Você está na página 1de 22

REFERAT

METFORMIN USE IN WOMEN WITH POLYCYSTIC OVARY SYNDROME

Pembimbing:
dr. Herman Sumawan, M.Sc, Sp.OG

Oleh:
Novita Lusiana

G4A014079

Tiara Gian Puspi

G4A014082

Stefanus Andityo

G4A014132

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
METFORMIN USE IN WOMEN WITH POLYCYSTIC OVARY SYNDROME

Oleh:
Novita Lusiana

G4A014079

Tiara Gian Puspi

G4A014082

Stefanus Andityo

G4A014132

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


di Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disetujui dan disahkan


Pada tanggal,

Juli 2015

Pembimbing,

dr. Herman Sumawan, M.Sc, Sp.OG

BAB I
PENDAHULUAN
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau Sindrom Ovarium Polikistik
(SOPK) merupakan endokrinopati yang sering terjadi dan menyebabkan gangguan
pada wanita pada usia reproduksi, dengan karakteristik gangguan anovulasi kronis
atau avulasi yang tidak teratur, kegemukan, hirsutisme, hiperandrogen serta jika
dilihat dari ultrasonografi terlihat gambaran banyak folikel. Sindrom Ovarium
Polikistik paling sering menyebabkan infertilitas karena wanita tidak terjadi
ovulasi. Kejadian Sindrom Ovarium Polikistik pada populasi beragam antara 5%10% pada populasi umum. Didasarkan pada gejalanya kejadiannya sangat
bervariasi yaitu menstruasi yang tidak normal (4%-21%) dan keluhan
hiperandrogen (3,5%-9%). Dari sekian banyak itu bahwa 40% wanita tersebut
menderita oligomenore, 84% dengan hirsutisme dan 100% wanita tersebut dengan
akne berat (Djuwantono dkk, 2010).
Diagnosis dan terapi PCOS masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan
European Society for Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun
2003 telah ditetapkan poin diagnostik untuk menegakkan PCOS yaitu adanya
oligoovulasi atau anovulasi, hiperandrogenisme, dan polycystic ovarian
morphology (sonografi). Jika didapatkan 2 dari 3 kriteria tersebut maka seorang
wanita dapat ditegakan diagnosis PCOS (Djuwantono dkk, 2010).
Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik
tampaknya bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan
diabetes tipe II. Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara
sindrom ovarium polikistik dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah
dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi, demikian juga dengan gangguan
anatomi dan fisiologi kardiovaskuler (Maharani&Wratsangka, 2012).
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan
peranan yang serius dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk
kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin menstimulasi produksi androgen oleh
ovarium dengan mengaktivasi reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita

dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau
mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan target klasik seperti
otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai tambahan,
hiperinsulinemia menghambat produksi hepatik sex hormone-binding globulin,
sehingga lebih meningkatkan kadar testosterone bebas dalam sirkulasi. Insulin
juga menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan
folikel atau secara tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian
ataumengubah sekresi gonadotropin. Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin
pada sindrom ovarium polikistik adalah bahwa intervensi yang beragam, yang
saling berhubungan hanya dalam hal menurunkan level insulin sirkulasi,
menyebabkan meningkatnya frekuensi ovulasi atau menstruasi, menurunkan kadar
serum testosteron, atau keduanya (Maharani&Wratsangka, 2012).
Metformin, suatu biguanid, adalah obat yang paling banyak digunakan
sebagai terapi diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk
menghambat produksi glucose hepatic, dan juga meningkatkan sensitivitas
jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin, yang
memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam terapi diabetes,
juga terjadi pada wanita non diabetic dengan sindrom ovarium polikistik.
(Maharani&Wratsangka, 2012).
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu diagnosis klinis yang ditandai
dengan adanya 2 atau lebih ciri-ciri berikut: oligoovulasi atau anovulasi kronis,
hiperandrogen, dan ovarium polikistik. Sindrom ini terjadi pada 5 10% wanita
usia reproduksi, dan merupakan penyebab yang lazim pada infertilitas anovulatoir
di negara berkembang. Manifestasi klinis yang sering tampak adalah iregularitas
menstruasi dan tanda-tanda kelebihan androgen berupa hirsutisme, akne, dan
kebotakan (Maharani&Wratsangka, 2012).
Sindrom ovarium polikistik berhubungan dengan gangguan metabolisme
yang penting. Kejadian diabetes tipe II di Amerika Serikat 10 kali lebih tinggi
pada wanita muda dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan dengan
wanita normal, dan kelemahan toleransi terhadap glukosa atau perkembangan
diabetes tipe II yang nyata berkembang pada usia 30 tahun pada 30 50% wanita
dengan sindrom ovarium polikistik. Kejadian sindrom metabolik 2 atau 3 kali

lebih tinggi pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan wanita
normal yang sama usia dan indeks massa tubuhnya, dan 20% wanita dengan
sindrom ovarium polikistik yang berusia kurang dari 20 tahun juga mengalami
sindrom metabolik. Walaupun data outcome yang spesifik untuk wanita dengan
sindrom ovarium polikistik masih kurang, risiko infark miokard fatal lebih tinggi
2 kali lipat pada wanita dengan oligomenorrhea berat, dimana sebagian besarnya
diduga mengalami sindrom ovarium polikistik, dibandingkan dengan wanita
eumenorrhea (Maharani&Wratsangka, 2012).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK)


