Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Disusun Oleh:
ROHMATIKA
NIM : 105104003482
SURAT PERNYATAAN
: Rohmatika
NIM
: 105104003482
Mahasiswa program
: Ilmu keperawatan
Tahun akademik
: 2005
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi
saya yang berjudul :
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT
KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN
NEGLASARI, TANGERANG TAHUN 2009.
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya
akan menerima sangsi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Jakarta,
Nopember 2009
(Rohmatika)
ABSTRAK
Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang belum dapat diatasi
secara tuntas, salahsatu kendalanya adalah adanya anggapan yang keliru dari
masyarkat yang menganggap penyakit kusta adalah penyakit kutukan, keturunan
dan menimbulkan kecacatan yang menetap. Akibat anggapan yang salah ini
penderita kusta merasa putus asa dan tidak tekun berobat. Pasien kusta akan
mengalami beberapa masalah baik secara fisik, psikologi, sosial dan ekonomi
sehingga masalah tersebut beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial.
Laporan WHO (1997) menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3
dunia sebagai Negara yang memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan
Brazilia. Berdasarkan data tahun 2006-2007 menurut Kepala Bagian Perencanaan
Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Sintanala, Tangerang, tercatat 279 penderita
pada tahun 2006 meningkat menjadi 296 orang sampai pada tahun 2007. Penyakit
infeksi ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti,
terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan angka prevalensi kusta
selama periode 2000-2007. Konsep diri klien kusta terbentuk dari penerimaan
masyarakat terhadap penderita kusta. Namun sampai saat ini sangat sedikit
penelitian yang menggali masalah konsep diri panderita cacat kusta. Dampak
sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan
keresahan yang mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarga, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku
penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita
masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular,
dan tidak dapat diobati.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep
diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW13, kecamatan
Neglasari, Tangerang. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi yang mendalam tentang pengetahuan, persepsi konsep diri, sikap
masyarakat terhadap penderita kusta yang berhubungan dengan terjadinya
Leprofobia. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Karangsari RW13, Kodya
Tangerang dengan menggunakan metode kualitatif, dimana pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Informan kunci adalah
klien cacat kusta tingkat II sebanyak 5 orang dan informan terdiri dari petugas
puskesmas Neglasari dan kelurahan Karangsari.
Hasil penelitian menunjukan bahwa konsep diri klien cacat kusta terjadi
karena persepsi masyarakat tentang kusta dan sikap masyarakat yang takut tertular
ketika melihat kecacatan yang ditimbulkan oleh penyakit kusta. Ditemukan juga
bahwa sikap negatif terhadap kehadiran penderita kusta adalah pernikahan dengan
keluarga penderita kusta, namun dalam kegiatan sosial seperti syukuran dan
kegiatan agama umumnya menunjukan sikap positif dari masyarakat. Umumnya
informan memiliki konsep diri positif, mereka menerima kecacatannya dan
mampu mengungkapkan kepribadiannya melalui wawancara. Dengan demikian
disarankan untuk Melakukan promosi kesehatan dan upaya preventif secara
terpadu melalui program pelatihan khusus perawatan cacat kusta bagi petugas
puskesmas dengan pemeriksaan kecacatan tingkat II atau POD (Prevention Of
dissability). Meningkatkan pengetahuan melalui penyuluhan serta melibatkan
penderita cacat kusta sebagai role model dalam pendidikan kesehatan. Sebaiknya
dibuat data surveilance untuk memudahkan puskesmas dalam menemukan kasus
secara dini bagi pasien terdaftar dan baru segera ditulis dalam sensus data pasien
terdaftar dan baru karena dapat mempermudah telaah dokumen. Serta penyuluhan
imunisasi BCG. Lebih lanjut, pencegahan dan perawatan cacat kusta secara dini
oleh petugas kesehatan dan peran serta masyarakat merupakan hal yang
terpenting.
Daftar bacaan: 26 (1974-2008)
concept, they receive a disability and able to express her personality through
interviews. Thus advisable to conduct health promotion and preventive efforts in
an integrated manner through a special training program for the treatment of
leprosy disability health officers with inspection level II disability or POD
(Prevention Of disability). Increased knowledge through counseling and involve
people with disabilities of leprosy as a role model in health education.
Surveillance data should be made to facilitate the clinic in early case finding for
patients newly registered and immediately recorded in the census data and newly
registered patient as it can facilitate the study of documents. BCG immunization
and counseling. Furthermore, the prevention and treatment of leprosy disabilities
at an early stage by health workers and community participation is the most
important thing.
Reference : 26 (1974-2008)
SKRIPSI
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI,
TANGERANG TAHUN 2009
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan ( S.Kep )
Oleh
Rohmatika
NIM : 105104003482
Pembimbing I
Pembimbing II
Bambang P. Cadrana,
SKM, M.KM
NIP. 150409469
19690205199403 1 003
NIP.
Penguji I
NIP.
Penguji II
NIP.
Penguji III
NIP.
Nama
: Rohmatika
Agama
: Islam
Alamat
Panyirapan
Kecamatan Baros, Serang-Banten 42173
Telp
Riwayat pendidikan
Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(2005-2009)
PERSEMBAHAN
Tentang Waktu
Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan.
Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahsia dari masa muda yang abadi.
Ambillah waktu untuk berdoa, itu adalah sumber ketenangan.
Ambillah waktu untuk belajar, itu adalah sumber kebijaksanaan.
Ambillah waktu untuk mencintai dan dicintai, itu adalah hak istimewa yang
diberikan Tuhan.
Ambillah waktu untuk bersahabat, itu adalah jalan menuju kebahagiaan.
Ambillah waktu untuk tertawa, itu adalah musik yang menggetarkan hati.
