Você está na página 1de 25

TUGAS

MAKALAH
HUKUM LINGKUNGAN
KELAS C
Dosen Pengampu : Dr. I Gusti Ayu KRH , S.H, M.M.
ANTARA PENDAPATAN ASLI DAERAH
DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
(Tinjauan kasus expor dan pencurian pasir skala besar
di Propinsi Riau)

OLEH :
ARIF MAULANA
NIM. E0005103
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SOLO
2006

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Bukti Ketergantungan bangsa Indonesia kepada alam dapat dilihat
dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang besar-besaran tanpa
melihat kelanjutan fungsinya. Era Sentralisasi Pemerintahan exploitasi
yang

tidak

berwawasan

lingkungan

hidup

masih

terbatas

pemanfaatan wilayah-wilayah strategis saja, namun dewasa ini


otonomi

daerah

yang

diterapkan

di

Indonesia

pada
Era

memperuncing

permasalahan pengelolaan lingkungan hidup, khusunya pemanfataan


SDA

di

daerah

dimana

masing-masing

daerah

berlomba-lomba

mengexploitasi kekayaan alam masing-masing.

Otonomi Daerah dan Prioritas Pembangunan


Sebagian besar diskusi yang berlangsung mengenai prospek
keberhasilan

pelaksanaan

otonomi daerah, tertuju pada

masalah

perimbangan anggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.


Sepertinya ada asumsi bahwa dengan memiliki anggaran belanja yang
besar maka pemerintah daerah akan mampu mengelola pelaksanaan
otoda. Seiring dengan asumsi ini, maka daerah yang diuntungkan adalah
hanya daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Kondisi
ini dipertegas dengan gencarnya pemerintah daerah berpikir keras untuk
mendapat penopang pembangunan daerahnya. Salah satunya melalui
Pendapatan Asli Daerah (PAD) .Sehingga PAD menjadi akronim yang
populer di tengah maraknya diskusi Otonomi Daerah. Metode yang paling
populer

di

Indonesia

untuk

pemasukan

PAD

adalah

dengan

mengekploitasi sumber daya alam yang ada. Mungkin tidak menjadi


problem pelik bagi daerah yang ketersediaan sumber daya alamnya

berlimpah. Tetapi sebaliknya banyak daerah yang merasa ketersediaan


potensi sumber daya alamnya yang sedikit seakan-akan tidak berdaya
menghadapi otoda. Pendekatan yang kedua paling mudah adalah
meningkatkan

PAD melalui Pajak dan Retribusi Daerah.

Propinsi Riau sebagai salah satu daerah otonomi di Indonesia


dewasa ini perlu mendapatkan perhatian khusus, hal ini terkait dengan
adanya kegiatan expor pasir berskala besar yang dilakukan ke negara
tetangga Singapura, kegiatan perdagangan pasir dilaksanakan propinsi ini
sejak tahun 70-an dan mencapai puncaknya pada dekade 80-an. (Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional ) menyatakan bahwa
Indonesia belum kehilangan satu pulau pun dari kegiatan ini. Namun,
melihat bahwa kegiatan menjual tanah air ini masih terus berlangsung dan
semakin bertambah intensitasnya, kekhawatiran tersebut bukan tidak
mungkin terjadi.
Tidak seperti ekspor daerah otonomi lain yang memperoleh PAD
dari penjualan hasil alam seperti hasil pertanian, peternakan atau hasil
laut. Propinsi Riau extrim memilih pasir sebagai komoditas expor yang
menguntungkan.
Penambangan pasir memang dianggap memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi Riau .
Triliunan rupiah dihasilkan dari kegiatan ini. Terlepas dari maraknya aksi
pencurian yang terjadi akibat sulitnya menentukan batas konsesi,
penambangan pasir laut/darat telah menjadi primadona bagi Pendapatan
Asli Daerah setempat.
Hampir 84% komoditi yang diekspor oleh Propinsi Riau adalah
pasir laut. Dua persen lainnya pasir darat dan sisanya komoditi lain. Saat
ini, hampir seluruh wilayah perairan empat kabupaten di Propinsi Riau
sudah dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga Juni 2002, tercatat
67 perusahaan yang telah mengantongi izin eksploitasi. Sementara itu,
300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin eksplorasi. Belum lagi, bila

satu perusahaan memiliki lebih dari satu konsesi, seperti PT Equator Reka
Cipta dengan 14 konsesinya.
Bisnis ini juga melibatkan begitu banyak orang berpengaruh di
negeri ini. Dari mulai Habibie, Ricardo Gelael, Taufik Kiemas hingga MS
Zulkarnen, mantan direktur Walhi. Tidak heran, mengingat ada begitu
banyak uang yang mengalir di dalamnya.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan penambangan pengusaha
harus memperoleh izin pertambangan dengan memenuhi persyaratan
usaha yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau (melalui
Bupati dan Badan Pengawas Daerah (BPD) Riau. Sebagaimana
diketahui, ketika izin konsesi didapatkan, pengusaha terlebih dahulu harus
menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan kesungguhan sebesar US$
5 per hektar ke BPD Riau. Ditambah iuran eksplorasi sebesar Rp. 20.000
per hektarnya dan iuran daerah Rp. 25 ribu/ha. Ini belum lagi ditambah
dengan biaya pengembangan masyarakat (Community Development),
sebagai kompensasi terhadap nelayan tradisional yang besarnya
mencapai 300-400 juta untuk setiap konsesi dan dana penelitian AMDAL
sebesar 200 juta.
Pungutan

