Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
NAMA
: ANDIK KURNIAWAN
NIM
: 122833800690
JURUSAN
: AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS WIDYAGAMA
MALANG
2015
(ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di
dalam tajuk daun, berbentuk seperti kubis dan enak dimakan.
Di batang tanaman kelapa sawit terdapat pangkal pelepah-pelepah
daun yang melekat kukuh dan sukar terlepas walaupun daun telah kering dan
mati. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di
batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam
beruas.
c. Daun
Tanaman kelapa sawit memiliki daun (frond) yang menyerupai bulu
burung atau ayam. Di bagian pangkal pelepah daun terbentuk dua baris duri
yang sangat tajam dan keras di kedua sisisnya. Anak-anak daun (foliage
leaflet) tersusun berbaris dua sampai ke ujung daun. Di tengah-tengah setiap
anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun
d. Bunga dan buah
Tanaman kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa
dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga jantan
berbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman
kelapa sawit mengadakan penyrbukan silang (cross pollination). Artinya,
bunga betina dari pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang
lainnya dengan perantaraan angin dan atau serangga penyerbuk.
Buah kelapa sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras
(epicrap), daging buah (mesocrap) dari susunan serabut (fibre) dan
mengandung minyak, kulit biji (endocrap) atau cangkang atau tempurung
yang berwarna hitam dan keras, daging biji (endosperm) yang berwarna putih
dan mengandung minyak, serta lembaga (embryo).
Lembaga (embryo) yang keluar dari kulit biji akan berkembang ke dua
arah.
1. Arah tegak lurus ke atas (fototropy), disebut dengan plumula yang
selanjutnya akan menjadi batang dan daun
2. Arah tegak lurus ke bawah (geotrophy) disebut dengan radicula yang
selanjutnya akan menjadi akar.
Plumula tidak keluar sebelum radikulanya tumbuh sekitar 1 cm. Akarakar adventif pertama muncul di sebuah ring di atas sambungan radikulahipokotil dan seterusnya membentuk akar-akar sekunder sebelum daun
pertama muncul. Bibit kelapa sawit memerlukan waktu 3 bulan untuk
memantapkan dirinya sebagai organisme yang mampu melakukan fotosintesis
dan menyerap makanan dari dalam tanah.
Buah yang sangat muda berwarna hijau pucat. Semakin tua warnanya
berubah menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi kuning muda, dan
setelah matang menjadi merah kuning (oranye). Jika sudah berwarna oranye,
buah mulai rontok dan berjatuhan (buah leles).
e. Biji
Setiap jenis kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot biji yang berbeda.
Biji dura afrika panjangnya 2-3 cm dan bobot rata-rata mencapai 4 gram,
sehingga dalam 1 kg terdapat 250 biji. Biji dura deli memiliki bobot 13 gram
per biji, dan biji tenera afrika rata-rata memiliki bobot 2 gram per biji.
Biji kelapa sawit umumnya memiliki periode
Varietas/Tipe
: Palmales
: Palmae
: Cocoidae
: 1. Elaeis guineensis Jacq (Kelapa sawit Afrika)
2. Elaeis melanococca atau Corozo oleifera (kelapasawit
Amerika Latin)
: Digolongkan berdasarkan :
1. Tebal tipisnya cangkang (endocarp) : dikenal ada tiga
varietas/tipe, yaitu Dura, Pisifera, dan Tenera.
2. Warna buah : dikenal tiga tipe yaitu Nigrescens,
Virescens, dan Albescens
D. Syarat Tumbuh
Kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan
hutan, lalu dibudidayakan. Tanaman kelapa sawit memerlukan kondisi
lingkungan yang baik agar mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal.
Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama bagi pertumbuhan kelapa
sawit, di samping faktor faktor lainnya seperti sifat genetika, perlakuan
budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.
Iklim
Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang tumbuh baik antara
garis lintang 130 Lintang Utara dan 120 Lintang Selatan, terutama di kawasan
Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Keadaan iklim yang dikehendaki oleh kelapa
sawit secara umum adalah sebagai berikut :
1. Curah Hujan
Tanaman Kelapa sawit menghendaki curah hujan 1.500 4.000 mm per
tahun, tetapi curah hujan optimal 2.000 3.000 mm per tahun, dengan jumlah
hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun. Pembagian hujan yang merata
dalam satu tahunnya berpengaruh kurang baik karena pertumbuhan vegetatif
lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga bunga atau buah
yang terbentuk relatif lebih sedikit. Namun curah hujan yang terlalu tinggi
Penyimpanan plasma nutfah untuk tujuan produksi dan bank gen dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.
G. Persiapan Lahan
Tanaman Kelapa sawit sering ditanam pada berbagai kondisi areal
sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan dibuka menjadi lahan kelapa
sawit. Cara membuka untuk tanaman kelapa sawit disesuaikan dengan kondisi
lahan yang tersedia.
1. Bukaan baru (new planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak
belukar atau areal yang ditumbuhi lalang.
2. Konversi, yaitu penanaman pada areal yang sebelumnya ditanami
dengan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa atau komoditas
tanaman perkebunan lainnya.
3. Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya juga
ditanami kelapa sawit.
kekeringan
mendorong
terbentuknya
bunga
jantan
dan
Tabel 2 memperlihatkan bahwa kelapa sawit dan jati memiliki pola perakaran
yang berbeda. Dengan demikian kompetisi di permukaan tanah relatif kecil karena
jati dapat menggunakan hara dan air di lapisan yang lebih dalam. Sebaliknya,
kelapa sawit dapat memanfaatkan daun jati yang gugur sebagai serasah di
permukaan tanah. Pertumbuhan meningginya yang lebih cepat membuat
percabangan jati dapat jauh berada di atas kanopi kelapa sawit, sehingga
memungkinkan kelapa sawit dapat mengeksploitasi secara baik sinar matahari
langsung maupun lateral.
Tabel 1. Preferensi kelapa sawit dan jati terhadap berbagai faktor tumbuh
Faktor
Kelapa sawit
Jati
agroklimat
Tanah
Curah hujan
Alluvial
berdrainase baik
dengan pH netral (5-7)
Samp
1200 ai
2500 mm/tahun
dengan 3-5 bulan kering (ch <
50
mm)
Hingga 500-600 m di atas
permukaan laut
Kelapa sawit
Akar serabut akar menyebar
di
lapisan atas
Kecepatan meninggi (cm/tahun) 60 80 1
Tajuk
Kanopi padat
Pengguguran
daun
Menggugurkan daun
Jati
Akar tunggangpenyebaran akar
di lapisan lebih dalam
180 190 2
Kanopi ringan
Tidak menggugurkan daun
Kelapa sawit umumnya ditanam dengan pola segitiga sama sisi dengan
kerapatan 120 - 143 pohon per hektar, sedangkan jati ditanam berbaris dengan
kerapatan sampai 1500 pohon per hektar. Di Balung River Plantation, kelapa
sawit ditanam dengan kerapatan 128 pohon per hektar dan jati ditanam di antara
dua tanaman kelapa sawit sehingga kerapatannya juga 128 pohon per hektar
(Gambar 1). Jati ditanam 18 bulan setelah kelapa sawit. Pola tanam seperti ini
ternyata mengakibatkan pelepah kelapa sawit yang berumur 6-7 tahun tumbuh
membentuk sudut yang lebih sempit (erect), sehingga tandan buah sulit
berkembang (Gambar 2).
Penanaman jati yang 18 bulan lebih lambat dari penanaman kelapa sawit
dinilai sudah cukup tepat. Pada saat kunjungan dilakukan pada September 2002,
tinggi kanopi jati yang berumur 4 dan 6 tahun (ditanam pada tahun 1996 dan
1998) telah berada di atas kanopi kelapa sawit yang ditanam pada tahun 1994 dan
1996 (Gambar 3). Pola tanam seperti ini juga mengakibatkan cabang pertama dan
kedua jati tidak berkembang, akibat kalah bersaing dengan kelapa sawit, sehingga
tidak perlu dilakukan pemangkasan. Namun demikian untuk memperoleh batang
tunggal pemangkasan perlu dilakukan apabila ditemui tunas yang berlebihan,
terutama pada saat jati berumur 6 bulan. Pemangkasan dapat dilakukan dengan
kekerasan 30%, yaitu 30% cabang dipangkas dan sisanya dibiarkan. Penyulaman
dilakukan 2 kali setahun sampai tanaman berumur 2 tahun dengan mengganti
tanaman yang mati dan yang pertumbuhannya jelek (kerdil, bengkok, pangkal
batang berlubang, luka terbakar, benjol, patah atau gundul). Penjarangan
Pemupukan jati dapat dimulai pada saat sebelum tanam dengan memberi
pupuk organik (kompos) sebanyak 1-2 kg yang dicampur dengan 50 gram pupuk
NPK dan 50-100 gram dolomit untuk setiap lubang tanam. Pemupukan lanjutan
diberikan 2 kali setahun. Pemupukan pertama dilakukan 1-3 bulan setelah tanam
dengan NPK sebanyak 30-100 gram per pohon. Pemupukan kedua dilakukan pada
saat jati berumur 6-12 bulan setelah tanam dengan NPK sebanyak 60-200 gram
per pohon.
Hama dan penyakit pada jati berbeda dengan yang menyerang kelapa sawit.
Untuk menghindarkan infestasi silang dari hama/penyakit maka tanaman yang diintercropping-kan haruslah dari taksa botani yang berbeda (SHANKER and
SOLANKI, 2000). Adapun hama yang menyerang jati antara lain:
hama yang menyerang akar yaitu uret (Lepidiota stigma) dan uter (Phasus
damor),
hama yang menyerang batang yaitu rayap (Neotermes tectonae), bubuk kayu
basah (Xyloborus destruens) dan oleng-oleng (Duomitus ceramicus),
hama yang menyerang daun yaitu hama daun jati (Phyrausta machaeralis) dan
belalang (Valanga nigricornis).
sawit tumbuh lebih erect kelapa sawit dengan kerapatan 128 ph/ha
Gambar 3. Intercropping pada saat jati umur 4 tahun dan kelapa sawit umur 6
tahun (kiri) dan jati umur 6 tahun dan kelapa sawit umur 8 tahun
(kanan)
Silvikultur jati umumnya memerlukan tenaga kerja dan input lainnya yang
lebih sedikit dibandingkan kelapa sawit. Introduksi jati dan tanaman hutan lainnya
ke dalam sistem pertanaman kelapa sawit secara teknis tidak menambah beban
pekebun. Hal ini khususnya untuk pekebun kecil (smallholder) maupun pekebun
rakyat. Pola intercropping jarang diterapkan di perkebunan besar terutama karena
kurangnya insentif, resiko pemasaran dan keamanan serta tidak cukupnya
pengetahuan mengenai pola pertanaman ini (RODRIGO et al., 2001).
Pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat mungkin dapat lebih diarahkan
pada pola pertanaman intercropping ini.
Pemahaman
terhadap
aspek
teknis
dan
ekologis
pola
pertanaman
intercropping perlu diikuti dengan memperhatikan juga aspek sosial, ekonomi dan
pasar. Pemahaman yang didominasi oleh aspek teknis semata tidak akan mampu
menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam pengembangan penanaman
jenis kayu tertentu. Diperlukan pembaruan kerangka pikir dari yang bersifat teknis
semata kepada pelibatan aspek ekonomi dan kelembagaan (KARTODIHARDJO,
2000).
4. Tanaman Penutup Tanah
Penanaman tanaman penutup tanah biasa dilaksanakan pada
perkebunan kelapa sawit. Tanaman penutup tanah adalah tanaman
kacangan (Legume cover crops, LCC) yang ditanam untuk menutup tanah
yang terbuka di antara kelapa sawit karena belum terbentuk tajuk yang
dapat menutup permukaan tanah. Penanaman tanaman kacangan penutup
tanah bertujuan untuk memperbaiki sifat sifat fisika, kimia dan biologi
tanah, mencegah terjadinya erosi, mempertahankan kelembaban tanah, dan
menekan tumbuhan pengganggu (gulma). Penanaman kacangan penutup
tanah sebaiknya dilaksanakan segera setelah pembukaan lahan selesai
dilaksanakan.
perkebunan
kelapa
sawit
adalah
Calopogonium
caeruleum,
pubescens,
Psophocarphus
palustries,
dan
Mucuna
cochinchinensis.
dapat
tumbuh
dengan
subur
dan
mengganggu
(menyaingi)
Yang
termasuk
gulma
lunak
misalnya
Dosis (Kg/Pokok/Tahun) *)
55
6 12
>12
1,0 2,0
2,0 3,0
1,5 3,0
0,5 1,0
1,0 2,0
0,5 1,0
0,4 1,0
1,5 3,0
1,5 2,0
Kieserite (MgSO4)
0,5 1,0
1,0 2,0
0,5 1,5
Umur Tanaman
*) Keterangan :
Pupuk N, K, dan Mg diberikan dua kali aplikasi, pupuk P diberikan satu kali aplikasi,
dan pupuk B (bila diperlukan) diberikan dua kali aplikasi per tahun (salah satu contoh
dosis B adalah 0,05 0,1 Kg per pohon per tahun)
Pupuk P, K, dan Mg ditabur secara merata dari jari jari 1,0 m hingga
jarak 3,0 m dari pangkal pokok (0,75 1,0 m di luar piringan)
Pemberian pupuk yang pertama dilakukan pada akhir musim hujan yaitu bulan
Maret April dan pemberian pupuk kedua dilakukan pada awal musim hujan
yaitu bulan September Oktober.
K. Pemangkasan
Pemangkasan atau disebut juga penunasan adalah pembuangan daun
daun tua atau yang tidak produktif pada tanaman kelapa sawit, pada tanaman
muda sebaiknya tidak dilakukan pemangkasan, kecuali dengan maksud
mengurangi penguapan oleh daun pada saat tanaman akan dipindahkan dari
pembibitan ke areal perkebunan. Adapu tujuan pemangkasan adalah sebagai
berikut :
yang
sering
merusak
akar
kelapa
sawit
adalah
nematoda
daun daun baru yang akan membuka menjadi tergulung dan tumbuh tegak.
Daun berubah warna menjadi kuning kemudian mengering. Tandan bunga
membusuk dan tidak membuka sehingga tidak menghasilkan buah.
a.2. Hama Perusak Daun
Ada beberapa jenis hama yang merusak daun tanaman kelapa sawit, di
antaranya adalah sebagai berikut :
a. Kumbang Tanduk (Oryctes rhynoceros)
Kumbang tanduk banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman
muda yang baru ditanam hingga berumur 2-3 tahun. Kumbang dewasa
(imago) masuk kedaerah titik tumbuh ( pupus ) dengan membuat lubang
pada pangkal pelepah daun muda yang masih lunak.
Pengendalian hama kumbang tanduk lebih diutamakan pada upaya
pencegahan (preventif), yaitu menghambat perkembangan larva dengan
mengurangi kemungkinan kumbang bertelur pada medium yang tersedia,
yakni dengan cara sebagai berikut :
membakar sampah sampah dan bagian pohon yang mati, agar larva
hama terbakar dan mati
mempercepat tertutupnya tanah dengan tanaman penutup tanah dengan
tanaman penutup tanah agar dapat menutup bagian bagian batang
hasil tebangan pada saat pembukan lahan yang membusuk di lokasi
kebun
Pemberian bahan pengusir, misalnya kapur barus yang diletakkan pada
batang kelapa sawit yang mulai membusuk (pada pembukaan ulangan)
b. Ulat Setora (Setora nitens)
Ulat setora muda memakan anak anak daun dari tanaman muda
dan tanaman sudah menghasilkan yang berumur antara 2-8 tahun. Hama
ini kadang kadang memakan daun kelapa sawit hingga ke lidinya.