Ambillah waktu untuk memberi, itu adalah membuat hidup terasa bererti.
Ambillah waktu untuk bekerja, itu adalah nilai keberhasilan.
Ambillah waktu untuk beramal, itu adalah kunci menuju syurga.
Harta yang paling menguntungkan ialah SABAR. Teman yang paling akrab
adalah AMAL. Pengawal peribadi yang paling waspada DIAM. Bahasa yang
paling manis SENYUM. Dan ibadah yang paling indah tentunya KHUSYUK.
Wanita yang cantik tanpa peribadi yang mulia ,umpama kaca mata yang bersinarbersinar, tetapi tidak melihat apa-apa
Jangan sekali-kali kita meremehkan sesuatu perbuatan baik walaupun hanya sekadar
senyuman.
Anda bukan apa yang anda fikirkan tentang anda, tetapi apa yang anda fikirkan
itulah anda
Hidup tak selalunya indah tapi yang indah itu tetap hidup dalam kenangan.
Hidup memerlukan pengorbananan. Pengorbanan memerlukan perjuangan.
Perjuangan memerlukan ketabahan.
Ketabahan memerlukan keyakinan. Keyakinan pula menentukan kejayaan.
Kejayaan pula akan menentukan kebahagiaan.
Kekayaan bukanlah satu dosa dan kecantikan bukanlah satu kesalahan.
Oleh itu jika anda memiliki kedua-duanya janganlah anda lupa pada Yang Maha
Berkuasa.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan InayahNya saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Gambaran Konsep Diri
Pada Klien Dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan
Neglasari, Tangerang Tahun 2009. Shalawat dan salam senantiasa kita
junjungkan kehadirat Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Adapun skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Keperawatan (S.Kep).
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Pada kesempatan ini saya mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Bapak dan ibu saya yang selalu mendoakan dan memberi semangat
dalam setiap waktunya.
2. Terimakasih untuk bapak dekan FKIK Prof.DR.Dr.MK Tadjudin, Sp.
And
3. Pak Bambang, yang dengan sabar membimbing, memotivasi dan
memberi masukan untuk proses pengerjaan skripsi ini.
4. Pak jamaludin, terimakasih telah bersedia membimbing dan memberikan
masukan untuk skripsi ini.
5. Terimakasihku yang tak terhingga untuk ibu Tien Gartinah dan seluruh
dosen program studi ilmu keperawatan yang telah mentransfer ilmunya
dan membimbing kami dalam segala hal.
6. Terimakasih buat ibu Sri Dian (Kasi kemasyarakatan kelurahan
Karangsari), ibu Alin (Surveilance TB, kusta Puskesmas Neglasari), ibu
Sri dan pak RW 13 sebagai pembimbing lapangan, yang telah bersedia
memberikan data-data untuk kelancaran penelitian.
Tim Penyusun
Rohmatika
DAFTAR ISI
ABSTRAK
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KATA
PENGANTARi
DAFTAR
ISI.iii
DAFTAR
TABEL...viii
DAFTAR
GAMBAR.................ix
DAFTAR
SINGKATANx
DAFTAR
LAMPIRANxii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang.1
1.2
Identifikasi masalah.8
1.3
Perumusan masalah..8
1.4
2.2
2.3
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
Kerangka konsep..64
3.2
Pertanyaan penelitian65
3.3
Definisi istilah..66
Desain penelitian68
4.2
Lokasi penelitian68
4.3
Populasi.68
4.4
Sampel...69
4.5
4.6
Instrumen data....72
4.7
4.8
Validasi data74
4.9
Sarana penelitian.75
4.10
Etika penelitian75
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan penelitian. 126
6.2 Pengetahuan tentang penyakit kusta..126
6.3 Persepsi konsep diri klien kusta.127
6.4 Persepsi tentang bahaya kusta128
6.5 Sikap masyarakat terhadap kusta129
6.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada klien kust129
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Halaman
1.1
2.1
4.1
temp70
5.1
tahun 2009...77
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Halaman
1.1
1.2
1.3
2.1
2.2
3.1
DAFTAR SINGKATAN
3M
BB
: Borderline-Borderline
BL
: Borderline Lepromatous
BT
: Borderline Tuberkuloid
BTA
COT
: Completion Of Treatment
DADDS
: Diasetil-Diamino-Difenil-Sulfon
DDS
DNA
: Deoxyribonucleic acid
Depkes RI
Dinkes
: Dinas Kesehatan
Ditjen
: Direktur Jendral
FK UI
: Indeterminate
LL
: Lepromatous-Lepromatous
LI
: Lepromatosa Indefinite
M.Leprae
: Myobacterium Leprae
MB
: Multi Basiler
MDT
NCDR
: Proporsi
PB
: Pauci Bacillary
PABA
PPM & PL
Lingkungan
Puskesmas
: Rasio
RFT
RFC
RNA
: Ribonucleic acid
RW
: Rukun Warga
TEN
TI
: Tuberkuloid Indefinitif
TT
: Tuberkuloid-Tuberkuloid
SD
: Sekolah Dasar
SLTP
SLTA
WHO
WM
: Wawancara Mendalam
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor lampiran
1. Lembar chek list
2. Pedoman wawancara mendalam informan petugas puskesmas
3. Pedoman wawancara mendalam informan petugas kelurahan
Karangsari
4. Pedoman wawancara mendalam informan klien cacat kusta
5. Lembar persetujuan responden
6. Lampiran 6
7. Matriks pengetahuan informan tentang penyakit kusta
8. Matriks persepsi informan tentang penyakit kusta
9. Matriks persepsi konsep diri klien kusta, petugas puskesmas dan
kelurahan
10. Matriks sikap masyarakat terhadap penderita kusta
11. Matriks penyuluhan penyakit kusta
12. Kesimpulan matriks
BAB I
PENDAHULUAN
penduduk dan penderita baru dengan tipe MB sebanyak 15 orang dari 1.412.539
penduduk, cacat tingkat II sebanyak 13,3%, antara usia 0-<15 tahun.