yang

besar

sebagai

salah

satu

faktor

yang

mengakibatkan banyaknya kecurangan yang dilakukan pihak pengusaha,


dengan mengambil pasir secara brutal tanpa memperhaitan mekanisme
yang ada. Hal ini dilakukan demi meraih uang kompensasi dari pungutanpungutan yang sedemikian besar.
Dalam proses penambangan pasir, Angka menyatakan bahwa
dalam satu kali kegiatannya tiap kapal mampu menyedot sekitar 60 ribu
m3 dan dalam satu hari setiap kapalnya bisa bolak-balik lima kali lebih dari
lokasi penambangan ke lokasi reklamasi. Artinya, 300 ribu meter kubik
tersedot setiap harinya untuk satu kapal. Bila dikali 10 kapal (minimal)
yang beroperasi, maka setiap harinya 3 juta m 3. Setahun, berarti 750 juta
m3 untuk masa kerja aktif 250 hari. Jika dikalikan selama 5 tahun (aktivitas
penambangan paling marak) total 1,25 milyar m 3 pasir Riau tersedot dan

pindah ke Singapura. Kalau bibir pantai sebelah timur Sumatera di timbun


selebar 500 meter dengan kedalaman 10 meter, pasir itu bisa dipakai
untuk menutup pantai dari Lampung hingga Aceh.
Dengan jumlah yang sedemikian fantastis, Negeri Singapura
bertambah luas. Pada tahun 1991, luas daratan Singapura hanya 633
km2. Sepuluh tahun kemudian, luasnya sudah menjadi 760 km 2,
bertambah 20%. Penambahan pasir ini berkat andil Propinsi Riau dengan
pasirnya. Bisa jadi, suatu saat sebuah pulau yang dulunya milik Propinsi
Riau akan diklaim menjadi milik Singapura. Hal ini dimungkinkan
mengingat dalam konvensi hukum laut disebutkan bahwa wilayah laut
dihitung berdasarkan coastal base line atau titik-titik terluar dari suatu
wilayah. Bila pasir terus diekspor dan daratan Singapura bertambah,
otomatis batas teritorialnya pun meluas.
Melihat latar belakang diatas kiranya dapat memberikan sedikit
gambaran awal mengenai demikian parahnya kasus penjualan pasir
sampai pencuriannya di Propinsi Riau. Sebab permasalahan diatas
apabila dinalar

secara logika akan memberikan dampak kerusakan

lingkungan yang luar biasa tidak hanya bagi Sumber Daya Alam (SDA)
yang diexploitasi, masyarakat setempat tak pelak bila terus dibiarkan
kedaulatan negara Indonesia akan segera terkena imbasnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk memaparkan deskripsi mengenai kondisi diatas penulis
menentukan permasalahan yang hendak dicari jawabannya dalam
makalah ini yaitu :
1. Bagaimana sejarah munculnya kegiatan penjualan pasir skala besar
ke Singapura di Propinsi Riau ?
2. Faktor yang menyebabkan munculnya kasus pencurian pasir di
Propinsi Riau yang muncul seiring expor pasir ke Singapura ?
3. Akibat yang muncul dari kegiatan tersebut ?

BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah penjualan pasir skala besar ke Singapura di Propinsi Riau


Pasir Laut
Semua berawal dari keinginan Negeri Singa (Singapura) untuk
memperluas daratannya, dan rencana reklamasi dibarengi tender seharga
S$ 55,9 per m3 pun digelar. Tercatat, ada empat kontraktor sebagai
pemenang tender, yaitu Hyundai, Links Island/SLM Holding, Samsung,
dan

Toa

Corporation.

Keempat

perusahaan

tersebut,

kemudian

menyerahkan urusan pengangkutan dan pembelian pasir kepada


sejumlah perusahaan kapal keruk yang akan bertanggung jawab untuk
membawa pasir dari lokasi penambangan sampai dengan ke lokasi
reklamasi.
Negara-negara pemilik kapal di antaranya Rusia, Belgia, Belanda,
Jepang, dan Korea. Keempat perusahaan pemenang tender itu tadi
membeli pasir dari kapal keruk seharga S$ 3,94/m 3. Perusahaan kapal
keruk kemudian membeli pasir dari pemegang kuasa pertambangan
dengan harga jual di lokasi penimbunan (fee on board) sebesar S$
1,75 /m3 (per Agustus 2002). Harga ini bersifat fluktuatif, tergantung
negosiasi antara pembeli (buyer) dan penjual (seller).
Pun bila kita melihat peta yang dikeluarkan Dinas Pertambangan, di
mana tidak ada sejengkal pun laut yang bebas dari kepemilikan kuasa
pertambangan. Semuanya untuk memenuhi proyek reklamasi yang akan
dilakukan oleh Singapura, yang dialokasikan untuk menimbun kawasan
industri, wisata, lahan pertanian, dan pusat penelitian perikanan. Proyek
tersebut tersebar di Pasir Panjang, Phase 2, Changi Bay, Western Islands,
North Eastern Islands, Tuas Reclamation, Punggol Reclamation, dan
Sentosa Islands, dengan kebutuhan yang bervariasi, dari mulai 10 juta

m3 (Sentosa Island) sampai 900 juta meter kubik (Westerns Islands). Total
kebutuhan untuk seluruh proyek tersebut, diperkirakan mencapai 1,8
miliar m3 dan diperkirakan keseluruhan proyek tersebut akan selesai pada
tahun 2010.
Potensi Kebutuhan Pasir Laut Singapura
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Nama Proyek
Pasir Panjang Tahap II
Pantai Changi
Kepulauan Barat
Pulau Jurong
Kepulauan Timur Laut
Reklamasi Tuas
Reklamasi Punggol
Pulau Sentosa

Luas (Juta m3)


