wolongong University Australia, adalah para pastor. Di sini, ekonomi
syariah dianggap sebagai suatu kebenaran objektif.
Namun dalam teorinya, unsur-unsur agama lain, misalnya manajemen Taoisme, dapat pula
diintegrasikan ke dalam konsep ekonomi syariah, sepanjang tidak menyangkut akidah yang
mensyaratkan keimanan, sebab ekonomi syariat sendiri juga tidak mensyaratkan keimanan.
Ekonomi syariah dilaksanakan oleh City Bank atau HSBC (Hongkong-Shanghai Banking
Corporation), bukan karena nasabah percaya kepeda kebenaran ayat suci Alquran, melainkan
karena penilaian bahwa sistem syariah itu mencerminkan keadilan dan kebersamaan,
umpamanya.
Kelima, perspektif yang paling dikenal dari pluralisame agama adalah untuk mencapai
kesetaraan agama-agama, toleransi dan kerukunan antar umat beragama, serta kerjasama untuk
kepentingan bersama yang di Indonesia didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan
menyadari perbedaan maupun persamaan agama-agama, terbuka ruang bagi dialog. Dari sudut
pandang umat Islam, pluralisme dapat dilaksanakan berdasarkan tiga cara, yaitu saling
memahami untuk mencapai salingpengertian dan penghargaan (ta`ruf), berloma-lomba dalam
kebajikan (fastabiqul khairt), dan kerjasama dalam takwa dan kebajikan (ta`wun).

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA


Ditulis dalam Ilmu Pengetahuan oleh Nurafni pada Maret 31, 2011
A.Islam Agama Rahmat bagi Seluruh Alam
Kata islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat dan patuh. Pengertian tersebut
menunjukkan bahwa agama islam adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan
kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan hidup umat manusia pada khususnya dan seluruh
alam pada umumnya. Agama islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama,
Nabi pertama, yaitu Nabi Adam AS. Agama itu kemudian Allah turunkan secara
berkesinambungan kepada para Nabi dan Rasul-rasul berikutnya.
Agama islam mempunyai karakter sebagai berikut :
1. Sesuai dengan fitrah manusia. Artinya ajaran agama islam mengandung petunjuk yang sesuai
dengan sifat dasar manusia ( Q.S al-Rum : 3 )
2. Ajarannya sempurna, artinya materi ajaran islam mencakup petunjuk seluruh aspek kehidupan
manusia. ( Q.S Al-Maidah )
3. Kebenaran mutlak. Kemutlakan ajaran islam dikarenakan berasal dari Allah yang Maha Benar.
Di samping itu kebenaran ajaran islam dapat dibuktikan melalui realita ilmiyah dan ilmu
pengetahuan. ( Q.S Alb-Baqarah: 147 )
4. Mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan.
5. Fleksibel dan ringan. Artinya ajaran islam memperhatikan dan menghargai kondisi masingmasing individu, dan tidak memaksakan umatnya untuk melakukan perbuatan di luar batas
kemampuannnya.
6. Berlaku secara universal, artinya ajaran islam berlaku untuk seluruh umat manusia di dunia
sampai akhir masa. ( Q.S al- Ahzab:40 )
7. Sesuai dengan akal pikiran dan memotivasi manusia untuk menggunakan akal pikirannya.
( Q.S al- mujadalah:11 )
8. Inti ajarannya tauhid dan seluruh ajarannya mencerminkan ketauhidan kepada Allah SWT
Fungsi islam sebagai rahmat bagi sekalian alam tidak tergantung pada penerimaan atau penilain
manusia.
Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam tersebut adalah:
1. Islam menunjuki manusia jalan hidup yang benar

2. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan
Allah secara bertanggung jawab.
3. Islam menghargai dan menghormati semua manusia sebagai hamba Allah,baik muslim
maupun non muslim.
4. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan proporsional.
5. Islam menghormati kondisi spesifik individu dan memberikan perlakuan yang spesifik pula
B. Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah
1. Makna Ukhuwah Islamiyah
Kata Ukhuwah berarti persaudaraan. Maksudnya perasaan simpati atau empati antara dua orang
atau lebih. Masing-masing pihak memiliki perasaan yang sama baik suka maupun duka, baik
senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbale balik untuk saling
membantu bila pihak lain mengalami kesulitan. Dan sikap untuk membagi kesenangan kepada
pihak lain. Ukhuwah dan persaudaraan yang berlaku bagi sesame muslim disebut ukhuwah
islamiyah.
Persaudaraan sesama muslim adalah persaudaraan yang tidak dilandasi oleh keluarga, suku,
bangsa, dan warna kulit, namun karena perasaan seaqidah dan sekeyakinan. Nabi mengibaratkan
antara satu muslim dengan muslim lainnya ibaratkan satu tubuh. Apabila ada satu bagian yang
sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Rasulullah SAW juga bersabda : tidak
sempurna iman salah seorang kamu, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai
dirinya sendiri .
Hadis di atas berarti, seorang mulim harus dapat merasakan penderitaan dan kesusahan saudara
yang lainnya. Ia harus selalu menempatkan dirinya pada posisi saudaranya.
Antara sesama muslim tidak ada sikap saling permusuhan,dilarang mengolok-olok saudaranya
yang muslim. Tidak boleh berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain ( Q.S al-Hujurat:
11-12)
Sejarah telah membuktikan bagaimana keintiman persahabatan dan lezatnya persaudaraan antara
kaum muhajirin dan kaum anshar. Kaum muhajirin rela meninggalkan segala harta dna
kekayaann dan keluarganya di kampong halaman. Demikian juga kaum anshar dengan penuh
keikhlasan menyambut dan menjadikan kaum Muhajirin sebagai saudara. Peristiwa inilah awal
bersatunya dua hati dalam bentuk yang teorisentrik dan universal sebagai hasil dari sebuah
persaudaraan yang dibangun Nabi atas dasar kesamaan aqidah.
2. Makna ukhuwah insaniyah

Persaudaraan sesama manusia disebut ukhuwah insaniyah. Persaudaraan ini dilandasi oleh ajaran
bahwa semua umat manusia adalah makhluk Allah. Perbedaan keyakinan dan agama juga
merupakan kebebasan pilihan yang diberikan Allah. Hal ini harus dihargai dan dihormati.
Dalam praktek, ketegangan yang sering timbul intern umat beragama dan antar umat beragama
disebabkan oleh:
1. Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau missi
2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama lain. Arti
keberagamannya lebih keoada sikap fanatisme dan kepicikan ( sekedar ikut-ikutan).
3. Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan
memandang rendah agama lain.
4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat.
5. Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama maupun
antar umat beragama.
6. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalh perbedaan pendapat.
Dalam pergaulan antar agama, semakin hari kita merasakan intensnya pertemuan agama-agama
itu. Walaupun kita juga semakin menyadari bahwa pertemuan itu kurang diisi segi-segi dialogis
antar imannya.
Dalam pembinaan umat Bergama, para pemimpin dan tokoh agama mempunyai peranan yang
besar, yaitu:
1. Menterjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama ke dalam kehidupan bermasyarakat
2. Menerjemahkan gagasan-gagasan pembangunan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh
masyarakat.
3. Memberikan pendapat, saran dan kritik yang sehat terhadap ide-ide dan cara-cara yang
dilakukan untuk suksesnya pembangunan.
4. Mendorong dan membimbing masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta dalam usaha
pembangunan
5. Meredamkan api-api konflik yang ada dan berusaha mencari titk temu dan solusi
C. Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama

