Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Dengan demikian, belajar budaya merupakan proses belajar satu kesatuan yang utuh dan
menyeluruh dari beragam perwujudan yang dihasilkan dan atau berlaku dalam suatu
komunitas. Mata pelajaran yang disuguhkan dalam kurikulum dan diajarkan kepada
siswa di sekolah, sebagai pola pikir ilmiah, merupakan salah satu perwujudan budaya,
sebagai bagian dari budaya. Bahkan, seorang ahli menyatakan bahwa kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan mencerminkan pencapaian upaya manusia pada saat tertentu
berbasiskan pada budaya saat itu.
Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi
kepada generasi berikutnya, dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui
budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi
(enculturation), sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi
(aculturation). Kedua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu
komunitas.
3. Peran Pendidik Dalam Proses Pembudayaan
Sehebat apapun isi kurikulum, faktor guru tetap yang paling menentukan keberhasilan
pendidikan. Menyimak tuntutan standar proses yang ideal, guru memang telah melangkah
membuat perencanaan dalam bentuk silabus dan RPP. Mayoritas pembuatannya secara
rombongan melalui ajang pertemuan guru tingkat kabupaten/kota atau tingkat
musyawarah guru mata pelajaran tingkat sekolah. Mengingat pembuatannya secara
bersama-sama, maka guru ada yang aktif dan pasif sama sekali. Guru pasif ini yang
terpenting mendapat hasil tentang rencana pendidikan. Meskipun tidak mudheng, yang
terpenting mereka memiliki.
Dari gambaran ini tampak jelas bahwa secara kasat mata mayoritas guru memiliki
perencanaan pembelajaran. Namun apakah guru yang bersangkutan paham atau tidak,
sampai saat ini belum ada penelitian yang melaksanakan. Padahal perencanaan proses
akan terkait erat dengan pelaksanaan penilaian.
Pelaksanaan proses menyangkut tentang persyaratan proses di antaranya ketentuan
tentang jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar. Secara ideal rombongan
belajar jenjang SD/MI 28 peserta didik, SMP 32 peserta didik, SMA/SMK/MA juga 32
peseta didik. Standar ini mayoritas tidak digubris oleh pelaksana tingkat satuan
pendidikan. Dengan dalih kecilnya jumlah sumbangan baik SD, SMP dan SMA,
mayoritas sekolah belum taat ketentuan ini. Banyak ditemukan rombongan belajar SD 50
siswa, SMP, SMA mencapai 38 atau bahkan ada yang 40 siswa.
Fakta ini menggambarkan bahwa standar proses pendidikan selama ini belum memenuhi
syarat yang ditentukan. Kondisi ini diperparah lagi dengan ketentuan kerja minimal guru,
buku teks pelajaran dan pengelolaan kelas. Belum banyak rasio buku teks untuk peserta
didik 1: 1 per mata pelajaran. Bahkan sarana buku di perpustakaan masih sangat jauh dari
cukup dengan kebutuhan siswa. Menyangkut tentang penilaian hasil pembelajaran belum
banyak penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik dengan menggunakan tes dan
nontes, pengamatan kinerja, pengukuran sikap dsb.
Potret buram ini banyak melanda dalam praktik pendidikan selama ini. Bila hal ini tidak
mendapat solusi yang bijak, tampaknya proses pendidikan tidak akan maksimal dan
terkesan hanya asal jalan dan apa adanya. Anehnya lagi keberhasilan proses hanya
semata-mata diukur berdasar keberhasilan ujian nasional saja. Akibatnya banyak
dijumpai siswa lebih percaya pada bimbingan belajar dan meremehkan guru di kelasnya.
Selama ini pengawasan proses pembelajaran juga belum berjalan secara optimal. Peran
pengawasan baik melalui pemantauan, suervisi, evaluasi, pelaporan dan tindak lanjut baik
oleh kepala sekolah maupun pejabat pengawas belum maksimal. Banyak kepala sekolah
yang sibuk dengan dirinya sendiri sehingga tidak ada waktu untuk supervisi dan evaluasi
proses pembelajaran. Akibatnya guru hanya berjalan seadanya tanpa motivasi yang
berarti. Peran pejabat pengawas juga belum optimal, selama ini terkesan jabatan ini hanya
menara gading di kantor dan kurang memberi pantauan.
Proses pendidikan memerlukan sinergitas kompak antara guru, siswa, kepala sekolah,
sarana pembelajaran dan suasana kondusif lingkungan pendidikan. Selama komponen ini
tidak dimaksimalkan proses pendidikan satuan pendidikan tidak akan mencapai sasaran
yang diidam-idamkan. Peran kepala sekolah sangat strategis dalam menggerakkan
lokomotif satuan pendidikan. Bila sang masinis pengendali loko sibuk sendiri dan kurang
memberi servis, pengawasan dan sentuhan kasih sayang pada kru kereta tampaknya laju
kereta akan lambat.
Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga,
komunitas budaya suatu suku, atau komunitas budaya suatu wilayah. Proses
pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua, atau orang yang dianggap senior
terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat
istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi
berikutnya melalui proses enkulturasi.
Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan.
Seseorang yang tidak tahu, diberi tahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya,
kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut. Misalnya, seseorang yang pindah
ke suatu tempat baru, kemudian mempelajari bahasa, budaya, kebiasaan dari masyarakat
di tempat baru tersebut, lalu orang itu akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan
kebiasaan sebagaimana masyarakat di tempat itu.
Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan juga dipandang sebagai alat
untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses
pembudayaan yang formal atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan semata-mata
transmisi budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana
diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial
budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga
merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya.