Você está na página 1de 11

Kasus Malpraktek

Penyelesaian kasus malpraktek RS. X yang menimpa si A tak kunjung usai, meskipun sudah lebih dari enam
bulan bergulir di Pengadilan Negeri M.

Kuasa hukum A , B menilai proses peradilan terhadap kasus malpraktek tersebut berlangsung lambat dan
terdapat banyak ketidaksesuaian.

Gugatan sudah dilakukan sejak Juli 2009, namun hingga saat ini belum juga selesai karena banyak
pelaksanaannya yang tidak sesuai, jelas B, di Jakarta, Kamis.

B menjelaskan dalam beberapa sidang sering terjadi keterlambatan dari pihak kuasa hukum tergugat yang
menyebabkan saksi yang dihadirkan penggugat tidak dapat menunggu dan berdampak pada dibatalkannya
sidang.

Bahkan, tambah B, dalam sidang terakhir Selasa (9/2) terjadi ketidaksesuaian hukum acara. Seharusnya saksi
dari penggugat diselesaikan seluruhnya terlebih dahulu, tetapi kemarin justru dihadirkan saksi dari pihak
tergugat,? ujar B.

Selain terdapat ketidaksesuaian dalam proses peradilan, Didit menilai ahli yang dihadirkan untuk memberikan
keterangan tidak independen. Kedua ahli yang dihadirkan, yaitu Prof. Dr. D dan E. "Saksi menjelaskan
bagaimana injeksi cemen tersebut seharusnya dilakukan, namun ia menjelaskannya dihubungkan dengan kondisi
pasien," jelas B.

Menurutnya, ahli hanya berkompeten memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya, bukan
menambahkannya dengan informasi lain atau pun melakukan pembelaan.

Hingga saat ini sudah dilaksanakan 16 persidangan untuk menghadirkan saksi dan ahli. Aberharap kasus ini
dapat bisa segera selesai. "Saya berharap kasus ini bisa cepat selesai karena ini bukan hanya masalah saya, tetapi
menyangkut hak pasien dan konsumen Indonesia," jelas

Kasus ini bermula pada oktober 2005 ABS mengeluh sakit pada punggungnya dan berobat di RS. Siloam
Internasional di Karawaci, Tanggeran. Berbagai pemeriksaan, seperti MRI pun dilakukan.

Kemudian dokter syaraf, Dr. F yang memeriksannya menyarankan untuk dilakukan ?injeksi cement?, yaitu
menyuntikan kandungan tulang ke dalam tulang. Namun, yang terjadi adalah terjadi kegagalan dalam operasi
tersebut.

"Setelah operasi saya sadar saya tidak bisa menggerakan tubuh kiri saya, dan ternyata yang melakukan suntikan
tersebut bukan F, tetapi asistennya dokter G," jelas

A mengatakan, pihak rumah sakit atau pun dokter tidak memberitahukan sebelumnya bahwa ada pergantian
dokter, padahal sebelum operasi dimulai dokter eka masih ada.

Alasannya dokter F. Padahal selama ini dia yang merawat, tetapi tiba-tiba dialihkan begitu saja ke asisten,?ujar
ABS

Selain itu, B mengatakan dokter tidak memberitahukan resiko kegagalan suntik injeksi ini. "Pasien kan berhak
tau segala kemungkinan yang bisa menimpanya. Ini pelanggaran hak konsumen," jelas B.

Bahkan, ia menambahkan pasien kesulitan mendapatkan rekam medis dari rumah sakit dengan alasan isi rekam
medis tersebut milik rumah sakit dan tidak boleh dibawa keluar.

Kini, A harus berjalan dengan tongkat karena kaki kirinya lumpuh. Selain itu, pinggang kirinya sering sekali
kram dan kaki kanan sering terasa terbakar. "Menurut dokter daya mengalami `brown sequard syndrome`
semacam trauma dibagian tulang belakang," jelas abs.

Akibat malpraktik ini A mengalami banyak kerugian, ia tak lagi seproduktif dulu karena terhambat geraknya dan
harus rutin melakukan terapi. "Saya sekarang lima kali seminngu terapi otot kaki agar sensor motoriknya
bisa kembali dan otot tidak menjadi kecil," A.

Pembahasan Kasus Kasus Mal Pratek

Hal hal yang menjadi masalah dalam mal praktek di atas adalah :

1.
2.

1. Tidak ada pemberitahuan pergantian petugas medis dalam penanganan pasien


2. Tidak memberitahukan resiko kegagalan suntik ijeksi cement yaitu menyuntikan kandungan tulang kepada
tulang.

3.

3. Kesulitan mendapatkan rekam medis rumah sakit dengan alasan isi rekam medis tersebut milik rumah sakit
dan tidak boleh dibawa keluar.
Dengan masalah masalah mal praktek di atas dapat di lihat dari sudut pandang :

1.

Aspek Hukum

pidana pasal pasal 360 KUHP yaitu Kelalaian yang menyebabkan seseorang luka berat dihukum dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun. karena pasien menderita kelumpuhan pada tubuh bagian kiri.

Melanggar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Bab V
Standard Profesi Pasal 21, 22, 23

Melangar Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 8, 24, 58

2.

Aspek Kode Etik

Pada perinsip etik di sebutkan Tidak merugikan (Nonmaleficience) artinya Prinsip ini berarti tidak
menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.

Kejujuran (Veracity) yang intinya memberikan informasi kepada klien tentang keadaan yang sedang di
alaminya. . Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan.

3.

Aspek Disiplin Praktik

SOP di kerjakan sesuai prosedure

Melangar Standar profesi kerena seharusnya yang melakukan injeksi kepada pasien adalah dokter utama tetapi
di berikan kepada pasienya tanpa memberi informasi kepada pasien

Standar pelayanan adanya jaminan kesehatan pada klien.