Peneliti belum mendapatkan penelitian yang khusus meneliti tentang
gambaran konsep diri pada klien dengan cacat kusta. Adapun penelitian yang
yang berkaitan dengan penyakit kusta disampaikan oleh Tarusaraya dan Halim
(1996) dengan judul penelitian kecacatan pasien kusta di RSK Sitanala
Tangerang. Hasil penelitian dari 1153 penderita kusta di unit rawat jalan RSK
Sitanala Tangerang selama bulan maret 1996 adalah sebagai berikut : pasien baru
yang cacat adalah 84 dari 113 orang (74,34 %), pasien lama yang cacat adalah 761
dari 1040 orang (73,17 %), laki-laki lebih banyak cacat 618 dari 809 orang (76,39
%) dan wanita 227 dari 344 orang (65,99 %). Hasil yang didapatkan menurut
klasifikasi cacat WHO (1988) adalah cacat mata: tingkat 0 (95,32 %), tingkat I
(3,56 %), tingkat II (1,12 %), cacat tangan: tingkat 0 (54,90 %), tingkat I (12,58
%), tingkat II (32,53 %) dan cacat kaki: tingkat 0 (50,99 %), tingkat I (30,36 %),
tingkat II (18,65 %).
Selain itu juga berdasarkan abstrak penelitian yang disampaikan oleh
Unarat (2000) dengan judul Konsep Diri dan Mutu Hidup Pasien Lepra pada
daerah pusat lepra lima Nakhon Ratchasima di daerah pusat lepra lima provinsi
Nakhon Ratchasima. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari jumlah responden
yang berjumlah 54 orang terdapat sekitar 98,18 % pasien lepra mempunyai hal
konsep diri positif dan 72,2 % tingkat mutu hidup lemah atau miskin dalam hal
hubungan sosial. Wawancara yang mendalam mengungkapkan tekanan pada
pasien akibat dari kelainan bentuk fisik akibat penyakit dan cacat diri pasien lepra
akan mengakibatkan kekurangan dalam berinteraksi sosial. Korelasi antara konsep
diri dan mutu hidup kuat dan positif yaitu dengan nilai r = 0,30 dan p = 0,028.
Rehabilitasi mental dan pendidikan kesehatan dapat mempromosikan mutu hidup.
Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang masih belum dapat
diatasi secara tuntas, salah satu kendalanya adalah masih adanya anggapan yang
keliru dari masyarakat yang menganggap penyakit kusta sebagai kutukan Tuhan,
penyakit keturunan akibat guna-guna, sangat menular, dan tidak dapat
disembuhkan sehingga banyak penderita kusta tidak mau melakukan pengobatan
atau apabila sudah pernah berobat penderita kurang disiplin dalam menjalani
perawatan dan pengobatannya (Kompas, 2003).
Pasien kusta akan mengalami beberapa masalah baik secara fisik,
psikologi, sosial, dan ekonomi. Hal ini biasanya timbul akibat pasien kusta tidak
ingin berobat dan terlambat berobat sehingga menimbulkan cacat yang menetap
dan mengerikan. Hal ini disebabkan karena biasanya manifestasi klinis yang
terlihat pada kulit pasien adalah bercak-bercak putih kemerahan, benjolanbenjolan, hidung pelana, telinga memanjang, jari tangan dan jari kaki terputus,
terdapat luka-luka, dan adanya bekas amputasi, sehingga memberikan gambaran
yang menakutkan, manifestasi klinis tersebut akan menimbulkan perasaan malu,
rendah diri, depresi, menyendiri, atau menolak diri, serta masyarakat akan
mengucilkan pasien kusta sehingga sulit mencari pekerjaan akhirnya akan
menimbulkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi.
Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga
menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita
sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari
konsep perilaku penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk
kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan
penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis
dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta
merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kenyataan bahwa penyakit kusta mempunyai kedudukan yang khusus
diantara penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya
leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul
karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan
sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan
upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan tidak
rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah
kesehatan ke masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh
lapisan masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan
dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan
masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai
pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit
kusta. Selama masyarakat kita menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini
akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat
adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan
secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.
Dengan kemajuan teknologi dibidang promotif, pencegahan, pengobatan
serta pemulihan kesehatan dibidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah
dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Akan tetapi mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan
program
penanggulangan
pemberantasan,
secara
rehabilitasi
terpadu
medis,
dan
rehabilitasi
menyeluruh
sosial
dalam
ekonomi
hal
dan
3. Jelaskan gambaran karakteristik ideal diri pada klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun
2009.
4. Jelaskan gambaran karakteristik harga diri pada klien dengan cacat kusta
di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun
2009.
5. Jelaskan gambaran karakteristik penampilan peran pada klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang
Tahun 2009.
6. Jelaskan gambaran karakteristik identitas personal pada klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang
Tahun 2009.