150
300
900
200
200
40
10
15

Status
Berlangsung pada tahun 2003
Berlangsung pada tahun 2003
Berlangsung pada tahun 2010
Berlangsung pada tahun 2010
Tender pada tahun 2005
Tender pada tahun 2005
Tender pada tahun 2005
Tender pada tahun 2005

Pasir tanah
Pulau-pulau, khususnya pulau kecil di Kepulauan Riau, selama ini
menjadi sasaran empuk penambangan pasir darat. Sebagai contoh, Pulau
Kundur atau Pulau Moro di Kabupaten Karimun. Di peta Indonesia, kedua
pulau itu hampir tidak terlihat.
Karena kondisi yang terpencil itulah, pengawasan pun menjadi
lemah. Pasir darat selama ini tidak hanya dijual antarpulau, melainkan
juga diekspor ke Singapura. Akibat eksploitasi pasir darat itu, lahan bekas
penambangan berubah menjadi danau atau empang. Bahkan, ada pula
pulau yang sudah hampir hilang ditelan laut.

Munculnya kasus pencurian pasir berskala besar di Propinsi Riau


seiring expor pasir ke Singapura

Kecurangan pembayaran pajak ekspor.

Tercatat, ada 6 anggota DPRD Riau yang memiliki kuasa


pertambangan, yaitu Chaidir, Ketua DPRD Riau, Thamrin Nasution,
Sharizal LZ, Badarawi Madjid, Fachruddin, Abdul Kadir, dan anak seorang
Gubernur Riau yang sedang berkuasa saat itu, Indra Mukhlis Adnan. Ini
belum ditambah dengan kuasa pertambangan yang dimiliki pejabat pusat,
termasuk klannya Habibie, mantan orang nomor wahid di Indonesia.
Walaupun demikian, menurut data Bea dan Cukai Riau, dari sekian
banyak kuasa pertambangan yang ada, baru enam perusahaan yang
menyetorkan pajak ekspornya. Nilainya pun tidak seimbang.
Pada periode April Desember 2000, ekspor pasir ini seharusnya
bernilai S$ 14 juta atau 14 juta trilyun, tetapi pajak ekspor yang diterima
pemerintah Cuma 18,2 miliar. Pada semester pertama 2001, nilai ekspor
pasir melonjak menjadi sebesar 47 trilyun, tetapi pajaknya Cuma 73,4
miliar. Jelas, banyak sekali pengusaha yang curang dan tidak membayar
pajak ekspor.

Keterlibatan Militer
Anggota DPR RI periode 1999 2004, Priyo Budi Santoso,

menyatakan bahwa angkatan laut (AL), Kepolisian, dan Bea Cukai terlibat
dalam bisnis pencurian pasir laut. Indikatornya bisa dilihat dari Berita
Acara Klarifikasi tahun 2001, di mana tercatat jumlah produksi hanya 47,3
juta m3 atau senilai Rp. 114,127 miliar. Padahal, kebutuhan Singapura
periode 2000-2005 mencapai 1,268 trilyun m 3 atau setara dengan Rp.
40,730 trilyun. Otomatis, seharusnya jumlah pasir yang telah ditambang
mencapai 253,6 juta m3. Alasan bahwa sebagian kebutuhan Singapura
dipenuhi oleh Malaysia, sangat tidak masuk akal, karena aktivitas di
Malaysia hanya berlangsung sebentar dan saat ini pun tidak ada lagi.
Berbagai aspek yang mendorong terjadinya tindak pencurian ini bisa jadi
akibat :

Kacaunya perijinan yang ada.

Setelah otonomi diberlakukan pada 1 Januari 2001, Gubernur Riau,


Saleh Djasit, Bupati Karimun, Haji Muhammad Sani, dan Bupati Kepri,
Huzrin Hood, saling berlomba mengeluarkan izin konsesi tanpa mengacu
pada konsesi yang telah ada. Hingga April 2001, ketiganya telah
mengeluarkan lebih dari 300 izin eksplorasi konsesi pertambangan.
Akibatnya, bisa dibayangkan. Tidak adanya koordinasi dan sempitnya
ruang mengakibatkan satu konsesi menindih konsesi yang lain. Inilah satu
masalah mendasar dari proses perizinan yang bisa menjadi bom waktu
pemicu konflik antara pengusaha lawan pengusaha yang lain. Tapi, jangan
khawatir, konflik tersebut sebetulnya tidak akan terjadi jika pengusaha jual
beli tanah air ini mengikuti aturan main yang telah ditetapkan dalam
proses pembuatan Amdal. Sebagaimana diketahui, di dalam Amdal telah
disyaratkan untuk membuat tanda batas dari pelampung yang diberi
warna. Tujuannya agar masing-masing konsesi dapat dikenali. Bila aturan
ini dituruti, kekhawatiran munculnya konflik bisa diabaikan. Yang justru
membuat

cemas adalah

bahwa

para

pengusaha

tersebut, telah

melakukan pencurian sumberdaya alam, secara besar-besaran, dengan


cara menambang di tempat yang bukan menjadi konsesinya, mengingat
sulitnya menentukan batas antara satu dengan yang lain. Bila ini yang
terjadi, tentu saja negara berada pada posisi yang dirugikan. Laut
memang tidak memiliki tanda alam. Itu sebabnya, untuk menghindari
terjadinya

tumpang

tindih,

dokumen

Amdal

mewajibkan

adanya

pelampung sebagai batas konsesi. Inilah celah yang digunakan untuk


melakukan pencurian. Dengan tidak meletakkan pelampung (baca:
pembatas), mereka semakin leluasa mengeruk keuntungan.

