Você está na página 1de 103

SKRIPSI

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN


CACAT KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW
13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG
TAHUN 2009
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana
Keperawatan ( S.Kep )

Disusun Oleh:

ROHMATIKA
NIM : 105104003482

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1430 H/2009

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :


Nama

: Rohmatika

NIM

: 105104003482

Mahasiswa program

: Ilmu keperawatan

Tahun akademik

: 2005

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi
saya yang berjudul :
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT
KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN
NEGLASARI, TANGERANG TAHUN 2009.
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya
akan menerima sangsi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Jakarta,

Nopember 2009

(Rohmatika)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, 28 Oktober 2009
Rohmatika
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW13, KECAMATAN NEGLASARI,
TANGERANG TAHUN 2009.
xxi + 136 halaman, 4 tabel, 6 gambar, 12 lampiran

ABSTRAK
Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang belum dapat diatasi
secara tuntas, salahsatu kendalanya adalah adanya anggapan yang keliru dari
masyarkat yang menganggap penyakit kusta adalah penyakit kutukan, keturunan
dan menimbulkan kecacatan yang menetap. Akibat anggapan yang salah ini
penderita kusta merasa putus asa dan tidak tekun berobat. Pasien kusta akan
mengalami beberapa masalah baik secara fisik, psikologi, sosial dan ekonomi
sehingga masalah tersebut beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial.
Laporan WHO (1997) menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3
dunia sebagai Negara yang memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan
Brazilia. Berdasarkan data tahun 2006-2007 menurut Kepala Bagian Perencanaan
Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Sintanala, Tangerang, tercatat 279 penderita
pada tahun 2006 meningkat menjadi 296 orang sampai pada tahun 2007. Penyakit
infeksi ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti,
terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan angka prevalensi kusta
selama periode 2000-2007. Konsep diri klien kusta terbentuk dari penerimaan
masyarakat terhadap penderita kusta. Namun sampai saat ini sangat sedikit
penelitian yang menggali masalah konsep diri panderita cacat kusta. Dampak
sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan
keresahan yang mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarga, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku
penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita
masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular,
dan tidak dapat diobati.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep
diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW13, kecamatan
Neglasari, Tangerang. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi yang mendalam tentang pengetahuan, persepsi konsep diri, sikap
masyarakat terhadap penderita kusta yang berhubungan dengan terjadinya
Leprofobia. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Karangsari RW13, Kodya
Tangerang dengan menggunakan metode kualitatif, dimana pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Informan kunci adalah
klien cacat kusta tingkat II sebanyak 5 orang dan informan terdiri dari petugas
puskesmas Neglasari dan kelurahan Karangsari.
Hasil penelitian menunjukan bahwa konsep diri klien cacat kusta terjadi
karena persepsi masyarakat tentang kusta dan sikap masyarakat yang takut tertular
ketika melihat kecacatan yang ditimbulkan oleh penyakit kusta. Ditemukan juga

bahwa sikap negatif terhadap kehadiran penderita kusta adalah pernikahan dengan
keluarga penderita kusta, namun dalam kegiatan sosial seperti syukuran dan
kegiatan agama umumnya menunjukan sikap positif dari masyarakat. Umumnya
informan memiliki konsep diri positif, mereka menerima kecacatannya dan
mampu mengungkapkan kepribadiannya melalui wawancara. Dengan demikian
disarankan untuk Melakukan promosi kesehatan dan upaya preventif secara
terpadu melalui program pelatihan khusus perawatan cacat kusta bagi petugas
puskesmas dengan pemeriksaan kecacatan tingkat II atau POD (Prevention Of
dissability). Meningkatkan pengetahuan melalui penyuluhan serta melibatkan
penderita cacat kusta sebagai role model dalam pendidikan kesehatan. Sebaiknya
dibuat data surveilance untuk memudahkan puskesmas dalam menemukan kasus
secara dini bagi pasien terdaftar dan baru segera ditulis dalam sensus data pasien
terdaftar dan baru karena dapat mempermudah telaah dokumen. Serta penyuluhan
imunisasi BCG. Lebih lanjut, pencegahan dan perawatan cacat kusta secara dini
oleh petugas kesehatan dan peran serta masyarakat merupakan hal yang
terpenting.
Daftar bacaan: 26 (1974-2008)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES


NURSING PROGRAM STUDY
STATE
ISLAMIC
UNIVERSITY
(UIN)
OF
SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
Undergraduate Thesis, October 28th 2009
Rohmatika
SELF-IMAGE CONCEPTS TO CLIENTS WITH DISABILITIES
OF LEPROSY IN THE VILLAGE DISTRICT KARANGSARI,
NEGLASARI RW 13, TANGERANG 2009
xxi+136 pages, 4 tables, 6 picture, 12 appendixes
ABSTRACT
In Indonesia leprosy is a disease that can not completely resolve yet, one
of the main problems is the mistaken assumption that the community thinks of
leprosy is a disease of heredity and permanent disability. As a result of this
erroneous assumption lepers feel desperate and do not diligently seek treatment.
Leprosy patients will experience some physical problems, psychological, social
and economic change so that the issue of health issues to social issues. WHO
report (1997) showed that Indonesia was on the order of the 3rd world as a
country that had the most leprosy patients after India and Brazil. Based on data
from 2006-2007 according to the Planning Section Chief Medical Record
Sintanala Leprosy Hospital, Tangerang, 279 patients were recording in 2006
increased to 296 people until the year 2007. This infectious disease is still a public
health problem which means, as evidenced by the trend of increased prevalence
rate of leprosy during the period 2000-2007. Self-concept is formed from leprosy
client community acceptance of people with leprosy. However, there is very little
research that explores the concept of sufferer self problem leprosy disability.
Social impact of leprosy is so great, causing deep anxiety. Not only the patient
themselves, but on families, communities and countries. This is the underlying
concept of patient acceptance behavior of the disease, which for this condition is
still a lot of people think that leprosy is a contagious disease, and can not be
treated.
The general objective of this research is to determine the concept of selfimage of clients with disabilities in leprosy in Karangsari RW13, Neglasari
district, Tangerang. Specific objectives of this research is to obtain in-depth
information about the knowledge, perception of self concept, attitudes toward
leprosy patients associated with the occurrence Leprofobia. This research was
conducted in Karangsari RW13, Tangerang municipality using qualitative
methods, where data collection is done by in-depth interviews and observation.
Key informants are disabled leprosy client level II were 5 people and informants
consisted of health workers and Karangsari Neglasari village.
The results showed that the concept of self-leprosy disabled clients
because the public perception of leprosy and attitudes are afraid of contracting
when he saw the disability caused by leprosy. Also found that negative attitudes
toward the presence of leprosy patients is the family wedding with lepers, but in
social activities such as Thanksgiving and religious activity generally showed a
positive attitude from the community. Generally informants have a positive self-

concept, they receive a disability and able to express her personality through
interviews. Thus advisable to conduct health promotion and preventive efforts in
an integrated manner through a special training program for the treatment of
leprosy disability health officers with inspection level II disability or POD
(Prevention Of disability). Increased knowledge through counseling and involve
people with disabilities of leprosy as a role model in health education.
Surveillance data should be made to facilitate the clinic in early case finding for
patients newly registered and immediately recorded in the census data and newly
registered patient as it can facilitate the study of documents. BCG immunization
and counseling. Furthermore, the prevention and treatment of leprosy disabilities
at an early stage by health workers and community participation is the most
important thing.
Reference : 26 (1974-2008)

SKRIPSI
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI,
TANGERANG TAHUN 2009

Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan ( S.Kep )

Oleh
Rohmatika
NIM : 105104003482

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS


KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI,
TANGERANG TAHUN 2009

Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi


Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 26 Oktober 2009

Pembimbing I

Jamaludin, S.Kep, M.Kep

Pembimbing II

Bambang P. Cadrana,

SKM, M.KM
NIP. 150409469
19690205199403 1 003

NIP.

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Nopember 2009

Penguji I

NIP.
Penguji II

NIP.
Penguji III

NIP.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Rohmatika

Tempat / tanggal lahir

: Serang, 5 februari 1987

Agama

: Islam

Alamat

: Jl.raya Serang-Pandeglang, kp. Warung, Ds.

Panyirapan
Kecamatan Baros, Serang-Banten 42173
Telp

: (0254) 250 125

Riwayat pendidikan

: MI Nurul Huda Baros (1993-1999)


MTS Nurul Huda Baros (2000-2002)
MAN 2 Model Serang (2003-2005)
Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(2005-2009)

PERSEMBAHAN
Tentang Waktu
Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan.
Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahsia dari masa muda yang abadi.
Ambillah waktu untuk berdoa, itu adalah sumber ketenangan.
Ambillah waktu untuk belajar, itu adalah sumber kebijaksanaan.
Ambillah waktu untuk mencintai dan dicintai, itu adalah hak istimewa yang
diberikan Tuhan.
Ambillah waktu untuk bersahabat, itu adalah jalan menuju kebahagiaan.
Ambillah waktu untuk tertawa, itu adalah musik yang menggetarkan hati.
Ambillah waktu untuk memberi, itu adalah membuat hidup terasa bererti.
Ambillah waktu untuk bekerja, itu adalah nilai keberhasilan.
Ambillah waktu untuk beramal, itu adalah kunci menuju syurga.
Harta yang paling menguntungkan ialah SABAR. Teman yang paling akrab
adalah AMAL. Pengawal peribadi yang paling waspada DIAM. Bahasa yang
paling manis SENYUM. Dan ibadah yang paling indah tentunya KHUSYUK.
Wanita yang cantik tanpa peribadi yang mulia ,umpama kaca mata yang bersinarbersinar, tetapi tidak melihat apa-apa
Jangan sekali-kali kita meremehkan sesuatu perbuatan baik walaupun hanya sekadar
senyuman.
Anda bukan apa yang anda fikirkan tentang anda, tetapi apa yang anda fikirkan
itulah anda
Hidup tak selalunya indah tapi yang indah itu tetap hidup dalam kenangan.
Hidup memerlukan pengorbananan. Pengorbanan memerlukan perjuangan.
Perjuangan memerlukan ketabahan.
Ketabahan memerlukan keyakinan. Keyakinan pula menentukan kejayaan.
Kejayaan pula akan menentukan kebahagiaan.
Kekayaan bukanlah satu dosa dan kecantikan bukanlah satu kesalahan.
Oleh itu jika anda memiliki kedua-duanya janganlah anda lupa pada Yang Maha
Berkuasa.

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan InayahNya saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Gambaran Konsep Diri
Pada Klien Dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan
Neglasari, Tangerang Tahun 2009. Shalawat dan salam senantiasa kita
junjungkan kehadirat Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Adapun skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Keperawatan (S.Kep).
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Pada kesempatan ini saya mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Bapak dan ibu saya yang selalu mendoakan dan memberi semangat
dalam setiap waktunya.
2. Terimakasih untuk bapak dekan FKIK Prof.DR.Dr.MK Tadjudin, Sp.
And
3. Pak Bambang, yang dengan sabar membimbing, memotivasi dan
memberi masukan untuk proses pengerjaan skripsi ini.
4. Pak jamaludin, terimakasih telah bersedia membimbing dan memberikan
masukan untuk skripsi ini.
5. Terimakasihku yang tak terhingga untuk ibu Tien Gartinah dan seluruh
dosen program studi ilmu keperawatan yang telah mentransfer ilmunya
dan membimbing kami dalam segala hal.
6. Terimakasih buat ibu Sri Dian (Kasi kemasyarakatan kelurahan
Karangsari), ibu Alin (Surveilance TB, kusta Puskesmas Neglasari), ibu
Sri dan pak RW 13 sebagai pembimbing lapangan, yang telah bersedia
memberikan data-data untuk kelancaran penelitian.

7. Terimakasihku buat pak W, D, M, S, Su, yang telah memberikan


waktunya untuk wawancara demi kelancaran penelitian ini.
8. Adek saya satu-satunya Mubdi Hasan yang selalu memotivasi saya,
semangat ya dek lanjutkan sampai kuliah.
9. Terimakasih juga buat Edi yang telah meminjamkan buku dan
memberikan semangat dalam menyusun skripsi.
10. Teman-teman sekelasku PSIK angkatan 2005 yang kompak yang
memberikan warna warni kehidupan dan banyak memberi inspirasi.
11. Teman sekosanku yang baik dan care Neneng, Herna, Fauziah, Intan,
Nisa, Ipa, Pipit, Solehah, ka Hasni, Lita terimakasih sudah memberikan
tumpangan ngprintnya, jaga kebersamaan kita, I Love You Full..
Demikian yang dapat penulis sampaikan, insya Allah skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh skripsi dan dapat
dijadikan pelajaran bagi adik-adik kami selanjutnya.
Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah
selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang
lain. Dan hanya kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al
Insyirah:6-7).

