Você está na página 1de 6

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO.

1/JANUARI/2011

Hubungan Sindroma Down dengan Umur Ibu, Pendidikan Ibu,


Pendapatan Keluarga, dan Faktor Lingkungan
The Relationship Between Down Syndrome and Maternal Age, Maternal Scholling,
Family Income, and Environmental Factor
Charina Situmorang
Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT
Background. Maternal age is the main known risk factor of Down syndrome. Recently some researchers
have suggested that there may be certain environmental factors that increase the risk of the
condition. This study aimed to estimate the association of Down syndrome and maternal age while
controlling for maternal education, family income and environmental factors.
Methods. This study was analytic-observational using case control approach. It was conducted at a
special school for children with disability in Surakarta. A sample of 20 mothers of children with Down
Syndrome and 40 mothers of normal children, was selected by fixed-disease sampling. The relationship
between maternal age and the risk of Down syndrome while controlling for maternal education,
family income, and environmental factor, was analyzed using multiple logistic logistic regression.
Odds ratio was used to measure the association of variables.
Results. Mean maternal age (year) at birth of Down syndrome children (37.82) was higher than that of
normal children (28.60), and it was statistically significant. After controlling for maternal education,
family income and living environmental factor, mothers aged 35 years or older had 12 times as many
risk of Down syndrome as those aged less than 35 years, and it was statistically significant (OR= 12.10;
95%CI 2.96 to 49.22). Evidence from this study did not support the relationship between maternal
education, family income, and the risk of Down syndrome. Living in an unhealthy environment increases
the risk of Down syndrome 2.5 times as many than living in a healthy environment, although this
relationship was not statistically significant with the available sample size of 60 subjects (OR= 2.34;
95%CI 0.44 to 15.28).
Conclusion. There is a very strong relationship between maternal age at birth and the risk of delivering
children with Down syndrome, even after controlling for some potential confounding factors.
Environmental factor seems to play a role in the incidence of this condition, but further studies are
needed with larger sample size.
Key words: Down syndrome, maternal age, maternal education, family income, environmental factor

PENDAHULUAN
Sindroma Down merupakan suatu cacat pada anak
yang paling sering terjadi di dunia, disebabkan karena
kelainan kromosom. Diperkirakan insidensinya 1.01.2 per 1000 kelahiran hidup (Soetjiningsih, 1995).
Kothare et al. (2002) melaporkan angka kejadian
sindroma Down sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran
hidup. Kurang lebih 4.000 anak dilahirkan dengan
sindroma Down setiap tahunnya di Amerika, atau
sekitar 1 dari 800-1000 kelahiran hidup (Idris, 2006;
Nicolaidis, 1998). Sindroma Down merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting. Di In-

96

donesia prevalensi sindroma Down lebih dari 300


ribu jiwa. Meskipun orangtua dari segala usia
mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak
yang menderita sindroma Down, tetapi
kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya
di atas 35 tahun (Idris, 2006).
Sindroma Down merupakan bentuk kelainan
kongenital yang ditandai dengan berlebihnya jumlah
kromosom nomor 21 yang seharusnya dua buah
menjadi tiga buah sehingga jumlah seluruh
kromosom mencapai 47 buah. Pada manusia normal
jumlah kromosom sel mengandung 23 pasangan
kromosom. (Soetjiningsih, 1995; Idris, 2006).