1

Definisi
Definisi klinis dari sindrom ovarium polikistik yang diterima secara luas adalah
suatu kelainan pada wanita yang ditandai dengan adanya hiperandrogenisme
dengan anovulasi kronik yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan
kelainan pada kelenjar adrenal maupun kelenjar hipofisis. Hiperandrogenisme
merupakan suatu keadaan di mana secara klinis didapatkan adanya hirsutisme,
jerawat dan kebotakan dengan disertai peningkatan konsentrasi androgen terutama
testosteron dan androstenedion. Obesitas juga dijumpai pada 50%-60% penderita
sindrom ini (Djuwantono dkk, 2010).

Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab sindrom ini tidak jelas, akan tetapi terdapat bukti adanya kelainan
genetik yang kemungkinan diwariskan oleh ibu atau ayah, atau mungkin
keduanya. Gen tersebut bertanggung jawab atas terjadinya resistensi insulin dan
hiperandrogenisme pada wanita dengan SOPK. Penyebab SOPK diperkirakan
sangat dipengaruhi oleh genetik dan faktor lingkungan. Beberapa bukti
mengusulkan bahwa pasien SOPK memiliki abnormalitas fungsi dari sitokrom
P450c17 yang merupakan enzim yang berperan dalam biosintesis androgen.
Sitokrom P450c17 bekerja aktif di kelenjar adrenal dan ovarium. Peningkatan
aktivitas enzim ini dapat menjelaskan tentang peningkatan produksi androgen
pada kedua organ tersebut pada SOPK (Maharani&Wratsangka, 2012).

Patofisiologi
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan
infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan
umpan balik antara pusat (hipotalamus hipofisis) dan ovarium sehingga kadar
estrogen selalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar
FSH yang cukup adekuat. Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk
dapat mengetahui mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat menyebabkan
infertilitas. Secara normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat
seorang wanita dalam keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH

dan FSH mulai meningkat dan merangsang pembentukan folikel ovarium yang
mengandung ovum. Folikel yang matang memproduksi hormon androgen seperti
testosteron dan androstenedion yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa
dari hormon androgen tersebut akan berikatan dengan sex hormone binding
globulin (SHBG) di dalam darah. Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan
tidak memberikan efek pada tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan
berubah menjadi hormon estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini
menyebabkan kadar estrogen meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH
menurun. Selain itu kadar estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan
lonjakan LH yang merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi.
Setelah ovulasi terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar
progesteron yang diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron
akan mencapai puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun
sampai terjadi menstruasi berikutnya (Maharani&Wratsangka, 2012).
Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu, karena adanya
peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk
pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang
tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing hormone (GnRH) yang meningkat.
Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah karena
ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin.
Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan
folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak
adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi (Maharani&Wratsangka,
2012).
4

Penegakan Diagnosis
Diagnosis sindrom ovarium polikistik dilakukan dengan 3 cara yang
merupakan kombinasi dari kelainan klinis, keadaan hormonal dan gambaran
ultrasonografi. Keadaan klinis yang dijumpai adalah gangguan menstruasi di
mana siklus menstruasi tidak teratur atau tidak menstruasi sama sekali, terkadang
dengan disertai terjadinya perdarahan uterus disfungsional. Sedangkan gejala
hiperandrogenisme berupa hirsutisme, kelainan seboroik pada kulit dan rambut

serta kebotakan dengan pola seperti yang ditemukan pada pria. Tes laboratorium
yang dilakukan berupa tes hormonal, tidak saja penting untuk diagnosis tetapi
juga sangat penting untuk melihat kelainan secara keseluruhan. Kelainan endokrin
yang ditemukan adalah peningkatan konsentrasi LH dan peningkatan aktivitas
androgen yaitu testosteron dan androstenedion. Hiperinsulinemia juga ditemukan
akibat adanya resistensi insulin. Dari pemeriksaan ultrasonografi transvaginal
didapatkan gambaran lebih dari 10 kista pada salah satu ovarium dengan besar
kurang dari 1 cm, disertai besar ovarium 1,5 - 3 kali dari ukuran normal. Hasil
pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran pasti jika secara klinis terdapat
dugaan sindrom ovarium polikistik (Djuwantono dkk, 2010).
National Institute of Health-National Institute of Child Health and Human
Development (NIH-NICHD) menyatakan diagnosis sindrom ovarium polikistik
ditegakkan bila paling sedikit ditemukan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
(Djuwantono dkk, 2010).
1. Kriteria mayor
a. Anovulasi
b. Hiperandrogenisme
2. Kriteria minor
a. Resistensi insulin
b. Hirsutisme
c. Obesitas
d. LH/FSH >2,5
e. Pada USG terdapat gambaran ovarium polikistik.
Gejala klasik yang ada pada sindrom ini adalah gangguan siklus menstruasi,
hirsutisme dan obesitas. Biasanya pasien mencari bantuan karena adanya siklus
menstruasi yang tidak teratur, infertilitas dan masalah penampilan akibat obesitas
dan hirsutisme.
5