7. Jelaskan gambaran aspek positif konsep diri yang dimiliki klien dengan
cacat kusta di
5) Untuk program
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinkes kota
Tangerang dalam upaya menanggulangi dan mengurangi masalah
cacat kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
individu
tentang dirinya
dan
berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 2006). Hal ini temasuk
persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan
lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek,tujuan serta
keinginannya. Sedangkan menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan
bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik
fisikal emosional intelektual, sosial dan spiritual
Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual (psikologi keperawatan,
2004). Beberapa hal yang perlu dipahami dalam konsep diri yaitu: dipelajari
melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara
bertahap, diawali pada waktu bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dan
orang lain, positif ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan
lingkungan, negativ ditandai dengan hubungan induvidu dan hubungan social
yang maladaptiv, merupakan aspek kritikal dan dasar dari pembentukan perilaku
idividu, berkembang dengan cepat bersama-sama dengan perkembangan bicara,
terbentuk karena peran keluarga khususnya pada masa anak-anak yang mendasari
dan membantu perkembangannya
memandang saya sebagai seorang yang percaya diri. Setiap individu juga
mengembangkan sikap-sikap menuntut bagaimana orang lain memandang atau
menganggap dirinya, lalu dia cenderung berbuat sesuai dengan anggapan dan
persepsi yang diterimanya.
Dimensi ketiga citra diri, yaitu diri-idaman, mengacu pada tipe orang yang
saya kehendaki tentang diri saya. Aspirasi-aspirasi, tujuan dan angan-angan
semuanya tercermin melalui diri idaman, ini agaknya terungkap dalam
pertanyaansaya sepertinya akan menjadi orang kaya. Diri idaman adalah perlu
dalam penentuan cita-cita hidup, sudah tentu tujuan atau ideal yang terlalu jauh
atau tidak mungkin terjangkau merupakan citra diri yang tidak sehat.
Bagian yang lebih spesifik dari citra diri menurut Eisenberg dan Delaney
berkenaan dengan apa yang diketahui dan diyakini individu. Pandangan khusus
seseorang berkenaan dengan diri meliputi penilaian deskriptif mengenai
kemampuan dan keterbatasan, minat dan bukan minat, dan pola tingkah laku
dominan. Ini mencakup pandangan terhadap diri sekarang dan harapan serta
anggapan bagi masa depan.
diri sebagai system sikap pandang terhadap diri seseorang dan merupakan
dasar bagi semua tingkah laku, dijelaskan secara langsung oleh Ariety
(1967) bahwathe self-concept is basic in all behavior.bahwa citra diri
juga menentukan tingkah laku untuk masa depan seseorang terungkap
dalam pernyataan Eisenberg dan Delaney.
Kaitannya dengan hubungan antar pribadi, Ariety menjelaskan
lebih lanjut bahwa perasaan, ide, pilihan-pilihan, tindakan manusia,
mencapai perkembangan setinggi-tingginya dalam suasana hubungan
sosial tetapi kuncinya terletak pada kedalaman hubungan pribadi, jika
hendak ditemukan bentuk-bentuk sehat mental dan sakit mental dalam
dialog antarpribadi yang baik maka yang terdapat dalam diri individu yang
sudah lama terbentuk itulah yang terpenting guna memulai dialog. Dalam
uraian Ariety ini terungkap kesan bahwa peranan khusus citra diri adalah
menunjukan gambaran mental individu yang sehat dan yang sakit dan
dapat diketahui melalui dialog antarpribadi.
pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain dan interaksi dengan dunia
diluar dirinya. Konsep diri berkembang terus mulai dari bayi hingga usia tua.
Pengalaman dalam keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena
keluarga dapat memberikan perasaan mampu dan tidak mampu, perasaan diterima
atau ditolak dan dalam keluarga individu mempunyai kesempatan untuk
mengidentifikasi dan meniru perilaku orang lain yang diinginkannya serta
merupakan pendorong yang kuat agar individu mencapai tujuan yang sesuai atau
pengharapan yang pantas. Dengan demikian jelas bahwa kebudayaan dan
sosialisasi mempengaruhi konsep diri dan perkembangan kepribadian seseorang.
Seseorang dengan konsep diri positif dapat mengeksplorasi dunianya
secara terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya sukses, konsep diri
yang positif berasal dari pengalaman yang positif yang mengarah pada
kemampuan pemahaman. Karakter individu dengan konsep diri yang positif:
1. Mampu membina hubungan pribadi, mempunyai teman dan gampang
bersahabat.
2. Mampu berfikir dan membuat keputusan
3. Dapat beradaptasi dan menguasai lingkungan
Konsep diri negativ dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang
maladaptiv. Setiap individu dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai
stressor, dengan adanya stressor akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri
sendiri.
Dalam
usaha
mengatasi
ketidakseimbangan
tersebut
individu
merusak. Koping yang konstruktif akan menghasilkan respon yang adaptif yaitu
aktualisasi diri dan konsep diri yang positif.
Adapun
faktor-faktor
yang
memepengaruhi
pembentukan
dan
sehingga
cenderung
berperilaku
kurang
dapat
sosial
seseorang
memengaruhi
bagaimana
akan
mempunyai
konsep
diri
yang
lebih
positif
memperbaiki
dirinya
karena
ia
sanggup
6. Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi
orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
7. Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima
penghargaan tanpa merasa bersalah.
8. Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9. Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai
dorongan dan keinginan dari perasaan marah, dari sedih sampai bahagia,
dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam juga.
10. Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang
meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan
atau sekedar mengisi waktu.
11. Peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah
diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenangsenang dengan mengorbankan orang lain.
ia akan
1) Operasi.
mastektomi, amputsi ,luka operasi yang semuanya mengubah gambaran
diri. Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, dan lain lain.
2) Kegagalan fungsi tubuh.
Seperti hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonlisasi yaitu
tadak mengkui atau asing dengan bagian tubuh, sering berkaitan dengan
fungsi saraf.
3) Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh
Seperti sering terjadi pada klien gangguan jiwa , klien mempersiapkan
penampilan dan pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.
