Você está na página 1de 15

BAB I

PENDAHULUAN
CVD (Cerebro Vascular Disease) atau stroke merupakan penyakit ketiga
yang menyebabkan kematian di beberapa negara berkembang setelah penyakit
jantung dan kanker. Setiap tahunnya sekitar 4,5 juta orang meninggal karena
stroke. Stroke sebagai salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologi
yang utama di Indonesia. Serangan otak ini merupakan kegawatdaruratan medis
yang harus ditangani secara cepat, tepat, dan cermat.1,2
Sebanyak 200-500.000 TIA didiagnosa per tahunnya di Amerika Serikat. 2,3
TIA memiliki risiko jangka pendek yang tinggi untuk stroke dan diperkirakan
sebanyak 15% dari stroke yang telah terdiagnosa diawali dengan TIA. Secara
internasional, kemungkinan terjadinya TIA ialah sebesar 0.42 per 1000 populasi
warga negara maju.5
Otak mengontrol fungsi tubuh kita, bagaimana kita berpikir, melihat,
berbicara, dan bergerak. Sinyal-sinyal ke dan dari otak yang ditransmisikan
melalui medulla spinalis ke seluruh tubuh.6 Suplai darah ke otak berasal dari arteri
karotis (sirkulasi anterior) dan arteri vertebralis yang berasal dari medulla spinalis
(sirkulasi posterior). Ketika area otak kehilangan atau terhentinya suplai darah,
hal inilah yang menjadi penyebab stroke atau CVD.6
Ketika otak kehilangan suplai darah, otak akan mencoba memulihkan
aliran darah. Jika suplai darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari sel-sel otak
yang terkena dapat berfungsi kembali. Hal inilah yang terjadi pada TIA (Transient
Ischemic Attack) atau serangan stroke sementara atau mini stoke. 6 Sekitar satu dari
seratus orang dewasa mengalami paling sedikit 1 kali serangan iskemik sesaat
(TIA) seumur hidup mereka. Jika pengobatan tepat, sekitar 1/10 dari pasien ini
kemudian akan mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama,
sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama. Risiko
TIA untuk terkena stroke 35-60% dalam waktu lima tahun.7

BAB II
TRANSIENT ISCHEMIK ATTACK

2.1

Definisi
Serangan iskemik sesaat (Transient Ischemic Attack) adalah gangguan

fungsi otak akibat berkurangnya aliran darah otak untuk sementara waktu (kurang
dari 24 jam). Selain itu, TIA didefinisikan sebagai disfungsi neurologis sementara
yang secara umum berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus sereberal,
medulla spinalis maupun iskemi retinal; dan tidak berkaitan dengan adanya infark
dari jaringan. 10
2.2

Epidemiologi
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke

baik dalam hal kematian, kejadian dan kecacatan. Insiden stroke 51,6/100.000
penduduk dan kecacatan 1,6% tidak berubah dan 4,3% semakin memberat. 3
Angka kematian berdasarkan umur sebesar 15,9% (usia 45-55 tahun), 26,8% (usia
55-64 tahun), dan 23,5% (usia >65 tahun).4 Stroke dapat terjadi pada semua umur
tapi sebagian dialami oleh orang yang berusia lebih dari 70 tahun.5
2.3

Etiologi
TIA terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah di otak untuk waktu

singkat, akibat aliran darah ke daerah otak melambat atau berhenti. Kurangnya
darah (dan oksigen) menyebabkan gejala sementara, misalnya bicara cadel atau
pandangan kabur. Infark dapat terjadi sebagai akibat dari derajat penurunan aliran
darah dan durasi dari berkurangnya aliran darah serebral. Jika aliran darah dapat
kembali kepada area dari otak dengan durasi waktu yang cepat, maka gejala
iskemia atau infark dapat kembali menjadi normal. Penyebab berkurangnya aliran
darah serebral dapat diakibatkan oleh berkurangnya aliran yang mengalir pada
pembuluh darah atau karena adanya hambatan pada pembuluh darah akibat
adanya emboli.

