Você está na página 1de 11

Hilangnya GRN meningkatkan kehilangan neuron pada cedera di SSP (Martens et al.).

Pada fase akut, neurotoksin 1-methil-4-(2-methylphenyl)-1,2,3,6-tetrahydrophine (MPTP),


menargetkan neuron dopaminergik dari substansia nigra pars compacta (SNPC), tikus
dengan defisiensi GRN ( Grn-/-) menunjukkan respon inflamasi berkepanjangan dan
berlebihan pada mikroglia yang diaktifkan dan mekanisme ini mungkin berkontribusi dalam
meningkatkan kematian neuron setelah cedera.
Penipisan selektif GRN dari mikroglia pada campuran kortikal kultur mengakibatkan
peningkatan kematian neuron tanpa adanya cedera. Selain itu, GRN (-/-) mikroglia yang
diobati dengan LPS/IFN- menunjukan respon inflamasi dan kondisi media dari mikroglia ini
menyebabkan kematian kultur neuron. Peran GRN dalam melemahkan neuroinflammasi dan
menunjukkan bahwa mekanisme ini berkontribusi pada neurodegenerasi pada defisiensi GRN
FTLD.
Progranulin diketuhui memiliki peran dalam aktivasi mikroglia pada AD. Progranulin
telah ditemukan bercampur dengan plak A pada otak pasien AD dan dalam beberapa tikus
model AD transgenik. Progranulin meningkatkan sekresi leptin dan sitokin Th2, seperti IL-4,
IL-10, dan IL-5, yang telah dikaitkan sebagai pelindung saraf. Progranulin mengurangi
sekresi TRAIL, anggota dari superfamili TNF, yang mana adalah regulator apoptosis dan
diregulasi di otak pasien AD. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proganulin memiliki sifat
neuroprotektif pada kasus AD. Selain itu, Progranulin mempromosikan kemotaksis dan
endositosis dari peptida ekstraseluler, termasuk A, oleh mikroglia dan menginduksi
diferensiasi mikroglia ke fenotip anti inflamasi M2.
Di korteks dan hipokampus pasien P301S, mikroglia diaktifkan, mengekspresikan
CD68, dan terjadi infiltrasi makrofag. Sel-sel ini secara khusus terkonsentrasi di sekitar
terfosforilasi (phospho) -tau- neuron positif. Mikroglia yang diaktifkan berkembang juga
dalam keadaan makrophagik, suatu kondisi yang terjadi selama neuroinflamasi kronis, dan
neuron phospho-tau-positif mengeluarkan sinyal aktifasi, seperti IL-1 dan COX2
Kehadiran sel CD68 di sekitar pembuluh darah menunjukkan bahwa mikrogliosis
reaktif mungkin disertai dengan infiltrasi makrofag luar biasa. IL-1 bertindak sebagai faktor
kemotaktik, dan COX2 menginduksi produksi prostaglandin, yang dapat mengaktifkan
beberapa intraseluler kinase dapat memfosforilasi tau di tempat tertentu. Aktivasi mikroglia
dan produksi mediator proinflamasi oleh neuron phospho-tau-positif mungkin secara berbeda

berkontribusi terhadap kematian neuronal dan perkembangan penyakit pada tauopati


neurodegeneratif.
KESIMPULAN
1. Dalam beberapa tahun terakhir, aspek genetik dan molekuler yang mendasari AD dan
FTLD telah dijelaskan lebih baik, termasuk peran gen, faktor inflamasi, dan sel imun
otak, mikroglia.
2. Mikroglia memainkan peran penting, menampilkan kedua inflamasi dan sifat
neuroprotektif.
3. Mikroglia yang diaktifkan dapat membantu dalam proses pemulihan atau berpotensi
memperburuk kerusakan SSP.