4) Tergantung pada mesin.
Seperti : klien intensif care yang memandang imobilisasi sebagai
tantangan, akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik yang
enggan menggunakan intensif care dipandang sebagai gangguan.
5) Perubahan tubuh
Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan
merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia.
Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif.
Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh
yang tidak ideal.
6) Umpan balik interpersonal yang negatif
Umpan balik ini adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian
sehingga dapat membuat seseorang menarik diri.
memberi
rasa
aman
dalam
menghindari
kecemasan
dan
cenderung
menetapkan
tujuan
yang
sesuai
dengan
kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas. Ideal diri
harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri, tetapi tidak terlalu
tinggi, terlalu menuntut, samar-samar. Ideal diri berperan sebagai pengatur
internal dan membantu individu mempertahankan kemampuannya menghadapi
konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk
mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ideal diri sebagai berikut:
a. Menetapkan ideal diri sebatas kemampuan
b. Faktor kultur dibandingkan dengan standar orang lain
c. Hasrat melebihi orang lain
d. Hasrat untuk berhasil
e. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistis
memutuskan
sendiri
akan
bertanggung
jawab
terhadap
Faktor predisposisi ganguan harga diri antara lain: penolakan dari orang
lain, kurang penghargaan, pola asuh yang salah yang terlalu dilarang, terlalu
dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten, persaingan antar
saudara, kesalahan dan kegagalan yang berulang dan tidak mampu mencapai
standar yang ditentukan. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan harga diri
rendah antara lain: mengkritik diri sendiri, merasa bersalah dan khawatir, merasa
tidak mampu, menunda keputusan, gangguan berhubungan, menarik diri dari
realita, merusak diri, membesar-besarkan diri sebagai orang penting, perasaan
negative terhadap tubuh, ketegangan peran, psimis menghadapi hidup, keluhan
fisik, dan penyalahgunaan zat
Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian.
Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia. Untuk meningkatkan harga
diri anak diberi kesempatan untuk sukses, beri penguatan atau pujian bila sukses,
tanamkan ideal atau harapan jangan terlalu tinggi dan sesuaikan dengan budaya,
berikan dorongan untuk aspirasi atau cita-citanya dan membantu membentuk
pertahanan diri untuk hal-hal yang menggangu persepsinya.
Harga diri sangat mengancam pada masa pubertas, karena pada saat ini
harga diri mengalami perubahan, karena banyak keputusan yang harus dibuat
menyangkut dirinya sendiri. Remaja dituntut untuk menentukan pilihan, posisi
peran dan memutuskan apakah mampu meraih sukses dari suatu bidang tertentu,
apakah dapat berpartisipasi atau diterima diberbagi macam aktivitas sosial. Pada
usia dewasa harga diri menjadi stabil dan memberikan gambaran yang jelas
tentang dirinya dan cenderung lebih mampu menerima keberadaan dirinya. Hal ini
didapatkan dari pengalaman menghadapi kekurangan diri dan meningkatkan
kemampuan secara maksimal kelebihan dirinya. Pada masa dewasa akhir timbul
masalah harga diri karena adanya tantangan baru sehubungan dengan
ketidakmampuan fisik, berpisah dari anak, dan kehilangan pasangan.
Adapun cara untuk meningkatkan harga diri adalah sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan untuk berhasil
b. Memberikan pengakuan dan pujian
c. Mananamkan gagasan yang dapat memotivasi kreativitas seseorang untuk
berkembang
d. Mendorong aspirasi atau cita-citanya
e. Menanggapi pertanyaan dan pendapa tdengan cara member penjelasan
yang sesuai
f. Memberikan dukungan untuk aspirasi yang positif sehingga seorang
memandang dirinya diterima dan bermakna
g. Membantu pembentukan koping.
terjadi
jika
seorang individu
memiliki
banyak
peran
dalam
kehidupannya.
Menurut Stuart dan Sundeen (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri individu terhadap peran, sebagai berikut:
a. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran
b. Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap
perannya
c. Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya
d. Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap perilaku
e. Pemisahan situasi yang akan menciptakan penampilan peran yang tidak
sesuai
Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran,
baik yang sifatnya menetap atau sementara karena situasional. Hal ini, biasanya
status
menyebabkan
perubahan
peran
yang dapat
berkembang
sejak
masa
anak-anak
bersamaan
dengan
perkembangan konsep diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti
dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri
dan menerima diri. Ciri-ciri individu yang mempunyai identitas diri positif
antara lain:
a. Mengenal diri sebagai organisme yang utuh terpisah dari orang lain
b. Mengakui jenis kelamin sendiri
c. Memandang berbagai
aspek
dalam
dirinya
sebagai
suatu
keselarasan
d. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat
e. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang
f. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan
Diagram 2.1
Hirarki kebetuhan dasar menurut Maslow
aktualisasi diri
harga diri
cinta dan rasa memiliki
keselamatan dan keamanan
kebutuhan fisiologis
Hirarki Maslow tentang kebutuhan (Perry & Potter, 2005)
kemudian
mencari
hubungan
antara
komponen-
mengelompokkan,
membuat
diagram
terhadap
orang
lain
dan
mengajak,
mempengaruhi
atau
Cacat tubuh atau tunadaksa menurut Hallahan (dalam Dahlan, 1999) yaitu
seseorang yang mengalami kelainan atau kecacatan pada bentuk, fungsi, system
otot, tulang dan persendian, yang bersifat primer atau sekunder yang
mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan
gangguan perkembangan pribadi.
a. Jenis-jenis cacat tubuh
Di Indonesia dikenal ada dua jenis penderita cacat tubuh , yaitu yang biasa
disebut tunadaksa D dan tunadaksa D1 (Sumiati, 2000) :
1. Penderita tunadaksa D ialah orang yang menderita cacat polio atau
lainnya, sehingga mengalami tidak normalnya fungsi tulang, otot-otot atau
kerjasama fungsi otot-otot. Pada umumnya penderita ini mempunyai
kemampuan kecerdasan yang normal.