1. ASPEK HUKUM DALAM KEPERAWATAN MALPRAKTEK PADA ANAK MAKALAH


Disusun sebagai Tugas Mata Ajar Etika dan Hukum Keperawatan Dosen Pengampu:
DR.Enie Novieastari, S.Kp, MSN Penyusun: Kelompok VII 1. Desi Kurniawati
1406522733 2. Dewi Irianti 1406596933 3. Lina Mahayati 1406523061 4. Winda
Darpianur 1406597425 PROGRAM STUDI MAGISTER PEMINATAN KEPERAWATAN
ANAK FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA NOVEMBER 2014
2. 1. Konsep Malpraktek Malpraktek dalam keperawatan merupakan istilah yang lebih
spesifik membahas kegagalan seorang profesional dalam bertindak sesuai dengan
standar yang berlaku atau kegagalan untuk memperkirakan konsekuensi dari tindakan
yang dilakukan oleh profesional yang telah memiliki keterampilan dan pendidikan (Guido,
2006). Croke (2003) mendefinisikan malpraktek sebagai tindakan yang tidak tepat, tidak
beretika, tidak beralasan dan kurang terampil yang dilakukan oleh seorang profesional.
Malpraktek didefinisikan bervariasi di dalam undang undang sesuai dengan praktik
keperawatan, kebijakan suatu lembaga standar yang telah ditetapkan, yang semuanya
dapat dipertimbangkan di pengadilan. Pengadilan mendefenisikan malpraktek sebagai
kesalahan atau gegabah dalam perawatan menyebabkan cedera, penderitaan atau
kematian pihak yang dirugikan dan merupakan hasil dari kelalaian, kecerobohan yang
mengabaikan aturan dan prinsip keterampilan profesional yang ditetapkan ataupun
bersumber dari niat jahat atau kriminalitas (Guido, 2006). Untuk menentukan secara
pasti malpraktik, Brent (2001); Lazaro (2004) menjelaskan 4 kriteria yang harus dipenuhi
yaitu: A. Kewajiban (duty) Perawat memiliki kewajiban mempergunakan segala ilmu dan
kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban
penderitaan pasiennya berdasarkan standar asuhan keperawatan. Tugas yang
seharusnya dilakukan perawat tetapi tidak dilakukan kepada pasien. Dalam hal ini
perawat berhutang kewajiban terhadap pasien. B. Pelanggaran kewajiban (Breach of the
duty) Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari
apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya. Perawat gagal melakukan
tanggung jawabnya sesuai dengan standar keperawatan.
3. C. Cedera (Injury) Pasien menderita cedera secara langsung emosional atau fisik
pada waktu mendapat pelayanan keperawatan. Cedera bisa baru terjadi, atau bertambah
buruknya cedera yang ada. D. Mendatangkan akibat (Causation) Pelanggaran terhadap
kewajibannya mendatangkan akibat yang berdampak negatif bagi pasien. Harus ada
bukti kuat bahwa pelanggaran kewajiban oleh praktisi kesehatan menyebabkan hal yang
buruk bagi pasien secara tidak langsung. 2. Kasus An. B berusia 12 tahun menderita
kelumpuhan sejak 8 tahun yang lalu. Kejadian ini bermula saat An. B menjadi korban
dugaan malpraktek yang dilakukan oleh perawat. An. B dibawa orang tuanya berobat di
klinik dr. F yang baru setahun buka dengan mengontrak salah satu rumah warga di
Kampung Krompol, Desa Paya Bagas, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Serdang Bedagai
Provinsi Sumatera Utara. Pada saat itu An. B berusia 4 tahun, mengalami benjolan
kelenjar sebesar telur puyuh di bagian punggungnya. Benjolan itu sudah ada sejak masih
bayi. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dr. F menyarankan agar benjolan itu sebaiknya
dioperasi. Orang tua pasien pun menyetujui dilakukannya tindakan operasi dan dilakukan
operasi pada tanggal 12 September 2004. Dokter F mengatakan kepada keluarga bahwa
yang melakukan tindakan operasi bukan dirinya karena dia hanya seorang dokter umum,
tetapi rekan sejawatnya, dokter bedah di RSUD Kumpulan Pane Kota Tebing tinggi yang
ternyata adalah seorang perawat. Perawat berinisial Ag melakukan operasi bersama

