Você está na página 1de 104

PROSIDINGS

SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI

Astronomi untuk Indonesia:


Menuju Terbentuknya Jaringan
Pendidikan Astronomi di Indonesia

Editor:
Premana W. Premadi
Dhani Herdiwijaya
Kiki Vierdayanti

PROSIDINGS
SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI

Astronomi untuk Indonesia:


Menuju Terbentuknya Jaringan
Pendidikan Astronomi di Indonesia
Aula Barat Institut Teknologi Bandung
26 Oktober 2011

Observatorium Bosscha ITB

Seminar Pendidikan Astronomi


Aula Barat Institut Teknologi Bandung, 26 Oktober 2011

Diselenggarakan atas kerjasama:


Observatorium Bosscha ITB,
Program Studi & KK Astronomi FMIPA-ITB,
Himpunan Astronomi Indonesia dan.
Seluruh Sponsor.

Editor:
Premana W. Premadi
Dhani Herdiwijaya
Kiki Vierdayanti

Editor Teknis Bahasa Indonesia:


Dian Suryahandayani

Koleksi foto untuk halaman depan:


Ferry M. Simatupang
Emanuel Sungging Mumpuni

Penerbit Observatorium Bosscha ITB


2012. Peringatan 60 tahun Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia
ISBN 9786021810804
April 2012

Daftar Isi
Kata Pengantar
Dedikasi
Daftar Peserta
Jadwal Acara Seminar
Dokumentasi
Editorial
Artikel Pembicara Undangan
Sesi 1
Astronomy for Development
Kevin Govender

i
iii
v
viii
x
1
5

Sesi 2
Sejarah Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia
Suhardja D. Wiramihardja
Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia Tahun 2001 2011
Mahasena Putra
Extending Astronomical Education by Astronomy Olympiad Activities
Chatief Kunjaya

13
19
25

Sesi 3
Geliat Astronomi di Kampus Bumi Siliwangi
Judhistira Aria Utama
Perkembangan Pendidikan Astronomi di SMA
Mariano Nathanael
Pendidikan Astronomi dalam Kurikulum Sekolah
Wasis, Mikrajuddin Abdulah
Program-program DIKTI untuk Mendukung Pengembangan Pendidikan
Astronomi di Indonesia
Biemo Soemardi
Penyelenggaraan Pendidikan Astronomi pada Jurusan Pendidikan Fisika
FPMIPA UPI
Andi Suhandi

Artikel Peserta
Inisiasi Kegiatan Astronomi di Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMAN 1
Banjarmasin
Prahesti Husnindriani, Anita R. Audina, Fuji Hidjriyati, Muji Lestari,
Budi Dermawan, Hakim L. Malasan
Astronomi di Sekolahku
Mahdi Nurianto Ahmad
Perlukah Astronomi Masuk Kurikulum Sekolah?
Slamet M. Tohar
Pendidikan Astronomi sebagai Sains
Soekiyah Permani, Premana W. Premadi

31
35
39

43

47

51

53
55
57
59

Pendidikan Astronomi di Indonesia dan Permasalahannya


Eddy Susianto, Hasanah Pratiwi
Perkembangan Ilmu Astronomi di Indonesia
Asep Yoyo Wardaya
Jaringan Ke-Astronomia-an
Widya Sawitar
Membangun Jejaring Pendidikan Astronomi Melalui pusat Peraga Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (PUSPITEK)
Indrawan
Folk Astronomy: Upaya Meraih (Kembali) Posisi Keemasan Astronomi
Halmar Halide, Nur Hasanah

Penutup
Laporan Diskusi
Kiki Vierdayanti, Soekiyah Permani
Concluding Remarks
Dhani Herdiwijaya

Lampiran
Ucapan Terimakasih

61
63
65

67
69
71
73
75

77
87

Kata Pengantar
Seminar Pendidikan Astronomi yang dilaksanakan di Aula Barat Institut Teknologi
Bandung, pada 26 Oktober 2011, merupakan salah satu acara dari rangkaian acara
Peringatan 60 Tahun Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia. Tema seminar ini
adalah Astronomi untuk Indonesia: Menuju Terbentuknya Jaringan Pendidikan
Astronomi di Indonesia.
Hingga saat ini Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (disingkat ASITB) masih merupakan satu-satunya penyelenggara pendidikan tinggi formal untuk ilmu
astronomi di Indonesia. Sesuai sifat ilmu astronomi yang universal, AS-ITB dirancang
untuk mempersiapkan lulusan yang dapat mengembangkan ilmu astronomi baik dalam
bidang pendidikan, penelitian, maupun komunikasi astronomi baik di dalam maupun di
luar negeri. Oleh karena itu, AS-ITB berusaha untuk dapat mengikuti perkembangan
ilmu dan teknologi astronomi yang semakin pesat di dunia dewasa ini. Ironisnya, di
lingkungan sekolah dasar dan menengah di Indonesia, ilmu astronomi masih dipandang
sebagai ilmu alam terapan atau bagian dari ilmu Fisika dan/atau Geografi. Akibatnya,
para lulusan SMA tidak memiliki bekal dasar dan minat pada astronomi sebaik mereka
menguasai ilmu dasar lainnya. Paradigma ini menimbulkan masalah tersendiri bagi ASITB yang memerlukan input mahasiswa dengan kompetensi dasar dan minat pada ilmu
astronomi yang memadai. Terlepas dari masalah AS-ITB, paradigma bahwa ilmu
astronomi bukan ilmu alam dasar yang wajib adalah tidak tepat dan perlu diperbaiki,
dan ini menjadi tanggung jawab tambahan bagi AS-ITB.
Upaya perubahan paradigma tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan oleh AS-ITB
sendiri. Kerjasama dengan pihak-pihak yang berwenang yang berhubungan langsung
dengan pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah serta pihak-pihak sekolah itu
sendiri perlu dikembangkan. Pendekatan dengan pihak sekolah sudah mulai dilakukan
dengan menumbuhkan ketertarikan siswa pada ilmu astronomi melalui kegiatan
olimpiade bidang astronomi, baik nasional maupun internasional. Beberapa mahasiswa
AS-ITB juga dijaring melalui kegiatan olimpiade ini. Kendala terbesar adalah
kurangnya sumber daya sekolah untuk memberikan kompetensi dasar astronomi. Oleh
karena itu, AS-ITB juga perlu berupaya menyuarakan kebutuhan guru berkompetensi
astronomi kepada pihak terkait seperti universitas penyelenggara ilmu kependidikan
sebagai pencetak guru-guru. Upaya ini kurang efektif bila astronomi tidak dipandang
perlu di dalam kurikulum sekolah. Oleh karena itu, upaya pendekatan kepada Badan
Standar Nasional Pendidikan maupun Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan harus
dilakukan.
Selain pendekatan kepada pihak-pihak tersebut, budaya berpikir masyarakat perlu juga
untuk diperbaiki secara perlahan-lahan melalui kegiatan-kegiatan popularisasi
i

astronomi. Kegiatan-kegiatan popularisasi astronomi di seluruh Indonesia merupakan


kegiatan yang memerlukan sumber daya yang besar. Untuk itu, jaringan pendidikan
astronomi di Indonesia mutlak diperlukan. Dengan penyelenggaraan seminar ini ASITB berupaya untuk menginisiasi pembentukan jaringan tersebut. Harapan untuk
keberhasilan pembentukan jaringan sangat besar bila melihat kerjasama dengan
beberapa institusi maupun kelompok yang telah terjalin dalam sepuluh tahun terakhir
ini, misalnya kerjasama dengan intitusi terkait seperti LAPAN, BMKG, Kementerian
Riset dan Teknologi, Kementerian Keagamaan, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, planetarium, puspitek dan lain sebagainya. Selain itu juga terjalin
kerjasama dengan kelompok pecinta astronomi seperti himpunan astronomi amatir di
berbagai kota di Indonesia, Universe Awareness, Langit Selatan, dan lain sebagainya.
Dengan semangat untuk membangun jaringan pendidikan astronomi di Indonesia
Seminar Pendidikan Astronomi ini diselenggarakan dan prosidings ini merupakan
dokumentasi pemikiran, ide maupun keluh kesah berbagai pihak pemerhati astronomi di
Indonesia. Akhir kata, semoga Seminar Pendidikan Astronomi 2011 dan prosidings
seminar ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pendidikan astronomi di Indonesia secara
umum dan khususnya bagi pembentukan jaringan pendidikan astronomi di Indonesia.

Bandung, April 2012

Tim Editor dan Panitia Seminar Pendidikan Astronomi 2011

ii

DEDIKASI
Seminar Pendidikan Astronomi 2011 dalam rangka Peringatan 60 Tahun Pendidikan
Tinggi Astronomi di Indonesia didedikasikan kepada:

Prof. Dr. Suhardja D. Wiramihardja

dan

Dr. Iratius Radiman

atas dedikasi dalam melaksanakan tugas sebagai staf pengajar pada Program Studi
Astronomi dan peneliti pada KK Astronomi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung.
Selamat memasuki masa purna bakti.

iii

iv

DAFTAR PESERTA
Nama
Achmad Lutfi
Adeline Florenz
Adey Tanauma
Ai Rubaiah
Aldino Adry Baskoro
Allisa Duhita A.
Andi Suhandi
Andika Bagus Priambodo
Anida Nurafifah
Annisa Novia Indra P.
Aprilia
Asikin
Asriza
Avianto W. N.
Avivah Yamani
Awalluddin
Ayub Siregar
Azis Taz Sunjaya
Biema Soemardi
Bubun Widarta
Budi Dermawan
Cahyo Puji Asmoro
Chatief Kunjaya
Daniel Budiman
Dessy Eprilya
Dhani Herdiwijaya
Dhimaz Gilang R.
Dmirza Pahlavi Al Amamu
Eddy Susianto
Eko Wiyando Putra
Emanuel Sungging M.
Endang Soegiartini
Erma Emilia
Febrie Azis
Ferry M. Simatupang
Fitria Yulianti
Fransisca S. W.
Gabriela Kezia Haans
Hakim L. Malasan
Hanzel Zaki Alexander
Hasanah Pratiwi Seroja
I Putu Wira Hadiputrawan
I'ah F. Imaniah
Ichsan Ibrahim
Indra Firdaus

Instansi
FMIPA UNESA
SDN Nilem III
Jurusan Fisika FMIPA UNSRAT
SMAN 22 Bandung
Sekolah Alam
Astronomi ITB
Universitas Pendidikan Indonesia
Astronomi - Institut Teknologi Bandung
UNJ
Astronomi ITB
Astronomi ITB
SMAN 17 Bandung
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
Alumni Astronomi ITB
langitselatan
UPTD. Graha Teknologi Sriwijaya
UPTD. Graha Teknologi Sriwijaya
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
Teknik Sipil ITB
SBM-MBACCE- ITB
Astronomi, FMIPA-ITB
CAKRAWALA UPI
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
PPPPTK IPA Bandung
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Astronomi ITB
UPTD. Graha Teknologi Sriwijaya
Astronomi ITB
Astronomi ITB
UPTD. Graha Teknologi Sriwijaya
SMAN 12 Bandung
Astronomi ITB
Astronomi ITB
SDN Nilem III
SMP Negeri 10 Cimahi
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta

Indrawan
Intan Tatik
Iratius Radiman
Jaha Herwandi
Janette Suherli
Jannus Berlin Hotmanson Malau
Janu Eko Herwanto
Judhistira Aria Utama
Karel A. van der Hucht
Karyawan
Kevin Govender
Kiki Vierdayanti
Lilies Herni
Lita Lestari Utami
M. Ikbal Arifyanto
M. Tajudin
Mahasena Putra
Mahdi Nurianto Ahmad
Mariano Nathanael
Mikrajuddin Abdullah
Moedji Raharto
Muhamad Iqwal
Muhamad Zamzam Nurzaman
Muhammad Rayhan
Mutoha Arkanuddin
Norma Yunita
Nur Hasanah
Omar Sharif
Prahesti Husnindriani
Premana W. Premadi
Priyadi
Puji Irawati
Ramadhani Putri Ayu
Rameli Agam
Ratnaningsih
Reza Primawan Hudrita
Rezky Putra
Rhorom P.
Ridlo W. W.
Rika Rahida
Rinawati
Rinto Anugraha NQZ
Riries Rulaningtyas
Roni Firmansyah M.
Ronny Syamara
Rukman Nugraha
Ryandhika Rukmana
Saeful Akhyar

UPTD Graha Teknologi Sriwijaya


SMAN 2 Bandung
Astronomi ITB
SMAN 26 Bandung
Astronomi ITB
SMA Methodist-2 Medan
SMAN 23 Bandung
Universitas Pendidikan Indonesia
SRON Utrecht
SMAN 4 Bandung
International Astronomical Union
Astronomi ITB
SMAN 11 Bandung
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
Astronomi ITB
SMPN 8 Purwakarta
Astronomi ITB
SMA Negeri 5 Surabaya
SMA Negeri 2 Bandung
BSNP/ITB
Astronomi ITB
STT Tekstil Bandung
Astronomi ITB
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
Jogja Astro Club (JAC)
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ)
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Hasanuddin
SAPPK ITB
Prodi Astronomi-ITB
Astronomi ITB
SMAN 3 Bandung
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Galura
SMAN 2 Bandung
Arsitektur ITB
SMAN 77Jakarta
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Institut Teknologi Bandung
SMAN 27 Bandung
Jurusan Fisika FMIPA UGM
Program Studi Fisika Universitas Airlangga
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
HAAJ (Himpunan Astronomi Amatir Jakarta)
BMKG
HAAJ (Himpunan Astronomi Amatir Jakarta)
Program Studi Astronomi ITB

vi

Saleh Tulhayat
Sarlon Hutagaol
Siti Bunga F.
Siti Mulyati
Slamet MT
Soekiyah Permani
Sri Wahyuningsih
Suhardja D. Wiramihardja
Sulfiyanti
Taufiq Hidayat
Titania Virginiflosia
Vina Rieza Rahmawaty
Wahria
Wasis
Widya Sawitar
Yayan Rosendi
Yayan Sugianto
Yolanda Ghea
Yusuf Pangsibidang

SMPN 8 Purwakarta
SMP Negeri 10 Cimahi
STT Tekstil Bandung
SMAN 21 Bandung
Jur. Pendidikan Fisika FMIPA-UNY
Astronomi ITB
SMA Negeri 1 Rembang
Astronomi ITB
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
Astronomi ITB
Astronomi ITB
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta
SMAN 1 Bandung
BSNP/UNESA
Planetarium Jakarta
SMAN 17 Bandung
Astronomi ITB
Astronomi ITB
SMAK Barana Sulawesi Selatan

vii

Jadwal Acara
No

Waktu

Acara / Topik (Isi) Presentasi

Pembicara

08.00 08.10

Pembukaan (laporan
penyelenggara)

Dr. Moedji Raharto


(Ketua Kelompok
Keahlian Astronomi
FMIPA-ITB)

08.10 08.20

Sambutan oleh Rektor ITB

Prof.Akhmaloka, Ph.D.

Keterangan

(Rektor ITB)
3

08.20 08.25

Ucapan terima kasih kepada Dr.


Karel A. van der Hucht (LKBF)
oleh Rektor ITB

Disampaikan oleh
Rektor ITB

08.25 08.30

Ucapan terima kasih kepada Dr.


Karel A. van der Hucht , Prof.
Dr. Suhardja D. Wiramihardja
dan Dr. Iratius Radiman oleh
Dekan FMIPA

Disampaikan oleh
Dekan FMIPA

08.30 09.30

Astronomy for Development

International Astronomy
Union [IAU] (Dr. Kevin
Govender: Director IAU
Global Office of
Astronomy for
Development)

50 menit presentasi
+ 10 menit tanyajawab

09.30 10.00

10.00 10.30

Sejarah Pendidikan Tinggi


Astronomi di Indonesia

Prof. Dr. Suhardja D.


Wiramihardja

30 menit presentasi
tanpa tanya jawab

10.30 11.00

Pendidikan Tinggi Astronomi di


Indonesia Tahun 2001 2011

Dr. Mahasena Putra


(Ketua Program Studi
Astronomi ITB)

20 menit presentasi
+ 10 menit tanyajawab

11.00 11.30

Observatorium Bosscha: up close


and personal

Dr. Hakim L. Malasan


(Kepala Observatorium
Bosscha)

20 menit presentasi
+ 10 menit tanyajawab

10

11.30 12.00

Extending Astronomical
Education by Astronomy
Olympiad Activities

Dr. Chatief Kunjaya


(Presiden International
Olympiad of Astronomy
and Astrophysics)

20 menit presentasi
+ 10 menit tanyajawab

11

12.00 13.30

12

13.30 13.50

Coffee Break

Ishoma
Geliat Astronomi di Kampus
Bumi Siliwangi

viii

Judhistira Aria Utama,


M.Si.(Universitas

20 menit presentasi
+ tanya-jawab

Pendidikan Indonesia)

13

13.50 14.10

Perkembangan Pendidikan
Astronomi di SMA

Mariano Nathanael, S.
Si.(SMAN 2 Bandung)

20 menit presentasi
+ tanya-jawab

14

14.10 14.40

Pendidikan Astronomi dalam


Kurikulum Sekolah

Dr. Wasis, M.Si.


(Perwakilan BSNP/
Universitas Negeri
Surabaya)

@10 menit
presentasi + 10
menit tanya-jawab

Prof. Dr. Eng.


Mikrajuddin Abdullah
(Perwakilan BSNP/ ITB)
15

14.40 15.10

Program-program DIKTI untuk


Mendukung Perkembangan
Pendidikan Astronomi di
Indonesia

Dr. Biemo Soemardi


(Perwakilan DIKTI/ ITB)

20 menit presentasi
+ 10 menit tanyajawab

16

15.10 15.40

Penyelenggaraan Pendidikan
Astronomi pada Jurusan
Pendidikan Fisika FPMIPA UPI

Dr. Andi Suhandi, M.Si


(FPMIPA, Universitas
Pendidikan Indonesia)

20 menit presentasi
+ 10 menit tanyajawab

17

15.40 15.50

18

15.50 16.50

Diskusi terbuka mengenai


seluruh materi seminar serta
upaya tindak lanjut dari oleh
pihak-pihak terkait

Moderator: Dr. Taufiq


Hidayat

19

16.50 17.00

Concluding Remarks

Dr. Dhani Herdiwijaya

20

17.00 17.15

Penutupan

Dr. Mahasena Putra


(Ketua Program Studi
Astronomi FMIPA- ITB)

21

17.15 17.30

Coffee Break

Foto Bersama

ix

Bentuk: 60 menit
diskusi +tanyajawab yang terbuka
untuk seluruh
peserta

DOKUMENTASI

Prof. Akhmaloka, PhD (Rektor ITB) memberikan sambutan sekaligus membuka acara Seminar
Pendidikan Astronomi

Dr. Karel A. van der Hucht (Leids-Kerkhoven-Bosscha Fonds) memberikan sambutan atas
penghargaan yang diberikan oleh Rektor ITB atas perannya dalam mendukung Astronomi di
Indonesia selama lebih dari 30 tahun

Dr. Moedji Raharto (Ketua KK Astronomi) menyampaikan laporan penyelenggara kegiatan


Peringatan 60 Tahun Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia

xi

Foto-Foto Tanya Jawab

xii

xiii

EDITORIAL
Peringatan 60 tahun Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia merupakan momen yang sangat
penting bagi Program Studi dan KK Astronomi ITB (disingkat AS-ITB) yang merupakan tempat
lahir dan berkembangnya pendidikan tinggi Astronomi di Indonesia. Sepuluh tahun yang lalu, pada
peringatan 50 tahun, sejarah dan awal mula perkembangan Astronomi di Indonesia telah digali dan
disarikan dalam buku kenangan yang terbit pada tahun 2001. Sejarah berharga ini menawarkan
refleksi yang sangat penting untuk membangun pondasi kokoh bagi perkembangan Astronomi
Indonesia saat ini.
Hingga saat ini AS-ITB, sebagai satu-satunya penyelenggara pendidikan tinggi Astronomi di
Indonesia, masih menjadi motor pendidikan Astronomi di kawasan regional Asia Tenggara. ASITB juga berperan aktif dalam kegiatan internasional misalnya dalam konferensi ilmiah, juga dalam
kerjasama dengan berbagai instansi internasional melalui pengiriman mahasiswa untuk melanjutkan
studi serta mengikuti summer school, maupun kunjungan dan kerjasama riset. AS-ITB juga turut
berperan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh International Astronomical Union (IAU), yang
merupakan wadah Astronomi internasional. Peran AS-ITB tidak terlepas dari peran Observatorium
Bosscha yang telah berdiri sejak tahun 1923. Observatorium Bosscha yang awalnya hanya dikenal
sebagai sebuah laboratorium tempat aktivitas penelitian Astronomi di Indonesia dilaksanakan, sejak
6 dekade lalu juga aktif dalam pendidikan tinggi Astronomi dan mendekatkan Astronomi ke
masyarakat luas.
Kendala mulai dirasakan ketika beban tugas semakin meningkat sementara sumber daya manusia
praktis tidak banyak berubah. AS-ITB sebagai salah satu penyelenggara program studi di perguruan
tinggi tentu saja memiliki tiga tanggung jawab utama, yaitu pendidikan program sarjana, magister
maupun doktor, penelitian dan pengabdian masyarakat. Meningkatnya minat masyarakat terhadap
Astronomi sepuluh tahun terakhir ini jelas merupakan berkah yang berlimpah bagi kelangsungan
AS-ITB, yaitu misalnya dengan bertambahnya jumlah mahasiswa AS-ITB. Namun, peningkatan
animo masyarakat tidak terbatas pada kalangan calon-calon mahasiswa tetapi juga masyarakat
umum dengan rentang usia dan rentang wilayah yang sangat luas. Peningkatan animo tersebut boleh
dibilang jauh melebihi harapan sehingga timbul kendala akibat masih kurangnya kesiapan AS-ITB
dalam mewadahi minat masyarakat tersebut. Tentu saja, dalam hal ini AS-ITB membutuhkan
kerjasama dengan berbagai pihak terkait, misalnya dengan pihak sekolah dasar hingga menengah di
jalur pendidikan formal.
Sejak tahun 2003, AS-ITB turut berperan dalam kegiatan olimpiade Astronomi internasional yang
diperuntukkan bagi siswa-siswi sekolah menengah. Sejak saat itu, pembinaan ilmu Astronomi di
lingkungan sekolah mulai berkembang. Prestasi membanggakan yang diraih para siswa-siswi
indonesia di ajang internasional memotivasi terselenggaranya olimpiade Astronomi di tingkat
1

nasional hingga akhirnya Astronomi menjadi salah satu cabang di olimpiade sains nasional (OSN).
Dengan adanya OSN, seleksi untuk ajang olimpiade Astronomi internasional menjadi lebih
terorganisasi. Namun, maraknya aktivitas olimpiade Astronomi di Indonesia juga menumbuhkan
kebutuhan akan tenaga pembina ilmu Astronomi di tingkat sekolah menengah di seluruh Indonesia
yang ternyata tidak mudah untuk dipenuhi. Hal ini sangat ironis, karena Astronomi Indonesia yang
merupakan motor di kawasan regional Asia Tenggara dan berperan aktif di kancah internasional,
ternyata memiliki persoalan besar di tingkat nasional. Tantangan ini memotivasi AS-ITB untuk
memanfaatkan momentum peringatan 60 tahun ini untuk mengajak semua pihak membenahi
pendidikan Astronomi di tingkat nasional, baik dalam tingkat dasar, menengah maupun di level
perguruan tinggi. Salah satu langkah yang harus segera diambil saat ini adalah membangun
komunikasi serta jaringan pendidikan Astronomi di Indonesia. Konteks pendidikan di sini tidak
hanya berupa pendidikan formal di bangku sekolah maupun perguruan tinggi, tetapi juga pendidikan
non formal, yaitu segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa Indonesia.
Keilmuan Astronomi telah lama dikenal di bumi nusantara dan salah satunya terwujud dalam
pembangunan candi-candi dengan legenda, yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Kemudian waktu mengubah sifat eksklusif yang mungkin hanya diketahui lingkar dalam pengaruh
kerajaan menjadi keperluan hajat orang awam, misalkan penentuan awal puasa Ramadan untuk
kalangan umat Muslim. Kelahiran Observatorium Bosscha tahun 1923 seolah menjadi pilar atau
pijakan baru untuk memasyarakatkan Astronomi. Institusi pendidikan tinggi Astronomi di Institut
Teknologi Bandung merupakan pijakan baru yang berdiri hampir tiga dasa warsa kemudian.
Astronomi secara keilmuan mengajarkan kita cara berpikir saintifik. Data dikumpulkan dan dapat
dipertanggungjawabkan, analisa dilakukan, kesimpulan diambil, dapat diuji dan harus terbuka untuk
dikembangkan, karena sains selalu bersifat progresif sesuai kemajuan daya pikir manusia. Bahkan
beberapa teori fisikapun didapatkan dari pengamatan Astronomi, dengan cara mengamati perilaku
benda langit dalam selang waktu yang sangat panjang. Teori gerak planet Kepler dan kemudiaan
teori gravitasi Newton diturunkan dari hasil pengamatan seperti ini. Oleh karena itu ilmu Astronomi
sangat baik diajarkan pada generasi muda, karena dapat membangun jiwa muda yang bertanggung
jawab dan jujur.
Dalam tingkatan sekolah menengah diberlakukan Kurikulum 2004 (KTSP) yang masih dipakai
sampai sekarang. Pelajaran Astronomi yang berakar kuat dengan pelajaran Fisika justru tidak lagi
berada dalam pelajaran Fisika, tetapi ada di pelajaran Geografi kelas X. Kompetensi Dasar minimal
(KD) yang dikehendaki adalah mendeskripsikan tata surya dan jagat raya. Dualisme penanggungjawab pelajaran Astronomi memberi dampak kepada guru-guru pengajar Astronomi, yaitu
pengajaran Astronomi yang terjadi di kelas menjadi berkurang kedalaman materinya ketika
disampaikan. Hal ini disebabkan penguasaan materi Astronomi di kalangan guru fisika dan guru
geografi pada umumnya masih sangat minim.