Penatalaksanaan
Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan ketika mengevaluasi dan
mengobati SOPK. Pengobatan terapi bertujuan, pertama melancarkan siklus haid
dan mengembalikan kesuburan, kedua merubah gangguan metabolik glukosa dan

metabolisme lipid, ketiga mengidealkan berat badan karena kejadiannya


berhubungan dengan kesakitan dan keempat untuk mengatasi aspek psikologis.
Pengobatan SOPK adalah bersifat simptomatis. Merubah gaya hidup adalah terapi
utama pada SOPK (Maharani&Wratsangka, 2012).
Non farmakoterapi
Pada wanita yang gemuk pengobatan terbaik adalah dengan menurunkan berat
badan. Dengan cara yang sederhana ini kadang-kadang ovulasi dapat terjadi
secara spontan.
Farmakoterapi
a) Pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin
Digunakan pada penderita dengan haid tidak teratur atau amenorea. Terapi ini
membantu mengatasi jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan dan kerontokan
rambut. Progestin diperlukan agar terjadi pertumbuhan dan pengelupasan
endometrium secara teratur seperti yang terjadi pada haid.
b) Progestin sintetis
Bila penderita tidak dapat menggunakan hormon estrogen maka penggunaan
progestin yang dapat digunakan adalah yang tidak meningkatkan kadar androgen
dan baik untuk penderita PCOS yaitu norgestimate, desogestrel dan drospirenon.
Efek samping yang mungkin terjadi nyeri kepala, retensi air dan perubahan emosi.
c) Diuretik
Spironolaktone yang dapat menurunkan androgen diberikan bersama dengan
pil kontrasepsi kombinasi. Terapi ini dapat mengatasi kerontokan rambut,
pertumbuhan jerawat dan rambut abnormal (hirsutisme).
d) Cyproterone acetate
Merupakan preparat yang paling sering digunakan di Eropa untuk menurunkan
kadar androgen dan jika dikombinasi dengan etinil estradiol menjadi obat
kontrasepsi yang dapat digunakan pada penderita sindrom ovarium polikistik yang
tidak menginginkan kehamilan.
e) Metformin
Obat diabetes ini digunakan untuk mengendalikan insulin, gula darah dan
androgen. Obat ini menurunkan resiko diabetes dan penyakit jantung serta
memulihkan siklus haid dan fertilitas. Metformin dapat memperbaiki derajat

fertilitas, menurunkan kejadian abortus, dan diabetes gestasional serta mencegah


terjadinya masalah kesehatan jangka panjang.
f) Klomifen sitrat dan injeksi gonadotropin (LH dan FSH)
Klomifen sitrat dapat diberikan bersama dengan metformin bila metformin
dapat memicu terjadinya ovulasi. Kombinasi kedua jenis obat ini akan
memperbaiki kerja dari klomifen sitrat.
Pembedahan
Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat
PCOS yang tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi
medikamentosa. Melalui pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan
mengangkat sejumlah kista kecil.
6

Prognosis dan Komplikasi


Kelainan utama sindrom ovarium polikistik adalah tidak beresponsnya tubuh
terhadap kadar insulin yang normal. Resistensi insulin ini mengakibatkan
pankreas bekerja lebih keras menghasilkan insulin sehingga kadar insulin dalam
darah begitu tinggi sementara kadar gula yang tidak terolah pun meningkat.
Beberapa penelitian menyimpulkan gangguan metabolisme insulin inilah yang
mengakibatkan wanita penderita sindrom ovarium polikistik terancam mengalami
penyakit diabetes melitus tiga kali lebih besar daripada wanita normal. Paparan
kronik uterus terhadap estrogen bebas dapat menyebabkan hyperplasia dan
karsinoma endometrium. Pasien yang sedang hamil dan mengidap PCOS,
memiliki

resiko

yang

meningkat

untuk

mengalami

aborsi

spontan

(Maharani&Wratsangka, 2012).
B Metformin
1. Sifat Fisis dan Kimiawi Metformin
Metformin atau bimethylguanide merupakan molekul hidrofilik dengan muatan
positif dalam keadaan pH fisiologis yang tidak dimetabolisme dalam tubuh selama
melewati hepar dan sirkulasi darah. Metformin memiliki berat molekul 129,164
g/mol dengan bioavailabilitas 5016% waktu paruh 5 jam dan laju bersihan renal
510130 mL/menit pada subyek yang memiliki fungsi renal yang baik. Tingkat

