Você está na página 1de 61

TUGAS SISTEM POLA TANAM

BUDIDAYA DAN PENGEMBANGAN POLA TANAM


INTERCROPPING KELAPA SAWIT (Elaeis Guineensis Jacq.)
DAN JATI (Tectona Grandis)
Disusun Oleh :

NAMA

: ANDIK KURNIAWAN

NIM

: 122833800690

JURUSAN

: AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS WIDYAGAMA
MALANG
2015

PROSES BUDIDAYA DAN PRODUKSI KELAPA SAWIT


1. Teknik Budidaya Tanaman Kelapa Sawit
A. Nama lain dari tanaman kelapa sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak nabati yang sangat penting. Perkebunan kelapa sawit di
Indonesia di pelopori oleh Adrien Hallet, berkebangsaan Belgia, yang telah
mempunyai pengalaman menanam kelapa sawit di Afrika. Penanaman kelapa
sawit yang pertama di Indonesia dilakukan oleh beberapa perusahaan
perkebunan kelapa sawit seperti pembukaan kebun di Tanah Itam Ulu oleh
Maskapai Oliepalmen Cultuur, di Pulau Raja oleh Maskapai Huilleries de
Sumatra RCMA, dan di sungai Liput oleh Palmbomen Cultuur Mij.
B. Gambaran Umum Kelapa Sawit
Morfologi Kelapa Sawit
a. Akar
Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil yang tidak memiliki
akar tunggang. Radikula (bakar akar) pada bibit terus tumbuh memanjang ke
arah bawah selama enam bulan terus-menerus dan panjang akarnya mencapai
15 cm. Akar primer kelapa sawit terus berkembang.
Susunan akar kelapa sawit terdiri dari serabut primer yang tumbuh
vertikal ke dalam tanah dan horizontal ke samping. Serabut primer ini akan
bercabang manjadi akar sekunder ke atas dan ke bawah. Akhirnya, cabangcabang ini juga akan bercabang lagi menjadi akar tersier, begitu seterusnya.
Kedalaman perakaran tanaman kelapa sawit bisa mencapai 8 meter dan 16
meter secara horizontal.
b. Batang
Tanaman kelapa sawit umumnya memiliki batang yang tidak
bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling) terjadi
pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia

(ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di
dalam tajuk daun, berbentuk seperti kubis dan enak dimakan.
Di batang tanaman kelapa sawit terdapat pangkal pelepah-pelepah
daun yang melekat kukuh dan sukar terlepas walaupun daun telah kering dan
mati. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di
batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam
beruas.
c. Daun
Tanaman kelapa sawit memiliki daun (frond) yang menyerupai bulu
burung atau ayam. Di bagian pangkal pelepah daun terbentuk dua baris duri
yang sangat tajam dan keras di kedua sisisnya. Anak-anak daun (foliage
leaflet) tersusun berbaris dua sampai ke ujung daun. Di tengah-tengah setiap
anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun
d. Bunga dan buah
Tanaman kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa
dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga jantan
berbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman
kelapa sawit mengadakan penyrbukan silang (cross pollination). Artinya,
bunga betina dari pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang
lainnya dengan perantaraan angin dan atau serangga penyerbuk.
Buah kelapa sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras
(epicrap), daging buah (mesocrap) dari susunan serabut (fibre) dan
mengandung minyak, kulit biji (endocrap) atau cangkang atau tempurung
yang berwarna hitam dan keras, daging biji (endosperm) yang berwarna putih
dan mengandung minyak, serta lembaga (embryo).
Lembaga (embryo) yang keluar dari kulit biji akan berkembang ke dua
arah.
1. Arah tegak lurus ke atas (fototropy), disebut dengan plumula yang
selanjutnya akan menjadi batang dan daun
2. Arah tegak lurus ke bawah (geotrophy) disebut dengan radicula yang
selanjutnya akan menjadi akar.

Plumula tidak keluar sebelum radikulanya tumbuh sekitar 1 cm. Akarakar adventif pertama muncul di sebuah ring di atas sambungan radikulahipokotil dan seterusnya membentuk akar-akar sekunder sebelum daun
pertama muncul. Bibit kelapa sawit memerlukan waktu 3 bulan untuk
memantapkan dirinya sebagai organisme yang mampu melakukan fotosintesis
dan menyerap makanan dari dalam tanah.
Buah yang sangat muda berwarna hijau pucat. Semakin tua warnanya
berubah menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi kuning muda, dan
setelah matang menjadi merah kuning (oranye). Jika sudah berwarna oranye,
buah mulai rontok dan berjatuhan (buah leles).
e. Biji
Setiap jenis kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot biji yang berbeda.
Biji dura afrika panjangnya 2-3 cm dan bobot rata-rata mencapai 4 gram,
sehingga dalam 1 kg terdapat 250 biji. Biji dura deli memiliki bobot 13 gram
per biji, dan biji tenera afrika rata-rata memiliki bobot 2 gram per biji.
Biji kelapa sawit umumnya memiliki periode

dorman (masa non-

aktif). Perkecambahannya dapat berlangsung lebih dari 6 bulan dengan


keberhasilan sekitar 50%. Agar perkecambahan dapat berlangsung lebih cepat
dan tingkat keberhasilannya lebih tinggi, biji kelapa sawit memerlukan pretreatment.

Jenis Kelapa Sawit.


Berdasarkan ketebalan cangkang dan daging buah, kelapa sawit
dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut :
1. Dura memiliki cangkang tebal (3-5 mm), daging buah tipis, dan rendemen
minyak 15-17%.
2. Tenera memiliki cangkang agak tipis (2-3 mm), daging buah tebal, dan
rendemen minyak 21-23%.
3. Pisifera memiliki cangkang yang sangat tipis, tetapi daging buahnya tebal
dan bijinya kecil. Rendemen minyaknya tinggi (lebih dari 23%). Tandan
buahnyahampir selalu gugur sebelum masak, sehingga jumlah minyak
yang dihasilkan sedikit.

C. Klasifikasi dan Morfologi


Tanaman kelapa sawit (palm oil) dalam sistematika (taksonomi)
tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Ordo
Famili
Sub Famili
Spesies

Varietas/Tipe

: Palmales
: Palmae
: Cocoidae
: 1. Elaeis guineensis Jacq (Kelapa sawit Afrika)
2. Elaeis melanococca atau Corozo oleifera (kelapasawit
Amerika Latin)
: Digolongkan berdasarkan :
1. Tebal tipisnya cangkang (endocarp) : dikenal ada tiga
varietas/tipe, yaitu Dura, Pisifera, dan Tenera.
2. Warna buah : dikenal tiga tipe yaitu Nigrescens,
Virescens, dan Albescens

D. Syarat Tumbuh
Kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan
hutan, lalu dibudidayakan. Tanaman kelapa sawit memerlukan kondisi
lingkungan yang baik agar mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal.
Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama bagi pertumbuhan kelapa
sawit, di samping faktor faktor lainnya seperti sifat genetika, perlakuan
budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.

Iklim
Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang tumbuh baik antara
garis lintang 130 Lintang Utara dan 120 Lintang Selatan, terutama di kawasan
Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Keadaan iklim yang dikehendaki oleh kelapa
sawit secara umum adalah sebagai berikut :
1. Curah Hujan
Tanaman Kelapa sawit menghendaki curah hujan 1.500 4.000 mm per
tahun, tetapi curah hujan optimal 2.000 3.000 mm per tahun, dengan jumlah
hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun. Pembagian hujan yang merata
dalam satu tahunnya berpengaruh kurang baik karena pertumbuhan vegetatif
lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga bunga atau buah
yang terbentuk relatif lebih sedikit. Namun curah hujan yang terlalu tinggi

kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan kebun karena mengganggu


kegiatan di kebun seperti pemeliharaan tanaman, kelancaran transportasi,
pembakaran sisa-sisa tanaman pada pembukaan kebun, dan terjadinya erosi.
Contoh Keadaan curah hujan yang baik adalah di kawasan Sumatera
utara, yakni berkisar antara 2.000 4.000 mm per tahun, dengan musim
kemarau jatuh pada bulan juni sampai september, tetapi masih ada hujan turun
yang menyediakan kebutuhan air bagi tanaman. Keadaan iklim yang demikian
mendorong kelapa sawit membentuk bunga dan buah secara terus menerus,
sehingga diperoleh hasil buah yang tinggi.
Di jawa, tanaman kelapa sawit berkembang di daerah Banten Selatan
yang iklimnya relatif cukup basah. Sedangkan di Indonesia bagian timur,
misalnya di Kalimantan Timur, yang musim kemaraunya tegas dan
berlangsung selama 4-5 bulan seringkali menyebabkan kerusakan bahkan
kematian pada tanaman kelapa sawit.
Keadaan curah hujan yang kurang dari 2.000 mm per tahun tidak berarti
kurang baik bagi pertumbuhan kelapa sawit, asal tidak terjadi defisit air yaitu
tidak tercapainya jumlah curah hujan minimum yang
2. Suhu dan Tinggi Tempat
3. Kelembapan dan Penyinaran Matahari
Sifat Kimia Tanah
Tanaman Kelapa sawit membutuhkan unsur hara dalam jumlah besar
untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif. Karena itu, untuk mendapatkan
produksi yang tinggi dibutuhkan kandungan unsur hara yang tinggi juga.
Selain itu, pH tanah sebaiknya bereaksi asam dengan kisaran nilai 4,0 6,0
dan ber pH optimum 5,0 5,5.
E. Teknologi perbanyakan Tanaman
Teknologi perbanyakan tanaman yang dapat dilakukan pada tanaman
kelapa sawit adalah dengan kultur jaringan dan pembibitan untuk perbanyakan
secara konvensional.

Pembiakan Secara Kultur Jaringan


Pada pembiakan secara kultur jaringan, bahan tanaman kelapa sawit dapat
diperoleh dalam bentuk bibit atu klon hasil pembiakan secara kultur jaringan
(tissue culture). Pengembangan kelapa sawit sistem kultur jaringan dimaksudkan
untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada bahan tanaman kelapa sawit yang
berasal dari biji yang umumnya memiliki keragaman dalam produksi, kualitas
minyak, pertumbuhan vegatatif, dan ketahanan terhadap hama penyakit. Bibit
kelapa sawit yang diperoleh dengan sistem kultur jaringan ini disebut dengan klon
kelapa sawit.
Pembuatan bibit klon dengan sistem kultur jaringan menggunakan bahan
pembiakan yang berasal dari tanaman hasil persilangan antara Deli Dura dan
Pisifera yang memiliki sifat sifat unggul, yakni produksinya tinggi,
pertumbuhan vegetatif seragam, kualitas minyak baik, dan toleran terhadap hama
dan penyakit.
Keuntungan pembiakan kelapa sawit dengan sistem kultur jaringan di
antaranya adalah sebagai berikut :

Pembiakan suatu varietas unggul melalui sistem kultur jaringan berjalan


dengan cepat, tidak terlalu tergantung pada musim dan dapat dilaksanakan
dengan sistem produksi bibit yang terkendali.

Pengendalian sistem produk (bibit klon) secara menyeluruh sehingga produk


(bibit) yang dihasilkan seragam.

Penyimpanan plasma nutfah untuk tujuan produksi dan bank gen dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.

Perbanyakan pohon yang toleran terhadap beberapa penyakit yang bersifat


genetis dapat dilakukan secara mudah, misalnya penyakit crown disease,
genetic orange spotting, dsb.

Program pemuliaan dapat dipersingkat karena pohon terpilih dari hasil


pemuliaan langsung dapat diperbanyak secara vegetatif.
Proses atau langkah langkah pembiakan kelapa sawit dengan sistem

kultur jaringan secara garis besarnya adalah sebagai berikut :

a. Bahan Kultur jaringan


Bahan kultur jaringan menggunakan pohon induk yang dipilih dari hasil
persilangan pohon ibu dan pohon bapak tebaik dari varietas Deli Dura X Pisifera.
Kriteria pemilihan pohon induk yang akan digunakan sebagai sel-sel pembiakan
atau ortet adalah sebagai berikut :
1). Persilangan terpilih harus berproduksi 7 -9 ton minyak sawit/hektar/tahun dan
pohon yang dipilih memiliki potensi produksi 9 11 ton minyak/hektar/tahun.
2). Kandungan asam lemak tidak jenuh di atas 54%
3). Bebas penyakit tajuk (crown disease).
4). Peninggian pohon berkisar antara 40 55 cm per tahun.
b. Media
Media untuk tempat menumbuhkan sel sel pembiak adalah komponen
yang tersusun dari senyawa kimia yang mampu mendukung perkembangan dan
pertumbuhan jaringan. Media tumbuh ini terdiri atas unsur unsur hara makro,
mikro, protein, vitamin, mineral, dan hormon pada dosis tertentu sehingga
memberikan hasil optimum bagi perkembangan jaringan.
c. Metode
Seperti telah dikemukakan di atas, perbanyakan bahan tanaman melalui
kultur jaringan dapat menggunakan teknologi Inggris (Unilever) atau teknologi
perancis (CIRAD CP). Metode pembiakan kultur jaringan yang dilaksanakan
oleh PPKS Medan adalah metode CIRAD CP yang dilaksanakan melalui lima
tahap kegiatan sebagai berikut.
1. Induksi Kalus
Bahan biakan adalah daun kelapa sawit yang manis muda (daun ke 4, ke 5,
ke 6 atau ke 7) dan masih aktif. Daun Kelapa sawit tersebut diiris
melintang berukuran 1 cm. Dari satu pohon induk dapat diperoleh sebanyak
1.200 bahan biakan atau eksplan.
2. Pembentukan Embrio
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan embrio dari kalus berbeda - beda,
tergantung pada klon yang digunakan.
3. Pembiakan Embrio

Embrio muda dipindahkan ke media baru untuk pematangan sekaligus


perbanyakannnya. Embrio tersebut dipelihara di dalam ruang pembiakan
dengan intensitas cahaya 1.000 gross lux suhu 270C dan kelembaban udara
50% - 60%. Pematangan embrio membutuhkan waktu 2 4 bulan.
Kemampuan pembiakan embrio dari setiap klon berbeda, tetapi tidak ada
hubungannya dengan jenis persilangan. Pada embrio yang sudah matang
(mature) dapat ditumbuhi pupus, embrio juga didapat sebagai stock atau
koleksi dalam tabung penyimpanan dengan teknik krioperservasi.
4. Penumbuhan Pupus
Embrio yang terpilih untuk penumbuhan pupus dipindahkan ke dalam media
baru, dikulturkan di dalam ruang pembiakan dengan intensitas cahaya 1.000
gross lux, suhu 300C, dan kelembaban 50 - 60%. Penumbuhan pupus
membutuhkan waktu 2 - 4 bulan.
5. Penumbuhan Akar
Pupus yang tumbuh dalam satu kelompok diseleksi untuk penumbuhan akar.
Pupus yang mempunyai ukuran lebih dari 6 cm disapih dari kelompoknya dan
dimasukkan ke dalam media induksi akar. Pupus yang masih berukuran kecil
dipelihara kembali dalam media penumbuhan pupus

Pembiakan Secara Pembibitan


Pembibitan klon meliputi pembibitan awal (pre nursery) selama 3 bulan
dan pembibitan utama (main nursery) selama 9 bulan. Sebelum pembibitan awal
dilakukan, planlet (tanaman baru) perlu melewati fase aklimatisasi, yaitu proses
adaptasi planlet dari kondisi laboratorium menjadi kondisi lingkungan alami di
luar.

Gambar 23. Pembibitan Kelapa Sawit.

F. Persemaian dan Pembibitan


Pembibitan
Benih kelapa sawit untuk calon bibit harus dihasilkan dan
dikecambahkan oleh lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah. Proses
pengecambahan umumnya dilakukan sebagai berikut.
a. Tangkai tandan buah dilepaskan dari spikeletnya.
b. Tandan buah diperam selama 3 hari dan sekali-kali disiram air. Pisahkan
buah dari tandannya dan peram lagi selama 3 hari.
c. Masukkan buah ke mesin pengaduk untuk memisahkan daging buah dari
biji. Cuci biji dengan air, lalu rendam dalam air selama 6-7 hari. Ganti air
rendaman setiap hari. Selanjutnya rendam biji tadi dalam Dithane M-45
konsentrasi 0,2 % selama 2 menit, lalu keringanginkan.
d. Masukkan biji kelapa sawit tersebut ke dalam kaleng pengecambahan dan
simpan di dalam ruangan bertemperatur 39oC dengan kelembaban 60-70%
selama 60 hari. Setiap 7 hari, benih dikeringanginkan selama 3 menit.
e. Setelah 60 hari, rendam benih dalam air sampai kadar air 20-30% dan
dikeringanginkan lagi. Masukkan benih ke dalam larutan Dithane M-45
0,2% selama 1-2 menit. Simpan benih di ruangan bertemperatur 270 C.
Setelah 10 hari, benih berkecambah pada hari ke-30 tidak digunakan lagi.

G. Persiapan Lahan
Tanaman Kelapa sawit sering ditanam pada berbagai kondisi areal
sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan dibuka menjadi lahan kelapa
sawit. Cara membuka untuk tanaman kelapa sawit disesuaikan dengan kondisi
lahan yang tersedia.
1. Bukaan baru (new planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak
belukar atau areal yang ditumbuhi lalang.
2. Konversi, yaitu penanaman pada areal yang sebelumnya ditanami
dengan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa atau komoditas
tanaman perkebunan lainnya.
3. Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya juga
ditanami kelapa sawit.

Persiapan lahan merupakan kegiatan yang sangat penting dan harus


dilaksanakan berdasarkan jadwal kegiatan yang sudah ditetapkan. Mengingat
areal kebun kelapa sawit yang cukup luas, pembukaan lahan dapat dilakukan
sekaligus atau secara bertahap. Namun, yang terpenting adalah keadaan kebun
sudah siap dipanen dan dapat memasok buah yang akan diolah ketika pabrik
sudah siap berproduksi.

Pembukaan Lahan Secara Mekanis


Pembukaan lahan secara mekanis dilakukan pada areal hutan dan konversi
yang ditumbuhi oleh pohon pohon besar. Pembukaan lahan secara mekanis
ini terdiri dari beberapa pekerjaan sebagai berikut : Babad pendahuluan, yaitu
membabad dan memotong pohon kecil atau semak semak yang tumbuh
dibawah pohon besar, Menumbang, memotong pohon pohon besar yang
berdiameter di atas 10 cm dengan menggunakan gergaji mesin atau kapak,
Merencek, memotong motong cabang cabang dan ranting ranting kayu
yang sudah tumbang untuk memudahkan perumpukan, Merumpuk yaitu
mengumpulkan dan menumpuk hasil tebangan dan rencekan biasanya
memanjang arah utara-selatan agar dapat sinar matahari secukupnya dan cepat
kering, dan Membakar yaitu membakar rumpukan agar area bersih dari bahan
bahan yang tidak diperlukan.

H. Penanaman dan Penyulaman


Jenis jenis pekerjaan utama dalam proses penanaman adalah : (a) Pembuatan
larikan tanaman atau penempatan pancang, atau ajir tanam, (b). Penanaman
tanaman penutup tanah kacangan, dan (c). Penanaman Kelapa sawit.
1. Pengajiran
Pada tahap pertama dibuat rancangan larikan (barisan) tanaman
serta pancang sebagai titik tanam, dimana bibit kelapa sawit akan ditanam.
Pengajiran atau memancang adalah menentukan tempat tempat yang
akan ditanam bibit kelapa sawit. Letak ajir (pancang) harus tepat, sehingga
terbentuk barisan ajir yang lurus dilihat dari segala arah, dan kelak setiap
individu tanaman pun akan lurus teratur serta memperoleh tempat tumbuh

yang sama luasnya. Dalam keadaan yang demikian, tanaman mempunyai


peluang utnuk tumbuh dan berkembang dalam kondisi yang tidak berbeda.
Sistem jarak tanaman yang digunakan umumnya adalah segitiga
sama sisi dengan jarak 9 m X 9 m X 9 m. Dengan sisitem segitiga sama
sisi ini, Jarak Utara-Selatan tanaman adalah 7,82 m dan jarak antara setiap
tanaman adalah 9 m. Populasi (kerapatan) tanaman per hektar adalah 143
pohon. Penanaman kelapa sawit dapat juga menggunakan jarak tanam 9,5
m X 9,5 m X 9,5 m dengan jarak tegak lurusnya (U-S) 8,2 m dan populasi
128 pohon per hektar. Untuk mencapai ketepatan pengajiran, pekerjaan
pengajiran harus dilaksanakan oleh pekerja yang terlatih.
2. Pembuatan Lubang Tanam
Lubang tanam harus dibuat beberapa minggu sebelum penanaman
agar tanah yang digali dan lubang tanam mengalami pengaruh iklim
sehingga terjadi perbaikan tanah secara fisika ataupun kimia dan dapat
dilakukan pemeriksaan lubang baik ukurannya maupun jumlah per
hektarnya. Pembuatan lubang yang dilakukan pada saat tanam atau hanya
1-2 hari sebelum tanam tidak dianjurkan.
Lubang tanam kelapa sawit biasanya dibuat dengan ukuran 60 cm
x 60 cm x 60 cm, tetapi ada juga yang hanya berukuran 50 cm x 40 cm x
40 cm. Pada saat menggali, tanah atas ditaruh di sebelah dan tanah bawah
di sebelah selatan lubang. Ajir ditancapkan di samping lubang dan bila
lubang telah selesai dibuat, ajir ditancapkan kembali di tengah tengah
lubang. Apabila tanaman akan ditanam menurut garis tinggi (kontur) atau
dibuat teras melingkari bukit, letak lubang tanaman harus berada paling
dekat 1,5 m dari sisi lereng. Untuk penanaman kelapa sawit yang
melingkari bukit, biasanya dibuat teras teras terlebih dahulu, baik teras
individual maupun teras kolektif.
3. Menanam
Kegiatan menanam terdiri dari kegiatan mempersiapkan bibit di
Pembibitan utama, Pengangkutan bibit ke lapangan, Menaruh bibit di
setiap lubang, persiapan lubang, menanam bibit pada lubang, dan
pemeriksaan areal yang sudah ditanami.

Intercropping kelapa sawit dan jati

Intercropping merupakan sistem kultur teknis dari suatu tanaman


utama dan tanaman pendamping (companion) yang dilakukan secara
simultan atau sekuensial pada satu unit lahan yang sama. Dengan demikian
baik tanaman utama maupun tanaman pendamping harus mempunyai
preferensi yang sama terhadap tanah dan iklim namun harus komplementer
dilihat dari segi pertumbuhan maupun sisi ekonomis. Kelapa sawit dan jati
keduanya adalah sun-loving plant yang dapat tumbuh di berbagai tipe
tanah dan iklim. Tabel 1 menggambarkan tipe tanah dan iklim yang
disukai oleh kedua tanaman tersebut.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa ada kesamaan preferensi terhadap


faktor agroklimat dari kelapa sawit dan jati. Hanya saja untuk kebutuhan
air kedua tanaman tersebut secara umum menunjukkan preferensi yang
berbeda. Apabila ditanam di daerah beriklim monsoon maka jati akan
tumbuh dengan baik sementara kelapa sawit berkurang produktivitasnya
karena

kekeringan

mendorong

terbentuknya

bunga

jantan

dan

menyebabkan aborsi bunga atau bakal bunga. Apabila terjadi kekeringan


selama 3-6 bulan maka produksi TBS akan menurun sebesar 823%
(Harahap dan Latif, 1998). Penerapan pola intercropping di daerah
beriklim basah tampaknya lebih memungkinkan mengingat jati tumbuh
dan menghasilkan kayu jati berkualitas baik di Johore (Malaysia) yang
mempunyai curah hujan rata-rata lebih besar dari 2500 mm per tahun (Tee
et al., 1995).

Ditinjau dari segi biologi dan pertumbuhan, baik kelapa sawit


maupun jati memiliki beberapa sifat komplementer yang tidak akan
menyulitkan intercropping keduanya. Sistem perakaran, kecepatan
pertumbuhan meninggi, kerapatan tajuk menunjukkan bahwa kedua
tanaman tidak akan berkompetisi terhadap hara, air dan sinar matahari
apabila desain pertanaman dilakukan dengan baik (Tabel 2).

Tabel 2 memperlihatkan bahwa kelapa sawit dan jati memiliki pola perakaran
yang berbeda. Dengan demikian kompetisi di permukaan tanah relatif kecil karena
jati dapat menggunakan hara dan air di lapisan yang lebih dalam. Sebaliknya,
kelapa sawit dapat memanfaatkan daun jati yang gugur sebagai serasah di
permukaan tanah. Pertumbuhan meningginya yang lebih cepat membuat
percabangan jati dapat jauh berada di atas kanopi kelapa sawit, sehingga
memungkinkan kelapa sawit dapat mengeksploitasi secara baik sinar matahari
langsung maupun lateral.
Tabel 1. Preferensi kelapa sawit dan jati terhadap berbagai faktor tumbuh

Faktor
Kelapa sawit

Jati

agroklimat
Tanah

Tanah mineral dari berbagai jenis dan


berdrainase baik Tanah

Curah hujan

2000 sampai 3000 mm/tahun tanpa bulan


kering

Dataran rendah hingga 500 m di atas


Tinggi tempat permukaan laut

Alluvial
berdrainase baik
dengan pH netral (5-7)
Samp
1200 ai
2500 mm/tahun
dengan 3-5 bulan kering (ch <
50
mm)
Hingga 500-600 m di atas
permukaan laut

Tabel 2. Biologi dan pertumbuhan kelapa sawit dan jati


Karakter
Sistem
perakaran

Kelapa sawit
Akar serabut akar menyebar
di
lapisan atas
Kecepatan meninggi (cm/tahun) 60 80 1
Tajuk
Kanopi padat
Pengguguran
daun
Menggugurkan daun

Jati
Akar tunggangpenyebaran akar
di lapisan lebih dalam
180 190 2
Kanopi ringan
Tidak menggugurkan daun

Diukur pada umur 6 dan 8 tahun (PURBA et al., 1993)

Rerata pertumbuhan diukur berdasarkan tinggi tanaman umur 10 tahun (TEE


et al., 1995)

POLA TANAM INTERCROPPING KELAPA SAWIT JATI


(Balung River Plantation, Tawau, Sabah, Malaysia)

Kelapa sawit umumnya ditanam dengan pola segitiga sama sisi dengan
kerapatan 120 - 143 pohon per hektar, sedangkan jati ditanam berbaris dengan
kerapatan sampai 1500 pohon per hektar. Di Balung River Plantation, kelapa
sawit ditanam dengan kerapatan 128 pohon per hektar dan jati ditanam di antara
dua tanaman kelapa sawit sehingga kerapatannya juga 128 pohon per hektar
(Gambar 1). Jati ditanam 18 bulan setelah kelapa sawit. Pola tanam seperti ini
ternyata mengakibatkan pelepah kelapa sawit yang berumur 6-7 tahun tumbuh
membentuk sudut yang lebih sempit (erect), sehingga tandan buah sulit
berkembang (Gambar 2).

Mengingat kedua tanaman adalah sun-loving plant yang tidak mentoleransi


penaungan berat, maka kerapatan tanam dapat dikurangi hingga hanya 120 pohon
atau kurang per hektar, baik kelapa sawit maupun jati. Pengurangan populasi
kelapa sawit ditengarai tidak akan menurunkan kemampuan tanaman ini sebagai
sumber pendapatan bagi pekebun.

Penanaman jati yang 18 bulan lebih lambat dari penanaman kelapa sawit
dinilai sudah cukup tepat. Pada saat kunjungan dilakukan pada September 2002,
tinggi kanopi jati yang berumur 4 dan 6 tahun (ditanam pada tahun 1996 dan
1998) telah berada di atas kanopi kelapa sawit yang ditanam pada tahun 1994 dan
1996 (Gambar 3). Pola tanam seperti ini juga mengakibatkan cabang pertama dan
kedua jati tidak berkembang, akibat kalah bersaing dengan kelapa sawit, sehingga
tidak perlu dilakukan pemangkasan. Namun demikian untuk memperoleh batang
tunggal pemangkasan perlu dilakukan apabila ditemui tunas yang berlebihan,
terutama pada saat jati berumur 6 bulan. Pemangkasan dapat dilakukan dengan
kekerasan 30%, yaitu 30% cabang dipangkas dan sisanya dibiarkan. Penyulaman
dilakukan 2 kali setahun sampai tanaman berumur 2 tahun dengan mengganti
tanaman yang mati dan yang pertumbuhannya jelek (kerdil, bengkok, pangkal
batang berlubang, luka terbakar, benjol, patah atau gundul). Penjarangan

tampaknya tidak perlu dilakukan dalam pola intercropping.

Pemupukan jati dapat dimulai pada saat sebelum tanam dengan memberi
pupuk organik (kompos) sebanyak 1-2 kg yang dicampur dengan 50 gram pupuk
NPK dan 50-100 gram dolomit untuk setiap lubang tanam. Pemupukan lanjutan
diberikan 2 kali setahun. Pemupukan pertama dilakukan 1-3 bulan setelah tanam
dengan NPK sebanyak 30-100 gram per pohon. Pemupukan kedua dilakukan pada
saat jati berumur 6-12 bulan setelah tanam dengan NPK sebanyak 60-200 gram
per pohon.

Hama dan penyakit pada jati berbeda dengan yang menyerang kelapa sawit.
Untuk menghindarkan infestasi silang dari hama/penyakit maka tanaman yang diintercropping-kan haruslah dari taksa botani yang berbeda (SHANKER and
SOLANKI, 2000). Adapun hama yang menyerang jati antara lain:
hama yang menyerang akar yaitu uret (Lepidiota stigma) dan uter (Phasus
damor),
hama yang menyerang batang yaitu rayap (Neotermes tectonae), bubuk kayu
basah (Xyloborus destruens) dan oleng-oleng (Duomitus ceramicus),
hama yang menyerang daun yaitu hama daun jati (Phyrausta machaeralis) dan
belalang (Valanga nigricornis).

Gambar 1. Jati ditanam di antara dua tanaman

Gambar 2. Pelepah kelapa

sawit tumbuh lebih erect kelapa sawit dengan kerapatan 128 ph/ha

Gambar 3. Intercropping pada saat jati umur 4 tahun dan kelapa sawit umur 6
tahun (kiri) dan jati umur 6 tahun dan kelapa sawit umur 8 tahun
(kanan)

Penyakit-penyakit yang menyerang jati antara lain (ZAKARIA dan LEE,


1999):
penyakit layu bibit yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas solanacearum,
penyakit karat daun yang diakibatkan serangan spora Olivea tectonae,
penyakit bintik daun oleh Colletotrichum gleosporioides,

penyakit akar putih yang disebabkan oleh Corticium salmonicolor,


penyakit kanker batang yang diakibatkan oleh Fusarium.

PROSPEK DAN KETERBATASAN INTERCROPPING KELAPA


SAWIT - JATI
Areal perkebunan rakyat yang luasnya mencapai 35% dari total pertanaman
kelapa sawit Indonesia merupakan generasi pertama dan sebagian sudah
memasuki masa peremajaan. Dalam pelaksanaan peremajaan para pekebun
dihadapkan pada kesulitan biaya. Sebenarnya biaya peremajaan ini dapat
disediakan oleh para pekebun dengan menyisihkan sebagian dari pendapatannya
selama tanaman masih produktif. Akan tetapi karena pendapatan yang terbatas hal
tersebut tidak dapat dilakukan. Berbeda dengan di Sri Lanka di mana peremajaan
karet rakyat disubsidi oleh pemerintah dalam bentuk seluruh biaya bahan tanaman
dan sebagian biaya pekerja (RODRIGO et al., 2001). Namun biaya peremajaan
kelapa sawit tidak akan menjadi masalah bila intercropping dengan jati berjalan
dengan baik. Dengan harga per log kayu jati berumur 20-25 tahun yang dapat
mencapai RM 5.000 (tahun 1995), maka dari 120 pohon yang ditanam dan
dipanen akan diperoleh suatu nilai yang substantial (TEE et al., 1995).

Silvikultur jati umumnya memerlukan tenaga kerja dan input lainnya yang
lebih sedikit dibandingkan kelapa sawit. Introduksi jati dan tanaman hutan lainnya
ke dalam sistem pertanaman kelapa sawit secara teknis tidak menambah beban
pekebun. Hal ini khususnya untuk pekebun kecil (smallholder) maupun pekebun
rakyat. Pola intercropping jarang diterapkan di perkebunan besar terutama karena
kurangnya insentif, resiko pemasaran dan keamanan serta tidak cukupnya
pengetahuan mengenai pola pertanaman ini (RODRIGO et al., 2001).
Pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat mungkin dapat lebih diarahkan
pada pola pertanaman intercropping ini.

Pengembangan pola intercropping ini memerlukan pemahaman terhadap


pertumbuhan pohon dan korelasinya dengan pemanenan hasil akhir. Untuk
sekedar tumbuh, pohon jati jenis pionir yang mampu tumbuh pada berbagai jenis

tanah dan kondisi iklim. Namun, produktivitasnya (pertambahan pertumbuhan per


satuan waktu/tempat) akan sangat dibatasi oleh berbagai faktor tumbuh. Hasil
kayu pohon jati secara kuantitas (volume) lebih mudah dicapai, namun
kualitasnya (kekuatan kayu, keawetan dan sifat anatomi, fisik, kimia dan lainnya)
akan sangat dipengaruhi oleh umur panen, tanah dan iklim. Pola adaptasi dan
pertumbuhan awal pohon kehutanan berbeda untuk setiap jenis. Hal yang sering
terjadi adalah pertumbuhan pohon yang menjanjikan pada saat awal, namun
berubah menurun dengan cepat dan kemudian stagnan pada fase pertumbuhan
lanjut. Dengan daur hidup yang panjang, reaksi tanaman hutan terhadap kondisi
tumbuh seringkali baru tampak beberapa tahun setelah penanaman. Kegagalan
tersembunyi ini akan sering terjadi pada kegiatan introduksi jenis baru ke dalam
sistem pertanaman yang telah mapan, seperti halnya intercropping kelapa sawit
dan jati.

Pemahaman

terhadap

aspek

teknis

dan

ekologis

pola

pertanaman

intercropping perlu diikuti dengan memperhatikan juga aspek sosial, ekonomi dan
pasar. Pemahaman yang didominasi oleh aspek teknis semata tidak akan mampu
menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam pengembangan penanaman
jenis kayu tertentu. Diperlukan pembaruan kerangka pikir dari yang bersifat teknis
semata kepada pelibatan aspek ekonomi dan kelembagaan (KARTODIHARDJO,
2000).
4. Tanaman Penutup Tanah
Penanaman tanaman penutup tanah biasa dilaksanakan pada
perkebunan kelapa sawit. Tanaman penutup tanah adalah tanaman
kacangan (Legume cover crops, LCC) yang ditanam untuk menutup tanah
yang terbuka di antara kelapa sawit karena belum terbentuk tajuk yang
dapat menutup permukaan tanah. Penanaman tanaman kacangan penutup
tanah bertujuan untuk memperbaiki sifat sifat fisika, kimia dan biologi
tanah, mencegah terjadinya erosi, mempertahankan kelembaban tanah, dan
menekan tumbuhan pengganggu (gulma). Penanaman kacangan penutup
tanah sebaiknya dilaksanakan segera setelah pembukaan lahan selesai
dilaksanakan.

Jenis jenis tanaman kacangan penutup tanah yang umum ditanam


di

perkebunan

kelapa

sawit

adalah

Calopogonium

caeruleum,

Calopogonium mucunoides, Pueraria javanica, Pueraria phaseoloides,


Centrocema

pubescens,

Psophocarphus

palustries,

dan

Mucuna

cochinchinensis.

I. Penyiangan (pengendalian gulma)


Upaya pengendalian gulma telah dilaksanakan dengan menanami tanah
di antara tanaman kelapa sawit (gawangan) dengan tanaman kacang penutup
tanah dan membuat piringan di sekeliling tiap individu tanaman. Bila
pertumbuhan gulma tidak dikendalikan dengan baik, maka berbagai macam
gulma

dapat

tumbuh

dengan

subur

dan

mengganggu

(menyaingi)

pertumbuhan tanaman pokok, menyebabkan keadaan kebun menjadi kotor dan


lembab. Pengendalian gulma pada tanaman menghasilkan dimaksudkan untuk
mengurangi terjadinya saingan terhadap tanaman pokok, memudahkan
pelaksanaan pemeliharaan, dan mencegah berkembangnya hama dan penyakit
tertentu.
Secara garis besar jenis jenis gulma yang dijumpai pada perkebunan
kelapa sawit dapat digolongkan menjadi :
1. Gulma berbahaya, yaitu gulma yang memiliki daya saing tinggi
terhadap tanaman pokok, misalanya lalang (Imperata cylindrica),
sembung rambat (Mikania cordata dan M. Micrantha), lempuyangan
(Panicum repens), teki (Cyperus rotundus), serta beberapa tumbuhan
berkayu diantaranya.putihani/krinyuh (Eupathorium odoratum syn.
Chromolaena odorata), harendong (Melastoma malabtrichum), dan
tembelekan (Lantana camara)
2. Gulma lunak, yaitu gulma yang keberadaannya dalam budi daya
tanaman kelapa sawit dapat di toleransi, sebab jenis gulma ini dapat
menahan erosi tanah, kendati demikian pertumbuhannya harus
dikendalikan.

Yang

termasuk

gulma

lunak

misalnya

babadotan/wedusan (Ageratum conyzoides), rumput kipahit (Paspalum


conjugatum), pakis (Nephrolepis biserata), dan sebagainya.

Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain


sebagai berikut :
1. Pengendalian gulma secara manual, yaitu pengendalian gulma dengan
menggunakan peralatan dan upaya pengendalian secara konvensional,
misalnya dibabad, dibongkar dengan cangkul, digarpu dan sebagainya.
2. Pengendalian gulma secara kimia, yaitu pengendalian gulma dengan
menggunakan herbisida, baik yang bersifat kontak maupun sistemik.
3. Pengendalian Secara kultur teknis,yaitu pengendalian gulma dengan
menggunakan tanaman penutup tanah jenis kacangan.