2. Penderita tunadaksa D1 ialah orang yang menderita cacat akibat kerusakan
otak karena tidak berfungsinya otak, seperti penderita cerebral palsy yang
mengakibatkan kelumpuhan, kekakuan dan kurangya koordinasi motorik.
Karena ada gangguan pada otak, maka sebagian besar dari penderita ini
mempunyai kemampuan kecerdasan yang tidak normal (dibawah rata-rata
atau terbelakang). Dalam sampel penelitian ini penulis mengkhususkan
pada penderita tunadaksa D.
b. Derajat kelainan fisik
Penderita tunadaksa D secara fisik dapat dibedakan antara lain:
1. Kelainan pada separuh badan: tangan kanan dan kaki kanan, atau
tangan kiri dan kaki kiri
2. Kelainan pada kedua buah tangannya
3.) Cacat berat adalah mereka yang tidak dapat melakukan sebagian
besar atau seluruh kegiatan sehari-hari
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
penderita cacat tubuh pada penelitian ini ialah penderita cacat tubuh yang
disebabkan penyakit kusta
c. Cacat tubuh pada penderita kusta
Yawalkar, 1988 dikutip dari Tarusuraya dan Halim, 1996 mengemukakan
bahwa klien kusta sering mengalami deformitas sebagai komplikasi yang berupa
kecacatan pada bagian-bagian tubuh klien, seperti:
1) Pada wajah berupa muka seperti topeng (mask face) kelopak mata tidak
menutup sempurna (lagopthalmus), alis mata tidak ada (madarosis), kulit
wajah keriput seperti orang tua (wrinkling/sagging face), pangkal hidung
cekung (saddle hole), daun telinga membesar (megalobule), ulkus kornea,
kekerutan kornea, gangguan penglihatan atau penurunan visus, fotofobia
pada kasus iritis atau iridociclitis.
2) Pada tangan berupa jari-jari tangan kontraktur (claw hand), jari-jari tangan
hilang (mutilasi), jari-jari tangan memendek tetapi masih tampak sisa kuku
(absorpsi), ibu jari tidak dapat diluruskan (claw thumb), otot-otot di
dorsum manus antara jari satu dan dua terlihat kolong (athrophy web),
gerakan dorsofleksi pergelangan tangan tidak ada (drop hand), kekakuan
pergelangan tangan sehingga tidak dapat digerakan (wrist drop).
3) Pada kaki berupa kaki tidak dapat dorsofleksi (foot drop), jari-jari kaki
menekuk ke bawah (claw toes), tampak luka pada kaki (ulkus plantaris),
bentuk kaki pendek (absorpsi), luka pada daerah tungkai bawah akibat
vaskularisasi kurang (static ulcer)
WHO 1988 dikutip dari tarusuraya dan halim, 1996 mengemukakan
tentang klasifikasi kecacatan pada kusta adalah :
1. Tangan dan kaki
1) Tingkat 0 : tidak ada anestesi, tidak tampak deformitas dan
kerusakan
2) Tingkat I : terdapat anestesi tetapi tidak tampak, Deformitas dan
kerusakan
3) Tingkat II : tampak deformitas/kerusakan (adanya ulkus, absorpsi,
disorganisasi, kekakuan sendi dan mobilisasi
2. Mata
1) Tingkat 0 : tidak ada masalah dengan mata akibat kusta dan tidak
ada kelainan visus
2) Tingkat I : adanya problem mata akibat kusta tetapi visus tidak
terlalu buruk, masih lebih dari 6/60
3) Tingkat II : adanya problem mata akibat kusta dan visus kurang
dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pemeriksa dari jarak enam
meter.
d. Konsep diri pada penderita cacat tubuh akibat kusta
Menurut Adler (dalam Suryabrata, 2001), manusia cenderung untuk
mengimbangi kekurangan yang dimilikinya dengan sesuatu yang lebih
(kompensasi). Selanjutnya Adler (dalam Suryabrata, 2001) menemukan bahwa
orang
yang
mempunyai
organ
yang
kurang
baik
itu
berusaha
mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut melalui latihanlatihan yang intensif. Hubungannya dengan rasa rendah diri, Adler memperluas
pendapatnya tentang rasa rendah diri itu mencakup segala rasa kurang berharga
yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa scara
subjektif, ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna (Suryabrata,
2001). Perasaan rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau
kurang mampu bukanlah suatu pertanda ketidaknormalan, melainkan justru
sebagai pendorong bagi segala perbaikan dalam kehidupan manusia.
sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit kusta (Depkes RI, 2005).
Hal ini bergantung pada faktor antara lain:
1. Patogenitas kuman penyabab
2. Cara penularan
3. Hygiene dan sanitasi
4. Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan
5. Keadaan sosial ekonomi
6. Sumber penularan
7. Daya tahan tubuh
Sumber dan cara penularan penyakit kusta saat ini adalah manusia
walaupun kuman kusta dapat hidup pada hewan seperti Armadillo, Simpanse, dan
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. Penyakit kusta paling
banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembap,
kemungkinan karena perkembangbiakan bakteri sesuai dengan iklim tersebut.
Disamping itu, faktor kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit.