Tim Penyusun

Rohmatika

DAFTAR ISI

ABSTRAK
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KATA
PENGANTARi
DAFTAR
ISI.iii
DAFTAR
TABEL...viii
DAFTAR
GAMBAR.................ix
DAFTAR
SINGKATANx
DAFTAR
LAMPIRANxii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar
belakang.1

1.2

Identifikasi masalah.8

1.3

Perumusan masalah..8

1.4

Tujuan dan manfaat penelitian.9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Pengertian konsep diri atau citra diri..11


a. Dimensi-dimensi citra diri..12
b. Peranan citra diri.13

2.2

Pembentukan konsep diri14

2.3

Komponen konsep diri20


1. Citra tubuh (Body image)20

2. Ideal diri (Self ideal)23


3. Harga diri (Self esteem).......24
4. Peran diri (Self role)27
5. Identitas diri (Self identity).30
2.4

Teori faktor yang mempengaruhi konsep diri...31

2.5

Tindakan pada gangguan konsep diri33

2.6

Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan..34

2.7

Pengertian cacat tubuh..38


a. Jenis-jenis cacat tubuh..39
b. Derajat kelainan fisik40
c. Cacat tubuh pada penderita kusta.41
d. Konsep diri pada penderita cacat tubuh akibat kusta....43

2.8

Pengertian penyakit kusta.43


a. Jenis-jenis penyakit kusta.44
b. Penyebab penyakit kusta..45
c. Tanda dan gejala penyakit kusta..47
d. Pengobatan..51
e. Pencegahan cacat kusta dan perawatannya..59
f. Pelayanan rehabilitasi...61

2.9

Aspek sosial pada penyakit kusta63

BAB III KERANGKA KONSEP


3.1

Kerangka konsep..64

3.2

Pertanyaan penelitian65

3.3

Definisi istilah..66

BAB IV METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN


4.1

Desain penelitian68

4.2

Lokasi penelitian68

4.3

Populasi.68

4.4

Sampel...69

4.5

Prosedur pengumpul data...71

4.6

Instrumen data....72

4.7

Pengolahan dan analisis data..74

4.8

Validasi data74

4.9

Sarana penelitian.75

4.10

Etika penelitian75

BAB V HASIL PENELITIAN


5.1

Gambaran umum wilayah penelitian..76

5.2

Gambaran penederita penyakit kusta.76

5.3

Karakteristik sosio demografi informan.77

5.4

Pengetahuan tentang penyakit kusta..78

5.5

Persepsi klien kusta tentang konsep diri89

5.6

Persepsi tentang bahaya kusta.119

5.7

Sikap masyarakat terhadap klien kusta119

5.8

Penyuluhan tentang kusta123

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan penelitian. 126
6.2 Pengetahuan tentang penyakit kusta..126
6.3 Persepsi konsep diri klien kusta.127
6.4 Persepsi tentang bahaya kusta128
6.5 Sikap masyarakat terhadap kusta129
6.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada klien kust129

6.7 Hasil observasi terhadap informan selama wawancara...131

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN


7.1 Kesimpulan.134
7.2 Saran-saran..136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel
Halaman
1.1

Jumlah penderita cacat kusta menurut tipe dan angka penemuan


penderita (NCDR) per 100.000 penduduk tahun 2000-2007 di kota
Tangerang .3

2.1

Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya58

4.1

Sumber informasi, metode, jumlah informan, kriteria, dan

temp70
5.1

Frekuensi penderita cacat kusta di RW 13 kelurahan karangsari

tahun 2009...77

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar
Halaman
1.1

Grafik 1 : Prevalensi dan angka penemuan penderita baru di


Indonesia tahun
2007..2

1.2

Angka penemuan penderita baru (NCDR) di Idonesia tahun 200..2

1.3

Grafik 2 : Proporsi cacat tingkat II dan proporsi anak diantara


kasus baru di Indonesia tahun 2007...3

2.1

Diagram 1 : Hirarki Maslow tentang kebutuhan32

2.2

Diagram 2 : Variabel dalam Health Belief Model (HBM)..62

3.1

Diagram 3 : Kerangka konsep.65

DAFTAR SINGKATAN

3M

: Melindungi mata, Melindungi tangan, Melindungi kaki

BB

: Borderline-Borderline

BL

: Borderline Lepromatous

BT

: Borderline Tuberkuloid

BTA

: Bakteri Tahan Asam

COT

: Completion Of Treatment

DADDS

: Diasetil-Diamino-Difenil-Sulfon

DDS

: Diamino Difenil Sulfon

DNA

: Deoxyribonucleic acid

Depkes RI

: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Dinkes

: Dinas Kesehatan

Ditjen

: Direktur Jendral

FK UI

: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

: Indeterminate

LL

: Lepromatous-Lepromatous

LI

: Lepromatosa Indefinite

M.Leprae

: Myobacterium Leprae

MB

: Multi Basiler

MDT

: Multi Drug Therapy

NCDR

: New Case Detection Rate

: Proporsi

PB

: Pauci Bacillary

PABA

: Para Amino Benzoic Acid

PPM & PL

: Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengendalian

Lingkungan
Puskesmas

: Pusat Kesehatan Masyarakat

: Rasio

RFT

: Release From Treatment

RFC

: Release From Control

RNA

: Ribonucleic acid

RW

: Rukun Warga

TEN

: Toksik Epidermal Nekrolisis

TI

: Tuberkuloid Indefinitif

TT

: Tuberkuloid-Tuberkuloid

SD

: Sekolah Dasar

SLTP

: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SLTA

: Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

WHO

: World Health Organization

WM

: Wawancara Mendalam

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor lampiran
1. Lembar chek list
2. Pedoman wawancara mendalam informan petugas puskesmas
3. Pedoman wawancara mendalam informan petugas kelurahan
Karangsari
4. Pedoman wawancara mendalam informan klien cacat kusta
5. Lembar persetujuan responden
6. Lampiran 6
7. Matriks pengetahuan informan tentang penyakit kusta
8. Matriks persepsi informan tentang penyakit kusta
9. Matriks persepsi konsep diri klien kusta, petugas puskesmas dan
kelurahan
10. Matriks sikap masyarakat terhadap penderita kusta
11. Matriks penyuluhan penyakit kusta
12. Kesimpulan matriks

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit infeksi banyak terjadi di Negara berkembang yang mempunyai
kondisi sosial ekonomi rendah. Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah
penyakit kusta. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang
sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini
masih ditakuti masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal
ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan, pengertian, dan kepercayaan yang
keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Laporan WHO (1997)
menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3 dunia sebagai Negara yang
memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan Brazilia, namun pada tahun
2001 kondisi Indonesia dalam penanggulangan kusta sudah lebih baik, hal ini
ditunjukan dengan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah India,
Brazilia, dan Nepal. Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (sampai
bulan desember 2001) telah berhasil menunjukan angka kesakitan kusta sekitar 85
% yaitu dari 107,271 orang menjadi 17,137 orang (Kompas, 2003 dan Swaranet,
2003).

Berdasarkan data tahun 2006-2007 menurut Kepala Bagian Perencanaan


Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Sintanala, Tangerang, tercatat 279 penderita
pada tahun 2006 meningkat menjadi 296 orang sampai pada tahun 2007(Koran
Tempo, 26 Juni 2008). Indonesia telah mencapai eliminasi penyakit kusta sejak
bulan juni tahun 2000. Namun penyakit infeksi ini masih menjadi permasalahan
kesehatan masyarakat yang berarti, terbukti dengan adanya kecenderungan
peningkatan angka prevalensi kusta selama periode 2000-2007. Bahkan pada
tatanan global, Indonesia menjadi Negara penyumbang kusta terbesar setelah
India dan Brasil.
Strategi global WHO menetapkan indikator eliminasi kusta yaitu angka
penemuan penderita (NCDR) yang menggantikan indicator utama sebelumnya
yaitu angka penemuan penderita terdaftar (prevalensi rate <1/10.000 penduduk).
(Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008) Pada tahun 2000 NCDR menampilkan tren yang
meningkat. Namun sejak tahun 2005, NCDR turun dari 0,9 menjadi 0,83 pada
tahun 2006 kembali turun, pada tahun 2007 menjadi 0,78 per 10.000 penduduk.
Jumlah penderita baru yang ditemukan sepanjang tahun 2007 sebesar 17.726
dengan rincian Pausi Basiler (PB) sebanyak 3.643 penderita dan Multi Basiler
(MB) sebanyak 14.083 penderita. Sedangkan prevalensi kusta menunjukan
kecenderungan peningkatan. Pada tahun 2000 prevalensi sebesar 0,86 per 10.000
penduduk menjadi 1,05 per 10.000 penduduk pada tahun 2007. Berdasarkan
distribusi per provinsi, prevalensi kusta tertinggi terdapat di provinsi Papua Barat
sebesar 9,69 diikuti oleh Maluku Utara sebesar 6,66 dan Papua sebesar 4,42 per
10.000 penduduk.

Dalam upaya penanggulangan penyakit kusta di Indonesia digunakan


angka proporsi cacat tingkat II (kecacatan yang dapat dilihat dengan mata) dan
proporsi anak diantara kasus baru, angka proporsi cacat tingkat II digunakan
untuk menilai kinerja petugas dalam upaya penemuan kasus. Angka proporsi cacat
tingkat II yang tinggi mengindikasikan adanya keterlambatan dalam penemuan
penderita yang dapat diakibatkan oleh rendahnya kinerja petugas dan rendahnya
pengetahuan masyarakat mengenai tanda-tanda dini penyakit kusta. Sedangkan
indikator proporsi anak diantara kasus baru mampu mempresentasikan penularan
kusta yang masih terjadi di masyrakat.
Pada tahun 2007 kecacatan tingkat II di Indonesia mencapai 8,8%. Angka
ini masih berada diatas indikator program sebesar 5%. Kalimantan Barat
merupakan provinsi dengan presentasi kecacatan tingkat II tertinggi sebesar
19,3% yang diikuti oleh Riau sebesar 18,7% dan Sumatera Utara sebesar 17,8%.
Masih adanya penularan kusta pada masyrakat di Indonesia yang yang tercermin
oleh proporsi penderita berumur 0-14 tahun menunjukan angka 10,2%. Presentase
ini juga masih diatas indicator program sebesar 5%. Presentase tertinggi berada
pada provinsi Riau sebesar 40%. Diikuti oleh Maluku Utara sebesar 20% dan
Papua Barat 16,3%. Angka penemuan penderita baru, kecacatan dan proporsi pada
umur 0-14 tahun menurut provinsi di Indonesia tahun 2007 (Ditjen PP-PL,
Depkes RI, 2008).
Menurut Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008 bagian Subdit Kusta bahwa pada
tahun 2007 di kota Tangerang provinsi Banten terdapat penderita cacat kusta
tingkat II yang terdaftar dengan tipe MB sebanyak 26 orang dari 1.412.539

penduduk dan penderita baru dengan tipe MB sebanyak 15 orang dari 1.412.539
penduduk, cacat tingkat II sebanyak 13,3%, antara usia 0-<15 tahun.
Peneliti belum mendapatkan penelitian yang khusus meneliti tentang
gambaran konsep diri pada klien dengan cacat kusta. Adapun penelitian yang
yang berkaitan dengan penyakit kusta disampaikan oleh Tarusaraya dan Halim
(1996) dengan judul penelitian kecacatan pasien kusta di RSK Sitanala
Tangerang. Hasil penelitian dari 1153 penderita kusta di unit rawat jalan RSK
Sitanala Tangerang selama bulan maret 1996 adalah sebagai berikut : pasien baru
yang cacat adalah 84 dari 113 orang (74,34 %), pasien lama yang cacat adalah 761
dari 1040 orang (73,17 %), laki-laki lebih banyak cacat 618 dari 809 orang (76,39
%) dan wanita 227 dari 344 orang (65,99 %). Hasil yang didapatkan menurut
klasifikasi cacat WHO (1988) adalah cacat mata: tingkat 0 (95,32 %), tingkat I
(3,56 %), tingkat II (1,12 %), cacat tangan: tingkat 0 (54,90 %), tingkat I (12,58
%), tingkat II (32,53 %) dan cacat kaki: tingkat 0 (50,99 %), tingkat I (30,36 %),
tingkat II (18,65 %).
Selain itu juga berdasarkan abstrak penelitian yang disampaikan oleh
Unarat (2000) dengan judul Konsep Diri dan Mutu Hidup Pasien Lepra pada
daerah pusat lepra lima Nakhon Ratchasima di daerah pusat lepra lima provinsi
Nakhon Ratchasima. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari jumlah responden
yang berjumlah 54 orang terdapat sekitar 98,18 % pasien lepra mempunyai hal
konsep diri positif dan 72,2 % tingkat mutu hidup lemah atau miskin dalam hal
hubungan sosial. Wawancara yang mendalam mengungkapkan tekanan pada
pasien akibat dari kelainan bentuk fisik akibat penyakit dan cacat diri pasien lepra
akan mengakibatkan kekurangan dalam berinteraksi sosial. Korelasi antara konsep

diri dan mutu hidup kuat dan positif yaitu dengan nilai r = 0,30 dan p = 0,028.
Rehabilitasi mental dan pendidikan kesehatan dapat mempromosikan mutu hidup.
Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang masih belum dapat
diatasi secara tuntas, salah satu kendalanya adalah masih adanya anggapan yang
keliru dari masyarakat yang menganggap penyakit kusta sebagai kutukan Tuhan,
penyakit keturunan akibat guna-guna, sangat menular, dan tidak dapat
disembuhkan sehingga banyak penderita kusta tidak mau melakukan pengobatan
atau apabila sudah pernah berobat penderita kurang disiplin dalam menjalani
perawatan dan pengobatannya (Kompas, 2003).
Pasien kusta akan mengalami beberapa masalah baik secara fisik,
psikologi, sosial, dan ekonomi. Hal ini biasanya timbul akibat pasien kusta tidak
ingin berobat dan terlambat berobat sehingga menimbulkan cacat yang menetap
dan mengerikan. Hal ini disebabkan karena biasanya manifestasi klinis yang
terlihat pada kulit pasien adalah bercak-bercak putih kemerahan, benjolanbenjolan, hidung pelana, telinga memanjang, jari tangan dan jari kaki terputus,
terdapat luka-luka, dan adanya bekas amputasi, sehingga memberikan gambaran
yang menakutkan, manifestasi klinis tersebut akan menimbulkan perasaan malu,
rendah diri, depresi, menyendiri, atau menolak diri, serta masyarakat akan
mengucilkan pasien kusta sehingga sulit mencari pekerjaan akhirnya akan
menimbulkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi.
Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga
menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita
sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari
konsep perilaku penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk

kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan
penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis
dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta
merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kenyataan bahwa penyakit kusta mempunyai kedudukan yang khusus
diantara penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya
leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul
karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan
sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan
upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan tidak
rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah
kesehatan ke masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh
lapisan masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan
dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan
masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai
pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit
kusta. Selama masyarakat kita menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini
akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat
adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan
secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.
Dengan kemajuan teknologi dibidang promotif, pencegahan, pengobatan
serta pemulihan kesehatan dibidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah
dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Akan tetapi mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan

program

penanggulangan

pemberantasan,

secara

rehabilitasi

terpadu

medis,

dan

rehabilitasi

menyeluruh
sosial

dalam

ekonomi

hal
dan

kemasyarakatan bagi pederita kusta. Untuk itu Departemen Kesehatan Republik


Indonesia membuat Program Pemberantasan Penyakit Menular yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan
tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Pasien kusta yang tinggal di komplek Sitanala kelurahan Karangsari RW
13, umumnya mereka adalah mantan penderita kusta yang pernah di rawat di
Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang, mereka membentuk komunitas kusta
yang dapat menjalankan kegiatan sehari-hari walaupun dengan kondisi cacat
akibat kusta. Melihat kondisi tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Gambaran Konsep Diri Pada Klien Dengan Cacat Kusta di
Kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH


1. Jelaskan gambaran karakteristik demografi pada klien dengan cacat kusta
di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang,
meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan
2. Jelaskan gambaran karakteristik gambar diri (Body Image) pada klien
dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,
Tangerang Tahun 2009.