temannya bernama Ai. Pada saat operasi berlangsung, dr.F tidak ikut membantu, tetapi
hanya menyaksikan bersama dengan keluarga pasien. Operasi berlangsung sekitar 30
menit. Benjolan yang ada di punggung An. B akhirnya diangkat dan dibuang, tetapi luka
bedah pada benjolan yang telah dibuang itu mengalami perdarahan, sehingga
penyembuhan luka cukup lama sampai memakan waktu enam bulan.
4. Beberapa bulan setelah operasi, tubuh An. B menjadi lemas dan kaku, bahkan kedua
kakinya lumpuh tidak bisa digerakkan. An. B hanya dapat berbaring dan duduk di
rumahnya sambil menjalani proses pengobatan. Setelah 6 bulan melakukan operasi
kepada An.B, klinik dr. F ditutup dan tidak beroperasi lagi. Perawat Ag sempat membantu
biaya pengobatan sebanyak 2 kali, tetapi setelah itu sudah tidak pernah kelihatan lagi.
Sejak saat itu, An. B tidak bisa lagi bermain dengan anak-anak seusianya. Sampai
sekarang, kedua kaki An. B lumpuh, timbul tulang di telapak kaki kiri, telapak kaki kanan
berlubang, kencing bernanah dan susah buang air besar. Pihak keluarga akhirnya
mengambil sikap melaporkan dr. F dan rekannya ke Mapolres Tebing Tinggi, karena
dugaan telah melakukan malpraktek terhadap anaknya. Proses hukum atas kasus ini
sedang diproses dan masih dalam tahap pemanggilan saksi (Sumber: Posmetro Medan
& KPK Pos). 3. Analisa Kasus 3.1 Berdasarkan Konsep Malpraktik Kasus diatas
merupakan salah satu bentuk malpraktik keperawatan, karena telah memenuhi keempat
kriteria (duty, breach of the duty, injury, causation), yaitu : A. Perawat Ag berkewajiban
melakukan tugasnya sebagai seorang perawat sesuai dengan kewenangannya. Perawat
tersebut melakukan hal di luar kewenangan profesinya dan melakukan kewenangan
profesi lain (dokter). B. Perawat Ag gagal melakukan tanggung jawabnya sesuai standar
profesi perawat dimana kewajiban perawat melaksanakan asuhan keperawatan yang
holistik. C. Perawat Ag membuat pasien menderita cedera fisik dan perdarahan D.
Tindakan operasi mandiri Perawat Ag mendatangkan akibat yang buruk bagi pasien yaitu
pasien harus menjalani pengobatan dalam jangka waktu yang lama serta mengalami
kelumpuhan.
5. 3.2 Berdasarkan Kajian Hukum A. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, BAB
III Hak dan Kewajiban dalam Pasal 4 bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Dalam
hal ini klien berhak mendapatkan pengobatan guna mendapatkan kesehatan dan setiap
orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
serta terjangkau. Pada kasus An. B klien tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau karena klien mengalami luka yang mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan. Hal ini membuat pengobatan klien semakin lama dan biaya yang
dikeluarkan semakin besar. B. UU RI No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan 1. Pasal
32 ayat 2 menjelaskan bahwa pelimpahan wewenang tindakan medis kepada perawat
dapat dilakukan secara delegatif dan mandat. Selanjutnya, pada penjelasan ayat 4 dapat
diketahui bahwa tindakan medis yang dapat dilimpahkan secara delegatif adalah
menyuntik, memasang infus, dan memberikan imunisasi sedangkan secara mandat yaitu
pemberian terapi parenteral dan penjahitan luka. Berdasarkan kasus diatas, Perawat Ag
telah melakukan tindakan pembedahan, tindakan tersebut di luar kewenangan yang
diperbolehkan dalam UU Keperawatan. 2. Pasal 36 menjelaskan bahwa perawat
melaksanakan praktek keperawatan, berhak menolak keinginan klien atau pihak lain
yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, profesi, SPO, atau ketentuan
peraturan perundang undangan. Sesuai dengan kode etik keperawatan (PPNI, 2005),
perawat juga berhak menolak tindakan operasi secara mandiri yang bertentangan