Di sisi lain, setiap tahun ajang kompetisi Olimpiade Sains Nasional selalu menuntut peserta didik
menguasai ilmu Astronomi, baik teori maupun praktek, cukup mendalam supaya dapat bersaing
dengan propinsi lain bahkan negara lain di tingkat dunia. Dengan melihat kenyataan yang terjadi di
sekolah ini, hanya segelintir siswa yang memiliki sarana yang tepat, pembina yang handal atau
situasi yang mendukung (termasuk motivasi yang kuat) yang dapat berkompetisi dengan baik sejak
dari tingkat Kota/Kabupaten sampai tingkat nasional. Artinya kesempatan berkompetisi di ajang
OSN Astronomi tidaklah sama untuk seluruh siswa SMA di Indonesia karena tidak meratanya
pengetahuan dan sarana pendukung pengetahuan keAstronomian di SMA seluruh Indonesia.
Jadi berbicara tentang penyelenggaraan pendidikan Astronomi di sekolah menengah sampai sekolah
dasar tidak terlepas dari kurikulum dan penyiapan atau pembinaan guru. Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) di Bandung berusaha untuk membekali para lulusan dengan pengetahuan dan
pemahaman tentang ilmu Astronomi, agar kelak mereka dapat menunaikan tugasnya dengan baik
manakala membahas materi Astronomi. Tetapi lebih dari itu ada pemikiran bahwa ada atau tidak ada
materi Astronomi di mata pelajaran fisika, mestinya kajian bidang Astronomi tetap harus diadakan
dalam kurikulum pendidikan fisika, karena rasanya kurang lengkap jika yang berukuran mikro
seperti atom dan interaksinya dibahas dengan cukup luas tetapi yang skalanya makro yaitu tentang
galaksi, tata surya dan jagat raya tidak dibahas, padahal hukum-hukum fisika berlaku umum,
termasuk dalam interaksi-interaksi antar benda-benda penyusun jagat raya. Dengan demikian para
guru memiliki wawasan yang lengkap dan setiap saat dapat menjelaskan berbagai kejadian di jagat
raya melalui proses analisis fisis.
Upaya perbaikan kurikulum yang mencakup pelajaran Astronomi telah dilakukan oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan. Pembelajaran materi Astronomi dalam kurikulum sekolah telah
berevolusi dengan berbagai model, antara lain menjadi pelajaran tersendiri, masuk ke dalam mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA), dan menjadi bagian mata pelajaran IPAFisika. Dalam draft penyempurnaan Standar Isi edisi terbaru, materi Astronomi menjadi bagian mata
pelajaran IPA. Materi Astronomi tersebut pada tingkat SD/MI dikemas dalam topik Bumi dan Alam
Semesta dan disajikan secara spiral; untuk SMP/MTs dikemas dalam topik Tata Surya dan disajikan
secara blok pada semester 2 kelas IX; dan diintegrasikan dalam mata pelajaran Fisika sebagai aspek
terapan pada tingkat SMA/MA.
Banyaknya artikel yang muncul dalam media publik (cetak maupun elektronik) tentang beragam
objek maupun fenomena Astronomis dapat dijadikan indikator bahwa Astronomi termasuk cabang
sains yang paling populer. Walaupun demikian, bagaimana cara berpikir saintifik yang dapat
diperkenalkan oleh Astronomi belum banyak mengena dalam kultur berpikir masyarakat dunia,
termasuk masyarakat Indonesia.
Di Indonesia sendiri Astronomi masih lebih banyak dipersepsi sebagai ilmu pengetahuan alam
ekstra (seperti hidangan penutup yang manis, yang menyenangkan jika ada tapi tak membuat orang
kekurangan gizi jika tak tersedia), bukannya ilmu pengetahuan alam dasar. Oleh karena itu amat

jarang ditemukan Astronomi mendapatkan tempat dalam kurikulum sebagai ilmu alam dasar sejajar
dengan fisika, kimia, dan biologi dalam jalur pendidikan formal. Yang dimaksud dengan kurikulum
di sini adalah kurikulum dalam arti luas, yakni alokasi, persiapan substansi dan perangkat ajar
termasuk perangkat evaluasi, dan tentu saja persiapan pengajarnya.
Kesenangan masyarakat akan Astronomi membuka peluang untuk jalur pendidikan informal
diciptakan dan dikembangkan, dan dalam banyak aspek telah dapat mengkompensasi rendahnya
eksistensi Astronomi pada jalur pendidikan formal. Institusi-institusi yang relevan dengan
Astronomi seperti Observatorium Bosscha dan LAPAN menyediakan program pendidikan publik
yang terorganisir dengan baik; Planetarium Jakarta telah puluhan tahun diandalkan sebagai tempat
publik menjadi aware tentang alam raya; serta berbagai establishment baru yang bermunculan untuk
berkarya dalam pendidikan Astronomi untuk publik. Banyak sekolah, terutama di kota-kota besar,
menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler yang memasukkan Astronomi dalam agendanya.
Kegiatan ekstrakurikuler ini mendapatkan banyak dukungan dari forum-forum keastronomian
seperti Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Himpunan Mahasiswa Astronomi Institut Teknologi
Bandung, LangitSelatan, dan Universe Awareness. Forum-forum ini juga bergerak dalam lapangan
pendidikan yang independen terhadap kurikulum, dan acapkali ini lebih dapat diterima dengan
meluas, menembus berbagai lapisan artifisial masyarakat. Belakangan ini LIPI pun menyediakan
agenda dan pos dalam strukturnya untuk menopang kegiatan ekstrakurikuler sains. Selain itu,
terdapat juga pusat-pusat peraga ilmu pengetahuan dan teknologi (puspitek), misalnya Graha
Teknologi Sriwijaya di Palembang yang memiliki perhatian besar terhadap popularisasi Astronomi
di Indonesia.
Semakin jelasnya Astronomi dalam keperluan spesifik seperti penentuan waktu ibadah dan hari raya
keagamaan telah juga menggugah minat masyrakat dalam Astronomi, dan juga menggiatkan gerak
forum-forum baru dalam pengamatan Astronomi maupun pendidikan publik yang relevan dengan
keperluannya. Namun perlu diakui bahwa tak semua komponen pendidikan sains dapat diwujudkan
dalam menu pendidikan informal. Tiap institusi dan forum menawarkan eskposisi utama yang khas
dengan kapasitas layanan masing-masing. Pertemuan ini merupakan salah satu usaha untuk dapat
saling mengidentifikasi sektor layanan pendidikan maupuan lahan layanan institusi dan forum
terkait. Pengenalan ini penting untuk dapat menyelaraskan arah maupun pelaksanaan pendidikan
informal Astronomi dan juga untuk dapat terus membuat usaha dalam aspek ini sebagai komplemen
positif dalam pendidikan formal Astronomi pada khususnya, dan pendidikan berpikir rasional
secara umum.

Artikel Pembicara Undangan

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 7 11, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

ASTRONOMY FOR DEVELOPMENT


KEVINDRAN GOVENDER
International Astronomical Union Global Office of Astronomy for Development, Cape Town, South Africa
kg@astro4dev.org

Abstract. The International Astronomical Union (IAU) has developed a decadal


strategic plan entitled "Astronomy for the Developing World". In order to
implement this plan, the IAU has established a global Office of Astronomy for
Development (OAD). South Africa bid in 2010 to host this office and was selected
as the host country, with the South African Astronomical Observatory, being
selected as the host institute. With strong support from the South African
Department of Science and Technology and the National Research Foundation, the
OAD began its work on 1st March 2011. This paper will describe the history and
implications of the Office and its basic implementation plan moving into the future.
The intention of this paper is to invite discussion about ways in which the IAU OAD
could assist with the development of astronomy in Indonesia.
Keywords: astronomy, development, education, schools, university, public

1.

Introduction
The International Astronomical Union (IAU) has,
over many decades, engaged in activities related to
education and development. This has mainly been
through its Commission 46. In recent years, especially
surrounding the International Year of Astronomy
(IYA2009), the IAU has become increasingly
involved in the public understanding of astronomy
through its Commission 55. Much of these activities
were conducted in developing countries in order to
stimulate and utilize the field of astronomy for
education and development.
In January 2008 the IAU called together a group
of stakeholders from across the world to help develop
a decadal strategic plan entitled "Astronomy for the
Developing World"[1]. This plan then went through
an extensive process of consultation and was endorsed
by the General Assembly of the IAU in Rio de Janeiro
in August 2009. It builds on the momentum of the
very successful IYA2009. The intention is to use
astronomy to stimulate development in all regions of
the world. Central to the implementation of the plan is
the creation of a Global Office of Astronomy for
Development" (OAD).
2.

Who is the IAU?


The IAU was founded in 1919 and its mission is
to promote and safeguard the science of astronomy in
all its aspects through international cooperation. The
membership of the IAU comprises mainly
professional astronomers from all over the world
over 10000 individual members in 90 countries. The
scientific and educational activities of the IAU are
organized in Divisions, Commissions, Working
Groups and Programme Groups, with a secretariat

hosted by the Institut d'Astrophysique de Paris in


France.[2]
The IAU, in partnership with UNESCO, was also
the main coordinator of the International Year of
Astronomy 2009 (IYA2009). With strong backing
from the IAUs Commission 55 (the Commission
responsible for Communicating Astronomy to the
Public), the IAU led an international team of
thousands of volunteers to conduct global activities in
one of the biggest science outreach events ever.
The IAUs Commission 46 is responsible for
astronomy education and development. The various
Programme Groups (PGs) of this Commission work
together to optimize the impact of astronomy for
development and are briefly described here:
a) Worldwide
Development
of
Astronomy
(WWDA): This PG is usually responsible for first
contact with a target country and takes the form
of visits to institutions that have the potential to
develop astronomy in their country. Depending
on the reports produced, these visits would then
be followed up by other activities of Commission
46 PGs.
b) International Schools for Young Astronomers
(ISYA): This highly effective regional astronomy
school for tertiary level students is designed for
maximum contact between lecturers and students.
Currently one school (of duration 2 to 3 weeks) is
held every year in different parts of the world.
c) Teaching Astronomy for Development (TAD):
The TAD programme usually (but not
necessarily) follows a WWDA activity and takes
the form of a more intensive intervention to
develop astronomy in the country/region.

K. Govender

d) Network for Astronomy School Education


(NASE): This youngest PG aims at training
primary and secondary teachers on astronomy and
related topics. The activities take the form of
intensive teacher workshops and establishment of
regional networks.
e) Collaborative Programmes (CP): This working
group deals specifically with activities cosponsored by various organisations such as
UNESCO, COSPAR, UN, ICSU, etc.
f) Commission Newsletter & National Liaisons
(CNNL): There is a regular newsletter that goes
out to IAU membership and beyond. These are
used as a valuable communication channel for
issues relating to Commission 46.
g) Public Understanding at the Times of Solar
Eclipses and Transits Phenomena: This PG offers
information and advice to countries before and
during an eclipse or transit event.
The IAU Strategic Plan Astronomy for the
Developing World [1]
The vision of the IAU strategic plan reads as
follows:
All countries will participate at some level in
international astronomical research.
All children throughout the world will be exposed
to knowledge about astronomy and the Universe.
Following from this, the goals are described as:
Raising the level of astronomy development in as
many countries as possible, so as to maximize the
size of the population reached.
Working to include aspects of astronomy as aids to
the primary and secondary education of as many
children as possible.
Although this plan, from its title, may appear to be
directed solely at the developing world, its ambition
reaches out to every country. Astronomy development
has several elements as indicated in Figure 1. In order
to impact maximally on a country or region, all
elements should be taken into account in some way.
There are no countries in the world where some
degree of improvement would not be welcome.
3.

Figure 1. Elements of Astronomy


Development [1]

Figure 2. Astronomy Research


Development by Region [1]

Figure 2 is an assessment of the state of research


level astronomy across the world. A similar exercise
for school level education and one for public
understanding of astronomy is currently not available.
However, it is a reasonable assumption, based on the
progressive nature of education, that such plots for
school education and public understanding of
astronomy would follow similar trends to those in
Figure 2. A glaring area of underdevelopment is SubSaharan Africa and has been identified as a focus area
for the IAU.
The strategic plan has two significant components
which will be essential for realising global
developmental impact. One is the establishment of
regional nodes which would coordinate activities on a
regional basis and thus be more informed and
effective. The second is the establishment of three
sector task forces: (i) Astronomy for Universities; (ii)
Astronomy for Schools, and (iii) Astronomy for the
Public. These structures will be populated by paid
employees where possible, but mainly by volunteers
from the IAU membership and beyond (educators,
students, postdocs, amateur astronomers, etc.)
At the heart of the IAU strategic plan is the
establishment of a central coordinating office which
will facilitate the envisaged activities. This office
would not only be charged with the task of growing
the astronomy field but also, and just as significant, to
find ways of using astronomy as a tool for global
development. This office is the IAUs Global Office
of Astronomy for Development (OAD).
4.

Establishing the OAD:


In October 2009, very soon after the ratification
of the Strategic Plan at the General Assembly, the
IAU issued an Announcement of Opportunity for
countries and institutions to host the OAD. Following
numerous Expressions of Interest there were full
proposals submitted from all over the world. These
were evaluated by the IAU Executive Committee in
May 2010 and an announcement of the selected host
was made that same month. The IAU had chosen
South Africa as the host country for the OAD and the
South African Astronomical Observatory (SAAO), a
facility of the National Research Foundation (NRF),
as the host institution. After a period of negotiation an
agreement was signed between the IAU and the NRF
on 30th July 2010.

Astronomy for Development

Almost immediately thereafter an international


search committee was formed to find a director for the
OAD. In November 2010 interviews were held in
Cape Town and Kevin Govender was selected as the
first OAD Director, to take up the position from 1st
March 2011. In the meantime a steering committee
was formed for the OAD with 3 nominees from each
of the 2 partners (IAU and NRF). The first OAD
steering committee consisted of George Miley (Chair),
Khotso Mokhele (Vice Chair), Kaz Sekiguchi, Claude
Carignan, Megan Donahue and Patricia Whitelock.
The first face-to-face meeting of this Steering
Committee was held from 16 to 17 April 2011,
following the official launch of the OAD by the South
African Minister of Science and Technology, Naledi
Pandor. It was then left to the director to appoint the
other two full time staff members (Project Officer and
Administrative Assistant) according to the agreed
budget.
It is important to note here some of the reasons
behind the selection of South Africa as the host
country for the OAD, as understood by the author.
Firstly South Africa has an incredibly strong vision
towards Science and Technology. This is strongly
emphasized in the famous South African policy paper
from 1996 [3]:
Scientific endeavour is not purely utilitarian in its
objectives and has important associated cultural and
social values Not to offer flagship sciences (such
as physics and astronomy) would be to take a negative
view of our future - the view that we are a second
class nation, chained forever to the treadmill of
feeding and clothing ourselves.
South Africa also has a very strong astronomy
community in research, education and public
outreach. The proposed site was a well established
observatory dating back to the early 1800s and
currently the host institution of one of the largest,
most modern telescopes in the world, the Southern
African Large Telescope (SALT). The South African
education and outreach community (mathematics,
science, engineering and technology) is notably large,
with science centres, non-profit organizations and
research facility outreach departments forming a
strong coherent force against science illiteracy. South
Africa also has a track record of development
activities e.g. developing astronomy in other African
countries and coordinating the Developing
Astronomy Globally Cornerstone project of
IYA2009. This experience is invaluable as SubSaharan Africa was identified as a focus area in the
IAU Strategic Plan. South Africa tends to be the ideal
bridge for North-South collaborations since it has a
healthy economy while still facing many challenges in
terms of poverty and education. Finally, the
governmental support from South Africa has been
exemplary both in terms of monetary contributions to
the OAD as well as in vocal support.

5.

The OAD Implementation Plan


The OAD sets out to realize a simple, yet
profound vision: Astronomy for a better world! Its
mission statement: To help further the use of
astronomy as a tool for development by mobilizing the
human and financial resources necessary in order to
realize its scientific, technological and cultural
benefits to society.
In order to achieve this rather large vision and
mission the OAD needs to function fundamentally as a
strategic coordinating centre. As such it is guided by a
few overarching principles. Firstly it must adopt a
regional approach. It is recognised that there will be
different ways of dealing with different regions and
countries of the world. There is no single approach
that can be applied globally. Therefore the OAD
development activities must take into account the
specific needs and situation of each region and
country. Following from this the OAD should be
bottom-up. Activities should be demand driven.
Every effort must be made to obtain input from people
on the ground and establish close working
relationships with them. Interventions should be made
only with the support and involvement of those
people.
The OAD needs to be innovative: where relevant,
activities should explore innovative optimisation
techniques, from new technology to peer reviewed
best practice. These may include novel outreach
methods, data mining for research, robotic telescopes,
mobile planetaria etc. All the while the focus should
remain on development. The OAD should as far as
possible contribute towards Millennium Development
Goals and other international development objectives,
thus realising the mission of astronomy for
development.
The principle of transparency will be vital. The
OAD must subject itself and its activities to scrutiny
from its funders and beneficiaries alike. All activities
should be transparent and outcomes should be
measured and evaluated, with results being publicly
accessible. At the same time it is important to be
dynamic. Structures and projects should remain as
dynamic as possible due to the envisaged growth and
constantly changing developmental environment. As
new regions strengthen, the OAD needs to adapt to
accommodate them. Above all, the OAD should be
humble. There should be due recognition of the vast
pool of experience and skills in the field and every
attempt should be made to build on those strengths.
The OAD should not try to reinvent activities which
have already been developed, but rather help to
optimize them for maximum benefit to society.
Role of the OAD:
The role of the OAD is fundamentally that of a
strategic coordinating centre. In order to carry out its
mission the OAD will play several roles relating to
this. Primarily the OAD was set up to implement the

10

K. Govender

IAU Strategic Plan (SP), which in itself is a living


document and provides the broad guidelines in terms
of realising developmental benefits from astronomy.
The OAD, guided by the SP and a global view of
development activities, will provide strategic advice
where needed to individuals and organisations
involved in similar activities. As such the OAD should
be the first port of call for development activities
using astronomy. It will also coordinate and facilitate
global activities in line with its mission. Such efforts
do not imply carrying out activities on the ground but
rather sourcing partners or volunteers and providing
them with the contacts, assistance and guidance
necessary for them to implement a project. In terms of
projects, the OAD will seek to acquire or assist in the
acquiring of funding and infrastructure as required by
itself and its partners. There may also be specific
developmental projects which will be managed and
administered by the OAD team.
The OAD will carry out several tasks in order to
fulfill its mission. The list of tasks will evolve as the
OAD gathers momentum and receives input from
partners. However, there are 5 important tasks that
need to be given priority:
i.

ii.

iii.

Obtaining input from stakeholders: Besides


electronic communication with stakeholders,
the OAD will organize a major workshop in
late 2011 to obtain input on the implementation
of the SP. The workshop will bring together
organisations and persons interested in
contributing to the implementation of the SP.
Participants will include representatives of IAU
Commissions 46 and 55 and other astronomyfor-development activities. Other key players
that will be invited are representatives of
organisations interested in contributing as
regional nodes or as partners in other ways.
Increasing the number of volunteers: During
2011 and before the workshop, a questionnaire
will be sent to all IAU members by the OAD
jointly with the IAU Office, asking them if they
would be willing to participate in development
activities and if so, to specify their expertise,
languages etc. They will also be asked to
nominate interested postdocs and other nonIAU members (e.g. teachers) with relevant
expertise, who could contribute usefully to the
implementation of the SP. Expatriate
volunteers will be given special attention. It is
envisaged that a similar call for interest will be
submitted to other possible contributors, e.g.
IYA SPOCS, amateur astronomers etc.
Establishing the Task Forces: It is hoped to
establish the Task Forces during late 2011 and
early 2012, taking account of the expected
number of volunteers (questionnaires and the
workshop), their expertise and the available
funding. It is envisaged that the Task Forces
and their activity groups will be substantially

iv.

v.

larger than the existing PGs. Setting up these


task forces will be carried out in close
consultation with representatives of the existing
relevant activities (e.g. Chairs of Commission
46 PGs). The organisational structure of the
Task Forces will be a subject for discussion at
the workshop.
Establishing regional nodes: It is envisaged
that following the OAD workshop, an
Announcement of Opportunity for regional
nodes will be issued, taking account of the
input received.
Fundraising: During 2011, the OAD will
investigate possible sources of funding, draw
up a prioritized fund raising plan for 2012
2013 and publish a prospectus for fund-givers,
based on an updated version of the Strategic
Plan.

The structure of the OAD is given in Figure 3. The


OAD Steering Committee oversees all activities of the
OAD. The OAD in turn is in direct contact with the
regional nodes and the sector task forces. Within these
task forces, and in consultation/partnership with the
respective regional nodes, specific projects will be
implemented by volunteers.

Figure 3. Structure of the OAD

Currently this structure is not yet in place. The


present IAU development activities are organised in
Commission 46 PGs. In transitioning to the global
task forces envisaged in the SP, it is recognised that
certain activities will continue with very much the
same structure, such as the highly successful ISYA
program. An important additional element however,
will be enlarging the number of volunteers involved in
the activities.
The SP foresees that during the coming decade
there will be a substantial expansion of programs, and
funding, together with a large increase in the number
of volunteers. Building on the IYA2009 model, the
focus will be on a demand-driven coherent mix of
sustainable activities.
According to the SP, the strategy for each of these
task forces will be determined by agreement between
the task force, the OAD and the regional coordinators,

Astronomy for Development

or the relevant institutes or authorities. In accordance


with the IYA2009 model, the activities will be
bottom-up and demand-driven by the regions, with
large task forces providing the necessary global
expertise. In this way the outstanding record of
achievement built up over the years by the PGs and
other astronomy-for-development programmes will be
complemented by the hugely successful IYA2009
philosophy and strong support from the OAD.
6.

Summary or Conclusions
The OAD has set out with an ambitious vision
and a solid plan to achieve it. However, the first year
of the existence of the OAD will be a learning
experience. While being pragmatic in implementing
the details of the SP, the general goal is to mobilize a
substantially larger number of volunteers to carry out
activities that are demand-driven by the needs of
target countries (IYA2009-style) and have an effect
that is sustainable over a long time period.
The word has gone out to the world via the OAD
website [4] calling for volunteers and support. The
next major event will be the OAD Stakeholders
Workshop from 12-14 December 2011 in Cape Town,
South Africa. At this workshop the future of the OAD
will be shaped and input will be sought from as many
concerned parties as possible. Following this event the
OAD will provide feedback to the IAU membership at
the IAU General Assembly in August 2012, in the
form of a special session, an exhibition, and available
staff for discussion. All readers are invited to contact
the author in order to discuss the contents of this
paper, especially with regard to the development of
astronomy in Indonesia.
Acknowledgment
I would like to thank the local organizers for inviting
me to share information about the OAD and look
forward to working with them and others to further the
development of astronomy in Indonesia.
References
[1] http://iau.org/static/education/strategicplan_09100
1.pdf
[2] http://www.iau.org/about/
[3] White Paper on Science and Technology
Preparing for the 21st Century, Department of
Arts, Culture, Science and Technology, 1996
[4] http://www.astronomyfordevelopment.org

11

Discussion
Question: In most countries, especially in Indonesia,
religion has become an important part in daily life.
Some aspects of science, especially astronomy, has
been applicable in some religious affairs. However,
many disagreements remain between science and
religious believe and which is very inconvenient.
What can we do about this?
Answer: It is not unusual to come across such
disagreements. However, science and religion are not
at war and one is not trying to disprove the other they can quite easily co-exist and there are many
religious scientists who have found that balance.
There is also no harm in observing and discovering the
beautiful universe through science, no matter how
religious you are. As we learn more we start to realize
how much greater this Universe is than we had
previously imagined. To a religious person this means
that exploring the Universe through science can show
them how much greater their God is than they had
previously imagined. On the other hand there are still
many unanswered questions in science. What is Dark
Matter? What is Dark Energy? What came before the
Big Bang? Until we are able to explore those
questions scientifically many people may use their
religions to provide those answers. If we think about
it, this has been the human approach for centuries
since the days when we thought the earth was flat.
Question: People from the astronomy society always
said that astronomy is an important knowledge. It is,
however, difficult to appreciate the important of
astronomy since its application is not closely related to
daily life, in a sense that it cannot solve daily life
problems like economic and environmental problems.
How can we appreciate astronomy as an important
knowledge that closely related to our daily life.
Answer: Actually astronomy is related to our every
part of life because learning astronomy changes our
perspective about life and how to live. Astronomy also
trains people to solve problems, and these problem
solving skills can be applied to any challenges we face
in the world today including those relating to
development. Tides, seasons, day and night, the
effects of the Sun are some other examples closely
related to daily life and understanding these things is
essential for the life we live today. It is also important
to make people realize how important astronomy is as
a gateway science, in other words astronomy is a way
of attracting young people into maths and science
careers - and these careers are essential for a country's
development.

12

Foto presentasi Dr. Kevin Govender (Office of Astronomy for Development, International Astronomical Union).