Pengendalian Hama ulat setora dapat dilakukan secara hayati dan
secara kimia. Pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan
memanfaatkan
musuh
alami
seperti
parasit
telur
yaitu
lebah
b. Penyakit
a. Penyakit Tajuk (Crown disease)
Biasanya menyerang tanaman kelapa sawit yang berumur 2-3
tahun. Bagian yang diserang adalah pucuk yang belum membuka.
Penyakit ini tidak bisa diberantas, tetapi hanya bisa dilakukan pembuangan
bagian yang terserang untuk memperbaiki bentuk tajuk dan mencegah
infeksi dari jamur Fusarium sp.
b. Basal Steam Rot
Penyebabnya adalah Ganoderma sp. Gejala pada tingkat serangan
pertama secara visual sukar diamati. Pada tingkat yang lebih lanjut, cabang
marasmius
dapat
menggagalkan
atau
merusak
dipakai adalah berdasarkan jumlah brondolan, yaitu tanaman dengan umur kurang
dari 10 tahun, jumlah brondolan kurang lebih 10 butir dan tanaman dengan umur
lebih dari 10 tahun, jumlah brondolan sekitar 15 20 butir. Namun, secara praktis
digunakan kriteria umum yaitu pada setiap 1 kg tandan buah segar (TBS) terdapat
dua brondolan.
2. Cara panen
Berdasarkan tinggi tanaman, ada tiga cara panen yang umum dilakukan
oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Untuk tanaman yang tingginya 2-5 m
digunakan cara panen jongkok dengan alat dodos, sedangkan tanaman dengan
ketinggian 5-10 m dipanen dengan cara berdiri dan menggunakan alat kampak
siam. Cara egrek digunakan untuk tanaman yang tingginya lebih dari 10 m dengan
menggunakan alat arit bergagang panjang. Untuk memudahkan pemanenan,
sebaiknya pelepah daun yang menyangga buah dipotong terlebih dahulu dan
diatur rapi di tengah gawangan.
Gambar 25. Cara panen pada tanaman kelapa sawit dengan metode dodos
3. Persiapan Panen
Untuk menghadapi masa panen dan agar proses dapat berjalan dengan
lancar, tempat pengumpulan hasil (TPH) harus disiapkan dan jalan untuk
pengangkutan hasil harus diperbaiki. Para pemanen harus disiapkan peralatan
yang akan digunakan.
Minyak
Massa
Viskositas
jenis,
kinematika
0
Hc,
Angka
MJ/kg
setana
Titik
awan/
o
tuang, oC.
kg/liter
Jarak kaliki
0,9537
297
37,27
Tak ada
-31,7
Jagung
0,9095
34,9
39,50
37,6
-1,1
-40,0
Kapas
0,9148
33,5
39,47
41,8
+1,7
-15,0
Crambe
0,9044
53,6
40,48
44,6
10,0
-12,2
Biji rami
0,9236
27,2
39,31
34,6
+1,7
-15,0
Kacang tanah
0,9026
39,6
39,78
41,8
12,8
-6,7
Kanola
0,9115
37,0
39,71
37,6
-3,9
-31,7
Kasumba
0,9144
31,3
39,52
41,3
18,3
-6,7
0,9021
41,2
39,52
49,1
-12,2
-20,6
Wijen
0,9133
35,5
39,35
40,2
-3,9
-9,4
Kedelai
0,9138
32,6
39,62
37,9
-3,9
-12,2
0,9161
33,9
39,58
37,1
7,2
-15,0
0,8400
2,7
45,34
47,0
-15,0
-33,0
Kasumba
OT*)
Bunga
matahari
Diesel No. 2
kabut, C.
Titik
Sumber : Goering, C.E., A.W. Schwab, M.J. Daugherty, E.H. Pryde, dan A.J.
Heakin, Fuel Properties of Eleven Vegetable Oils, Trans. ASAE 25, 1472
1477 (1982). *) OT = (berkadar) Oleat Tinggi
kinematika
0
Hc, Angka
MJ/kg setana
Titik
awan/
o
tuang, oC.
kg/liter
Kelapa
0,915
30
37,10 40 42
28
23 26
Sawit
0,915
60
36,90 38 40
31
23 40
Kapas
0,921
73
36,80 35 50
-1
Jarak pagar
0,920
77
38,00 23 41
-3
Kacang tanah
0,914
85
39,30 30 41
-3
Kanola
0,916
78
37,40 30 36
-11
-2
Kedelai
0,920
61
37,30 30 38
-4
-20
0,925
58
37,75 29 37
-5
-16
0,830
43,80
50
-9
-16
0,880
37,70
49
-4
-12
Bunga
matahari
Diesel
Ester Metil
Kanola
kabut, C.