terapeutik obat ini berkisar pada rentang 0,5-1,0 mg/L dengan ambang 2,5 mg/L
untuk terjadinya asidosis laktat (Rojas et al., 2014).
2. Farmakokinetik
Metformin tidak dimetabolisme dalam tubuh dan diekskresikan secara utuh
melalui urin dengan waktu paruh 5 jam. Jalur utama eliminasi metformin adalah
sekresi tubular aktif oleh ginjal. Obat ini didistribusikan secara luas dan dapat
masuk ke berbagai jaringan tubuh seperti usus, hepar, dan ginjal oleh organic
cationic transporter (OCT) (Graham et al., 2011).
Absorpsi metformin di intestinal dimediasi oleh plasma membrane monoamine
transporter (PMAT) yang diekspresikan pada sisi luminal enterosit. Pada brush
border enterosit, diekspresikan OCT3 yang juga berfungsi dalam penyerapan
metformin. Selain itu, OCT1 yang diekspresikan di membran basolateral dan
sitoplasma enterosit dapat memfasilitasi pemindahan metformin ke dalam cairan
interstisial (Zhou et al., 2007 ; Muller et al., 2005).
Absorbsi metformin di hepar dimediasi oleh OCT1 dan OCT3. Kedua
transporter tersebut diekspresikan di membran basolateral hepatosit. Metformin
juga merupakan senyawa yang baik bagi human multidrug and toxin extrusion
(MATE-1 dan MATE-2k). MATE-1 berperan dalam proses ekskresi metformin
yang diekspresikan dalam jumlah banyak di hepar, ginjal, dan otot skeletal.
Namun, peran MATE1 di hepar masih belum jelas karena pada penelitian yang
dilakukan Graham et al. (2011) tidak mendapatkan hasil signifikan dalam proses
ekskresi biliaris pada manusia (Graham et al., 2011).
Absorpsi metformin dari sirkulasi menuju sel epitel ginjal difasilitasi oleh
OCT2, yang diekspresikan di membran basolateral tubulus renal. Ekskresi
metformin melalui renal dimediasi oleh MATE1 dan MATE2k yang diekspresikan
oleh membran apikal sel tubulus proksimal renalis. OCT1 juga diekspresikan di
sisi apikal maupun subapikal dari tubulus proksimal dan distal renalis yang
berperan dalam reabsorpsi metformin di tubulus renalis. PMAT diekspresikan di
sisi apikal sel epitel renal dan berperan dalam reabsorpsi metformin (Takane et al.,
2008 ; Tzvetkov et al., 2009).
Interaksi obat-obat yang mengakibatkan inhibisi transporter metformin (OCT
dan MATE) secara klinis penting diperhatikan karena metformin tidak

dimetabolisme di hepar. Polimorfisme genetik pada gen yang mengekspresikan


transporter juga memberikan dampak pada farmakokinetik metformin dan
variabilitas dalam respon terapi. Interaksi obat-obat yang diketahui dalam
beberapa studi seperti proton-pump inhibitor dapat menghambat ambilan
metformin secara in vitro dengan menginhibisi OCT1, OCT2, dan OCT3 (Nies et
al., 2011).
Antidiabetik oral seperti repaglinide dan rosiglitazone juga menghambat
transpor metformin yang dimediasi OCT1. Pengunaan H2 blocker, simetidin
berkaitan dengan pengurangan sekresi tubulus renal dan peningkatan pajanan
sistemik dari metformin ketika kedua obat tersebut digunakan bersama. Hal ini
terjadi akibat proses inhibisi MATE tanpa mempengaruhi OCT2 di tubulus renal.
Selain itu, beberapa studi mendapatkan hasil bahwa interaksi obat metformin dan
obat inhibitor tirosin kinase (imatinib, nilotinib, gefitinib, dan erlotinib) dapat
mempengaruhi disposisi, efikasi, dan toksisitas metformin (Somogyi et al., 1987 ;
Minematsu et al., 2011).
3. Farmakodinamik
Metformin menurunkan glukosa darah sewaktu dan glukosa plasma
postprandial. Metformin bekerja dengan cara mensupresi produksi glukosa
hepatik dengan mengurangi glukoneogenesis. Efek potensial lain dari metformin
mencakup peningkatan ambilan glukosa, peningkatan sinyalisasi insulin,
mengurangi sintesis asam lemak dan trigliserida, dan peningkatan oksidasi asam
lemak. Metformin juga meningkatkan pemanfaatan glukosa di jaringan perifer,
dan mengurangi absorpsi glukosa di intestinal. Metformin tidak seperti obat anti
diabetik lain yang dapat menyebabkan hipoglikemia atau hiperinsulinemia, karena
metformin tidak menstimulasi sekresi insulin endogen (Hundal et al., 2000).
Mekanisme metformin secara molekuler sangat kompleks. Penggunaan
metformin dapat berakhir pada proses fosforilasi dan aktivasi AMP activated
protein kinase (AMPK) di hepar, yang kemudian akan menghasilkan beberapa
efek farmakologis yang luas, termasuk inhibisi sintesis glukosa dan lipid.
Meskipun tidak diketahui secara pasti jalur fosforilasi AMPK, komponen
molekular seperti LBK1/STK11 dan ATM diketahui memiliki peran dalam proses
fosforilasi AMPK oleh metformin (Foretz, et al., 2011). Namun, ATM, LBK1 dan