Kata pluralisme diterjemahkan dalam berbagai interpretasi. Interpretasi popular dari john Hick
mengenai pluralisme ini adalah anggapan bahwa kebenaran merupakan satu hal yang kolektif di
antara semua agama, dan seluruh agama bias menjadi sumber keselamatan, kesempurnaan dan
keagungan bagi para penganutnya
Nurchalis Madjid berpendapat bahwa pluralism tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,yang
hanya menggambarkan kesan pragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bias
dipahami sekedar kebaikan negative yang hanya untuk menyingkirkan kesan fanatisme.
Bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Interpretasi lain tentang pluralisme tersorot kepada dimensi social kehidupan beragama. Artinya,
segenap penganut agama bias hidup berdampingan secara damai dalam sebuah masyarakat serta
saling menjaga batas-batas dan hak masing-masing. Interpretasi ini dikemukakan dalam Kamus
Oxford, The principle that these different groups can live together in peace in one society.
Interpretasi yang kedua ini menurut pendukung interpretasi versi John Hick keluar dari konteks
pluralism dank arena itu mereka mengartikannya dengan toleransi
Menurut pendapat Ali Rabbani, pluralism agama yang bias diterima adalah pluralism dalam
makna kedua, yakni kehidupan bersama secara rukun. Masing masing meyakini kebenaran
berada di pihaknya. Penulis sendiri juga sependapat dengan interpretasi kedua. Karena jika kita
meyakini kebenaran ada pada semua agama, maka kesaliman aqiqah kita akan goyah.
Kebersamaan hidup antara orang islam dengan non muslim telah dicontohkan oleh Rasulullah
ketika beliau dengan para sahabat mengawali hidup di Madiah setelah hijarah. Rasulullah
mengikat perjanjian penduduk Madinah yang terdiri dari orang-orang kafir dan muslim untuk
saling membantu dan menjaga keamanan kota Madinah dari gangguan musuh. Rasulullah juga
pernah manggadaikan baju besinya kepada orang-orang yahudi ketika umat Islam keku

Islam dan Pluralisme di Indonesia


REP | 25 January 2011 | 10:30

Dibaca: 986

Komentar: 2

Nihil

A.Pendahuluan
Kehidupan ini selalu menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalam kehidupan
menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan di dalamnya masih pada kondisi normal.
Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi beraneka macam
tumbuhan dan bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan baik
sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik jika bisa dihargai
oleh setiap kelompok yang ada. Keberagaman atau pluralitas dalam dialektika kehidupan
beragama tentu sedikit menumbuhkan fenomena yang menarik untuk diteropong lebih dekat lagi.
Terdapat sejumlah persoalan yang perlu dicermati manakala agama bersinggugan dengan
pluralitas sosial, dari mulai politik, adat, ekonomi serta fenomena yang relative paling sensitive
manakala suatu agama menjumpai kelompok kepercayaan atau agama yang lain. Persoalan yang
cukup rumit dalam konteks pergaulan agama-agama adalah pada persoalan cara bagaimana
beragama atau berteologi di tengah-tengah adanya agama-agama yang lain.
Islam sebagai agama juga tidak lepas dari konteks pluralitas yang tesuguhkan tersebut.
Perjumpaannya dengan sejumlah kepercayaan yang muncul terutama dalam konteks keIndonesiaan Islam harus menunjukkan identitasnya sebagai agama yang rahmatan lilalamin.
Agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan. Identitas tersebut
berbanding lurus dengan makna harfiah Islam itu sendiri yang berarti selamat, damai, berserah
diri yang kemudian bisa dimplikasikan dalam kehidupan konkret berupa penghargaan terhadap
pluralitas serta keberadaan agama atau kepercayaan yang lain. Dengan demikian diharapkan
Islam menjadi perekat dan pelopor pemersatu bangsa serta menghindari dari berbagai konflikkonflik SARA yang memungkinkan terjadnya disintegrasi kehidupan berbangsa.
Tujuan luhur di atas sejatinya sangat relevan dengan Islam yang mempunyai rujukan doktrin
yang kuat lewat Al-Quran dan Sunah Nabinya. Namun pada faktanya terdapat sejumlah kasus
yang mencoreng wajah Islam di negeri ini, seperti mencuatnya berbagai macam kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju Islam akhirnya dikaitkan
dengan radikalisme, ekstremisme dan bahkan terorisme. Berbagai macam teror dalam berbagai
bentuknya mulai dari pembantaian kelompok tertentu, pengrusakan, penghancuran gedung dan
lain sebgainya menambah buruk wajah dunia Islam di negeri ini pada khususnya. Gejala-gejala
ekstrem tersebut adalah bagian dari corak keberagaman yang bobrok, yang kemudian
diidentifikasi sebagai bagian dari bangkitnya fenomena fundamentalisme agama.
Mencermati dari suguhan pola keberagaman yang kontraproduktif dari makna Islam tersebut
tentu menjadi proyek tersendiri untuk kemudian diselesaikan. Selain cukup memalukan, tentu

harus segera dituntaskan agar kemudian tidak memunculkan problem yang lain. Jika sedikit lebih
dicermati gejala fundamnetalisme agama yang kemudian memunculkan sikap anarkis tersebut
sangat terkait dengan munculnya ketersinggungan adanya kelompok lain atau agama lain.
Teologi seperti ini tentu tidak bisa menampilkan wajah Islam yang ramah. Dalam konteks yang
lain umat muslim dalam kehidupan beragamanya masih mengadopsi pemahaman double
Standarts. Maksudnya, umat muslim selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk
dirinya dan kelompok lain. Jika pada dirinya biasanya menggunakan standar yang relative ideal,
sementara pada kelompok lain lebih bersifat realistis dan historis. Dari tradisi itulah kemudian
memunculkan prasangka-prasangkan sosiologis dan teologis. Dalam persoalan telogis misalnya,
memunculkan pengakuan bahwa agama sendiri sebagai agama yang dari Tuhan dan paling benar
sementara agama yang lain dianggap konstruksi manusia.
Jika tradisi ini mengkristal dan kemudian menjadi pemahaman secara umum umat Islam maka
konflik bermotif agama akan terus menggelinding. Perlu adanya sentuhan pendewasaan secara
menyeluruh dalam konteks pengamalan agama di muka publik. Secara konkret umat Islam bsa
dibilang mempunyai persoalan ketika Islam menjadi bagian dari elemen publik universal. Secara
privat pengamalan keberagamaan bisa dituntaskan lebih cepat, karena hanya melibatkan
wawasan normative intern dalam agama, akan tetapi agama dalam ruang publik menjadi lebih
rumit karena adanya keterkaiatan dengan komunitas yang jauh lebih luas, memerlukan
kedewasaan intlektual serta emosional yang stabil dengan mengintegrasikan seluruh aspek
doktriner dan konteks secara bersamaan.
B.Upaya Memahami Ruang Publik yang Plural
Ruang public berarti ruang yang secara legal bisa diakses oleh siapapun tanpa adanya klaim
apapun dari pihak tertentu untuk mendominasi. Jika dikaitkan pada tatanan kehidupan berbangsa,
Indonesia dikatak bukan Negara agama akan tetapi Negara yang berasas Pancasila yang
berpijakan pada keanekaragaman dalam satu (bhinneka tunggal ika). Maka Indonesia adalah
Negara yang secara legal memberikan ruang adanya pertumbuhan dan keanekragaman dalam
segala aspek termasuk dalam hal kepercayaan. Jika kemudian pada suatau saat ada kelompok
tertentu memaksa untuk mendominasi ruang tersebut, secara tidak langsung kelompok tersebut
telah melukai tatanan umum.
Dalam suasana berbangsa dalam Negara yang terbuka tersebut setiap kelompok meminta
kesetaraan dalam berkehidupan. Agama dan kepercayaan yang ada juga memiliki hak
kesetaraannya dalam menikmati kehidupan berbangsanya. Catatan sejarah menyatakan bahwa,
Negara dan agama memang memiliki kekuatan untuk saling mendominasi. Tidak bisa dipungkiri
agama dan Negara juga sangat mempengaruhi suatu kemajuan yang besar, akan tetapi sebaliknya
keduanya bisa saja menjadi sumber kemunduran atau malapetaka. Adakalanya Negara bertatahta
di atas agama (pra abad pertengahan), begitu juga agama pernah bertahta di atas Negara (abad
pertengahan), tetapi pada kenyataan lain akhirnya Negara berpisah dari agama (pasca abad
pertengahan hingga saat ini).