Kusta bukan penyakit keturunan, kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu. Jarang didapat dalam urin. Sputum
dapat banyak mengandung M. Leprae yang berasal dari saluran napas atas, tidak
semua kuman kusta dapat menularkan penyakit. Hal ini terkait dengan resistensi
tubuh penderita kusta, keteraturan pengobatan dan jenis obat yang dipakai, serta
keutuhan kuman kusta (solid basillus). Kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh
melalui beberapa cara diantaranya melalui kulit yang tidak utuh, saluran napas,
atau saluran pencernaan. Setelah masuk kedalam tubuh kuman menuju tempat
predileksinya, yaitu sel Schwann pada saraf tepi, didalam sel inilah kuman
berkembangbiak. Sel tersebut pecah dan kemudian menginfeksi sel Schwann yang
lain atau ke kulit. Perkembangan penyakit kusta ini bergantung pada kerentanan
seseorang, respon tubuh setelah masa tunas bergantung pada derajat system
imunitas seluler (celluler mediated immune) pasien, jika system imun seluler
tinggi penyakit berkembang kearah tipe tuberkuloid dan bila rendah berkembang
kearah tipe lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah yang relative lebih
dingin yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
c.
pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan
fisik saja. Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukan gejala klinis kusta
dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan. Gejala
dan keluhan penyakit bergantung pada multiplikasi dan desiminasi kuman M.
Leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. Leprae, komplikasi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. Ada tiga tanda pasti kusta yaitu:
1) Kulit dengan bercak putih kemerahan dengan mati rasa
2) Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan, kaki, dan mata
3) Adanya kuman tahan asam pada pemeriksaan kerokan kulit BTA positif
lima
kelompok
berdasarkan
gambaran
klinik,
bakteriologik,
dapat
ditemukan
lesi
yang
mengalami
regresi
atau
muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonina yang dapat
disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi
deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe,
orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atropi testis. Kerusakan saraf
dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.
Bila penyakit ini menjadi progresif, macula dan papula baru
muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plak dan nodul. Pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi
hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot
pada tangan dan kaki. Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak
termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling tetapi diterima secara
luas oleh para ahli kusta adalah tipe indeterminate (I), tipe ini ditandai
dengan jumlah lesi sedikit, asimetrik, macula hipopigmentasi dengan
sisik yang sedikit, kulit sekitar normal, lokalisasi biasanya dibagian
ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat
ditemukan bentuk macula hipestesi atau sedikit penebalan saraf.
Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan
histopatologik didapatkan basil atau terdapat infiltrat di sekitar saraf.
Pada 20-80% kasus penderita kusta didapatkan tipe ini merupakan
tanda pertama dan sebagian besar akan sembuh spontan.
Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang:
1. Mata: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
2. Tulang rawan: epistaksis, hidung pelana
3. Tulang dan sendi: absorbsi, mutilasi arthritis
d. Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan
rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai
tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan
walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya
resistensi terhadap depson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO
memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri dari paling tidak dua obat
antikusta yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti di lapangan dengan
beberapa alasan. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO Study Group on
Chemotherapy of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy).
Seajak januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan
WHO Expert Committee Meeting di Geneva (oktober 1981), yaitu dengan
pengobatan kombinasi DDS, Lampren dan Rifampisin.
A. Obat-obat antikusta
1. Sulfon
a. Dapson (4,4-diamino difenil sulfon, DDS).
Hal-hal yang penting mengenai dapson adalah sebagai berikut:
1) Merupakan dasar terapi untuk kusta
2) Bersifat bakteriostatik, terapi cara kerjanya tidak
diketahui. Dosis 100 mg bersifat bakterisidal lemah.
keterlibatan
erupsi
ginjal
kulit
ditandai
bervariasi
dengan
dari
ras
trisemester
I,
hambatan
bagi
negara-negara
negative
sedang
apabila
bakterioskopik
positif
C. Obat-obat baru
Dalam 5 tahun terakhir terdapat perkembangan obat-obat antikusta
yang baru. Obat-obat ini termasuk 4 fluoroquinolones tertentu,
minocycline, clarithromycin. Percobaan klinis pada penderita kusta
lepromatos telah dilakukan dan ditegaskan bahwa obat-obat baru ini sangat
(ofloxacin,
pefloxacin,
siprofloxacin,
minocycline
dan
hidup dan membersihkan basil yang mati dari penderita kusta tipe BL/LL
yang sebelumnya tidak pernah diobati.
Tabel 2.1
Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya
Efek samping
Nama obat
Penanganan
Reassurance
Ringan :
merah
(menenangkan penderita
dengan penjelasan yang
benar)
b) Perubahan
warna Clofazimin
Konseling
c) Masalah
gastrointestinal
dalam MDT)
dengan
makanan
atau
setelah makan
d) Anemia
Dapson
Serius :
a) Ruam kulit yang Dapson
gatal
b) Alergi, urtikaria
Hentikan
keduanya,
rujuk
c) Ikterus (kuning)
Rifampisin
Hentikan
rifampisin,
rujuk
d) Shock,
gagal ginjal
purpura, Rifampisin
Hentikan
rujuk
rifampisin,
f. Pelayanan rehabilitasi
Pelayanan rehabilitasi diberikan dalam bentuk alat bantu bagi para
penderita dengan tujuan untuk mencegah kecacatan lebih parah dan memudahkan
penderita yang cacat dalam melakukan aktivitasnya. Selain itu penderita kusta
yang sudah cacat juga diberikan latihan fisioterapi untuk dapat mengembalikan
fungsi gerak bagian tubuh yang cacat (Depkes RI, 2005), kelangsungan terapi dan
rehabilitasi tidak tergantung di tangan petugas kesehatan saja, tetapi juga pada
penderita itu sendiri, keluarga dan lingkungannya, selain rehabilitasi fisik juga
diperlukan rehabilitasi mental penderita kusta sehingga penderita berperan aktif
Gambar 2.2
Variabel dalam health belief model
Persepsi
terhadap
ancaman dari
penyakit
Persepsi terhadap
manfaat pencegahan
Kurang
Persepsi terhadap
hambatan pencegahan
Kemungkinan
mengambil
tindakan
pencegahan
Isarat untuk
bertindak
(kampanye media
massa, dorongan
dari orang lain)
Sumber : Becker, Health Belief Model and Personal Health Behaviour, 1974
dirasakan dan hambatan yang dirasakan dalam merubah perilaku, dan isyarat
untuk bertindak.