CHARINA SITUMORANG/ SINDROMA DOWN, UMUR IBU, PENDIDIKAN IBU,

Sindroma Down disebabkan oleh kesalahan


dalam pembelahan sel yang disebut nondisjunction.
Nondisjunction terjadi menyebabkan embrio
memiliki tiga salinan kromosom 21, bukan dua
salinan normal. Sebelum atau sewaktu konsepsi,
sepasang kromosom 21 pada sperma atau ovum gagal
membelah. Ketika embrio berkembang, kromosom
ekstra tersebut direplikasi di dalam setiap sel tubuh.
Jenis Down syndrome ini yang meliputi 95% kasus,
disebut Trisomy 21 (NDSS, 2011).
Sindroma Down pertama kali dideskripsikan dan
dipublikasikan oleh John Langdon Down pada 1866.
Tetapi sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan
Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang
anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan sindroma Down (Soetjiningsih, 1995). Penderita kelainan jumlah kromosom ini pada umumnya memiliki
karakteristik fisik yang khas. Beberapa ciri fisik penyandang kelainan ini di antaranya, bagian belakang
kepala rata, mata sipit, alis mata miring (slanting of
the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil,
otot lunak, persendian longgar , dan tangan kaki yang
mungil (Soetjiningsih, 1995; Speirs, 1992; Suryo,
2003).
Sindroma Down memberikan masalah serius
bagi penderita. Anak dengan sindroma Down
memiliki kesulitan belajar, retardasi mental,
penampilan muka yang khas, dan tonus otot buruk
(hipotonia) sewaktu bayi. Individu dengan sindroma
Down juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami kelainan jantung, masalah pencernaan
misalnya refluks gastroesofagus, celiac disease, dan
tuna rungu. Beberapa individu dengan sindroma
Down menunjukkan aktivitas kelenjar tiroid rendah
(hipotiroidisme) organ di bagian bawah leher yang
memproduksi hormon tiroid (NIH, 2011).
Kausa sindroma Down nondisjunction dewasa
ini belum diketahui, tetapi riset menunjukkan kejadian
nondisjunction meningkat dengan meningkatnya usia
ibu (Beiguelman, 1996; Kothare et al., 2002; Crane,
2006; Girirajan, 2009). Statistik menunjukkan bahwa
di antara kaum wanita berusia 20 tahun, hanya 1 dari
2.300 kelahiran yang menderita cacat ini. Pada wanita
berusia 30 hingga 34 tahun, insidensi sindroma Down
1 dari 750 kelahiran. Sedangkan pada wanita berusia
39 tahun, insidensi itu naik secara drastis sampai 1
dari 280 kelahiran. Pada wanita berusia 40 sampai
44, insidensi 1 dari 13 kelahiran. Pada wanita berusia

lebih dari 45 tahun, insidensi sindroma Down 1 dari


65 kelahiran (Lidyana, 2004). Walaupun belum
diketahui secara pasti pengaruh usia ibu terhadap
kejadian sindroma Down, namun non-disjunction
yang terjadi pada oosit ibu yang tua banyak dilaporkan
(Kothare et al., 2002; Coad dan Melvyn, 2007;
Girirajan, 2009).
Tetapi, karena sebagian besar kelahiran terjadi
pada wanita muda, maka 80% anak dengan Down
syndrome lahir dari ibu dengan usia di bawah 35
tahun. Belum ada bukti definitif yang menyingkirkan
hipotesis bahwa terdapat hubungan antara sindroma
Down dan faktor lingkungan ataupun aktivitas ibu
sebelum atau selama kehamilan (NDSS, 201;
eMedtv, 2011). The Kennedy Krieger Institute,
berbasis di Baltimore, AS, sedang melakukan
penelitian untuk mengidentifikasi faktor genetik dan
lingkungan yang berhubungan dengan sindroma
Down dan kelainan jantung kongenital pada anak
dengan sindroma Down (National Human Genome
Institute, 2011).
NHS Choices (2011) menyebutkan bahwa
terdapat sejumlah bukti yang mengisyaratkan terdapat clustering kasus sindroma Down. Clustering
dalam epidemiologi dimaksudkan tejadinya kasus
dalam jumlah di atas rata-rata selama periode waktu
pendek hingga sedang di suatu area geografis tertentu,
misalnya di suatu kecamatan atau kelurahan di suatu
kota.
NHS Choices (2011) menambahkan, clustering
sindroma Down bisa terjadi secara kebetulan (chance),
tetapi menurut sejumlah peneliti faktor lingkungan
tertentu mungkin meningkatkan risiko sindorma
Down. Faktor risiko tersebut meliputi: (1) Paparan
agen infeksi, misalnya virus, selama kehamilan; (2)
Penggunaan kontrasepsi; (3) Merokok selama
kehamilan; (4) Paparan radiasi; (5) Paparan terhadap
insektisida; (6) Tinggal di dekat tempat pembuangan
sampah/ limbah.
Dengan latar belakang tersebut penulis meneliti
hubungan antara sindroma Down dan umur ibu,
dengan mengontrol pengaruh pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan faktor lingkungan. Pendidikan ibu
dan pendapatan keluarga ikut diperhitungkan karena
peneliti berargumen bahwa pendidikan ibu ataupun
pendapatan keluarga rendah dapat menurunkan
kualitas asupan makanan ibu selama kehamilan,
sehingga mempengaruhi perkembangan janin.
97