3. Jelaskan gambaran karakteristik ideal diri pada klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun
2009.
4. Jelaskan gambaran karakteristik harga diri pada klien dengan cacat kusta
di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun
2009.
5. Jelaskan gambaran karakteristik penampilan peran pada klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang
Tahun 2009.
6. Jelaskan gambaran karakteristik identitas personal pada klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang
Tahun 2009.
7. Jelaskan gambaran aspek positif konsep diri yang dimiliki klien dengan
cacat kusta di

kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,

Tangerang Tahun 2009.

1.3 PERUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan Gambaran
Konsep Diri pada Klien dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari RW 13,
Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

1.4 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


a. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri pada
klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan
Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
2. Tujuan Khusus:
a) Mengidentifikasi gambaran karakteristik demografi pada klien dengan
cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,
Tangerang. Meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan
b) Mengidentifikasi gambaran karakteristik gambar diri (Body Image) pada
klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan
Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
c) Mengidentifikasi gambaran karakteristik ideal diri pada klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang
Tahun 2009.
d) Mengidentifikasi gambaran karakteristik harga diri pada klien dengan
cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,
Tangerang Tahun 2009.
e) Mengidentifikasi gambaran karakteristik penampilan peran pada klien
dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,
Tangerang Tahun 2009.

f) Mengidentifikasi gambaran karakteristik identitas personal pada klien


dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,
Tangerang Tahun 2009.
g) Mengidentifikasi gambaran aspek positif konsep diri yang dimiliki klien
dengan cacat kusta dikelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari
Tangerang Tahun 2009.
b. Manfaat Penelitian
1) Untuk klien :
Penelitian ini dapat memberikan dorongan dan masukan kepada
pasien kusta untuk meningakatkan konsep diri dan mengatahui
aspek positif yang dimilikinya
2) Untuk institusi :
Hasil penelitian yang dilakukan ini dapat memberikan gambaran
konsep diri pada pasien cacat kusta di dikelurahan Karang Sari
RW 13, Neglasari Tanggerang.
3) Untuk peneliti :
Penelitian ini dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi
peneliti untuk melakukan penelitian lain pada masa yang akan
datang.
4) Untuk penelitian akan datang :
Hasil penelitian dapat dijadikan data dasar dalam pengembangan
penelitian lain dengan ruang lingkup yang sama.

5) Untuk program
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinkes kota
Tangerang dalam upaya menanggulangi dan mengurangi masalah
cacat kusta.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian konsep diri atau citra diri


Citra diri berasal dari istilah self-concept, atau kadang-kadang disebut
self- iamage, menunjuk pada pandangan atau pengertian seseorang terhadap
dirinya sendiri. Pietrofesa dalam setiap tulisannya secara konsisten menerangkan
bahwa citra-diri meliputi semua nilai, sikap dan keyakinan terhadap diri seseorang
dalam berhubungan dengan lingkungan, dan merupakan paduan dari sejumlah
persepsi diri yang mempengaruhi dan bahkan menentukan persepsi dan tingkah
laku. Pietrofesa, dkk., secara singkat menulis,the self-concept includes feeling
about self-both physical self and psychological self-in relation to the
environment. Atas tinjauan pelbagai sumber lain, tampak para pakar sepakat
bahwa citra diri itu berkenaan dengan pandangan seseorang terhadap diri baik
tentang fisik maupun psikisnya, dan pandangan terhadap diri ini adalah unik
sifatnya. Dengan kata lain ada kekhasan dari orang ke orang dalam citra dirinya
secara fisik dan citra dirinya secara psikologis, dan hal demikian ini tidak lepas
dari pandangan lingkungan terhadap diri seseorang.
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui

individu

tentang dirinya

dan

mempengaruhi individu dalam

berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 2006). Hal ini temasuk
persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan
lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek,tujuan serta
keinginannya. Sedangkan menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan

bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik
fisikal emosional intelektual, sosial dan spiritual
Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual (psikologi keperawatan,
2004). Beberapa hal yang perlu dipahami dalam konsep diri yaitu: dipelajari
melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara
bertahap, diawali pada waktu bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dan
orang lain, positif ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan
lingkungan, negativ ditandai dengan hubungan induvidu dan hubungan social
yang maladaptiv, merupakan aspek kritikal dan dasar dari pembentukan perilaku
idividu, berkembang dengan cepat bersama-sama dengan perkembangan bicara,
terbentuk karena peran keluarga khususnya pada masa anak-anak yang mendasari
dan membantu perkembangannya

a. Dimensi-dimensi citra diri


Dimensi pertama citra diri, yaitu diri sebagai dilihat oleh diri sendiri, dapat
diwujudkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut: saya baik hati, saya
agresif.sudah barang tentu, perasaan dan keyakinan seperti itu mempunyai
dampak besar terhadap apa yang diperbuat individu. Seseorang yang
underachieved (hasil rendah dibanding kemampuan) di sekolah ataupun orang
yang tidak cermat memilih karier akan memandang diri sangat tidak adekuat dan
beraksi secara tidak tepat dalam bidang-bidang tersebut.
Dimensi kedua citra diri, yaitu diri sebagai dilihat oleh orang lain atau
beginilah saya kira orang lain memandang saya,seperti dalam ungkapan kakak

memandang saya sebagai seorang yang percaya diri. Setiap individu juga
mengembangkan sikap-sikap menuntut bagaimana orang lain memandang atau
menganggap dirinya, lalu dia cenderung berbuat sesuai dengan anggapan dan
persepsi yang diterimanya.
Dimensi ketiga citra diri, yaitu diri-idaman, mengacu pada tipe orang yang
saya kehendaki tentang diri saya. Aspirasi-aspirasi, tujuan dan angan-angan
semuanya tercermin melalui diri idaman, ini agaknya terungkap dalam
pertanyaansaya sepertinya akan menjadi orang kaya. Diri idaman adalah perlu
dalam penentuan cita-cita hidup, sudah tentu tujuan atau ideal yang terlalu jauh
atau tidak mungkin terjangkau merupakan citra diri yang tidak sehat.
Bagian yang lebih spesifik dari citra diri menurut Eisenberg dan Delaney
berkenaan dengan apa yang diketahui dan diyakini individu. Pandangan khusus
seseorang berkenaan dengan diri meliputi penilaian deskriptif mengenai
kemampuan dan keterbatasan, minat dan bukan minat, dan pola tingkah laku
dominan. Ini mencakup pandangan terhadap diri sekarang dan harapan serta
anggapan bagi masa depan.

b. Peranan citra diri


Citra diri secara umum memberikan gambaran tentang siapa
seseorang itu, ini tidak hanya meliputi perasaan terhadap diri seseorang
melainkan mencakup tatanan moral dan sikap idea dan nilai-nilai yang
mendorong orang bertindak atau sebaliknya tidak bertindak. Oleh karena
citra diri itu berebeda dari orang ke orang maka citra diri dapat dianggap
sebagai penunjuk pokok keunikan individu dalam bertingkah laku. Citra

diri sebagai system sikap pandang terhadap diri seseorang dan merupakan
dasar bagi semua tingkah laku, dijelaskan secara langsung oleh Ariety
(1967) bahwathe self-concept is basic in all behavior.bahwa citra diri
juga menentukan tingkah laku untuk masa depan seseorang terungkap
dalam pernyataan Eisenberg dan Delaney.
Kaitannya dengan hubungan antar pribadi, Ariety menjelaskan
lebih lanjut bahwa perasaan, ide, pilihan-pilihan, tindakan manusia,
mencapai perkembangan setinggi-tingginya dalam suasana hubungan
sosial tetapi kuncinya terletak pada kedalaman hubungan pribadi, jika
hendak ditemukan bentuk-bentuk sehat mental dan sakit mental dalam
dialog antarpribadi yang baik maka yang terdapat dalam diri individu yang
sudah lama terbentuk itulah yang terpenting guna memulai dialog. Dalam
uraian Ariety ini terungkap kesan bahwa peranan khusus citra diri adalah
menunjukan gambaran mental individu yang sehat dan yang sakit dan
dapat diketahui melalui dialog antarpribadi.

2.2 Pembentukan konsep diri


Konsep diri belum ada saat bayi dilahirkan, tetapi berkembang secara
bertahap, saat bayi dapat membedakan dirinya dari orang lain, mempunyai nama
sendiri, pakaian sendiri. Anak mulai dapat mempelajari dirinya, yang mana kaki,
tangan, mata dan sebagainya serta kemampuan berbahasa akan memperlancar
proses tumbuh kembang anak.
Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan
pengalaman dengan tubuhnya sendiri. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman

pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain dan interaksi dengan dunia
diluar dirinya. Konsep diri berkembang terus mulai dari bayi hingga usia tua.
Pengalaman dalam keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena
keluarga dapat memberikan perasaan mampu dan tidak mampu, perasaan diterima
atau ditolak dan dalam keluarga individu mempunyai kesempatan untuk
mengidentifikasi dan meniru perilaku orang lain yang diinginkannya serta
merupakan pendorong yang kuat agar individu mencapai tujuan yang sesuai atau
pengharapan yang pantas. Dengan demikian jelas bahwa kebudayaan dan
sosialisasi mempengaruhi konsep diri dan perkembangan kepribadian seseorang.
Seseorang dengan konsep diri positif dapat mengeksplorasi dunianya
secara terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya sukses, konsep diri
yang positif berasal dari pengalaman yang positif yang mengarah pada
kemampuan pemahaman. Karakter individu dengan konsep diri yang positif:
1. Mampu membina hubungan pribadi, mempunyai teman dan gampang
bersahabat.
2. Mampu berfikir dan membuat keputusan
3. Dapat beradaptasi dan menguasai lingkungan

Konsep diri negativ dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang
maladaptiv. Setiap individu dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai
stressor, dengan adanya stressor akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri
sendiri.

Dalam

usaha

mengatasi

ketidakseimbangan

tersebut

individu

menggunakan koping yang bersifat membangun ataupun koping yang bersifat

merusak. Koping yang konstruktif akan menghasilkan respon yang adaptif yaitu
aktualisasi diri dan konsep diri yang positif.
Adapun

faktor-faktor

yang

memepengaruhi

pembentukan

dan

perkembangan konsep diri seseorang, antara lain:


a. Usia
Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia
dimana perbedaan ini lebih banyak berhubungan dengan tugastugas perkembangan. Pada masa kanak-kanak, konsep diri
seseorang menyangkut hal-hal disekitar diri dan keluarganya. Pada
masa remaja, konsep diri sangat dipengaruhi oleh teman sebaya
dan orang yang dipujanya, sedangkan remaja dan kematangannya
terlambat yang diperlakukan seperti kanak-kanak merasa tidak
dipahami

sehingga

cenderung

berperilaku

kurang

dapat

menyesuaikan diri, sedangkan masa dewasa konsep dirinya sangat


dipengaruhi oleh status sosial dan pekerjaan dan pada usia tua
konsep dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan fisik,
perubahan mental maupun sosial (Febri, 1994:66)
b. Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi
akan meningkatkan prestasinya. Jika prestasinya meningkat maka
konsep dirinya akan berubah (Febri, 1994:66)
c. Status sosial ekonomi
Status

sosial

seseorang

memengaruhi

bagaimana

penerimaan orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan

dapat memengaruhi konsep diri seseorang, penerimaan lingkungan


terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial
ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya
tinggi

akan

mempunyai

konsep

diri

yang

lebih

positif

dibandingkan individu yang status sosialnya rendah. Hal ini


didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari
ekonomi sosial tinggi menunjukan bahwa mereka memiliki konsep
diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari
status ekonomi rendah. Hasilnya adalah 51% anak dari ekonomi
tinggi mempunyai konsep diri yang tinggi, dan hanya 38% anak
dari tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri rendah
(Pudjijogyanti, 1988:41)
d. Hubungan keluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan
anggota keluarganya akan mengidentifikasikan diri dengan orang
lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama, bila
tokoh ini sesama jenis maka akan mengembangkan konsep diri
yang layak untuk jenis seksnya
e. Orang lain
Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain
terlebih dahulu, bagaimana anda mengenal diri saya akan
membentuk konsep diri saya, Sullivan (dalam Rakhmat, 2005:101)
menjelaskan bahwa individu diterima orang lain, dihormati dan
disenangi karena keadaan dirinya, individu akan cenderung

bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya bila


orang lain selalu meremehkan dirinya, menyalahkan, dan
menolaknya ia akan cenderung tidak menyenangi dirinya.
Miyamoto dan Dornbusch (dalam Rakhmat, 2005:101) mencoba
mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri
dengan skala lima angka dari yang paling jelek sampai yang paling
baik. Yang dinilai adalah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik
fisik, dan kesukaan orang lain terhadap dirinya. Dengan skala yang
sama mereka juga menilai orang lain, ternyata orang-orang yang
dinilai baik oleh orang lain cenderung memberikan skor yang
tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya harga diri sesuai dengan
penilaian orang lain terhadap dirinya.
f. Kelompok rujukan (Reference group)
Yaitu kelompok yang secara emosional mengikat individu, dan
berpengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya. Menurut
Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:105) cirri orang yang
memiliki konsep diri negative ialah peka terhadap kritik,
responsive sekali terhadap pujian, mempunyai sikap hiperkritis,
cenderung merasa tidak disenangi orang lain, merasa tidak
diperhatikan, dan bersikap psimis terhadap kompetisi, sebaliknya
orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal:
1. Kemampuan mengatasi masalah
2. Merasa setara dengan orang lain
3. Menerima pujian tanpa rasa malu

4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai


perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya
disetujui masyarakat
5. Mampu

memperbaiki

dirinya

karena

ia

sanggup

mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak


disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Hamachek (dalam Rakhmat, 2000:106) menyebutkan 11 karakteristik


orang yang mempunyai konsep diri positif:
1. Meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankannya. Walaupun menghadapi pendapat kelompok yang
kuat. Tapi ia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsipprinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menujukan ia salah.
2. Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah
yang berlebih-lebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak
menyetujui tindakannya.
3. Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang
akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang
sedang terjadi waktu sekarang.
4. Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan,
bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
5. Merasa sama dengan orang lain sebagai manusia tidak tinggi atau rendah.
Walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang
keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.

6. Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi
orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
7. Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima
penghargaan tanpa merasa bersalah.
8. Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9. Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai
dorongan dan keinginan dari perasaan marah, dari sedih sampai bahagia,
dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam juga.
10. Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang
meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan
atau sekedar mengisi waktu.
11. Peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah
diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenangsenang dengan mengorbankan orang lain.

Fitts juga mengemukakan (dalam Agustiani, 2006:134) bahwa konsep diri


seseorang dapat dipengaruhi oleh:
1. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal yang memunculkan
perasaan positif dan perasaan berharga.
2. Kompetensi, dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain
Aktualisasi diri merupakan respon adaptif yang tertinggi karena individu
dapat mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya. Konsep diri yang positif
adalah individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahannya secara
jujur dan dalam menilai suatu masalah individu berfikir secara positif dan

realistik. Apabila individu menggunakan koping yang destruktif

ia akan

mengalami kecemasan, sehingga menimbulkan rasa bermusuhan yang dilanjutkan


dengan individu menilai dirinya rendah, tidak berguna, tidak berdaya, tidak
berarti, takut dan mengakibatkan perasaan bersalah. Rasa bersalah ini akan
mengakibatkan kecemasan yang meningkat, proses ini akan berlangsung terus
menerus dan dapat menimbulkan respon yang maladaptiv berupa kekacauan
identitas, harga diri yang rendah, dan depersonalisasi.

2.3 Komponen konsep diri


1. Gambaran diri atau citra tubuh (body image)
Gambaran diri adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadri atau
tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan
bentuk, fungsi dan penampilan serta potensi tubuh (Suliswati, 2005)
Factor-faktor predisposisi klien dengan gangguan citra tubuh antara lain:
kehilangan atau kerusakan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk dan
penampilan tubuh (akibat pertumbuhan dan perkembangan atau penyakit), proses
patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun fungsi tubuh,
prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi, transplantasi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti,
munculnya stresor yang dapat menggangu integrasi gambaran diri. Stresor-stresor
tersebut dapat berupa :

1) Operasi.
mastektomi, amputsi ,luka operasi yang semuanya mengubah gambaran
diri. Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, dan lain lain.
2) Kegagalan fungsi tubuh.
Seperti hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonlisasi yaitu
tadak mengkui atau asing dengan bagian tubuh, sering berkaitan dengan
fungsi saraf.
3) Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh
Seperti sering terjadi pada klien gangguan jiwa , klien mempersiapkan
penampilan dan pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.
4) Tergantung pada mesin.
Seperti : klien intensif care yang memandang imobilisasi sebagai
tantangan, akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik yang
enggan menggunakan intensif care dipandang sebagai gangguan.
5) Perubahan tubuh
Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan
merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia.
Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif.
Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh
yang tidak ideal.
6) Umpan balik interpersonal yang negatif
Umpan balik ini adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian
sehingga dapat membuat seseorang menarik diri.

7) Standar sosial budaya.


Hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya yang berbeda-beda pada
setiap

orang dan keterbatasannya serta keterbelakangan dari budaya

tersebut menyebabkan pengaruh pada gambaran diri individu, seperti


adanya perasaan minder.
Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat menunjukan tanda dan
gejala, seperti :
1) Shock psikologis
Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan
dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan
sebagai reaksi terhadap ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan
perubahan tubuh membuat klien menggunakan mekanisme pertahanan diri
seperti mengingkari, menolak dan proyeksi. Untuk mempertahankan
keseimbangan diri.
2) Menarik diri
Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan , tetapi
karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional.
Klien menjadi pasif, tergantung , tidak ada motivasi dan keinginan untuk
berperan dalam perawatannya.
3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap
Setelah klien sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka
muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran
diri yang baru.

Perubahan perilaku pada gangguan citra tubuh antara lain: menolak


menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu, menolak bercermin, tidak mau
mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh, menolak usaha rehabilitasi,
usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat, dan menyangkal cacat tubuh
Hal-hal penting yang terkait dengan gambaran diri sebagai berikut:
a. Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol pada usia remaja
b. Bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, serta tanda-tanda pertumbuhan
kelamin sekunder (mamae, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan
bulu), menjadi gambaran diri.
c. Cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek
psikologis
d. Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian tubuh,
akan

memberi

rasa

aman

dalam

menghindari

kecemasan

dan

meningkatkan harga diri.


e. Individu yang stabil, realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya,
dapat mendorong sukses dalam kehidupan.
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima
reaksi tubuhnya, menerima stimulus orang lain. Persepsi dan pengalaman
individu terhadap tubuhnya dapat mengubah citra tubuh secara dinamis,
persepsi orang lain di lingkungan klien terhadap tubuh klien turut
mempengaruhi penerimaan klien pada dirinya.

2. Ideal diri (self ideal)


Ideal diri adalah persepsi individu tentang perilakunya, disesuaikan dengan
standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan, dan keinginan, tipe orang
yang diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai. Pembentukan ideal diri
dimulai pada masa anak-anak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya
yang memberikan harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan berjalannya
waktu individu menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk
dasar-dasar ideal diri. Pada usia remaja, ideal diri akan membentuk melalui proses
identifikasi pada orang tua, guru, dan teman. Pada usia yang lebih tua dilakukan
penyesuaian yang merefleksikan berkurangnya kekuatan fisik dan perubahan
peran serta tanggung jawab.
Individu

cenderung

menetapkan

tujuan

yang

sesuai

dengan

kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas. Ideal diri
harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri, tetapi tidak terlalu
tinggi, terlalu menuntut, samar-samar. Ideal diri berperan sebagai pengatur
internal dan membantu individu mempertahankan kemampuannya menghadapi
konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk
mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ideal diri sebagai berikut:
a. Menetapkan ideal diri sebatas kemampuan
b. Faktor kultur dibandingkan dengan standar orang lain
c. Hasrat melebihi orang lain
d. Hasrat untuk berhasil
e. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistis

f. Hasrat untuk menghindari kegagalan


g. Adanya perasaan cemas dan rendah diri

3. Harga diri (self esteem)


Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan
cara menganalisis seberapa jauh perilaku individu tersebut sesuai dengan ideal
diri. Harga diri dapat diperoleh melalui orang lain dan diri sendiri yaitu dicintai,
dihormati dan dihargai. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering
mengalami keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah
bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima di
lingkungannya.
Menurut beberapa ahli dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
gangguan harga diri, seperti :
1) Perkembangan individu
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan
orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengkibatkan anak
gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk mencintai orang lain. Pada
saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami kurangnya
pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting
baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk
mandiri,

memutuskan

sendiri

akan

bertanggung

jawab

terhadap

prilakunya. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan mengontrol,


membuat anak merasa tidak berguna.

2) Ideal Diri tidak realistis


Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak
untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standar yang tidak dapat
dicapai, seperti cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada
kenyataan tidak dapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri
dan akhirnya percaya diri akan hilang.
3) Gangguan fisik dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri
4) Sistem keluarga yang tidak berfungsi
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu
membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan balik
yang negatif dan berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri
anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak
adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap pengalaman dan
kemampuan di lingkungannya.
5) Pengalaman traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi
dan seksual.
Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik,
emosi, peperangan, bencana alam, kecelakan atau perampokan. Individu
merasa tidak mampu mengontrol lingkungan. Respon atau strategi untuk
menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma, mengubah arti trauma,
respon yang biasa efektif terganggu, akibatnya koping yang biasa
berkembang adalah depresi dan denial pada trauma.

Faktor predisposisi ganguan harga diri antara lain: penolakan dari orang
lain, kurang penghargaan, pola asuh yang salah yang terlalu dilarang, terlalu
dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten, persaingan antar
saudara, kesalahan dan kegagalan yang berulang dan tidak mampu mencapai
standar yang ditentukan. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan harga diri
rendah antara lain: mengkritik diri sendiri, merasa bersalah dan khawatir, merasa
tidak mampu, menunda keputusan, gangguan berhubungan, menarik diri dari
realita, merusak diri, membesar-besarkan diri sebagai orang penting, perasaan
negative terhadap tubuh, ketegangan peran, psimis menghadapi hidup, keluhan
fisik, dan penyalahgunaan zat
Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian.
Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia. Untuk meningkatkan harga
diri anak diberi kesempatan untuk sukses, beri penguatan atau pujian bila sukses,
tanamkan ideal atau harapan jangan terlalu tinggi dan sesuaikan dengan budaya,
berikan dorongan untuk aspirasi atau cita-citanya dan membantu membentuk
pertahanan diri untuk hal-hal yang menggangu persepsinya.
Harga diri sangat mengancam pada masa pubertas, karena pada saat ini
harga diri mengalami perubahan, karena banyak keputusan yang harus dibuat
menyangkut dirinya sendiri. Remaja dituntut untuk menentukan pilihan, posisi
peran dan memutuskan apakah mampu meraih sukses dari suatu bidang tertentu,
apakah dapat berpartisipasi atau diterima diberbagi macam aktivitas sosial. Pada
usia dewasa harga diri menjadi stabil dan memberikan gambaran yang jelas
tentang dirinya dan cenderung lebih mampu menerima keberadaan dirinya. Hal ini
didapatkan dari pengalaman menghadapi kekurangan diri dan meningkatkan

kemampuan secara maksimal kelebihan dirinya. Pada masa dewasa akhir timbul
masalah harga diri karena adanya tantangan baru sehubungan dengan
ketidakmampuan fisik, berpisah dari anak, dan kehilangan pasangan.
Adapun cara untuk meningkatkan harga diri adalah sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan untuk berhasil
b. Memberikan pengakuan dan pujian
c. Mananamkan gagasan yang dapat memotivasi kreativitas seseorang untuk
berkembang
d. Mendorong aspirasi atau cita-citanya
e. Menanggapi pertanyaan dan pendapa tdengan cara member penjelasan
yang sesuai
f. Memberikan dukungan untuk aspirasi yang positif sehingga seorang
memandang dirinya diterima dan bermakna
g. Membantu pembentukan koping.

4. Peran diri (self role)


Peran diri adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat dihubungakan dengan fungsi individu di dalam
kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam
kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan
memvalidasi pada orang yang berarti. Setiap orang disibukkan oleh beberapa
peran yang berhubungan dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur
kehidupan. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi
kebutuhan dan cocok dengan ideal diri.

Faktor predisposisi gangguan peran meliputi: transisi peran yang sering


terjadi pada proses perkembangan, perubahan situasi dan keadaan sehat-sakit,
ketegangan peran ketika individu menghadapi dua harapan yang bertentangan
secara terus menerus yang tidak terpenuhi, keraguan peran ketika individu kurang
pengetahuannya harapan peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku
peran yang sesuai dan peran yang terlau banyak
Konflik peran terjadi apabila peran yang diinginkan individu sedang
diduduki individu lain. Peran yang tidak jelas terjadi apabila individu diberikan
peran yang tidak jelas, sesuai perilaku yang diharapkan. Peran yang tidak sesuai
terjadi apabila individu dalam proses peralihan mengubah nilai dan sikap. Peran
berlebih

terjadi

jika

seorang individu

memiliki

banyak

peran

dalam

kehidupannya.
Menurut Stuart dan Sundeen (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri individu terhadap peran, sebagai berikut:
a. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran
b. Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap
perannya
c. Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya
d. Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap perilaku
e. Pemisahan situasi yang akan menciptakan penampilan peran yang tidak
sesuai
Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran,
baik yang sifatnya menetap atau sementara karena situasional. Hal ini, biasanya

disebut dengan transisi peran. Transisi peran tersebut dapat di kategorikan


menjadi beberapa bagian, seperti :
1) Transisi Perkembangan
Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas.
Setiap perkembangan harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas
perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini dapat merupakan stresor
bagi konsep diri.
2) Transisi Situasi
Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau
berkurang orang yang berarti melalui kelahiran atau kematian,
misalnya status sendiri menjadi berdua atau menjadi orang tua.
Perubahan

status

menyebabkan

perubahan

peran

yang dapat

menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas


atau pera berlebihan
3) Transisi sehat sakit
Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan
berakibat diri dan berakibat perubahan konsep diri. Perubahan tubuh
dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu gambaran
diri, identitas diri peran dan harga diri. Masalah konsep diri dapat
dicetuskan oleh faktor psikologis, sosiologi atau fisiologi namun yang
penting adalah persepsi klien terhadap ancaman. (Salbiah. dunia
psikologi, 2008).