Hubungan Negara dan agama seperti yang terurai di atas jika dikaitkan dengan konteks negeri ini
maka bisa dikatakan bahwa Indonesia berada pada Negara yang memisahkan dari agama walau
di beberapa sisi terdapat hubungan yang cukup inten dalam beberapa persoalan. Indonesis secara
khusus memang mempunya konteks historis yang unik terkait terdapat sejumlah kubu yang ikut
serta dalam membangun negeri ini. Waktu itu ada kubu kebangsaan, nasionalis, agama dan Islam
sekuler. Sehingga pada tahap perkembangannya akhirnya Indonesia menjadi Negara pancasila
dimana pada sila pertama Indonesia tidak melepaskan keikutsertaan Negara dalam mengarahkan
rakyatnya dalam hal beragama, tetapi tetap tidak ada unsur pemaksaan, akan tetapi hanya
menyebutkan kebertuhanan kepada Tuhan yang Esa.
Selain itu masih dari dimensi sejarah masa lalu, bangsa ini mempunyai sejumlah kerajaan yang
sejatinya juga mempunyai hubungan harmonis dengan agama-agama diantaranya ada Mataram
pertama kalinya dengan agama Hindunya, Sriwijaya dengan agama Budhanya serta Majapahit
dengan Hindu siwanya. Sejumlah warisan inilah yang kemudian tidak bisa menjadikan bangsa
ini betul-betul berada pada titik sekuler seperti halnya Negara-negara Barat. Agama dan Negara
dalam tatanan publik konteks keindonesiaan sama-sama memiliki legitimasi simbolik.
Seiring dengan semakin dewasanya bangsa ini nampaknya Islam menjadi suatu kekuatan
tersendiri yang kemudian pada babak awal didirikannya bangsa ini terjadi perdebatan yang
cukup alot mengenai pijakan dasar dari Negara ini. Walau Islam bisa dibilang sangat dominan
ketika itu, tetapi pertautan sejarah masa lalu tidak bisa diabaikan begitu saja, kebhinnekaan
bangsa ini tidak bisa dipugar begitu saja dengan memihak pada kubu tertentu yang kuat secara
politis dan massa. Untuk menjawab semua itu akhirnya negeri ini secara khusus mendirikan
suatu lembaga khusus yang membidangi hubungan Negara dan agama yang kemudian dikenal
dengan Depertemen agama(sekarang kementerian agama). Namun maksud dari adanya
kementrian agama tersebut bukan berarti Negara ikut campur dalam keberagamaan
penduduknya, tetapi Negara tetap berpegang teguh pada dasar Negara yang memberikan
kebebasan dalam memeluk agama yaitu bunyi sila pertama dari Pancasila dan pasal 29 ayat (2)
UUD 45 yang berisi tentang kebebasan beragama dan jaminan tidak ada diskriminasi agama di
Indonesia.
Keberadaan Negara dengan sejumlah catatan sejarah dan data di atas menempatkan Negara ini
tidak akan pernah lepas dari pluralitas. Pada saat yang sama kondisi itulah yang kemudian
memberikan kesadaran bagi setiap agama agar senantiasa melakukan pembacaan terhadap
konteks yang ada dengan harapan agar tercipta kesepahaman akan adanya kelompok-kelompok
lain yang juga punya hak yang sama di Negara ini. Setiap kelompok apapun harus tetap menjaga
integrasi bangsa ini, beragam adalah keniscayaan sementara menjaga keutuhan bangsa adalah
tugas bersama.
Upaya memuluskan hubungan yang harmonis dalam kehidupan beragama di Negara ini, maka
kemudian menjadi keniscayaan menformulasikan satu ideologi yang bisa meghantarkan setiap
agama tersebut pada kedamaian bersama dan ketenangan mengamalkan ajaran agama oleh

masing-masing pemeluknya. Disinilah kemudian pluralisme agama bisa dilirik untuk kemudian
diupayakan menjadi satu pola kehidupan beragama yang bersinergi dalam menggapai nilai
kemanusiaan yang tinggi, dengan harapan kemejemukan di tubuh bangsa ini bisa terjaga
sehingga kebesaran dari bangsa ini memunculkan peradaban-peradaban yang unggul di mata
bangsa-bangsa yang lain.
C.Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme dalam arti yang sangat sederhana adalah kemajemukan. Pada kenyataannya
pluralisme dianggap sebagai paham yang paling mengerikan ditinjau dari sudut pandang agamaagama samawi (Yahudi, Kristen da Islam). Hal itu karena adanya pengawetan yang cukup kental
terhadap ideolgi ekslusif yang dikembangkan oleh agama-agama tersebut selama ratusan tahun
yang silam. Ideology eklusifisme yang dimaksud adalah berupa claim of truth klaim kebenaran
dan claim of salvation klaim keselamatan yang ada pada masing-masing agama tersebut.
Dalam arti yang lebih sederhana masing-masing agama tersebut menilai agama yang lain dengan
memakai teologinya agamanya sendiri tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati dan
bersimpati tentang bagaimana orang lain memangdang agamanya sendiri. Dengan pola ekslufitas
tersebut menemptakan pluralisme sebagai ancaman bagi agama yang disebutan di atas termasuk
dalam Islam itu sendiri.
Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap
orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama,
sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Gagasan yang dimaksudkan
adalah dalam rangkan mencipatakan kesepahaman, toleransi dengan tujuan membentuk
masyarakat plural yang produktif. Ada kenyamanan, ketentraman, keadilan dan kemerdekaan
yang setara, sehingga secara tidak langsung mereka secara bersamaan menjadi masyarakat yang
kokoh dalam memajukan lingkungannya.
Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan tetapi
disitu terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian
lahirlah pluralisme. Sekularisme muncul sebagai dampak dari perselingkuhan antara agama dan
Negara yang melumpuhkan kondisi keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan
publik yang kemudian berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan
oleh satu doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti halnya
contoh mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas. Dari kemandegan tesebut
maka kemudian lahirlah ide liberalism yang kemudian merekomendasikan adanya ruang
kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak langsung kemudian dari leiberalisme tersebut
memunculkan kelompok-kelompok agama dan pada akhirnya mengharuskan adanya pluralisme
sebagai satu pengharrgaan terhadap plualitas yang ada.
Pluralisme agama juga bisa diartikan sebagai upaya saling mengenal antar agama yang satu
dengan agama yang lainnya. Disitu kemudian terjadi perluasan wawasan dengan tidak
bermaksud mendiskreditkan. Ada penghargaan terhadap perbedaan, bukan mencemooh