AMPK bukan sasaran langsung metformin. Penelitian yang dilakukan Foretz et al.
(2010) mendapatkan adanya efek inhibisi glukoneogenesis hepatik pada tikus
yang dijadikan defisiensi AMPK. Penelitian lain mendapatkan adanya aktivasi
AMPK dan inhibisi glukoneogenesis pada tikus yang mengalami defisiensi OCT1.
Hal tersebut menandakan adanya efek inhibisi glukoneogenesis oleh metformin
dapat terjadi secara tergantung AMPK ataupun tidak tergantung AMPK (Foretz et
al., 2010 ; Kim et al., 2008) .
AMPK merupakan pengatur utama metabolisme lipid dan glukosa dalam sel.
AMPK yang teraktivasi dapat memfosforilasi dan menginaktivasi HMG-CoA
reduktase, MTOR, ACC-2, ACC, gliserol-3-fosfat asiltransferase. Aktivasi AMPK
oleh metformin juga dapat menimbulkan efek supresi pada SREBP-1 ; sebuah
faktor transkripsi lipogenik dan mengganggu koaktivasi PXR dengan SRC1
sehingga terjadi penurunan ekspresi gen CYP3A4. Fosforilasi AMPK juga dapat
mengaktivasi SiRT dan meningkatkan ekspresi Pgc-1a di nukleus yang akan
menyebabkan terjadinya proses aktivasi biogenesis mitokondial. Selain itu,
aktivasi AMPK akan menyebabkan peningkatan ambilan glukosa di otot skeletal
oleh karena peningkatan GLUT4 (Gong et al., 2012).
4. Indikasi
Sediaan biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen. Metformin
biasa digunakan pada terapi diabetes pada orang dewasa. Dosis metformin adalah
1-3 gram sehari dibagi dalam 2-3 kali pemberian (Suherman, 2009).
5. Kontraindikasi
Biguanid tidak boleh diberikan pada kehamilan, pasien penyakit hepar berat,
penyakit ginjal dengan uremia, penyakit jantung kongestif dan penyakit paru
dengan hipoksia kronik. Pada pasien yang akan diberikan zat kontras intravena
atau yang akan dioperasi, pemberian obat ini harus dihentikan. Setelah lebih dari
48 jam, obat ini dapat diberikan dengan catatan bahwa fungsi ginjal harus tetap
normal. Hal ini untuk mencegah terjadinya pembentukan laktat yang berlebihan
dan dapat berakhir fatal akibat terjadinya asidosis laktat (Suherman, 2009).
6. Efek Samping
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovaskular,
pemberian biguanid dapar menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam

darah, sehingga hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan
tubuh. Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami mual, muntah, diare,
dan rasa pengecapan logam; akan tetapi keluhan tersebut dapat dihilangkan
dengan menurunkan dosis pemberian obat (Suherman, 2009).
C Pembahasan Jurnal
Karakteristik sindrom ovarium polikistik belum sepenuhnya dipahami tetapi
telah diketahui melibatkan interaksi kompleks antara kerja gonadotropin, ovarium,
androgen, dan insulin. Unsur penting sindrom ini adalah resistensi insulin.
Mayoritas wanita dengan sindrom ovarium polikistik, tanpa mempertimbangkan
berat badan, mengalami resistensi insulin yang intrinsik terhadap sindrom tersebut
dan sangat sedikit dipahami. Wanita obes dengan sindrom ovarium polikistik
menambahkan beban resistensi insulin yang berhubungan dengan adipositasnya
(Maharani&Wratsangka, 2012).
Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik
tampaknya bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan
diabetes tipe II. Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara
sindrom ovarium polikistik dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah
dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi, demikian juga dengan gangguan
anatomi dan fisiologi kardiovaskuler (Maharani&Wratsangka, 2012).
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan
peranan yang serius dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk
kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin menstimulasi produksi androgen oleh
ovarium dengan mengaktivasi reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita
dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau
mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan target klasik seperti
otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai tambahan,
hiperinsulinemia menghambat produksi hepatic sex hormone-binding globulin,
sehingga lebih meningkatkan kadar testosteron bebas dalam sirkulasi. Insulin juga
menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan folikel
atau secara tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian atau mengubah
sekresi gonadotropin. Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin pada sindrom