dengan kode etik keperawatan antara perawat dan teman sejawat. Perawat harus
bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal.
6. 3. Pasal 37 poin (f) menjelaskan bahwa perawat dalam melaksanakan praktik
keperawatan berkewajiban melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga
kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi perawat. Pelayanan keperawatan
berdasarkan standar kompetensi perawat Indonesia merupakan rangkaian tindakan yang
dilandasi aspek etik legal dan peka budaya untuk memenuhi kebutuhan klien. Kegiatan
tersebut meliputi kegiatan prosedural, pengambilan keputusan klinik yang memerlukan
analisi kritis serta kegiatan advokasi dengan menunjukkan perilaku caring. Berdasarkan
kasus diatas, perawat tidak melakukan pelayanan keperawatan sesuai ranah kompetensi
praktik profesional, etis, legal dan peka budaya (PPNI, 2005). Malprakek yang dilakukan
oleh perawat Ag akan memberikan dampak yang luas, tidak saja kepada pasien dan
keluarganya, juga kepada institusi pemberi pelayanan keperawatan, individu perawat
pelaku malpraktek dan terhadap profesi. Secara hukum Perawat Ag dapat dikenakan
gugatan hukum pidana dan perdata, sedangkan secara profesi Perawat Ag dapat
dikenakan sanksi disiplin profesi perawat yang akan dikeluarkan oleh Konsil
Keperawatan.
7. DAFTAR REFERENSI Brent, N. J. (2001). Nurses and the law: A guide principles and
applications. Pennsylvania: W.B. Saunders Company. Croke, E.,M. (2003). Nurses,
negligence and malpractice. American Journal Nursing, 103(9), 54-63. Diunduh dari
http://www.nursingcenter.com/lnc/pdfjournal?AID=423284&an=00000446- 20030900000017&Journal_ID=&Issue_ID Guido, G.W. (2006). Legal & ethical issues in nursing.
New Jersey: Pearson Education, Inc. Lazaro, R. T. (2004). Ethical and legal analysis of a
patient case. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice, 2(1), 1-6.
Diunduh dari http://ijahsp.nova.edu/ Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
(2005). Kode etik keperawatan. Diunduh tanggal 16 November 2014 dari http://www.innappni. or.id/index.php/kode-etik Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2005).
Standar kompetensi perawat Indonesia. Diunduh tanggal 16 November 2014 dari
http://www.inna-ppni.or.id / index.php/standar-kompetensi Posmetro. (2013, Mei 6).
Bocah lumpuh korban malpraktek UN di rumah. Pos Metro Medan. Diunduh dari
http://www.posmetro-medan.com/?p=9406 Undang Undang Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan Wanda. (2013, Mei 13). Dioperasi perawat , akhirnya
lumpuh. KPK Pos. Diunduh dari http://kpkpos.com/

KASUS PERLINDUNGAN LEGAL KEPERAWATAN


KASUS :
Tn.T umur 55 tahun, dirawat di ruang 206 perawatan neurologi Rumah Sakit AA, tn.T
dirawat memasuki hari ketujuh perawatan. Tn.T dirawat di ruang tersebut dengan diagnosa
medis stroke iskemic, dengan kondisi saat masuk Tn.T tidak sadar, tidak dapat makan, TD:
170/100, RR: 24 x/mt, N: 68 x/mt. Kondisi pada hari ketujuh perawatan didapatkan
Kesadaran compos mentis, TD: 150/100, N: 68, hemiparese/kelumpuhan anggota gerak

dextra atas dan bawah, bicara pelo, mulut mencong kiri. Tn.T dapat mengerti bila diajak
bicara dan dapat menjawab pertanyaan dengan baik tetapi jawaban Tn.T tidak jelas (pelo).
Tetapi saat sore hari sekitar pukul 17.00 wib terdengar bunyi gelas plastik jatuh dan setelah
itu terdengar bunyi seseorang jatuh dari tempat tidur, diruang 206 dimana tempat Tn.T
dirawat. Saat itu juga perawat yang mendengar suara tersebut mendatangi dan masuk
ruang 206, saat itu perawat mendapati Tn.T sudah berada dilantai dibawah tempatt tidurnya
dengan barang-barang disekitarnya berantakan.
Ketika peristiwa itu terjadi keluarga Tn.T sedang berada dikamar mandi, dengan adanya
peristiwa itu keluarga juga langsung mendatangi tn.T, keluarga juga terkejut dengan
peristiwa itu, keluarga menanyakan kenapa terjadi hal itu dan mengapa, keluarga tampak
kesal dengan kejadian itu. Perawat dan keluarga menanyakan kepada tn.T kenapa bapak
jatuh, tn.T mengatakan saya akan mengambil minum tiba-tiba saya jatuh, karena tidak ada
pengangan pad temapt tidurnya, perawat bertanya lagi, kenapa bapak tidak minta tolong
kami saya pikir kan hanya mengambil air minum.
Dua jam sebelum kejadian, perawat merapikan tempat tidur tn.T dan perawat memberikan
obat injeksi untuk penurun darah tinggi (captopril) tetapi perawat lupa memasng side drill
tempat tidur tn.T kembali. Tetapi saat itu juga perawat memberitahukan pada pasien dan
keluarga, bila butuh sesuatu dapat memanggil perawat dengan alat yang tersedia.