Titik
CPO dapat digunakan sebagai bahan baku industri minyak goreng, industri
sabun, dan industri margarin. Dilihat dari proporsinya, industri yang selama ini
menyerap CPO paling besar adalah industri minyak goreng (79%), kemudian
industri oleokimia (14%), industri sabun (4%), dan sisanya industri margarin
(3%). Pemisahan CPO dan PKO dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri
atas asam lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses produksi minyak sawit
tersebut dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid
Distillate (PFAD), dan 0.5% buangan. Komponen asam lemak yang terdapat
dalam CPO disajikan pada Tabel 27 sedangkan sifat fisiko kimianya dapat dilihat
pada Tabel 28.
Tabel 27. Komposisi asam lemak dari CPO
Asam Lemak
Asam Laurat
Asam Miristat
Asam Palmitat
Asam Stearat
Asam Oleat
Asam Linoleat
Rantai C
12:0
14:0
16:0
18:0
18:1
18:2
Komposisi (% b/b)
0,2
1,1
44,0
4,5
39,2
10,1
Nilai
95 %
25%
Merah orange
0.15 3.0 %
1 -5.0 (meq/kg)
2 6 (meq/kg)
500-700 ppm
10-20 ppm
4-10 ppm
600-1000 ppm
2-6 %
6,9 mg KOH/g minyak
224-249 mg KOH/g minyak
44-54
21-24C
36,0-37,5
Rantai C
Komposisi (% b/b)
Asam Laurat
12:0
47-53
Asam Miristat
14:0
15-19
Asam Palmitat
16:0
8-11
Asam Stearat
18:0
1-3
Asam Oleat
18:1
12-19
Asam Linoleat
18:2
2-4
Nilai
25 % (m/m)
Bilangan Asam
Bilangan Penyabunan
14 - 23
Titik leleh
48C
Loading Ramp
TBS Dalam Lori
Sterilizer
Thresher
Brondolan Buah
Tandan Kosong
Digester
Air Panas
Pengencer 95OC
Press Fluid
Cairan Kempa
Sand Trap
Vibrating Screen
Clarification Tank
Sludge Tank
Sand Cyclone
Oil Tank
Pasir
Berminyak
Sludge
Oil Purifier
Sludge Separator
Minyak Mutu
Rendah
Minyak
Air Cucian
Berminyak
Sludge
Oil Trap
Sludge Pit
Minyak
Air Limbah
Air Limbah
Effluent Pond
Air Limbah
PAL Kawasan
Gambar 29. Diagram alir pengolahan kelapa sawit (lanjutan)
CPO
CPO Storage
Tank
Pemulusan/Pemurnian Minyak
Proses pemulusan/pemurnian merupakan langkah yang perlu dilakukan
dalam produksi edible oil dan produk berbasis lemak. Tujuan dari proses ini
adalah untuk
komponen lain
yang akan
mempengaruhi kualitas dari produk akhir/jadi. Kualitas produk akhir yang perlu
diawasi adalah bau, stabilitas daya simpan, dan warna produk (Leong, 1992).
Dalam sudut pandang industri, tujuan utama dari pemulusan/pemurnian
adalah untuk merubah minyak kasar/mentah menjadi edible oil yang berkualitas
dengan cara menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan sampai level yang
diinginkan dengan cara yang paling efisien. Bahan yang tidak diinginkan atau
pengotor dalam minyak mungkin biogenic misalnya disintesis oleh tanaman itu
sendiri tapi bahan tersebut bisa jadi pengotor yang diambil oleh tanaman dari
lingkungannya (Borner et al., 1999). Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama
proses hulu, yaitu ekstraksi, penyimpanan atau transportasi dari minyak
kasar/mentah dari lapang ke pabrik.
Proses pemurnian yang tepat sangat penting dilakukan dalam rangka untuk
memproduksi produk akhir yang berkualitas tinggi dalam rentang spesifikasi yang
telah ditentukan dan sesuai keinginan pelanggan. Ada 2 tipe dasar teknologi
pembersihan yang tersedia untuk minyak:
(i) Pembersihan secara kimia (alkali)
(ii) Pembersihan secara fisik
Perbedaan diantara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia yang
digunakan dan cara penghilangan FFA. Pembersihan secara fisik tampaknya pada
prakteknya menggantikan penggunakan teknik pembersihan menggunakan bahan
kimia (alkali) karena tingginya asam lemak bebas (FFA) pada minyak yang
dibersihkan dengan cara kimia. Proses deasidifikasi (deodorisasi) pada proses
pembersihan secara fisik mampu mengatasi masalah tersebut. Terpisah dari hal
tersebut, menurut literatur, metode ini disarankan karena diketahui cocok untuk
minyak tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah seperti minyak sawit. Dengan
demikian, Pembersihan secara fisik terbukti memiliki efisiensi yang lebih tinggi,
kehilangan yang lebih sedikit (refining factor (RF) < 1.3), biaya operasi yang
lebih rendah, modal yang lebih rendah dan lebih sedikit bahan untuk ditangani
(Yusoff dan Thiagarajan, 1993).
Refining
Factor
(RF)
adalah
parameter
yang
digunakan
untuk
oil loss %
FFA %
3) Penghilangan Bau
Minyak setelah dilakukan tahap penjernihan masih mengandung beberapa
bahan yang menyebabkan bau, sehingga perlu dilakukan tahap deodorisasi.