5. Identitas diri (self identity)


Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh
individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, individu menyadari
bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Identitas diri merupakan sintesis
dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut atau jabatan dan peran.
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan
memandang dirinya berbeda dengan orang lain dan tidak ada duanya.
Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek pada diri sendiri),
kemampuan dan penguasaan diri.
Perubahan perilaku yang berhubungan dengan kerancuan identitas antara
lain: tidak melakukan kode moral, kepribadian yang bertentangan, hubungan
interpersonal yang eksploitatif, perasaan hampa, perasaan mengambang
tentang diri, kekacauan identitas seksual, ideal diri tidak realistis, tidak
mampu berempati terhadap orang lain.
Faktor predisposisi gangguan identitas diri meliputi: ketidakpercayaan
terhadap orang lain, tekanan dari teman sebaya, dan perubahan struktur
sosial.
Identitas

berkembang

sejak

masa

anak-anak

bersamaan

dengan

perkembangan konsep diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti
dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri
dan menerima diri. Ciri-ciri individu yang mempunyai identitas diri positif
antara lain:

a. Mengenal diri sebagai organisme yang utuh terpisah dari orang lain
b. Mengakui jenis kelamin sendiri
c. Memandang berbagai

aspek

dalam

dirinya

sebagai

suatu

keselarasan
d. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat
e. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang
f. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan

2.4 Teori faktor yang mempengaruhi konsep diri


Menurut Stuart dan Sundeen (2006) ada beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori
perkembangan, Orang yang terpenting atau yang terdekat (Significant Other) dan
persepsi diri sendiri (Self Perception)
1. Pengaruh perkembangan
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara
bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan
orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang
terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi
lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama
panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan
pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta
aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.

2. Orang yang terpenting atau terdekat (Significant Other)


Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman
dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu
dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang
lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja
dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang
dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan
sosialisasi
3. Persepsi diri sendiri (Self Perception)
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya,
serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu.
Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang
positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari
prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi
lebih efektif dan dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan
intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang
negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
(Salbiah. dunia psikologi, 2008).
Berdasarkan hirarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow ada 5
tingkatan kebutuhan dasar manusia, yaitu :

Diagram 2.1
Hirarki kebetuhan dasar menurut Maslow

aktualisasi diri
harga diri
cinta dan rasa memiliki
keselamatan dan keamanan
kebutuhan fisiologis
Hirarki Maslow tentang kebutuhan (Perry & Potter, 2005)

Teori Maslow yang berhubungan dengan konsep diri seseorang adalah


kebutuhan cinta dan rasa memiliki termasuk persahabatan, hubungan sosial.
Kebutuhan rasa berharga dan harga diri yang melibatkan percaya diri, merasa
berguna, penerimaan dan kepuasan diri. Kebutuhan aktualisasi diri yaitu
pernyataan dari penerimaan yang penuh potensi dan memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah dan mengatasinya dengan cara realistis dan berhubungan
dengan situasi hidup. (Perry & Potter, 2005).

2.5 Tindakan pada gangguan konep diri


Fokus tindakan adalah pada tingkat penilaian kognitif terhadap kehidupan
yang terdiri dari persepsi, keyakinan, dan pendirian. Kesadaran klien akan emosi
dan perasaannya juga hal yang penting, setelah mengevaluasi hal kognitif dan
kesadaran perasaan, klien mulai menyadari masalah dan kemudian merubah
perilaku, prinsip asuhan keperawatan yang diberikan adalah pemecahan masalah
yang terlihat dari kemajuan klien yang meningkat dari satu tingkat ke tingkat
berikutnya. Tindakan keperawatan dibagi lima tingkat (Stuart dan Sundeen, 1991)
1. Memperluas kesadaran diri (ekspanded self-awareness)
2. Menyelidiki atau eksplorasi diri (self-eksploration)
3. Mengevaluasi diri (self-evaluation)
4. Perencanaan realistis (realistic planning)
5. Tanggung jawab bertindak (commitment to action)

2.6 Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan


Self concept kita ditentukan oleh tingkat kepuasan diri kita sendiri, terutama
bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain, apabila orang
lain melihat diri kita positif dan menerima apa yang kita lakukan kita akan
meneruskan perilaku kita. Tetapi apabila orang lain berpandangan negative
terhadap perilaku kita dalam jangka waktu yang lama, kita akan melakukan suatu
perubahan perilaku. Oleh karena itu secara tidak langsung self concept kita
cenderung menetukan apakah kita akan menerima keadaan diri kita seperti adanya
atau berusaha untuk mengubahnya. Self concept adalah faktor yang penting dalam

kesehatan, karena mempengaruhi perilaku masyarakat dan perilaku petugas


kesehatan.
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan
pendidikan praktis, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai
berikut:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
sesorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkat
pengetahuan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah
ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu
b. Memahami (comprehension)
Memahami sesuatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,
tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahuinya pada situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau
memisahkan,

kemudian

mencari

hubungan

antara

komponen-

komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang


diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai
pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut sudah bisa
membedakan,

mengelompokkan,

membuat

diagram

terhadap

pengetahuan atas objek tersebut.


e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum
atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen
pengetahuan yang dimiliki.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan pendapat atau emosi yang bersangkutan.
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, bahwa sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Komponen pokok sikap menurut Allport
(1954) sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat seseorang terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya
bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap adalah merupakan


komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap
mempunyai tingkatan berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek)
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi disini adalah memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi
c. Menghargai (valuing)
Manghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai
yang positif terhadap objek atau stimulus dalam arti membahasnya
dengan

orang

lain

dan

mengajak,

mempengaruhi

atau

menganjurkan orang lain merespons


d. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab
terhadap apa yang telah diyakininya
3. Praktik (practice)
Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut
kualitasnya, yaitu:
a. Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi
tergantung pada tuntutan.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)


Apabila subjek telah melakukan sesuatu hal secara otomatis maka
disebut tindakan mekanis.
c. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tidakan yang sudah berkembang, artinya apa yang
dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja tetapi sudah
dilakukan modifikasi perilaku yang berkualitas. (Notoatmodjo, 2005).

2.7 Pengertian cacat tubuh


Ada tiga definisi cacat dari WHO (1980) yang perlu dketahui yaitu
impairment, disability, dan handicap.
Impairment: any loss or abnormality of psychological, physiological, or
anatomical structure or function.
Disability: any restriction or lack (resulting from an impairmet) of ability to
perform an activity in the manner or within the range considered
normal for human being.
Handicap: a disadvantage for a given individual, resulting from an impairment or
a disability, that limits or prevents the fulfillment of a role that is
normal (depending on age, sex, and social and culture factors) for
that individual. (A Journal concerned with children, 1980:49-50)
impairment dapat berupa kehilangan atau rusaknya bagian tubuh, anggota
tubuh yang di amputasi, kelumpuhan yang disebabkan oleh polio, terbatasnya
kapasitas paru-paru, diabetes, keterbelakangan mental, bentuk muka yang tidak
normal atau kondisi abnormal lainnya.

Disability sebagai akibat dari impairment dapat menyebabkan seseorang


mengalami kesulitan dalam berjalan, melihat, berbicara, mendengar, membaca,
menulis, menghitung, mengangkat atau kesulitan dalam berhubungan dengan
sekitarnya.
Disability akan menjadi handicap bila mengganggu kemampuan seseorang
untuk melakukan hal-hal yang diharapkan dirinya dalam kehidupan. Orang yang
mengalami cacat fisik dapat menjadi handicap dalam hal interaksi sosialnya
dengan orang lain, menolong diri sendiri, mengkomunikasikan pikiran-pikiran dan
perasaan mereka, proses belajarnya baik didalam maupun diluar lingkungan dan
dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas ekonominya yang mandiri.
Isherwood (1986:1) mendefinisikan cacat (disability) :it is a weakness or
filure of some working part of the body or head. Sehubungan dengan
kelemahannya tersebut maka menurut Isherwood seseorang penyandang cacat
memerlukan usaha yang keras untuk melakukan kegiatan penting yang
kebanyakan orang dapat melakukannya dengan mudah. Hal ini disebabkan karena
tidak bekerjanya salah satu bagian dari tubuh yang cacat.
Kessler (dalam Adi, 2003) menggunakan istilah physically handicapped
atau cacat tubuh, yang dimaksud dengan kecacatan adalah kerusakan bagian tubuh
baik tersembunyi atau terlihat yang menyebabkan keterbatasan tubuh individu
untuk bekerja, dan menimbulkan sikap negative dari lingkungan sosialnya. Cacat
tubuh atau cacat fisik menurut departemen kesehatan RI adalah orang yang
menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot)
sedemikian rupa sehingga untuk keberhasilan pendidikan mereka perlu perlakuan
khusus (Sumiati, 2000).

Cacat tubuh atau tunadaksa menurut Hallahan (dalam Dahlan, 1999) yaitu
seseorang yang mengalami kelainan atau kecacatan pada bentuk, fungsi, system
otot, tulang dan persendian, yang bersifat primer atau sekunder yang
mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan
gangguan perkembangan pribadi.
a. Jenis-jenis cacat tubuh
Di Indonesia dikenal ada dua jenis penderita cacat tubuh , yaitu yang biasa
disebut tunadaksa D dan tunadaksa D1 (Sumiati, 2000) :
1. Penderita tunadaksa D ialah orang yang menderita cacat polio atau
lainnya, sehingga mengalami tidak normalnya fungsi tulang, otot-otot atau
kerjasama fungsi otot-otot. Pada umumnya penderita ini mempunyai
kemampuan kecerdasan yang normal.
2. Penderita tunadaksa D1 ialah orang yang menderita cacat akibat kerusakan
otak karena tidak berfungsinya otak, seperti penderita cerebral palsy yang
mengakibatkan kelumpuhan, kekakuan dan kurangya koordinasi motorik.
Karena ada gangguan pada otak, maka sebagian besar dari penderita ini
mempunyai kemampuan kecerdasan yang tidak normal (dibawah rata-rata
atau terbelakang). Dalam sampel penelitian ini penulis mengkhususkan
pada penderita tunadaksa D.
b. Derajat kelainan fisik
Penderita tunadaksa D secara fisik dapat dibedakan antara lain:
1. Kelainan pada separuh badan: tangan kanan dan kaki kanan, atau
tangan kiri dan kaki kiri
2. Kelainan pada kedua buah tangannya

3. Kelainan pada kedua buah kakinya


4. Kelainan pada tangan kanan dan kaki kiri
5. Kelainan pada tangan kiri dan kaki kanan
6. Kelainan pada ketiga anggota badan (kedua tangan dan sebuah
kaki, atau kedua kaki dan sebuah tangan
Cacat tubuh atau tunadaksa dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu
(Dahlan, 1999) :
1. Menurut sebab cacatnya :
1) Cacat sejak lahir
2) Cacat disebabkan penyakit
3) Cacat disebabkan kecelakaan
4) Cacat disebabkan perang
2. Menurut jenis cacatnya :
1) Putus (amputasi tungkai dan lengan)
2) Cacat tulang sendi dan otot pada tungkai/lengan
3) Cacat tulang punggung
4) Cerebral palsy
5) Dan lain-lain termasuk pada cacat tubuh orthopedic
3. Menurut berat ringannya cacat :
1.) Cacat ringan adalah mereka yang dapat melakukan seluruh
kegiatan hidup sehari-hari
2.) Cacat sedang adalah mereka yang dapat melakukan sebagian besar
kegiatan hidup sehari-hari

3.) Cacat berat adalah mereka yang tidak dapat melakukan sebagian
besar atau seluruh kegiatan sehari-hari
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
penderita cacat tubuh pada penelitian ini ialah penderita cacat tubuh yang
disebabkan penyakit kusta
c. Cacat tubuh pada penderita kusta
Yawalkar, 1988 dikutip dari Tarusuraya dan Halim, 1996 mengemukakan
bahwa klien kusta sering mengalami deformitas sebagai komplikasi yang berupa
kecacatan pada bagian-bagian tubuh klien, seperti:
1) Pada wajah berupa muka seperti topeng (mask face) kelopak mata tidak
menutup sempurna (lagopthalmus), alis mata tidak ada (madarosis), kulit
wajah keriput seperti orang tua (wrinkling/sagging face), pangkal hidung
cekung (saddle hole), daun telinga membesar (megalobule), ulkus kornea,
kekerutan kornea, gangguan penglihatan atau penurunan visus, fotofobia
pada kasus iritis atau iridociclitis.
2) Pada tangan berupa jari-jari tangan kontraktur (claw hand), jari-jari tangan
hilang (mutilasi), jari-jari tangan memendek tetapi masih tampak sisa kuku
(absorpsi), ibu jari tidak dapat diluruskan (claw thumb), otot-otot di
dorsum manus antara jari satu dan dua terlihat kolong (athrophy web),
gerakan dorsofleksi pergelangan tangan tidak ada (drop hand), kekakuan
pergelangan tangan sehingga tidak dapat digerakan (wrist drop).
3) Pada kaki berupa kaki tidak dapat dorsofleksi (foot drop), jari-jari kaki
menekuk ke bawah (claw toes), tampak luka pada kaki (ulkus plantaris),

bentuk kaki pendek (absorpsi), luka pada daerah tungkai bawah akibat
vaskularisasi kurang (static ulcer)
WHO 1988 dikutip dari tarusuraya dan halim, 1996 mengemukakan
tentang klasifikasi kecacatan pada kusta adalah :
1. Tangan dan kaki
1) Tingkat 0 : tidak ada anestesi, tidak tampak deformitas dan
kerusakan
2) Tingkat I : terdapat anestesi tetapi tidak tampak, Deformitas dan
kerusakan
3) Tingkat II : tampak deformitas/kerusakan (adanya ulkus, absorpsi,
disorganisasi, kekakuan sendi dan mobilisasi
2. Mata
1) Tingkat 0 : tidak ada masalah dengan mata akibat kusta dan tidak
ada kelainan visus
2) Tingkat I : adanya problem mata akibat kusta tetapi visus tidak
terlalu buruk, masih lebih dari 6/60
3) Tingkat II : adanya problem mata akibat kusta dan visus kurang
dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pemeriksa dari jarak enam
meter.
d. Konsep diri pada penderita cacat tubuh akibat kusta
Menurut Adler (dalam Suryabrata, 2001), manusia cenderung untuk
mengimbangi kekurangan yang dimilikinya dengan sesuatu yang lebih
(kompensasi). Selanjutnya Adler (dalam Suryabrata, 2001) menemukan bahwa
orang

yang

mempunyai

organ

yang

kurang

baik

itu

berusaha

mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut melalui latihanlatihan yang intensif. Hubungannya dengan rasa rendah diri, Adler memperluas
pendapatnya tentang rasa rendah diri itu mencakup segala rasa kurang berharga
yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa scara
subjektif, ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna (Suryabrata,
2001). Perasaan rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau
kurang mampu bukanlah suatu pertanda ketidaknormalan, melainkan justru
sebagai pendorong bagi segala perbaikan dalam kehidupan manusia.