3.1 ANALISA KASUS


Contoh kasus pada bab III merupakan salah satu bentuk kasus kelalaian dari perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan, seharusnya perawat memberikan rasa aman dan
nyaman kepada pasien (Tn.T). rasa nyaman dan aman salah satunya dengan menjamin
bahwa Tn.T tidak akan terjadi injuri/cedera, karena kondisi Tn.T mengalami kelumpuhan
seluruh anggota gerak kanan, sehingga mengalami kesulitan dalam beraktifitas atau
menggerakan tubuhnya.
Pada kasus diatas menunjukkan bahwa kelalaian perawat dalam hal ini lupa atau tidak
memasang pengaman tempat tidur (side drill) setelah memberikan obat injeksi captopril,
sehingga dengan tidak adanya penghalang tempat tidur membuat Tn.T merasa leluasa
bergerak dari tempat tidurnya tetapi kondisi inilah yang menyebabkan Tn.T terjatuh.
Bila melihat dari hubungan perawat pasien dan juga tenaga kesehatan lain tergambar
pada bentuk pelayanan praktek keperawatan, baik dari kode etik dan standar praktek atau
ilmu keperawatan. Pada praktek keperawatan, perawat dituntut untuk dapat bertanggung
jawab baik etik, disiplin dan hukum. Dan prinsipnya dalam melakukan praktek keperawatan,
perawat harus menperhatikan beberapa hal, yaitu: Melakukan praktek keperawatan dengan

ketelitian dan kecermatan, sesuai standar praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai
kompetensinya, dan mempunyai upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan
pasien sebagai tujuan praktek.
Kelalaian implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila penyelesaiannya dari segi
etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani oleh profesinya sendiri dalam hal ini
dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi profesi, dan bila penyelesaian dari segi
hukum maka harus dilihat apakah hal ini sebagai bentuk pelanggaran pidana atau perdata
atau keduannya dan ini membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak yang
berkompeten dibidang hukum.
Bila dilihat dari beberapa teori diatas, maka kasus Tn.T, merupakan kelalaian dengan
alasan, sebagai berikut:
3.1.2 Kasus kelalaian Tn.T terjadi karena perawat tidak melakukan tindakan keperawatan
yang merupakan kewajiban perawat terhadap pasien, dalam hal ini perawat tidak melakukan
tindakan keperawatan sesuai standar profesi keperawatan, dan bentuk kelalaian perawat ini
termasuk dalam bentuk Nonfeasance.
Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perawat tidak melakukan tindakan keperawatan
dengan benar, diantaranya sebagai berikut:
3.1.2.1 Perawat tidak kompeten (tidak sesuai dengan kompetensinya)
3.1.2.2 Perawat tidak mengetahui SAK dan SOP
3.1.2.3 Perawat tidak memahami standar praktek keperawatan
3.1.2.4 Rencana keperawatan yang dibuat tidak lengkap
3.1.2.5 Supervise dari ketua tim, kepala ruangan atau perawat primer
tidak

dijalankan dengan baik

3.1.2.6 Tidak mempunyai tool evaluasi yang benar dalam


supervise

keperawatan

3.1.2.7 Kurangnya komunikasi perawat kepada pasien dan kelaurga


tentang

segala sesuatu yang berkaitan dengan perawatan

pasien. Karena

kerjasama pasien dan keluarga merupakan hal yang

penting.
3.1.2.8 Kurang atau tidak melibatkan keluarga dalam merencanakan
asuhan

keperawatan

3.1.3 Dampak dampak kelalaian


Dampak dari kelalaian secara umum dapat dilihat baik sebagai pelanggaran etik dan
pelanggaran hukum, yang jelas mempunyai dampak bagi pelaku, penerima, dan organisasi
profesi dan administrasi.
3.1.3.1 Terhadap Pasien
Terjadinya kecelakaan atau injury dan dapat menimbulkan masalah keperawatan baru

1)

Biaya Rumah Sakit bertambah akibat bertambahnya hari rawat

2)

Kemungkinan terjadi komplikasi/munculnya masalah kesehatan/keperawatan lainnya.