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

Tabel 3 menunjukkan, 73.30% sampel tinggal di


lingkungan pemukiman yang kumuh.

SUBJEK DAN METODE


Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan pendekatan studi kasus kontrol.
Penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) C
Surakarta dan lingkungan tempat tinggal ibu dan
anak yang terpilih sebagai subjek penelitian. Dengan
teknik fixed disease sampling (Murti, 2006), sampel
terdiri atas 20 orang ibu dengan anak sindroma
Down dan 40 orang ibu dengan anak normal dipilih
untuk penelitian ini.
Variabel terikat yang diteliti adalah kejadian anak
dengan sindroma Down. Variabel bebas adalah umur
ibu pada saat melahirkan (tahun), riwayat pendidikan
ibu padaa saat melahirkan, pendapatan keluarga per
bulan pada saat melahirkan, dan lingkungan rumah.
Hubungan antara risiko melahirkan anak dengan
sindroma Down dan umur ibu, dengan mengontrol
pengaruh pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan
lingkungan rumah, dianalisis dengan model regresi
logistik ganda, dengan menggunakan program SPSS
17.0 for Windows.
HASIL-HASIL
A. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 1 menunjukkan rata-rata usia ibu 31.71 tahun,
dan pendapatan keluarga Rp 1,626,700 per bulan.
Tabel 1. Karakteristik sampel menurut umur ibu dan
pendapatan keluarga per bulan
Variabel
n
Mean
SD
Min.
Maks.
Usia Ibu (tahun) 60 31. 71
7.80
18.32
46.75
Pendapatan
60 1,626,700 2,316,000 100,000 15,000,000
Keluarga (rupiah)

Tabel 2 menunjukkan, tingkat pendidikan ibu paling banyak adalah SD dan SMA, masing-masing 18
orang (30%).
Tabel 2. Karakteristik sampel menurut pendidikan ibu
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
D3/PT
Total

98

n
2
18
10
18
12
60

%
3.30
30.00
16.70
30.00
20.00
100.00

Tabel 3. Distribusi sampel menurut lingkungan rumah


Lingkungan
- Sehat
- Kumuh
Total

n
16
44
60

%
26.70
73.30
100.00

B. Hasil Analisis Bivariat


Tabel 4 menunjukkan, rata-rata usia ibu yang
melahirkan anak sindroma Down, (7.82 tahun) lebih
tua bila dibandingkan dengan ibu yang melahirkan
anak normal (28.60 tahun), dan perbedaan itu secara
statistik signifikan (p<0.001).
Tabel 4. Hasil uji t tentang perbedaan mean usia ibu antara
anak normal dan anak dengan sindroma Down
Kelompok
Normal
Sindroma Down