Pelanggaran Aturan
Direktur

Jenderal

Perdagangan

Luar

Negeri

Departemen

Perdagangan Diah Maulida mengatakan, dari hasil kunjungan tim


bersama antar-instansi terkait terungkap, telah terjadi pelanggaran

terhadap ketentuan kewajiban pemegang surat izin pertambangan daerah


(SIPD) atau kuasa penambangan untuk penambangan pasir, tanah, dan
bahan galian golongan C lain.

Kecurangan yang terjadi dalam proses penyusunan AMDAL..

Demo nelayan tradisional, juga, sekali lagi membuktikan Seharusnya, di


dalam penyusunan AMDAL tersebut, masyarakat dilibatkan sebagai salah
satu stakeholder yang selama ini dekat dengan lokasi konsesi dan
sekaligus berhubungan erat dengan konsesi yang ada. Dengan adanya
demo ini, fakta bahwa proses penyusunan AMDAL begitu dangkal dan
bobrok, bukan lagi sekedar isapan jempol.

Fakta bercerita bahwa masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam


pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan yang berkenaan dengan hajat hidup mereka


sehari-hari tidak disosilisasikan sehingga peran serta masyarakat dalam
pengawasan / kontrol tidak dapat terwujud. Inilah sebab utama munculnya
pencurian tanpa diketahui dan dapat dilaporkan oleh masyarakat.

Begitu banyaknya pungutan yang harus dilalui

Hal yang juga mendorong mereka untuk melakukan ini adalah, salah
satunya, begitu banyaknya pungutan yang harus dilalui, baik ketika masa
eksplorasi maupun eksploitasi. Hal tersebut diakui sendiri oleh salah
seorang pengurus Asosiasi Pengusaha Penambangan pasir Laut. Bahkan,
sumber dari AP3L tersebut mengaku bahwa dalam setahunnya, terjadi
illegal sand mining sebesar 35 juta m3. Entah dari mana angka ini didapat.
Namun, hal ini bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa pencurian tanah air
begitu menggila. Pengusaha memang mendapat banyak keuntungan dari
konsesinya, dengan harga jual S$ 1,75/m 3 (Agustus, 2002) di lokasi
reklamasi. Namun, dengan banyaknya pungutan, keuntungan tersebut
mungkin belum mencukupi untuk menutup pungutan-pungutan liar

lainnya. Belum lagi kekhawatiran konsesi yang dimiliki berisikan lumpur,


sebagaimana konsesi seorang tokoh Riau, Dr Tabrani Rab, yang berisi
lumpur, sehingga berbalik dan mulai menyerang seluruh aktivitas
penambangan

tersebut,

dengan

alasan

merusak

lingkungan

dan

merugikan masyarakat nelayan.


Sebagaimana diketahui, ketika izin konsesi didapatkan, pengusaha
terlebih dahulu harus menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan
kesungguhan sebesar US$ 5 per hektar ke BPD Riau. Ditambah iuran
eksplorasi sebesar Rp. 20.000 per hektarnya dan iuran daerah Rp. 25
ribu/ha. Ini belum lagi ditambah dengan biaya pengembangan masyarakat
(Community Development), sebagai kompensasi terhadap nelayan
tradisional yang besarnya mencapai 300-400 juta untuk setiap konsesi
dan dana penelitian AMDAL sebesar 200 juta. Jadi, seandainya seorang
pengusaha mendapatkan konsesi, katakanlah 4.000 hektar, maka ia harus
menyetorkan:
Tabel 1. Pungutan Pra Penambangan
No
1
2
3
4
5
6
1

Dibayar

Kewajiban Pengusaha*
Jaminan Kesungguhan
Proses AMDAL
Iuran Eksplorasi
Iuran Daerah/Tahun Masa Eksplorasi
Kompensasi CD
Iuran Daerah/Tahun1
Total
di

muka

untuk

tahun

Jumlah
Rp. 200.000.000,Rp. 200.000.000,Rp. 80.000.000,Rp. 100.000.000,Rp. 300.000.000,Rp. 100.000.000,Rp. 980.000.000,pertama

masa

eksploitasi.

*Dikembalikan apabila selesai/habis masa konsesi.

Setelah semua proses dilalui, barulah pemilik konsesi mengontak


pemilik kapal yang umumnya dimiliki oleh perusahaan asing. Tercatat
beberapa pemain berada di sini, di antaranya dari Jepang, Korea,
Belanda, Belgia, Rusia, dan beberapa perusahaan dengan nama asing.
Namun, berbendera Panama. Dan apabila terdapat warga asing sebagai
ABK-nya, maka harus ada izin dari Angkatan Laut dan Departemen Luar
Negeri (Deplu). Untuk ini, pengusaha ditarik sumbangan sukarela yang
besarnya bervariasi. Konon, sumbangan di Angkatan Laut mencapai S$

10 sen/hektar atau bila mengacu pada luasan yang ada, berarti sebesar
S$ 40.000/thn. Hal di atas belum lagi selesai. Ketika operasi, setoran yang
harus dibayar adalah:

No
1
2
3
4
5
6
-7
8
9
-1
*

Komposisi
Iuran Produksi ke Pemerintah Pusat 10%
Iuran Produksi ke Pemerintah Daerah 25%
Biaya Transportasi1
Biaya Keruk
Biaya Pengembangan Masyarakat
Pajak Ekspor Barang

Harga/m3 Pasir Laut


S$ 0.175
S$ 0,438
S$ 0,2
S$ 0,33
S$ 0,10
S$ 0,35
S$ 1,693
S$ 0,057
S$ 0,01425
S$ 0,0285
S$ 0,01425

Total Sementara
Margin Keuntungan Sementara
Pajak CnF Pemerintah Pusat 25%
Pajak CnF Pemerintah Daerah 50%
Total Margin Keuntungan

Untuk

jarak

rata-rata20

mil.