Minyak yang jernih dimasukkan ke dalam bejana silindris yang dinamakan
Deodoriser. Deodoriser dijaga pada kondisi vakum yang tinggi kemudian
dipanaskan pada suhu 200C dengan tekanan yang tinggi. Senyawa yang
volatil akan menguap dengan beberapa pembawa. Minyak ini kemudian
didinginkan dan dijernihkan melewati mesin penyaring untuk mendapatkan
minyak yang bening.
secara
fisika
adalah
metode
alternatif
dimana
cara
penghilangan asam lemak bebas dilakukan dengan destilasi pada temperatur yang
tinggi dan vakum yang rendah. Cara ini menggantikan penambahan basa pada
metode pemulusan/pemurnian kimia. Penjernihan secara fisika juga dapat
dikatakan sebagai deasidifikasi dengan destilasi uap dimana asam lemak bebas
dan senyawa volatile lainnya di pisahkan dari minyak menggunakan agen
stripping yang efektif. Pada tahap pemulusan/pemurnian fisika, FFA di hilangkan
pada tahap akhir. Proses pemulusan/pemurnian secara fisika disajikan pada
Gambar 31. Kelebihan pemulusan/pemurnian fisika dibanding kimia adalah:
Mendapatkan hasil yang baik
Asam lemak yang dihasilkan sebagai produk samping memiliki kualitas
yang tinggi
Stabilitas minyak baik
Peralatan yang digunakan murah
Operasinya sederhana
Nilai
0.05
0.02
Bilangan Anisidin
2.0
Kadar fosfor
3 ppm
0.15 ppm
0.05 ppm
gliserol 14,4%, squalane 0,8%, Vitamin E 0,5%, sterol 0,4% dan lain-lain 2,2%.
RBD Olein
RBD Olein merupakan minyak yang diperoleh dari fraksinasi CPO dalam
fase cair. Komponen asam lemak terbesar dari RBD Olein adalah asam oleat
(Tabel 32).
Tabel 32. Komponen asam lemak pada RBD Olein
Asam Lemak
Perbandingan
Komposisi (% b/b)
Asam Laurat
12:0
0,1-0,5
Asam Miristat
14:0
0,9-1,5
Asam Palmitat
16:0
37,9-41,7
Asam Stearat
18:0
4,0-4,8
Asam Palmitoleat
16:1
0,1-0,4
Asam Oleat
18:1
40,7-43,9
Asam Linoleat
18:2
10,4-13,4
RBD Stearin
RBD Stearin merupakan minyak yang diperoleh dari fraksinasi CPO dalam fase
padat. Komponen asam lemak terbesar dari RBD stearin adalah asam palmitat
(Tabel 33).
Asam Laurat
12:0
0,1-0,6
Asam Miristat
14:0
1,1-1,9
Asam Palmitat
16:0
47,2-73,8
Asam Stearat
18:0
4,4-5,6
Asam Palmitoleat
16:1
0,05-0,2
Asam Oleat
18:1
15,6-37,0
Asam Linoleat
18:2
3,2-9,8
H2O + CH3O
Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak pada tiap siklus
katalitiknya adalah sebagai berikut (mekanisme serupa berlangsung pada konversi
digliserida menjadi monogliserida dan monogliserida menjadi gliserol) :
Gambar 33. Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak
terhadap
data
literatur
menunjukkan
bahwa
konversi
membuat campuran reaksi menjadi suatu fase tunggal (cosolvent). Akan tetapi,
penambahan pelarut biasanya sangat memperbesar nilai minimum nisbah molar
alkohol : minyak dan juga mengubah parameter-parameter lainnya. Tambahan
pula, tahap-tahap pengolahan pasca transesterifikasi menjadi lebih rumit, karena
adanya kebutuhan untuk menjumput (to recover) dan mendaur-ulang pelarut
tersebut.
b. Esterifikasi asam-asam lemak (bebas) dengan metanol atau etanol.
Berlawanan dengan reaksi transesterifikasi trigliserida, esterifikasi asamasam lemak, seperti ditunjukkan persamaan berikut (Gambar 34).
tanpa kehadiran oksigen dalam prosesnya untuk menghasilkan cairan, gas, dan
arang. Cairan yang dihasilkan ini lebih lanjut kita kenal sebagai bio oil.
Panas
Biomassa
(Arang + Gas)
Bio oil
Luas lahan budidaya adalah 6.000 ha, dengan tingkat kesesuaian lahan
untuk perkebunan sawit kelas 3 (S3).
Umur
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Produktivitas (ton/ha/thn)
6
10
14
18
23
25
25
25
25
25
25
24
Umur
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Produktivitas (ton/ha/thn)
24
23
22
22
21
20
19
18
17
16
15
Hasil dari kebun dijual kepada pengumpul dengan harga TBS adalah Rp.
600/kg.