perbedaan tersebut. Bahkan pada kondisi tertentu menempatkan perbedaan tersebut sebagai nilai
kebenaran bentuk lain daripada apa yang dinytakan dalam agama. Di sisi lain pluralisme bisa
dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan manusia akibat adanya
kelesuan moral, sehingga dengan pulralisme tersebut akan tercapai kesejahteraan manusia dan
lingkungannya.
Pengertian pluralisme dalam konteks kontemporer bisa dinyatakan sebagai keterlibatan aktif
dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama. Menurut Nurcholis
Madjid pluralisme itu tidak sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan akan tetapi
gerakan yang aktif merangkai keragaman tersebut untuk tujuan-tujuan sosial yang luhur yaitu
untuk kebersamaan dan peradaban.
D.Perkembangan Pluralisme Agama
Pluralisme pada perkembangannya menjadi suatu wacana yang cukup ramai dibicarakan,
terutama pasca reformasi. Keramaian itu semakin menguat semenjak MUI memutuskan
fatwanya yang mengharamkan terhadap sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun
2005. Kemudian yang paling menarik untuk diperhatikan pasca keluarnya fatwa tersebut adalah
semaraknya respon publik yang diwakili oleh sejumlah LSM Islam yang dengan antusias
menyuarakan tiga isu tersebut, bahkan selama kurun lima tahun sejak pengharaman tersebut, tiga
isu besar tersebut semakin menemukan performanya yang semakin matang.
Selain respon dari sejumlah LSM dua arus besar Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan
NU juga ikut meramaikan wacana tersebut. Kelompok muslim lain seperti Persatuan Islam
(PERSIS), Nahdatul Wathan di NTB, Darul Dakwah wa Irsyad (DDI) di Sulawesi, Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga
memainkan perannya dalam merespon tiga wacana tersebut. Ditenga-tengah tempratur
terbukanya demokrasi, masing-masing kelompok tersebut mempunyai hak yang sama dalam
mengungkapkan pendapatnya, sebagian ada yang bersikukuh menolak, sebagian yang lain
dengan penuh kemantapan menerima pluralisme sebagai sebuah keniscayaan.
Jika dilihat lebih dekat dua mainstream NU dan Muhammadiyah telah banyak lahir dari rahim
keduanya komonitas-komonitas Islam yang begitu gigih mengangkat isu pluralisme, sehingga
pada sisi yang lain kedua mainstream tersebut dipercaya sebagai sisi Islam yang cukup moderat
yang mampu meredam radikalisme dan militanisme Islam yang biasanya lahir dari kubu-kubu
yang menamakan dirinya sebagai Islam puritan. Gerakan tradisional diwakili oleh NU sementara
gerakan Islam modernis diwakili Muhammadiyah. Abdurrahman Wahid dan Masdar F. Masud
dua tokoh representaif yang lahir dri NU telah memainkan perannya dalam mengapresiasi
pularlisme. Bahkan Gusdur pada suatu mement dinobatkan sebagai bapak pluralisme.
Sementara Muhammadiyah yang sejak awal merepresentasikan dirinya sebagai gerakan Islam
modernis tentu secara otomatis akan menerima pluralisme sebagai keniscayaan. Ahmad Dahlan

misalnya sebagai pendiri Muhammadiyah mempunyai wawasan ke depan yang cukup progresif
yang di dalamnya tertampung pluralisme sebagai suatu keharusan. Hal itu tercermin dari sikap
riil KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai banyak kolega dari non muslim. Cerminan tersebut
mengindikasikan bahwa Muhammadiyah sejatinya secara ideology telah menganut ideology
inklusif dan plural. SyafiI Maarif menjadi cerminan fundamental adanya penerimaan terhdap
pluralism dalam tubuh Muhammadiyah.
Akan tetapi jika dibandinkan dengan NU, isu pulralisme dan sikap progresif yang dikembangkan
di Muhammadiyah bisa terbilang tertinggal. NU sudah sejak tahun 1980-an sedangkan fenomena
yang demikian dalam Muhammadiyah baru muncul pada paroh akhir tahun 1990-an.
Ketertinggalan Muhammadiyah dalam menangkap keniscayaan tersebut menjadikan
Muhammadiyah sedikit lebih tertutup mengingat sebagian massanya terjebak pada gerakangerakan ektrem yang menghendaki ideologi ekslusif yang pada akhirnya memunculkan gerakan
puritanisme. Walau demikian di tubuh NU sendiri juga mengemukan sub kelompok yang juga
cukup tetutup dalam menerima pluralisme.
Secara konkret Muhammadiyah dan NU benar-benar telah menelorkan pengarusutamaan
(mainstreaming) ide-ide sekularalisme,liberalism dan pluralisme dalam beberapa kajian yang
berafaliasi pada keudanya. Islam Liberal lewat artikel menggugahnya Ulil Absar Abdalla yang
dipublikasikan di Kompas pada tahun 2002 membuka diskursus baru tentang tiga isu tersebut.
Kelompok ini merupakan representasi dari kubu NU,kemudian sejumlah LSM lainnya seperti
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institute (TWI) dan
Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKiS) menjadi agen dari mainstreaming yang
bekembang dalam NU. Sementara kajian-kajian yang merepesntasikan dari kubu
Muhammadiyah seperti, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Yayasan Paramadina,
Internasional Center for Islam and Pluralism (ICIP), Maarif Institute dan JIMM. Sejumlah
kajian itulah yang kemudian menjadi media penghantar dari ide-ide teoritis untuk kemudian
ditansmisikan pada dunia riil.
Sejumlah tokoh Muhammadiyah yang bisa dibilang cukup kuat dalam menyuarakan ide
pluralisme pada tngkat kajian-kajian tersebut dan dunia intlektual adalah, Ahmad Syafii
Maarif,M Dawam Raharjo,Moeslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah dan Abdul Munir
Mulkhan. Merekalah para tokoh senior yang juga secara fisik terlibat dalam pengkaderan
pemikir muda Muhammadiyah saat ini.
Selain dua ormas besar itu mainstreaming juga di dapati pada dunia kampus. UIN Jakarta dan
UN Yogyakarta dua kampus yang representative secara aktif terlibat dalam menyuarakan tiga isu
tesebut. Tokoh-tokoh yang terlibat di UIN Jakarta ada Harun Nasution yang mampu memberikan
pandangan pulralisnya lewat teks bukunya denga judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
yang didalamnya terdapat pemahaman Islam secara komprehensif. Disusul kemudia oleh
Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra yang menginginkan agar UIN tidak lagi hanya bersifat
fiqih oriented tetapi harus dikembangkan pada wawasan keilsman yang lain menyagkut
kemodernan, ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Sementara di Yogyakarata ada Mukti Ali dan