2.8 Pengertian Penyakit kusta


Kusta (lepra atau Morbus Hensen) adalah penyakit kronis yang disebabkan
oleh infeksi Myobacterium Leprae(kapita selekta kedokteran UI, 2000). Penyakit
kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
yang menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya (Departemen
Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL,2002).
a.

Jenis-jenis penyakit kusta


Ridley dan Joping (1960) dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tahun 2001 memperkenalkan istilah


determina spectrum pada penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau
bentuk, yaitu:
1. TT: tuberkuloid polar, merupakan bentuk yang stabil tidak mungkin
berubah
2. Ti: Tuberkoloid indefinitif, bentuk yang labil
3. Borderline tuberculoid, bentuk yang labil

4. BB: Mid borderline, bentuk yang labil


5. BL: Borderline lepromatous, bentuk yang labil
6. Li: Lepromatosa indefinite, bentuk yang labil
7. LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, yang berarti
campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang
terdiri dari 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, yang dapat dengan bebas beralih tipe, baik
kearah TT maupun LL. Tuberkuloid polar (TT) terjadi pada penderita dengan
resistensi tubuh cukup tinggi. Tipe TT adalah bentuk yang stabil. Gambaran
histopatologisnya menunjukan granuloma epiteloid dengan banyak sel limfosit
dan sel raksasa, zona epidermal yang bebas, erosi epidermis karena gangguan
pada saraf kulit yang sering disertai penebalan serabut saraf. Karena resistensi
tubuh cukup tinggi, maka infiltrasi kuman akan terbatas dan lesi yang muncul
terlokalisasi dibawah kulit dengan gejala:
1. Hipopigmentasi karena stratum basal yang mengandung pigmen rusak
2. Hipoanestesi karena ujung-ujung saraf rusak, adanya anhidrase karena
kelenjar-kelenjar keringat rusak, kadang rambut rontok karena kerusakan
dipangkal rambut
3. Batas tegas karena kerusakan terbatas (Marwali Harahap, 1990).

Lepromatosa klasik (LL) terjadi pada penderita dengan imunitas tubuh


lemah. Tipe ini mudah dikenali pada penderita: lesi biasanya bilateral dengan
jumlah yang banyak, permukaan lesi halus, cerah kemerahan (eritematosus),
menebal dan tersebar hampir keseluruh tubuh, tidak anestetik, tidak anhidrotik
(bentuk infiltrative), dapat berbentuk macula yang difus juga noduler yang
batasnya tidak jelas. Saraf jarang terganggu, selaput lendir hidung sering
terserang. Infiltrasi di cuping telinga dan wajah menyebabkan garis wajah menjadi
kasar sehingga wajah tampak seperti singa (leonine face). Alis dan bulu mata
sering lepas, terdapat perubahan anatomis pada hidung (hidung pelana), kadang
ditemukan pembesaran kelenjar limfe dan infiltrasi pada testis.
Menurut WHO kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler,
multibasiler berarti mengandung banyak basil, tipenya adalah BB, BL, dan LL.
Pausibasiler (PB) berarti mengandung sedikit basil, tipenya adalah TT, BT, I

b. Penyebab penyakit kusta


Penyebab penyakit kusta adalah Myobacterium Leprae yang merupakan
bakteri tahan asam, bersifat obligat intraseluler, yang ditemukan oleh G.A
Hansen. Masa membelah diri M. Leprae memerlukan waktu yang cukup lama
dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40
hari sampai dengan 40 tahun. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak
mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Kira-kira 5-15% dari semua penderita kusta
dapat menularkan M. leprae, sebagian besar 95% manusia kebal terhadap kusta
hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%), dari sebagian kecil ini 70% dapat

sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit kusta (Depkes RI, 2005).
Hal ini bergantung pada faktor antara lain:
1. Patogenitas kuman penyabab
2. Cara penularan
3. Hygiene dan sanitasi
4. Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan
5. Keadaan sosial ekonomi
6. Sumber penularan
7. Daya tahan tubuh
Sumber dan cara penularan penyakit kusta saat ini adalah manusia
walaupun kuman kusta dapat hidup pada hewan seperti Armadillo, Simpanse, dan
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. Penyakit kusta paling
banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembap,
kemungkinan karena perkembangbiakan bakteri sesuai dengan iklim tersebut.
Disamping itu, faktor kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit.
Kusta bukan penyakit keturunan, kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu. Jarang didapat dalam urin. Sputum
dapat banyak mengandung M. Leprae yang berasal dari saluran napas atas, tidak
semua kuman kusta dapat menularkan penyakit. Hal ini terkait dengan resistensi
tubuh penderita kusta, keteraturan pengobatan dan jenis obat yang dipakai, serta
keutuhan kuman kusta (solid basillus). Kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh
melalui beberapa cara diantaranya melalui kulit yang tidak utuh, saluran napas,
atau saluran pencernaan. Setelah masuk kedalam tubuh kuman menuju tempat
predileksinya, yaitu sel Schwann pada saraf tepi, didalam sel inilah kuman

berkembangbiak. Sel tersebut pecah dan kemudian menginfeksi sel Schwann yang
lain atau ke kulit. Perkembangan penyakit kusta ini bergantung pada kerentanan
seseorang, respon tubuh setelah masa tunas bergantung pada derajat system
imunitas seluler (celluler mediated immune) pasien, jika system imun seluler
tinggi penyakit berkembang kearah tipe tuberkuloid dan bila rendah berkembang
kearah tipe lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah yang relative lebih
dingin yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

c.

Tanda dan gejala penyakit kusta


Manifestasi klinik penyakit kusta biasanya menunjukan gambaran yang jelas

pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan
fisik saja. Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukan gejala klinis kusta
dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan. Gejala
dan keluhan penyakit bergantung pada multiplikasi dan desiminasi kuman M.
Leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. Leprae, komplikasi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. Ada tiga tanda pasti kusta yaitu:
1) Kulit dengan bercak putih kemerahan dengan mati rasa
2) Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan, kaki, dan mata
3) Adanya kuman tahan asam pada pemeriksaan kerokan kulit BTA positif

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah


klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta
menjadi

lima

kelompok

berdasarkan

gambaran

klinik,

bakteriologik,

histopatologik, dan imunologik yaitu:


1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf, lesi kulit bias satu atau
beberapa, dapat berupa macula atau plakat, batas jelas dan pada bagian
tengah

dapat

ditemukan

lesi

yang

mengalami

regresi

atau

penyembuhan ditengah. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi


yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis, gejala
ini dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.
2. Tipe borderline tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa macula
anestesi atau plak yang sering disertai lesi satelit dipinggirnya, jumlah
lesi satu atau beberapa, tepi gambaran hipopigmentasi, kekeringan
kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid, gangguan
saraf tidak seberat pada tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik,
biasanya ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe borderline-borderline (BB)
Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua
spectrum penyakit kusta. Tipe ini disebut juga sebagai bentuk diformik
dan jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate,
permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah

lesi yang melebihi tipe borderline tuberkuloid dan cenderung simetrik.


Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa
didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada
bagian tengah, batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.

Tipe borderline lepromatous (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan macula, awalnya hanya dalam
jumlah sedikit, kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan.
Macula disini lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih
kecil, papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir
simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian tengah, lesi
bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir didalam infiltrate
lebih jelas dibanding pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak
seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan gugurnya rambut
lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan
penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi di kulit.

5. Tipe lepromatous-lepromatous (LL)


Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih
eritem, mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan
anestesi dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni di
wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di
badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung
tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis

muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonina yang dapat
disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi
deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe,
orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atropi testis. Kerusakan saraf
dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.
Bila penyakit ini menjadi progresif, macula dan papula baru
muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plak dan nodul. Pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi
hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot
pada tangan dan kaki. Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak
termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling tetapi diterima secara
luas oleh para ahli kusta adalah tipe indeterminate (I), tipe ini ditandai
dengan jumlah lesi sedikit, asimetrik, macula hipopigmentasi dengan
sisik yang sedikit, kulit sekitar normal, lokalisasi biasanya dibagian
ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat
ditemukan bentuk macula hipestesi atau sedikit penebalan saraf.
Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan
histopatologik didapatkan basil atau terdapat infiltrat di sekitar saraf.
Pada 20-80% kasus penderita kusta didapatkan tipe ini merupakan
tanda pertama dan sebagian besar akan sembuh spontan.
Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang:
1. Mata: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
2. Tulang rawan: epistaksis, hidung pelana
3. Tulang dan sendi: absorbsi, mutilasi arthritis

4. Lidah: ulkus, nodus


5. Laring: suara parau
6. Testis: epididimitis akut, orkitis, atrofi
7. Kelenjar limfe: limfadenitis
8. Rambut: alopesia, madarosis
9. Ginjal: glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial
Tempat predileksi lesi kulit yaitu di bagian tubuh yang relative lebih
dingin misalnya muka, hidung (mukosa), telinga anggota tubuh dan bagian tubuh
yang terbuka. Predileksi kerusakan saraf tepi karena Myobacterium Leprae lebih
sering menyerang saraf tepi yang terletak di superfisial yang suhunya relative
lebih dingin. Saraf tepi yang diserang dengan berbagai kelainannya yaitu:
1. Nervus auricularis magnus
2. Nervus ulnaris: anestesi dan paresis atau paralisis otot tangan jari V dan
sebagian jari IV
3. Nervus peroneus komunis: kaki semper (drop foot)
4. Nervus medianus: anestesi dan paresisn atau paralisis otot tangan jari I, II,
III dan sebagian jari IV. Kerusakan Nervus Ulnaris dan Nervus Medianus
menyebabkan jari tangan keriting (claw finger), tangan cakar (claw hand)
5. Nervus radialis: tangan lunglai (drop wrist)
6. Nervus tibialis posterior: mati rasa telapak kaki, jari kaki keriting (claw
toes)
7. Nervus facialis: lagoftalmus, mulut mencong
8. Nervus trigeminus: anestesi kornea

d. Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan
rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai
tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan
walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya
resistensi terhadap depson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO
memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri dari paling tidak dua obat
antikusta yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti di lapangan dengan
beberapa alasan. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO Study Group on
Chemotherapy of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy).
Seajak januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan
WHO Expert Committee Meeting di Geneva (oktober 1981), yaitu dengan
pengobatan kombinasi DDS, Lampren dan Rifampisin.

A. Obat-obat antikusta
1. Sulfon
a. Dapson (4,4-diamino difenil sulfon, DDS).
Hal-hal yang penting mengenai dapson adalah sebagai berikut:
1) Merupakan dasar terapi untuk kusta
2) Bersifat bakteriostatik, terapi cara kerjanya tidak
diketahui. Dosis 100 mg bersifat bakterisidal lemah.

Merupakan suatu inhibitor kompetitif PABA dan


berhubungan dengan metabolisme asam folat tetapi
sensitivitas M. Leprae yang unik terhadap depson
menimbulkan perkiraan adanya mekanisme lain yang
terlibat.
3) Aman, mudah didapat dan harganya murah
4) Efek samping depson sebagai berikut: dapat timbul
anemia, obat harus dihentikan bila hitung total sel darah
merah kurang dari 3,5 juta /mm3. Jarang timbul anemia
setelah terapi 4 bulan, dapat terjadi sianosis, gangguan
gastrointestinal yang rendah dan hepatitis yang ditandai
oleh anoreksia dan vomitus. Dalam hal ini obat dapat
dihentikan sementara, psikotik merupakan komplikasi
yang serius tetapi jarang ditandai oleh insomnia, mudah
terangsang dan irritable. Dalam hal ini obat perlu
dihentikan,
albuminuria,

keterlibatan
erupsi

ginjal

kulit

ditandai

bervariasi

dengan
dari

ras

morbiliformis sampai pemfigoid berat, fixed drug


eruption, dermatitis eksfoliativa, eritema multiforme,
toksik epidermal nekrolisis (TEN).
b. DADDS (diasetil-diamino-difenil-sulfon)
Merupakan depot sulfon, penggunaan intramuscular 225
mg dapat aktif sampai lebih dari 2 bulan. Dapat digunakan di
lapangan, titer plasma dengan suntikan lebih rendah daripada

dapson oral dan terapi yang lama dapat menimbulkan


resistensi, karenanya obat ini tidak boleh digunakan sebagai
obat tunggal. Sebagai tambahan untuk terapi oral, diberikan
satu injeksi tiap 8-10 minggu. DADDS sering digunakan oleh
leprolog Amerika Latin, terutama pada penderita yang
diragukan kepatuhannya dalam meminum obat. Profilaksis
DADDS ini efektif bila disupervisi dengan baik.
2. Rifampisin
Hal-hal yang penting mengenai rifampisin: suatu derivate
semisintetik produk fermentasi Streptomyces mediterranei,
kerjanya melalui inhibisi sintesis RNA bakteri, merupakan
antikusta yang paling potensi menurunkan indeks morfologi
pada kusta lepromatosa menjadi 0 dalam 5 minggu bersifat
bakterisidal, dosis tungggal rifampisin 600 mg akan membunuh
99,9 % M. Leprae dalam beberapa hari sehingga penderita
menjadi tidak infeksius lagi, rifampisin harus diminum sebelum
makan, umumnya obat dapat ditoleransi dengan baik, berbagai
kasus resisten telah dilaporkan karenanya obat ini tidak boleh
diberikan secara tunggal, tidak direkomendasikan pada
kehamilan