BIAYA
Pendirian kebun kelapa sawit seluas 6.000 ha memerlukan biaya investasi
dan biaya operasional yang dikeluarkan selama umur proyek (25 tahun). Biaya
investasi terdiri dari biaya pembelian peralatan sebesar Rp. 2,178,000,000,- dan
biaya pengadaan sarana penunjang sebesar Rp.7,736,850,000,- termasuk di
dalamnya lahan, bangunan, peralatan kantor serta sarana transportasi. Investasi
untuk peralatan dilakukan setiap tahun dengan nilai investasi yang berbeda-beda.
Komponen biaya investasi pendirian kebun budidaya kelapa sawit 6.000 ha untuk
tahun pertama disajikan pada Tabel 34. Secara rinci, biaya investasi disajikan
pada Lampiran 1.
Tabel 34. Kebutuhan investasi kebun budidaya kelapa sawit 6.000 ha
Uraian Investasi
A Fasilitas penunjang
1. Kantor
2. Kendaraan, infrastruktur kebun
3. Fasilitas penunjang kantor
B Peralatan budidaya
Total Investasi
Biaya operasional untuk penanaman dan persiapan lahan adalah sebesar Rp.
8,760,000,000 untuk biaya tenaga kerja dan Rp. 11,068,200,000,- untuk
pembelian bahan. Rincian biaya operasional tersebut disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35 . Rincian biaya operasional kebun budidaya kelapa sawit tahun pertama
1
2
3
4
5
Tenaga Kerja
Pembukaan lahan
Pembuatan jalan dan drainase
Pembuatan lubang tanam
Pemupukan pada lubang tanam
Penanaman bibit
Jumlah
168000
96000
48000
18000
108000
Satuan
HOK
HOK
HOK
HOK
HOK
Harga/satuan
20,000
20,000
20,000
20,000
20,000
Total Biaya TK
Bahan
1 bibit sawit
2 Pupuk
SA
TSP
KCl
Kieserite
Borium
ZA
MOP
3 Pestisida
Total biaya Bahan
858000 batang
12,000
10,296,000,000
0
429000
0
0
0
0
0
0
2,600
1,800
3,500
1,200
2,000
1,200
3,000
50,000
0
772,200,000
0
0
0
0
0
0
11,068,200,000
kg
kg
kg
kg
kg
kg
kg
L
Biaya operasional untuk tahun pertama dan seterusnya disajikan pada Tabel 36
dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 36. Biaya operasional budidaya kelapa sawit selama umur ekonomi proyek
Tahun
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Tahun 6
Tahun 7
Tahun 8
Tahun 9
Tahun 10
Tahun 11
Tahun 12
Tahun 13
Tahun 14
Tahun 15
Tahun 16
Tahun 17
Tahun 18
Biaya operasional
Tenaga kerja (Rp)
Bahan (Rp)
17,040,000,000
8,510,160,000
14,640,000,000 10,732,380,000
12,006,400,000 11,109,900,000
12,006,400,000
7,377,600,000
12,006,400,000
7,377,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 15,099,600,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
12,006,400,000 14,070,000,000
Tahun 19
Tahun 20
Tahun 21
Tahun 22
Tahun 23
Tahun 24
Tahun 25
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
12,006,400,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
14,070,000,000
PENDAPATAN
Pendapatan kebun kelapa sawit dihasilkan dari penjualan Tandan Buah
Sawit (TBS). Harga yang digunakan yaitu Rp.600.000,- per ton. Pada tahun ketiga
(pertama kali panen), asumsi produktivitas yang digunakan adalah 6 ton/ha/tahun.
Dengan produktivitas tersebut pada tahun ke 3 akan dihasilkan 36.000 ton TBS
dan mendatangkan pendapatan sebesar Rp. 21,600,000,000,-. Sedangkan pada
tahun ke 8-13, produktivitas lahan maksimal yaitu 25 ton/ha/tahun, maka pada
tahun 8 akan diperoleh pendapatan sebesar Rp. 90,000,000,000,-.
Nilai
Rp. 91,840,709,247
33%
9.00
6.98
100%
60,000
70%
30%
12%
12%
8
5
10
150,000
552
460
9,200
13,800
2,760
23,000
4,000,000
2,760,000
7,360,000
1,380,000
16,560,000
11,960,000
4,600,000,000
2,300,000,000
529,759
3,680,000,000
2,208,000,000
1,380,000,000
1,840,000,000
7,176,000
2,760,000
per tahun
per tahun
tahun
tahun
tahun
Rp/ton
Rp/KWH
Rp/m3
Rp/m3
Rp/m3
Rp/kg
Rp/ton B-D
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/ton
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/ton
Rp/ton
Investasi
Biaya investasi untuk pendirian pabrik biodiesel terdiri dari biaya proyek,
dan modal kerja. Biaya proyek merupakan seluruh modal awal yang diperlukan
untuk pengadaan tanah, bangunan dan peralatan juga biaya IDC (Interest during
construction). IDC adalah biaya bunga yang dihasilkan selama pendirian pabrik
(perhitungan disajikan pada Lampiran 4). Sedangkan modal kerja adalah modal
yang dikeluarkan untuk keperluan pengadaan bahan baku, bahan pembantu,
tenaga kerja dan biaya operasional untuk menjalankan usaha.
Total investasi yang diperlukan sebesar Rp. 282,247,920,262,- dimana
modal tersebut diperoleh dari pinjaman dan modal sendiri dengan Debt Equity
Ratio (70:30). Rincian biaya investasi disajikan pada Tabel 39.