Gambar 24. Tanaman Kelapa Sawit setelah Pengendalian Gulma


J. Pemupukan
Pemupukan tanaman bertujuan untuk menyediakan unsur unsur hara
yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan generatif, sehingga diperoleh
hasil yang optimal. Untuk menentukan dosis pupuk yang tepat, sebaiknya
dilaksanakan analisis tanah dan daun terlebih dahulu. Dengan analisis tanah
dan daun, maka ketersediaan unsur unsur hara di dalam tanah pada saat itu
dapat diketahui dan keadaan hara terakhir yang ada pada tanaman dapat
diketahui juga. Berdasarkan hasil analisis dapat ditentukan kebutuhan tanaman
terhadap jenis jenis unsur hara secara lebih tepat, sehingga dapat ditetapkan
dosis pemupukan yang harus diaplikasikan.

Tabel 25. Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Berdasarkan Unsur Tanaman.


Jenis Pupuk

Dosis (Kg/Pokok/Tahun) *)

55

6 12

>12

Sulphate of Amonia (ZA)

1,0 2,0

2,0 3,0

1,5 3,0

Rock Phosphate (RP)

0,5 1,0

1,0 2,0

0,5 1,0

Muriate of Potash (KCl)

0,4 1,0

1,5 3,0

1,5 2,0

Kieserite (MgSO4)

0,5 1,0

1,0 2,0

0,5 1,5

Umur Tanaman

*) Keterangan :
Pupuk N, K, dan Mg diberikan dua kali aplikasi, pupuk P diberikan satu kali aplikasi,
dan pupuk B (bila diperlukan) diberikan dua kali aplikasi per tahun (salah satu contoh
dosis B adalah 0,05 0,1 Kg per pohon per tahun)

Cara pemberian pupuk diperhatikan secara seksama agar pemupukan


dapat terlaksana secara efisien. Untuk mencapai maksud tersebut, pemberian
pupuk pada Tanaman Menghasilkan (TM) harus dilaksanakan dengan cara
sebagai berikut :

Pupuk N ditaburkan secara merata pada piringan mulai jarak 50 cm sampia


dipinggir luar piringan.

Pupuk P, K, dan Mg ditabur secara merata dari jari jari 1,0 m hingga
jarak 3,0 m dari pangkal pokok (0,75 1,0 m di luar piringan)

Pupuk B ditaburkan secara merata pada jarak 30 50 cm dari tanaman


pokok
Pemberian pupuk pada kelapa sawit diatur dua kali dalam setahun.

Pemberian pupuk yang pertama dilakukan pada akhir musim hujan yaitu bulan
Maret April dan pemberian pupuk kedua dilakukan pada awal musim hujan
yaitu bulan September Oktober.

K. Pemangkasan
Pemangkasan atau disebut juga penunasan adalah pembuangan daun
daun tua atau yang tidak produktif pada tanaman kelapa sawit, pada tanaman
muda sebaiknya tidak dilakukan pemangkasan, kecuali dengan maksud
mengurangi penguapan oleh daun pada saat tanaman akan dipindahkan dari
pembibitan ke areal perkebunan. Adapu tujuan pemangkasan adalah sebagai
berikut :

Memperbaiki sirkulasi udara di sekitar tanaman sehingga dapat membantu


proses penyerbukan secara alami

Mengurangi penghalangan pembesaran buah dan kehilangan brondolan


buah terjepit pada pelepah daun.

Membantu dan memudahkan pada waktu panen

Mengurangi perkembangan epifir

Agar proses metabolisme tanaman berjalan lancar, terutama proses


fotosintesis dan respirasi.
-

L. Pengendalian Hama dan Penyakit


Tanaman kelapa sawit dapat diserang oleh berbagai hama dan penyakit
tanaman sejak di pembibitan hingga di kebun pertanaman. Hama dan penyakit
dapat merusak bibit, tanaman muda yang belum menghasilkan (TBM) maupun
tanaman yang sudah menghasilkan (TM).
Beberapa jenis hama dan penyakit dapat menimbulkan kerugian yang
besar pada bibit, tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman
menghasilkan (TM). Oleh karena itu, pengendalian terhadap hama dan
penyakit perlu dilaksanakan secara baik dan benar.
Pengendalian hama dan penyakit dapat dilaksanakan secara manual,
kimia, atau biologis sesuai dengan hama dan penyakit yang menyerang. Selain
serangan hama yang tergolong jenis serangga, bibit dan tanaman muda juga
sering diserang oleh hewan besar jenis mamalia terutama bila kebun kelapa
sawit dibuka pada lahan yang sebelumnya berupa hutan, baik hutan primer
maupun hutan sekunder.
a. Hama
Hama yang biasa menyerang tanaman kelapa sawit biasanya terbagi
menjadi hama perusak akar, hama perusak daun, hama perusak tandan buah.
a.1. Hama Perusak Akar.
Hama

yang

sering

merusak

akar

kelapa

sawit

adalah

nematoda

Rhadinaphelenchus cocophilus. Gangguan nematoda ini dijuluki red ring


disease. Hama ini menyerang akar tanaman kelapa sawit. Gejala gejala
umum dari kelapa sawit yang terserang adalah pusat mahkota mengerdil dan

daun daun baru yang akan membuka menjadi tergulung dan tumbuh tegak.
Daun berubah warna menjadi kuning kemudian mengering. Tandan bunga
membusuk dan tidak membuka sehingga tidak menghasilkan buah.
a.2. Hama Perusak Daun
Ada beberapa jenis hama yang merusak daun tanaman kelapa sawit, di
antaranya adalah sebagai berikut :
a. Kumbang Tanduk (Oryctes rhynoceros)
Kumbang tanduk banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman
muda yang baru ditanam hingga berumur 2-3 tahun. Kumbang dewasa
(imago) masuk kedaerah titik tumbuh ( pupus ) dengan membuat lubang
pada pangkal pelepah daun muda yang masih lunak.
Pengendalian hama kumbang tanduk lebih diutamakan pada upaya
pencegahan (preventif), yaitu menghambat perkembangan larva dengan
mengurangi kemungkinan kumbang bertelur pada medium yang tersedia,
yakni dengan cara sebagai berikut :
membakar sampah sampah dan bagian pohon yang mati, agar larva
hama terbakar dan mati
mempercepat tertutupnya tanah dengan tanaman penutup tanah dengan
tanaman penutup tanah agar dapat menutup bagian bagian batang
hasil tebangan pada saat pembukan lahan yang membusuk di lokasi
kebun
Pemberian bahan pengusir, misalnya kapur barus yang diletakkan pada
batang kelapa sawit yang mulai membusuk (pada pembukaan ulangan)
b. Ulat Setora (Setora nitens)
Ulat setora muda memakan anak anak daun dari tanaman muda
dan tanaman sudah menghasilkan yang berumur antara 2-8 tahun. Hama
ini kadang kadang memakan daun kelapa sawit hingga ke lidinya.
Pengendalian Hama ulat setora dapat dilakukan secara hayati dan
secara kimia. Pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan
memanfaatkan

musuh

alami

seperti

parasit

telur

yaitu

lebah

Trichogrammatidae I dan lebah Ichneumonidae, serta perusak kokoh yaitu


lalat Tachinidae

c. Ulat Siput (Darna trima Mooore)


Ulat Darna trima menyerang daun kelapa sawit, terutama pada
tanaman muda, meskipun sering pula menyerang daun pada tanaman
dewasa. Serangan yang hebat dapat menimbulkan kerusakan berat dan
dapat dijumpai jumlah ulat yang tinggi pada setiap pelepah kelapa sawit.
Pengendalian ulat Darma trima dapat dilaksanakan secara kimia
dan hayati. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan menyemprot
tanaman yang terserang dengan insektisida. Pengendalian secara hayati
dapat menggunakan musuh alami seperti parasit ulat yaitu lebah
Broconidae, meskipun hasilnya tidak seefektif cara kimia.
d. Serangga Asinga (Sethothosea Asigna)
Ulat dari hama ini menyerang daun kelapa sawit terutama daun
yang menyerang dalam keadaan aktif, yaitu daun nomor 9 25. Hama ini
merupakan salah satu hama utama yang menyerang tanaman kelapa sawit
di sentra perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara. Pengendalian hama ini
dapat dilakukan secara kimia dan secara hayati. Pengendalian secara kimia
dapat menggunakan insektisida, pengendalian secara hayati dapat
dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami.

b. Penyakit
a. Penyakit Tajuk (Crown disease)
Biasanya menyerang tanaman kelapa sawit yang berumur 2-3
tahun. Bagian yang diserang adalah pucuk yang belum membuka.
Penyakit ini tidak bisa diberantas, tetapi hanya bisa dilakukan pembuangan
bagian yang terserang untuk memperbaiki bentuk tajuk dan mencegah
infeksi dari jamur Fusarium sp.
b. Basal Steam Rot
Penyebabnya adalah Ganoderma sp. Gejala pada tingkat serangan
pertama secara visual sukar diamati. Pada tingkat yang lebih lanjut, cabang

daun bagian atas terkulai, selanjutnya pohon akan mati. Pemberantasan


yang efektif sampai sekarang belum ada.
c. Marasmius
Penyakit

marasmius

dapat

menggagalkan

atau

merusak

pembentukan buah. Pemberantasan dilakukan dengan membersihkan


pohon.

M. Panen dan Pengolahan Hasil Panen


Panen
Tanaman kelapa sawit mulai berbunga dan membentuk buah setelah
umur 2-3 tahun. Buah akan menjadi masak sekitar 5-6 bulan setelah
penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa sawit dapat dilihat dari
perubahan warna kulitnya. Buah akan berubah menjadi merah jingga ketika
masak. Pada saat buah masak, kandungan minyak pada daging buah telah
maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dan jatuh dari
tangkai tandannya. Buah yang jatuh tersebut disebut membrondol.
Proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan
memotong tandan buah masak, memungut brondolan, dan mengangkutnya
dari pohon ke tempat pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik. Kriteria panen
yang perlu diperhatikan adalah matang panen, cara panen, alat panen, rotasi
dan sistem panen serta mutu panen.

Proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan


memotong tandan buah masak, memungut brondolan dan mengangkutnya dari
pohon ke tempat pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik. Kriteria panen yang
perlu diperhatikan adalah matang panen, cara panen, alat panen, rotasi dan sistem
panen, serta mutu panen.
1. Kriteria matang Panen
Kriteria matang panen merupakan indikasi yang dapat membantu pemanen
agar memotong buah pada saat yang tepat. Kriteria matang panen ditentukan pada
saat kandungan minyak maksimal dan kandungan asam lemak bebas atau free
fatty acid (ALB atau FFA) minimal. Pada saat ini, kriteria umum yang banyak

dipakai adalah berdasarkan jumlah brondolan, yaitu tanaman dengan umur kurang
dari 10 tahun, jumlah brondolan kurang lebih 10 butir dan tanaman dengan umur
lebih dari 10 tahun, jumlah brondolan sekitar 15 20 butir. Namun, secara praktis
digunakan kriteria umum yaitu pada setiap 1 kg tandan buah segar (TBS) terdapat
dua brondolan.
2. Cara panen
Berdasarkan tinggi tanaman, ada tiga cara panen yang umum dilakukan
oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Untuk tanaman yang tingginya 2-5 m
digunakan cara panen jongkok dengan alat dodos, sedangkan tanaman dengan
ketinggian 5-10 m dipanen dengan cara berdiri dan menggunakan alat kampak
siam. Cara egrek digunakan untuk tanaman yang tingginya lebih dari 10 m dengan
menggunakan alat arit bergagang panjang. Untuk memudahkan pemanenan,
sebaiknya pelepah daun yang menyangga buah dipotong terlebih dahulu dan
diatur rapi di tengah gawangan.

Gambar 25. Cara panen pada tanaman kelapa sawit dengan metode dodos

3. Persiapan Panen
Untuk menghadapi masa panen dan agar proses dapat berjalan dengan
lancar, tempat pengumpulan hasil (TPH) harus disiapkan dan jalan untuk
pengangkutan hasil harus diperbaiki. Para pemanen harus disiapkan peralatan
yang akan digunakan.

2. Teknik Poduksi Biofuel Kelapa Sawit


A. Komposisi dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Kasar (Crude Oil)
Minyak-lemak kasar adalah minyak-lemak yang diperoleh dari pemerahan
atau pengempaan biji atau bagian lain dari sumber minyak (oil source) tanpa
mengalami pengolahan lanjut apapun kecuali penyaringan dan pengeringan (untuk
menurunkan kadar air). Komposisi asam-asam lemak minyak nabati berbeda-beda
tergantung dari jenis tanamannya. Zat-zat penyusun utama minyak-lemak (nabati
maupun hewani) adalah trigliserida, yaitu triester gliserol dengan asam-asam
lemak (C8C24). Gambar 26 dan Gambar 27 di bawah ini menunjukkan contohcontoh berbagai jenis asam-asam lemak dan struktur molekulnya. Sifat fisiko
kimia dari beberapa minyak-lemak nabati disajikan pada Tabel 26.