ovarium polikistik adalah bahwa intervensi yang beragam, yang saling


berhubungan hanya dalam hal menurunkan level insulin sirkulasi, menyebabkan
meningkatnya frekuensi ovulasi atau menstruasi, menurunkan kadar testosterone
serum, atau keduanya. Intervensi ini meliputi penghambatan pengeluaran insulin
(dengan menggunakan diazoxide atau octreotide), memperbaiki sensitivitas
insulin (dengan diet menurunkan berat badan, metformin, troglitazone,
rosiglitazone, atau pioglitazone), atau menurunkan absorbsi karbohidrat (dengan
menggunakan acarbose) (Maharani&Wratsangka, 2012).
Metformin adalah suatu biguanide, obat yang paling banyak digunakan
sebagai terapi diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk
menghambat produksi glukosa hepatik dan juga meningkatkan sensitivitas
jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin yang
memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam terapi diabetes
juga terjadi pada wanita non diabetik dengan sindrom ovarium polikistik. Pada
wanita dengan sindrom ini, terapi jangka panjang dengan metformin dapat
meningkatkan ovulasi, memperbaiki siklus menstruasi, dan menurunkan kadar
androgen serum serta penggunaan metformin juga dapat memperbaiki hirsutism.
Jika data yang dipublikasikan tentang efek metformin dalam pencegahan diabetes
dipakai untuk meramalkan kemungkinan pada wanita dengan sindrom ovarium
polikistik, maka obat tersebut mungkin benar-benar dapat memperlambat
kemajuan intoleransi glukosa pada wanita yang terjangkit, seperti dilaporkan
dalam suatu penelitian retrospektif kecil (Rojas et al, 2014).
Pada tahun 1996 dilaporkan bahwa pemberian metformin pada wanita
dengan sindrom ovarium polikistik menurunkan kadar insulin sirkulasi dan
berhubungan dengan penurunan aktivitas 17,20-lyase ovarium dan sekresi
androgen

ovarium.

Kebanyakan

penelitian

mengkonfirmasi

kemampuan

metformin untuk menurunkan insulin serum puasa dan kadar androgen pada
wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Tetapi penelitian yang secara spesifik
menilai efek metformin pada tanda klinis hiperandrogen (misalnya hirsutism,
akne, dan alopesia androgenetis) masih terbatas (Rojas et al, 2014).
Hal yang berhubungan dengan ovulasi, hasil dari suatu RCT pada tahun
1998, terapi awal dengan metformin dibandingkan dengan placebo meningkatkan

insidensi ovulasi setelah terapi berkelanjutan dengan klomifen. Sesudah itu


beberapa penelitian membandingkan metformin dengan placebo, metformin
dengan tanpa terapi, metformin dan klomifen dengan klomifen saja, atau
metformin dan klomifen dengan plasebo. Yang paling teliti dan penelitianpenelitian ini diikutkan dalam suatu meta-analisis oleh Lord dkk pada tahun 2003.
Meta-analisis tersebut mengikutsertakan data dari 13 penelitian dan 543 wanita
dengan sindrom ovarium polikistik; disimpulkan bahwa metformin efektif dalam
meningkatkan frekuensi ovulasi (Odds Ratio 3.88; 95% confidence interval 2.25
6.69) (Hashim, 2014).
Sejak publikasi meta-analisis tersebut, telah dilakukan 3 RCT tambahan.
Penelitian-penelitian ini membandingkan metformin atau metformin dan klomifen
dengan klomifen untuk induksi ovulasi jangka pendek pada wanita dengan
sindrom ovarium polikistik yang menginginkan kehamilan, dan penelitianpenelitian tersebut memberikan hasil yang bertentangan. Penelitian terbesar,
penelitian Kehamilan pada Sindrom Ovarium Polikistik, mengikutsertakan 626
wanita infertil dengan sindrom ovarium polikistik. Hasilnya mengkonfirmasi
bahwa penambahan metformin pada terapi klomifen meningkatkan tingkat ovulasi
kumulatif bila dibandingkan pemberian klomifen saja (60.4% versus 49.0%,
P=0.003), tetapi tingkat kelahiran hidup tidak berbeda antara kedua kelompok
(26.8% dan 22.5%, berurutan; P=0.31). pada penelitian tersebut, klomifen lebih
efektif daripada metformin dalam induksi ovulasi pada jangka pendek dan
menghasilkan kelahiran hidup (Hashim, 2014).
Mengenai diabetes, terdapat 2 RCT besar, the Indian Diabetes Prevention
Program dan the U.S. Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa
penggunaan metformin menurunkan risiko relative perkembangan diabetes tipe II
(dengan 26% dan 31%, berurutan) diantara pasien dengan toleransi glukosa
terganggu. Apakah efek metformin ini benar-benar menggambarkan pencegahan
perkembangan diabetes, bukannya karena efek masking dengan menurunkan
kadar glukosa darah, tetap menjadi kontroversi. Tetapi, setelah penghentian
metformin pada penelitian DPP, diabetes berkembang pada lebih sedikit subyek
daripada yang diharapkan jika efek masking merupakan satu-satunya efek. Tidak
ada RCT yang menilai efek metformin pada perkembangan menuju diabetes tipe