2.4

Anatomi Pembuluh Darah Otak

Gambar 1. Vaskularisasi pembuluh darah otak


Darah dialirkan ke otak melalui dua arteri karotis interna dan dua arteri
vertebralis Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis
komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan
dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri untuk nervus optikus dan retina,
akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media.8 Arteri
karotis interna memberikan vaskularisasi pada regio sentral dan lateral hemisfer.
Arteri serebri anterior memberikan vaskularisasi pada korteks frontalis, parietalis
bagian tengah, korpus kalosum dan nukleus kaudatus. Arteri serebri media
memberikan vaskularisasi pada korteks lobus frontalis, parietalis dan temporalis.9
Arteri vertebralis merupakan cabang pertama dari arteri subklavia, menuju
dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis servikalis,
masuk rongga kranium melalui foramen magnum, menembus duramater dan
araknoidmater untuk masuk ke ruang subaraknoid lalu mempercabangkan masingmasing sepasang arteri serebeli inferior.8 Pada batas medula oblongata dan pons,
keduanya bersatu menjadi arteri basilaris dan setelah mengeluarkan 3 kelompok
cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai
sepasang cabang arteri serebri posterior.10 Arteri vertebralis memberikan
vaskularisasi pada batang otak dan medula spinalis atas. Arteri basilaris
memberikan vaskularisasi pada pons. Arteri serebri posterior memberikan
vaskularisasi pada lobus temporalis, oksipitalis, sebagian kapsula interna, talamus,
hipokampus, korpus genikulatum dan mamilaria, pleksus koroid dan batang otak
bagian atas.10
2.5

Faktor Resiko
Resiko TIA akan meningkat pada pasien dengan:

Hipertensi
Peningkatan kolesterol (terutama LDL)
Aterosklerosis

2.6

Penyakit jantung (kelainan katup atau irama jantung)


Diabetes
Merokok

Usia (pria > 45 tahun dan perempuan > 55 tahun)

Patofisiologi
Penyempitan pembuluh darah di otak akibat adanya suatu ateroma

(trombus) yang terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga


menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak. Emboli serebral yaitu trombus
berupa bekuan darah dinding arteri yang berasal dari tempat lain, misalnya dari
jantung yang terlepas dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri
yang lebih kecil yaitu pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis di otak.
Trombus ataupun emboli menyebabkan otak kehilangan suplai darah, sehingga
otak akan mencoba memulihkan aliran darah dengan vasodilatasi. Jika suplai
darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari sel-sel otak yang terkena dapat berfungsi
kembali. Hal inilah yang terjadi pada TIA (Transient Ischemic Attack) atau
serangan stroke sementara atau mini stroke.

Gambar 2. Patogenesis TIA

2.7

Gejala klinis
Terjadi secara tiba-tiba, berlangsung 2 30 menit. TIA, seperti stroke,

dimana gejalanya berupa defisit neurologis jelas seperti kelumpuhan. Namun,


gejala juga mungkin halus, seperti mati rasa atau pembakaran anggota badan, atau
kesulitan menggunakan tangan atau berjalan.6

Gejala-gejala

yang

diakibatkan

oleh

TIA

dapat

diklasifikasikan

berdasarkan lokasi terjadinya. Jika TIA terjadi pada daerah anterior, maka akan
timbul gejala seperti hemiparesis, gangguan hemisensorik, disfasia, kebutaan
monocular (amaurosis fugax). Jika terjadi pada bagian posterior, maka akan
menimbulkan gejala berupa hilangnya kesadaran, gangguan motorik atau sensorik
anggota gerak tubuh, kebutaan binocular, vertigo, tinnitus, diplopia, ataupun
disartria.

Presentasi dan lokalisasi dari TIA penting untuk diketahui. Penting untuk
membedakan apakah gejala yang dimiliki pasien terjadi karena gangguan dari
distribusi pembuluh darah karotis atau vertebrobasilar. Gejala tergantung dari otak
yang mengalami kekurangan darah:
Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri karotis, terjadi kebutaan

pada salah satu mata atau kelainan rasa dan kelemahan.


Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis, terjadi pusing,
penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh.

Gejala lain yang ditemukan :

Hemihipestesia
Hemiparese
Hemianopsia atau pendengaran
Diplopia
Sakit kepala
Bicara tidak jelas
Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
Tidak mampu mengenali bagian tubuh
Ketidakseimbangan dan terjatuh

Gejala ini juga dapat ditemukan pada Stroke namun TIA lebih bersifat
sementara dan reversible dan TIA cenderung kambuh, penderita dapat mengalami
serangan beberapa kali dalam 1 hari atau hanya 2-3 kali dalam beberapa tahun.
Dua gejala tambahan dari TIA adalah "Drop Attack". Drop attack adalah ketika
orang yang terkena jatuh tiba-tiba tanpa peringatan. Yang kedua adalah amaurosis
fugax yang merupakan jenis khusus dari TIA mana ada tiba-tiba kehilangan
penglihatan di sebelah mata. Hal ini terjadi ketika puing-puing dari arteri karotid
di sisi yang sama menyumbat atau menutup dari salah satu arteri tetes mata dan
menghentikan suplai darah ke retina.17
2.8