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 13 18, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

SEJARAH PENDIDIKAN TINGGI ASTRONOMI DI INDONESIA


SUHARDJA D. WIRAMIHARDJA
Kelompok Keahlian Astronomi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung
suhardja@as.itb.ac.id
Abstrak. Peringatan 60 tahun pendidikan tinggi astronomi di Indonesia merupakan
saat yang tepat untuk sejenak melihat perkembangan yang telah dicapai hingga saat
ini serta peluang peningkatan ke depan. Tentu saja capaian masa kini tidak terlepas
dari peran para pendahulu yang luar biasa dan tidak boleh dilupakan. Pada artikel
ini, sejarah pendidikan tinggi astronomi di Indonesia akan kembali diceritakan tidak
saja sebagai penghormatan bagi pari pendahulu tetapi terutama untuk menginspirasi
generasi muda, khususnya para astronom dan pemerhati astronomi di Indonesia.
Dengan kekayaan pengalaman selama 60 tahun, kami yakin insan astronomi dapat
mempersembahkan sesuatu yang lebih baik lagi kepada bangsa dan negara. Masih
banyak yang harus dilakukan, dan tidak akan habis-habisnya. Karena manusia akan
bertanya terus.
Kata Kunci: pendidikan tinggi astronomi, sejarah

1. Pendahuluan
Bulan ini genap enam puluh tahun usia pendidikan
tinggi astronomi di Indonesia. Enam puluh tahun bisa
disebut sangat pendek kalau dibandingkan dengan usia
alam semesta, namun bisa juga menjadi sebuah angka
yang istimewa. Hanya enam tahun lebih muda
daripada usia Republik Indonesia, dan yang
membanggakan juga berarti delapan tahun lebih tua
daripada Institut Teknologi Bandung yang sekarang
menjadi ibunya. Mengenai astronomi itu sendiri, tidak
diragukan lagi setiap orang tahu bahwa secara
universal, astronomi adalah salah satu ilmu yang
paling tua, dan hal ini ternyata berlaku pula dalam
pendidikan astronomi di Indonesia.
Semua ini
barangkali tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa
astronomi memang penuh dengan fantasi. Keindahan
astronomi, pada satu sisi, berasal dari fakta bahwa
sains astronomi berhadapan dengan pertanyaan yang
paling mendasar tentang apa hakekat dan asal jagat
raya, dan benda-benda yang ada di dalamnya, seperti
planet, bintang, galaksi, bahkan diri kita sendiri
pertanyaan yang telah memunculkan rasa penasaran
umat manusia sejak fajar sejarah.
2. Awal Pendidikan Tinggi Astronomi
Terus terang, sesungguhnya agak sulit menulis
sesuatu yang belum biasa saya lakukan seperti judul
tulisan di atas ini. Tetapi, terimakasih kepada para
founding fathers astronomi di Indonesia yang telah
mendokumentasikan pengalaman, perjalanan, kiprah
dan pengetahuannya dalam menjalani masa-masa
awal, tahun-tahun yang sulit sampai dengan tetap
ajegnya pendidikan tinggi astronomi seperti yang kita
lihat dan rasakan sekarang ini.
Untuk diketahui, sebagian besar isi tulisan ini
merupakan rangkuman makalah dari
Buku

Kenangan 50 Tahun Pendidikan Tinggi Astronomi di


Indonesia 1951-2001 yang disunting oleh Hidayat et
al (2001), dan sebagian lagi berasal dari beberapa
sumber yang lain. Di situ disebutkan, mengutip buku
Penerangan tentang Pelajaran yang diterbitkan oleh
Fakulteit van Wiskunde en Natuurwetenschap te
Bandung dalam bulan Mei 1951, bahwa kuliah
astronomi telah ada dengan nama Ilmu Bintang
(sterrenkunde) yang diberikan oleh Dr. G.B. van
Albada dan Dr. Elsa van Dien. Keduanya adalah
astronom Belanda yang bekerja untuk Observatorium
Bosscha. Sebelumnya, tahun 1949, astronomi
diajarkan oleh Dr. C.H. Hins, yang saat itu menjabat
sebagai Direktur Observatorium Bosscha. Dalam pada
itu unit yang sekarang kita kenal sebagai Program
Studi Astronomi lahir melalui proses yang panjang,
dan tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari sejarah
fakultas yang sekarang menjadi FMIPA-ITB. Sebagai
bagian
dari
Fakulteit
van
Wiskunde
en
Natuurwetenschap te Bandung saat itu, maka tanggal
resmi berdirinya Vak Astronomi atau Bagian
Astronomi mestinya bersamaan dengan berdirinya
Fakulteit van Wiskunde en Natuurwetenschap te
Bandung yaitu tanggal 6 Oktober 1947. Akan tetapi,
berdasarkan kesepakatan di Departemen Astronomi
awal tahun 2000-an, diputuskan bahwa tanggal 18
Oktober 1951 merupakan tanggal mulai pendidikan
tinggi astronomi di Indonesia. Tanggal ini diambil
berdasarkan dua peristiwa penting yaitu, pertama
pengukuhan Dr. G.B. van Albada sebagai Mahaguru
Astronomi yang pertama di Fakulteit Ilmu Pasti dan
Ilmu Alam, Universiteit van de Republik Indonesia
Serikat, pada tanggal 18 Oktober 1951. Radiman
(2001) mengungkapkan, van Albada dalam pidato
pengukuhannya sebagai Mahaguru mengemukakan
suatu istilah yang penting yaitu tentang benda sangatsangat kecil yang diberi nama oeratom, yang berarti

14

S. D. Wiramihardja

benda padat yang massa dan temperaturnya tak


hingga. Kenapa penting? Tidak lain, menurut Ibrahim
(2001) karena istilah oeratom ini sesungguhnya
mencerminkan dukungan van Albada terhadap teori
Big Bang yang saat itu masih belum banyak diterima
orang. Alasan kedua, kenapa tanggal tersebut di atas
yang
diambil, karena pada hari yang sama
Observatorium Bosscha diserahkan dari Perhimpunan
Ilmu Bintang Hindia Belanda (Nederlands-Indische
Sterrenkundige Vereeniging) kepada Pemerintah
Republik Indonesia, dan dalam hal ini diterima oleh
Fakulteit Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Peristiwa ini tidak
terlepas dari perhatian serius Dekan Fakultas Ilmu
Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA), Universitas Indonesia
waktu itu, Prof. M. Th. Leeman. Sebagai Dekan, ia
dapat melakukan pengaturan yang diperlukan untuk
menimbang-terimakan sebuah observatorium dari
institusi swasta kepada lingkungan universitas
(Hidayat, 2001).
Peristiwa ini sekaligus menandai dimulainya
asosiasi Observatorium Bosscha dengan universitas
yang tidak hanya akan menjamin pasokan astronom,
tetapi juga memungkinkan astronomi diperkenalkan
ke dalam kurikulum fisika di universitas. Untuk
pertama kalinya bahwa Indonesia memasukkan
kurikulum astronomi ke dalam tingkat pendidikan
tertier. Sebelum itu astronomi hanya diajarkan pada
tingkat
sekolah
menengah
dengan
nama
Cosmography, dengan menggunakan buku teks
klasik karangan Visser atau Raymond sebagai acuan
untuk seluruh Indonesia. Model pendidikan astronomi
mengikuti sistem universitas di Belanda, yaitu pada
tiga tahun pertama lebih banyak mata kuliah dalam
bidang fisika dan matematika yang diberikan dan
hanya sedikit saja dari bidang astronomi. Setelah lulus
dalam fasa tiga tahun pertama ini mahasiswa mulai
menggeluti kuliah astronomi yang sesungguhnya. Fasa
akhir studinya biasanya diselesaikan dalam waktu dua
atau dua setengah tahun dan diberi gelar Drs (The,
2001). Menyadari posisi Observatorium Bosscha yang
agak terisolasi dan ilmu astronomi di Indonesia yang
masih dalam tahap awal, sarjana baru diharapkan
mengejar pendidikan yang lebih tinggi di luar negeri.
Program ini memungkinkan astronom muda
mempunyai pengalaman berhubungan dengan
lingkungan astronomi yang lebih luas.
Pendidikan dan pengajaran astronomi di ITB ini
bertujuan untuk mempersiapkan sarjana-sarjana
astronomi yang diharapkan dapat ikut menunjang
pengembangan astronomi, dan cabang-cabang
keilmuan yang berkaitan dengannya. Fasilitas
pengamatan, instrumen pembantu, serta perpustakaan
yang lengkap dan mutakhir, yang mendukung tujuan
tersebut saat itu terkumpul di Observatorium Bosscha.
Pada masa awal sampai pertengahan tahun 1980-an
jumlah astronom masih dapat dihitung dengan jari,
yang berarti spesialisasi dalam cabang astronominya
sangat terbatas. Staf akademik di Jurusan Astronomi
dan/atau Observatorium Bosscha pada umumnya

tergolong ke dalam dua grup, yaitu grup teoritis dan


pengamatan.
Sekarang disiplin di atas telah berkembang dan
bertambah. Pengembaraan dan penyelidikan angkasa
luar serta penelitian matahari memerlukan astronom
yang spesialis dalam lapangan ini dalam jumlah yang
tidak sedikit. Sementara itu banyak lembaga
pendidikan tinggi dan menengah juga membutuhkan
tenaga astronom untuk menunjang kegiatan
pendidikan. Telaah teoritis dan pengamatan yang
melibatkan penelitian untuk masalah-masalah
mutakhir juga terangkum dalam pengembangan ini.
Sampai saat ini pendidikan formal astronomi di
Indonesia masih hanya di ITB. Upaya untuk
mendorong lahirnya
sentra-sentra
pendidikan
astronomi di tempat lain telah dilakukan sejak
pertengahan 1980-an sampai sekarang, dimulai dalam
bentuk mata kuliah pilihan di Prodi Fisika Perguruan
Tinggi lain. Saat ini sudah beberapa orang alumni
Astronomi yang bekerja sebagai dosen di Prodi Fisika
di luar ITB. Begitu juga alumni astronomi yang baik
didorong untuk mendapatkan posisi sebagai
peneliti/pengajar di sentra-sentra tadi, sehingga bisa
diharapkan critical mass bisa dicapai dengan lebih
cepat. Dengan critical mass tersebut keinginan untuk
dibangunnya fasilitas penelitian yang advanced akan
mendapatkan tambahan justifikasi.
3. Peranan Observatorium Bosscha
Sebenarnya sebagai bidang kajian atau penelitian,
astronomi telah ada jauh sebelum dimulainya
pendidikan tinggi astronomi, yaitu sejak berdirinya
Observatorium Bosscha di Lembang pada tahun 1923
yang menandai awal dari era astronomi modern di
Indonesia. Astronomi dan/atau pendidikan tinggi
astronomi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
eksistensi
Observatorium
Bosscha.
Teleskop
pertamanya saat itu, sebuah Double Refractor Zeiss
berdiameter 60 cm, mulai beroperasi pada tahun 1928.
Instrumen utama ini digunakan khususnya untuk
pengamatan visual dan fotografik bintang ganda.
Sejak pendiriannya Observatorium Bosscha sangat
terkenal dengan pekerjaan bintang kembarnya.
Penelitian bintang ganda ini tetap berlangsung setelah
observatorium ini diserahkan kepada Pemerintah
Indonesia dibawah administrasi ITB. Saat itu biasanya
skripsi mahasiswa merupakan bagian dari program
penelitian di Observatorium Bosscha.
Selain untuk pengamatan bintang ganda, pada saatsaat tertentu, teleskop Double Refractor Zeiss ini pun
sering digunakan untuk pengamatan planet Mars saat
fasa oposisi, baik oleh astronom Indonesia sendiri mau
pun bersama astronom tamu dari luar negeri. Karena
posisi geografisnya yang menguntungkan, sebelum
masa
penjelajahan
angkasa
luar
dimulai,
Observatorium Bosscha terlibat dalam pengamatan
oposisi Mars tahun 1954 dan 1956, dan tahun 1970-an
bersama astronom dari The Lunar and Planetary
Laboratory, Arizona, Amerika Serikat. Kemudian
pengamatan setiap oposisi Mars sejak tahun 1986

Sejarah Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia

sampai tahun 1994, dilakukan bersama dengan


astronom Jepang dari Kyoto University.
Saya tidak akan berbicara banyak mengenai
Observatorium Bosscha ini karena Dr. Hakim L.
Malasan akan memaparkannya dalam beberapa menit
ke depan.
4. Kerjasama Internasional
Dengan sifat hakikinya yang universal, kerjasama
internasional sudah menjadi ciri utama dari komunitas
astronomi. Mereka yang memilih riset sebagai jalan
hidupnya, akan merasakan bahwa sikap setia-kawan
antar astronom dan antar disiplin sangat diperlukan.
Karena sejarahnya Observatorium Bosscha dan
Program Studi Astronomi mempunyai kemampuan
untuk mengejawantahkannya. Hubungan erat dengan
lembaga-lembaga sejenisnya di luar negeri merupakan
hal yang dibina sejak semula. Kerjasama yang sangat
historis yang sudah berlangsung sangat lama adalah
dengan Belanda dalam payung Indonesia-Netherland
Association (Hidayat 1994). Contoh lain dari
kerjasama internasional adalah hubungan antara
Indonesia dan Jepang yang dimulai tahun 1978 dalam
program Japan Society for Promotion of Sciences
yang telah membuahkan banyak hasil (Kogure dan
Hidayat 1985, Ishida dan Hidayat 1989, dan Ishida
dan Hidayat 1993). Keberhasilan kerjasama dengan
Jepang yang monumental ini, baik untuk Astronomi
sendiri maupun untuk ITB secara keseluruhan, tidak
bisa lepas dari upaya Prof. B. Hidayat, Dr. Y. Ibrahim,
dan Prof. W. Sutantyo (Alm), dengan perannya
masing-masing.
Kerjasama
antara
ITB
dengan
Gunma
Astronomical Observatory telah dimulai sejak awal
milenium ini, dimotori oleh Dr. Hakim L. Malasan.
Programnya mencakup pertukaran astronom muda,
penelitian, dan penyelenggaraan seminar bersama.
South-East
Asean
Astronomical
Network
(SEAAN) adalah kerjasama negara di kawasan Asia
Tenggara yang melibatkan sebagian besar negara
Asean dalam bidang astronomi. Dalam kerangka
kerjasama SEAAN ini telah diselenggarakan tiga kali
konferensi. Yang pertama di Bangkok tahun 2007, dan
yang kedua di Manila Pebruari 2010, dan yang ketiga
di Chiang Mai Juli 2011 yang lalu. Sebagai negara
yang telah lama memiliki institusi dan SDM dalam
astronomi, dalam forum ini kita sering dianggap
sebagai saudara tua.
5. Astronomi di Indonesia dalam Komunitas
Internasional
Ketertarikan dan keinginan Indonesia dalam
kerjasama internasional mungkin dapat digambarkan
dengan kesiapannya untuk menjadi tuan rumah
pertemuan internasional di negeri ini. Dalam
sejarahnya, tahun 1963 telah diselenggarakan sebuah
simposium internasional dengan tema Stellar
Photometry and Spectral Classification yang diketuai

15

oleh Prof. The Pik Sin dengan ITB sebagai tuan


rumah, tempat Observatorium Bosscha bernaung.
Pada tahun 1973, the International Astronomical
Union (IAU) memberi kepercayaan kepada Indonesia
untuk menyelenggarakan IAU School for Young
Astronomers. Kegiatan serupa diselenggarakan lagi
dalam tahun 1983, dalam rangka peringatan pendirian
Observatorium Bosscha yang ke-60 dan peristiwa
Gerhana Matahari Total yang bisa dilihat dari banyak
bagian di Indonesia. Dalam waktu yang berdekatan
diselenggarakan pula IAU Colloquium No.80 dengan
tema Double Stars: Physical Properties and Generic
Relations di Lembang. Pada tahun 1990 dan 1994
diselenggarakan lagi dua pertemuan internasional,
yaitu Symposium on Wolf-Rayet Stars and
Interrelations with Other Massive Stars in Galaxies
dan Symposium of Future Utilization of Schmidt
Telescopes yang diadakan di Sanur, Bali dan Hotel
Homman Bandung. Keempat pertemuan ini diketuai
oleh Prof. B. Hidayat.
Setelah satu dekade, Indonesia baru mendapat
kehormatan lagi untuk menyelenggarakan The 9th
Asian Pacific Regional Meeting of the IAU tahun
2005 di Sanur, Bali, yang diketuai oleh generasi
berikutnya yaitu Dr. P. W. Premadi. Ajang
internasional lain yang melibatkan calon-calon
astronom muda yaitu The International Olympiad on
Astronomy and Astrophysics diselenggarakan tahun
2008 di Bandung dengan ketua Dr. T. Hidayat. Dalam
tahun 2013 masyarakat astronomi di Indonesia
kembali diminta untuk menyelenggarakan konferensi
internasional lagi yaitu The 10th Pacific Rim
Conference on Stellar Astrophysics (Malasan, 2011).
6. Astronomi ke Depan
Adalah penting untuk memegang pengalaman
yang baik dari masa lalu, dan jika astronomi di
Indonesia ingin tetap tumbuh dan berkembang di masa
yang akan datang, kita harus memperhitungkan
perkembangan yang dinamis dan siap dengan segala
tantangan karena astronomi dunia terus berkembang
dengan pesat. Berbagai fasilitas astronomi yang
canggih seperti teropong-teropong besar hingga
berdiameter 10 meter sudah beroperasi, yang
berdiameter 30 meter sudah direncanakan, Teropong
Angkasa Luar Hubble, teropong sinar X dan teropong
sinar gamma sudah banyak diluncurkan. Di wilayah
ASEAN, tahun depan Thailand akan mulai
mengoperasikan teropong berdiameter 2,4 meter.
Bagaimana dengan Indonesia? Hingga saat ini,
Indonesia hanya mempunyai teropong dengan
diameter 0,7 m yang dipasang tahun 1960 sebagai
bantuan dari UNESCO. Pada masa jayanya teropong
ini sangat berperan dalam telaah struktur galaksi. Saat
itu teleskop tipe Schmidt ini tidak hanya digunakan
oleh astronom lokal, tapi juga oleh astronom
mancanegara. Dalam jaman teleskop besar sekarang
ini masihkah kita bisa melakukan pengamatan dengan
teleskop kecil? Tentu masih bisa, tapi pasti sulit

16

S. D. Wiramihardja

mengharapkan penemuan besar dengan teleskop kecil.


Bagaimanapun teleskop kecil tidak bisa melihat tepian
alam semesta tempat banyak benda yang belum
diketahui berada.
Ada pilihan murah yang lain bagi astronom
Indonesia,
yaitu
melakukan
riset
dengan
menggunakan data pengamatan satelit dan teropong
besar berkualitas tinggi yang tersedia di virtual
observatory. Namun data yang di-release di virtual
observatory adalah data "sisa" setelah informasi
terpentingnya diambil dulu oleh para periset di
lembaga yang mengoperasikan teropong itu. Sehingga,
meskipun kita masih bisa melakukan riset, tapi
penemuan besarnya tentu sudah didahului orang lain.
Oleh karena itu mempunyai teropong besar sendiri
tetap merupakan hal yang penting bagi masa depan
astronomi Indonesia. Bahwa Indonesia pantas untuk
memiliki teropong besar telah disampaikan oleh van
der Hucht (1984), yang menyarankan teleskop kelas
2,5 m sangat cocok untuk Indonesia. Seyogianya
konsep ini perlu dipertimbangkan lagi untuk
dikembangkan dan ditindaklanjuti. Karena, the
excitement of a new instrument is not in the old
questions it will answer but in the new questions it
will raise; sebuah ungkapan universal astronom yang
sebenarnya merupakan sifat yang khas manusia yang
selalu bertanya terus.
Masalah yang berikut mungkin juga akan
disampaikan oleh beberapa orang pembicara lainnya.
Oleh karena itu saya tidak akan terlalu banyak
menyinggungnya. Tanpa maksud sedikit pun untuk
menutup atau memindahkan Observatorium Bosscha,
setelah hampir 90 tahun usianya, sudah tiba saatnya
untuk mendirikan Bosscha ke-2 di Indonesia.
Mahasena et al (2009) telah mempelajari daerah Nusa
Tenggara Timur, yang sebelumnya telah ditelaah
sebagai kandidat situs pengamatan astronomi yang
menjanjikan untuk masa depan. Data mencakup
perioda pengamatan dari tahun1996 sampai 2008. Dari
analisa atas 32 daerah di Indonesia disimpulkan bahwa
Nusa Tenggara Timur mempunyai iklim yang lebih
baik daripada daerah lainnya di Indonesia. Pekerjaan
ini diikuti oleh telaah-telaah sejenis lainnya.
Apabila kelak teropong besar Indonesia sudah
terwujud, kerjasama dengan para astronom Thailand
akan menjadi saling menguntungkan, karena musim
kemarau dan penghujan di Indonesia dan Thailand
berkebalikan. Pada akhir tahun ketika di Indonesia
sedang berlangsung musim hujan, di Thailand adalah
masa pengamatan yang terbaik. Sementara pada
pertengahan tahun, ketika musim penghujan sedang
berlangsung di Thailand, Indonesia sedang mengalami
musim kemarau yang merupakan saat terbaik untuk
melakukan pengamatan astronomi.
Kemudian, agar teropong besar berbiaya mahal
dapat optimum penggunaannya untuk mendapatkan
penemuan-penemuan baru, diperlukan sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu kita
perlu menarik perhatian anak-anak muda yang pintar
untuk belajar astronomi. Salah satu sarana yang efektif

untuk menarik minat siswa SMA mempelajari


astronomi adalah diselenggarakannya Olimpiade
Astronomi, selain tentu saja melalui jalur pendidikan
yang umum. Sudah banyak alumni olimpiade
astronomi yang masuk ke Program Studi Astronomi
ITB dan kemudian menunjukkan prestasi akademik
yang sangat bagus. Merekalah harapan masa depan
astronomi Indonesia, astronom pilihan yang
mengoperasikan peralatan astronomi canggih yang
akan mengharumkan nama bangsa dan negara.
Sebenarnya bukan hanya nanti mereka akan
mengharumkan nama bangsa dan negara, bahkan sejak
sekarang, dengan kemampuan mereka meraih medali
di arena olimpiade astronomi dan astrofisika
internasional mereka sudah mengharumkan nama
bangsa dan negara.
Dalam tahun 2007, Observatorium Bosscha
memulai studi untuk menyiapkan program astronomi
multi-wavelength, termasuk astronomi radio dalam arti
fasilitas baru, menuju sebuah observatorium nasional.
Teleskop radio untuk riset dan pendidikan dewasa ini
sedang dalam fasa pengembangan di Observatorium
Bosscha. Keberadaan sains-sains lain di ITB telah dan
akan makin memperkaya kerjasama antar komunitas
Astronomi dengan komunitas keilmuan lain termasuk
dari rekayasa. Pengembangan radio astronomi di
Observatorium Bosscha merupakan karya nyata
kerjasama dengan kelompok rekayasa. Astronomi
meskipun sains yang independent tapi sebenarnya ia
mampu membangun jembatan dengan matematika,
fisika, kimia, rekayasa, dan lain sebagainya.
7. Untuk Apa Pendidikan Astronomi
Pendidikan astronomi di ITB (baca Indonesia)
telah berumur 60 tahun, tetapi kadang-kadang masih
saja ada yang mempertanyakan untuk apa pendidikan
astronomi? Franz Magnis-Suseno, SJ dalam
Seminar 50 tahun Pendidikan Astronomi di ITB
tahun 2001 menyatakan bahwa pertanyaan Untuk apa
pendidikan astronomi adalah sebuah pertanyaan yang
sah. Sah secara umum, apalagi untuk Indonesia yang
masih harus berjuang menghadapi masalah sosioekonomi yang carut marut. Mengapa pemerintah harus
mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi manusia seperti astronomi ?
Memang orang bisa menjawab bahwa astronomi
bukan tanpa manfaat juga. Misalnya untuk navigasi.
Tetapi kalau cuma untuk navigasi, hanya diperlukan
sedikit saja pengetahuan tentang bagaimana bintangbintang terlihat dari bumi dan bagaimana
menerapkannya dalam navigasi. Tidak perlu seseorang
harus bersusah payah mendalami astronomi.
Jadi untuk apa mendidik orang Indonesia dalam
astronomi ? Dengan dasar sudut pandang ekonomi,
orang akan selalu bertanya apa manfaat suatu usaha
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasar pandangan ini manfaat astronomi jelas
sangat-sangat terbatas dan akan sulit untuk
membenarkan pengeluaran biaya yang besar.
Pandangan seperti ini sebenarnya bukan hanya

Sejarah Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia

memarjinalkan sains astronomi saja tapi juga sains


murni lain yang mempunyai hasrat untuk mengetahui
hanya demi untuk mengetahui. Apabila segala usaha
manusia hanya diukur dengan kriteria ekonomi saja,
manusia akan kehilangan kekhasannya sendiri sebagai
makhluk yang ingin mengetahui, yang pada akhirnya
juga akan merugikannya secara ekonomi kelak.
Untuk bertindak manusia perlu orientasi, dan
orientasi itu diperolehnya dengan mencari tahu. Lebih
dari itu yang khas dari manusia adalah bahwa ia mau
tahu lebih jauh. Pengetahuan manusia itu terbatas,
tetapi wawasannya tidak terbatas. Maka tidak ada
pengetahuan yang mampu memenuhi cakrawala
perhatiannya, dan karena itu manusia bertanya terus.
Karena pengetahuan itu sendiri merupakan nilai
baginya. Maka, janganlah nilai sebuah pengetahuan
dibatasi pada manfaat ekonominya saja.
Begitu juga nafsu ilmiah tidak dapat dijelaskan
dengan kriteria ekonomi. Seakan-akan mengejar ilmu
mesti untuk membahagiakan umat manusia, untuk
menurunkan harga beras atau menaikkan gaji PNS.
Tentu, ilmu pengetahuan diharapkan, bahkan harus
diarahkan kepada peningkatan
kualitas hidup
manusia. Tetapi kualitas hidup manusia hanya
sebagian saja ditentukan oleh unsur-unsur ekonomi.
Mari kita coba menengok ke belakang, ke masa
beberapa milenia silam, ketika bangsa Mesir telah
dengan cermat mengamati Matahari selama ratusan
tahun. Mereka menghitung jumlah matahari terbit dan
matahari terbenam dari satu musim panas ke musim
panas berikutnya dan menemukan bahwa Matahari
terbit dan terbenam sebanyak 365 kali dalam satuan
yang sekarang kita sebut satu tahun. Jika seseorang
mulai menghitung saat Matahari mencapai titik paling
Utara ketika terbit dan terbenam, dan terus
menghitungnya sampai Matahari mencapai titik paling
Selatan, ia akan menemukan jumlah Matahari terbit
dan terbenam adalah 365. Bangsa Mesir tahu ini dan
memperkenalkan sebuah kalendar yang isinya 365
hari pada tahun 4.000-an S.M.
Siapa yang menyangka bahwa yang mereka
lakukan adalah awal dari konsep pemahaman dan
penentuan tentang waktu ? Bayangkan, ketika para
raja atau pejabat negara (saat itu) kerjanya cuma
makan dan kawin saja, ada sekelompok orang yang
kerjanya mengukur-ngukur terbit dan terbenamnya
Matahari. Apa yang dikatakan pejabat atau masyarakat
tentang sekelompok orang itu. Kalau tidak dianggap
orang gila, pasti dianggap ngarang-ngarang kerjaan.
Kenapa mereka lakukan hal itu, pada dasarnya karena
mereka hanya ingin tahu, mirip dengan sekarang, para
astronom mengembangkan teori-teori tentang jagat
raya dimana di dalamnya kita hidup. Kalau tidak
karena mereka dulu, yang ngeceng-negeceng Matahari
terbit dan tenggelam itu, Presiden SBY tidak bisa
mengundang agar para menteri hadir pada acara
reshuffle Kabinet pada hari Rabu, tanggal 19 Oktober
2011, jam 10 pagi !