NEUROIMMUNOLOGY OF CORTICAL DISEASE: DEMENTIA


Demensia merupakan sindroma klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari- hari. Keadaan
ketika seseorang mengalami penurunan daya pikir dan daya ingat yang secara nyata
mengganggu aktifitas kehidupan sehari- hari. Menurut Lumbantobing, demensia adalah
gejala penurunan fungsi intelektual umumnya ditandai dengan terganggunya minimal 3 yaitu
bahasa, memori, visuospatial. Penyebab demensia dapat digolongkan menjadi 3 golongan
yakni:
1. Sindroma demensia dengan penyakit etiologi yang dasarnya tidak dikenal.
a. Tidak ditemukan atrofia cerebri, daya ingat subseluler atau secara biokimiawi
dan peka metabolism seperti pada penyakit Alzheimer dan demensia senilis.
2. Sindroma demensia dengan etiologi yang dasarnya tidak dikenal tetapi dapat diobati
a. Gangguan degenerasi sipiroserebelar
b. Subakut leukonensefalitis sklerotik van bogaert
c. Khorea Heinlington
d. Penyakit Jacob Cretzfeld
3. Sindroma demensia dengan etiologi penyekit yang dapat diobati.
a. Penyakit cerebro kardiovaskular
b. Penyakit- penyakit metabolik
c. Gangguan nutrisi
d. Akibat intoksikasi
e. NHH
Demensia merupakan sindroma yang dikarakteristikkan dengan kerentanan pada ranah
kognitif khususnya memori, bahasa, persepsi visual, dan fungsi eksekutif. Demensia
degeneratif berasal dari etiologi yang reversibel seperti Barey Lord depositor, Lewy levels,
tanfiahoe atau disfungsi protein, sedangkan demensia sekunder bisa diobati. Demensia yang
reversibel terbagi menjadi kelompok yang berbeda-beda dengan etiologi yang bermacammacam seperti:
1. Lesi otak struktural
NPH mempunyai trias gangguan gerak, memori dan inkontinensia urin. Pada
pasien NPH memperlihatkan peningkatan drainase CSF. Tergantung pada waktunya,
inkontinensia urin dan gangguan gerak bisa diatasi dan memori bisa ditingkatkan.

2. Demensia alkoholik
Kelemahan kognitif, perubahan pola hidup, dan perubahan tingkah laku
merupakan hasil dari penggunaan alkohol dalam jangka waktu lama. Mekanisme
alkohol menjadi demensia masih diperdebatkan.
3. Kelainan nutrisi
Mekanisme defisiensi vitamin B12 pada kelainan neurologis telah diketahui
beberapa tahun ini. Kekurangan vitamin B112 menyebabkan degenerasi subakut,
gejala psikiatrik, multiple sklerosis, demensia atau gangguan kognitif.
4. Keainan endokrin
Autoimun ensephalopatik. Autoimun enchepalopatik merupakan istilah terbaru
yang diajukan untuk demensia yang terjadi oleh karena proses autoimun. Autoimun
ensefalopati menyebabkan beberapa gejala penurunan kognitif.
Penyakit Alzheimer dikarakteristikkan sebagai defisit memori secara progresif,
terganggunya fungsi kognitif dan perubahan tingkah laku. Hal yang mendasari penyakit ini
adalah Senile Plaque dan Anyaman Neurofibrillari, yang menyebabkan disfungsi sinaptik
yang progresif dan bahkan kematian otak, khususnya diskus limbik dan korteks asosiasi.
Plak senilis terdiri atas inti amiloid peptide yang dikelilingi oleh presinap akhir yang
degeneratif bersama dengan astrosit dan sel-sel merugikan.
Anyaman Neurofibrilar dibentuk oleh neuron interseluler dari protein Tau dan
mengakibatkan kolaps pada mikrotubulus. Saat ini mutasi dari 4 gen yang dipercaya menjadi
dasar penyakit ini, Presenilin 1 (PSEN1), Preseniulin 2 (PSEN2), E4 alel opolipoprotein E
(OPOE) dan Amiloid Prekursos Protein (APP).
Terdapat 2 tipe prekursos amiloid: neurite dan non neuritik plak senile. Plak neuritik
hanya ditemukan pada pasien dengan Alzheimer. Pada Alzheimer biasanya tidak ada gejala
klinis selain demensia dan pada MRI memperlihatkan temuan yang tidak spesifik meliputi
atrofi dan dilatasi ventrikel. Mini Mental State Examination, digunakan untuk mengetahui
keparahan dari gangguan mental. Otak pasien Alzheimer memperlihatkan atrofi yang parah
diikuti daya penurunan berat otak 35%, sulkus otak melebar, girus menyempit dan ventrikel
3 dan 4 berdilatasi, bagian putih dan abu-abu khususnya pada lobus temporalis menghilang.
Secara patologis terdapat gambaran hilangnya sel neuron, deposit plak amiloid,
anyaman neurofibrilasi dan inflammasi sekunder.

Penyebab utama dari Alzheimer adalah peningkatan produksi dan akumulasi Amiloid
peptide dari 42 asam amino. Pada pasien Alzheimer tahap awal ditemukan mutasi pada gen
yang mengkode1 Amiloid Prekursor Protein (APP), PSEN1, PSEN2, discare hespero ablasi
protelike Amiloid. Oligomerisasi Amiloid 1-42 dan deposit pada difusi pada otak
mengaktifkan sel neuralgia dan astrosit sehinggan terjadi penghentian

pembentukan

anyaman neurofibrilari dan terjadi disfungsi sel neuron yang luas dengan kematian sel dan
deposit.
Penatalaksanaan akut untuk Alzheimer adalah sebagai berikut:
1. Pasien dengan suspek autoimun imunologi
Pengobatan awal menggunakan
a. Kortikosteroid dosis tunggal
b. Metil Prednisolon IU 1000 mg selama 5 hari (dapat digunakan baik dirawat
inap maupun rawat jalan)
c. Pengobatan rawat jalan dengan Prednison dengan dosis 60-80 mg.

EPILEPSI AUTOIMUN
A. Latar Belakang
Epilepsi autoimun adalah epilepsy yang disebabkan oleh antibodi atau sel T
sitotoksik yang menyerang autoantigen korteks cerebri dan sangat berpotensi untuk
dihentikan dengan imunoterapi secara dini. Diagnosis Epilepsi autoimun dapat
ditegakkan apabila pada pasien dapat ditemukan gejala sebagai berikut:
1.

Pasien dapat baru menunjukkan onset gejala kejang saat dalam isolasi atau
dengan gangguan neurologis predominan kejang. Kejang bersifat fokal atau
multifokal, lebih banyak dari yang general primer.

2.

Satu atau lebih autoantibodi spesifik intraseluler saraf atau antigen membran
plasma dalam serum atau cairan LCS dan dengan respon spesifik dari percobaan
imunoterapi.

3.

Petunjuk yang dapat membantnu identifikasi pasien dengan etiologi autoimun:


a.

Onset epilepsi akut dan resisten terhadap obat antiepileptik

b.

Profil serum antibodi atau penanda inflamasi LCS (peningkatan protein


atau leukositosis)

c.

Pengurangan frekuensi kejang hingga 50% dengan imunoterapi

d.

Epilepsi berat yang dicurigai disebabkan autoimun, 62% mengalami


peningkatan signifikan setelah diujicobakan imunoterapi, 34% dinyatakan
bebas kejang.

Pentingnya mempertimbangkan suatu etiologi autoimun adalah untuk melakukan


terapi dini dan maintenance imunoterapi yang sesuai menjanjikan keluaran optimal pada
pasien. Selain itu pengujian serologis informatif juga dapat mempercepat pencarian
untuk kanker stadium terbatas. Pemeriksaan seharusnya dilakukan apabila ditemukan
gejala berikut:
1.

Epilepsi kriptogenik onset akut dengan kontrol kejang yang tidak sempurna
dengan durasi < 2 tahun

2.

Epilepsi kriptogenik onset akut ditambah satu atau lebih kriteria berikut:
a.

Progresi subakut (frekuensi maksimal bangkitan kejang dalam 3 bulan)

b.

Kejang multipel atau fasciobrachial distonik

c.

Resisten terhadap OAE

d.

Gejala penyerta psikiatri (psikosis, halusinasi)

e.

Gangguan pergerakan (myoklonus, tremor, diskinesia)

f.

Nyeri kepala

g.

Ketidakseimbangan kognitif (encephalopati)

h.

Sigmata autoimun (misal tanda fisik atau riwayat personal/keluarga diabetes,


tiroid, vitiligo, prematur, myasthenia gravis, rheumatoid arthritis atau SLE,
insufisiensi adrenocortical idiopatik)

i.

Riwayat kanker

j.

Riwayat merokok (>20 pak per tahun) atau faktor risiko kanker lain

k.