3)

Terdapat pelanggaran hak dari pasien, yaitu mendapatkan perawatan sesuai dengan
standar yang benar.

4)

Pasien dalam hal ini keluarga pasien dapat menuntut pihak Rumah Sakit atau perawat
secara peroangan sesuai dengan ketententuan yang berlaku, yaitu KUHP.
3.1.3.2 Perawat sebagai individu/pribadi

5)

perawat tidak dipercaya oleh pasien, keluarga dan juga pihak profesi sendiri, karena telah
melanggar prinsip-prinsip moral/etik keperawatan, antara lain:

a)

Beneficience, yaitu tidak melakukan hal yang sebaiknya dan merugikan pasien

b)

Veracity, yaitu tidak mengatakan kepada pasien tentang tindakan-tindakan yang harus
dilakukan oleh pasien dan keluarga untuk dapat mencegah pasien jatuh dari tempat tidur

c)

Avoiding killing, yaitu perawat tidak menghargai kehidupan manusia, jatuhnya pasien akan
menambah penderitaan pasien dan keluarga.

d) Fidelity, yaitu perawat tidak setia pad komitmennya karena perawat tidak mempunyai rasa
caring terhadap pasien dan keluarga, yang seharusnya sifat caring ini selalu menjadi dasar
dari pemberian bantuan kepada pasien.
6)

Perawat akan menghadapai tuntutan hukum dari keluarga pasien dan ganti rugi atas
kelalaiannya. Sesuai KUHP.

7)

Terdapat unsur kelalaian dari perawat, maka perawat akan mendapat peringatan baik dari
atasannya (Kepala ruang Direktur RS) dan juga organisasi profesinya.
3.1.3.3 Bagi Rumah Sakit

8)

Kurangnya kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan


RS

9)

Menurunnya kualitas keperawatan, dan kemungkinan melanggar visi misi Rumah Sakit

10) Kemungkinan RS dapat dituntut baik secara hukum pidana dan perdata karena melakukan
kelalaian terhadap pasien
11) Standarisasi pelayanan Rumah Sakit akan dipertanyakan baik secara administrasi dan
prosedural
3.1.3.4 Bagi profesi
12) Kepercayaan masyarakat terhadap profesi keperawatan berkurang, karena menganggap
organisasi profesi tidak dapat menjamin kepada masyarakat bahwa perawat yang
melakukan asuhan keperawatan adalah perawat yang sudah kompeten dan memenuhi
standar keperawatan.
13) Masyarakat atau keluarga pasien akan mempertanyakan mutu dan standarisasi perawat
yang telah dihasilkan oleh pendidikan keperawatan
3.2 Hal yang perlu dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan bagi penerima
pelayanan asuhan keperawatan, adalah sebagai berikut:
# Bagi Profesi atau Organisasi Profesi keperawatan :

b.

Bagi perawat secara individu harus melakukan tindakan keperawatan/praktek keperawatan


dengan kecermatan dan ketelitian tidak ceroboh.

c.

Perlunya standarisasi praktek keperawatan yang di buat oleh organisasi profesi dengan
jelas dan tegas.

d.

Perlunya suatu badan atau konsil keperawatan yang menyeleksi perawat yang sebelum
bekerja pada pelayanan keperawatan dan melakukan praktek keperawatan.

e.