1 m3: US$ 1,75.

Harga Per Agustus 2002. Bila S$ 1 = Rp. 5600, maka keuntungan


yang diterima oleh si pemilik konsesi mencapai Rp. 79,8/m 3. Kalau dalam
seharinya satu buah kapal mampu menyedot sekitar 200 ribu m 3
(tergantung jarak), maka keuntungan dari pengusaha tersebut menjadi
amper Rp 15.960.000/hari. Dalam setahun, dengan masa kerja efektif 250
hari, maka keuntungan menjadi amper Rp. 4 milyar, kotor. Belum dipotong
dengan biaya administrasi dan sebagainya, termasuk berbagai macam
pungutan siluman. Sebuah angka yang fantastis untuk jual beli tanah air.
Bayangkan, kalau ia memiliki banyak konsesi. Bayangkan pula, kalau ia
menyedot tidak sampai 1 mil dari bibir pantai, sebagaimana yang sering
dilakukan. Bayangkan pula, kalau nilai tukar dollar Singapore turun seperti
sekarang ini yang hanya mencapai Rp. 5.100.
Satu-satunya pilihan untuk menaikkan margin keuntungan bagi
pemilik kapal keruk dan pelaksana proyek reklamasi adalah mencuri.
Kapal keruk beroperasi tidak berdasarkan kuasa pertambangan. Pihak
Singapura dengan senang hati akan menghargainya sebesar 1 S$ per m 3.

Kalau saja setiap kapal berukuran sedang mampu mengeruk sekitar 200
ribu m3, berarti keuntungan yang diterima pemilik kapal mencapai S$ 100
ribu, setelah dipotong ongkos angkut dan ongkos keruk, dari satu kapal.
Bebas dari biaya setoran, dan lain-lain.
Tentu

saja,

Pemerintah

Singapura

menutup

mata

dengan

mendasarkan pada ampert bahwa seluruh kontrak reklamasi telah


diserahkan pada pihak swasta dan pemerintah tidak ikut campur dari
mana swasta akan melakukan pengadaan pasir tersebut, sebagaimana
yang diakui oleh Ajiv Shingh, Konsulat Singapura di Riau. Otomatis,
dengan

cara

ini

Negeri

Singa

tersebut

menjauhkan

diri

dari

pertanggungjawaban terhadap setiap ton pasir yang dicuri dari Riau.


Secara otomatis, bila kasus ini dibawa ke pengadilan, maka pemerintah
Singapura telah memposisikan dirinya sebagai yang tak tersentuh, the
Untouchable.
Akibat yang muncul
Penambangan pasir laut menimbulkan kerusakan lingkungan yang
serius. Hal yang paling gampang dideteksi adalah
a. Hilangnya sebuah pulau karang di alur pelayaran antara Selat
Panjang - Tanjung Balai Karimun. Seorang masyarakat yang
seringkali menggunakan jasa transportasi laut tersebut, mengaku
bahwa setahun yang lalu pulau tersebut masih ditumbuhi oleh dua
tiga pohon keras dan ilalang. Dan sekarang, pulau tersebut hampir
tidak terlihat lagi, khususnya pada saat titik terendah pasang surut
laut. Dijalur pelayaran yang sama pula, kita bisa menyaksikan
puluhan kapal pengeruk beroperasi setiap harinya. Berjejer seperti
noktah hitam di pinggir laingit.
b. Kondisi tersebut bertambah parah dengan keruhnya perairan laut
sekitar maupun bau busuk yang terkadang menyengat. Tidak lagi
bisa kita lihat birunya air dan harumnya udara laut. Semua berganti
dengan warna keruh dan bau busuk yang cukup menyengat. Ini

terjadi hampir di seluruh perairan Kepulauan Riau, khususnya di


mana kapal keruk melakukan aktivitas. Metode pengambilan pasir
terbagi dua.
Pertama, dengan melakukan pengerukan sebagaimana halnya
buldozer melalulantakkan apa yang dilaluinya. Kedua, adalah
dengan menggunakan pipa penyedot dengan kekuatan yang besar.
Ia akan menyedot apapun yang ada di ujung pipa tersebut. Namun,
walaupun metode kedua berbeda, namun hasil yang ditimbulkan
tetap saja sama. Pasir yang ada akan tersedot habis ke atas dan
sesampainya di atas dipisahkan. Pasir masuk ke bak penampungan
dan lumpur dibuang kembali ke laut. Yang patut dicermati, adalah
pasir yang tersedot tersebut kemudian meninggalkan lubang.
Berdasarkan efek gravitasi kemudian pasir yang di atasnya akan
menutup kembali lubang tersebut. Biasanya, secara alami, pasir
yang ada memang akan mengisi kekosongan tersebut. Namun, ini
terjadi secara alami sehingga perpindahan pasir dari satu tempat
mengisi tempat yang lain tidak akan terlalu terasa perubahannya.
Namun, apabila proses yang terjadi merupakan sebuah percepatan,
maka hasilnya akan berbeda. Pasir yang di atasnya, secara
otomatis, turut menyedot dan membuat pantai menjadi curam. Akibat
lebih jauh, gerusan ombak dengan leluasa menghajar apa yang ada
di pinggir pantai. Bisa dibayangkan, proses pemindahan pasir yang
terjadi, secara drastis, dari hari ke hari, bulan, dan dari tahun ke
tahun. Proses ini mengalami percepatan yang maha dahsyat dalam
kurun waktu 2 tahun terakhir ini
c. Di sejumlah tempat, abrasi pantai yang terjadi sudah mencapai 35
meter. Bahkan, abrasi juga sudah menelan sebuah pulau, yang
dikenal dengan nama Pulau Karang, tempat di mana nelayan
biasanya berteduh dari hembusan angin yang terkadang tidak
bersahabat.