Inflamasi LCS

l.

Neuroimage yang mengarah pada proses inflamasi (limbik atau ekstra


temporal)

Permeriksaan atau tes yang seharusnya diusulkan adalah evaluasi epilepsi


autoimun dengan pemeriksaan LCS (3 hari negatif, 5 hari positif), serum (4 hari negatif,
7 hari positif). Pentingnya menguji sekaligus serum dan LCS adalah karena autoantibodi
neural lebih mudah dideteksi dalam serum (misal IgG kompleks VGKC) dan beberapa
lebih mudah dideteksi dalam LCS (misal IgG reseptor NMDA) sehingga proses
diagnosis dapat dimaksimalkan dengan menguji keduanya, secara simultan atau
berurutan.
B. Tujuan Penelitian
Mendeskrisikan karakteristik dan respon imunoterapi pada pasien dengan
epilepsi autoimun.
C. Desain
Observasional, case series retrospektif.
D. Setting
Mayo Clinic Health System.
E. Pasien
Sampel adalah sebesar 32 orang pasien dengan kriteria: (1) Presentasi kejang
predominan dengan dugaan etiologi autoimun, atau (2) hasil MRI yang menunjukkan
inflamasi dimasukkan ke dalam penelitian.

Dari

keseluruhan

yang

mengalami

kejang parsial:
a. 81 % mengalami kegagalan pengobatan dengan 2 atau lebih obat anti epilepsi
dan mengalami serangan kejang setiap hari,
b. 38% mengalami kejang semiologi yang bersifat multifokal atau berubah
seiring waktu.

Hasil pemeriksan MRI normal pada 15 orang (47%) saat onset.Abnormalitas


EEG termasuk pengeluaran interiktal epileptiform terjad pada 20 orang; kejang
elektrografik pada 15 orang; dan perlamabatan fokal pada 13 orang. Autoantibodi neural
termasuk kompleks kanal potasium pada 5%; dekarboksilase asam glutamat pada 22%;
dan protein mediator respon collapsin 5 pada 6%; dan Ma2, reseptor N-methyl-Daspartat, dan asetilkolin ganglionik pada masing-masing 1 pasien.
F. Intervensi
Imunoterapi dengan methylprednisolone intravena; imunoglobulin intravena;
plasmaferesis; atau siklofosfamid.
G. Pengukuran Hasil Utama
Frekuensi kejang.
H. Hasil
Setelah interval median 17 bulan didapatkan 22 dari 27 orang dilaporkan
mengalami perkembang post imunoterapi; 18 orang bebas kejang. Median waktu dari
sejak onset kejang hingga memulai imunoterapi adalah 4 bulan untuk pasien dengan
respon dan 22 bulan untuk pasien tanpa respon. Seluruh pasien dengan kompleks
antibodi kanal potasium dilaporkan mendapatkan keuntungan awal dan untuk
perkembangan selanjutnya. 1 orang pasien dengan antibodi kompleks potasium
mengalami bebas kejang setelah reseksi kanker tiroid; sedangkan yang lainnya
memberikan respon hanya pada obat anti epilepsi. Kesimpulannya adalah saat petunjuk
klinis dan serologis menunjukkan dasar autoimun untuk epilepsi, imunoterapi yang
diberikan sejak awal dapat memperbaiki hasil akhir frekuensi serangan kejang.
METODE
Sebagai langkah awal yakni meminta persetujuan dari badan penilaian institusional
Mayo Clinic, mengidentifikasi pasien yang telah dievaluasi oleh Autoimune Neurology Clinic
dan Epilepsy Clinis antara 1 Januari 2005 hingga 31 Desember 2010 yang mengarah pada
diagnosis epilepsi autoimun.
Epilepsi autoimun didefinisikan sebagai (1) epilepsi sebagai perhatian yang utama atau
predominan yang tampak saat ini, dan (2) patogenesis autoimun dicurigai oleh dokter yang
merawat berdasarkan deteksi antibodi neural, gambaran inflamasi pada LCS (leukositosis
atau imunglobin oligoklonal LCS), atau gambaran MRI yang menunjukkan tanda inflamasi.