Memberlakukan segala ketentuan/perundangan yang ada kepada perawat/praktisi


keperawatan sebelum memberikan praktek keperawatan sehingga dapat dipertanggung
jawabkan baik secara administrasi dan hukum, missal: SIP dikeluarkan dengan sudah
melewati proses-proses tertentu.
3.3 Bagi Rumah Sakit dan Ruangan
a.

Hendaknya Rumah Sakit melakukan uji kompetensi sesuai standarisasi yang telah

ditetapkan oleh profesi keperawatan


b.

Rumah Sakit dalam hal ini ruangan rawat melakukan uji kompetensi pada bidangnya

secara bertahap dan berkesinambungan.


c.

Rumah Sakit/Ruang rawat dapat melakukan system regulasi keperawatan yang jelas

dan sesuai dengan standar, berupa registrasi, sertifikasi, lisensi bagi perawatnya.
d.

Perlunya pelatihan atau seminar secara periodic bagi semua perawat berkaitan

dengan etik dan hukum dalam keperawatan.


e.

Ruangan rawat harus membuat SAK atau SOP yang jelas dan sesuai dengan

standar praktek keperawatan.


f.

Bidang keperawatan/ruangan dapat memberikan pembinaan kepada perawat yang

melakukan kelalaian.
g.

Ruangan dan RS bekerjasama dengan organisasi profesi dalam pembinaan dan

persiapan pembelaan hukum bila ada tuntutan dari keluarga.


Penyelesaian Kasus Tn.T dan kelalaian perawat diatas, harus memperhatikan berbagai hal
baik dari segi pasien dan kelurga, perawat secara perorangan, Rumah Sakit sebagai
institusi dan juga bagaimana padangan dari organisasi profesi.
Pasien dan keluarga perlu untuk dikaji dan dilakukan testomoni atas kejadian tersebut, bila
dilihat dari kasus bahwa Tn.T dan kelurga telah diberikan penjelasan oleh perawat sebelum,
bila membutuhkan sesuatu dapat memanggil perawat dengan menggunakan alat bantu
yang ada. Ini menunjukkan juga bentuk kelalaian atau ketidakdisiplinan dari pasien dan
keluarga atas jatuhnya Tn.T.
Segi perawat secara perorangan, harus dilihat dahulu apakah perawat tersebut kompeten
dan sudah memiliki Surat ijin perawat, atau lainnya sesuai ketentuan perudang-undangan
yang berlaku, apa perawat tersebut memang kompete dan telah sesuai melakukan praktek
asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke, seperti Tn.T.

Tetapi bagaimanapun perawat harus dapat mempertanggung jawabkan semua bentuk


kelalaian sesuai aturan perundangan yang berlaku.
Bagi pihak Rumah Sakit, harus juga memberikan penjelasan apakah perawat yang
dipekerjakan di Rumah Sakit tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang diperbolehkan
oleh profesi untuk mempekerjakan perawat tersebut. Apakah RS atau ruangan tempat Tn.T
dirawat mempunyai standar (SOP) yang jelas. Dan harus diperjelas bagaimana Hubungan
perawat sebagai pemberi praktek asuhan keperawatan di dan kedudukan RS terhadap
perawat tersebut.
Bagi organisasi profesi juga harus diperhatikan beberapa hal yang memungkinkan perawat
melakukan kelalaian, organisasi apakah sudah mempunyai standar profesi yang jelas dan
telah diberlakukan bagi anggotannya, dan apakah profesi telah mempunyai aturan hukum
yang mengikat anggotannya sehingga dapat mempertanggung jawabkan tindakan praktek
keperawatannya dihadapan hukum, moral dan etik keperawatan.
Keputusan ada atau tidaknya kelalaian/malpraktek bukanlah penilaian atas hasil akhir
pelayanan praktek keperawatan pada pasien, melainkan penilaian atas sikap dan tindakan
yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga medis dibandingkan dengan standar
yang berlaku.

Você também pode gostar