Di Desa Parit, Kecamatan Karimun, abrasi pantai

sudah berada di tepi rumah salah seorang nelayan. Abrasi sejauh 24


meter tersebut, bisa dilihat pada titik N 0057 31 0.10 E 1032601.90.
Kemudian pada titik N 0055 023.50 E 10328019.90, di mana abrasi
dan lumpur yang ditinggalkan kapal keruk turut mengancam usaha
budidaya rumput laut yang diusahakan warga. Demikian juga halnya,
di Desa Lubuk Puding. Di Pulau Buru, abrasi pantai juga terjadi pada
titik N 0052032.00 E 10331040.50 sejauh 17 m. Abrasi juga
menghantam dan menghabiskan tiga baris perkebunan kelapa milik
masyarakat di Lubuk Puding. Masih banyak lagi lokasi di mana
abrasi

telah

menggerus

pantai

yang

ada.

Inilah

bukti

tak

terbantahkan bahwa ada penyusutan pulau yang tengah terjadi di


Karimun. Seperti yang telah dikatakan, bahwa abrasi pantai telah
mengalami percepatan dalam 2-3 tahun belakangan ini. Tingginya
aktivitas penambangan pasir dianggap menjadi penyebab dari
kondisi tersebut. Belum adanya penelitian yang menyeluruh terhadap
berbagai dampak yang ditimbulkan dari penambangan pasir,
khususnya terhadap lingkungan, membuat hubungan sebab akibat
ini bersifat asumsi. Akan tetapi, berdasarkan laporan langsung dari
nelayan setempat dan berdasarkan logika berpikir, hal ini bisa
diketengahkan dalam melakukan penilaian hubungan sebab akibat
yang terjadi dari suatu aktivitas penambangan pasir dan percepatan
abrasi yang terjadi.
d. Kerusakan lingkungan bukan saja terjadi pada pantai, akibat abrasi.
Lumpur yang ikut tersedot dan dimuntahkan kembali ke laut
merupakan penyebab utama keruhnya perairan di Karimun. Berbagai
jasad renik yang ikut tersedot, secara otomatis, ikut menjadi
penyebab munculnya bau busuk yang mengganggu. Dalam kondisi
perairan yang sedemikian rupa, pertanyaan yang muncul, adakah
kehidupan yang mampu bertahan di dalamnya. Tidak ada satupun
dan ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan

nelayan. Bila sebelum maraknya penambangan, seorang nelayan


mampu membawa pulang 30 kg-50 kg udang sehari, kini untuk
waktu yang sama, jumlah tangkapannya menjadi 5 kg-15 kg. Dengan
catatan, hal itu bersifat untung-untungan. Keruhnya perairan sekitar
juga, secara otomatis, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
karang yang ada.
e. Sulitnya

sinar

matahari

menembus

kedalaman

laut

tertentu

menyulitkan karang dalam melakukan aktivitas fotosintesis sehingga


menghambat pertumbuhan karang tersebut. Penyedotan pasir juga
menyebabkan hilangnya sejumlah padang lamun di samping
menghancurkan karang-karang yang ada. Hilangnya sejumlah
padang lamun dan terumbu karang, secara pasti, turut menjadi
penyebab beremigrasinya sejumlah ikan tangkapan nelayan ke lain
tempat. Tentu saja, tidak ada yang suka untuk tinggal dan menetap
di kondisi perairan yang sedemikian kotor dan berbau. Belum lagi
polusi suara yang ditimbulkan oleh kapal-kapal pengeruk tersebut.
f. Seorang nelayan mengaku pernah melakukan penyelaman sedalam
lebih dari 7 meter dan masih mendengar dengan jelas kebisingan
yang ditimbulkan oleh kapal pengeruk yang berjarak sejauh 500
meter dari lokasi penyelaman. Hal yang paling mengerikan daripada
itu semua adalah kekhawatiran musnahnya sejumlah pulau kecil
yang bertebaran di perairan Karimun. Aktivitas jual beli tanah air
tersebut,

dituding

sebagai

salah

satu

faktor

utama

yang

mempercepat proses tersebut. Ketakutan tersebut bukannya tidak


beralasan. Ada sejumlah bukti yang bisa diketengahkan di sini, di
mana ada beberapa pulau yang nyaris hilang selain pulau yang
memang sudah hilang sama sekali. Lepas pantai Desa Moro, ada
sebuah pulau karang yang dulunya dijadikan nelayan untuk tempat
berteduh manakala badai datang menerpa. Pulau tersebut ditumbuhi

oleh beberapa tetumbuhan keras dan ilalang dengan kontour tanah


yang meninggi pada bagian tengahnya, sehingga dapat digunakan
sebagai tempat untuk beristirahat barang sejenak dan untuk
melindungi diri dari amukan angin yang datang tanpa terduga,
mengingat letaknya di selat yang cukup sempit. Tapi, kini itu semua
tiada lagi, yang tinggal di pulau tersebut hanya tunggul kayu yang
mencuat ke atas. Tidak ada lagi tanah di mana bisa ditambatkan
perahu, tidak ada lagi!
Yang patut disayangkan, pemerintah sepertinya menutup mata
dengan berbagai kondisi yang ada. Walaupun diakui bahwa, untuk
meyakini

proses

abrasi

dan

keruhnya

perairan

sekitar

akibat

penambangan pasir diperlukan sebuah perangkat yang bisa menilai


indikator dan parameter yang dimaksud, namun, menjalani fungsi sebagai
fasilitator, seharusnya pemerintah tanggap dengan maraknya demo dari
para nelayan tradisional, akibat terusiknya area di mana selama ini
mereka menggantungkan periuk nasi keluarganya.
Tabel 3. Data Kerusakan Lingkungan Desa/Kecamatan
No
Koordinat
Keterangan
1 Pulau Tulang, Desa Tulang,Tidak diambil, pasir pantai menjadi lumpur, air laut
Kecamatan Karimun