n
40
20

Mean
28.60
37.82

SD
6.71
5.94

t
5.22

p
< 0.001

C. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda


Tabel 5 menunjukkan terdapat hubungan antara
umur ibu dan risiko melahirkan anak dengan
sindroma Down, dan hubungan itu secara statistik
signifikan. Usia ibu >35 tahun meningkatkan risiko
untuk melahirkan anak dengan sindroma Down 12
kali lebih besar daripada usia ibu <35 tahun (OR=
12.10; CI95% 2.90 hingga 49.22). Hubungan itu
telah mengontrol pengaruh pendidikan ibu,
pendapatan keluarga, dan lingkungan rumah.
Bukti dari penelitian ini tidak mendukung
hipotesis bahwa terdapat hubungan antara kejadian
sindroma Down dan pendidikan ibu (OR=1.01;
CI95% 0.24 hingga 4.95) maupun pendapatan
keluargga (OR= 1.02; CI95% 0.22 hingga 5.90).
Tetapi hasil penelitian ini menujukkan terdapat
hubungan yang positif antara lingkungan tempat
tinggal kumuh dan risiko melahirkan anak dengan
sindroma Down. Ibu yang tinggal di lingkungan
pemukiman kumuh memiliki risiko untuk
melahirkan anak dengan sindroma Down 2.5 kali
lebih besar daripada tinggal di lingkungan yang sehat,
meskipun hubungan tersebut secara statsitik tidak
signifikan dengan sampel sebesar 60 subjek (OR=
2.34; CI95% 0.44 hingga 15.28). Hubungan

CHARINA SITUMORANG/ SINDROMA DOWN, UMUR IBU, PENDIDIKAN IBU,

Tabel 5. Hasil analisis regresi logistik ganda tentang


hubungan antara sindroma Down dan umur ibu, pendidikan
ibu, pendapatan keluarga, serta lingkungan perumahan
Variabel independen
Usia
< 35 tahun
35 tahun
Pendidikan
Tinggi
Rendah
Pendapatan
Rp 800.000
< Rp 800.000
Lingkungan
Sehat
Kumuh
N observasi
60
-2log likelihood 58.9
2
Nagelkerke R
35%
p< 0.001

CI 95%
Batas Batas
Bawah Atas

OR

1.0 0
12.10

<0.001

2.96

49.22

1.0 0
1.0 1

0.972

0.24

4.9 5

1.0 0
1.0 2

0.965

0.22

5.9 0

1.0 0
2.3 4

0.381

0.44

15.28

tersebut telah memperhitungkan pengaruh umur ibu,


pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan sejak bulan September
sampai Oktober 2010 di SLB C Surakarta dan di
lingkungan rumah subjek penelitian. Sampel yang
diteliti terdiri atas 20 ibu dengan anak sindroma
Down sebagai kelompok kasus dan 40 ibu dengan
anak normal sebagai kelompok kontrol.
Berdasarkan karakteristik sampel penelitian
menurut usia ibu (Tabel 1), dapat dilihat bahwa ratarata usia ibu dalam penelitian ini adalah 31.71 tahun.
Hal ini sesuai dengan distribusi pada populasi di Indonesia bahwa persentase terbesar (25.73%)
penduduk wanita berada pada kelompok umur 3039 tahun (BPS, 2006).
Karakteristik sampel penelitian berdasarkan
pendapatan keluarga (Tabel 1) didapatkan rata-rata
pendapatan keluarga dalam penelitian ini adalah Rp
1.6 juta. Menurut data Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2007, maka rata-rata
pendapatan keluarga dalam penelitian ini berada di
atas garis kemiskinan (LPEM FE UI, 2007).
Distribusi ini pun sesuai dengan gambaran populasi
Indonesia bahwa sebanyak 83.4% penduduk Indonesia tidak berada di bawah garis kemiskinan/