Modal kerja terdiri dari biaya variabel yang jumlahnya tergantung pada
jumlah biodiesel yang dihasilkan dan biaya tetap yang nilainya tidak dipengaruhi
oleh kapasitas produksi. Modal kerja yang digunakan adalah modal kerja tertinggi
yaitu pada saat pabrik telah beroperasi maksimal (100%) dan dikali dengan faktor
konversi 1.5 yaitu sebesar Rp. 57,229,724,407,-. yang merupakan biaya
operasional bahan baku selama 30 hari dan inventory 60 hari.
Tabel 39. Investasi pendirian pabrik biodiesel sawit
1 Biaya Investasi
Pengeluaran pra-proyek
Lahan
Pengolahan air
Loading arm
Power plant
Pabrik
Pajak PPn 10% & Pajak lain
Biaya Proyek
2 IDC
Total Biaya Proyek
OSBL
ISBL
TOTAL
3,413,200,000
0
3,413,200,000
2,760,000,000
0
2,760,000,000
920,000,000
0
920,000,000
11,040,000,000
0 11,040,000,000
15,927,406,961
0 15,927,406,961
0 147,200,000,000 147,200,000,000
3,406,060,696 14,720,000,000 18,126,060,696
37,466,667,657 161,920,000,000 199,386,667,657
17,410,714,986
216,797,382,643
3 Modal kerja
4 Biaya finansial
Total Investasi
57,229,724,407
8,220,813,212
282,247,920,262
Biaya variabel terdiri dari biaya bahan baku dan bahan tambahan, utilitas
dan konsumsi serta transportasi produk. Rincian biaya operasional dengan
kapasitas pabrik maksimal (100%) disajikan pada Tabel 40.
Deskripsi
Biaya Variabel
Bahan baku/kimia
CPO
Metanol
KOH
H2SO4
Bahan tambahan 1
Bahan tambahan 2
Utilitas dan Konsumsi
Uap 5 bar
Listrik
Air pendingin
Air untuk proses
Air sisa
Nitrogen cair
Lain-lain
Konsumsi
Satuan
1.07
0.115
0.016
0.001
0.003
0.001
Sub Total
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
Ton/Ton B-D
0.67
Ton/Ton B-D
kWh/Ton BD
m3/Ton B-D
m3/Ton B-D
m3/Ton B-D
kg/Ton B-D
Rp/Ton B-D
67.15
1.68
0.17
0.17
0.84
2.1
Sub Total
Harga/satuan
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
1
Rp/Tahun
Tahun (Straight line)
Rp/Tahun
Total
4,000,000 256,800,000,000
2,760,000 19,044,000,000
7,360,000
7,065,600,000
1,380,000
82,800,000
16,560,000
2,980,800,000
11,960,000
717,600,000
286,690,800,000
150,000
6,030,000,000
552
460
9,200
13,800
2,760
23,000
2,224,008,000
46,368,000
93,840,000
140,760,000
139,104,000
2,898,000,000
11,572,080,000
298,262,880,000
4,600,000,000
2,300,000,000
529,759
3,680,000,000
2,208,000,000
1,380,000,000
1,840,000,000
4,600,000,000
2,300,000,000
529,759
3,680,000,000
2,208,000,000
1,380,000,000
1,840,000,000
21,679,738,264
18,248,864,568
55,937,132,592
354,200,012,592
gliserol
dan
potasium
sulfat
masing-masing
sebesar
Rp.
Nilai
19.57%
167,565,686,218
DAFTAR PUSTAKA
DARORI. 2001. Tinjauan prospek dan aspek sosial ekonomi tanaman jati di
Sumatera Utara. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Jati 2001.
Program Ilmu Kehutanan USU, Medan, 4-6 September 2001.
HARAHAP, I.Y. dan SYAFRUL LATIF. 1998. Model pengaruh ketersediaan air
terhadap pertumbuhan dan hasil kelapa sawit. J. Penelitian Kelapa Sawit,
6(1): 19-38.
KARTODIHARDJO,
H.
2000.
Kebijakan
pembangunan
hutan
(jati):
PURBA, A.R., R.A. LUBIS and A.U. LUBIS. 1993. Estimation of the combining
abilities of the different dura and tenera origins studied in the first oil palm
Elaeis guineensis breeding cycle at Marihat RCEC. Proc PORIM Int. Conf.
Malaysia, pp. 36-54.
SIAHAAN, A.E. 2001. Manajemen tanaman jati super di perkebunan PT. Pinago
Utama, Sumatera Selatan. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional
Jati 2001. Program Ilmu Kehutanan USU, Medan, 4-6 September 2001.
TEE, B., M.F. PATEL and A. CHIEW. 1995. Teak in Sabah, a Sustainable
Agroforestry : the Harris Salleh Experience. Sejati Sdn Bhd, Kota Kinabalu,
Sabah, Malaysia, p. 77.
ZAKARIA, M. and L.S. SEE. 1999. Penyakit dan Gangguan terhadap Tanaman
Jati di Peringkat Tapak Semaian dan Ladang di Semenanjung Malaysia.
Institut Penyelidikan Perhutanan Malaysia (FRIM), p. 20.