Amin Abdullah yang dalam segmen wawancara di Kompas edisi 7 Oktober 2008 menyatkan
bahwa UIN Sunan Kalijaga mendukung pluralisme.
Data-data di atas menunjukkan bahwa isu pluralism dalam perkembangannya memang telah
diamini oleh dua ormas tebesar di Indonesia sekaligus juga didukung secara akdemis oleh dunia
intlektual yang diwakili oleh dua Univesitas Islam Negeri Jakarta dan Yoyakarta yang sudah
secara aktif ikut andil dalam laju perjalanan pulralisme di Indonesia.
E.Penutup
Pluralitas dalam konteks Indonesia merupakan keniscayaan sejak lahirnya bangsa ini. Catatan
sejarah sejak pra terbentuknya bangsa ini memang telah banya disinggahi berbagai macam
peradaban. Memberengus serta mengabaikan kemajemukan adalah kebrutalan yang
menghantarkan pada disintegrasi bangsa. Dukungan secara hukum lewat undang-undang yang
tersurat dalam tubuh bangsa ini serta tumpukan sejarah bangsa ini setidaknya menjadi pijakan
utama dalam merumuskan eksistensi agama di lingkungan negeri ini. Islam sebagai bagian dari
bangsa ini sudah selayaknya menjadi pelopor mengingat kondisi politk dan massa yang cukup
domnan. Keangkuhan serat fanatisme buta perlu dihijrahkan kemudian mengambil pluralisme
dengan melibatkan rasa kemanusiaan dan kebangsaan.
Menlanjutkan proyek mulia tesebut, ormas-ormas Islam dan dunia akademik Islam agar terus
menopang gelaran puluralisme agama tersebut guna membangun kerjasama yang produktif
dalam rangka membangun peradaban yang maju. Kini saatnya berubah, demi orentasi mulia
menatap kesetaraan umat beragama serta masa depan bangsa yang cemerlang. Semoga

FENOMENA PLURALITAS AGAMA


Oleh : Alif Lukmanul Hakim, S. Fil
Dewasa ini kenyataan pluralisme agama semakin disadari oleh banyak pihak. Namun kesadaran
semacam ini tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan lewat perkembangan
pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa. Sejarah mencatat banyaknya perang dan perebutan
kekuasaaan ataupun perebutan pengaruh antara agama-agama di masa lampau. Itu berarti bahwa
kemajemukan (keberagaman menurut penulis) agama sudah lama dialami oleh bangsa-bangsa,
meskipun dalam perspektif pemikiran yang berbeda dari sekarang (Dhavamony, 1973)
Pengantar
Selama ini, jika berrbicara tentang tema pluralitas atau kemajemukan agama, maka persepsi kita
pertama-tama selalu pada usaha untuk menciptakan hubungan dialogis antarumat bergama
melalui dialog demi tercapainya kerukunan antarumat beragama. Dan satu hal yang paling
ditonjolkan adalah masalah iman (kepercayaan). Sebenarnya pluralitas menurut Diana Eck
(Diana Eck adalah seorang guru besar di Harvard University dan juga tokoh wanita dalam
kepengurusan Dewan Gereja-gereja se- Dunia di Genewa, Swiss), mengandung pengertian :
pluralitas tidak sama dengan kemajemukan. Menurutnya, pluralitas mengacu pada adanya
hubungan saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda, sedang kemajemukan
(diversitas) mengacu kepada tidak adanya hubungan seperti itu di antara hal-hal yang berbeda.
Dengan demikian pluralitas meniscayakan adanya dialog antar semua umat beragama. Dalam
The Oxford English Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai Keberadaan atau toleransi
keberagaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta
keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Pengertian
di atas melekat (inherent) didalamnya agama sebagai sebuah entitas yang mempunyai
keberagaman (pluralitas) dengan karakteristik tersendiri.
Atas dasar pandangan di ataslah, banyak para agamawan, praktisi dan para intelektual
berpendapat, sangat signifikan dalam konteks kali ini bagi kita untuk melakukan perubahan
dalam berteologi. Dengan demikian, iman atau kepercayaan akan berakar pada pengalaman
sejarah masing-masing agama, dan pluralitas agama menjadi dasar historis bagi terciptanya spirit
(semangat) dan dinamika dalam agama-agama untuk tetap eksist dan mampu menjawab isu-isu
kontemporer. Untuk mewujudkan dan mendukung konsep pluralisme dalam beragama tersebut,
mutlak diperlukan adanya toleransi dalam beragama. Meskipun hampir semua masyarakat yang
berbudaya kini sudah mengakui adanya keberagaman dalam dimensi sosial, budaya, politik, dan
dimensi kehidupan lainnya, pada kenyataannya permasalahan toleransi sebagai salah satu
fundamen bagi pluralisme agama masih belum menemukan pijakan yang mantap dan kokoh.
Oleh karena itu sudah menjadi sebuah konsekuensi logis apabila pluralitas harus mengacu
kepada adanya kebersamaan dan keutuhan. Dengan demikian kita tidak lagi dapat membatasi diri
pada pembicaraan tentang pluralitas itu sendiri. Memang, walaupun terdapat beragam faktor
perbedaan di antara agama-agama, terdapat sejumlah kesamaan yang cukup berarti di antara

mereka. Hal ini terbukti ketika pengertian terhadap saling ketergantungan (pluralitas) telah
mengukuhkan suatu paradigma atau cara pandang tentang kesatuan dalam bentuknya yang baru.
Salah satu indikasinya adalah, agama mmembawa dampak yang luas terhadap kehidupan
seseorang, baik dalam hal pemenuhan kebutuhan fisik, ekonomi, politik dan sebagainya.
Motif dan karakteristik Pluralitas dalam Agama
Secara teologis-normatif dalam terminologi Amin Abdullah setiap agama pasti memiliki
kepercayaan dan konsep teologisnya sendiri-sendiri, yang tak mungkin dipersatukan dengan
agama dan atau kepercayaan yang lainnya. Semua agama memiliki kebertujuan dimensi
teleologis sendiri-sendiri dalam konteks memberikan arah jalan keselamatan bagi pemeluknya.
Namun bukan berarti agama-agama yang ada tidak akan mendapatkan titik persinggungan atau
perjumpaan secara konseptual. Bisa jadi, di antara titik-titik persinggungan dan titik pemisah
(dimensi-dimensi teologis-normatif) yang terdapat dalam hubungan antaragama lebih banyak
titik-titik persinggungannya. Namun titik-titik persinggungan antar agama ini menurut Alwi
Shihab tidak dimaksudkan sebagai sebuah model sinkretis, yakni menciptakan suatu agama baru
dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari berbagai agama untuk
dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut atau bahkan upaya eklektik, melainkan
membangun sebuah model atau proses dialog yang sadar antar umat agama (Alwi Shihab,
1998: 42).
Melalui model dialog antar agama seperti itu diharapkan akan dapat mengantarkan teologi antar
agama yang didasarkan atas pemahaman akan adanya hubungan kebenaran relatif dalam agamaagama dengan kebenaran absolut yang melibatkan dan melampaui kebenaran relatif tersebut.
Inilah yang dinamakan oleh para ahli studi perbandingan agama (comparative religions) dan para
agamawan transformatif sebagai teologi atau konsep inklusif beragama dalam kaitannya dengan
hubungan antar agama.
Orientasi Fenomena Pluralitas dalam Agama
Kita harus menetapkan orientasi atau arah tujuan bersama dalam menciptakan kehidupan
keberagamaan yang menghargai pluralitas, menjunjung kebersamaan dan menghilangkan sekatsekat primordialistik dalam beragama. Pada masyarakat plural, multireligius atau interreligius,
tuntutan akan lahir dan munculnya spiritualitas keberagamaan yang sejuk, ramah, dan saling mengayomi satu sama lain, sangatlah didamba-dambakan. Untuk mewujudkan itu semua, salah satu
jalan yang dapat ditempuh adalah membuka pintu dialog secara terbuka, rasional, dan lepas dari
tendensi serta kecurigaan yang tak beralasan. Mampukah kita mewujudkannya?Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
.
Dhavamony, Mariasusai. 1973. Fenomenologi Agama. Diterjemahkan oleh Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Knitter, Paul F., 2003. Satu Bumi Banyak Agama. Diterjemahkan oleh : Nico A. Likumahuwa.
Jakarta: PT. BPK GUNUNG MULIA.