Gambar 26. Berbagai jenis asam-asam lemak

Gambar 27. Contoh-contoh struktur molekul berbagai asam-asam lemak

Tabel 26. Sifat-sifat beberapa minyak-lemak nabati

Minyak

Massa

Viskositas

jenis,

kinematika
0

Hc,

Angka

MJ/kg

setana

Titik
awan/
o

tuang, oC.

kg/liter

(38 C), cSt

Jarak kaliki

0,9537

297

37,27

Tak ada

-31,7

Jagung

0,9095

34,9

39,50

37,6

-1,1

-40,0

Kapas

0,9148

33,5

39,47

41,8

+1,7

-15,0

Crambe

0,9044

53,6

40,48

44,6

10,0

-12,2

Biji rami

0,9236

27,2

39,31

34,6

+1,7

-15,0

Kacang tanah

0,9026

39,6

39,78

41,8

12,8

-6,7

Kanola

0,9115

37,0

39,71

37,6

-3,9

-31,7

Kasumba

0,9144

31,3

39,52

41,3

18,3

-6,7

0,9021

41,2

39,52

49,1

-12,2

-20,6

Wijen

0,9133

35,5

39,35

40,2

-3,9

-9,4

Kedelai

0,9138

32,6

39,62

37,9

-3,9

-12,2

0,9161

33,9

39,58

37,1

7,2

-15,0

0,8400

2,7

45,34

47,0

-15,0

-33,0

Kasumba
OT*)

Bunga
matahari
Diesel No. 2

kabut, C.

Titik

Sumber : Goering, C.E., A.W. Schwab, M.J. Daugherty, E.H. Pryde, dan A.J.
Heakin, Fuel Properties of Eleven Vegetable Oils, Trans. ASAE 25, 1472
1477 (1982). *) OT = (berkadar) Oleat Tinggi

Tabel 26. Sifat-sifat beberapa minyak-lemak nabati (lanjutan)


Minyak

Massa jenis Viskositas


(20 oC),

kinematika
0

Hc, Angka
MJ/kg setana

Titik
awan/
o

tuang, oC.

kg/liter

(20 C), cSt

Kelapa

0,915

30

37,10 40 42

28

23 26

Sawit

0,915

60

36,90 38 40

31

23 40

Kapas

0,921

73

36,80 35 50

-1

Jarak pagar

0,920

77

38,00 23 41

-3

Kacang tanah

0,914

85

39,30 30 41

-3

Kanola

0,916

78

37,40 30 36

-11

-2

Kedelai

0,920

61

37,30 30 38

-4

-20

0,925

58

37,75 29 37

-5

-16

0,830

43,80

50

-9

-16

0,880

37,70

49

-4

-12

Bunga
matahari
Diesel
Ester Metil
Kanola

kabut, C.

Titik

Sumber : Vaitilingom, G. dan A. Liennard, Various Vegetable Oils as Fuel for


Diesel and Burners: J. curcas Particularities, hal. 98 109 dalam G.M. Gbitz,
M. Mittelbach dan M. Trabi (ed), Biofuels and Industrial Products from
Jatropha curcas, Dbv-Verlag fr die Technische Universitt Graz, Graz,
Austria, 1997.

Minyak Sawit Kasar -Crude Palm Oil


Crude Palm Oil (CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit
melalui proses perebusan Tandan Buah Segar (TBS), perontokan, dan
pengepresan. CPO ini diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang
telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi.
Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah
sekitar 30% dari nilai tandan buah segar.

CPO dapat digunakan sebagai bahan baku industri minyak goreng, industri
sabun, dan industri margarin. Dilihat dari proporsinya, industri yang selama ini
menyerap CPO paling besar adalah industri minyak goreng (79%), kemudian
industri oleokimia (14%), industri sabun (4%), dan sisanya industri margarin
(3%). Pemisahan CPO dan PKO dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri
atas asam lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses produksi minyak sawit
tersebut dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid
Distillate (PFAD), dan 0.5% buangan. Komponen asam lemak yang terdapat
dalam CPO disajikan pada Tabel 27 sedangkan sifat fisiko kimianya dapat dilihat
pada Tabel 28.
Tabel 27. Komposisi asam lemak dari CPO
Asam Lemak
Asam Laurat
Asam Miristat
Asam Palmitat
Asam Stearat
Asam Oleat
Asam Linoleat

Rantai C
12:0
14:0
16:0
18:0
18:1
18:2

Komposisi (% b/b)
0,2
1,1
44,0
4,5
39,2
10,1

Sumber: Hui (1996

Tabel 28. Sifat fisiko kimia CPO


Sifat Fisiko Kimia
Trigliserida
Asam lemak bebas (FFA)
Warna (5 Lovibond Cell)
Kelembaban & Impurities
Bilangan Peroksida
Bilangan Anisidin
Kadar -carotene
Kadar fosfor
Kadar besi (Fe)
Kadar Tokoferols
Digliserida
Bilangan Asam
Bilangan Penyabunan
Bilangan iod (wijs)
Titik leleh
Indeks refraksi (40C)

Nilai
95 %
25%
Merah orange
0.15 3.0 %
1 -5.0 (meq/kg)
2 6 (meq/kg)
500-700 ppm
10-20 ppm
4-10 ppm
600-1000 ppm
2-6 %
6,9 mg KOH/g minyak
224-249 mg KOH/g minyak
44-54
21-24C
36,0-37,5

Palm Kernel Oil (PKO)


Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian kernel buah kelapa sawit (Gambar
28) dengan cara ekstraksi pelarut atau dengan cara pengepresan. Komponen asam
lemak terbesar penyusun PKO adalah asam laurat (Tabel 29). Hal ini menjadikan
PKO memiliki karakteristik yang mirip dengan minyak kelapa. Sifat fisiko kimia
PKO disajikan pada Tabel 30.

Gambar 28. Bagian bagian buah kelapa sawit


Tabel 29. Komposisi asam lemak dari PKO
Asam Lemak

Rantai C

Komposisi (% b/b)

Asam Laurat

12:0

47-53

Asam Miristat

14:0

15-19

Asam Palmitat

16:0

8-11

Asam Stearat

18:0

1-3

Asam Oleat

18:1

12-19

Asam Linoleat

18:2

2-4

Sumber: Hui (1996)

Tabel 30. Sifat fisiko kimia PKO


Sifat Fisiko Kimia

Nilai

Kadar Asam lemak bebas (FFA)

25 % (m/m)

Bilangan Asam

225 mg KOH/g minyak

Bilangan Penyabunan

256 mg KOH/g minyak

Bilangan iod (wijs)

14 - 23

Titik leleh

48C

B. Pengolahan Kelapa Sawit


Tandan buah sawit dari kebun akan langsung diolah. Proses yang
dilakukan meliputi proses sterilisasi, perontokan, pencacahan, dan pengepresan
untuk mendapatkan minyak sawit. Dari proses pengepresan akan dihasilkan fase
cair (minyak) dan fase padat berupa ampas. Fase cair merupakan fase minyak
yang masih banyak mengandung pengotor seperti serat-serat maupun pasir
sehingga perlu dilakukan penyaringan dan klarifikasi untuk memisahkan
pengotor-pengotor tersebut. Diagram alir pengolahan kelapa sawit disajikan pada
Gambar 29 di bawah ini.
TBS Setelah Ditimbang

Loading Ramp
TBS Dalam Lori

Sterilizer

Thresher

Empty Bunch Press

Brondolan Buah
Tandan Kosong

Digester
Air Panas
Pengencer 95OC

Press Fluid
Cairan Kempa

Bahan Bakar Boiler/


Lapangan
Screw Press
Press Cake
Ampas Kempa

Gambar 29. Diagram alir pengolahan kelapa sawit

Sand Trap

Vibrating Screen

Crude Oil Tank

Clarification Tank
Sludge Tank

Sand Cyclone

Oil Tank

Pasir
Berminyak

Sludge

Oil Purifier

Sludge Separator
Minyak Mutu
Rendah

Minyak

Air Cucian
Berminyak

Vaccum Oil Dryer

Sludge

Oil Trap

Sludge Pit

Minyak

Air Limbah

Air Limbah

Effluent Pond
Air Limbah

PAL Kawasan
Gambar 29. Diagram alir pengolahan kelapa sawit (lanjutan)

CPO

CPO Storage
Tank

Pemulusan/Pemurnian Minyak
Proses pemulusan/pemurnian merupakan langkah yang perlu dilakukan
dalam produksi edible oil dan produk berbasis lemak. Tujuan dari proses ini
adalah untuk

mengilangkan pengotor dan

komponen lain

yang akan

mempengaruhi kualitas dari produk akhir/jadi. Kualitas produk akhir yang perlu
diawasi adalah bau, stabilitas daya simpan, dan warna produk (Leong, 1992).
Dalam sudut pandang industri, tujuan utama dari pemulusan/pemurnian
adalah untuk merubah minyak kasar/mentah menjadi edible oil yang berkualitas
dengan cara menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan sampai level yang
diinginkan dengan cara yang paling efisien. Bahan yang tidak diinginkan atau
pengotor dalam minyak mungkin biogenic misalnya disintesis oleh tanaman itu
sendiri tapi bahan tersebut bisa jadi pengotor yang diambil oleh tanaman dari
lingkungannya (Borner et al., 1999). Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama
proses hulu, yaitu ekstraksi, penyimpanan atau transportasi dari minyak
kasar/mentah dari lapang ke pabrik.
Proses pemurnian yang tepat sangat penting dilakukan dalam rangka untuk
memproduksi produk akhir yang berkualitas tinggi dalam rentang spesifikasi yang
telah ditentukan dan sesuai keinginan pelanggan. Ada 2 tipe dasar teknologi
pembersihan yang tersedia untuk minyak:
(i) Pembersihan secara kimia (alkali)
(ii) Pembersihan secara fisik
Perbedaan diantara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia yang
digunakan dan cara penghilangan FFA. Pembersihan secara fisik tampaknya pada
prakteknya menggantikan penggunakan teknik pembersihan menggunakan bahan
kimia (alkali) karena tingginya asam lemak bebas (FFA) pada minyak yang
dibersihkan dengan cara kimia. Proses deasidifikasi (deodorisasi) pada proses
pembersihan secara fisik mampu mengatasi masalah tersebut. Terpisah dari hal
tersebut, menurut literatur, metode ini disarankan karena diketahui cocok untuk
minyak tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah seperti minyak sawit. Dengan
demikian, Pembersihan secara fisik terbukti memiliki efisiensi yang lebih tinggi,
kehilangan yang lebih sedikit (refining factor (RF) < 1.3), biaya operasi yang

lebih rendah, modal yang lebih rendah dan lebih sedikit bahan untuk ditangani
(Yusoff dan Thiagarajan, 1993).
Refining

Factor

(RF)

adalah

parameter

yang

digunakan

untuk

memperkirakan berbagai tahap pada proses pemurnian. Faktor ini tergantung


pada hasil produk dan kualitas dari input dan dihitung yaitu :
RF

oil loss %
FFA %

RF biasanya dikuantifikasi untuk berbagai tahap dalam proses pemurnian secara


sendiri-sendiri dan pengawasan RF dalam pemurnian biasanya berdasarkan berat
yang dihitung dari pengukuran volumetrik yang disesuaikan dengan temperatur
atau menggunakan accurate cross-checked flow meters (Leong, 1992).

Gambar 30. Proses pemurnian CPO

Scara umum, pemurnian secara kimia memerlukan tahap proses, peralatan


dan bahan kimia yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pemurnian secara
fisik. Diagram proses untuk proses pemurnian secara kimia dan secara fisik
digambarkan pada Gambar 30.
Pemulusan/Pemurnian (Refining) Kimia
Pemulusan/pemurnian secara kimia atau pemulusan/pemurnian basa
adalah metode konvensional yang digunakan untuk memurnikan CPO. Ada tiga
tahap pada proses refining secara kimia, yaitu 1. Degumming dan Netralisasi, 2.
Penjernihan dan Filtrasi, 3. Penghilangan bau
1) Degumming dan Netralisasi
Pada tahap ini, bagian fosfatida dari minyak dihilangkan dengan
menambahkan additive di bawah kondisi reaksi yang spesifik. Additive yang
paling umum digunakan adalah asam fosfat dan asam sitrat. Setelah itu,
dilakukan proses netralisasi dengan menggunakan basa untuk menghilangkan
asam lemak bebas. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu pemisah
sehingga akan terpisah antara bagian minyak dengan sabun hasil reaksi antara
basa dengan asam lemak bebas. Untuk menghilangkan kelebihan basa, minyak
tersebut dicuci dengan air panas. Reaksi kimia yang terjadi pada tahap ini
adalah sebagai berikut:
R-COOH + NaOH RCOONa + H2O
2) Penjernihan dan Filtrasi
Minyak yang telah dicuci kemudian dilakukan tahap kedua, yaitu
penjernihan. Pada tahap ini, minyak dimasukkan ke dalam bejana silindris
dengan pengaduk yang dinamakan Bleacher. Minyak tersebut kemudian
dipanaskan pada suhu 90C di bawah kondisi vakum. Minyak tersebut di
evaporasi hingga kering. Minyak yang kering kemudian ditambahkan karbon
sehingga karbon tersebut akan mengadsorpsi warna dari minyak. Campuran
minyak dan agen pemutih di lakukan tahap filtrasi untuk memisahkan
adsorben dari minyak. Minyak yang diperoleh lebih jernih dari awal.