Diagnosis
Gejala dan tanda tanda TIA mungkin menghilang pada saat pasien yang

terkena tiba di rumah sakit. Oleh karena itu, riwayat kesehatan orang yang terkena
mungkin menjadi
dasar

konfirmasi

diagnosis
Setelah

TIA.
tiba

rumah

di

sakit,

pemeriksaan fisik
meliputi

keadaan

umum, tanda vital,


status

generalis

dan

pemeriksaan

neurologis harus dilakukan. Pada pasien yang masuk ke UGD dengan


kemungkinan stroke atau TIA maka diagnosa harus dapat ditegakkan secara cepat,
contohnya dapat dengan menggunakan alat bantu berupa sistem skoring yang
sudah tervalidasi seperti Recognition of Stroke in the Emergency Room (ROSIER).

Gambar 3. Recognition of Stroke in the Emergency Room

Pada TIA diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala dan biasanya belum


terjadi kerusakan otak, maka diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan CT scan
maupun MRI. Jika dilakukan CT scan atau MRI terkadang hanya untuk
mengetahui apakah terjadi perdarahan atau tidak. Ada beberapa teknik untuk
menilai adanya penyumbatan pada salah satu atau kedua arteri karotis.

Aliran

darah

pada

pembuluh

darah

yang

menyempit

dapat

menyebabkan suara (bruit) yang terdengar melalui stetoskop.

Skening

ultrasonik

dan

teknik

Doppler

secara

bersamaan

menghasilkan continuous wave untuk mendeteksi derajat stenosis,


ukuran sumbatan, jumlah darah mengalir di sekitarnya dan untuk
melihat sejauh mana anastomosis membantu daerah yang tersumbat.

Angiografi serebral untuk menentukan ukuran dan loksasi sumbatan.

Pemeriksaan neurologis penuh untuk mencari defisit neurologis.

Untuk menilai arteri karotis lakukan pemeriksaan MRI atau


Angiografi, sedangkan untuk menilai arteri vertebralis lakukan
pemeriksaan ultrasonic karotis dan teknik dopler. Sumbatan di dalam

arteri vertebral tidak dapat diangkat karena pembedahannya lebih sulit


dibandingkan pembedahan pada arteri karotis.

CBC (complete blood count) untuk mencari anemia atau masalah


dengan trombosit (untuk mencegah pembekuan darah dari fibrilasi
atrium) untuk memastikan dosis obat yang tepat.

Pemeriksaan pencitraan otak sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada


pasien dengan serangan TIA jika terdapat kondisi dibawah ini :

2.9

Indikasi untuk terapi trombolisis atau antikoagulan


Pasien sedang dalam terapi antikoagulan
Diketahuinya ada kecenderungan terjadinya perdarahan
Penurunan kesadaran (GCS <13)
Gejala yang progresif atau fluktuatif yang sulit

penyebabnya
Adanya papilledema, kaku kuduk, atau demam
Adanya nyeri kepala berat pada saat onset dari gejala stroke

ditentukan

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah stroke dengan:6

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengurangi faktor-faktor


resiko stroke seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi,

merokok dan diabetes.


Terapi awal untuk pasien dengan TIA adalah aspirin 300 mg yang
dimulai sedini mungkin. Dosis dapat berkisar 150-300 mg untuk
awalnya, dan dapat dikurangi menjadi 100 mg/hari. Obat-obatan
seperti aspirin,

bisulfate clopidogrel atau aspirin dipyridamole

ER (Aggrenox) diberikan untuk mengurangi pembentukan bekuan


darah. Tatalaksana awal yang diberikan dibedakan berdasarkan skor
ABCD2 dari pasien.
ABCD 2 Penilaian Risiko
Faktor Risiko
Age > 60

Ya atau Tidak
Ya

Jumlah Poin
1 Point

Tidak

0 Poin

B P > 140/90

Ya

1 Point

C linical fitur

Tidak
Kelemahan unilateral dengan atau

0 Poin
2 Poin

TIA:

tanpa gangguan berbicara ATAU

D urasi

Gangguan bicara tanpa kelemahan


60 menit atau lebih

1 Point
2 Poin

10-59 menit

1 Point

<10 menit
Ya

0 Poin
1 Point

Tidak

0 Poin

Diabetes

Skor 4 menandakan adanya risiko tinggi terjadinya stroke dalam waktu 7


hari kedepan (4% risiko mengalami stroke dalam 7 hari), sementara skor 3
menandakan risiko yang lebih rendah untuk terjadi stroke. Namun, perlu
diperhatikan bahwa sistem skoring seperti ABCD2 mengeksklusi beberapa
populasi pasien yang mungkin memiliki risiko tinggi seperti TIA berulang, atau
sedang dalam terapi antikoagulan, yang mungkin juga memerlukan tatalaksana
yang segera.
Pasien dengan TIA crescendo ( 2 dalam 1 minggu) harus diberiksan
tatalaksana seperti memiliki risiko tinggi terkena stroke meskipun skor 3. Pasien
dengan riwayat TIA namun datang lebih dari 1 minggu setelah gejala hilang
diberikan tatalaksana seperti memiliki risiko yang rendah untuk terkena stroke.
Semua pasien dengan suspek TIA harus mendapatkan pengobatan berupa
aspirin 300 mg/hari. Pasien harus mendapatkan assessment dari spesialis dan
dimulai dalam jangka waktu 24 jam pada pasien dengan risiko tinggi terkena
stroke, untuk pasien dengan risiko lebih rendah dapat dimulai sesegera mungkin,
sebaiknya dalam jangka waktu 1 minggu setelah timbul gejala.

Terapi lanjutan yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi


risiko terjadinya stroke, meliputi:
a. Penurunan tekanan darah yang harus diberikan pada pasien baik
normotensi atau hipertensi, dan harus sudah dimulai sebelum
pasien dipulangkan dari rumah sakit
b. Terapi antiplatelet

10

Terapi harus diberikan untuk jangka panjang bagi pasien TIA yang
tidak menerima terapi antikoagulan. Dapat digunakan aspirin saja,
atau aspirin dikombinasikan dengan dipyridamole atau clopidogrel.
c. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan untuk pencegahan sekunder jangka panjang
sebaiknya digunakan pada pasien dengan stroke atau TIA dengan
fibrilasi atrial atau stroke kardioemboli. Pada pasien dengan TIA
maka terapi antikoagulan harus dimulai setelah CT atau MRI
mengekslusi adanya perdarahan intrakranial.
d. Penurunan kadar kolesterol
Terapi dengan golongan statin sebaiknya digunakan pada semua
pasien dengan stroke iskemik atau TIA, dan sebaiknya tidak

digunakan secara rutin pada stroke hemoragik.


Luasnya penyumbatan pada arteri karotis membantu

dalam

menentukan pengobatan. Jika lebih dari 70% pembuluh darah yang


tersumbat dan penderita memiliki gejala menyerupai stroke selama 6
bulan terakhir, maka perlu dilakukan pembedahan untuk mencegah
stroke. Pada sumbatan kecil pembedahan dilakukan jika TIA lebih
lanjut atau stroke.17
2.10

Pencegahan
Pencegahan untuk penyakit Transient Ischemik Attack yaitu:18,19

Pengendalian faktor resiko, meliputi:


Berhenti merokok dan minum alkohol, kurangi stress, hindari
kegemukan, kurangi konsumsi garam berlebihan, mengkonsumsi obat
antihipertensi

pada

penderita

hipertensi,

mengkonsumsi

obat

hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan


mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, dan
mengendalikan penyakit jantung dan penyakit vascular aterosklerotik
lainnya.

Modifikasi gaya hidup dengan berolah raga secara teratur. Semua


pasien dengan stroke harus diperiksa dan diberikan infromasi
mengenai faktor risiko yang dimiliki terhadap stroke dan juga harus

11

diberikan informasi mengenai strategi yang dapat dilakukan untuk


memodifikasi faktor risiko yang telah terdeteksi.konsumsi gizi yang
seimbang seperti, sayuran, buah-buahan, serealia dan susu rendah
lemak serta minimalkan junk food.

Ketaatan dalam mengkonsumsi obat. Pasien harus diberikan informasi


yang cukup agar dapat mengkonsumsi obat sesuai yang telah
diresepkan secara teratur. Hal ini dapat dicapai dengan berbagai cara,
misalnya dengan menyarankan pasien untuk membuat pengingat
pribadi, atau diingatkan dengan bantuan anggota keluarga yang lain.
Terapi antiplatelet jangka panjang harus diberikan kepada pasien
dengan stroke iskemik atau TIA yang tidak diberikan terapi
antikoagulan. Aspirin dosis rendah dan dipyridamole atau clopidogrel
dapat diberikan pada pasien dengan stroke iskemik atau TIA, dengan
melihat faktor komorbid dari pasien.

Sosialisasi TIA melalui selebaran atau poster dan promosi program


pendidikan kesehatan dengan memberikan informasi melalui seminar,
media cetak, media elektronik dan billboard.