keruh, padang lamun hilang, dan terumbu karang

mengalami kerusakan.
Pulau
Setunak,
Desa
Tulang,
Tidak diambil, banyak pohon kelapa yang tumbang,
2
Kecamatan Karimun

pasir pantai menjadi lumpur, air laut keruh, padang


lamun

hilang,

dan

terumbu

karang

mengalami

kerusakan.
Dusun
Parit
I,
Desa
Parit,
Abrasi pantai sejauh 12 meter, dihitung dari rumah
3
Kecamatan Karimun (N 00 570Pak Kadir ke titik pasang tertinggi, pohon kelapa
31.10 E 103 260 01.90)

tumbang 2 baris, dan pantai menjadi landai. Tidak ada


beda antara pantai dengan daratan. Permukaan air

laut naik setinggi 30 cm dari biasanya.


Dusun
parit
IV,
Desa
Parit,
Abrasi pantai sejauh 12,7 m, air menjadi keruh,
4
Kecamatan Karimun (N 00 550lumpur melekat di rumput laut milik penduduk.

15.20 E 103 280 39.50)


5 Dusun Sukamulya, Desa LubukTidak diambil, pada tahun 2000, pantai masih landai
Puding, Kecamatan Karimun.
6 Dusun

dan sekarang telah menjadi curam. Apabila pasang,

maka air naik ke rumah penduduk.


Puding,Abrasi pantai sejauh 15 m.

Lubuk

Kecamatan Karimun (N 00 520


04.7 E 103 310 23,40)
7 Dusun Teluk Dalam,
Lubuk

Puding,

DesaAbrasi pantai sejauh 14,3 m, yang mengakibatkan 3

Kecamatanbaris pohon kelapa penduduk tumbang.

Puding, Kecamatan Karimun


(N

520

00
0

31 23.4

05.00

103

0)

Tabel 4. Data Kerusakan Lingkungan Desa/Kecamatan


No
1

Koordinat
Dusun Air
Desa

Lubuk

Hitam,

Keterangan
Dulunya tunggul bakau tidak muncul ke permukaan

Puding,karena tertutup pasir dan lumpur. Saat ini, pantai menjadi

Kecamatan Karimun (Nlebih curam. Mulai bulan Juli tahun 2001, air pasang masuk
00 520 32.00 E 103 310ke dalam rumah penduduk. Sejak setahun yang lalu, air
40.50)

pasang mencapai sepinggang orang dewasa. Dulunya


hanya sampai selutut. Ini terjadi di rumah-rumah yang dekat

Pantai
Puding,

pantai.
Lubuk
Abrasi pantai sejauh 109,5 m.
Kecamatan

Karimun (N 00 530 14.2


E 103 31019.10)
3
Desa
Sawang,

Di depan pantai ada sebuah pulau yang dulunya tinggi

Kecamatan Kundur (48Ndengan jarak dari garis pantai 6-7 meter. Saat ini, pulau
0316587 UTM 0082514) tersebut hampir hilang dan jarak ke pantai mencapai 25-35
meter. Berkurangnya unggas laut. Ombak yang dulunya
jernih sekarang membawa lumpur dan keruh sekali. Kelapa

banyak yang tumbang dan air pasang mencapai ke daratan


dan rumah penduduk. Bebatuan yang ada di pantai mulai
4

Kelurahan
Balai

Karimun

Tanjung
(48

turun.
Ikan dan udang banyak berkurang, sedangkan ombak

Nsemakin besar. Pasir di pantai mulai turun ke laut. Terumbu

0316587 UTM 0082514) karang hancur dan bisa dilihat karang kecil yang hancur dan
terbawa ombak ke pantai.

Inilah sebagian data kerusakan yang bisa dipertanggungjawabkan


kebenarannya. Tentu saja hubungan secara ilmiah antara kerusakan yang
terjadi dengan aktivitas penambangan pasir tersebut belum pernah
dilakukan dan kalaupun ingin dilakukan akan memakan biaya yang cukup
besar.
Fakta bahwa penambangan pasir ini berdampak serius terhadap
lingkungan sebetulnya bisa dibuktikan dengan citra landsat dengan
metode series, di mana kita akan memperbandingkan luasan pulau yang
ada pada tahun 1995, 1998, 2000, dan 2002. Dari citra landsat itulah,
analisa dapat dilakukan dan sejumlah kerusakan tersebut dapat dikenali
dari mana asal muasalnya dan bagaimana ke depannya nanti apabila
penyebab kerusakan tersebut dibiarkan.
Satu hal yang pasti, bila abrasi ini tidak segera dihentikan, dalam
waktu 5-10 tahun yang akan datang, Pemerintah Daerah Karimun dan
Propinsi Riau harus membangun barier di sekeliling Pulau Karimun,
sebagai pemecah ombak dan untuk menahan laju abrasi yang sedang
terjadi. Berapa biaya yang harus dikeluarkan apabila Pemerintah Daerah
Kabupaten Karimun tidak ingin kehilangan pulau-pulaunya dan bagaimana
perbandingannya antara membangun barier di masa yang akan datang
dengan keuntungan yang didapat pada saat ini hampir 100 milyar untuk
menutupi area sepanjang 500 meter dengan kedalaman laut antara 10-20
meter. Sungguh tidak dapat dihitung kerugian yang harus dikeluarkan di
masa yang akan datang bila dibanding dengan keuntungan yang didapat
di masa kini.