Karakteristik demografis dan klinis (bangkitan kejang, temuan klinis, dan gejala yang
berhubungan) telah dicatat. Hasil MRI kepala dan hasil pemeriksaan FDG-PET seluruh tubuh
dinilai oleh minimal 2 pengamat yang tidak mengetahui data klinis.
Pemeriksaan EEG adalah kegiatan merekam melalui elektroda yang dipasangkan pada
scalp dengan menggunakan sistem internasional pemasangan 10-20 elektroda. Seluruh
kegiatan EEG dilampirkan menjadi dua 1-channel dan kemudian diperpanjang menjadi 30channel rekaman digital EEG. Hasil dari neural antibodi kemudian dicatat.
Substrat dari cerebellum, otak tengah, perut, dan ginjal digunakan dalam uji
immunoflouresen indirek untuk mendeteksi antibodi inti neuronal dan glial, serta antibodi
IgG sitoplasma. Uji In-House dilakukan radioimunipresipitasi untuk mendeteksi reaksi
antibodi. Frekuensi dari autoantibodi neural pada kontrol kesehatan telah dilaporkan
sebelumnya. Antibodi Ma/Ta diidentifikasi dengan rekombinan Western blot.
Pemeriksaan immunofluoresen tambahan dilakukan pada bagian korteks cerebri,
hipopokampus, dan talamus untuk mendeteksi autoantibodi IgG synapse-reactive untuk
NMDA, AMPA, dan reseptor aminobutyric acid B.
Seropositivitas

reseptor

NMDA

dikonfirmasi

secara

molekular

dengan

immunofluoresens pada sel HEK293 bereaksi dengan DNA pelengkap reseptor NMDA.
Seropositif untuk kompleks antibodi VGKC dianalisis lebih jauh untuk IgG spesifik. Protein
ini kopresipitat dengan kompleks Kv1 VGKC dari membran otak mamalia dan berligasi
dengan iodine125-labeled -dendrotoxin. Seluruhnya diperiksa pada 126 kontrol sehat yang
memiliki hasil negatif untuk kompleks autoantibodi VGKC, Lgi 1, atau Caspr2.
Respon terhadap immunoterapi dikategorikan dalam dasar laporan dokter dan pasien
mengenai bebas kejang, perbaikan kejang, atau tidak ada perubahan.
Data dinyatakan sebagai median untuk variabe kontinyu dan persentase untuk variabel
kategorik. Perbedaan antara memiliki respon (bebas kejang atau perbaikan kejang) dan tidak
ada respon dibandingkan dengan analisis t-test tidak berpasangan dan tes Wilcoxon untuk
perhitungan kontinyu serta X2 dan Fisher untuk tes variabel kategorik.
HASIL
A. Karakteristik Klinis
1. Hasil secara klinis, radiologis, EEG, nilai autoimun serologis, dan imunoterapi
untuk 32 pasien disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Seluruhya ditampilkan
dengan kejang rekuren.
2. Lima puluh sembilan persen merupakan wanita.
3. Usia median saat onset kejang adalah 5.0.

4. Nilai median riwayat aktivitas kejang menurut presentasi Mayo Clinic adalah 5
bulan.
5. Dasar autoimun dicurigai berdasarkan deteksi dari autoantibodi neural, LCS
dengan gambaran inflamasi, atau MRI yang menunjukkan karakteristik inflamasi.
B. Kejang dan karakteristik EEG
1. Kejang parsial bersifat predominan
a. kejang parsial simpel dengan atau tanpa aura 27 orang dari 32 orang (84%);
b. parsial kompleks 26 orang dari 32 orang (81%);
c. kejang tonik-klonik sekunder umum 17 orang dari 32 orang (53%).
d. Kejang semiologi bervariasi atau berubah seiring waktu pada 12 orang pasien
(38%).
2. Sebagian besar pasien (81%) telah menerima 2 atau lebih obat anti epilepsi, namun
tetap sering mengalami kejang: 26 orang (81%) mengalmi kejang setiap hari; dan
sisanya mengalami minimal 1 episode kejang setiap bulan.
3. 2 pasien telah melakukan operasi epilepsi tanpa kejang; dan tidak ada yang
mengalami neoplasma. Infiltrat sel infamasi kronik perivaskular diutamakan pada
penilaian histpatologi di dalam institusi.
4. 32 orang pasien memiliki EEG yang tercatat di institusi kami dengan median 2 per
pasien.
a. EEG yang diperpanjang terjadi ada 13 orang pasien (41%).
1) Abnormalitas berikut ini dicatat: pengeluaran interiktal epileptiform, 20;
gambaran kejang elektrografik, 15; perlambatan fokal,13; dan perlambatan
umum, 12.
2) 3 pasien tidak memiliki gambaran abnormal pada EEG, namun pada 1
orang pasien memiliki gambaran perubahan inflamasi pada MRI.
C. Manifestasi neuropsikiatri lain
Tambahan manifestasi termasuk gangguan memori dan kognitif, 20 (63%);
perubahan kepribadian, 8 (25%); depresi atau kecemasan, 6 (19%). Perubahan
neurkognitif berkebang pada 3 dari 11 pasien yang tidak memiliki perubahan memori
atau afektif pada presentasi awal (34%).
D. Temuan neuroimaging
MRI otak digunakan untuk penilaian pada semua pasien.
1. 15 (47%) memiliki hasil MRI normal saat evaluasi kejang awal.
2. Abnormalitas diamat pada 22 pasien (17 saat evaluasi awal, 5 saat pemeriksaan
follow-up): kemungkinan perubahan inflamasi ditemukan pada 20 (63%); 2