3) Penghilangan Bau
Minyak setelah dilakukan tahap penjernihan masih mengandung beberapa
bahan yang menyebabkan bau, sehingga perlu dilakukan tahap deodorisasi.
Minyak yang jernih dimasukkan ke dalam bejana silindris yang dinamakan
Deodoriser. Deodoriser dijaga pada kondisi vakum yang tinggi kemudian
dipanaskan pada suhu 200C dengan tekanan yang tinggi. Senyawa yang
volatil akan menguap dengan beberapa pembawa. Minyak ini kemudian
didinginkan dan dijernihkan melewati mesin penyaring untuk mendapatkan
minyak yang bening.

Pemulusan/Pemurnian (Refining) Fisika


Pemulusan

secara

fisika

adalah

metode

alternatif

dimana

cara

penghilangan asam lemak bebas dilakukan dengan destilasi pada temperatur yang
tinggi dan vakum yang rendah. Cara ini menggantikan penambahan basa pada
metode pemulusan/pemurnian kimia. Penjernihan secara fisika juga dapat
dikatakan sebagai deasidifikasi dengan destilasi uap dimana asam lemak bebas
dan senyawa volatile lainnya di pisahkan dari minyak menggunakan agen
stripping yang efektif. Pada tahap pemulusan/pemurnian fisika, FFA di hilangkan
pada tahap akhir. Proses pemulusan/pemurnian secara fisika disajikan pada
Gambar 31. Kelebihan pemulusan/pemurnian fisika dibanding kimia adalah:
Mendapatkan hasil yang baik
Asam lemak yang dihasilkan sebagai produk samping memiliki kualitas
yang tinggi
Stabilitas minyak baik
Peralatan yang digunakan murah
Operasinya sederhana

Gambar 31. Proses pemurnian CPO secara fisika

Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO)


Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) adalah minyak
sawit yang telah mengalami proses penyulingan untuk menghilangkan asam
lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan penghilangan bau.
Minyak ini dikenal khalayak ramai sebagai minyak goreng. Sifat fisiko kimia dari
RBDPO dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Sifat fisiko kimia dari RBDPO
Parameter

Nilai

Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

0.05

Moisture & Impurities (M&I)

0.02

Bilangan Anisidin

2.0

Kadar fosfor

3 ppm

Kadar besi (Fe)

0.15 ppm

Kadar tembaga (Cu)

0.05 ppm

Palm Fatty Acid Distillate (PFAD)


Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) merupakan hasil samping pemurnian
CPO secara fisika, yaitu setelah tahap deguming, deasidifikasi, dan pengeringan
sistem vakum. Komponen terbesar dalam PFAD aadalah asam lemak bebas,
komponen karotenoid, dan senyawa volatil lainnya.

Secara umum proses

pengolahan (pemurnian) minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21%


stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% bahan lainnya. Pada
umumnya PFAD digunakan industri sebagai bahan baku sabun ataupun pakan
ternak.

PFAD memiliki kandungan

Free Fatty Acid (FFA) sekitar 81,7%,

gliserol 14,4%, squalane 0,8%, Vitamin E 0,5%, sterol 0,4% dan lain-lain 2,2%.
RBD Olein
RBD Olein merupakan minyak yang diperoleh dari fraksinasi CPO dalam
fase cair. Komponen asam lemak terbesar dari RBD Olein adalah asam oleat
(Tabel 32).
Tabel 32. Komponen asam lemak pada RBD Olein
Asam Lemak

Perbandingan

Komposisi (% b/b)

Asam Laurat

12:0

0,1-0,5

Asam Miristat

14:0

0,9-1,5

Asam Palmitat

16:0

37,9-41,7

Asam Stearat

18:0

4,0-4,8

Asam Palmitoleat

16:1

0,1-0,4

Asam Oleat

18:1

40,7-43,9

Asam Linoleat

18:2

10,4-13,4

RBD Stearin
RBD Stearin merupakan minyak yang diperoleh dari fraksinasi CPO dalam fase
padat. Komponen asam lemak terbesar dari RBD stearin adalah asam palmitat
(Tabel 33).

Tabel 33. Komponen asam lemak pada RBD Stearin


Asam Lemak

Perbandingan Komposisi (% b/b)

Asam Laurat

12:0

0,1-0,6

Asam Miristat

14:0

1,1-1,9

Asam Palmitat

16:0

47,2-73,8

Asam Stearat

18:0

4,4-5,6

Asam Palmitoleat

16:1

0,05-0,2

Asam Oleat

18:1

15,6-37,0

Asam Linoleat

18:2

3,2-9,8

C. Pengolahan Biodiesel Kelapa Sawit


Biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari
minyak nabati yang baru maupun dari minyak nabati bekas penggorengan melalui
proses transesterifikasi, esterifikasi, maupun proses esterifikasitransesterifikasi.
Dengan memanfaatkan kelapa sawit sebagai bahan bakunya, dapat dihasilkan
biodiesel CPO, biodiesel PFAD, Biodiesel Olein maupun biodiesel stearin.
Biodiesel sebagai bioenergi digunakan sebagai bahan bakar alternatif
pengganti BBM pada motor diesel. Biodiesel dapat digunakan baik dalam bentuk
100 % (B100) atau campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi
tertentu (BXX) seperti 10 persen biodiesel dicampur dengan 90 persen solar
dikenal dengan nama B10. Campuran biodiesel dengan solar yang ada di pasaran
dikenal dengan biosolar.
Biosolar merupakan campuran antara 95% solar produksi kilang Balongan
dan 5% Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Biosolar ini merupakan nama dagang
pertamina untuk bahan bakar motor (mesin) diesel yang merupakan campuran
biodiesel di dalam solar. Biosolar merupakan salah satu bahan bakar alternatif
yang ramah lingkungan. Secara umum, biosolar lebih baik karena ramah
lingkungan, pembakarannya bersih, biodegradable, mudah dikemas dan disimpan,
serta merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui. Selain itu, mesin atau alat
yang menggunakan biosolar tidak perlu dimodifikasi. Biosolar juga dapat

memperpanjang umur mesin dan menjamin keandalan mesin dengan lubrisitas


atau pelumas maksimum 400 mikron.
Bahan bakar yang berbentuk cair ini memiliki sifat menyerupai solar
sehingga sangat prospektif untuk dikembangkan. Disamping sifatnya yang
menyerupai solar, biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan dengan solar.
Kelebihan biodiesel dibanding solar adalah sebagai berikut: merupakan bahan
bakar yang ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik
(free sulphur, smoke number rendah) sesuai dengan isu-isu global, setana number
lebih tinggi (> 57) sehingga efisiensi pembakaran lebih baik dibandingkan dengan
minyak kasar, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin; biodegradable
(dapat terurai), merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang
dapat diperbarui, dan meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat
diproduksi secara lokal.
Deskripsi Proses Biodiesel
Dalam pengertian populer dewasa ini, yang dimaksud dengan biodiesel
adalah bahan bakar mesin diesel yang terdiri atas ester-ester metil (atau etil) asamasam lemak. Dibuat dari minyak-lemak nabati dengan proses metanolisis atau
etanolisis, produk sampingnya berupa gliserol. Atau dari asam lemak (bebas)
dengan proses esterifikasi dengan metanol atau etanol, produk sampingnya berupa
air.
Produk biodiesel mentah (kasar) yang dihasilkan proses metanolisis
biasanya harus dimurnikan dari pengotor-pengotor seperti sisa-sisa metanol,
katalis, dan gliserol. Fase gliserol-metanol bebas-air maupun fase gliserolmetanol-air dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan gliserol dan metanol
(untuk didaur ulang). Proses pembuatan biodiesel dilakukan melalui proses-proses
berikut ini.
a. Alkoholisis (atau transesterifikasi) trigliserida dengan metanol atau etanol.
Trigliserida adalah triester dari gliserol dengan asam-asam lemak, yaitu
asam-asam karboksilat beratom karbon 6 s/d 30. Persamaan stoikiometri generik
reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol adalah sebagai berikut :

Gambar 32. Stoikiometri generik reaksi transesterifikasi trigliserida dengan


metanol
Transesterifikasi dengan alkohol juga dikenal dengan nama alkoholisis
sehingga reaksi di atas disebut juga metanolisis. Tanpa adanya katalis, sebenarnya
reaksi berlangsung amat lambat. Katalis bisa berupa zat yang bersifat basa, asam,
atau enzim [Schuchardt dkk. (1998), Lotero dkk. (2005), Fukuda dkk. (2001)].
Efek pelancaran reaksi dari katalis basa adalah yang paling besar, sehingga katalis
inilah yang sekarang lazim diterapkan dalam praktek. Reaksi metanolisisnya
sendiri sebenarnya berlangsung dalam tiga tahap sebagai berikut :

Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah


natrium hidroksida, kalium hidroksida, natrium metilat (metoksida), dan kalium
metilat. Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida) yang
jika pun katalis yang ditambahkan adalah hidroksida, akan terbentuk melalui
reaksi kesetimbangan :
OH + CH3OH

H2O + CH3O

Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak pada tiap siklus
katalitiknya adalah sebagai berikut (mekanisme serupa berlangsung pada konversi
digliserida menjadi monogliserida dan monogliserida menjadi gliserol) :

Gambar 33. Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak

Dengan katalis basa, reaksi metanolisis dapat berlangsung cepat pada


temperatur-temperatur relatif rendah (temperatur kamar sampai titik didih normal
metanol, yaitu 65oC) [Formo (1954)]. Karena ini, kebanyakan proses
industrial/komersial beroperasi pada rentang temperatur ini dan tekanan
atmosferik; katalis yang ditambahkan biasanya sebanyak 0.51.5 persen dari berat
minyak yang diolah.
Wright dkk. (1944) dan Freedman dkk. (1984), yang menyelidiki ulang
(atau memverifikasi) kondisi proses yang diklaim Bardshaw and Meuly (1942,
1944), menyatakan bahwa untuk mendapatkan perolehan ester yang maksimum,
bahan mentah yang digunakan dalam proses metanolisis trigliserida berkatalis
basa harus memenuhi persyaratan sebagai minyak yang betul-betul mulus (murni)
(fully refined) seperti minyak goreng, yaitu angka asam < 1 dan kadar air < 0,3 %.
Jika bahan mentah (kasar) memenuhi syarat ini, maka dengan katalis basa
(natrium metilat ataupun hidroksida) dan pada temperatur 6065 oC, nisbah molar

(metanol/minyak) paling sedikitnya 6 : 1 (yaitu minimum 2 kali nisbah


stoikiometrik), konversi ke ester metil sudah praktis sempurna dalam waktu 1
jam. Pada suatu temperatur yang lebih rendah, yakni 32 oC, derajat metanolisis
sudah mencapai 99 % dalam tempo sekitar 4 jam.
Standardisasi Biodiesel Indonesia SNI-04-7182-2006 menunjukkan bahwa
biodiesel komersial di Indonesia harus berkadar ester metil paling sedikitnya 96,5
%-berat dan berkadar gliserol total (yaitu yang bebas maupun terikat dalam
bentuk sisa-sisa trigliserida, digliserida, dan monogliserida) tak lebih dari 0,24 %berat. Perlu pula dicatat bahwa konversi minyak ke ester metil disertai penurunan
drastis viskositas dan nilai viskositas biodiesel yang di atas persyaratan biasanya
menunjukkan kadar sisa-sisa gliserida dan gliserol yang masih agak tinggi. Karena
penyingkiran sisa-sisa trigliserida, digliserida, dan monogliserida dari produk
reaksi merupakan operasi yang sulit (atau mahal), persyaratan kadar ester metil
dan kadar gliserol total (+ nilai viskositas) tersebut berarti bahwa transesterifikasi
harus dilakukan sampai konversi gliserida-gliserida ke ester metil praktis
sempurna. Ini dapat dicapai dengan menerapkan kondisi-kondisi reaksi yang
sudah disebutkan di atas. Untuk menurunkan lagi jumlah metanol yang
dibutuhkan untuk mencapai konversi sempurna tersebut, misalnya sampai kirakira 1,5 x nisbah stoikiometrik, transesterifikasi dapat juga dilaksanakan dalam 2
tahap atau lebih, yang masing-masingnya bisa dilakukan pada temperatur maupun
jumlah metanol yang sama maupun berbeda.
Transesterifikasi sebenarnya adalah reaksi kesetimbangan, sekalipun posisi
kesetimbangannya sangat berat ke pihak pembentukan produk. Pengamatanpengamatan

terhadap

data

literatur

menunjukkan

bahwa

konversi

kesetimbangannya makin besar (mendekati 100 %) jika temperatur lebih rendah.


Oleh karena itu, mendekati akhir dari pelaksanaan proses transesterifikasi,
temperatur reaksi sebaiknya diupayakan serendah mungkin.
Campuran reaksi di dalam proses-proses transesterifikasi yang diulas di
atas adalah sistem dua fase (yaitu terdiri atas fase minyak dan fase alkohol).
Untuk lebih mempercepat lagi reaksi metanolisis (sehingga transesterifikasinya
bisa selesai, misalnya saja, hanya dalam beberapa menit), beberapa pengembang
proses telah menambahkan pelarut, misalnya saja tetrahidrofuran, yang mampu

membuat campuran reaksi menjadi suatu fase tunggal (cosolvent). Akan tetapi,
penambahan pelarut biasanya sangat memperbesar nilai minimum nisbah molar
alkohol : minyak dan juga mengubah parameter-parameter lainnya. Tambahan
pula, tahap-tahap pengolahan pasca transesterifikasi menjadi lebih rumit, karena
adanya kebutuhan untuk menjumput (to recover) dan mendaur-ulang pelarut
tersebut.
b. Esterifikasi asam-asam lemak (bebas) dengan metanol atau etanol.
Berlawanan dengan reaksi transesterifikasi trigliserida, esterifikasi asamasam lemak, seperti ditunjukkan persamaan berikut (Gambar 34).

Gambar 34. Reaksi esterifikasi asam lemak

Reaksi ini merupakan reaksi kesetimbangan yang lambat, sekalipun sudah


dipercepat dengan kehadiran katalis yang baik dan berjumlah cukup. Kataliskatalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat, sehingga asam sulfat, asam
sulfonat organik (dalam jumlah 1 sampai 3 % dari asam lemak yang diolah), atau
resin penukar kation asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih
dalam praktek industrial.
Posisi kesetimbangan reaksi esterifikasi juga tidak sangat berpihak kepada
pembentukan ester metil, sehingga untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung
sampai ke konversi sempurna pada temperatur relatif rendah (misalnya paling
tinggi 120 oC), reaktan metanol harus ada/dipasok dalam jumlah sangat berlebih
(biasanya lebih besar dari 10 x nisbah stoikiometrik) dan air produk ikutan reaksi
harus disingkirkan dari fase reaksi, yaitu fase minyak. Penyingkiran air ini dapat
ditempuh dengan berbagai cara alternatif :

menguapkan fase akuatik atau alkohol, mengadsorpsi uap air, serta


kemudian mengembunkan uap metanol kering untuk dikembalikan ke
dalam bejana reaksi [Harrison dkk. (1968)];

mengabsorpsi air yang terbentuk dengan garam-garam anhidrat yang


membentuk padatan berhidrat (misalnya CaCl2 or CaSO4); atau

mengekstrak air yang terbentuk dengan suatu cairan penyeret (entraining


agent) seperti gliserol, etilen glikol, atau propilen glikol [Lepper dkk.
(1986)].
Biodiesel mentah (kasar) yang dihasilkan proses transesterifikasi minyak

(atau esterifikasi asam-asam lemak) biasanya masih mengandung sisa-sisa katalis,


metanol, dan gliserol (atau air). Untuk memurnikannya, biodiesel mentah (kasar)
tersebut bisa dicuci dengan air, sehingga pengotor-pengotor tersebut larut ke
dalam dan terbawa oleh fase air pencuci yang selanjutnya dipisahkan. Porsi
pertama dari air yang dipakai mencuci disarankan mengandung sedikit asam/basa
untuk menetralkan sisa-sisa katalis. Biodiesel yang sudah dicuci kemudian
dikeringkan pada kondisi vakum untuk menghasilkan produk yang jernih
(pertanda bebas air) dan bertitik nyala 100 oC (pertanda bebas metanol).
Melalui kombinasi-kombinasi yang jitu dari kondisi-kondisi reaksi dan
metode penyingkiran air, dan barangkali juga dengan pelaksanaan reaksi secara
bertahap, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat
dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam.
Proses transesterifikasi dan esterifikasi dapat digabungkan untuk
mengolah bahan baku dengan kandungan asam lemak bebas sedang sampai tinggi
seperti CPO low grade, maupun PFAD.

Pembuatan Bio oil berbasis limbah pengolahan kelapa sawit


Bio oil adalah bahan bakar cair dari biomassa seperti kayu, kulit kayu,
kertas, atau biomassa lainnya, yang diproduksi melalui teknologi pyrolysis
(pirolisa) atau fast pyrolysis (pirolisa cepat), berwarna gelap dan memiliki aroma
seperti asap. Fast pyrolysis adalah dekomposisi termal dari komponen organik

tanpa kehadiran oksigen dalam prosesnya untuk menghasilkan cairan, gas, dan
arang. Cairan yang dihasilkan ini lebih lanjut kita kenal sebagai bio oil.

Panas
Biomassa

(Arang + Gas)

Bio oil

Proses produksi bio oil dimulai dengan mempersiapkan bahan baku


lignoselulosa seperti kayu atau limbah agroindustri menjadi partikelpartikel yang
lebih kecil hingga diameter kurang dari 1 mm. Pengecilan ukuran dimaksudkan
untuk mempercepat reaksi pirolisis. Bahan kemudian dimasukan ke dalam reaktor
yang dipanaskan pada suhu 450 500C tanpa kehadiran oksigen. Bahan baku
akan terbakar dan akan menguap seperti droplet yang dilemparkan air ke dalam
permukaan wajan panas. Di dalam reaktor pirolisis, partikel akan dikonversi
menjadi uap yang dapat dikondensasi, gas yang tidak dapat dikondensasi, dan
padatan arang. Produk kemudian ditransportasikan ke dalam cyclone. Di dalam
cyclone gas yang dapat dikondensasi akan dikondensasikan dan selanjutnya
disebut sebagai bio oil, dan arang yang terbentuk dipisahkan. Sementara itu, gas
yang tidak dapat terkondensasi (termasuk di dalamnya CO2, H2, dan CH4) akan
dibakar dan dikembalikan ke reaktor untuk menjaga panas dari proses.
Dalam reaksi produksi bio oil tidak dihasilkan limbah atau zero waste
(Gambar 35). 100 % bahan baku dikonversi menjadi bio oil dan arang, sedangkan
gas yang tidak dapat dikondensasi dikembalikan ke dalam proses sebagai sumber
energi. Tiga produk akhir yang dihasilkan dalam proses pirolisis yaitu : bio oil (60
75 wt %), arang (15 20 wt %), dan gas tidak terkondensasi (10 20 wt %).

Gambar 35. Proses pembuatan bio oil

Deskripsi Proses Green Diesel


Green diesel merupakan cairan menyerupai bahan bakar solar yang sangat
bersih, yang dihasilkan melalui kombinasi antara gasifikasi biomasa (GB) dan
sintesis Fischer-Tropsch (FT). Pada proses ini biomasa digasifikasi untuk
menghasilkan gas atau biosyngas yang kaya akan H2 dan CO. Setelah
pembersihan, biosyngas bisa digunakan sebagai gas umpan pada reaktor sistesis
FT dimana H2 dan CO dirubah menjadi hidrokarbon rantai panjang yang
kemudian dirubah menjadi green diesel pada proses berikutnya. Pada sintesis FT
satu mol CO bereaksi dengan dua mol H2 membentuk hidrokarbon rantai lurus
alifatik (CxHy). Katalis FT biasanya berbasis besi atau kobalt. Sekitar 20% dari
energi kimia dilepaskan sebagai panas pada reaksi eksotermik ini:

CO + 2H2 - (CH2) - + H2O


(1)
Mengikuti persamaan 1, reaksi FT mengkonsumsi hidrogen dan karbon
monoksida dengan perbandingan H2/CO = 2. Jika rasio dalam gas umpan lebih
rendah, bisa disesuaikan dengan reaksi Water-Gas Shift (WGS).
CO + H2O CO2 + H2
(2)
Katalis FT berbasis besi menunjukkan aktivitas WGS dan perbandingan
H2/CO disesuaikan di dalam reaktor sintesis. Pada kasus katalis berbasis kobalt,
perbandingan perlu disesuaikan sebelum sintesis FT. Kondisi umum operasi untuk
sintesis FT adalah temperatur 200-250C dan tekanan 25-60 bar. Polimerisasi
menghasilkan produk dalam beberapa fraksi, terdiri atas fraksi hidrokarbonhidrokarbon ringan (C1 dan C2), LPG (C3-C4), nafta (C5-C11), diesel (C9-C20), dan
lilin (>C20). Distribusi produk tergantung dari katalis dan kondisi operasi proses.
Dalam kaitan dengan produksi green diesel, kondisi proses bisa dipilih untuk
menghasilkan jumlah maksimum dari produk pada rentang diesel. Bagaimanapun
juga, hasil diesel yang lebih tinggi bisa dicapai ketika sintesis FT dioptimasikan
melalui produksi lilin. Lilin ini bisa dipecah untuk menghasilkan predominan
diesel. Untuk proses ini diperlukan hidrogen tambahan, yang bisa diproduksi dari
produk samping syngas yang dirubah secara sempurna menjadi hidrogen melalui
reaksi Water-Gas Shift WGS (2).

3. Analisis Ekonomi Investasi Bioenergi dari Kelapa Sawit


A. Analisis finansial budidaya kelapa sawit
Budidaya kelapa sawit merupakan salah satu usaha pertanian yang banyak
diminati investor. Tingginya produktivitas lahan serta aspek pasar yang sangat
prospektif menjadi pendorong tingginya investasi di bidang ini. Budidaya kelapa
sawit sangat identik dengan skala budidaya yang besar, meskipun demikian tidak
menutup kemungkinan usaha pada skala yang lebih kecil. Pada umumnya skala
budidaya kelapa sawit yang besar dilakukan jika pihak pengusaha bermaksud
mendirikan juga unit pengolahannya, sedangkan untuk skala yang lebih kecil
dilakukan dengan memproduksi TBS yang dijual kepada pengumpul. Jika ingin
mendirikan pabrik pengolahan sendiri, hingga diperoleh CPO, luas areal
perkebunan kelapa sawit minimal adalah 6.000 ha. Berikut ini adalah analisis
usaha budidaya kelapa sawit skala 6.000 ha.
Pada analisis ini, asumsi-asumsi yang digunakan antara lain :

Luas lahan budidaya adalah 6.000 ha, dengan tingkat kesesuaian lahan
untuk perkebunan sawit kelas 3 (S3).

Populasi kebun 143 pohon/ha

Jumlah bibit cadangan 10% dari total kebutuhan bibit

Produktivitas lahan sesuai dengan tingkat kesesuaian lahan (S3)

Umur
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Produktivitas (ton/ha/thn)
6
10
14
18
23
25
25
25
25
25
25
24

Umur
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Produktivitas (ton/ha/thn)
24
23
22
22
21
20
19
18
17
16
15

Kelapa mulai berproduksi pada tahun ke 3 dan dapat berproduksi hingga


tahun ke 25.

Hasil dari kebun dijual kepada pengumpul dengan harga TBS adalah Rp.
600/kg.

BIAYA
Pendirian kebun kelapa sawit seluas 6.000 ha memerlukan biaya investasi
dan biaya operasional yang dikeluarkan selama umur proyek (25 tahun). Biaya
investasi terdiri dari biaya pembelian peralatan sebesar Rp. 2,178,000,000,- dan
biaya pengadaan sarana penunjang sebesar Rp.7,736,850,000,- termasuk di
dalamnya lahan, bangunan, peralatan kantor serta sarana transportasi. Investasi
untuk peralatan dilakukan setiap tahun dengan nilai investasi yang berbeda-beda.
Komponen biaya investasi pendirian kebun budidaya kelapa sawit 6.000 ha untuk
tahun pertama disajikan pada Tabel 34. Secara rinci, biaya investasi disajikan
pada Lampiran 1.
Tabel 34. Kebutuhan investasi kebun budidaya kelapa sawit 6.000 ha
Uraian Investasi
A Fasilitas penunjang
1. Kantor
2. Kendaraan, infrastruktur kebun
3. Fasilitas penunjang kantor
B Peralatan budidaya
Total Investasi

Total Biaya (Rp)


200,000,000
7,520,000,000
16,850,000
2,178,000,000
9,914,850,000

Biaya operasional untuk penanaman dan persiapan lahan adalah sebesar Rp.
8,760,000,000 untuk biaya tenaga kerja dan Rp. 11,068,200,000,- untuk
pembelian bahan. Rincian biaya operasional tersebut disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35 . Rincian biaya operasional kebun budidaya kelapa sawit tahun pertama
1
2
3
4
5

Tenaga Kerja
Pembukaan lahan
Pembuatan jalan dan drainase
Pembuatan lubang tanam
Pemupukan pada lubang tanam
Penanaman bibit

Jumlah
168000
96000
48000
18000
108000

Satuan
HOK
HOK
HOK
HOK
HOK

Harga/satuan
20,000
20,000
20,000
20,000
20,000

Total Biaya TK
Bahan
1 bibit sawit
2 Pupuk
SA
TSP
KCl
Kieserite
Borium
ZA
MOP
3 Pestisida
Total biaya Bahan

Total Biaya (Rp)


3,360,000,000
1,920,000,000
960,000,000
360,000,000
2,160,000,000
8,760,000,000

858000 batang

12,000

10,296,000,000

0
429000
0
0
0
0
0
0

2,600
1,800
3,500
1,200
2,000
1,200
3,000
50,000

0
772,200,000
0
0
0
0
0
0
11,068,200,000

kg
kg
kg
kg
kg
kg
kg
L

Biaya operasional untuk tahun pertama dan seterusnya disajikan pada Tabel 36
dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 36. Biaya operasional budidaya kelapa sawit selama umur ekonomi proyek
Tahun
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Tahun 6
Tahun 7
Tahun 8
Tahun 9
Tahun 10
Tahun 11
Tahun 12
Tahun 13
Tahun 14
Tahun 15
Tahun 16
Tahun 17
Tahun 18

Biaya operasional
Tenaga kerja (Rp)
Bahan (Rp)
17,040,000,000
8,510,160,000
14,640,000,000 10,732,380,000
12,006,400,000 11,109,900,000
12,006,400,000
7,377,600,000
12,006,400,000
7,377,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000

Tahun 19
Tahun 20
Tahun 21
Tahun 22
Tahun 23
Tahun 24
Tahun 25

12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000

14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000

PENDAPATAN
Pendapatan kebun kelapa sawit dihasilkan dari penjualan Tandan Buah
Sawit (TBS). Harga yang digunakan yaitu Rp.600.000,- per ton. Pada tahun ketiga
(pertama kali panen), asumsi produktivitas yang digunakan adalah 6 ton/ha/tahun.
Dengan produktivitas tersebut pada tahun ke 3 akan dihasilkan 36.000 ton TBS
dan mendatangkan pendapatan sebesar Rp. 21,600,000,000,-. Sedangkan pada
tahun ke 8-13, produktivitas lahan maksimal yaitu 25 ton/ha/tahun, maka pada
tahun 8 akan diperoleh pendapatan sebesar Rp. 90,000,000,000,-.