BAB III
KERANGKA KONSEP
Gambar 3.1
kerangka konsep
Karakteristik : umur,
pendidikan, pekerjaan,
pendapatan
Pengetahuan dan sikap
tentang konsep diri
Persepsi tentang
kerentanan
penyakit
Persepsi
terhadap
keseriusan
penyakit
Persepsi tentang
konsep diri klien
dengan cacat kusta
Persepsi terhadap
manfaat
pencegahan
dikurang persepsi
terhadap hambatan
pencegahan
Gambaran konsep
diri pada
penyandang cacat
kusta
Perlakuan petugas
kelurahan dan
petugas kesehatan
Sumber : Becker, Health Belief Model and Personal Health Behaviour, 1974.
9. Persepsi tentang konsep diri klien dengan cacat kusta adalah persepsi
individu akan sifat dan kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang
lain, nilai yang berkaitan dengan pengalaman, tujuan serta keinginannya.
10. Persepsi terhadap manfaat dan hambatan pencegahan adalah pertimbangan
tentang manfaat dan hambatan dalam mengambil suatu tindakan
pencegahan.
11. Perlakuan petugas kelurahan adalah perlakuan atau tindakan yang
dilakukan petugas kelurahan dalam mengenali sifat dan konsep diri klien
dalam melayani masyarakatnya.
12. Perlakuan petugas kesehatan adalah perlakuan atau tindakan petugas
kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan pada penderita cacat
kusta.
13. Gambaran konsep diri pada penderita cacat kusta adalah gamabaran yang
menjelaskan semua hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan pengalaman
dengan tubuhnya sendiri yang berkaitan dengan konsep diri (Suliswati,
2005)
BAB IV
METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
4.3 Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu
yang akan diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari tetapi seluruh
karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek tersebut (Aziz alimul
hidayat, 2003). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang.
4.4 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan cara
ditetapkan secara langsung
(purposive sampling
technique)
yaitu
cara
Tabel 4.1
Sumber informasi, metode, jumlah informan, kriteria dan tempat
Sumber informasi
Metode
Jumlah
WM
Kriteria
Tempat WM
Pengelola
Puskesmas
Informan
pendukung :
1. Petugas
puskesmas
program
kusta Neglasari
di puskesmas
2. Petugas
WM
kelurahan
Karang
kelurahan
Karangsari
Sari
Informan kunci:
Klien
dengan
WM
cacat kusta
Klien
dengan Kantor
RW
cacat
13
kusta(dalam
Karangsari
tahap
pengobatan dan
RFT)
1. Pengumpul data
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan juni 2009, pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti sendiri dengan metode wawancara mendalam dan
observasi. Sebelum melakukan pengumpulan data dilakukan pertemuan
untuk membekali dan mendiskusikan tujuan penelitian, menyamakan
persepsi tentang pedoman wawancara mendalam, rancangan penelitian,
metode kualitatif dan materi tentang penyakit kusta.
2. Tahap pengumpulan data
1) Tahap persiapan pengumpulan data
Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengurus ijin
penelitian ke pihak-pihak terkait, selanjutnya akan mengadakan
pertemuan dengan informan kunci dan informan pendukung untuk
menjelaskan tujuan penelitian, kriteria, jumlah informan yang dipilih,
dan menyesuaikan jadwal.
2) Tahap pelaksanaan pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan secara bertahap yaitu : Pertama, akan
dilakukan uji coba pedoman wawancara mendalam, dari hasil uji coba
dilakukan beberapa perbaikan untuk menyempurnakan pedoman
wawancara dalam hal : bahasa yang digunakan, tingkat pemahaman
informan terhadap pertanyaan, pendalaman dan penggalian terhadap isi
pertanyaan. Kedua, akan melakukan wawancara dan telaah dokumen
monitoring pengobatan kombinasi (MDT) di puskesmas untuk
menentukan informan penderita kusta yang cacat baik dalam tahap
b. Memandang berbagai
suatu
keselarasan
c. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat
d. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan.
untuk membantu
proses analisis data, analisis data yang digunakan adalah analisis isi atau
content analysis.
4.10
Etika penelitian
Penelitian yang dilakukan telah mendapat ijin dari ketua RW 13 kelurahan
Karang Sari, Neglasari, Tangerang melalui surat pengantar dari kepala Dinkes
kota Tangerang. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan
pendekatan terhadap informan berupa wawancara sesuai dengan kriteria dan
aspek pedoman wawancara, peneliti menjelaskan hak-hak klien dalam
penelitian meliputi : tujuan penelitian, manfaat penelitian, jaminan
kerahasiaan informan, dan terbebas dari bahaya seperti rasa nyeri, peneliti
selanjutnya meminta kerelaan informan penelitian untuk menandatangani
lembar informed consent sebagai bukti kesediaan informan. Kerahasiaan data
dan informasi informan dijamin sepenuhnya oleh peneliti. Semua berkas yang
mencantumkan identitas informan dan tempat penelitian hanya untuk
pengolahan data. Data akan disimpan dalam lemari terkunci dan dijaga
kerahasiaannya.