17

Orang melakukan pekerjaan astronomi adalah


untuk mencari tahu lebih banyak, untuk mengejar
sebuah impian. Namun di atas itu semua astronomi
bukan hanya sebuah nilai untuk dirinya sendiri,
melainkan sebenarnya juga mempunyai manfaat bagi
semua. Manfaat astronomi bukan karena untuk
kepentingan navigasi saja, melainkan karena ia
merangsang
manusia
untuk
memperluas
wawasannya dan mengembangkan fantasinya. Dan
fantasi itulah yang paling diperlukan apabila
manusia ingin maju.
Dengan demikian bagi kita di Indonesia astronomi
memang perlu. Selama ini kita seakan-akan hanya
terus terpuruk dalam masalah kita, dalam konflikkonflik, dalam masalah tawuran anak sekolah, dalam
masalah mencari nafkah tambahan di Banggar DPR,
demo anti disko atau kelab malam, dan lain
sebagainya. Disinilah kita memerlukan orang yang
tertarik akan sesuatu yang jauh, yang tidak langsung
bermanfaat, yang memperluas batas-batas perhatian
kita. Jadi jangan kita mengukur kegiatan
astronomi dari manfaat ekonomi saja.
8. Penutup
Di tengah rasa bahagia hari ini, adalah sebuah
paradoks, ketika kita makin menyadari bagaimana
rapuhnya planet yang mengemban kehidupan kita,
ketika ruang kosmos telah menjadi sebuah lingkungan
dimana kita bisa berlanglangbuana, ketika pendidikan
tinggi astronomi telah mencapai usia 60 tahun,
pengajaran astronomi telah kehilangan dasarnya.
Lebih dari sekadar memprihatinkan, ketika di
Republik tercinta ini pelajaran astronomi di tingkat
sekolah menengah dihilangkan dan hanya menjadi
salah satu bab dalam mata pelajaran fisika. Tambah
menyedihkan lagi karena guru fisika merasa tidak
punya kompetensi untuk mengajar astronomi, sebab
mereka belum pernah mendapat mata kuliah
astronomi semasa pendidikannya di perguruan tinggi,
sekarang astronomi dilempar masuk ke dalam mata
pelajaran geografi. Sudah bisa dipastikan materi
astronomi hanya diajarkan sebagai hapalan semata. Ini
sebuah kekeliruan besar yang harus segera dikoreksi.
Mengembalikan astronomi ke dalam kurikulum di
sekolah menengah adalah suatu keharusan! Dalam
hal ini terimakasih kepada Institut Teknologi Bandung
yang telah berpikir jauh ke depan dengan mewajibkan
mahasiswa Tingkat Pertama Bersama ITB dari semua
prodi mengikuti empat minggu perkuliahan Sistem
Alam Semesta.
Tentu kita berharap kondisi yang ideal kita miliki
untuk mencapai prestasi yang maksimal. Tetapi entah
kapan kondisi ideal ini akan tiba. Saya sangat
bersukacita menyaksikan kolega muda di Prodi/KK
Astronomi bersikap tidak menunggu kondisi ideal
dulu, tidak usah menunggu kita memiliki teleskop
besar dulu, atau menunggu yang lainnya. Tapi apa
yang bisa kita perbuat dengan mengoptimalkan apa
yang kita miliki. Kami merasakan suasana yang

18

S. D. Wiramihardja

hangat dan bersemangat dalam komunitas astronomi.


Semua orang bekerja keras baik dalam pendidikan,
penelitian, maupun dalam pengabdian masyarakat.
Banyak prestasi yang telah diukir dalam masa
kepemimpinan Dr. Mahasenaputra sebagai Ketua
Prodi Astronomi dan Dr. Moedji Raharto sebagai
Ketua KK Astronomi sekarang. Tapi dalam
kesempatan ini saya hanya akan menyampaikan
beberapa saja, yaitu dalam bulan ini telah dilahirkan
Doktor Astronomi pertama dari ITB, yaitu Dr. Yayan
Sugianto. Kemudian dengan segala kerendahan hati,
baru lima publikasi dalam jurnal internasional terbit
atas nama Dr. Budi Dermawan, Dr. Chatief Kunjaya,
dan Dr. Suryadi Siregar baik sebagai penulis pertama
maupun kedua. Dan tahun ini pun Dr. Chatief Kunjaya
terpilih sebagai Presiden dari The International
Olympiad of Astronomy and Astrophysics untuk masa
jabatan 5 tahun. Paparan lengkap disampaikan oleh
Ketua Prodi/KK Astronomi.
Dengan kekayaan pengalaman selama 60 tahun,
kami yakin insan astronomi dapat mempersembahkan
sesuatu yang lebih baik lagi kepada bangsa dan
negara. Masih banyak yang harus dilakukan, dan tidak
akan habis-habisnya. Karena manusia akan bertanya
terus. Bagi kami the sky is the lower limit. Terima
kasih.
Daftar Pustaka
Hidayat, B. 1994, dalam 400-year Dutch-Indonesia
Relation, Erasmus Huis, Jakarta.

Hidayat, B., 2001, Buku Kenangan 50 Tahun Pendidikan


Tinggi Astronomi di Indonesia, halaman 57.
Hidayat, T., Herdiwijaya, D., Radiman, I., Raharto, M.,
Premadi, P.W., dan
Wiramihardja, S.D., 2001, Buku
Kenangan 50 Tahun Pendidikan Tinggi Astronomi di
Indonesia.
Ibrahim, J., 2001, idem, halaman 73.
Ishida, K. and Hidayat, B., 1989, Proceedings of the ThreeYear Cooperation in Astronomy between Indonesia and
Japan 1986-1988,Evolution of Stars and Stellar Systems.
Ishida, K. and Hidayat, B., 1992, Proceedings of the ThreeYear Cooperation in Astronomy between Indonesia and
Japan 1989-1991,Evolution of Stars and Galactic
Structures.
Kogure, T. and Hidayat, B., 1985, Proceedings of the SixYear Cooperation in Astronomy between Indonesia and
Japan 1979-1984,Galactic Structures and Variable Stars.
Magnis-Suseno, F., 2001, Buku Kenangan 50 Tahun
Pendidikan Tinggi Astronomi di Indonesia, halaman 91.
Mahasena, P., Hidayat, T., Dermawan, B., Lestari, I.A.,
Irfan, M., and Herdiwijaya, D., 2009, Proceedings of the
Conference of the Indonesia Astronomy and Astrophysics,
29-31 October, 2009, Premadi et al., Eds., 137.
Malasan, H.L., 2011, private communication
Radiman, I., 2001, Buku Kenangan 50 Tahun Pendidikan
Tinggi Astronomi di Indonesia, halaman 5..
The, P.S., idem, halaman 49.
Van der Hucht, Karel A., 1984, in Double Stars : Physical
Properties and Generic Relationhip, eds. B. Hidayat, J.
Rahe, and Z. Kopal, p. 409.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 19 23, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PENDIDIKAN ASTRONOMI DI INDONESIA TAHUN 2001 2011


PUTRA MAHASENA
Kelompok Keahlian Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia
mahasena@as.itb.ac.id

Abstrak. Pada tahun 2011, pendidikan formal astronomi di Institut Teknologi


Bandung (ITB) genap berusia 60 tahun. Kelahirannya disepakati bertepatan
dengan disampaikannya pidato pengukuhan guru besar pertama Astronomi di ITB,
Prof. Dr. G. B. van Albada, pada tahun 1951. Sebuah buku yang merangkum sejarah
dan aktivitas program studi Astronomi sejak tahun 1951 hingga tahun 2001 telah
ditulis sepuluh tahun yang lalu. Selama sepuluh tahun terakhir (20012011) aktivitas
yang berkaitan dengan astronomi telah berkembang dengan pesat frekuensi maupun
ragamnya, baik dalam bidang pendidikan, penelitian, maupun pemberdayaan
masyarakat. Makalah ini berusaha merangkum aktivitas, capaian, dan harapan ke
depan keastronomian dari sudut pandang Program Studi Astronomi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), ITB, selama sepuluh tahun
terakhir tersebut.
Kata Kunci: pendidikan Astronomi, Astronomi Indonesia
1.

Pendahuluan

Aktivitas keastronomian modern di Indonesia


telah ada setidaknya sejak tahun 1920-an ketika K. A.
R. Bosscha, seorang pengusaha perkebunan teh di
daerah Pangalengan, Jawa Barat, mendirikan sebuah
observatorium di Lembang [1]. Observatorium
tersebut dapat dibangun berkat keberhasilan Bosscha
menggalang dana dan dukungan moril dari berbagai
pihak, yang memiliki ketertarikan kepada astronomi,
baik di Belanda maupun di Hindia-Belanda. Sebagian
dari orang-orang ini bergabung dalam sebuah
Perhimpunan Astronomi Hindia-Belanda (NederlandsIndische Sterrenkundig Vereeniging, NISV), yang
bukan dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Observatorium itu kemudian disebut Observatorium
Bosscha (OB), ketika diresmikan penggunaannya pada
tahun 1928, dan kegiatan sehari-harinya dikelola oleh
NISV.
Sebagai sebuah observatorium yang memiliki
teleskop cukup besar (pada waktu itu), dan merupakan
salah satu dari sedikit observatorium di belahan Bumi
bagian selatan, OB ditunggu hasil observasinya oleh
masyarakat
astronomi
internasional.
Kerjasama/koordinasi (tidak mengikat) dengan
Observatorium Leiden di Belanda terjalin dengan erat.
Salah satu wujud kerjasama itu adalah hadirnya
beberapa astronom Belanda untuk tinggal dan
melakukan pengamatan langit di OB untuk jangka
waktu yang cukup panjang (hingga beberapa tahun).
Salah satu dari para astronom itu adalah Dr. G. B. van
Albada yang tiba di Indonesia pada tahun 1949. Pada
waktu itu, Observatorium Bosscha statusnya masih
merupakan milik NISV yang diberikan (in loan)

kepada Universitas Indonesia, Fakultas Matematika


dan Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA UI) yang
berkedudukan di Bandung, yang pada tahun 1959
diresmikan menjadi Institut Teknologi Bandung
(ITB). Pada waktu itu Universitas Indonesia
berkomitmen membantu perawatan/perbaikan dan
menyediakan staf teknis maupun akademis.
Enam tahun setelah Republik Indonesia berdiri,
tepatnya pada tanggal 18 Oktober 1951, Dr. G. B. van
Albada dikukuhkan menjadi guru besar Astronomi
pertama di Universitas Indonesia. Pada hari yang
sama, Observatorium Bosscha diserahterimakan dari
NISV kepada Pemerintah Republik Indonesia (dalam
hal ini diterima oleh FIPA UI). Hari itu disepakati
sebagai hari kelahiran pendidikan formal Astronomi di
ITB. Pada mulanya, jenjang pendidikan yang
diselenggarakan hanyalah jenjang sarjana (S1). Pada
tahun 2011, setelah berusia 60 tahun, pendidikan
formal Astronomi di ITB telah mencakup jenjang
magister (S2; mulai tahun 1999) dan jenjang doktor
(S3; mulai tahun 2006).
Sebuah buku yang merangkum sejarah dan
aktivitas program studi Astronomi sejak tahun 1951
hingga tahun 2001 telah ditulis sepuluh tahun yang
lalu (Hidayat et al. 2001). Selama sepuluh tahun
terakhir (20012011) aktivitas yang berkaitan dengan
astronomi telah berkembang dengan pesat frekuensi
maupun ragamnya, baik dalam bidang pendidikan,
penelitian, maupun pemberdayaan masyarakat.
Makalah ini berusaha merangkum aktivitas, capaian,
dan harapan ke depan keastronomian dari sudut
pandang Program Studi Astronomi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) ITB,
selama sepuluh tahun terakhir tersebut.

20

P. Mahasena

2.

Evolusi Organisasi

Kedudukan/nama unit yang mengelola pendidikan


Astronomi di ITB telah beberapa kali berubah,
menyesusaikan dengan perubahan yang terjadi di ITB
secara umum. Dalam kurun waktu 20012005 unit
pengelola itu disebut Departemen Astronomi, di dalam
Fakultas
MIPA,
sedangkan
dalam
kurun
2006sekarang disebut Program Studi Astronomi,
masih di dalam Fakultas MIPA. Perbedaan utama
dalam dua organisasi itu adalah bahwa Ketua
Departemen bertanggungjawab/berwenang mengelola
kegiatan pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan
masyarakat, sedangkan Ketua Program Studi hanya
bertanggungjawab/berwenang menge-lola kegiatan
pendidikan.
Kegiatan di bidang penelitian dan pemberdayaan
masyarakat merupakan tanggung jawab/wewenang
Ketua Kelompok Keahlian (KK). Pada tahun 2006
semua dosen di Departemen Astronomi membentuk
Kelom-pok Keahlian Astronomi.
3.

Kurikulum

Institut
Teknologi
Bandung
menetapkan
kebijakan bahwa kurikulum pendidikannya harus
dievaluasi sekali dalam lima tahun. Dalam sepuluh
tahun terakhir telah terjadi dua kali evaluasi yang
hasilnya adalah Kurikulum 2003 dan Kurikulum 2008.
Untuk lulus jenjang sarjana (S1), seorang
mahasiswa
Astronomi
harus
menyelesaikan
matakuliah sebanyak 144 SKS (satuan kredit
semester), yang normalnya harus diselesaikan dalam 8
semester. Perubahan yang cukup signifikan terjadi
dalam Kurikulum 2008:
1. Jumlah SKS matakuliah yang harus diambil di
program studi lain (Fisika dan Matematika)
berkurang;
2. Ada matakuliah wajib bagi mahasiswa TPB
(Tahun Pertama Bersama) seluruh ITB yang di
dalamnya memperkenalkan topik-topik dalam
astronomi;
3. Diberlakukannya konsep major/minor, di mana
mahasiswa Astronomi bisa menaikkan nilai
tawarnya jika mereka memutuskan untuk
langsung masuk ke dunia kerja setelah lulus dari
jenjang sarjana (S1).
Untuk lulus jenjang magister (S2), seorang
mahasiswa
Astronomi
harus
menyelesaikan
matakuliah sebanyak 36-37 SKS, yang normalnya
harus diselesaikan dalam 4 semester. Ada perubahan
yang cukup signifikan terjadi dalam Kurikulum 2003.
Pada saat itu diidentifikasi adanya kebutuhan nyata
akan praktisi pendidikan, terutama guru sekolah
menengah, yang menguasai substansi ilmu astronomi
dengan jenjang magister (S2). Oleh karena itu, di
dalam Kurikulum 2003 (dan dipertahankan dalam
Kurikulum 2008) dibuat dua jalur yang berbeda:

1. Jalur Astrofisika Lanjut yang lulusannya


dipersiapkan
untuk
dapat
melanjutkan
studi/penelitian ke jenjang doktor (S3);
2. Jalur Pengembangan dan Pendidikan Astronomi
yang calon mahasiswanya bisa berlatar belakang
sarjana (S1) kependidikan sains. Lulusannya tidak
dipersiapkan
untuk
dapat
melanjutkan
studi/penelitian ke jenjang doktor (S3).
Jenjang doktor (S3) di program studi Astronomi
dimulai pada tahun 2006. Kurikulum untuk jenjang
doktor lebih banyak ditentukan oleh ITB (melalui
Dekan Sekolah Pasca Sarjana). Calon mahasiswa bisa
berasal dari program studi magister Astronomi ITB
(disebut ekstensi linier) atau dari program studi
magister sains dari perguruan tinggi manapun
(bukan ekstensi linier).
Untuk lulus jenjang doktor (S3), bagi mahasiswa
linier ekstension harus menyelesaikan 43 SKS,
sedangkan mahasiswa bukan linier ekstension harus
menyelesaikan 52 SKS. Sesuai dengan nature-nya,
kurikulum S3 bertitik berat kepada kegiatan penelitian
yang harus dilakukan oleh mahasiswa.
Pada akhir tahun 2011 dosen yang mengampu
Kurikulum 2008 di Program Studi Astronomi
berjumlah 17 orang. Dari 17 orang tersebut, 14 orang
bergelar doktor, dan 3 orang lainnya sedang
menempuh pendidikan doktor. Mata kuliah di jenjang
magister dan doktor hanya boleh diampu oleh dosen
yang sudah bergelar doktor, dan dosen yang sedang
menempuh pendidikan doktor hanya diberi beban
mengajar maksimum 4 SKS. Sejak berlakunya
Kurikulum 2008 di ITB, dosen-dosen di KK
Astronomi mendapat tugas mengajar beberapa mata
kuliah wajib di TPB (Konsep Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Sistem Alam Semesta, Pengantar
Teknologi Informasi, dan lain-lain).
Masih relevan dengan pembahasan kurikulum,
program studi Astronomi secara berkala mengajukan
proses akreditasi kepada Badan Akreditasi Nasional
Perguruan tinggi (BAN-PT). Di akhir tahun 2011,
program studi sarjana memperoleh akreditasi A,
sedangkan program studi magister dan doktor masingmasing memperoleh akreditasi B.
4.

Mahasiswa

Seperti di mana pun di dunia, student body di


program studi Astronomi ITB tidaklah besar. Dalam
Gambar 1 dapat dilihat bagaimana sejarah
mahasiswa yang masuk ke- dan mahasiswa yang lulus
dari program studi sarjana Astronomi, sejak tahun
1953 (mahasiswa pendaftar pertama) hingga 2011.
Tampak bahwa di tahun-tahun awal berdirinya
program studi Astronomi tidak setiap tahun selalu ada
mahasiswa yang mendaftar. Tetapi, dalam sepuluh
tahun terakhir tampak bahwa rata-rata mahasiswa
yang masuk sekitar 20 orang/tahun.
Pada tahun 2006 ITB menetapkan kebijakan
penerimaan mahasiswa baru di mana mahasiswa

Pendidikan Astronomi di Indonesia Tahun 2001 2011

memilih fakultas, bukan program studi. Penentuan


program studi dilaksanakan pada akhir semester 2,
bagi mahasiswa yang bersangkutan. Untuk beberapa
program studi yang dianggap langka peminat, seperti
Astronomi, Meteorologi, dan Oseanografi, ITB
memberikan beasiswa berupa pembebasan SDPA

21

dirasakan sangat baik manfaatnya bagi motivasi


mahasiswa program studi sarjana Astronomi.

Diterima

Lulus

1977

1986

Hingga akhir 2011, total lulusan program studi


sarjana berjumlah 288 orang. Untuk memberikan

2010

2007

2004

2001

1998

1995

1992

1989

1983

1980

1974

1971

1968

1965

1962

1959

1956

1953

30
25
20
15
10
5
0

Gambar 1. Histogram mahasiswa yang diterima di- dan mahasiswa yang lulus dari program studi sarjana Astronomi ITB
sejak tahun 1953 hingga 2011.

Diterima

Lulus

Diterima Lulus

1
0

2006

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

2007

2008

2009

2010

2011

Gambar 2. Panel kiri: Histogram mahasiswa yang diterima di- dan mahasiswa yang lulus dari program studi magister
Astronomi ITB sejak tahun 1999 hingga 2011. Panel kanan: Histogram mahasiswa yang diterima di- dan mahasiswa yang
lulus dari program studi doktor Astronomi ITB sejak tahun 2006 hingga 2011.

IP

Lama Studi

4.00

18.00

3.50

16.00

12.00

2.50

IP

10.00
2.00
8.00
1.50

6.00

1.00

Lama Studi [semester]

14.00

3.00

4.00
2.00

0.00

0.00

1982 (13)
1983 (11)
1984 (14)
1985 (5)
1986 (8)
1987 (5)
1988 (8)
1989 (8)
1990 (8)
1991 (6)
1992 (6)
1993 (11)
1994 (9)
1995 (10)
1996 (9)
1997 (9)
1998 (11)
1999 (13)
2000 (16)
2001 (12)
2002 (15)
2003 (14)
2004 (8)
2005 (4)

0.50

Angkatan (# lulusan)

Gambar 3. Grafik perkembangan Indeks Prestasi rata-rata


dan lama studi rata-rata lulusan, mulai angkatan 1982 hingga
2005.

(Sumbangan Dana Pengembangan Akademik) kepada


mahasiswa yang sejak awal memilih program studi
tersebut. Pemberian beasiswa oleh ITB tersebut

gambaran perkembangan proses akademik di program


studi Astronomi, dalam Gambar 3 ditunjukkan Indeks
Prestasi (IP) rata-rata dan lama studi rata-rata lulusan,
dari angkatan 1982 hingga 2005. Tampak trend yang
jelas ke arah perbaikan. Jika di awal tahun 1980-an
lama studi rata-rata sekitar 14 semester dan IP ratarata sekitar 2, maka di sekitar tahun 2010 lama studi
rata-rata mendekati 8 semester dan IP rata-rata
mendekati 3.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kesempatan bagi
mahasiswa S1, S2, maupun S3, untuk melakukan
perjalanan ke luar negeri dalam rangka short course,
winter/summer school, workshop, dan lain-lain,
bertambah banyak. Dana untuk keperluan ini datang
dari berbagai pihak, antara lain:
1. Leids Kerkhoven-Bosscha Fonds (LKBF, sebuah
yayasan dana yang secara berkesinambungan
mendukung kegiatan
keastronomian
yang
berkaitan dengan Observatorium Bosscha);
2. Direktorat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional Republik Indonesia;

22

P. Mahasena

3. Dana CSR (corporate social responsibility)


berbagai perusahaan yang diperoleh mahasiswa
melalui pengajuan proposal kegiatan;
4. Lembaga Kemahasiswaan ITB;
5. dan lain-lain.
Pada panel kiri dalam Gambar 2 dapat dilihat
bagaimana perkembangan mahasiswa masuk ke- dan
lulus dari program magister Astronomi, dari tahun
1999 hingga tahun 2011. Jumlah mahasiswa yang
masuk masih di bawah 10 per tahun, dan fluktuatif.
Lulusan program sarjana yang berminat melanjutkan
studi ke program magister cukup banyak, tetapi
mereka hanya bisa melakukannya jika ada bantuan
beasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa hingga saat ini
mahasiswa program magister yang latar belakang S1nya bukan dari Astronomi ITB sudah cukup banyak.
Hingga akhir 2011 program studi magister Astronomi
sudah meluluskan 29 orang magister (termasuk di
dalamnya dari kedua jalur kurikulum yang disebutkan
dalam Bab 3. Sebagian dari mereka mendapatkan
kesempatan pergi ke luar negeri, sebagai mahasiswa,
mengikuti beberapa kegiatan keastronomian.
Perkembangan mahasiswa masuk ke- dan lulus
dari Program Studi Doktor Astronomi ditunjukkan di
panel kanan Gambar 2. Sejak dibukanya program
studi doktor pada tahun 2006 hingga akhir 2011,
sudah ada 7 mahasiswa yang masuk, dan lulusan
pertama baru saja diwisuda pada bulan Oktober 2011,
bertepatan dengan usia yang ke-60 tahun program
studi Astronomi. Sebagian besar mahasiswa yang
masuk berlatar belakang S2 dari program studi
Astronomi atau Fisika ITB.
Sebagian dari mereka juga mendapatkan
kesempatan pergi ke luar negeri, sebagai mahasiswa
S3. Sejak tiga tahun yang lalu, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional menyediakan
dana bagi mahasiswa S3 untuk melakukan
penelitian/kunjungan selama 3 bulan ke manapun di
luar negeri.

5.

Alumni

Meskipun tracer study terhadap lulusan program


studi Astronomi masih jauh dari lengkap, dan belum
dapat dilakukan dengan cara yang sistematis,
gambaran umum yang diperoleh tentang aktivitas
(yang berkaitan dengan astronomi) dari para alumni
dapat dilihat pada Gambar 4.
Pekerjaan utama mereka sangat bervariasi, tidak
jauh berbeda dengan para alumni program studi
(sains) lainnya. Jika dikelompokkan secara kasar,
mereka bekerja di/sebagai

Gambar 4. Gambaran skematik aktivitas para alumni


program studi Astronomi.

1.

bidang manajerial di perusahaan swasta atau


instansi pemerintah (S/P),

2.

bidang research and development di S/P,

3.

bidang teknologi dan informasi di S/P,

4.

jurnalis di berbagai media,

5.

guru, mulai dari tingkat taman kanak-kanak


hingga sekolah menengah atas, dan lembaga
pendidikan non-formal,

6.

dosen di perguruan tinggi,

7.

peneliti di instansi pemerintah,

8.

lembaga sosial,

9.

pemilik perusahaan (wiraswasta),

10. ibu rumah-tangga,


11. dan lain-lain.
Seperti diilustrasikan dalam Gambar 4, sebagian
terbesar dari para alumni, apapun pekerjaan utamanya,
(pernah)
terlibat
dalam
public
outreach,
mempopulerkan astronomi kepada masyarakat di
sekitarnya. Ini sangat mudah dipahami karena di
Indonesia, secara rata-rata, hanya ada satu sarjana
astronomi dalam setiap sejuta penduduk. Ketika orang
di sekeliling Anda tahu bahwa Anda adalah seorang
yang pernah mempelajari astronomi, secara alami
mereka akan banyak bertanya tentang astronomi
kepada Anda. Beberapa alumni bahkan sering diminta
menjadi pembicara (tentang astronomi populer) di
acara-acara yang lebih terprogram.
Dalam proporsi yang lebih kecil (Gambar 4),
sebagian alumni terlibat dalam pendidikan formal di
sekolah. Akan tetapi, umumnya mereka secara resmi
berpredikat sebagai guru Fisika, Matematika, atau
Ilmu Pengetahuan Alam, sesuai dengan kurikulum
yang berlaku secara nasional saat ini. Ada beberapa
orang yang mendapat tugas membina kelompok
astronomi
(ekstra-kurikuler)
di
sekolahnya.
Bagaimanapun, di sekolah-sekolah yang memiliki
guru berpendidikan astronomi, para siswanya
beruntung ada tempat bertanya tentang artikel-artikel
astronomi yang akhir-akhir ini semakin sering muncul

Pendidikan Astronomi di Indonesia Tahun 2001 2011

di berbagai media. Demikian pula dengan


dimasukkannya astronomi dalam Olimpiade Sains
Nasional yang diselenggarakan tiap tahun (sejak tahun
2004).
Proporsi jumlah paling kecil (Gambar 4) ditempati
oleh para alumni yang menjadi peneliti profesional.
Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang
menempati posisi di berbagai lembaga penelitian, di
dalam maupun di luar negeri, dan di perguruan tinggi.
Dinamika dan kesaling-terkaitan kegiatan antar
berbagai komponen yang digambarkan dalam Gambar
4 belumlah berlangsung di bawah koordinasi yang
mapan dan jelas. Salah satu forum terbaik untuk
bertemunya ketiga komponen tersebut adalah seminar
tahunan,
yang hingga
kini
masih
selalu
diselenggarakan di lingkungan Institut Teknologi
Bandung.

6.