2.11

Komplikasi
Komplikasi dari TIA adalah stroke. Risiko kumulatif dari stroke pada

orang yang mempunyai TIA itu adalah sekitar 18% pada pasien yang tidak
diobati, dan sekitar 10% pada pasien yang diobati. Risikonya adalah tertinggi
pada bulan pertama (4-8%), dan 12-13% pada tahun pertama.13
2.12

Prognosis
Prognosis untuk TIA adalah baik, hal ini karena penanganan yang benar

dan adanya usaha dari penderita untuk mengurangi faktor resiko.

12

BAB III
KESIMPULAN
Transient Ischemic Attack adalah gangguan fungsi otak yang merupakan
akibat dari berkurangnya aliran darah otak untuk sementara waktu (kurang dari 24
jam). Resiko TIA meningkat pada hipertensi, hiperkolesterol, aterosklerosis,
penyakit jantung (kelainan katup atau irama jantung), diabetes, merokok, riwayat
stroke dan usia (pria > 45 tahun dan perempuan > 55 tahun). Gejala pada TIA
yaitu

hemihipestesia,

hemiparese,

hilangnya

sebagian

penglihatan

atau

pendengaran, diplopia dan sakit kepala. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis


yang lengkap, skening ultrasonik dan teknik Doppler, angiografi serebral dan
pemeriksaan darah lengkap. Penatalaksanaan TIA obat-obatan seperti aspirin,
bisulfate

clopidogrel atau

aspirin

dipyridamole

ER untuk

mengurangi

kecenderungan pembentukan bekuan darah, yang merupakan penyebab utama dari


stroke dan pembedahan endarterektomi jika tidak dapat diatasi dengan obatobatan. Adapun pencegahan untuk TIA dengan mengurangi faktor resiko,
modifikasi gaya hidup sehat dan mengikuti serta berperan aktif dalam sosialisasi
TIA. TIA dapat menyebabkan stroke jika pengobatan dan pencegahan tidak
adekuat.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, Arief, et al. Stroke dalam Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI; 2000; p.17-20.
2. Sidharta P, Mardjono M. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf.
Neurologi Klinis Dasar. Surabaya: Dian Rakyat; 2004. p. 269-93.
3. Soertidewi L. Hipertensi sebagai Faktor Resiko Stroke. Tesis Magister
Epidemiologi Klinik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
1998.
4. Riset Kesehatan Dasar Depkes RI. Proporsi Penyebab Kematian pada
Kelompok Umur 55-64 tahun Menurut Tipe Daerah di Indonesia; 2008. p.107.
5. Gubitz G, Sandercock P. Extracts from Clinical Evidence. Acute Ischemic
Stroke. BMJ 2000; 320: 6926.
6. Rothwell, PM. "Effect of urgent treatment of transient ischemic attack and
minor stroke on early recurrent stroke (EXPRESS study): a prospective
population based sequential comparison." 2008. Available at: Error!
Hyperlink reference not valid.. Accessed on: April 2015.
7. Guyton, A et al. Aliran Darah Serebral, Aliran Serebrospinal dan
Metabolisme Otak. Fisiologi Kedokteran edisi 9; editor: Setiawan I. Jakarta:
EGC; 2007; p.234-7.
8. Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Jakarta: EGC;2006; p.9-13.

14

9. Widjaja, L. Stroke Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Surabaya: Ilmu


Penyakit Saraf FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Pres; 2003; p.1-48.
10. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gangguan Peredaran Darah Otak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2008; p. 59-133.
11. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Stroke. Jakarta: Gramedia; 2006; p. 8-16.
12. Harsono. Kapita Selekta Neurologi Ed.2. Gangguan Peredaran Darah Otak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003; p. 81-115.
13. Toole, J .The Willis lecture: transient ischemic attacks, scientific method and
new realities. Stroke 1991: 22 :99-104.
14. Easton, JD, Saver, JL, Albers, GW, et al. Definition and evaluation transient
ischemic attack. AHA / ASA Ilmiah Pernyataan. Stroke 2009; 40:2276.
15. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In: Goetz: Textbook of
Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia: Saunders; 2007; p.102-7.
16. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In: Adam and Victors
Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
17. Strauss SE, Majumdar SM, McAlister F. New evidence for stroke prevention.
JAMA288 2002;1388-95.
18. Gubitz G, Sandercock P. Extracts from Clinical Evidence. Acute Ischemic
Stroke. BMJ 2000; 320: 692-6.
19. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI 2011. Pencegahan Primer Stroke. Dalam:
Guideline Stroke 2011. Jakarta.

15

Você também pode gostar