tergolong masyarakat menengah ke atas (Wibowo,


2010).
Karakteristik sampel penelitian menurut tingkat
pendidikan ibu (Tabel 2) didapatkan bahwa paling
banyak adalah SD dan SMA dengan persentase
masing-masing 30%. Hasil ini sedikit berbeda dengan
gambaran populasi Indonesia bahwa sebagian besar
penduduk wanita berada pada tingkat pendidikan SD
yaitu 39.92%, sedangkan penduduk dengan tingkat
pendidikan SMA hanya 16.26% (BPS, 2006).
Karakteristik sampel penelitian berdasarkan
lingkungan (Tabel 3) didapatkan bahwa sebagian
besar sampel penelitian tinggal di lingkungan kumuh
sejumlah 44 orang (73.3%). Hasil ini berbeda
dengan gambaran populasi di Indonesia. Data yang
diperoleh tahun 2005 menunjukkan bahwa berdasar
kepemilikan permukiman tercatat persentase total
penghuni permukiman kumuh hanya 15% (Center
for Housing and Settlement Studies, 2010).
Sebagian besar karakteristik sampel pada
penelitian ini hampir mendekati gambaran populasi
di Indonesia. Hal ini berarti bahwa hasil pada
penelitian ini bisa digunakan pada populasi di Indonesia. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai
dengan hipotesis yang menyatakan bahwa ada
perbedaan kejadian anak sindroma Down dari ibu
usia tua dengan ibu usia muda.
Hasil uji t tentang perbedaan mean usia ibu
menunjukkan (Tabel 4), rata-rata usia ibu yang
melahirkan anak sindroma Down, yaitu 37.8 tahun,
lebih tua bila dibandingkan dengan rata-rata usia ibu
yang melahirkan anak normal yaitu 28.6 tahun.
Perbedaan usia ibu tersebut secara statistik signifikan.
Investigasi lebih lanjut dengan analisis
multivariat (Tabel 5) menghubungkan kejadian
sindroa Down dengan umur ibu, dengan mengontrol
pengaruh pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan
lingkungan pemukiman. Hasil analisis multivariat
tersebut menunjukkan, ibu usia tua (?35 tahun)
terbukti berisiko untuk melahirkan anak sindroma
Down 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
usia muda (<35 tahun). Keselebihan penelitian ini
adalah penggunaan analisis regresi logistik ganda
sebagai teknik analisis data untuk mengontrol variabel
perancu (confounding factor) secara statistik. Model
analisis regresi logistik dapat mencegah terjadinya bias
dalam penelitian.
99

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

Data laporan penelitian ini menunjukkan hasil


yang sesuai dan konsisten dengan penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan di beberapa negara,
yaitu terdapat hubungan antara usia ibu dan kejadian
anak sindroma Down. Hubungan itu dapat dijelaskan
dalam uraian patogenesis berikut. Pada ibu usia tua,
ovum yang dikeluarkan pada saat ovulasi merupakan
hasil dari oosit yang cenderung telah berada dalam
siklus meiosis yang terhenti cukup lama (Girirajan,
2009). Fase meiosis yang terhenti lama pada ovum
memudahkan terjadinya akumulasi berbagai efek
toksik sebagai dampak dari lingkungan, juga terjadi
degradasi dari mesin meiosis yang menyebabkan
kesalahan meiosis I dan meiosis II (Girirajan, 2009).
Pengamatan pada pembuahan in vitro membuktikan
bahwa gelendong meiosis manusia bersifat tidak stabil
dan juga sangat peka terhadap pengaruh eksternal.
Struktur meiosis yang disebut spindles menjadi
semakin rapuh seiring dengan meningkatnya usia ibu
yang bersangkutan (Coad dan Melvyn, 2007).
Faradz (2004) juga mengungkapkan hal yang
sama mengenai penuaan sel telur wanita, bahwa ada
pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik (lingkungan)
dalam sel induk, yang menyebabkan pembelahan
selama fase meiosis menjadi non disjunction
disebabkan oleh faktor-faktor: terputusnya benangbenang spindel atau komponen-komponennya, atau
kegagalan dalam pemisahan nukleolus. Hal ini
memudahkan terjadinya nondisjungsi pada ovum
selama pembelahan fase meiosis sehingga
menghasilkan zigot dengan jumlah kromosom abnormal dalam hal ini kromosom 21 berjumlah 3
buah (sindroma Down).
Penelitian ini menyimpulkan terdapat
hubungan yang kuat dan secara statistik signifikan
antara usia ibu dan risiko untuk melahirkan anak
dengan sindroma Down, setelah mengontrol
pengaruh faktor perancu potensial seperti pendidikan
ibu, pendapatan keluarga, dan faktor lingkungan.
Faktor lingkungan tampaknya memiliki peran
terhadap terjadinya sindroma Down, tetapi perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran
sampel lebih besar untuk mengkonfirmasi dugaan
ini.