II secara spesifik pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Pada suatu
penelitian retrospektif tidak terkontrol, pada 50 wanita dengan sindrom ovarium
polikistik yang diterapi dengan metformin selama rata-rata 43 bulan pada suatu
sentra medis akademik, tidak terjadi perkembangan menjadi diabetes tipe II,
walaupun terdapat 11 wanita (22.0%) dengan toleransi glukosa terganggu. Tingkat
perubahan tahunan dari toleransi glukosa normal menjadi toleransi glukosa
terganggu hanya 1.4%, dibandingkan dengan 16 19% yang dilaporkan dalam
literatur untuk wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang tidak
mengkonsumsi metformin (Ainudin, 2015).
Pendekatan terhadap penanganan sindrom ovarium polikistik tergantung
pada tujuan terapi pasien dan dokter. Pada sebagian wanita, infertilitas merupakan
masalah utama. Pasien-pasien tersebut seringkali diterapi dengan induksi ovulasi
jangka pendek dengan klomifen. Jika fertilitas tidak menjadi permasalahan,
kontrasepsi

estrogen-progestin,

dengan

atau

tanpa

antiandrogen

seperti

spironolakton, merupakan terapi jangka panjang yang banyak dipakai. Pendekatan


ini efektif dalam mencapai tujuan terapi tradisional pada sindrom ovarium
polikistik, yaitu memperbaiki efek hiperandrogen (yaitu hirsutism, kebotakan
pada laki-laki, akne dan mendapatkan menstruasi teratur, dan dengan itu
mencegah hiperplasia endometrium). Mengingat kekacauan metabolik yang
berhubungan dengan sindrom ovarium polikistik, tampaknya bijaksana dan sesuai
untuk merencanakan terapi jangka panjang yang tidak hanya bertujuan untuk
menangani konsekuensi hiperandrogen dan anovulasi tetapi juga tujuan lain untuk
memperbaiki resistensi insulin dan menurunkan risiko diabetes tipe II dan
penyakit kardiovaskuler. Efek agen kontrasepsi estrogen-progestin pada toleransi
glukosa masih kontroversial. Bukti terbatas dari penelitian jangka pendek
terkontrol menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral memperburuk
resistensi insulin dan toleransi glukosa pada wanita dengan sindrom ovarium
polikistik. Penggunaan kontrasepsi estrogen-progestin berhubungan dengan
peningkatan dua kali lipat risiko relatif penyakit arterial kardiovaskuler pada
populasi wanita umum, risiko pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik
secara khusus belum diketahui (Ainudin, 2015).

Metformin memperbaiki sensitivitas insulin dan seperti telah disebutkan


sebelumnya, memperlambat atau mencegah perkembangan diabetes tipe II pada
pasien dengan gangguan toleransi glukosa. Walaupun metformin tidak secara
spesifik menurunkan risiko gangguan kardiovaskuler pada pasien dengan sindrom
ovarium polikistik, bukti klinis dan mekanistik yang tersedia mendukung
penggunaan metformin sebagai agen pelindung melawan efek samping
kardiovaskuler dari resistensi insulin dan kelebihan insulin. Hal lain bahwa
metformin mungkin menurunkan kadar androgen sirkulasi dan mungkin
memperbaiki ovulasi dan siklus menstruasi, sehingga memenuhi tujuan terapi
jangka panjang tradisional. Untuk alasan-alasan ini, walaupun metformin tidak
disetujui oleh FDA untuk terapi sindrom ovarium polikistik, obat ini banyak
digunakan untuk tujuan ini (Ainudin, 2015).
Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai pada dosis
yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara
progresif. Pasien-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan
besar, biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan menjadi
2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu kemudian
dosis dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan malam selama 1
minggu dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat sarapan
dan makan malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis metformin
pada sindrom ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada pasien
diabetes menggunakan kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur outcome,
menunjukkan bahwa dosis 2000 mg per hari sudah optimal (Dumitrescu, 2015).
Metformin sebaiknya tidak digunakan pada wanita dengan gangguan ginjal
(kadar kreatinin serum > 1.4 ml/dL), disfungsi hepar, gagal jantung kongestif
berat, atau adanya riwayat penyalahgunaan alkohol. Mengingat usia muda wanita
dengan sindrom ovarium polikistik, kontraindikasi ini jarang menjadi masalah.
Mengulang pemeriksaan saat dilakukan terapi metformin tidak disarankan kecuali
bila terjadi penyakit atau kondisi (misalnya dehidrasi) yang mungkin
menyebabkan gangguan ginjal dan hepar (Dumitrescu, 2015).
Pada saat pemberian metformin, pasien juga diberi nasihat tentang diet
penurunan berat badan dan olah raga rutin terjadwal. Intervensi seperti ini berguna