Prestasi Alumni
Tanpa bermaksud mengecilkan prestasi alumni
yang lain, berikut ini adalah prestasi tiga alumni yang
patut dibanggakan. Yang pertama adalah situs web
Langit Selatan (LS) yang dikelola oleh Avivah
Yamani, dan kawan-kawan (http://langitselatan.com).
Berbagai artikel astronomi populer secara konsisten
ditulis oleh para kontributornya yang sebagian adalah
alumni program studi Astronomi. Situs web ini,
menurut komentar para pembacanya, merupakan
pengisi kekurangan sumber astronomi berbahasa
Indonesia dari penulis yang kompeten. Disajikan
dalam bentuk blog, komentar para pembaca, atau
bahkan diskusi di antara mereka, bisa memberikan
gambaran tentang minat dan tingkat awareness
masyarakat tentang isu-isu astronomi. Selain itu,
kegiatan lain yang bukan di dunia maya beberapa kali
dimulai dari interaksi di situs ini.
Yang kedua adalah mobile observatory (MO)
yang digagas/direalisasikan oleh Hendro Setyanto, dan
kawan-kawan. MO adalah sebuah kendaraan beroda
empat yang diubah sedemikian rupa menjadi
laboratorium astro-nomi sederhana bagi masyarakat
awam. Dengan MO ini, astronomi dapat diperkenalkan hingga ke pelosok dengan relatif lebih mudah dan
efektif. MO telah tercatat dalam Rekor MURI dan
telah dibuat versi lanjutan-nya oleh Pengurus Besar
Nahdatul Ulama (PBNU).
Yang ketiga, pada bulan Oktober 2011, seorang
alumni, Aldino Adry Baskoro, menjuarai Lomba
Kreativitas Ilmiah Guru ke-19 yang diselenggarakan
oleh LIPI secara Nasional. Aldino, yang mengajar di
Sekolah Alam Bandung, mengalahkan 5 finalis
lainnya dengan Roket Airnya.

7.

Simpul Kegiatan Astronomi


Dalam sepuluh tahun terakhir tercatat berbagai
simpul kegiatan yang berkaitan dengan astronomi
bermunculan di luar lingkungan program studi

23

Astronomi di Institut Teknologi Bandung. Di


antaranya adalah
1. UNAWE (Universe Awareness), dimotori oleh
Premana W. Premadi, Ph.D., merupakan bagian
dari sebuah jaringan internasional yang berfokus
memperkenal-kan Astronomi kepada anak di
bawah usia 7 tahun yang kurang beruntung;
2. Kelompok minat atau klub Astronomi di beberapa
perguruan tinggi/sekolah;
3. Himpunan astronomi amatir di kota/daerah;
4. Para praktisi pengamat hilal dari berbagai pihak di
seluruh Indonesia;
5. Tempat pelatihan yang berkaitan dengan kegiatan
Olimpiade Sains Nasional bidang Astronomi, dan
lain-lain.

8.

Tantangan ke depan
Dalam sepuluh tahun terakhir, mahasiswa dan
alumni sains/astronomi yang militan, dan segala
kemudahan yang timbul akibat perkembangan
teknologi informasi, telah menyebabkan sosialisasi
sains/astronomi begitu besar kemajuannya. Minat
terhadap sains/astronomi meningkat di kalangan
generasi muda (siswa sekolah). Minat yang tumbuh ini
akan menuntut para guru yang menguasai dasar-dasar
sains/ astronomi dengan baik, atau setidaknya updated
dengan isu-isu terkini. Jika, katakanlah, 1% dari siswa
yang terinspirasi memutuskan untuk mempelajari
astronomi secara formal, maka sumber daya manusia
di perguruan tinggi harus mempersiapkan diri.
Tuntutan akan infrastruktur riset (minimum) yang
lebih baik merupakan hal yang tak terelakkan di masa
yang akan datang. Pusaran kegiatan yang saling terkait
ini, mudah-mudahan, akan bermuara pada Indonesia
yang lebih baik tingkat rasionalitasnya.

9.

Apa yang bisa dilakukan


Dengan semakin besarnya komunitas yang
berminat/memiliki ketertarikan pada astronomi, forum
untuk saling mengenal harus diupayakan. Alangkah
baiknya bila tuan-rumah untuk seminar tahunan
astronomi di masa yang akan datang dapat digilir,
tidak hanya di lingkungan Institut Teknologi Bandung.
Tugas akhir/penelitian bersama, baik di tingkat
perguruan tinggi atau sekolah (misalnya Kelompok
Ilmiah Remaja) dapat dilakukan lebih sering. Untuk
itu harus dicari sumber-sumber pendanaan yang
relevan (misalnya dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, atau dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah).
Dengan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat astronomi, barangkali kita dapat
merumuskan usulan yang kongkrit kepada badan yang
berwenang menentukan kurikulum sains di pendidikan
dasar dan menengah.

24

P. Mahasena

Topik penelitian atau kegiatan yang dapat


dikerjakan bersama, misalnya:
1. pengukuran in situ kualitas langit di berbagai
daerah,
2. workshop pengembangan bahan ajar/modul
praktikum,
3. desain arsitektur observatorium publik, dan lain
sebagainya,
4. image processing, instrumentasi,
5. workshop penggunaan berbagai tools astronomi
dan pemanfaatan archival data.
References

[1] T. Hidayat, et al. (2001), 50 Tahun Pendikan Astronomi


di Indonesia, Penerbit ITB, Bandung.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 25 29, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

EXTENDING ASTRONOMICAL EDUCATION VIA ASTRONOMY OLYMPIAD


ACTIVITIES
CHATIEF KUNJAYA
FMIPA, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia
kunjaya@as.itb.ac.id

Abstract. Astronomy Education in Indonesia can be found at junior and senior high
school levels as a minor part of Geography and Physics curriculum; while in tertiary
education, there is only one Department of Astronomy nation-wide, in Institut
Teknologi Bandung. Considering her large population, the proportion of formal
education in astronomy is considered too small; and the public in general have little
proper access to the astronomy knowledge. The effort to disseminate astronomy
knowledge is undertaken by several parties such as Bosscha Observatory,
Department of Astronomy, Astronomy Club etc. One of the activities to spread
astronomy knowledge is the Astronomy Olympiad. Considering the numerous cities,
regencies and provinces taking part in the Astronomy Olympiad, and large number
of participating students, estimation shows that the relatively small number of
Indonesian astronomers is unable cope with the demand for astronomical training,
Therefore, cooperation with the staff of other universities will be helpful and interuniversity network in Olympiad activities is promoted.
Keywords: Astronomy Education, Astronomy Olympiad

1.

Introduction
In Indonesia, formal education in astronomy is
offered by the Department of Astronomy, Faculty of
Mathematics and Natural Sciences, Institut Teknologi
Bandung. Although there are no other formal
departments of astronomy in Indonesia, small portion
of astronomy education exists in several education
institutions. At primary, secondary and high schools,
few topics related to astronomy exist as part of general
science, physics or geography. At university level, few
astronomical subjects are provided by some
universities, especially educational universities. In
some universities there are astrophysics-related
research group, as part of the department of physics.
Compared to the total population of Indonesia,
now at 240 million, formal astronomy education is
considered insufficient. Therefore, much effort must
be done to spread the astronomy knowledge to the
people via either formal or informal education.
Various public outreach activities have been done
by several parties such as Bosscha Observatory,
Jakarta Planetarium, several astronomy clubs
established by the alumni of the Department of
Astronomy etc. One of the activities to popularize
astronomy is the Astronomy Olympiad. Astronomy
Olympiad activities in Indonesia have taken place
since 2003 when Indonesia participated for the first
time in the VIIIth International Astronomy Olympiad
(IAO) in Stockholm, Sweden. Since then, every year,
Indonesia sends teams to IAO and later also to Asian
Pacific Astronomy Olympiad (APAO) since 2005 and

International Olympiad on Astronomy and


Astrophysics (IOAA) since 2007.
Due to the necessity to select students to be
inducted into the national team, since 2004, National
Astronomy
Olympiad
is
performed
under
collaboration between the Directorate of High School
Affairs and the National Team of Coach of
Astronomy. The National Olympiad activities has
triggered the demand of astronomy training for high
school students and teachers and enhanced the
widespread of astronomy knowledge. The large
number of high school students who are interested in
participating in astronomy olympiads cannot be
fulfilled by the Department of Astronomy alone, and it
needs cooperation with local universities.
2.

National Astronomy Olympiad


The first ever National Astronomy Olympiad in
Indonesia was held in Lembang, West Java, 2004. It
was performed under cooperation between the
Directorate of High School Affairs and the
Department of Astronomy of ITB whose staffs
became the members of National Coach Team. Later,
it was merged with the National Science Olympiad
(OSN) in 2005, by request of the Ministry of National
Education for budget efficiency reason.
The National Science Olympiad itself has been
underway since 2002, which originally consisted of
five fields, namely Physics, Mathematics, Biology,
Computer and Chemistry and was held for the first
time in Yogyakarta. Later, Astronomy, Economics

26

C. Kunjaya

and Geosciences were also included in the OSN. The


latest OSN event was held in Manado, North
Sulawesi, September 2011.
The National Science Olympiad (OSN) is actually
the third stage of science olympiad system in
Indonesia. Its participants are the champions and top
rankers of the provincial olympiads, and the
participants of the provincial olympiads are the
champions and top rankers of their respective
cities/regencies. In principle, any high school students
are eligible to participate at the city/regency level
Olympiad, provided they have the approval of their
respective schools. There are almost 500 cities and
regencies in Indonesia, each of which participate the
olympiad with the help from the central government.
The estimated total number of participants for each
field is about twenty thousand students from all over
Indonesia.
The best three to five of the city/regency
olympiad seeds are eligible to participate at the
provincial level olympiads. There are 33 provinces in
Indonesia, who hold their own olympiads annually.
The number of participants at the provincial level for
astronomy branch every year is about 1400 1700
students. Out of the pool of champions and the high
rankers of these events, about 100 student (84 students
in 2011, 115 students in 2010 for example) are eligible
to participate in the OSN.
In the astronomy branch of OSN, there are three
rounds: theoretical, observational and data analysis.
This competition system originally based on the IAO
system, then, it was later developed into different
form. While in IAO participants use papers, pens and
calculators, the participants of astronomy branch of
the OSN work using computers in theoretical rounds
since 2007. The main purpose of using computers is to
enable real-time scorekeeping, and the result can then
be published in the internet instantly; and allow the
olympiad to be broadcast [2] [3].
The juries start evaluating a few minutes after the
participants start working and submitting answers
through the local area network. Typically, the juries
finish checking all of the participants two or three
hours after the end of theoretical round. It is different
with the conventional style where the juries finish
checking all of the participants answer in the next
day. We can say that marking is done semi-realtime in
the new system.
The marks from juries can then be published in
the internet so that the public are then able watch the
change of the marks and ranks periodically until the
juries finish checking all of the participants answer.
The public can also participate in the competition
partially by sending the answer of the multiple choice
problems to the organizer by text message (SMS).
Another form of participation is SMS polling to
predict the best olympian and to elect the most favored
olympian. To attract more people to watch and
participate in the olympiad activities we also

cooperate with local television station, to raise popular


awareness of the event.
The SMS messages received by the organizer
reflect the level of public attention to the event. Since
2006 up to 2011, the number of SMS received from
the people is in increasing trend [3]. In the last OSN,
Manado 2011, we received more than 85,000
validated SMS messages (100,000, if the unvalidated
ones were also included). This result shows that
science olympiads can become an attractive event if
we change the way we do the olympiads by
incorporating information technology.
3.

International Level Olympiad


Currently there are three astronomy olympiads at
the international level: IAO, APAO and IOAA.
International Astronomy Olympiad (IAO) has been
held annually since 1996, under supervision of Euro
Asian Astronomical Society (EAAS). Indonesias
debut participation was in 2003, in the VIIIth IAO in
Stockholm, Sweden. All of the expenses for the
Indonesian teams participating in the IAO were paid
for by the Ministry of National Education of the
Republic of Indonesia since 2003 until 2010, where
the IAOs were held in Sweden, Ukraine, China, India,
Ukraine, Italy, China, Ukraine, consecutively. In
2010, the government ceased financial support for
IAO teams.
A team normally consists of two team leaders,
two senior and three junior high school students. They
will compete in three rounds, namely theoretical,
observational and practical rounds. The final score is
calculated by the formula 60% theory, 20%
observation, 20% practical. The distribution of prizes
is approved in the final team leaders meeting based
on the final score.
Due to the request from several IAO team leaders
from Asian countries to provide more opportunities to
Asian students to get international experiences, also
inspired by the birth of Asian Physics Olympiad
(APhO), in 2005 the first Asian Pacific Astronomy
Olympiad (APAO) was held in Irkutsk, Siberia,
Russia, supervised by EAAS. A full national team
competes in APAO, normally, consist of four senior
and four junior high school students, accompanied by
two team leaders.
Indonesia participated in the APAO event every
year except in 2007. The financial support, mostly,
come from provincial governments or schools whose
students were chosen as the Indonesian team member
to APAO, except in 2006 when the Ministry of
National Education provided financial support.
Indonesia had the honor to host the APAO in a remote
place, Tolikara, Papua Province in 2010. It is possible
to host the APAO in such remote area with little
facilities because the participating countries were few
in numbers.
In 2006, Thailand pioneered the founding of new
olympiad, namely The International Olympiad on

Extending Astronomical Education via Astronomy Olympiad Activities

Astronomy and Astrophysics (IOAA). The founding


countries who participated in the historical initial
meeting in Bangkok, 2006, were Thailand, Indonesia,
Poland, Iran and China. In the meeting, the first statute
of the IOAA was created. The rules in IOAA were
inspired not only by IAOs, but also rules in
International Physics Olympiad (IPhO). The other
decision made in the initial meeting was that Thailand
would host the first IOAA in Chiang Mai, 2007,
Indonesia would host the second in Bandung, 2008
and Iranian leader would propose to its government to
host the third in 2009.
A full national team participating in IOAA,
consist of 5 senior high school students accompanied
by two team leaders. Besides the main team, observers
are also allowed to participate, provided they pay for
their own accommodation and other expenses by
themselves. More information about IOAA can be
found in [1],[4],[5].
Some differences in comparing the IOAA to IAO
and APAO are: (1) no participation fee, all of the cost
are paid for by the host country, (2) juries are
astronomers or physicists from the host country, (3)
team leaders and students are housed at different
hotels (4) there is team competition, (5) problems are
proposed by host astronomers and decided by
international board which consist of the participating
team leaders, and (6) the organization is run by two
officers, the president and general secretary who are
elected from among team leaders every five years.
In the last IOAA, in Katowice, Poland, 2011, 29
team from 26 countries participated, making it the
fastest-growing astronomy olympiad. It also got the
recognition from International Astronomical Union in
2009. The next IOAA will be in Rio de Janeiro,
Brazil. More countries are expected to participate,
especially new participants from Latin American
countries, whose geographic locations are closer to the
venue. Also, Latin American countries have
established their own regional Astronomy Olympiad,
making the recruitment of new participating countries
for IOAA easier.
There is another olympiad activity which require
the knowledge of astronomy, that is International
Earth Science Olympiad (IESO). IESO has four fields
of
competition:
Geophysics,
Meteorology,
Oceanography and Astronomy. The Astronomy Coach
Team assisted the Earth Science Coach Team by
providing juries for their national olympiad, trainers
for the national training program, and team leader for
the national team.
4.

Selection and Preparatory Training for


National Team
The national team members for international level
astronomy competition are selected from the medal
winners of the national olympiad. Every year, thirty
students who win the gold, silver or bronze medals in
astronomy branch of the OSN are invited to

27

participate in national training. It is a very good


chance to disseminate astronomy knowledge and skill
to the bright students who win the three stages of
selection. It is also a good chance to present correct
image of astronomy education and jobs to good high
school students so that they will be in possession of
well-vetted and complete information about
astronomy before deciding on the course of their
tertiary education. Almost every year, few alumni of
astronomy olympiad enter the Department Of
Astronomy as students, and they usually yield
excellent academic performance.
Based on their performance during the training,
five top-tier students are selected for the IOAA
national team. The trainings are conducted under the
cooperation between the Directorate of High School
Affairs, Ministry of Education and Culture, and the
National Coach Team from the Department of
Astronomy, Institut Teknologi Bandung. The best
astronomy education facilities in the country, the
staffs and assistants of the Department of Astronomy,
ITB, the Bosscha Observatory and Jakarta planetarium
are utilized. All of the cost for the national olympiad,
training, selection and travel to the venue of the
olympiad are paid for by the Ministry of Education
and Culture.
When a team return from an international
astronomy events with medals, usually the news are
covered in mass media such as newspapers,
magazines, television etc. This is a good opportunity
to popularize the field of astronomy, attracting
potential students and also influencing the government
to become more attentive to astronomy education and
research.
5.

Inter-University Network for Olympiad


Activities
The multi-stage astronomy olympiad has created
the demand for astronomy training for students
interested in participating in astronomy branch of
National Sciences Olympiad. It also created the
demand for astronomical tools and equipment. The
business of astronomical equipment began to flourish
since the development of the astronomy olympiad
activities. This leads to creation of jobs for the alumni
of the Department of Astronomy, by becoming
science olympiad trainers or astronomical equipment
sales representatives or consultants.
However, Indonesia is a large archipelago country
with large population, and the cost for travelling from
one place to another on average is higher than in a
continental country. Considering the underdeveloped
infrastructures in many remote areas, travelling
between islands typically mean employing multi-mode
transportation arrangement, involving air, land, and
sea-born transportations. It is estimated that the
number of astronomers and alumni of the department
of astronomy will not be enough to serve all of the
training demand, and also it is in general quite

28

C. Kunjaya

expensive to transport these astronomers to other


islands.
Such problem exists also in other fields.
Therefore, an initiative from the Ministry of Education
and Culture to create an inter-university network for
olympiad activities was well-received by leaders of
the science olympiad coaches.
The main purpose of creating such a network is to
distribute the task of doing the olympiad selection and
training to several universities. In the beginning, the
national coach team provides training to a core cadre
of university staffs from various regions interested in
participating olympiad activities. It is hoped that they
can use the materials obtained from the training to
train the teachers and students in their regions. Such
training is important for the students in their
preparation to compete in city, regency, provincial or
national level science olympiad. If the job of regional
selection and training can be conducted by local
scientist, then the national coach team can concentrate
in training only the medal winners of the national
olympiad and focusing the strategy to win medals at
international-level olympiad.
Until now, only few regions have competent
olympiad trainers, most of the regions still need
assistance. In the future, when more regions have
competent coach, it is hoped that each provinces,
regencies and cities can do their own regional level
olympiad independently from the national coach team.
Particularly for astronomy branch, there are
additional activities such as the telescope donation
program. In 2008, when Indonesia hosted the second
IOAA, twenty-seven telescopes were purchased for
the observational round. They were of 20 cm
cassegrain type, equipped with CCD cameras, filters,
data reduction softwares and digital sky map. After the
event, the telescope were to be donated to the
universities all over Indonesia to strengthen the
astronomy cooperation between ITB, as the host
institution of National Astronomy Coach Team, and
the universities who are members of the interuniversity collaboration network for olympiad
activities.
Few universities have received the donation but
the donation program has yet to be completed due to
some budget and bureaucratic constraints. In addition,
the donated telescopes must be well-maintained, and
to be used effectively and properly for olympiad,
education and popularization of astronomy activities.
Therefore it is necessary to ensure fund and skill for
proper maintenance and operation of the telescopes.
To achieve this goal we set several preconditions
for the benefitting universities. They are to assign one
or two persons who will be responsible in maintaining,
managing and operating the telescope. These persons
must be skilled and knowledgeable in the operation of
the telescope and CCD camera. If the beneficiaries are
wanting in personnels with such skills and knowledge,
the Bosscha Observatory can provide training and

internship for university staffs appointed to the


position.
The other precondition is that the university must
allocate funds regularly for maintenance and operation
of the telescope, either from the university budget or
from other sources: especially city, regency or
provincial government expenditure budget. The
recipient candidates who have not met the condition
must make some effort to improve their condition to
the point of eligibility.
The telescope sets are good enough for simple
observational research work on certain objects such as
high-amplitude variable stars, crescent moon, the sun
etc. In the future, when all of the telescope have
already been distributed and operated optimally, we
can proceed to certain collaborative research,
education, and public service works among the
members of the inter-university network. One of the
public service activities with direct impact to the
community is the observation of first sight of crescent
after new moon (Hilal) for the purpose of dating some
religious events such as Eid ul Fitri or Ramadhan,
which are decided by the Ministry of Religion based
on the sight of the first crescent moon.
6. Summary and Conclusions
The astronomy olympiad activities have become a
means to popularize and disseminate astronomy
among high school students. Currently, the activities
are:
1. city/regency selection,
2. provincial selection,
3. National Science Olympiad,
4. training and formation of the national team,
5. Participation in International Astronomy
Olympiad,
6. Participation in Asian Pacific Astronomy
Olympiad,
7. Participation in International Olympiad on
Astronomy and Astrophysics.
8. Inter-university cooperation network
9. Telescope donation program.
There are three international-level astronomy
olympiads, namely IAO, APAO and IOAA. Indonesia
participates in all of the event almost every year to
provide international experience to more Indonesian
students.
The multiple stages of astronomy olympiad
activities in a large-population country like Indonesia
is a large task which cannot be handled by the few
existing astronomers. Inter-university cooperation
network is important for the distribution of astronomy
knowledge to students who are interested in
astronomy olympiad.
In the framework of the inter-university
cooperation, there is a telescope donation program for

Extending Astronomical Education via Astronomy Olympiad Activities

29

enhancing the astronomy olympiad activities in


provinces. The universities looking to become
recipient of the donation must fulfill certain
requirements to ensure the proper use and
maintenance of the telescopes. In the future the
network can cooperate not only in olympiad activities
but also in research and public service.

[4] , (2008), Proceeding of the first International


Olympiad on Astronomy and Astrophysics,
Chiang Mai, Thailand.

Acknowledgement
This report use few material from the result of IbIKK
project funded by the Directorate General of Higher
Education, Ministry of Education and Culture. We
thank the Directorate of High School Affairs, Ministry
of Education and Culture for the cooperation in
performing astronomy olympiad activities so that this
report can be delivered.

Discussion Session
Question: Introducing astronomy as a basic science in
basic level sounds very demanding without any help
or instruction on how to so. What is the plan?
Regarding the distribution of IOAA telescopes, what
should we do if the universities in our region do not
take part in preparing the student participation in
astronomy olympiad?
Answer: This is exactly one of the reasons of why we
need to build the network. We need to share the
knowledge, skills and everything and building a
network is the best available option.
Question: Stimulating students interest on astronomy
through olympiad may not be effective since the
students may get the wrong picture. That is, instead of
focusing on the beauty of astronomy, they may focus
themselves in winning the gold medal. How can we
keep the balance and reach the real goal?
Answer: Surely there will be desire to win the medal
but as we observed, public interest in astronomy
increases after we have the competition. The
competition itself does attract people to study
astronomy.

References
[1] B. Soonthornthum, and C. Kunjaya (2011),
International Olympiad on Astronomy and
Astrophysics, European Journal of Physics, 32,
S15.
[2] C. Kunjaya (2007), Broadening Peoples
Involvement in the Astronomy Olympiad Activities
Through Internet and Television Broadcasting,
Thai Journal of Physics, Proceedings of the 2nd
Physics Congress, 3, 202
[3] C. Kunjaya (2011), Internet Broadcasting for
Jazzing Up the Astronomy Olympiad and
Attracting More Students to Watch and Take Part,
NARIT Conference Series no 1 Thailand (in
Press).

[5] , (2009), Proceeding of the second International


Olympiad on Astronomy and Astrophysics, ed. C.
Kunjaya and T. Hidayat, Bandung, Indonesia.

30

Foto Presentasi Prof. Dr. Suhardja D. Wiramihardja

Foto presentasi Dr. Mahasena Putra (kiri) dan Dr. Chatief Kunjaya (kanan).