trisemester

I,

hambatan

bagi

negara-negara

berkembang adalah harganya mahal. Efek samping terdiri dari:


hematuria, erupsi kulit umumnya berupa papula-papula
eritematosa dan kadang-kadang sindrom Steven Johnson,

pusing lemah, gangguan gastrointestinal, pruritus, flu like


syndrome, gagal ginjal, nafas pendek, syok, dan purpura
3. Klofazimin (B663, Lampren)
Bahan aktif adalah turunan zat warna iminofenazin,
kerjanya melalui interaksi dengan DNA mikobakteria, bersifat
bakteriostatik dan bakterisidal lemah, sifat antikustanya mirip
dengan dapson tetapi sedikit lebih lambat, menghambat
pertumbuhan dan menekan efek bakteri yang perlahan pada M.
Leprae dengan berikatan pada DNA bakteri, harus diminum
pada waktu makan atau dengan segelas susu, penting bagi
penderita dengan resistensi terhadap dapson. Efek samping
terdiri dari: terjadi diskolorisasi yang reversible dari ungu
sampai coklat kehitaman pada kulit, efek ini berhubungan
dengan dosis , pigmen pada lesi kusta berwarna keabu-abuan
sampai hitam, nyeri abdominal, mual, diare, dapat dikurangi
dengan minum obat saat makan, kekeringan kulit, fisura
terutama pada tulang kering, dapat dikontrol dengan minyak,
dapat menyebabkan eksaserbasi pada permulaan terapi.
4. Protionamide dan Etionamide
Keduanya mempunyai efek bakterisidal, efek keduanya
hamper sama dan dapat dipertukarkan, resistensi silang sering
terjadi, digunakan bila klofazimin tidak dapat diberikan, dosis
etionamide 250-500 mg/hari, protionamide 250-375/hari. Efek
samping terdiri dari: hepatitis 40%, tetapi protionamide lebih

kurang toksik diantara kedua obat tersebut, intoleransi terhadap


obat ini tinggi pada orang-orang Asia terutama pada orang
Cina, oleh karena dapat menyebabkan hepatotoksik terutama
bila dikombinasi dengan rifampisin, WHO Expert Committee
on Leprosy merekomendasikan bahwa kedua obat tersebut
sebaiknya tidak dipakai sebagai komponen MDT di lapangan
kecuali terpaksa.

B. Prinsip MDT (Multi Drug Therapy = pengobatan kombinasi)


Manajemen penyakit kusta yang tepat memerlukan pengetahuan
tentang tujuan terapi, sifat-sifat obat yang digunakan dan perjalanan
alamiah penyakit. Yang penting, diperlukan kesabaran dan pengertian
akan keadaan psikologik penderita. Regimen rekomendasi MDT adalah
suatu kompromi antara ide teori dan suksesnya tujuan pada kondisi
lapangan di negara miskin.
1. Keuntungan MDT
a. Mencegah resistensi obat
b. Mengobati penderita dengan resistensi terhadap dapson
c. Menghapus keperluan mengidentifikasi sensitivitas terhadap M.
Leprae sebelum terapi
d. Mengubah konsep diri terapi jangka panjang yang hanya mencegah
perluasan penyakit ke terapi jangka pendek yang menyembuhkan
penyakit
e. Meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%

f. Mencegah deformitas secara lebih efisien


g. Menurunkan jumlah kasus-kasus setiap tahunnya
h. Cepat membuat penderita menjadi tidak infeksius
i. Mengurangi biaya jangka panjang pada program control kusta
2. Regimen MDT-Standar WHO
Regimen MDT pausibasiler yang diobati dengan regimen ini
adalah penderita yang termasuk dalam klasifikasi TT, BT menurut
Ridley Jopling atau I dan T menurut klasifikasi Madrid yang
bakterioskopik

negative

sedang

apabila

bakterioskopik

positif

digolongkan ke dalam multibasiler


Setelah pengobatan dihentikan (Release From Treatment/RFT atau
Completion Of Treatment/COT), penderita masuk dalam masa
pengamatan yaitu penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik
minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta
multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun
untuk penderita kusta pausibasiler. Bila selama masa tersebut tidak ada
keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release
From Control/RFC)

C. Obat-obat baru
Dalam 5 tahun terakhir terdapat perkembangan obat-obat antikusta
yang baru. Obat-obat ini termasuk 4 fluoroquinolones tertentu,
minocycline, clarithromycin. Percobaan klinis pada penderita kusta
lepromatos telah dilakukan dan ditegaskan bahwa obat-obat baru ini sangat

efektif baik secara klinik maupun mikrobiologik. Penggunaan obat-obat


baru

(ofloxacin,

pefloxacin,

siprofloxacin,

minocycline

dan

claritromycine) harus digunakan dengan hati-hati dan tidak boleh


digunakan sebagai monoterapi. Dalam waktu dekat obat-obat ini mungkin
dapat terbukti penting pada terapi penderita yang intoleran terhadap satu
atau lebih obat dari regimen MDT standard atau pada mereka yang
terbukti resisten terutama terhadap rifampisin atau karena penyakit lain
yang bersamaan timbul yang menghalangi pengguanaan obat.

D. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi


Pada pengobatan MDT (WHO) selama 2 tahun untuk penderita
kusta tipe multibasiler (terutama BL/LL), telah dilaporkan beberapa
masalah sehubungan dengan adanya persistensi, angka relaps yang agak
tinggi, dan sisa-sisa basil lepra yang mati. Ketidakmampuan untuk
mengatasi masalah tersebut mungkin disebabkan oleh tidak adanya atau
kurangnya system imunitas seluler yang efektif. Oleh karena itu telah
dicoba untuk mengembangkan imunoterapi bersama MDT. Dalam salah
satu hasil penelitian tersebut, dilaporkan oleh Katoch et al bahwa jika
dibandingkan dengan pengobatan MDT saja, pengobatan kombinasi MDT
dan BCG intradermal atau MDT dan suntikan mikobakterium yang cepat
tumbuh, yaitu Myobacterium intradermal menunjukan bahwa pengobatan
tersebut dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita, tidak meningkatkan
terjadinya reaksi serta membantu mempercepat terbunuhnya basil yang

hidup dan membersihkan basil yang mati dari penderita kusta tipe BL/LL
yang sebelumnya tidak pernah diobati.

Tabel 2.1
Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya

Efek samping

Nama obat

Penanganan

a) Air seni berwarna Rifampisin

Reassurance

Ringan :

merah

(menenangkan penderita
dengan penjelasan yang
benar)

b) Perubahan

warna Clofazimin

Konseling

kulit menjadi coklat

c) Masalah

Semua obat (3 obat Obat diminum bersama

gastrointestinal

dalam MDT)

dengan

makanan

atau

setelah makan
d) Anemia

Dapson

Berikan tablet Fe dan


asam folat

Serius :
a) Ruam kulit yang Dapson

Hentikan dapson, rujuk

gatal
b) Alergi, urtikaria

Dapson atau rifampisin

Hentikan

keduanya,

rujuk
c) Ikterus (kuning)

Rifampisin

Hentikan

rifampisin,

rujuk
d) Shock,
gagal ginjal

purpura, Rifampisin

Hentikan
rujuk

rifampisin,

e. Pencegahan cacat kusta dan perawatannya


Borok yang besar dan hilangnya tangan serta kaki secara perlahan-lahan yang
begitu sering terlihat pada penderita lepra, sebenarnya bukan disebabkan oleh
penyakit lepra sendiri dan hal ini dapat dicegah. Cacat ini melindungi tubuhnya
terhadap luka, karena daya rasanya telah hilang. Misalnya jika seseorang yang
sehat dengan daya tahan tubuhnya yang normal, berjalan jauh sehingga kedua
belah kakinya mulai melepuh, maka lepuhan ini menimbulkan sakit sehingga ia
berhenti berjalan atau berdiam diri. Perbuatannya ini melindungi kakinya terhadap
kerusakan yang lebih parah. Akan tetapi, pada penderita lepra yang tidak
merasakan sakit, ia akan terus berjalan sehingga lepuhan tersebut menjadi luka
yang terbuka, luka ini akan mengalami peradangan dan tidak terasa sakit,
penderita tidak melindunginya atau tidak memberikan kesempatan bagi
kesembuhan lukanya. Akibatnya, infeksi secara perlahan-lahan menjalar ke tulang
dan mulai menghancurkan tulang. Terjadilah cacat yang khas. Namun cacat ini
dapat dicegah dengan:
1) Melindungi tangan dan kaki dari benda-benda yang dapat menimbulkan
luka tajam, luka memar, lepuh dan luka bakar : jangan berjalan tanpa alas
sepatu atau alas kaki terutama di tempat yang penuh kerikil atau duri,
kenakan sepatu atau sandal, taruh bantalan yang lunak di dalam sepatu dan
di bawah tali sandal yang dapat menimbulkan gesekan. Jika anda bekerja
dengan menggunakan tangan atau memasak, gunakanlah sarung tangan,
jangan sekali-kali mengangkat panic atau barang-barang lain yang panas
tanpa pertama-tama melindungi tangan anda dengan sarung tangan yang

tebal atau dengan lipatan kain, hindarkan pekerjaan yang menggunakan


benda-benda tajam atau panas, jangan merokok
2) Pada malam hari (atau lebih sering lagi jika anda bekerja keras atau
berjalan jauh), periksalah tangan dan kaki anda dengan cermat atau suruh
orang lain memeriksanya. Tindakan ini harus dilakukan setiap hari, carilah
luka-luka karena terpotong, luka karena duri, luka memar juga periksalah
daerah pada lengan dan kaki yang kemerahan, panas, bengkak, atau
memperlihatkan tanda-tanda melepuh. Jika anda menemukan gejala
tersebut, istirahatkan tangan dan kaki anda sampai kulitnya benar-benar
pulih kembali, dengan cara ini kulit akan menebal (kapalan) dan menjadi
lebih kuat, tidak terjadi lepuh serta luka terbuka. Luka-luka pada penderita
lepra dapat dicegah.
3) Jika anda menderita borok yang terbuka atau akan menjadi borok jagalah
agar bagian tersebut selalu bersih dan istirahatkan sampai boroknya benatbenar telah sembuh kembali. Kemudian, berhati-hatilah agar tidak terjadi
luka lagi pada daerah tersebut.
Penderita yang mempunyai risiko mendapat cacat adalah :
a. Penderita yang terlambat ditemukan dan diobati dengan MDT
b. Penderita dengan reaksi terutama reaksi reversal
c. Penderita dengan banyak bercak di kulit yang terletak dekat saraf

Pencegahan cacat sebenarnya sudah dimulai sejak dari penemuan dini


penderita, dengan komponen kegiatan berikut : penemuan dini penderita sebelum
cacat, mengobati penderita dengan MDT sampai RFT, deteksi dini adanya reaksi

kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin, menangani reaksi,


penyuluhan, perawatan diri, menggunakan alat bantu untuk mencegah
bertambahnya kecacatan yang terlanjur diderita, dan rehabilitasi medis. Dengan
dilakukannya diagnosis dan penanganan penyakit kusta . secara dini kecacatan
dapat diegah sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan
dan cacat tidak kambuh lagi. (FK-UI, 2003). Pada penderita yang telah mengalami
kecacatan tetap dilakukan tindakan perawatan diri dengan tujuan agar cacatnya
tidak bertambah berat. Prinsip pencegahan bertambahnya cacat pada dasarnya
adalah 3M, yaitu melindungi mata, tangan, dan kaki dari trauma fisik, memerikasa
mata, tangan, dan kaki secara teratur, dan melakukan perawatan diri. Pada
beberapa daerah telah terbentuk adanya kelompok perawatan diri dimana petugas
kusta memperagakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan membantu
penderita untuk dapat melakukannya sendiri. (Depkes RI, 2005)

f. Pelayanan rehabilitasi
Pelayanan rehabilitasi diberikan dalam bentuk alat bantu bagi para
penderita dengan tujuan untuk mencegah kecacatan lebih parah dan memudahkan
penderita yang cacat dalam melakukan aktivitasnya. Selain itu penderita kusta
yang sudah cacat juga diberikan latihan fisioterapi untuk dapat mengembalikan
fungsi gerak bagian tubuh yang cacat (Depkes RI, 2005), kelangsungan terapi dan
rehabilitasi tidak tergantung di tangan petugas kesehatan saja, tetapi juga pada
penderita itu sendiri, keluarga dan lingkungannya, selain rehabilitasi fisik juga
diperlukan rehabilitasi mental penderita kusta sehingga penderita berperan aktif

dalam pengobatan secara teratur dana dapat menyelesaikan program pengobatan


secara tuntas (FK-UI, 2003).
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Ranjit Kumar dan Abraham
Verghase mengenai stress dan depresi dikalangan penderita kusta di Haragiri
India, dalam Rentanilawati Sibagariang (2007) menyimpulkan bahwa:
1. Citra tubuh pada penderita kusta dengan cacat lebih terganggu daripada
penderita kusta tanpa cacat
2. Derajat depresi pada penderita kusta dengan cacat lebih besar
dibandingkan tanpa cacat
3. Penderita yang semakin terganggu citranya akan semakin tinggi derajat
depresinya.

Berdasarkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit


(preventive health behaviour), Becker (1974) mengembangkan teori tersebut
menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief model). Model ini
diilustrasikan seperti diagram berikut:

Gambar 2.2
Variabel dalam health belief model

Variabel demografis (umur, jenis


kelamin, bangsa, kelompok
etnis)
Variabel sosial psikologis
(kepribadian, kelas social,
tekanan kelompok)
Variabel struktur (pengetahuan,
pengalaman sebelumnya)
Persepsi tentang
kerentanan terhadap
penyakit
Persepsi terhadap
keseriusan penyakit

Persepsi
terhadap
ancaman dari
penyakit

Persepsi terhadap
manfaat pencegahan
Kurang
Persepsi terhadap
hambatan pencegahan

Kemungkinan
mengambil
tindakan
pencegahan

Isarat untuk
bertindak
(kampanye media
massa, dorongan
dari orang lain)

Sumber : Becker, Health Belief Model and Personal Health Behaviour, 1974

Dalam model ini dijelaskan apabila individu bertindak untuk mencegah


penyakit, ada empat variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut yaitu
persepsi terhadap kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, persepsi
terhadap keseriusan

yang dirasakan dari penyakit, persepsi manfaat yang

dirasakan dan hambatan yang dirasakan dalam merubah perilaku, dan isyarat
untuk bertindak.