Kuswanjono, Arqam. 2001. Titik temu Pemahaman Ketuhanan. Dalam Revitalisasi Islam.
Editor : Arqam Kuswanjono, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar&UGM.
Shihab, Alwi., 1998. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.

Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan
penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlainlainan pula:

Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang


bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan
demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidaktidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.

Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang samasama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih.
Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat
dalam agama-agama.

Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni


upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan
pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi
dalam satu agama.

Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat


untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun
denominasi yang berbeda-beda.

Daftar isi

1 Pluralisme menurut berbagai agama


o

1.1 Islam

1.2 Kristen

2 Catatan dan referensi

[sunting] Pluralisme menurut berbagai agama


[sunting] Islam

Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah
mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman(pluralitas). Namun anggapan bahwa
semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap
bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah. Pada
28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa melarang paham pluralisme
dalam agama Islam.[1] Dalam fatwa tersebut, pluralisme didefiniskan sebagai ""Suatu paham
yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan
bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga".
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan
Muslim itu sendiri. [2] Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui
perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham
pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan
perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. [3]
Di Indonesia, salah satu kelompok Islam yang dianggap mendukung pluralisme agama adalah
Jaringan Islam Liberal. Di halaman utama situsnya terulis: "Dengan nama Allah, Tuhan
Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama."[4]
[sunting] Kristen

Dalam dunia Kristen, pluralisme agama pada beberapa dekade terakhir diprakarsai oleh John
Hick. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa menurut pandangan fenomenologis, terminologi
pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas bahwa sejarah agama-agama menunjukkan
berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama. Dari sudut
pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antartradisi
dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung arti berupa teori bahwa agamaagama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak
hakikat yang misterius.[5][6]
Telah dimaklumi bersama bahwa kemajemukan merupakan salah satu ciri yang melekat dan tumbuh dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu bentuknya adalah kemajemukan (pluralitas) agama.

Sebagaimana dalam bidang lainnya, pluralitas agama bisa menjadi modal


pembangunan bangsa jika dikelola secara arif dan bijaksana. Akan tetapi
jika terjadi kesalahan manajerial justru akan memicu konflik horizontal
antar sesama umat beragama yang mengakibatkan perpecahan

(disintegrasi) dan menjadi kendala besar dalam proses pembangunan


bangsa dan negara.
Tragedih Aceh, Ambon, Poso, Sampit dan lainnya sudah cukup memberi
pelajaran bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menjalin dan membina
hubungan kerja sama dan persatuan antar pemeluk agama yang berbedabeda sangat urgent, bahkan satu keniscayaan dalam rangka mewujudkan
kehidupan bangsa yang sejahtera, damai dan adil.
Hal ini harus disadari oleh segenap umat beragama sehingga upaya
mewujudukan cita-cita bersama itu akan terasa mudah dan sukses karena
muncul dari kerasadaran masyarakat sendiri.
Dan, pemerintah juga diharapkan lebih proaktif dalam menyikapi setiap
kemungkinan pihak-pihak tertentu memanfaatkan sintemen agama untuk
kepentingan pribadi atau golongan. Ketidakharmonisan hubungan atau
perang dingin antar pemeluk agama yang beranekaragam bila dicermati
secara teliti terutama muncul dari sistem intern (komunitas) agama itu
sendiri. Ada dua hal yang menyangkut watak alami keagamaan yang
menjadi indikator asumsi ini.
Pertama, sifat inklusiv keimanan. Setiap pemeluk agama menyakini
bahwa agamanya merupakan jalan kebenaran dan pada waktu itu yang
sama menolak kebenaran agama lain. Jika ia menyakini kebenaran
agamanya sekaligus kebenaran agama lainnya, berarti keimanannya tidak
sempurna. Begitu juga sebaliknya, pemeluk agama lain menyakini
agamanya sendiri sebagai jalan kebenaran dan menolak keberaran agama
lainnya.Agama menjadi benar dimata penganutnya, dan menjadi salah
menurut agama lainnya (other religions). Dalam konteks ini, dapat
dikatakan memimjan istilah Sayyed Hossein Nasragama relatively
absolut atau sebaliknya, absolutly relative. Ini adalah watak alami yang ada
pada setiap agama dan tidak bisa diubah.
Kedua, sifat misioner agama. Agama sebagai kabar gembira selalu
menuntut perluasan dan penyebaran kepada sebanyak mungkin orang,
yaitu kepada mereka yang belum mengetahuinya tetapi bersedia
menerimanya.Setiap pemeluk agama jelas menghendaki apa yang
diyakininya sebagai keselamatan dan kebenaran dapat dan dinikmati oleh
orang lain, bahkan ini menjadi tuntutan agama itu sendiri.

Dengan demikian, agama-agama tidak pernah menjadi eksklusif dalam arti


berusaha membatasi jumlah penganutnya, melainkan cenderung menjadi
inklusif, yaitu membawa sebanyak mungkin orang kedalam lingkupnya
untuk menikmati keselamatan yang dijanjikan agamanya.
Jika demikian, apakah perpecahan dan pertikaian antar umat beragama
menjadi keniscayaan ?. Masihkah ada jalan dan kesempatan untuk menjalin
hubungan kerjasama dan persatuan antar umat beragama?
Titik Temu agama-agama.
Perbedaan antar agama yang beranekaragam itu bukan dalam arti
sepenuhnya (totally). Secara gamlang, kita bisa melihat adanya ide dan
gagasan yang sama. Gagasan-gagasan yang sama merupakan titik
konvergensi antara agama-agama. Bila kita mengikuti klasifikasi agama
berdasarkan sumbernya dalam wacana teologi, agama terbagi menjadi
agama semit (wahyu) dan agama non-semit.
Antara agama-agama semit tentu saja terdapat persamaan-persamaan
karena sama-sama bersumber pada wahyu (Tuhan). Begitu pula antara
agama semit dan non-semit akan dijumpai persamaan-persamaan
khususnya yang menyangkut aspek moral dan akhlak sosial. Sebab ide,
gagasan dan pikiran sebagai produk akal budi manusia yang luhur
senantiasa sesuai dengan wahyu Tuhan. Dengan kata lain, ide, gagasan dan
pemikiran manusia adalah sebagai backing dari wahyu, kalau tidak sebagai
bagian dari agama itu sendiri.
Persamaan antara agama-agama itu bahkan menyentuh ide atau gagasan
yang prinsipil. Semua agama membawa pesan dasar yang sama, sikap
pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kepatuhan ini menjadi karakteristik pokok setiap agama. Agama
mengajarkan para pemeluknya untuk menyerahkan jiwa, raga dan entitas
hidup mereka untuk Tuhan semata. Tak bisa dipungkiri pula bahwa semua
agama memiliki paradigma sosial yang berwujut keadilan sosial dan
kesejahteraan manusia secara universal.
Semangat emansipatoris dan transformatif menjadi corak dan karakternya.
Dinamika pembebasan didalamnya tampak jelas sebagai jiwa dan
kekuatannya. Para penganut agama meyakini dan sepakat bahwa agamanya