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 31 34, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

GELIAT ASTRONOMI DI KAMPUS BUMI SILIWANGI


JUDHISTIRA ARIA UTAMA
Laboratorium Bumi dan Antariksa, Jurusan Pendidikan Fisika,
FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
judhistira@yahoo.com

Abstrak. Mulai tahun akademik 1998-1999, Fakultas Pendidikan Matematika &


Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) atas
rekomendasi Konsorsium MIPA membuka empat program studi nonkependidikan,
yakni program studi Matematika, Biologi, Fisika, dan Kimia. Berkenaan dengan hal
tersebut, Jurusan Pendidikan Fisika telah mengalokasikan sekitar 1/3 (~ 30 40
mahasiswa) kuota penerimaan mahasiswa baru untuk program studi fisika pada
setiap tahunnya. Tersedia tiga Kelompok Bidang Kajian (KBK) yang dapat dipilih
oleh mahasiswa program studi Fisika, meliputi KBK Fisika Bumi dan Antariksa,
KBK Fisika Instrumentasi, dan KBK Fisika Material.Dalam makalah ini disajikan
pengalaman penulis sebagai salah satu alumnus Jurusan Astronomi FMIPA ITB
yang berkarir di salah satu perguruan tinggi kependidikan tersebut di atas. Aktivitas
yang dijalani mulai dari penyempurnaan konten materi perkuliahan, "banyak
beriklan" melalui berbagai kegiatan di dalam maupun luar kampus, upaya
penyempurnaan kurikulum, menghidupkan laboratorium Bumi & Antariksa hingga
proyeksi kebutuhan tenaga akademik di bidang sains antariksa dan impian ke depan
penulis turut pula diulas.
Kata Kunci: Prodi Fisika UPI, KBK Bumi & Antariksa

1. Berangkat dari Rasa Tidak Enak


Semua berawal pada saat Ramadhan 1429 H
(September 2008). Seorang rekan yang saya kenal saat
menjalani studi magister di Jurusan Astronomi ITB
yang juga menjadi dosen di salah satu PTN di kota
Bandung, menginformasikan adanya formasi PNS
untuk posisi dosen di Jurusan Pendidikan Fisika
FPMIPA UPI dengan kualifikasi minimal S2. Tidak
lama kemudian, rekan saya lainnya yang juga samasama saya kenal saat studi S2 di ITB dan menjadi
dosen di PTN yang sama dengan rekan pertama
tersebut, menginformasikan perihal yang sama.
Sejujurnya, interaksi antara saya dengan mereka
berdua tidaklah intim. Perkenalan saya dengan mereka
terjadi menjelang perhelatan APRIM (Asia-Pacific
Regional IAU Meeting) pada bulan Juli tahun 2005 di
Nusa Dua, Bali, silam. Beruntung, saat itu kami samasama berkesempatan menghadiri event berskala
internasional tersebut. Saat itu, mereka sudah lebih
dahulu tercatat sebagai mahasiswa magister astronomi
di ITB dan sedang mempersiapkan tesis, sementara
saya baru menyelesaikan tahap registrasi dan akan
memulai perkuliahan pada bulan berikutnya.
Sekembalinya kami dari Bali, saat menjalani
perkuliahan di ITB, frekuensi perjumpaan antara saya
dengan mereka pun dapat dikatakan jarang.
Karenanya, bagi saya kontak yang mereka lakukan
terkait informasi formasi PNS di institusi mereka,
agak
mengejutkan.
Lebih
dari
sekadar

menginformasikan, keduanya memaksa saya untuk


bersegera menyiapkan segala persyaratan yang
diperlukan dan menginstruksikan untuk mengakses
situs resmi UPI guna memperoleh informasi lebih
lengkap.
Sejujurnya pula, saat itu, hampir satu tahun
pascakelulusan dari studi S2, saya pribadi sedang giatgiatnya membesarkan sebuah CV yang baru didirikan
bersama-sama dengan seorang senior alumni
Astronomi. Aktivitas kami terutama dalam pelatihan
Astronomi terkait dengan perhelatan olimpiade sains
termasuk salah satunya bidang Astronomi untuk
siswa-siswa Sekolah Menengah Atas, bergandengan
dengan event organizer untuk aktivitas peneropongan
dan kegiatan eksplorasi sains bagi keluarga maupun
sekolah hingga penjualan teleskop dan pernakperniknya. Dengan kata lain, saat itu tidak terbersit
dalam benak saya untuk melakukan apa yang
disarankan oleh kedua rekan dosen di atas: melamar
sebagai PNS dosen di salah satu PTN di kota
Bandung!
Berhari-hari lamanya, informasi dari rekan-rekan
dosen UPI tersebut tidak saya indahkan. Hingga
akhirnya terlintas dalam pikiran saya, apa yang dapat
saya katakan manakala mereka bertanya apakah
semua persyaratan sudah saya penuhi dan kirimkan ke
bagian SDM UPI? Akhirnya, tepat pada tanggal 23
September 2008 saya berangkat menuju kampus UPI
untuk menyerahkan berkas dengan satu tujuan: untuk

32

J. A. Utama

menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan dosen


saya. Dan sudah takdir pula, ternyata saya adalah
pelamar pertama untuk posisi dosen dengan latar
belakang keilmuan astronomi yang akan ditempatkan
di Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI. Saya tidak
ambil pusing, berapa banyak lagi pelamar yang akan
menemani saya untuk memperebutkan jatah satu kursi
tersebut, karena bagi saya yang penting adalah saya
sudah punya jawaban bila nanti ditanya oleh mereka.
Faktanya, hanya ada tiga pelamar (termasuk diri
saya) untuk posisi dosen dengan latar belakang
astronomi yang memasukkan berkas. Seberapa
besarkah kuantitas komunitas Astronomi Indonesia?
Sudah tentu kami bertiga saling kenal satu sama lain.
Proses seleksi berupa Tes Potensi Akademik (TPA),
bahasa Inggris, dan berakhir dengan wawancara di
Ruang Seminar Jurusan Pendidikan Fisika, selalu
kami jalani bersama. Dengan kata lain, tidak satu pun
di antara kami yang tereliminasi di tengah jalan.
Menariknya, dalam wawancara tersebut seluruh
kandidat dosen Jurusan Pendidikan Fisika ini (ada
enam kandidat: tiga kandidat untuk satu posisi dosen
berlatar belakang astronomi, dua kandidat untuk satu
posisi dosen berlatar belakang instrumentasi, dan satu
kandidat untuk satu posisi dosen berlatar belakang
pendidikan fisika) dikumpulkan bersama. Ketika
disodori pertanyaan yang sama ataupun berbeda,
masing-masing kandidat tentu meresponnya dengan
pemikiran genuine masing-masing. Perjalanan proses
seleksi ini pun mencapai ujungnya, ketika pada akhir
November 2008 diumumkan melalui situs resmi UPI,
bahwa sayalah di antara kami bertiga yang direkrut
menjadi staf dosen.
2. Banyak Beriklan
Pada tanggal 26 Januari 2009 terjadi Gerhana
Matahari Cincin (GMC) yang dapat diamati dari
sebagian wilayah Indonesia. Ekspedisi GMC yang
melibatkan hampir seluruh dosen Jurusan Pendidikan
Fisika tersebut, sekaligus momen refreshing sebelum
memulai tugas di semester genap, menjadi debut
pertama saya untuk unjuk kerja. Memilih lokasi
pengamatan di Pantai Anyer, Banten, saya melakukan
teknik multiple exposure dalam astrofotografi dengan
objek Matahari dan Bulan. Ternyata, belum ada
dosen-dosen fisika, termasuk yang hobi fotografi,
yang pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Sejujurnya, melakukan hal tersebut juga yang pertama
kali bagi saya. Modalnya hanya pengalaman ekspedisi
GMC bersama tim pengamat gerhana ITB pada tahun
1998 silam ke Dumai, Riau. Sayang, meski segala
sesuatu telah melalui perhitungan yang cermat, saya
gagal memperoleh citra sekuensial gerhana dalam satu
bingkai citra. Karena ternyata ketika film diproses
sekembalinya kami ke Bandung, tidak muncul gambar
apapun!
Menjadi anggota baru dalam squad tim dosen
Jurusan Pendidikan Fisika UPI, saya gunakan untuk
bersosialisasi dan banyak belajar dari para dosen

senior maupun sesama rekan dosen muda yang telah


lebih dulu bergabung. Mulai dari Prosedur
Operasional Baku (POB) pelaksanaan perkuliahan,
mempelajari silabus dan Satuan Acara Perkuliahan
(SAP) untuk masing-masing mata kuliah yang
ditugaskan, termasuk mempersiapkan keseluruhan
materi sesuai silabus selama perkuliahan satu
semester. Beruntung, selama menjalani studi magister
saya memiliki banyak koleksi slide presentasi
perkuliahan, baik yang sifatnya serius maupun
populer. Jadi, saya tidak menjumpai banyak
kesulitan untuk suplai materi. Semua tinggal saya
sesuaikan dengan standar kompetensi dan indikator
capaian sebagaimana tertulis dalam SAP.
Menjadi dosen muda dan mengemban tugas
sebagai dosen pendamping maupun mandiri dalam
team teaching langsung saya alami pada semester
genap tahun akademik 2008 2009 yang dimulai pada
1 Februari 2009. Pada waktu itu total ada sejumlah 11
SKS yang saya ampu untuk mata kuliah Fisika Dasar I
(4 SKS; dosen pendamping), Eksperimen Fisika Dasar
I (2 SKS; dosen pendamping), Pengantar Fisika Bumi
dan Antariksa (2 SKS; dosen utama untuk topik
keantariksaan), dan Ilmu Pengetahuan Bumi dan
Antariksa (3 SKS; dosen utama untuk topik
keantariksaan).
Kontribusi pertama yang dapat saya berikan adalah
melakukan revisi yang dianggap perlu terhadap isi
perkuliahan. Di dalam silabus perkuliahan Ilmu
Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA), disajikan
materi tentang sistem koordinat langit. Mahasiswa
untuk pertama kali diperkenalkan pada penggunaan
satuan sudut untuk menyatakan jarak antarbenda di
bola langit. Termasuk di dalamnya perluasan satuan
sudut yang telah dikenal, radian dan derajat, menjadi
satuan yang lebih kecil, yaitu menit busur dan detik
busur. Sejalan dengan kompetensi dasar yang ingin
dicapai, yaitu memahami konsep gerak dan posisi
benda langit serta mengembangkan kemampuan
bernalar, sejak semester genap 2008 2009 tersebut,
bagi mahasiswa yang mengontrak perkuliahan IPBA
mendapatkan materi aplikasi konsep sudut dalam
penentuan geodesik (jarak sudut terpendek) dan arah
di permukaan bola. Perluasan aplikasi pengetahuan
tentang sudut ini tidak bisa dihindari membawa
konsekuensi kepada bertambah kompleksnya konsep
yang harus dikuasai. Namun demikian, kompleksitas
tersebut layak diberikan kepada mahasiswa demi
menambah kemampuan bernalar mereka. Sebagai
konsekuensinya, pengetahuan tentang dasar-dasar
trigonometri bola (spherical trigonometry) menjadi
materi lanjutan pembahasan sistem koordinat
geografis, sekaligus menjadi landasan bagi
pembahasan sistem koordinat langit. Dengan adanya
tambahan muatan perkuliahan ini, mahasiswa
memiliki wawasan dan keterampilan dalam
mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari, seperti
dalam penentuan arah kiblat. Dan imbasnya, pada
awal semester ini, sejumlah mahasiswa Jurusan

Geliat Astronomi di Kampus Bumi Siliwangi

Pendidikan Fisika telah meminta kesediaan saya


sebagai pembimbing dalam proposal PKM (Program
Kreativitas Mahasiswa) bidang pengabdian kepada
masyarakat dengan judul Gerakan Penyempurnaan
Arah Kiblat di Kota Bandung dan Sekitarnya.
Beruntungnya saya, karena sejak tahun 2002 telah
berdiri Forum Ilmiah Fisika CAKRAWALA sebagai
wadah bagi mahasiswa fisika yang memiliki minat
dalam
astronomi.
Pada
awal
2007,
FIF
CAKRAWALA berubah menjadi Unit Kegiatan
Khusus (UKK) CAKRAWALA sebagai sebuah
organisasi yang berbadan hukum di dalam BEM
Himpunan Mahasiswa Fisika FPMIPA UPI. Dengan
kehadiran organisasi ini, tugas saya dalam
menularkan virus astronomi menjadi tidak terlalu
berat. Ibarat kendaraan, organisasi ini sudah distarter
dan bergerak. Tugas saya hanya tinggal mengarahkan
agar kegiatan-kegiatan mereka tepat sasaran. Uniknya,
para pendiri CAKRAWALA ini adalah mahasiswa
Fisika UPI yang saya kenal sejak kuliah S1 di ITB
dulu. Mereka bergabung dalam Forum Kajian Ilmu
Falak ZENITH yang dibentuk oleh mahasiswa
Astronomi ITB di mana saya pernah menjabat sebagai
ketua. Ada dari pendiri CAKRAWALA tersebut yang
sekarang juga menjadi dosen di Jurusan Pendidikan
Fisika.
UKK CAKRAWALA rutin melakukan pembinaan
kepada para anggotanya melalui kegiatan kuliah
umum dari dosen, eksplorasi alat-alat sains kebumian
dan astronomi hingga menggelar observasi siang
maupun malam. Sejak Ramadhan 1429 H (Agustus
2010) hingga sekarang, UKK CAKRAWALA terlibat
dalam kegiatan observasi bulan sabit. Pelaksanaan
kegiatan observasi bulan sabit di awal bulan-bulan
Hijriyah yang merupakan imbas dari keikutsertaan
UPI sebagai salah satu simpul dalam Jejaring
Pengamatan Hilal Nasional yang diinisiasi pada tahun
2010 tersebut merupakan salah satu bentuk beriklan
kepada masyarakat kampus pada umumnya dan
mahasiswa fisika UPI pada khususnya.
3. Menyempurnakan Kurikulum
Sejak tahun akademik 2009 2010, saya mulai
mendapat amanat dari Jurusan Pendidikan Fisika
untuk menjadi Pembimbing Akademik (PA) bagi
mahasiswa baru Program Studi Pendidikan Fisika, di
samping juga mulai mendapat penugasan sebagai
pembimbing skripsi mahasiswa, baik dari Program
Studi Pendidikan Fisika maupun Program Studi
Fisika.
Seiring berjalannya waktu, terlihat bahwa minat
mahasiswa Fisika dalam kajian sains antariksa terus
meningkat. Hal ini tecermin dari bertambahnya jumlah
mahasiswa Program Studi Fisika yang mengambil
topik dan tempat Program Latihan Akademik (PLA) di
lembaga-lembaga riset seperti LAPAN, BMKG, dan
Observatorium Bosscha. Topik yang dipilih
mahasiswa dalam kegiatan PLA tersebut, yang

33

lazimnya dilanjutkan sebagai bahan skripsi, cukup


beragam. Secara umum berkenaan dengan studi
aktivitas matahari dan keterkaitannya dengan bumi,
studi atmosfer dan pemanfaatannya sebagai prekursor
gempa bumi, studi visibilitas hilal dan kecerahan
langit senja, mekanika orbit, hingga astrometri dan
fotometri.
Meskipun terlihat adanya pertumbuhan minat
terhadap kajian sains antariksa yang menggembirakan,
dalam kurikulum 2008 Jurusan Pendidikan Fisika
FPMIPA UPI, konten terkait kajian ini baru
diakomodasi dalam tiga perkuliahan saja, seperti yang
tertera pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan saudaranya, sains
kebumian, sains antariksa dalam kurikulum Jurusan
Pendidikan Fisika belum memiliki mata kuliah pilihan
sebanyak sains kebumian. Selain mata kuliah pilihan
di atas, sains kebumian masih memiliki mata kuliah
pilihan Geologi Geofisika, Eksplorasi Geofisika, dan
Kapita Selekta Fisika Bumi. Melihat perkembangan
yang ada, menjadi cukup beralasan untuk dapat
menyediakan jumlah mata kuliah pilihan tambahan
dalam KBK (Kelompok Bidang Kajian) Bumi dan
Antariksa bagi mahasiswa yang tertarik mendalami
sains antariksa, seperti Astronomi Posisi, Mekanika
Orbit, dan Kapita Selekta yang dapat diisi topik-topik
pemerkaya wawasan seperti Fotometri Hilal, Polusi
Cahaya, atau Cuaca Antariksa.
4. Menghidupkan Laboratorium Bumi dan
Antariksa
Pada tahun 2000, UPI memperoleh bantuan hibah
dari pemerintah Jepang melalui JICA (Japan
International Cooperation Agency) berupa gedung
baru FPMIPA. Untuk Jurusan Pendidikan Fisika,
dilengkapi pula dengan fasilitas Laboratorium Bumi
dan Antariksa beserta alat-alat peraga hands-on sains
kebumian dan antariksa, termasuk dua buah teleskop
motorized: Celestron 11 dengan mounting Vixen
Atlux dan Meade 125 ETX yang saat ini belum dalam
kondisi siap riset karena bermasalah dengan
mekaniknya.
Pada pertengahan tahun 2011, koleksi instrumen
bertambah dengan kehadiran Sky Quality Meter
produk dari Unihedron yang dalam roadmap
penelitian akan dimanfaatkan dalam studi polusi
cahaya
(light
pollution).
Dalam
workshop
pengembangan laboratorium yang diselenggarakan
Jurusan Pendidikan Fisika baru-baru ini berkenaan
dengan hibah DIA BERMUTU, dosen-dosen yang
terlibat dalam pengembangan Laboratorium Bumi dan
Antariksa bersepakat untuk mengembangkan stasiun
cuaca mini dan mengoptimalkan instrumen yang ada
dalam membangun basis data (seperti temperatur dan
kecepatan angin harian, curah hujan, citra Bulan sabit,
citra Matahari dan sunspot, serta kecerahan langit
senja dan fajar) bagi kegiatan perkuliahan dan
laboratorium berbasis riset. Dalam hal ini, detektor

34

J. A. Utama

Tabel 1. Mata kuliah dengan muatan Astronomi


Mata Kuliah

Status

Beban SKS

Semester

Peserta

Wajib &
Pilihan

Mahasiswa Program Studi Pendidikan


Fisika dan Program Studi Fisika

FI355 Pengantar
Fisika Bumi dan
Antariksa

Wajib &
Pilihan

Mahasiswa Program Studi Pendidikan


Fisika dan Program Studi Fisika

FI567 Astrofisika

Wajib &
Pilihan

Mahasiswa Program Studi Pendidikan


Fisika dan Program Studi Fisika

FI322
Ilmu Pengetahuan
Bumi dan Antariksa

berupa kamera DSLR CANON EOS1000 D akan


dioptimalkan dalam bidang riset DSLR photometry
hingga dimilikinya kamera CCD baru.
Idealnya, dalam suatu laboratorium, ada unsur
yang mewakili kajian teoretik dan observasi. Saat ini,
komposisi dosen dengan latar belakang keilmuan
Astronomi, baru berjumlah tiga orang. Ke depan,
diharapkan dapat menambah jumlah doktor, baik
dengan mengirimkan dosen yang ada untuk studi
doktoral atau melakukan rekrutmen baru, untuk
semakin memperkokoh formasi tenaga dosen dan
peneliti. Tidak saja untuk bidang antariksa
(astronomi), namun juga bidang sains atmosfer,
sebagai kajian yang menjembatani antara sains
kebumian dan antariksa.
5. Penutup
Telah dipaparkan pengalaman Penulis sebagai
salah satu alumni Jurusan Astronomi FMIPA ITB
yang berkarir di universitas pendidikan/LPTK. Setiap
orang pasti memiliki impian di lingkungan tempatnya
berada. Tak terkecuali kondisi impian di tempatnya
bekerja. Sebagai seorang dosen dengan latar belakang
keilmuan astronomi, saya pribadi memiliki impian
untuk dapat menambahkan perkuliahan yang mampu
membekali mahasiswa yang berminat dengan bidang
kajian ini dengan lebih luas dan dalam di dalam
struktur kurikulum Jurusan Pendidikan Fisika.
Kurikulum yang baik harus dapat merespon
perkembangan yang terjadi di luar sana, sehingga
revisi secara berkala untuk selalu membuatnya up to
date menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Dengan
demikian, terbuka pintu dengan lebar untuk dapat
menambah
konten
astronomi
dalam tubuh
kurikulum Jurusan Pendidikan Fisika sejalan dengan

perkembangan zaman dan meningkatnya animo


mahasiswa.
Selain itu, saya pun mengimpikan kehadiran
laboratorium yang dikenal karena riset-risetnya yang
berbasis sains antariksa namun tetap membumi,
seperti terlihat dalam studi polusi cahaya dan
fotometri hilal. Tanpa bermaksud menjadi rival bagi
institusi Jurusan Astronomi yang telah lebih dulu eksis
dengan tradisi risetnya yang telah mengakar, saya
melihat menjadi hal yang penting untuk menjadi
berbeda sebagai suatu ciri khas atau trade mark
yang harus dimiliki oleh Laboratorium Bumi dan
Antariksa FPMIPA UPI untuk bisa menjadi yang
terbaik di salah satu lini.
Sesi Diskusi
Pertanyaan: Berkaitan dengan sarana dan prasarana
laboratorium, apakah sudah ada rencana untuk
membangun network dengan institusi lain?
Jawaban: Membangun network adalah salah satu
upaya yang sedang dilakukan mengingat sumber daya
yang juga masih sedikit.
Pertanyaan: Ketika berhadapan dengan siswa yang
dipersiapkan untuk ikut Olimpiade Astronomi, kita
sering mendapat pertanyaan dari siswa tentang apa
yang bisa dikerjakan oleh lulusan Astronomi.
Bagaimana kita menyikapi pertanyaan tersebut?
Jawaban: Menjadi alumni Astronomi adalah suatu
kebanggaan tersendiri karena kita bebas menjadi apa
saja. Karena bekal cara berpikir saintifik yang
diberikan dapat diterapkan di berbagai bidang kerja.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 35 38, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ASTRONOMI DI SMA


MARIANO NATHANAEL1,2
1

SMAN 2 Bandung
FPA Kota Bandung
mariano_nathanael@yahoo.co.id
2

Abstrak. Kurikulum pelajaran di SMA saat ini sangat kurang dalam mendukung
pengetahuan dan perkembangan ilmu Astronomi bagi peserta didik, sementara itu di
pihak lain Pemerintah melalui Olimpiade Sains Nasional (OSN) telah memasukkan
Astronomi sebagai salah satu bidang lomba yang dipertandingkan karena bidang ini
juga dipertandingkan di level internasional. Karena itu, terdapat kesenjangan dari
segi kurikulum dalam pendidikan Astronomi di Indonesia khususnya di tingkat
SMA. Berbagai usulan dicoba dikemukakan dalam tulisan ini untuk menjawab dan
memberi solusi bagi permasalah tersebut.
Kata Kunci: Seminar Pendidikan Astronomi, Kurikulum SMA.

1.

Tidak ada lagi materi khusus Astronomi di Fisika,


tetapi ada di mata pelajaran Geografi, hanya
membahas teori pembentukan tata surya saja

Pendahuluan

Pendidikan Astronomi adalah usaha untuk


membagikan ilmu tentang Astronomi kepada orang
lain dengan cara yang sistematis, terstruktur, dan
berjenjang. Di Indonesia, ilmu tentang alam semesta
ini masuk dalam pendidikan di SMA dalam beberapa
tahapan, yaitu :

5) Kurikulum 2004 (KTSP) sampai sekarang


Tidak ada lagi di pelajaran Fisika, tetapi ada di
pelajaran Geografi kelas X. Kompetensi Dasar
minimal (KD) adalah: mendeskripsikan tata
surya dan jagat raya.

1) Kurikulum 1975
Melalui mata pelajaran IPBA (Ilmu Pengetahuan
Bumi dan Antariksa) yang merupakan pelengkap
dari mata pelajaran Fisika. Materinya adalah
Galaksi, Tata Surya, peredaran Matahari dan
Bulan, juga sistem koordinat langit
2) Kurikulum tahun 1994
Materi Bola langit dimasukkan ke dalam kelas 2
semester akhir. Materi Jagat Raya, bintangbintang dan Matahari dimasukkan ke kelas 3
semester akhir.
3) Kurikulum 1994 GBPP 1999
Masih dalam mata pelajaran Fisika dengan materi
yang sama, tetapi dipindahkan semua ke kelas 2.
4) Kurikulum 2002 (KBK)

Di mata pelajaran Fisika ada beberapa materi


pembelajaran yang bisa dihubungkan dengan
Astronomi, yaitu :
1) Kelas X mempelajari teropong, tetapi hanya
sampai rumus perbesaran dan panjang teropong
2) Kelas XI mempelajari Hukum Gravitasi Newton
(lebih pada penerapan matematika vektor) dan
Hukum Kepler 3.
3) Di kelas XII mempelajari daya pisah alat optik,
gelombang elektromagnetik, radiasi benda hitam,
reaksi inti dan relativitas khusus.

2.

Latar Belakang Permasalahan

Melihat perkembangan pendidikan di SMA, dari


tahun ke tahun ternyata pendidikan Astronomi
semakin berkurang porsinya. Di mata pelajaran

36

M. Nathanael

Geografi, tuntutan dari Kompetensi dasar memakai


kata kerja operasional : mendeskripsikan tata surya
dan jagat raya yang merupakan lingkup dari ranah C2
dari 6 tingkatan ranah C1-C6 yang diajukan oleh
Bloom. Artinya tuntutan penguasaan peserta didik
terhadap tata surya dan jagat raya tidak harus sampai
mendalam.
Demikian juga halnya dengan materi Astronomi
yang beririsan dengan Fisika, meskipun sifatnya lebih
kuantitatif, tetapi pemahamannya tidak sampai
mendalam. Pembahasan tentang teropong hanya pada
persamaan perbesaran dan panjang teropong. Materi
Hukum Gravitasi lebih dititikberatkan pada penerapan
matematika vektor. Hukum Kepler hanya membahas
hukum yang ketiga saja, itupun yang berlaku di Tata
Surya dengan Matahari sebagai porosnya. Materi
Astronomi yang lain pun tidak dibahas secara
mendalam.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, bisa
disimpulkan bahwa pelajaran Astronomi sangat
miskin dalam kurikulum KTSP yang sekarang
berlaku. Memang KTSP memberikan keleluasaan
kepada guru dalam penyampaian materi di luar materi
minimal yang diberikan (disebut materi pengayaan),
tetapi faktor waktu yang sedikit dengan kurikulum
yang padat membuat program pengayaan tidak dapat
mencapai hasil yang maksimal, terlebih lagi
penguasaan materi Astronomi di kalangan guru Fisika
dan guru Geografi juga sangat minim. Hal ini akan
berdampak pada pengajaran Astronomi yang terjadi di
kelas menjadi berkurang kedalaman materinya ketika
disampaikan.
Sementara itu, setiap tahun lomba Olimpiade
Sains Nasional selalu menuntut peserta didik
menguasai ilmu Astronomi dengan mendalam supaya
dapat berkompetisi bahkan sampai level dunia.
Dengan melihat kenyataan yang terjadi di sekolah ini,
hanya segelintir siswa yang memiliki sarana yang
tepat, pembina yang handal atau situasi yang
mendukung (termasuk motivasi yang kuat) yang dapat
berkompetisi dengan baik sejak dari level
Kota/Kabupaten sampai level nasional, artinya
kesempatan berkompetisi di ajang OSN Astronomi
tidaklah sama untuk seluruh siswa SMA di Indonesia
karena tidak meratanya pengetahuan dan sarana
pendukung pengetahuan keastronomian di SMA
seluruh Indonesia.

3.

Perumusan Masalah

Dengan mengkaji latar belakang permasalahan di


atas, dapat dirumuskan masalah yang lebih spesifik
yang bisa diberikan solusi yang lebih baik, yaitu :
1) Bagaimana supaya peserta didik dan guru di
tingkat SMA di seluruh Indonesia dapat
memperoleh pembinaan keastronomian yang
memadai? (baik untuk persiapan OSN maupun
untuk memasyarakatkan ilmu Astronomi)
2) Bagaimana supaya seluruh wilayah Indonesia
dapat menerima pembinaan keastronomian yang
terkoordinir dan merata?

4.

Mencari Solusi

Permasalah yang diungkapkan dalam bagian


rumusan masalah memiliki solusi yang bersifat global,
artinya melibatkan segenap siswa SMA, guru-guru
pembina Astronomi dan seluruh tenaga pendidik dan
mahasiswa Astronomi dan juga masyarakat awam
karena sasarannya adalah seluruh wilayah Indonesia
Untuk mengubah kurikulum yang berlaku
bukanlah hal yang mudah karena memiliki
keterkaitan-keterkaitan yang rumit dengan pemerintah,
penentu kebijakan pendidikan dan penerima kebijakan
pendidikan. Oleh karena itu, solusi yang diharapkan
bukan dari perubahan pembinaan yang terjadi di
dalam kelas, tetapi pembinaan di luar jam pelajaran.
Beberapa hal yang biasanya disahakan sekolah
adalah :
1) Membentuk ekskul khusus untuk OSN Astronomi
yang tujuannya mempersiapkan siswa dalam
mengikuti OSN Astronomi. Pembina biasanya
dari sekolah itu sendiri yang terdiri dari guru
Fisika, Geografi dan Matematika. Materi
pembinaan biasanya tidak terstrukutur, lebih
banyak mengambil materi dari pelajaran di kelas,
padahal materi Astronomi jauh lebih luas
daripada yang di dalam kelas.
2) Mengundang pelatih dari luar khusus untuk
persiapan OSN. Ini membutuhkan biaya yang
cukup besar karena pelatihan harus rutin, tidak
cukup hanya sekali atau dua kali.
3) Bekerja sama dengan grup keastronomian,
misalnya di Kota Bandung ada FPA (Forum
Pembina Astronomi) atau di Jakarta ada HAAJ.
Inipun membutuhkan biaya dari sekolah, dan
pelaksanaannya di Kota Bandung sampai saat ini
belum efektif, karena FPA Kota Bandung juga

Perkembangan Pendidikan Astronomi di SMA

terdiri dari guru-guru Fisika, Matematika,


Geografi, TIK dan Bahasa Inggris yang juga tidak
memiliki latar belakang keastronomian yang
memadai.