2.9 Aspek sosial pada penyakit kusta


Dari segala jenis penyakit di dunia ini, tidak ada satu pun yang
mengungguli penyakit kusta dalam hal aspek sosialnya. Dampak sosial akibat
penyakit kusta sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang
sangat mendalam, tidak hanya pada penderita itu sendiri, tetapi juga pada
keluarga, masyarakat dan negara. Beberapa akibat yang dialami oleh penderita
kusta karena anggapan masyarakat yang takut akan penularan kusta sehingga
diperlakukan tidak manusiawi antara lain:
a. Ditolak atau ditinggalkan oleh keluarganya
b. Dipaksa bersembunyi
c. Dikucilkan atau dipasung oleh keluarganya
d. Dibuang secara paksa
e. Dikejar-kejar atau diusir dari desa
f. Dikeluarkan dari sekolah atau tempat kerjanya
g. Ditolak bekerja dalam suatu lingkukngan pekerjaan dengan berbagai macam
alasan
h. Sukar menjual barang-barang dagangan atau hasil produksi mereka
i. Mendapat perlakuan kasar, bahkan kadang-kadang dihina

BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka konsep


Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan diatas dan teori-teori
yang menentukan terbentuknya konsep diri penderita cacat kusta serta faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri
seseorang yaitu : usia, pendidikan, status social ekonomi, hubungan keluarga,
orang lain, dan kelompok rujukan (reference group). Dan hirarki kebutuhan dasar
manusia menurut Maslow (teori kebutuhan) yaitu kebutuhan cinta dan rasa
memiliki, kebutuhan penghargaan dan harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri.
Untuk itu peneliti mengembangkan teori-teori tersebut kedalam kerangka konsep
sebagai berikut :

Gambar 3.1
kerangka konsep

Karakteristik : umur,
pendidikan, pekerjaan,
pendapatan
Pengetahuan dan sikap
tentang konsep diri

Persepsi tentang
kerentanan
penyakit
Persepsi
terhadap
keseriusan
penyakit

Persepsi tentang
konsep diri klien
dengan cacat kusta

Persepsi terhadap
manfaat
pencegahan
dikurang persepsi
terhadap hambatan
pencegahan

Gambaran konsep
diri pada
penyandang cacat
kusta

Perlakuan petugas
kelurahan dan
petugas kesehatan

Sumber : Becker, Health Belief Model and Personal Health Behaviour, 1974.

3.2 Pertanyaan penelitian


Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana konsep diri pada klien dengan
cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, kecamatan Neglasari, Tangerang?

3.3 Definisi istilah


Definisi istilah kerangka konsep diatas adalah sebagai berikut :
1. Umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan).
Seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum
cukup tinggi kedewasaannya, hal ini sebagai akibat dari pengalaman
jiwanya (Hurlock, 1998 dalam Nursalam 2001)
2. Pendidikan merupakan sebuah proses perubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan. (Meliono, irmayanti, 2007)
3. Pekerjaan merupakan cara mencari nafkah bukan sumber dari segala
keuangan (Erich dalam Nursalam, 2001)
4. Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh
seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama
pada akhir periode seperti keadaan semula. (Rustam, 2002)
5. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya seperti : mata, hidung,
telinga, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005)
6. Sikap adalah pendapat, kecenderungan, kesiapan atau kesediaan yang
mempengaruhi tingkah laku (Ahmadi, 2002)
7. Persepsi tentang kerentanan penyakit adalah apa yang dirasakan tentang
mudahnya terkena (tertular) penyakit.
8. Persepsi terhadap keseriusan penyakit adalah apa yang dirasakan terhadap
keseriusan atau kegawatan penyakit.

9. Persepsi tentang konsep diri klien dengan cacat kusta adalah persepsi
individu akan sifat dan kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang
lain, nilai yang berkaitan dengan pengalaman, tujuan serta keinginannya.
10. Persepsi terhadap manfaat dan hambatan pencegahan adalah pertimbangan
tentang manfaat dan hambatan dalam mengambil suatu tindakan
pencegahan.
11. Perlakuan petugas kelurahan adalah perlakuan atau tindakan yang
dilakukan petugas kelurahan dalam mengenali sifat dan konsep diri klien
dalam melayani masyarakatnya.
12. Perlakuan petugas kesehatan adalah perlakuan atau tindakan petugas
kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan pada penderita cacat
kusta.
13. Gambaran konsep diri pada penderita cacat kusta adalah gamabaran yang
menjelaskan semua hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan pengalaman
dengan tubuhnya sendiri yang berkaitan dengan konsep diri (Suliswati,
2005)

BAB IV
METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

4.1 Desain penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain penelitian yang
digunakan adalah deskriptif sederhana (Dempsey, 2002) yaitu menggambarkan
apa yang ada sekarang atau untuk menyebutkan pertanyaan riset yang didasarkan
pada status keadaan sekarang dan menghasilkan data kualitatif yang berupaya
untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang pengetahuan, kepercayaan,
persepsi dan sikap penderita cacat kusta tentang konsep diri. Pengumpulan data
primer dilakukan dengan telaah dokumen dan wawancara mendalam.

4.2 Lokasi penelitian


Sebelum melaksanakan penelitian yang sebenarnya, peneliti akan melakukan
uji coba wawancara mendalam terhadap dua orang informan di Padarincang,
Serang pada bulan juni tahun 2009. Dan penelitian yang sebenarnya akan
dilaksanakan di kota Tangerang, provinsi Banten, kecamatan Neglasari, desa
Karangsari RW 13 yang memiliki kriteria : jumlah penderita cacat kusta terbanyak
dan penemuan penderita secara aktif lebih banyak daripada penemuan penderita
secara pasif.

4.3 Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu
yang akan diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari tetapi seluruh

karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek tersebut (Aziz alimul
hidayat, 2003). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang.

4.4 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan cara
ditetapkan secara langsung

(purposive sampling

technique)

yaitu

cara

pengambilan sampel untuk tujuan tertentu. Pemilihan sampel penelitian


berdasarkan atas prinsip kesesuaian dan kecukupan. Kesesuaian artinya sampel
dipilih berdasarkan pengetahuan yang dimiliki yang berkaitan dengan penyakit
kusta, dan kecukupan artinya sampel dipilih dengan berbagai variasi kategori yang
terkait dengan penelitian seperti umur, pendidikan, pendapatan dan pekerjaan.
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka ditetapkan 2 kelompok informan, yaitu :
1. Kelompok informan kunci (informan yang mengetahui banyak tentang
konsep diri cacat kusta) yang berjumlah 5 orang klien yang cacat
kusta.
2. Kelompok informan pendukung yang berjumlah 2 orang terdiri dari 1
orang petugas puskesmas dan 1 orang petugas kelurahan.

Pada tabel berikut dapat dilihat sumber informasi, metode, jumlah


informan, kriteria pemilihan informan, dan tempat pengumpulan data

Tabel 4.1
Sumber informasi, metode, jumlah informan, kriteria dan tempat

Sumber informasi

Metode

Jumlah

WM

Kriteria

Tempat WM

Pengelola

Puskesmas

Informan
pendukung :
1. Petugas
puskesmas

program

kusta Neglasari

di puskesmas

2. Petugas

WM

kelurahan

Pengelola Kasi Kantor


kemasyarakatan

Karang

kelurahan
Karangsari

Sari
Informan kunci:
Klien

dengan

WM

cacat kusta

Klien

dengan Kantor

RW

cacat

13

kusta(dalam

Karangsari

tahap
pengobatan dan
RFT)

4.5 Prosedur pengumpul data


Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan lues. Metode dan
teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan
dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti (Poerwandari,
1998).

1. Pengumpul data
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan juni 2009, pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti sendiri dengan metode wawancara mendalam dan
observasi. Sebelum melakukan pengumpulan data dilakukan pertemuan
untuk membekali dan mendiskusikan tujuan penelitian, menyamakan
persepsi tentang pedoman wawancara mendalam, rancangan penelitian,
metode kualitatif dan materi tentang penyakit kusta.
2. Tahap pengumpulan data
1) Tahap persiapan pengumpulan data
Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengurus ijin
penelitian ke pihak-pihak terkait, selanjutnya akan mengadakan
pertemuan dengan informan kunci dan informan pendukung untuk
menjelaskan tujuan penelitian, kriteria, jumlah informan yang dipilih,
dan menyesuaikan jadwal.
2) Tahap pelaksanaan pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan secara bertahap yaitu : Pertama, akan
dilakukan uji coba pedoman wawancara mendalam, dari hasil uji coba
dilakukan beberapa perbaikan untuk menyempurnakan pedoman
wawancara dalam hal : bahasa yang digunakan, tingkat pemahaman
informan terhadap pertanyaan, pendalaman dan penggalian terhadap isi
pertanyaan. Kedua, akan melakukan wawancara dan telaah dokumen
monitoring pengobatan kombinasi (MDT) di puskesmas untuk
menentukan informan penderita kusta yang cacat baik dalam tahap

pengobatan maupun lepas pengobatan yang akan di wawancarai.


Ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan petugas kelurahan
bagian Kasi kemasyarakatan. Keempat melakukan wawancara
mendalam dengan klien cacat kusta, disediakan tempat tersendiri
dalam proses wawancara untuk menghindari petugas dan warga lain
yang ingin menyaksikan proses wawancara tersebut.

4.6 Instrumen data


1) Observasi
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar observasi
yang dibuat dalam bentuk catatan lapangan yang berfungsi untuk mencatat
hal-hal penting yang relevan dengan permasalahan penelitian yang tidak
didapatkan dalam wawancara. Catatan ini berisi kondisi fisik subjek,
penampilan subjek, sikap subjek selama proses wawancara berlangsung,
ekspresi verbal dan non verbal, hambatan yang muncul dan kejadiankejadian penting yang mungkin terjadi selama wawancara berlangsung.
Proses observasi ini dilakukan peneliti bersamaan dengan wawancara yang
sudah direncanakan.
2) Wawancara
Wawancara mendalam merupakan salah satu instrumen yang digunakan
peneliti dalam melakukan teknik pengumpulan data kualitatif, wawancara
dilakukan oleh peneliti dengan informan kunci dan informan pendukung.
Kerangka pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini

adalah aspek-aspek yang mempengaruhi peningkatan dan perkembangan


konsep diri yang terdiri dari :
1. Citra tubuh
a. Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol
b. Bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, serta tanda-tanda
pertumbuhan kelamin sekunder
c. Cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek
psikologis
d. Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian
tubuh
2. Citra diri
a. Cita-cita
b. Harapan,
c. Tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai
3. Harga diri
a. Kemampuan kognitif
b. Penerimaan sosial
c. Kemampuan fisik
d. Nilai diri secara global
4. Penampilan peran
a. Penerimaan individu dalam kelompok sosial
b. Peran serta individu dalam masyarakat
5. Identitas diri
a. Mengakui jenis kelamin sendiri

b. Memandang berbagai

aspek dalam dirinya sebagai

suatu

keselarasan
c. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat
d. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan.

4.7 Pengolahan dan analisis data


Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan tahap berikut :
mengumpulkan semua data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara
mendalam dalam bentuk catatan dan dilengkapi dengan informasi yang
diperoleh dari rekaman kaset, data yang sudah dikumpulkan segera dianalisis,
tidak menunggu sampai semua pengumpulan data selesai. Terlebih dahulu
dibuat transkripnya. Untuk memudahkan pengkategorian data, selanjutnya
melakukan kategorisasi data yaitu mengelompokkan data dengan memberikan
tanda pada data yang memiliki karakteristik atau pola yang sama. Hasil
pengkategorian kemudian dibuat dalam bentuk matrik atau diagram. Proses
pengolahan data akan menggunakan program EZ-Text

untuk membantu

proses analisis data, analisis data yang digunakan adalah analisis isi atau
content analysis.

4.8 validasi data


Untuk mendapatkan data yang valid dilakukan triangulasi. Pada penelitian
ini akan dilakukan triangulasi sumber dan metode. Triangulasi sumber yaitu
melakukan cross check data yang diperoleh dari beberapa sumber informasi
(informan). Dan triangulasi metode yaitu penelitian dilakukan dengan

menggunakan wawancara mendalam. Untuk uji validitas, peneliti melakukan


wawancara mendalam dengan informan yang memiliki kriteria sama namun di
tempat yang berbeda. (Sudarti Kresno, 1999)

4.9 Sarana penelitian


Sarana yang diperlukan dalam penelitian ini adalah alat-alat tulis, lembar
observasi dan tape recorder untuk pedoman wawancara. Selain itu juga
diperlukan surat ijin penelitian.

4.10

Etika penelitian
Penelitian yang dilakukan telah mendapat ijin dari ketua RW 13 kelurahan

Karang Sari, Neglasari, Tangerang melalui surat pengantar dari kepala Dinkes
kota Tangerang. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan
pendekatan terhadap informan berupa wawancara sesuai dengan kriteria dan
aspek pedoman wawancara, peneliti menjelaskan hak-hak klien dalam
penelitian meliputi : tujuan penelitian, manfaat penelitian, jaminan
kerahasiaan informan, dan terbebas dari bahaya seperti rasa nyeri, peneliti
selanjutnya meminta kerelaan informan penelitian untuk menandatangani
lembar informed consent sebagai bukti kesediaan informan. Kerahasiaan data
dan informasi informan dijamin sepenuhnya oleh peneliti. Semua berkas yang
mencantumkan identitas informan dan tempat penelitian hanya untuk
pengolahan data. Data akan disimpan dalam lemari terkunci dan dijaga
kerahasiaannya.

Você também pode gostar