membawa misi kesejahteraan (kemaslahatan) dan keselamatan (salvation)


bagi umat manusia dan alam semesta.
Agama juga menjadi komando perlawanan terhadap bentuk thagut (tirani),
penindasan, diskriminasi dan kekerasan serta kesewenangan-wenangan
atas nama apapun.
Dalam wacana teologi inklusif, titik temu antar agama yang berbeda-beda
ini kerapkali dijadikan kerangka acuan pemikiran untuk menjalin kerja
sama dan persatuan umat beragama dalam mewujudkan cita-cita bersama
dalam ikatan nation state, bahkan dunia secara global.
Namun bagaimanapun, kerangka acuan pemikiran ini belum kokoh, karena
argumentasi-argumentasi belum menyentuh hakikat diri manusia
(kemanusiaan) sebagai mahlik (ciptaan) Tuhan. Sejumlah pertanyaan
bernada kritis dan menggelitik sewajarnya akan muncul. Jika semua agama
pada dasarnya sama, maka apa arti perbedaan-perbedaan yang tampak
jelas itu ?. Jika semua agama pada hakikatnya benar, apa pula nilai ekspansi
(dakwah, kristenisasi, dsb) agama itu ?
Selama ini perbedaan agama telah minimbulkan permusuhan diantara para
pemeluknya. Tidakkah kita bisa meninggalkan semua formalitas agama
yang ada, untuk kemudian merumuskan satu pegangan bagai umat
beragama demi tercapainya perdamaian umat manusia ? Kalaupun
disatukan toh tidak akan mengubah atau merusak esensi agama
Dasar-Dasar Inklusifisme Agama
Bangunan persatuan umat beraga harus dilandaskan pada ekspresi hakikat
diri manusia yang meliputi harga diri manusia (kemanusiaan) dan
kebebasan manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang dimuliakan
oleh Tuhan Sang Pencit Alam Semesta tanpa melihat perbedaan agama,
etnis, suku, eras, warna kulit dan golongan tau apapun bentuk perbedaan
lainnya.
Kemuliaan ini merupakan jaminan bagi setiap individu dan komonitas
agama (relegion Commonity) untuk mendapatkan kehormatan,
perlindungan, perlakuan baik dan adil serta hak-hak asasi yang sama.

Ini juga berarti manusia adalah setara (equal) dihadapan Tuhan sebagai
hamba-hamba-Nya yang telah dimuliakan atas mahluk lain di alam semestas
ini.
Sebagai konsekuensi logisnya, antar sesama komonitas agama yang
berbeda-beda harus saling mengakui dan memahami eksistensi komonitas
agama lain secara baik dan adil.
Disisi lain manusia adalah mahluk yang dianugerahi kebebasan. Kebebasan
berfikir, berbuat, berperilaku dan menentukan pilihan apapun untuk
dirinya. Kebebasan ini berdasarkan kemampuan yang Tuhan secara kodrat
(fitrah) kepada manusia berupa sesuatu dari ruhnya (Dr. Nurcholis Madjid,
Islam Doktrin dan Peradaban 1992 : 430-431).
Dengan potensi ini, maka manusia memiliki kesadaran penuh dan
kemampuan untuk memilih dan memutuskan jalan yang lurus dan benar
sesuai tuntutan dan petunjuk Tuhan. Dengan kata lain, manusia secara
kodrati (fitrah) memiliki kemampuan memilih agama yang benar dan lurus.
Kebebasan manusia harus diiringi dengan rasa tanggung jawab
(responsibility). Setiap pilihan dan gerak-gerik manusia akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Tuhan di kehidupan setelah mati nanti. Setiap
individu akan diberi ganjaran baik atau buruk sesuai kadar ketaqwaannya.
Disini perlu digarisbawahi bahwa pelaksanaan pertanggung jawaban itu
bukan didunia, bukan pula menjadi tugas komonitas agama tertentu.
Pertanggungjawaban itu diserahkan kepada Tuhan semata yang telah
memberikan kebebasan itu. Tuhan yang akan menyelesaikan persoalan dan
perselisihgan diantara umst beragama (manusia).
Dan demikian, pemeluk agama manapun tidak perlu resah atau gusar
karena penyimpangan (dalam pandangan mereka) yang dilakukan pemeluk
agama lain.
Semua itu hendaknya dikembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan
Bijaksana. Sebagai watak keagamaan dan tuntutan agama itu sendiri, tiap
pemeluk agama tidaklah menjadi masalah mengajak komonitas agama lain
dengan catatan selama tidak melnggar nilai-nilai kemanusiaan dan makna
kebebasan manusia.

Disinilah sifat misionir keagamaan tidak akan mengakibatkan perselisihan,


perpecahan umat beragama dan pertumpahan darah. Selanjutnya, kesadaran dan
pemahaman terhadap hakikat diri manusia kan menumbuhkan sikap optimis-positif
umat beragama untuk menjalin persatuan dan hubungan kerjasama dalam rangka
mewujudkan cita-cita bersama dalam kehidupan bernegara maupun duniaPeranan
Pendidikan dalam Mewujudkan Pluralisme Agama di Indonesia (Analisa Kritis
Terhadap Kurikulum Pendidikan Agama Islam di SMP-SMU)

tinggalkan komentar
Pluralitas dalam berbagai bidang, termasuk agama merupakan bagian dari proses perubahan yang
saat ini semakin terasa pengaruhnya. Beberapa tahun yang lalu, John Naisbitt bersama Patricia,
dalam bukunya Megatrend 2000, membuat prediksi tentang kebangkitan agama, yang ditandai
dengan lahir dan berkembangnya agama atau keyakinan baru -dari denominasi hingga pemujaantercipta setiap tahun, jumlahnya berlipat ganda menjadi ratusan.[1] Dan saat ini, prediksi di atas
semakin nampak jelas indikasinya.
Indonesia yang sejak awal merupakan negara pluralis, baik ras, suku, bahasa, adat istiadat,
maupun agama, dari waktu ke waktu memperlihatkan keberagaman yang khas. Wujud
keberagaman itu disimbolkan melalui Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai makna filosofi
dalam kehidupan kebersamaan bagi masyarakat Indonesia, sehingga prinsip pluralisme menjadi
suatu keharusan untuk dijunjung tinggi.
Konsep pluralisme tersebut telah menjadi filosofi ketatanegaraan masyarakat dunia saat ini,
yang merupakan konsekwensi dari masyarakat yang hidup di era globalisasi. Dalam Islam,
pluralisme merupakan dasar dari khilqah (penciptaan) alam dan karenanya pluralisme tidak
berpotensi untuk melahirkan konflik.[2]
Prinsip pluralisme, yang seharusnya memberikan angin segar di tengah pluralitas agama
dalam realitasnya diartikan oleh masing-masing fihak dalam konteks yang berbeda, yang hanya
disadari dan difahami sebagai sebuah wacana tanpa dibarengi dengan wujud kongkrit dalam
prilaku kehidupan sehari-hari. Akibatnya pluralisme yang diharapkan berpotensi untuk
mewujudkan dinamisasi hidup beragama, justru sebaliknya. Pluralitas agama di Indonesia,
semakin rentan terhadap terjadinya konflik baik yang sifatnya antar agama maupun antar
golongan seagama. Konflik agama yanng muncul antara lain, karena masing-masing fihak secara
emosional mengklaim dirinya paling benar (truth claim) yang kemudian melahirkan sikap untuk
mendominasi dan menguasai golongan lain.
Haedar Nashir dalam bukunya Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern menyebutkan bahwa
konflik yang muncul di Indonesia, antara lain dipengaruhi oleh stratifikasi sosial, kepentingan
ekonomi dan politik, faham atau penafsiran agama, mobilitas keagamaan, dakwah umat dan
keyakinan agama.[3] Dengan demikian faktor pemicu konflik, lebih disebabkan karena persoalan