menunjukkan perubahan pasca operasi. Diantara 5 pasien yang mengalami


perubahan inflamasi, hanya terdeteksi pada pemeriksaan subsequent.
3. Interval median antara hasil scan normal dan subsequent abnormal adalah 4 bulan.
4. Abnormalitas yang terjadi karena inflamasi termasuk pembengkakan dan
hipersensitivitas tipe 2 melibatkan kompeks amigdalahippokampus dan struktur
ekstramedial temporal.
5. 6 dari 19 pengamatan gadolinium menunjukkan pengikatan kontras. Pada
imunoterapi, 4 pasien memiliki gambaran radiografik sklerosis medial temporal.
FDG-PET seluruh tubuh menunjukkan gambaran keganasan pada 20 pasien.
Bagian otak pada pengamatan ini menunjukkan hipermetabolisme regio medial temporal
pada 11 pasien dan hipermetabolisme korteks parietal kiri pada 1 orang pasien. Tidak ada
kejadian kejang yang dilaporkan saat pelaksanaan pemeriksaan PET. Hipometabolisme
medial temporal dan ekstra temporal terdeteksi pada 1 orang pasien.
E. Skrining profil autoantibodi dan malignansi
1. Autoantibodi saraf diidentifikasi dari 29 pasien (91%).
2. Fitur khusus yang digunakan yaitu VGKC Kompleks, 18; GAD65, 7; CRMP-5, 2;
Ma (PNMA1 dan PNMA2).
3. NMDA reseptor 1 dan saraf reseptor nicotinic acetylcholine, jenis ganglionic. Di
antara 18 pasien, IgG kompleks VGKC, 14 (78%) untuk LGI1 terikat, terikat
dengan memiliki CASPR2, dan 3 berasal dari spesifisitas diketahui (e-gambar 1).
4. Tiga pasien, autoantibodi saraf terdeteksi kurang (Pasien 7, 11, dan 21) memiliki
fitur lain yang didukung kemungkinan autoimun Epilepsi: 2 memiliki CSF
inflamasi, ketiga memiliki gangguan inflamasi MRI, memiliki 2 masalah pribadi
(prostat dan payudara 1: 1), 1 memiliki autoimun yang berkaitan (tiroid dan celiacs
disease).
5. Teridentifikasi dari autoantibodi saraf pada 3 pasien (pasien 2, 4 dan 16). Hasil
deteksi calon kanker: 2 kompleks dengan antibodi VGKC memiliki karsinoma
tiroid atau prostat dan 1 pasien dengan CRMP-5 antibodi memiliki kanker kandung
kemih berulang. Kelainan cairan serebrospinal yang ditemukan pada 19 dari 30
pasien dievaluasi (63%): terjadi peningkatan jumlah leukosit (> 5 / ml) pada 5
pasien; CSF band oligoclonal eksklusif, 5 pasien; dan peningkatan protein (> 35
mg / dL) pada 17 pasien.

Você também pode gostar