Penambanagan Pasir darat juga menimbulkan akibat diantaranya :

Pasir darat selama ini tidak hanya dijual antarpulau, melainkan juga
diekspor ke Singapura. Akibat eksploitasi pasir darat itu, lahan bekas
penambangan berubah menjadi danau atau empang. Bahkan, ada
pula pulau yang sudah hampir hilang ditelan laut.

Dari pengamatan udara itu, terlihat beberapa alat gali (shovel) yang
masih bekerja menambang pasir darat dan tanah. Di samping itu,
ditemukan tiga pulau kecil di sekitarnya yang habis atau amper
habis, yang kemungkinan ditambang, dan rata dengan permukaan
laut.

pola aliran massa air di pesisir dan laut yang ditentukan terutama
oleh pasang surut dan arus musiman dapat merusak ekosistem yang
ada karena tidak adanya pohon-pohon bakau atau sejenis sebagai
pelindung pesisir pantai. Hilangnya hutan bakau tersebut, antara lain,
sebagai

akibat

banyaknya

pembuatan

dermaga

pendaratan

tongkang pengangkut pasir darat, tanah, dan bahan galian golongan


C lainnya di pesisir pantai dan gundulnya pohon-pohon di daratan.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berbagai permasalahan tersebut di atas, sedikit banyak turut
mengganggu rasa dan karsa terhadap keadilan. Ada sebuah proses yang
hilang di mana masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap
kondisi Sumber Daya Alam (SDA) sekitar, tidak lagi dipandang oleh para
pembuat kebijakan.
Paradigma pembangunan yang mengandalkan dan mengedepankan
nilai keuntungan jangka pendek, membuat para pembuat kebijakan
khususnya pemerintah daerah (Kabupaten ) Propinsi Riau menafikan
keberadaan

dan

ketergantungan

masyarakat

setempat

terhadap

lingkungan mata pencahariannya. Yang terjadi kemudian, bahkan, sebuah


proses pembodohan secara sistematis, yang tujuannya untuk meredam
gejolak-gejolak penolakan yang telah dan akan timbul dari masyarakat.

Paradigma pembangunan tersebut juga telah meluluhlantakkan


sejumlah potensi sumberdaya alam lainnya, seperti terumbu karang,
padang lamun, dan keanekragaman hayati laut linnya , di samping turut
menjadi penyebab terjadinya proses percepatan abrasi pantai.

SARAN

pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan ekologis tidak


boleh hanya untuk kesejahteraan generasi sekarang, melainkan
juga untuk kesejahteraan generasi mendatang. Oleh karena itu,
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan harus tetap
diperhatikan.

Perlunya segera dibentuk aturabn baru revisi UU No. 27 Tahun


1997 yang mengatur secara jelas kewenagan daerah dalam
pemanfaatan SDA

Pemerintah kabupaten jangan lagi memperpanjang penambangan


yang merusak lingkungan

Pemerintah pusat harus berupaya membuat kebijakan yang


mengatur masalah eksploitasi pasir darat. Kebijakan itu tentu tidak
hanya terkait dengan perdagangan, seperti ekspor pasir darat,
melainkan juga kebijakan di hulu, seperti izin penambangan dan
pengawasan terhadap penambangan yang dilakukan.

Agar

dihentikannya

seluruh

aktivitas

penambangan

pasir,

mengingat bahwa hingga hari ini belum ditemukan satu pun metode
penambangan pasir yang ramah lingkungan dan tidak merugikan
hidup dan kehidupan masyarakat nelayan tradisional setempat,

Agar diterbitkannya kebijakan yang diikuti tindakan nyata dalam


upaya merehabilitasi kerusakan lingkungan yang terjadi, proses
rehabilitasi

perlu dilakukan terhadap lahan-lahan bekas galian.

Bagaimana mengawasi orang yang memiliki izin mengambil pasir.

Bagaimana memastikan bahwa pasir yang diambil sesuai dengan


volume yang diizinkan atau diperbolehkan untuk dieksploitasi.
Pengawasan di tingkat lapangan akan berhasil jika aparat-aparat
pemerintah daerah bersih dan tidak ikut terlibat.

Adanya rasa kemanusiaan (sense of humanity) dari Pemerintah


Daerah, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Singapura, dengan
cara mengganti kerugian yang ditimbulkan selama ini, yang secara
langsung, telah memberikan dampak bagi kesejahteraan komunitas
masyarakat nelayan tradisional setempat, dengan cara-cara yang
mendidik dengan meningkatkan kemampuan mereka dalam
mengelola

dan

mengusahakan

sumberdaya

alam

yang

berkelanjutan.

Sesegera

mungkin

mencari

dan

mengupayakan

alternatif

Pendapatan Asli Daerah (PAD)yang spesifik dan sesuai dengan


nilai-nilai kehidupan masyarakat nelayan setempat, dan

Mendorong terciptanya sebuah upaya Mekanisme Konsultasi


Publik, sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang lebih
partisipatif.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Koesnadi, Hardjosoemantri. 2005 .Hukum Tata Lingkungan.
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Koran
Kompas, Jumat, 11 Agustus 2006
Situs Internet
http://www.walhi.or.id/

kampanye/psda/040910_

Blunder

Berikut Dari Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Serakah


http://su.wikipedia.org/wiki/Riau
http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/040910_rtrwpriau_li
http://kawasan.bappenas.go.id/k_perbatasan/data_batas/bukurinci_kepri.
pdf.

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/PKN/Makalah/INTEGRASI
_ASPEK_LINGKUNGAN_DAN_EKONOMI%20_Dr_Dodik.pdf.
Makalah Hukum Lingkungan

Você também pode gostar