agama. Dan ironisnya seringkali agama dijadikan alat propaganda dan legitimasi terhadap
persoalan ekonomi dan politik. Sehingga agama kehilangan fungsinya sebagai penjaga cinta
kasih dan keselamatan di tengah-tengah sistem sosial yang haus kekayaan dan kekuasaan. Lewat
pengajaran agama, orang dapat menaburkan bibit kebencian dan menciptakan individu pemeluk
agama tertentu masuk dalam bingkai sektarian untuk membenci pemeluk agama lain.[4]
Pluralitas agama mempunyai tantangan tersendiri bagi dinamika masyarakat. Menurut Berger,
tantangan besar agama (religiusitas) di masa depan bukanlah modernisasi, melainkan pluralitas
masyarakat. Artinya, kesediaan kita untuk memahami dan berbeda dengan orang lain.[5] Bagi
masyarakat Indonesia, yang nota bene adalah masyarakat pluralis, tentu mempunyai tantangan ke
depan yang akan jauh lebih kompleks. Dan salah satu persoalan yang menonjol saat ini adalah
hubungan antar agama yang tidak rukun, yang melatar belakangi timbulnya perang.[6] .
Pluralitas agama di Indonesia merupakan persoalan crusial, yang harus diperhatikan. Kesadaran
tentang adanya perbedaan antara satu dengan lainnya merupakan sikap yang perlu untuk
ditanamkan dan dikembangkan dalam masyarakat, sehingga klaim right and wrong is my
country tidak perlu terjadi yang berbuntut terjadinya konflik agama dan dapat berkembang
menjadi konflik yang lebih luas. Di sisi lain pluralitas berpotensi pula terhadap rapuhnya
keimanan seseorang apabila tidak dibarengi dengan komitmen yang tinggi terhadap agamanya.
Apabila pluralisme merupakan realitas yang harus dihadapi, maka penting untuk memahaminya
lebih lanjut.
Pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu dan masyarakat,
merupakan salah satu media yang sangat efektif untuk mewujudkan masyarakat yang dinamis di
tengah pluralitas agama dan sekaligus dapat menjadi pemicu terhadap terjadinya konflik agama
apabila pendidikan dilaksanakan melalui proses yang tidak tepat. Melalui pendidikan, manusia
diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubungannya dengan sesama, alam, dan Tuhannya.
Sehingga idealnya, pendidikan (baca: Pendidikan Agama Islam) yang berlangsung selama ini,
seharusnya dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap terjadinya pertikaian, perselisihan,
pembunuhan, dan lainnya, yang antara lain berakar dari persoalan agama.
Namun demikian, kenyataan yang muncul selama saat ini benih-benih konflik, bahkan konflik
yang muncul apabila ditelusuri lebih lanjut cenderung disebabkan karena persoalan agama dan
menjadikan agama sebagai alat yang ampuh untuk menyulut kerusuhan. Hal ini satu sisi
merupakan indikasi belum berhasilnya Pendidikan Agama Islam (PAI) terutama di sekolah
dalam menanamkan nilai-nilai agama sebagai rahmatan lilalamin pada anak didik, yang salah
satunya disebabkan operasionalisasi dari pendidikan yang hanya cenderung mengarah pada
bagaimana menanamkan doktrin-doktrin agama dengan hanya menggunakan pendekatan
teologis-normatif .

Memahami agama dengan hanya menggunakan pendekatan ini akan melahirkan sikap
keberagamaan yang eksklusif, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling
mengkafirkan, yang dapat membentuk pengkotak-kotakkan umat, tidak ada kerjasama dan tidak
akan terjalin kerjasama, dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial.[7] Sehingga yang sering
ditonjolkan hanya perbedaannya walaupun pada dasarnya masing-masing agama mempunyai
perbedaan, karakter, dan ciri khas yang berbeda-beda- sebaliknya nilai toleransi, kebersamaan,
tenggang rasa, selama ini kurang ditonjolkan.
Paling tidak hal ini dapat dilihat dari beberapa kritik yang muncul, antara lain bahwa keilmuan
dalam pendidikan Islam hanya terbatas pada kumpulan doktrin agama Islam yang
ditransmisikan begitu saja pada generasi penerus lewat jalur pendidikan formal maupun
informal.[8] Sementara, bagaimana nilai-nilai itu diaktualisasikan dalam kehidupan yang lebih
riel belum sepenuhnya tersentuh. Di sisi lain, agama yang pada hakekatnya mengajarkan tentang
kebersamaan, kerukunan dan toleransi, ketika masuk dalam wilayah empiris dan berhadapan
dengan berbagai kepentingan-kepentingan manusia menjadi tidak berdaya, sehingga memerlukan
reinterpretasi untuk lebih dapat mengetahui dan memahami makna dibalik doktrin-doktrin yang
ada. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan agama selama ini sedikit yang mengajarkan
tentang toleransi.
Dalam sebuah penelitian, yang dilakukan oleh Ibnu Hadjar terhadap para pelajar di tengkat
menengah (SMU dan MA) tentang hubungan antara pendidikan agama, keberagaman, dan
prasangka terhadap umat Kristen menunjukkan pendidikan agama tidak meningkatkan
pemahaman keagamaan dan toleransi kepada kelompok-kelompok yang berbeda.[9].
Kenyataan adanya konflik agama yang muncul, menuntut kita untuk menengok kembali proses
pendidikan yang berlangsung selama ini, bagaimana doktrin-doktrin itu diajarkan dan
diinterpretasikan dalam kehidupan riel yang terus berubah.
Di atas merupakan gambaran dari sebagian realitas pendidikan agama Islam. Seiring dengan
perkembangan dan perubahan zaman, pendidikan Islam akan selalu berproses dengan berbagai
problematikanya dari waktu ke waktu. Sehingga selama berproses itu pula pendidikan Islam
dituntut untuk selalu responsif, adaptif, dan inovatif terhadap berbagai persoalan yang terjadi
dengan selalu mengupayakan bentuk solusi yang tepat. Hal ini penting karena tanpa upaya-upaya
tertentu, mustahil pendidikan Islam dapat berperan baik sebagai agent social of change maupun
agent social of conservation. Untuk mewujudkan harapan tersebut dalam proses pendidikan
(pendidikan formal) sangat terkait erat dengan format kurikulum yang harus dirancang secara
tepat dan sesuai dengan sasaran yang diinginkan.

secara global.

Você também pode gostar