PROYEKSI ARUS KAS DAN KRITERIA KELAYAKAN USAHA


Kelayakan usaha budidaya kelapa sawit dianalisis menggunakan proyeksi
arus kas dan perhitungan kriteria kelayakan yang terdiri dari NPV, IRR, Net B/C
serta PBP. Usaha dikatakan layak jika dapat memenuhi kewajiban finansial serta
dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Proyeksi arus kas secara
lengkap disajikan pada Lampiran 3, adapun hasil perhitungan kriteria kelayakan
disajikan pada Tabel 37.
Tabel 37. Kriteria kelayakan usaha budidaya kelapa sawit
Kriteria kelayakan
NPV
IRR
B/C Ratio
PBP

Nilai
Rp. 91,840,709,247
33%
9.00
6.98

Dari perhitungan kriteria tersebut, terlihat bahwa usaha pendirian kebun


budidaya kelapa sawit layak dilakukan dan menguntungkan secara finansial.
Dengan umur proyek 25 tahun, nilai NPV adalah positif, nilai IRR lebih besar dari
tingkat suku bunga bank (33% > 15%), B/C ratio lebih besar dari 1 dan modal
yang dikeluarkan dapat kembali pada tahun ke 6.98.

B. Analisis finansial biodiesel kelapa sawit


Asumsi perhitungan
Dalam perhitungan analisis finansial biodiesel kelapa sawit, digunakan
beberapa asumsi yaitu umur ekonomi proyek 20 tahun, kapasitas produksi 6.000
ton/tahun serta beberapa parameter lainnya yang disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38. Asumsi-asumsi pada Unit Pengolahan Biodiesel Kelapa Sawit
1 Kapasitas Produksi
Kapasitas operasi
2 Keuangan
Debt Equity Ratio
Bunga
- Investasi
- Modal kerja
Pembayaran
- Investasi
- Modal kerja
Depresiasi
3 Utilitas dan konsumsi
Uap 5 bar
Listrik
Air pendingin
Air untuk proses
Air sisa
Nitrogen cair
Lain-lain
4 Bahan baku (kimia)
CPO
Metanol
KOH
H2SO4
Bahan tambahan 1
Bahan tambahan 2
5 Biaya lain
Orang/tenaga kerja
Pengawasan dan over head
Pemeliharaan
Asuransi
Lab/Quality control
Biaya pemasaran
Lain-lain
6 Harga produk
Bio Diesel
Gliserol teknis

100%

60,000

70%

30%
12%
12%
8
5
10
150,000
552
460
9,200
13,800
2,760
23,000
4,000,000
2,760,000
7,360,000
1,380,000
16,560,000
11,960,000
4,600,000,000
2,300,000,000
529,759
3,680,000,000
2,208,000,000
1,380,000,000
1,840,000,000
7,176,000
2,760,000

ton per tahun

per tahun
per tahun
tahun
tahun
tahun
Rp/ton
Rp/KWH
Rp/m3
Rp/m3
Rp/m3
Rp/kg
Rp/ton B-D
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/ton
Rp/ton

Investasi
Biaya investasi untuk pendirian pabrik biodiesel terdiri dari biaya proyek,
dan modal kerja. Biaya proyek merupakan seluruh modal awal yang diperlukan
untuk pengadaan tanah, bangunan dan peralatan juga biaya IDC (Interest during
construction). IDC adalah biaya bunga yang dihasilkan selama pendirian pabrik
(perhitungan disajikan pada Lampiran 4). Sedangkan modal kerja adalah modal
yang dikeluarkan untuk keperluan pengadaan bahan baku, bahan pembantu,
tenaga kerja dan biaya operasional untuk menjalankan usaha.
Total investasi yang diperlukan sebesar Rp. 282,247,920,262,- dimana
modal tersebut diperoleh dari pinjaman dan modal sendiri dengan Debt Equity
Ratio (70:30). Rincian biaya investasi disajikan pada Tabel 39.
Modal kerja terdiri dari biaya variabel yang jumlahnya tergantung pada
jumlah biodiesel yang dihasilkan dan biaya tetap yang nilainya tidak dipengaruhi
oleh kapasitas produksi. Modal kerja yang digunakan adalah modal kerja tertinggi
yaitu pada saat pabrik telah beroperasi maksimal (100%) dan dikali dengan faktor
konversi 1.5 yaitu sebesar Rp. 57,229,724,407,-. yang merupakan biaya
operasional bahan baku selama 30 hari dan inventory 60 hari.
Tabel 39. Investasi pendirian pabrik biodiesel sawit
1 Biaya Investasi
Pengeluaran pra-proyek
Lahan
Pengolahan air
Loading arm
Power plant
Pabrik
Pajak PPn 10% & Pajak lain
Biaya Proyek
2 IDC
Total Biaya Proyek

OSBL
ISBL
TOTAL
3,413,200,000
0
3,413,200,000
2,760,000,000
0
2,760,000,000
920,000,000
0
920,000,000
11,040,000,000
0 11,040,000,000
15,927,406,961
0 15,927,406,961
0 147,200,000,000 147,200,000,000
3,406,060,696 14,720,000,000 18,126,060,696
37,466,667,657 161,920,000,000 199,386,667,657
17,410,714,986
216,797,382,643

3 Modal kerja
4 Biaya finansial
Total Investasi

57,229,724,407
8,220,813,212
282,247,920,262

Biaya variabel terdiri dari biaya bahan baku dan bahan tambahan, utilitas
dan konsumsi serta transportasi produk. Rincian biaya operasional dengan
kapasitas pabrik maksimal (100%) disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40. Biaya Operasional Pabrik biodiesel kapasitas 6.000 ton/tahun


A

Deskripsi
Biaya Variabel
Bahan baku/kimia
CPO
Metanol
KOH
H2SO4
Bahan tambahan 1
Bahan tambahan 2
Utilitas dan Konsumsi
Uap 5 bar
Listrik
Air pendingin
Air untuk proses
Air sisa
Nitrogen cair
Lain-lain

Konsumsi

Satuan

1.07
0.115
0.016
0.001
0.003
0.001
Sub Total

Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D

0.67

Ton/Ton B-D
kWh/Ton BD
m3/Ton B-D
m3/Ton B-D
m3/Ton B-D
kg/Ton B-D
Rp/Ton B-D

67.15
1.68
0.17
0.17
0.84
2.1
Sub Total

Total Biaya Variabel (A)


Biaya Tetap
Orang/tenaga kerja
Pengawasan dan over head
Perawatan
Asuransi
Lab/Quality control
Biaya pemasaran
Lain-lain
Depresiasi
Bunga

Harga/satuan

1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
Tahun (Straight line)
Rp/Tahun

Total

4,000,000 256,800,000,000
2,760,000 19,044,000,000
7,360,000
7,065,600,000
1,380,000
82,800,000
16,560,000
2,980,800,000
11,960,000
717,600,000
286,690,800,000
150,000

6,030,000,000

552
460
9,200
13,800
2,760
23,000

2,224,008,000
46,368,000
93,840,000
140,760,000
139,104,000
2,898,000,000
11,572,080,000
298,262,880,000

4,600,000,000
2,300,000,000
529,759
3,680,000,000
2,208,000,000
1,380,000,000
1,840,000,000

4,600,000,000
2,300,000,000
529,759
3,680,000,000
2,208,000,000
1,380,000,000
1,840,000,000
21,679,738,264
18,248,864,568

Total Biaya Tetap


Total Biaya Produksi

55,937,132,592
354,200,012,592

Produksi dan Pendapatan Usaha


Dengan kapasitas produksi 6.000 ton biodiesel per tahun, dan harga jual
Rp. 7.176.000,- per ton biodiesel maka akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp
430,560,000,000,-. Pendapatan dari pabrik biodiesel akan bertambah dengan
penjualan

gliserol

dan

potasium

sulfat

masing-masing

sebesar

Rp.

16,449,600,000,- dan Rp. 2,433,216,000,-. Secara lengkap produksi dan


pendapatan usaha biodiesel kelapa sawit disajikan pada Lampiran 5.

Arus kas dan kriteria kelayakan usaha


Kelayakan industri bioetanol berbahan baku sagu dianalisis menggunakan
proyeksi arus kas dan perhitungan kriteria kelayakan yang terdiri dari NPV dan
IRR. Usaha dikatakan layak jika dapat memenuhi kewajiban finansial serta dapat
mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Proyeksi arus kas secara lengkap
disajikan pada Lampiran 6. Adapun hasil perhitungan kriteria kelayakan disajikan
pada Tabel 41.
Tabel 41. Hasil perhitungan kriteria kelayakan investasi industri biodiesel sawit
Kriteria investasi
IRR
NPV

Nilai
19.57%
167,565,686,218

Dari perhitungan kriteria tersebut, terlihat bahwa usaha pendirian industri


biodiesel kelapa layak dilakukan dan menguntungkan secara finansial. Dengan
umur proyek 20 tahun, nilai NPV positif dan IRR lebih besar dari tingkat suku
bunga bank (19.57% > 12%).

DAFTAR PUSTAKA

DARORI. 2001. Tinjauan prospek dan aspek sosial ekonomi tanaman jati di
Sumatera Utara. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Jati 2001.
Program Ilmu Kehutanan USU, Medan, 4-6 September 2001.

HARAHAP, I.Y. dan SYAFRUL LATIF. 1998. Model pengaruh ketersediaan air
terhadap pertumbuhan dan hasil kelapa sawit. J. Penelitian Kelapa Sawit,
6(1): 19-38.

KARTODIHARDJO,

H.

2000.

Kebijakan

pembangunan

hutan

(jati):

memperbarui kerangka pikir teknis menuju kerangka pikir ekonomis dan


kelembagaan. Makalah utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian, Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, 22 Nopember 2000.

PURBA, A.R., R.A. LUBIS and A.U. LUBIS. 1993. Estimation of the combining
abilities of the different dura and tenera origins studied in the first oil palm
Elaeis guineensis breeding cycle at Marihat RCEC. Proc PORIM Int. Conf.
Malaysia, pp. 36-54.

RODRIGO, V.H.L., S. THENAKOON and C.M. STIRLING. 2001. Priorities and


objectives of smallholder rubber growers and the contribution of
intercropping to livelihood strategies : a case study from Sri Lanka. Outlook
on Agriculture, 30(4): 261-266.

SHANKER, C. and K.R. SOLANKI. 2000. Agroforestry : an ecofriendly land-use


system for insect management. Outlook on Agriculture, 29(2): 91-96.

SIAHAAN, A.E. 2001. Manajemen tanaman jati super di perkebunan PT. Pinago
Utama, Sumatera Selatan. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional
Jati 2001. Program Ilmu Kehutanan USU, Medan, 4-6 September 2001.

TEE, B., M.F. PATEL and A. CHIEW. 1995. Teak in Sabah, a Sustainable
Agroforestry : the Harris Salleh Experience. Sejati Sdn Bhd, Kota Kinabalu,
Sabah, Malaysia, p. 77.

ZAKARIA, M. and L.S. SEE. 1999. Penyakit dan Gangguan terhadap Tanaman
Jati di Peringkat Tapak Semaian dan Ladang di Semenanjung Malaysia.
Institut Penyelidikan Perhutanan Malaysia (FRIM), p. 20.

Você também pode gostar