100

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS) (2006). Ketenagakerjaan.
http://www.kpwkm.gov.my/ malayindo/cms/
pr%28umkk%29/pdf_statistik/
KETENAGAKERJAAN.pdf. Diakses 7
Desember 2010.
Beiguelman B, Henrique K, da Silva LM (1996).
Maternal age and Down syndrome in Southern
Brazil. Brazilian Journal of Genetics, 19 (4): 637640
Center for Housing and Settlement Studies (2010).
Pengelolaan lingkungan permukiman kumuh
menuju habitat kota hijau lestari. http://geo.
ugm.ac.id/perkim/seminar%20nasional.php.
Diakses 7 Desember 2010.
Coad J, Melvyn D (2007). Anatomi dan fisiologi
untuk bidan. Jakarta: EGC. Hal: 67-89, 103121, 122-153, 154-170, 217-245
Crane E, Joan KM (2006). Changes in maternal age
in England and Wales-implication for Down
syndrome. Down Syndrome Research and
Practice 10(1): 41-43 eMedtv (2011). Causes
of Down syndrome. http://down-syndrome.
emedtv.com/down-syndrome/causes-of-downsyndrome.html. Diakses Desember 2011.
Faradz SMH (2004). Retardasi mental pendekatan
seluler dan molekuler. http://eprints.undip.
ac.id/299/1/Sultana_M._H._Faradz.pdf
(diakses 27 Maret 2010)
Girirajan S (2009). Parental-age effects in Down
syndrome. Journal of Genetics, 88 (1): 9-14
Idris R, Beatrice A, Hadi H (2006). Penderita
sindrom Down berdasarkan analisis kromosom
di Laboratorium Biologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Antara Tahun 1992-1994.
Profesi Medika. 6(1):35-45
Kothare S, Neera S, Usha D (2002). Maternal age
and chromosomal profile in 160 Down syndrome
cases-experience of a tertiary genetic centre from
India. IJHG 2(1): 49-53
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM

CHARINA SITUMORANG/ SINDROMA DOWN, UMUR IBU, PENDIDIKAN IBU,

FE UI). 2007. Angka kemiskinan pasca pemilu.


h t t p : / / w w w. l p e m . o r g / i n d e x . p h p ?
mn=1&sb=1&id=4 (diakses 7 Desember 2010)

Nicolaidis P, Petersen MB (1998). Origin and


mechanisms of non-disjunction in human
autosomal trisomies. Hum Reprod 13(2): 313-9

Lidyana V (2004). Melahirkan di atas usia 30 Tahun.


Jakarta: Restu Agung. hal: 16-21

Soetjiningsih (1995). Tumbuh kembang anak.


Jakarta: EGC. hal: 211-221

Murti B (2006). Desain dan ukuran sampel untuk


penelitian kuantitatif dan kualitatif di bidang
kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. hal: 68-69

Speirs, Al (1992). Paediatrics for nurses. London:


Pitman Medical. hal: 139-141

National Human Genome Rsearch Institute (2011).


Learning about Down syndrome. http://www.
genome.gov/19517824. Diakses Desember
2011.

Wibowo H (2010). Kemiskinan dan tempat tinggal.


http://hendrowibowo.niriah.com/2010/ 04/07/
kemiskinan-dan-tempat-tinggal/. Diakses 7
Desember 2010.

Suryo (2003). Genetika manusia. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press

NDSS (2011). What causes down syndrome?


National Down Syndrome Society. http://ndss.
org/index.php?option=com_content&view=
article&id=60&Itemid=77. Diakses Oktober
2011.

101

Você também pode gostar