Dengan memperhatikan permasalahan yang ada


dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak
sekolah, maka beberapa solusi yang bisa ditawarkan :
1) Mengorganisir tim yang akan masuk ke sekolahsekolah
untuk
menawarkan
membuka
ekstrakurikuler Astronomi di sekolah tersebut.
Tentu harus dilengkapi dengan kurikulum yang
berjenjang dan sarana keastronomian yang
memadai. Kurikulum yang ditawarkan untuk
ekstrakurikuler ini harus sama untuk semua
sekolah sehingga siswa SMA menerima
pendidikan keastronomian yang sama dan ketika
berkompetisi di ajang olimpiade setidaknya
memiliki pemahaman dasar keastronomian yang
sama. Selama ini pembinaan keastronomian di
sekolah-sekolah
terjadi
menjelang
dilaksanakannya seleksi olimpiade tingkat
kota/kabupaten, dan itupun dengan persiapan
yang seadanya. Dengan adanya tim ini,
pembinaan Astronomi tidak hanya terjadi ketika
menjelang olimpiade berlangsung saja, tetapi
memang sudah menerima pendidikan dari awal.
2) Membuka olimpiade sains bidang Astronomi
sejak tingkat SD atau SMP, supaya pembinaan
keastronomian bukan hanya dimulai dari tingkat
SMA saja, tetapi dari awal sudah menerima
pembinaan. Membina anak SMA dari awal
dibandingkan dengan membina anak SMA yang
sudah memiliki pengetahuan Astronomi lebih
dulu tentu akan berbeda, sehingga sangat
dirasakan perlunya pembinaan dari sejak tingkat
SD maupun SMP. Pembinaan ini sebelum seperti
terputus sehingga jika dibina di tingkat SMA
harus mulai dari yang paling dasar dan perlu
waktu yang lebih lama.
3) Membuat jaringan astronomi untuk seluruh
wilayah Indonesia yang melibatkan seluruh
sekolah, himpunan keastronomian dan juga
terbuka untuk orang awam sehingga melalui
jaringan ini pembinaan bisa lebih terkoordinasi
dan sama untuk seuruh Indonesia. Jaringan ini
akan saling memberi informasi dan juga
pembinaan baik dari pusat ke jaringan maupun
dari jaringan ke pusat. Pengamatan praktis juga
bisa dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan

37

peralatan yang di harapkan sama bagi sehingga


data benda langit yang diperoleh lebih akurat.
Jaringan juga dibentuk dengan kelompokkelompok keastronomian yang ada di berbagai
kota (misalnya : FPA di Kota Bandung, HAAJ di
Jakarta, JAC di Jogja, dll.)
4) Membuat sebanyak mungkin buku-buku tentang
Astronomi dengan harga yang murah, dari materi
yang mudah sampai yang mendalam, yang
diedarkan di seluruh toko buku di seluruh
Indonesia sehingga dengan mudah dan murah
masyarakat Indonesia dapat memperoleh materi
Astronomi di mana saja. Jika kita melihat di tokotoko buku saat ini, buku tentang materi Astronomi
sangat jarang. Kalaupun ada biasanya bukunya
bersifat lux, mahal karena banyak foto-foto
berwarna, terlebih lagi materinya tidak
mendalam. Jika buku Astronomi yang isinya
berkualitas tetapi murah dapat melimpah di
berbagai toko buku, kita bisa mengharapkan
pendidikan Astronomi kepada masyarakat melalui
buku-buku tersebut.

4.

Kesimpulan

Untuk mewujudkan hal-hal tersebut di atas


bukanlah perkara yang mudah, tetapi jika
dilaksanakan bersama-sama maka pendidikan
Astronomi tidak lagi berharap hanya pada para
pembina Astronomi atau diharapkan terjadi ruang
kelas, tetapi dengan sendirinya ketertarikan akan
Astronomi muncul di masyarakat Indonesia dan
pendidikan Astronomi akan berjalan dengan
sendirinya dan belajar Astronomi dapat menjadi
pengalaman yang menyenangkan.

Ucapan Terima Kasih


Terimakasih di ucapkan kepada :
1.

Prodi Astronomi yang telah membuka


kesempatan untuk menyampaikan kesulitankesulitan yang dialami oleh sekolah dalam
mengembangkan pendidikan Astronomi

2.

Rekan-rekan Guru yang menjadi Pengurus di FPA


(Forum Pembina Astronomi) di Kota Bandung
yang telah memberi saran dan masukan yang
berharga bagi isi tulisan ini.

Daftar Pustaka

38

M. Nathanael

[1] Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of


Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive
Domain. New York: David McKay.

Jawaban: Beberapa sekolah juga sudah menjadikan


Astronomi sebagai muatan lokal tetapi tentu saja tiap
sekolah bisa berbeda.

[2] PERMENDIKNAS No. 22 tahun 2006 tentang:


Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.

Pertanyaan: Seringkali siswa memiliki rasa ingin tahu


yang besar sehingga guru sering kesulitan untuk
menjawab semua pertanyaan siswa apalagi mengenai
Astronomi yang minim sekali referensi pendukungnya
khususnya yang berbahasa Indonesia. Di lain pihak,
bidang Fisika sendiri sudah banyak sekali materi yang
harus dikuasai oleh guru. Memasukkan Astronomi
dalam kurikulum akan membebani siswa dan guru.

Sesi Diskusi
Pertanyaan: Apakah sudah ada ide mengenai format
pendidikan Astronomi untuk tingkat sekolah dasar?
Mengingat Astronomi sendiri dikenal sebagai ilmu
yang sulit bahkan untuk para guru.
Jawaban: Tentu saja perlu pentahapan dimana setiap
tahap memiliki tingkat kesulitan yang berbeda,
misalnya untuk tingkat dasar bisa dimulai dengan
pengamatan fenomena alam yang berhubungan
dengan ilmu Astronomi.
Pertanyaan: Apakah sebaiknya Astronomi diusulkan
untuk menjadi muatan lokal (mulok) saja?

Jawaban: Setuju bahwa muatan kurikulum sudah


terlalu berat. Perlu dipikirkan solusi untuk itu.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 39 42, April 2012


2012. Peringatan 60 TahunPendidikanAstronomi di Indonesia

PENDIDIKAN ASTRONOMI DALAM KURIKULUM SEKOLAH


WASIS1,*), MIKRAJUDDIN ABDULLAH2,*)
1)
2)

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia


Institut Teknologi Bandung, Indonesia

*)Anggota

Tim Ad-hoc BSNP dalam Penyempurnaan Standar Isi Mata Pelajaran Fisika

Abstrak.Pembelajaran materi astronomi dalam kurikulum sekolah telah


mengalami berbagai model, antara lain menjadi pelajaran tersendiri, masuk ke
dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA), dan
menjadi bagian mata pelajaran IPA-Fisika. Dalam draft penyempurnaan Standar
Isi, materi astronomi menjadi bagian mata pelajaran IPA. Materi astronomi
tersebut pada tingkat SD/MI dikemas dalam topik Bumi dan Alam Semesta dan
disajikan secara spiral; untuk SMP/MTs dikemas dalam topik Tata Surya dan
disajikan secara blok pada semester 2 kelas IX; dan diintegrasikan dalam mata
pelajaran Fisika sebagai aspek terapan pada tingkat SMA/MA.
KataKunci: kurikulumsekolah, BSNP, pendidikanastronomi

1. Pendahuluan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 1
menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
Sebagai arah dan landasan bagi terwujudnya
upaya pendidikan sesuai dengan pengertian tersebut di
atas perlu ditetapkan standar nasional pendidikan
untuk menjadi acuan bagi segenap lembaga
penyelenggara pendidikan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
dalam
menyelenggarakan fungsi dan tugas pokoknya sesuai
dengan pengertian pendidikan yang dimaksud beserta
segenap aturan pelaksanaannya. Untuk keperluan ini
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)
bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan,
dan mengevaluasi standar nasional pendidikan(Pasal 1
(22) PP 19 Tahun 2005) dan standar nasional
pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah,
dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global (Pasal 2 (3) PP
19 Tahun 2005).
Salah satu standar nasional pendidikan adalah
Standar Isi (SI), yang mencakup lingkup materi dan

tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi


lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar Isi diatur menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22
Tahun 2006. Selain Permendiknas Nomor 22 Tahun
2006 tentang SI, juga diterbitkan Permendiknas
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Berdasarkan SKL dan SI di atas setiap
satuan pendidikan dasar dan menengah menyusun
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pada tahun 2011 ini SKL dan SI sudah
dilaksanakan selama lima tahun sehingga perlu
peninjauan kembali dengan pertimbangan utama
kelengkapan dan kesesuaian substansi serta dinamika
kehidupan pada umumnya dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Peninjauan SKL dan SI
juga didasarkan pada hasil evaluasi dan implementasi
PermendiknasNomor 22 dan 23 Tahun 2006 yang
telah dilakukan oleh BSNP pada tahun 2010. Di
samping
itu,
BSNP
juga
mendapatkan
masukandariberbagaielemenmasyarakat.
Peninjauan SKL dan SI dilakukan oleh BSNP
dengan membentuk Panitia Ad-hoc Penyempurnaan
SKL dan SI. Panitia Ad-hoc melakukan kajian bahan
dasar dan mempertimbangkan masukan-masukan dari
masyarakat yang bersifat konstruktif,kemudian
menyusun draf penyempurnaan. Draf tersebut direviu
pakar, divalidasi oleh guru, widyaiswara, kepala
sekolah, pengawas, pejabat dinas pendidikan, dan
akademisi perguruan tinggi. Berdasarkan hasil reviu
dan validasi, draf disempurnakan kembali dan
dilakukan uji publik. Hasil revisi setelah uji publik

40

Wasis, M. Abdullah

inilah yang akan diajukan kepada Mendikbud sebagai


penyempurnaan standar isi.
2. Astronomi dalam Kurikulum Sekolah
Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
dijelaskan ada 5 (lima) kelompok mata pelajaran yang
harus diselenggarakan oleh semua satuan pendidikan,
yaitu: 1) Agama dan Akhlak Mulia, 2)
Kewarganegaraan dan Kepribadian, 3) Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, 4) Estetika, dan 5)
Jasmani, Olahraga dan Kesehatan.
Salah satu mata pelajaran yang termasuk
kelompok Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains. Bila
dicermati dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006
tentang SKL satuan pendidikan, mata pelajaran IPA di
tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK
membekali siswa sehingga memiliki gradasi
kompetensi lulusan sebagaimana ditunjukkan diagram
dalam Gambar 1.

Gambar 1: Gradasi kompetensi lulusan SD hingga


SMA untuk mata pelajaran IPA
Poin penting yang perlu digarisbawahi dari
diagram di atas adalah hakikat IPA itu memberi ruang
yang cukup bagi siswa untuk mengenali,
mendeskripsikan, dan menganalisis alam melalui
gejala-gejalanya. IPA tidak cukup hanya dibelajarkan
melalui transfer informasi. Pembelajaran IPA melalui
transfer informasi justru berpotensi menyebabkan
terjadinya miskonsepsi (Berg, 1991).
Astronomi tercakup dalam kelompok mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, namun
tidak menjadi mata pelajaran tersendiri. Sebelum
adanya Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, model
penyajian materi astronomi dalam kurikulum sekolah,
telah mengalami beberapa model, antara lain: menjadi
pelajaran tersendiri, masuk ke dalam mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA), dan
menjadi bagian mata pelajaran IPA-Fisika.
Dalam draft penyempurnaan standar isi, materi
astronomi menjadi bagian mata pelajaran IPA. Pada
SD/MI materi astronomi disajikan secara spiral mulai
kelas I hingga kelas VI dengan topik Bumi dan Alam
Semesta. Dengan model spiral ini materi astronomi
dikenalkan sedikit demi sedikit secara bertahap dan

berkesinambungan mulai kelas rendah hingga kelas


tinggi, sebagaimana dirangkum dalam Tabel 1.
Pada SK dan KD dalam Tabel 1 terlihat bahwa
pembelajaran materi astronomi pada SD/MI lebih
ditekankan pada pengenalan alam, dimulai dari
fenomena-fenomena yang dekat dengan kehidupan
siswa. Karena itu sebagian besar berkaitan dengan
planet Bumi, sebagai tempat kehidupan manusia
beserta interaksi dan dampak yang diakibatkannya.
Pada Sekolah Mengah Pertama (SMP)/
Madrasah Tsanawiyah (MTs), pembelajaran materi
astronomi sudah menjangkau ruang yang lebih luas
yaitu tata surya beserta berbagai gejala alam yang
terkait sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.
Pada tingkat SMA/MA materi astronomi tidak
lagi menjadi topik atau bab tersendiri, tetapi
terintegrasi dalam bab-bab atau topik-topik mata
pelajaran Fisika sebagai aspek terapannya,
sebagaimana ditunjukkan Tabel 3.
Sebagai aspek terapan, batasan pembelajaran
materi astronomi di SMA/MA tentu sangat mungkin
melebihi cakupan yang ada dalam Tabel 3, karena
bergantung pada bekal pengetahuan atau background
keilmuan guru Fisika tentang astronomi. Semakin luas
pemahaman guru Fisika terhadap astronomi tentu
semakin banyak fenomena-fenomena astronomi yang
dapat dieksplorasi dalam pembelajaran Fisika.
Misalnya:
pembelajaran
topik
gelombang
elektromagnet dapat dieksplorasi hingga spektrum
radiasi gelombang elektromagnet (sinar , sinar X,
sinar UV, cahaya tampak, inframerah, dan gelombang
radio) dari bintang dan Matahari; pembelajaran topik
impuls-momentum dapat diperluas terapannya untuk
menjelaskan gerak roket atau pesawat ruang angkasa,
dan lain-lain. Tetapi, bila kemampuan guru Fisika
SMA/MA terbatas, cakupan minimalnya adalah yang
tertera dalam Tabel 3.
3.

Kesimpulan dan Saran


Penyajian materi astronomi sebagai mata
pelajaran tersendiri tentu memberikan pemahaman
yang lebih mendalam tentang materi astronomi. Tetapi
pilihan ini sulit dilakukan sekarang, karena selain
tidak memiliki payung hukum, beban belajar siswa
yang sudah berat akan semakin berat dengan
tambahan mata pelajaran baru tersebut. Selain itu,
pengalaman masa lalu menunjukkan keterbatasan
bekal pengetahuan guru (yang memang tidak
dirancang
untuk
menjadi
guru
astronomi)
menyebabkan materi astronomi tidak terbelajarkan
secara optimal, walaupun menjadi mata pelajaran atau
bab tersendiri.
Berdasarkan hal di atas, pilihan mengintegrasikan materi astronomi ke dalam mata pelajaran IPA
merupakan pilihan yang paling rasional, dimulai dari
yang dekat (dunia sekitar di permukaan Bumi) pada
level SD/MI menuju yang jauh dan abstrak (analisis
gejala-gejala jagad raya).

Pendidikan Astronomi dalam Kurikulum Sekolah41


Tabel 1: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah yang
menyajikan materi astronomi
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Kelas I
Mengenalbumi, berbagai benda langit,
dan peristiwa alam (cuaca dan musim)
serta pengaruhnya terhadap kegiatan
manusia.
Kelas II
Membedakan peristiwa alam dan
pengaruh matahari dalam kehidupan
sehari-hari
Kelas III
Mendeskripsikan kenampakan permukaan
bumi, cuaca dan pengaruhnya bagi
manusia, serta hubungannya dengan cara
manusia memelihara dan melestarikan
alam
Kelas IV
Memahami perubahan kenampakan
permukaan bumi dan benda langit
Memahami perubahan lingkungan fisik
dan pengaruhnya terhadap manusia

Memahami hubungan antara sumber daya


alam dengan lingkungan, teknologi, dan
masyarakat

Kelas V
Mengenal perubahan yang terjadi di
alam dan hubungannya dengan
penggunaan sumber daya alam

Kelas VI
Memahami bumi sebagai planet yang
senantiasa berubah dan interaksinya
dengan matahari sebagai pusat tata surya

Mengenal berbagai benda langit melalui pengamatan


Mengenal berbagai jenis cuaca dan musim di sekitar kita serta
pengaruhnya terhadap kegiatan manusia
Membedakan kenampakan matahari pada pagi, siang dan sore
hari
Mendeskripsikan kegunaan panas dan cahaya matahari dalam
kehidupan sehari-hari
Mendeskripsikan kenampakan permukaan bumi di lingkungan
sekitar
Menjelaskan hubungan antara keadaan awan dan cuaca
Mendeskripsikan pengaruh cuaca bagi kegiatan manusia
Menjelaskan cara manusia memelihara dan melestarikan alam
Menafsirkan berbagai kenampakan bumi yang mengarah kepada
kesimpulan bahwa bumi berbentuk bulat
Mendeskripsikan posisi bumi, bulan, dan matahari yang
menyebabkan perubahan kenampakan bulan dari hari ke hari
Mendeskripsikan berbagai penyebab perubahan lingkungan fisik
(angin, hujan, cahaya matahari, dan gelombang air laut)
Mendeskripsikan pengaruh perubahan lingkungan fisik terhadap
daratan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor) dan bencana yang
ditimbulkan
Mendata cara-cara mencegah kerusakan lingkungan (erosi,
abrasi, banjir, dan longsor) dan cara menghindari bencana
Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan
lingkungan
Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan
teknologi yang digunakan
Menghubungkan dampak pengambilan bahan alam terhadap
pelestarian lingkungan
Mendeskripsikan proses daur air di alam
Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan daur air di alam
terganggu dan merusak kesetimbangan alam
Menampilkan sikap perlunya penghematan air
Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan
dampaknya terhadap makhluk hidup dan lingkungan
Mengidentifikasi beberapa kegiatan manusia yang dapat
mengubah permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb)
Mendeskripsikan keadaan bumi yang senantiasa bergolak (dan
dampaknya terhadap kehidupan, baik yang positif maupun
negatif)
Mendeskripsikan sistem tata surya
Mendeskripsikangerakrotasibumi
danrevolusibumiterhadapmatahari serta pengaruhnya terhadap
kehidupan di bumi
Mendeskripsikan gerak revolusibulanterhadapbumidan
pengaruhnya terhadap penampakan bulan

42

Wasis, M. Abdullah

Tabel 2: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMP/MTs yang menyajikan materi
astronomi
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Memahami sistem tata surya dan
proses yang terjadi di dalamnya

Mengenalisistem tata surya secara umum dan


menghubungkandengan gaya gravitasi
Menggali informasi tentang karakteristik matahari dan
planet- planetnya.
Mendeskripsikan proses terjadinya gerhana bulan dan
gerhana matahari, dan cara mengamati gerhana matahari
secara aman
Membedakan perhitungan kalender masehi dan kalender
hijriah
Menjelaskan proses pembentukan bumi oleh gejala vulkanik
dan tektonik, bahaya serta manfaat yang ditimbulkannya
Menggali informasi tentang keadaan atmosfer yang
menimbulkan masalah lingkungan (efek rumah kaca dan
penipisan lapisan ozon)

Tabel 3: Draft Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA yang secara eksplisit
menyajikan materi astronomi
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Menerapkan konsep dan prinsip dasar
kinematika dan dinamika benda titik

Menjelaskan gerak satelit sebagai contoh gerak


melingkar beraturan

Menganalisis gejala alam dan


keteraturannya dalam cakupan
mekanika benda titik

Menganalisis gerak planet dalam tata surya (hukum


Keppler)
Menjelaskan penentuan kalender Masehi dan
Hijriyah dan melakukan percobaan sederhana
untuk menjelaskan dua jenis kalender tersebut

Menerapkan prinsip kerja alat-alat


optik

Menyelesaikan persamaan cermin dan lensa pada


alat-alat optik sederhana: lup, mata, mikroskop,
dan teleskop

Menunjukkan penerapan konsep fisika


inti dan radioaktivitas dalam teknologi
dan kehidupan sehari-hari

Menjelaskan reaksi fusi bintang

Penyediaan referensi, buku mata pelajaran,


media dan sumber belajar lain yang mengeksplorasi
materi astronomi secara lugas dan sederhana sehingga
mudah dipahami, tentu sangat dibutuhkan, sehingga
dapat mempermudah guru mengajar dan murid
belajar. Dalam hal ini kontribusi para astronomer
Indonesia sangat ditunggu, karena di lapangan sumber
belajar tentang astronomi masih sangat terbatas.
Pustaka
Berg, E. V. (1991). Miskonsepsi fisika dan remidiasi.
Salatiga: UKSW.
Kunjaya, C. 2010. Menyerap materi Astronomi ke
dalam pelajaran Fisika SMA. Lampiran surat Tim
Pembina Olimpiade Astronomi kepada BSNP.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik


Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan
dasar dan Menengah.
Tim Ad-hoc. 2011. Draft Hasil Penyempurnaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan dasar dan Menengah.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 43 45, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PROGRAM-PROGRAM DIKTI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN


PENDIDIKAN ASTRONOMI DI INDONESIA
BIEMO SOEMARDI
Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia
b_soemardi@si.itb.ac.id

Abstrak. Makalah ini membahas sebagian program pada Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional yang dapat
dimanfaatkan oleh perguruan tinggi untuk pengembangan pendidikan astronomi di
Indonesia. Program dukungan tersebut mencakup pendanaan untuk pemberian
beasiswa, penyelenggaraan riset maupun untuk mobilitas sumberdaya manusia
dalam waktu terbatas.
Kata Kunci: DIKTI, beasiswa, riset, magang

1.

Pendahuluan

Pendidikan tinggi memegang peran yang sangat


penting dalam pengembangan sumberdaya manusia
Indonesia, khususnya di era globalisasi. Globalisasi
dicirikan dengan adanya persaingan yang ketat dan
perubahan yang sangat cepat, yang menuntut
pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.
Globalisasi dan kemajuan IPTEKS menuntut kesiapan
sumberdaya manusia yang unggul untuk berpartisipasi
aktif dalam menggerakkan roda pembangunan di
semua lini. Oleh karena itu, pendidikan tinggi semakin
dibutuhkan baik oleh masyarakat luas maupun bangsa
dan negara. Dalam menyikapi hal tersebut pemerintah
senantiasa berupaya meningkatkan angka partisipasi
kasar (APK) pendidikan, khususnya di tingkat
pendidikan tinggi.
Seiring dengan semakin meningkatnya partisipasi
masyarakat terhadap pendidikan tinggi, penyelenggara
pendidikan tinggi dituntut untuk senantiasa
meningkatkan kualitas, kapasitas dan profesionalisme
layanannya pada masyarakat agar dapat mengimbangi
kebutuhan sumberdaya manusia yang unggul untuk
pembangunan bangsa dan mampu bersaing di era
global.
Astronomi merupakan salah satu bidang ilmu
penting
yang
berkembang
seiring
dengan
perkembangan peradaban, kebudayaan dan teknologi
manusia. Sebagai salah satu perguruan tinggi
terkemuka di Indonesia, Institut Teknologi Bandung
merupakan lembaga pendidikan tinggi nasional yang
telah sejak lama menjadi pusat kepeloporan dan
kemajuan keilmuan astronomi di Indonesia. Sebagai

sentra keilmuan astronomi di Indonesia, keberadaan


program pendidikan dan riset astronomi di ITB
menjadi rujukan berbagai perkembangan keilmuan
dan prodesi astronomi di daerah.
Saat ini perkembangan dan popularitas keilmuan
astronomi telah mulai menyebar ke seluruh nusantara,
yang diwujudkan dengan terbentuknya kelompokkelompok astronom lokal serta berbagai forum ilmiah
astronomi. Kondisi ini merupakan kenyataan yang
menggembirakan dan perlu diwadahi agar tetap
terjaga keberadaannya dan bahkan tumbuh lebih luas.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (disingkat
DIKTI) sebagai lembaga yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan tinggi di Indonesia mempunyai
kewajiban untuk mendukung peningkatan dan
perkembangan pendidikan dan keilmuan, termasuk
astronomi. Dalam konteks tersebut, DIKTI
menyelenggarakan berbagai program yang dapat
dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan
keilmuan astronomi di Indonesia, khususnya dengan
melibatkan berbagai sumberdaya manusia yang ada di
daerah. Bentuk dukungan tersebut adalah bantuan
pendanaan beasiswa pendidikan tingkat pascasarjana,
pendanaan riset mandiri maupun kemitraan, fasilitas
pendukung mobilitas SDM dalam bentuk kegiatan
magang.
2.

Beasiswa Pendidikan Pascasarjana

Beasiswa pendidikan pascasarjana diberikan


kepada dosen tetap PTN atau PTS untuk
menyelesaikan pendidikan pascasarjana bergelar
(magister dan/atau doktor) di dalam negeri. Program

44

B. Soemardi

ini dikenal dengan mana BPPS, dan sudah dimulai


sejak tahun 1997. Sementara itu, bagai dosen yang
mengikuti pendidikan pascasarjana di luar negeri,
DIKTI juga menyediakan dana berupa beasiswa luar
negeri. Karena program beasiswa ini mensyaratkan
status dosen penuh bagi calon pesertanya, maka
program ini tidak mampu menjangkau potensi calon
dosen yang akan menjadi tenaga pendidik di
perguruan tinggi di Indonesia. Akibatnya sumber daya
manusia yang potensial tersebut tidak mempunyai
kesempatan untuk memperoleh bantuan beasiswa
pasasarjana. Kondisi ini tentunya menyulitkan bagi
perguruan tinggi, khususnya dengan adanya
keterbatasan formasi dosen baru.
Mulai tahun 2011, DIKTI menyelenggarakan
program beasiswa bagi calon pendidikan dan tenaga
kependidikan di lingkungan Kementerian Pendidikan
Nasional, yang dikenal dengan nama program
Beasiswa Unggulan bagi calon pendidikan dan tenaga
kependidikan. Melalui program ini maka potensi calon
dosen dapat dijangkau dengan bantuan beasiswa.
Kesempatan ini tentunya dapat dimanfaatkan bagi
perguruan tinggi yang akan menggembangkan
maupun meningkatkan kualitas dan kapasitas
pendidikan tingginya melalui peningkatan kompetensi
akademik calon dosennya.

kompetensi, periset dari perguruan tinggi di daerah


dapat memanfaatkan skema kerjasama hibah riset
Pekerti (Program Kerjasama antar Perguruan Tingi).
Melalui skema hibah riset ini, dosen pada perguruan
tinggi pengusul dapat bekerja sama dengan dosen dari
ITB sebagai mitra (pembina) dalam melakukan risetriset di bidang astronomi. Dengan demikian, skema
hibah riset ini dapat dianggap sebagai model yang
paling tepat untuk meningkatkan kapasitas sumber
daya manusia di perguruan tinggi selain ITB dalam
riset-riset di bidang astronomi.
Informasi mengenai ragam program hibah riset
serta persyaratan dan mekanisme pengajuan
proposalnya
dapat
dilihat
melalaui
laman:
http://www.dikti.go.id.
Selain hibah riset, DIKTI juga memberikan
bantuan fasilitas untuk
membentuk kerjasama
internasional dengan lembaga pendidikan tinggi di
luar negeri dan bantuan publikasi artikel di jurnal
ilmiah internasional.