dalam mencegah diabetes. Efek lain turunnya berat badan meningkatkan


kemungkinan terjadinya ovulasi, sebagian besar karena membaiknya sensitivitas
insulin (Naderpoor, 2014).
Pasien diminta untuk membuat catatan menstrual, diperingkatkan bahwa
fertilitas mungkin akan segera membaik, dan diberi nasihat untuk menggunakan
kontrasepsi metode barrier. Obat kontrasepsi oral dan antiandrogen tidak
diberikan pada kunjungan awal, karena mungkin akan mempengaruhi menstruasi
ataupun kadar androgen serum dan dapat mengacaukan penilaian kemanjuran
metformin. Eflornithine topical dapat diberikan sebagai terapi hirsutisme wajah
(Naderpoor, 2014).
Kunjungan follow-up dijadwalkan pada bulan 3 dan 6. Siklus menstruasi
ditinjau dan testosterone total serum diperiksa pada setiap kunjungan. Jika terjadi
perbaikan pada siklus menstruasi, penting untuk dicatat apakah menstruasi
tersebut ovulatori. Hal ini dapat ditentukan dengan menilai kadar progesteron
serum 7 hari sebelum hari pertama menstruasi berikutnya, kadar progesteron
plasebo lebih dari 4.0 ng/ml konsisten dengan fase luteal dan ovulasi (Naderpoor,
2014).
Setelah terapi selama 69 bulan, dilakukan penilaian kemanjuran
metformin. Jika siklus menstruasi dan ovulasi membaik secara memuaskan, terapi
lebih lanjut ditentukan per kasus. Pada beberapa wanita, terapi dengan metformin
saja mungkin sudah cukup. Wanita yang menginginkan kontrasepsi dapat
diberikan obat kontrasepsi oral sambil melanjutkan terapi metformin. Pada kasus
dimana hirsutism tetap menjadi masalah, obat kontrasepsi oral, antiandrogen, atau
keduanya dapat ditambahkan disamping metformin (Naderpoor, 2014).
Pernyataan terakhir dari Androgen Excess Society merekomendasikan
bahwa wanita dengan sindrom ovarium polikistik, tanpa melihat berat badan,
diskrining terhadap intoleransi glukosa dengan menggunakan tes toleransi glukosa
pada awal pemeriksaan dan setiap 2 tahun setelahnya. Perlu dicatat bahwa
penggunaan metformin untuk mengobati atau mencegah perkembangan menjadi
toleransi glukosa terganggu dapat dipertimbangkan tetapi tidak diharuskan sampai
dilakukan penelitian RCT berdesain baik yang menunjukkan kemanjurannya.
Pernyataan American Association of Clinical Endocrinologist merekomendasikan

bahwa metformin dipertimbangkan sebagai terapi awal pada kebanyakan wanita


dengan sindrom ovarium polikistik, khususnya pada mereka yang kelebihan berat
badan atau obesitas (Arain, 2015).

BAB III
KESIMPULAN

1. Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK)


merupakan endokrinopati yang sering terjadi dan menyebabkan gangguan pada
wanita pada usia reproduksi dengan karakteristik gangguan anovulasi kronis atau
avulasi yang tidak teratur, kegemukan, hirsutisme, hiperandrogen serta jika dilihat
dari ultrasonografi terlihat gambaran banyak folikel.
2. Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik
tampaknya bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan
diabetes tipe II.
3. Metformin adalah suatu biguanid, obat yang paling banyak digunakan sebagai
terapi diabetes tipe II di seluruh dunia.
4. Kerja utama metformin adalah untuk menghambat produksi glukosa hepatik
dan juga meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin.
5. Peningkatan sensitivitas insulin yang memberikan kontribusi terhadap
kemanjuran metformin dalam terapi diabetes juga terjadi pada wanita non diabetik
dengan sindrom ovarium polikistik.
6. Pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik, terapi jangka panjang dengan
metformin dapat meningkatkan ovulasi, memperbaiki siklus menstruasi, dan
menurunkan kadar androgen serum serta penggunaan metformin juga dapat
memperbaiki hirsutism.
7.

Pernyataan

American

Association

of

Clinical

Endocrinologist

merekomendasikan bahwa metformin dipertimbangkan sebagai terapi awal pada


kebanyakan wanita dengan sindrom ovarium polikistik, khususnya pada mereka
yang kelebihan berat badan atau obesitas.

Você também pode gostar