Tabel 1. Ragam Hibah Riset DIKTI


Nama

Program beasiswa DIKTI dilaksanakan oleh


Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(Diktendik). Bantuan beasiswa diberikan kepada calon
yang berhak setelah melalui proses seleksi yang
mencakup pemenuhan persyaratan akademik dan
persyaratan administrasi sebagai dosen atau calon
dosen. Beasiswa diberikan untuk selama dua tahun
bagi program magister dan tiga tahun bagi program
doktor, yang meliputi biaya hidup, biaya buku, biaya
riset dan biaya pendidikan. Informasi lengkap tentang
mekanisme dan persyaratan pada kedua program
beasiswa tersebut dapat diperoleh melalui laman:
http://beasiswa.dikti.go.id/
3.

Program Riset DIKTI

Program bantuan riset DIKTI diselenggarakan


oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat (DP2M), yang diwujudkan dalam bentuk
berbagai skema program hibah riset, baik yang
bersifat individu maupun dalam bentuk kerjasama
antara lembaga. Saat ini tidak kurang dari delapan
skema hibah riset, yang terdiri dari enam hibah riset
mandiri dan dua hibah riset kemitraan.
Dalam upaya meningkatkan kapasitas riset di
bidang astonomi di daerah, selain skema hibah riset
individual seperti hibah bersaing atau hibah

4.

Tema

Pengusul

Hibah Riset
Fundamental

Bebas

Individu

Hibah
Bersaing

Bebas

Individu

Hibah
Kompetensi

Bebas

Individu

Hibah
Strategis
Nasional

Tertentu

Individu

Hibah
Unggulan
Strategis
Nasiona;

Tertentu

Individu

Hibah
Pascasarjana

Bebas

Individu

Hibah Pekerti

Bebas

Kemitraan
dengan PT

Hibah Rapid

Bebas

Kemitraan
dengan
Industri

Program Magang

Keunggulan ITB sebagai sentra pendidikan dan


riset di bidang astronomi di Indonesia perlu
dimanfaatkan oleh lembaga dan perguruan tinggi

Program-program Dikti untuk Mendukung Pengembangan Pendidikan Astronomi di Indonesia

lainnya agar terbentuk jejaring dan terbangun


kapasitas pendidikan dan riset yang lebih luas.
Oleh karena itu, selain program beasiswa dan
hibah riset, DIKTI juga menyediakan fasilitas bagi
dosen-dosen perguruan tinggi lain untuk dalam waktu
singkat dapat berpartisipasi dalam kegiatan akademik
di ITB. Melalui program magang, dosen pada suatu
perguruan tinggi di Indonesia akan memperoleh
bantuan untuk memperoleh pengalaman akademik
maupun profesional melalui kegiatan magang di ITB.
Program magang ini serupa dengan beasiswa, tetapi
diselenggarakan dalam waktu yang relatif singkat
(enam bulan) dan tidak terkait dengan program formal
bergelar. Informasi mengenai program ini dapat
diperoleh dari Direktorat Diktendik.
5.

Penutup

Pengembangan pendidikan dan keilmuan


astronomi
hendaknya
tidak
lagi
menjadi
tanggungjawab dan beban ITB semata, tetapi
hendaknya
juga
menjadi
keilmuan
yang
dikembangkan di perguruan tinggi lain. Kementerian
Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pendidikan
Tinggi
senantiasa
mendorong
upaya-upaya
pengembangan dan penyebaran keilmuan di seluruh
Indonesia, antara lain dalam bentuk pemberian
bantuan beasiswa, hibah riset dan kegiatan magang.
Diharapkan fasilitas ini dapat dimanfaatkan oleh ITB

45

dan perguruan tinggi lain untuk menjalin kerjasama


dalam pengembangan pendidikan dan keilmuan
astronomi di Indonesia.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Diktendik
dan DP2M DIKTI yang telah memberikan
kepercayaan dan bahan-bahan untuk diseminasi
program DIKTI pada kegiatan seminar ini.
Sesi Diskusi
Pertanyaan: salah satu upaya pembentukan jaringan
di lingkungan universitas yang dapat dilakukan adalah
dengan melaksanakan mobilitas mahasiswa dimana
mahasiswa dapat melakukan penelitian di tempat lain.
Apakah ada program Dikti yang dapat memfasilitasi
program mobilitas mahasiswa seperti ini?
Jawaban: mobilitas mahasiswa sangat mungkin
difasilitasi dengan program Dikti. Terdapat juga
program sandwich maupun dual degree yang mungkin
dapat dimanfaatkan.
Pertanyaan: pemenang olimpiade astronomi tingkat
internasional pernah dijanjikan untuk mendapatkan
beasiswa hingga lulus S3. Namun terdapat beberapa
kasus dimana besiswa tersebut belum keluar hingga
sekarang. Bagaimana dengan kasus seperti ini?
Jawaban: salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah
dengan mengawal dokumen/kelengkapan sehingga
tidak hilang di tengah jalan.

46

Foto presentasi: Baris pertama: Judhistira Aria Utama, M.Si. (kiri) dan Mariano Nathanael, S. Si. (kanan); Baris
kedua: Dr. Wasis (kiri) dan Prof. Dr. Eng. Mikrajuddin Abdullah (kanan); Baris ketiga: Dr. Biemo Soemadi (kiri)
dan Dr. Andi Suhandi (kanan).

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 47 50, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ASTRONOMI PADA JURUSAN


PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI
ANDI SUHANDI
Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Jl. Dr. Setiabudhi 229 Bandung
e-mail : a_bakri@yahoo.com

1. Pendahuluan
Sebagai sesama cabang sains, astronomi erat
hubungannya dengan fisika dan matematika. Sehingga
tidak heran jika pada kurikulum S1 Pendidikan
Astronomi ITB tidak kurang dari 75% berisi pelajaran
fisika dan matematika. Dalam beberapa dasawarsa
belakangan ini, penemuan-penemuan baru yang
didapatkan dengan menggunakan teleskop-optik
besar, antena-antena radio raksasa yang berbentuk
parabola, maupun dengan menggunakan satelit-satelit
buatan manusia, telah menimbulkan pengertian dan
lapangan baru untuk penelitian. Pengayaan
pengetahuan manusia tentang jagat raya salah satunya
karena ada dukungan kemajuan bidang fisika, seperti:
optika, elektronika, termodinamika, dan lain-lain.
Banyak bagian alam yang tadinya tidak tampak
sekarang menjadi nyata.
Dapat dimengerti bahwa pengenalan ilmu
astronomi pada jenjang sekolah dasar dan menengah
dilakukan secara terintegrasi dalam mata pelajaran
fisika dan IPA, meskipun saat ini ada pengalihan ke
mata pelajaran lain yaitu geografi untuk tingkat SMA.
Jadi berbicara tentang penyelenggaraan pendidikan
astronomi di LPTK termasuk di UPI pada awalnya
adalah untuk membekali para lulusan dengan
pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu astronomi,
agar kelak mereka dapat menunaikan tugasnya dengan
baik manakala membahas materi astronomi. Tetapi
lebih dari itu ada pemikiran bahwa ada atau tidak ada
materi astronomi di mata pelajaran fisika, mestinya
kajian bidang astronomi tetap harus diadakan dalam
kurikulum pendidikan fisika, karena rasanya kurang
lengkap jika yang berukuran mikro seperti atom dan
interaksinya dibahas dengan cukup luas tetapi yang
skalanya makro yaitu tentang galaksi, tata surya dan
jagat raya tidak dibahas, padahal hukum-hukum fisika
banyak berlaku dalam interaksi-interaksi antar bendabenda penyusun jagat raya. Dengan demikian para
guru memiliki wawasan yang lengkap dan setiap saat
dapat menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi du
jagat raya melalui proses analisis fisis. Atas dasar
pemikiran tersebut Jurusan pendidikan fisika hingga
saat ini tetap mempertahankan keberadaan kajian
bidang astronomi dalam kurikulumnya.
Makalah
ini
memaparkan
perkembangan
pendidikan astronomi pada jurusan Pendidikan Fisika
FPMIPA UPI, rencana pengembangan lebih lanjut,
peluang, tantangan, dan kendala yang dihadapinya.

2. Perkembangan Pendidikan Astronomi di


Jurusan Pendidikan Fisika UPI
Perkembangan pendidikan astronomi di Jurusan
Pendidikan Fisika FPMIPA UPI dimulai dengan
diselenggarakannya mata kuliah IPBA (Ilmu
Pengetahuan Bumi dan Antariksa). Pada saat itu
(tahun 90an awal) statusnya masih IKIP Bandung
yang menyelenggarakan pendidikan calon guru, baik
guru SMP maupun SMA. Penyelenggaraannya
dimaksudkan untuk membekali para mahasiswa calon
guru fisika dengan pengetahuan dan pemahaman
tentang kebumian dan keantariksaan, tujuannya agar
mereka dapat menunaikan tugasnya dengan baik
manakala menjadi guru, karena pada saat itu dalam
kurikulum fisika (SMA) dan IPA (SMP) tercakup
materi kajian tentang kebumian dan antariksa ini.
Materi perkuliahan IPBA masih bersifat kajian umum
tentang kebumian dan antariksa, luas tapi kurang
mendalam. Penyelenggaraannya pada saat itu belum
didukung oleh sebuah laboratorium khusus, melainkan
tergabung dengan laboratorium pembelajaran fisika.
Mata kuliah ini sampai saat ini (statusnya sudah UPI)
masih dibuka baik pada prodi pendidikan fisika
maupun Prodi Fisika Jurusan Pendidikan Fisika
FPMIPA UPI. Pada Prodi Pendidikan Fisika IPBA
merupakan mata kuliah wajib, sedangkan pada Prodi
Fisika merupakan mata kuliah pilihan.
Mulai tahun akademik 1998-1999, Fakultas
Pendidikan Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam
(FPMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
mendapat tugas perluasan mandat yaitu membuka
empat program studi non-kependidikan; program studi
matematika, biologi, fisika, dan kimia. Kelayakan
FPMIPA UPI dalam menyelenggarakan program
pendidikan bidang MIPA non-kependidikan ini telah
mengalami proses evaluasi dan direkomendasikan
oleh Konsorsium MIPA pada tahun 1998.
Berkenaan dengan hal tersebut, sejak tahun 1998
Jurusan Pendidikan Fisika telah mengalokasikan
sekitar 1/3 ( 30 40 mahasiswa) kuota penerimaan
mahasiswa baru untuk program studi fisika pada
setiap tahunnya. Sebagai wadah penyaluran dan
pengemabangan minat mahasiswa, pada awal
berdirinya
Prodi Fisika menyelenggarakan tiga
Kelompok Bidang Kajian (KBK) yang dapat dipilih
oleh mahasiswa, meliputi KBK Fisika Material, KBK
Fisika Instrumentasi, dan KBK Fisika Bumi dan
Antariksa.

48

A. Suhandi

Tabel 1. Mata kuliah dengan muatan astronomi


Mata Kuliah

Status

Beban SKS

Semester

Peserta

FI322
Ilmu
Pengetahuan
Bumi dan
Antariksa

Wajib
dan
Pilihan

Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Fisika,
Prodi Fisika

FI355
Pengantar
Fisika Bumi
dan Antariksa

Pilihan
Wajib

Mahasiswa Program
Studi Fisika yang
memilih KBK Fisika Bumi
dan Antariksa

FI567
Astrofisika

Pilihan
Wajib

Mahasiswa Program
Studi Fisika yang
memilih KBK Fisika Bumi
dan Antariksa

Pembukaan KBK-KBK ini tentu didasarkan atas


berbagai pertimbangan, termasuk ketersediaan sumber
daya manusia (SDM) pada bidang-bidang tersebut.
Khusus
untuk
kajian
bidang
antariksa,
penyelenggaraannya waktu itu lebih ke orientasi masa
depan, karena terus terang pada saat itu di Prodi Fisika
belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai
dan SDM yang secara spesifik berlatar ilmu
astronomi.
Sehingga
penyelenggaraannya
diintegrasikan dengan Kelompok Kajian Fisika Bumi,
membentuk KBK Fisika Bumi dan Antariksa (PFBA).
Sadar bahwa penyelenggaraan KBK-KBK tidak
mungkin terlaksana tanpa kehadiran sarana dan
prasarana laboratorium yang memadai, maka usahausaha pengembangan lab. terus dilakukan. Gayung
pun bersambut, pada saat itu ada tawaran hibah dari
pemerintah Jepang dengan project JICA-nya, yang
menawarkan pembangunan gedung FPMIPA UPI,
lengkap dengan berbagai fasilitas yang dibutuhkan,
termasuk sarana dan peralatan laboratorium. Kami
mengajukan beberapa laboratorium waktu itu,
diantaranya lab. Fisika Dasar (Basic Physics
Laboratory), lab. Fisika Lanjut (Advanced Physics
Laboratory), lab. Elektronika dan Instrumentasi
(Electronics and Instrumentation Laboratory), dan lab.
Bumi dan Antariksa (Earth and Outer Space
Laboratory). Gedung baru FPMIPA dan berbagai
fasilitas serta sarana dan prasarananya termasuk lablab secara resmi dapat ditempati dan digunakan sejak
diresmikan pada 15 April 2002 oleh presiden
Republik Indonesia pada saat itu (Megawati
Soekarnoputri). Di awal pembukaannya Lab. Fisika
Bumi dan Antariksa memiliki beberapa peralatan yang
terkait dengan bidang antariksa, yaitu Teleskop
catadioptric hibah dari Pemerintah Jepang dengan
tabung teleskop dari pabrikan Celestron 11 inci dan
mounting dari pabrikan Vixen seri Vixen Atlux yang
dilengkapi SkySensor PC controller. Untuk sarana
peneropongan benda langit, lab PFBA ini dilengkapi
dengan sebuah menara kubah.

Upaya-upaya ke arah peningkatan kelangkapan


sarana dan prasarana lab, termasuk lab PFBA
senantiasa terus dan akan terus dilakukan, melalui
hibah revitalisasi FPMIPA, lab PFBA mendapat
tambahan beberapa peralatan utama, di antaranya
langit
tiruan
dari
bahan
parasut
untuk
memproyeksikan
benda-benda
langit
dalam
planetarium mini, proyektor planetarium mini yang
dapat diatur sesuai dengan lintang geografis pengamat.
Selain memproyeksikan bintang-bintang di langit
tiruan, alat ini pun dapat digunakan untuk
mensimulasikan gerak matahari dan fase-fase bulan,
teleskop refraktor AstroMaster 70AZ dari pabrikan
Celestron dengan panjang fokus 900 mm dan F/13,
teleskop refraktor SkyWatcher dengan panjang fokus
910 mm dan F/11, teleskop reflektor AstroMaster
130EQ dari pabrikan Celestron dengan panjang fokus
650 mm dan F/5, teleskop catadioptric dari pabrikan
SkyWatcher dengan panjang fokus 1500 mm dan F/12
yang dilengkapi dengan SynScan AZ controller, dan
instrumen Sky Quality Meter untuk mengukur
kecerahan langit. Dapat digunakan untuk mengukur
kecerahan langit senja (twilight sky brightness) dalam
kegiatan pengamatan hilal.
Dalam bidang SDM, prodi pun terus melakukan
upaya penyediaan, baik melalui rekrutmen tenaga baru
yang memiliki latar belakang keilmuan astronomi,
maupun pengiriman dosen untuk studi lanjut dalam
bidang pendidikan astronomi. Meskipun masih minim
jumlahnya, saat ini Prodi Fisika UPI telah memiliki
tenaga pengajar yang memiliki latar pendidikan dan
keilmuan Astronomi, yaitu sebanyak 3 dosen. Prodi
akan terus mengupayakan peningkatan baik dalam hal
jumlah maupun kualifikasinya (dorongan studi lanjut
ke jenjang doktoral).
Dari segi kurikulum, prodi secara periodik selalu
melakukan reviu dan revisi kurikulum prodi fisika
agar senantiasa sesuai dengan kebutuhan kompetensi
dan perkembangan IPTEK, termasuk kurikulum
bidang kajian bumi dan antariksa. Dalam kurikulum

Penyelenggaraan Pendidikan Astronomi pada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI

2010 Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, konten


keastronomian
diakomodasi
dalam
beberapa
matakuliah, seperti pada Tabel 1. Masih minim
memang, tapi setidaknya dapat memberikan bekal
pengetahuan yang cukup bagi mahasiswa untuk
menyelesaikan tugas akhir di bidang ini (skripsi S-1).
Untuk memperkaya wawasan pengetahuan dan
pengalaman akademik mahasiswa terkait bidang
kajiannya,
dalam
kurikulum
Prodi
Fisika
diselenggarakan mata kuliah PLA (Program Latihan
Akademik) yang wajib ditempuh oleh para mahasiswa
sesuai dengan bidang kajian yang diambilnya. Untuk
pelaksanaannya, dalam bidang kajian prodi telah
menjalin kerjasama dengan berbagai instansi. Untuk
bidang kajian PFBA, instansi-instansi yang biasa
digunakan tempat PLA diantaranya Observatorium
Boscha, LAPAN, dan lain-lain.
Untuk menunjukkan eksistensi adanya bidang
kajian ini pada prodi Fisika UPI, prodi terus
mendorong personil-personil yang terlibat pada
bidang ini untuk senantiasa melibatkan diri dan
berpartisipasi dalam berbagai event terkait baik pada
tingkat regional, nasional, bahkan internasional jika
mungkin. Beberapa personil dosen KBK PFBA telah
terlibat pada beberapa persiapan maupun pelaksanaan
olimpide astronomi baik di tingkat regional maupun
nasional sebagai dewan juri. Sejak Ramadhan 1431 H
(2010) hingga saat ini, UPI melalui personil dosen di
Laboratorium Bumi dan Antariksa, tergabung dalam
Jejaring Pengamatan Hilal Nasional yang berada di
bawah koordinasi Observatorium Bosscha FMIPA
ITB dan Kementerian Komunikasi dan Informatika
(KEMENKOMINFO), dimana menara timur gedung
FPMIPA dijadikan salah satu titik pengamatan hilal
yang dimaksud. Disamping itu dalam rangka
melaksanakan layanan dan pengabdian pada
masyarakat, KBK PFBA seringkali melakukan open
lab bagi para siswa sekolah lanjutan yang ingin
menambah
wawasan
pengetahuan
seputar
keantariksaan. Untuk melayani kegiatan itu telah
dibentuk suatu wadah kegiatan mahasiswa terkait
kepeminatan bidang antariksa yang diberi nama
CAKRAWALA.
Selayaknya suatu KBK, KBK PFBA dapat
mewadahi kegiatan riset mahasiswa dalam rangka
penyusunan skripsi. Untuk itu prodi senantiasa terus
mendorong para personil pengampu untuk membuat
roadmap penelitian serta pengembangan lab sebagai
sarana pendukungnya. Berdasarkan informasi dari tim
KBK PFBA bidang Astronomi, sebagai trade mark
dari Laboratorium Bumi dan Antariksa Fisika UPI,
telah dirintis bidang kajian fotometri hilal dan polusi
cahaya (light pollution) dalam kaitannya dengan
kecerahan langit.
3. Rencana Pengembangan ke Depan
Di masa yang akan datang, kajian bidang
Astronomi pada Prodi Fisika UPI diharapkan menjadi
KBK mandiri, terpisah dari Fisika Bumi, dan secara
khusus mengkaji bidang astronomi, sehingga mata

49

kuliah-mata kuliah yang terkait dengan bidang ini


lebih leluasa untuk diselenggarakan, karena jumlah
SKS yang tersedia untuk bidang astronomi tentu
menjadi lebih banyak. Kendala yang dihadapi tentu
terkait dengan SDM. Idealnya, dalam suatu KBK, ada
unsur yang mewakili kajian teoretik dan observasi. Ke
depan, diharapkan dapat menambah jumlah dosen
yang berkualifikasi S3 pada bidang relevan, baik
dengan mengirimkan dosen yang ada untuk studi
doktoral atau melakukan rekrutmen tenaga baru, untuk
semakin memperkokoh formasi tenaga dosen dan
tenaga peneliti. Tidak saja untuk bidang antariksa
(astronomi), namun juga bidang sains atmosfer,
sebagai kajian yang menjembatani antara sains
kebumian dan keantariksaan. Kendala lainnya adalah
sarana lab dan riset. Untuk dapat melakukan observasi
yang akurat, sudah sepatutnya laboratorium
melengkapi diri dengan instrumen pendukung yang
hingga saat ini belum tersedia, seperti analisator
(filter) untuk mendukung pekerjaan fotometri, kamera
CCD untuk meremajakan yang ada saat ini (hibah dari
Pemerintah Jepang, ST237 A), dan spektroskop. Prodi
akan selalu melakukan berbagai upaya untuk
mengatasi berbagai kendala tersebut, sehingga
harapan berdirinya KBK Astronomi pada saatnya
nanti dapat diwujudkan.
4. Penutup
Prodi Fisika yang bernaung di bawah jurusan
pendidikan Fisika FPMIPA UPI akan tetap
mempertahankan eksistensi dan keberadaan bidang
kajian antariksa, terlepas dari ada atau tidak adanya
materi ini dalam kurikulum fisika sekolah lanjutan.
Harapan atau saran bagi Prodi Astronomi ITB adalah
untuk tetap eksis menyelenggarakan pendidikan
Astronomi untuk mencetak tenaga-tenaga peneliti dan
pendidik bidang astronomi yang merupakan bidang
yang penting dan layak dikenalkan kepada siswa sejak
dini melalui jenjang pendidikan formal. Kembangkan
riset-riset yang mendunia untuk meningkatkan
sumbangsih dan kiprahnya di tingkat global. Jika
dahulu indonesia pernah mengalami kejayaan dalam
astronomi di level Asia, maka mari kita raih kembali
kejayaan tersebut pada saat ini, karena SDM kita di
bidang ini lebih unggul dibandingkan SDM yang
dimiliki negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Lakukan pembinaan melalui kegiatan-kegiatan
kemitraan terhadap lembaga-lembaga pendidikan lain
yang menyelenggarakan pendidikan bidang astronomi
(termasuk UPI). Kepada pengambil kebijakan,
terutama di bidang Pendidikan Dasar dan Menengah,
untuk senantiasa mendudukan materi astronomi ini
dalam bidang studi yang semestinya dengan
melakukan analisis secara komprehensif apakah dalam
mata pelajaran fisika atau mata pelajaran geografi,
atau topik-topik mana yang tepat berada dalam mata
pelajaran fisika dan topik-topik mana yang tepat
dalam mata pelajaran geografi.

50

A. Suhandi

Daftar Pustaka
Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia 2010
dan referensi lain yang relevan.
Sesi Diskusi:
Pertanyaan: Apakah saat membentuk kelompok
kebumian dan antariksa sudah ada rencana untuk
mempersiapkan/membekali guru-guru dengan materi
astronomi sehingga dapat mengajarkan astronomi

dengan baik atau semata-mata karena pemikiran


bahwa kajian mengenai keantariksaan itu penting?
Jawaban: Dari awal memang telah terlihat bahwa
guru fisika membutuhkan bekal astronomi. Namun di
dalam kurikulum sendiri ilmu astronomi tidak
memiliki posisi yang stabil, kadang di fisika kadang di
geografi. Pada dasarnya lab bumi dan antariksa siap
memberikan layanan kepada guru-guru maupun siapa
saja yang berminat untuk lebih jauh mengenal
astronomi.

Artikel Peserta

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 53 54, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

INISIASI KEGIATAN ASTRONOMI DI KELOMPOK ILMIAH REMAJA (KIR)


SMAN 1 BANJARMASIN
PRAHESTI HUSNINDRIANI1, ANITA R. AUDINA2, FUJI HIDJRIYATI2, MUJI LESTARI2, BUDI DERMAWAN1, HAKIM L.
MALASAN3
1

Prodi Astronomi, FMIPA-ITB, Bandung, Indonesia


SMA Negeri 1, Banjarmasin, Indonesia
3
Observatorium Bosscha, FMIPA-ITB, Lembang, Indonesia
rexa_aldrin@yahoo.co.id
2

Abstrak. Jauh dari sentral pendidikan sains, yang umumnya terletak di Pulau Jawa,
tidaklah menghilangkan potensi keastronomian yang ada pada siswa Kelompok
Ilmiah Remaja (KIR) SMAN 1 Banjarmasin. Adanya ikatan emosional dan latar
belakang historis dengan Banjarmasin memicu perwujudan inisiasi kegiatan
astronomi di sekolah tersebut. Potensi keastronomian pada siswa ini muncul ketika
rasa haus akan adanya peralatan teleskop dan pemandu terpenuhi. Dukungan yang
bertahap dan kontinu dapat membuka potensi astronomi pada siswa, yang pada
gilirannya diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan praktik
keastronomian bagi siswa maupun masyarakat umum di Banjarmasin.
Kata Kunci: Kegiatan astronomi, Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), SMAN 1
Banjarmasin

1.

Pendahuluan
Akhir-akhir ini astronomi semakin populer di
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh banyaknya berita
yang meliput fenomena alam yang berkaitan dengan
obyek-obyek di luar angkasa. Selain itu, kemunculan
klub-klub astronomi di beberapa kota besar dan
sekolah juga turut serta mengambil peran dalam
popularisasi astronomi. Namun jika ditelaah lebih
dalam, popularisasi tersebut masih terpusat di wilayah
Pulau Jawa, sedangkan untuk wilayah lain seperti di
Kalimantan dan di daerah timur Indonesia, astronomi
masih langka peminat.
Banjarmasin sebagai kota pelabuhan tertua di
Kalimantan merupakan salah satu kota besar di
Indonesia. Dengan predikat sebagai ibu kota provinsi,
sebagian besar dari masyarakat Banjarmasin ternyata
masih belum mengenal astronomi sebagai bagian dari
sains. Untuk itu, dengan latar belakang historis yang
kuat, penulis berinisiatif untuk memperkenalkan
astronomi di Kota Banjarmasin.
Melalui kerja sama dengan Observatorium
Bosscha [1] dan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR)
SMAN 1 Banjarmasin, penulis melakukan pengenalan
dan pelatihan sebanyak empat kali dalam rentang
bulan Maret September 2011. Kerja sama dengan
Observatorium Bosscha terjalin dengan adanya donasi
teleskop Galileo berupa satu set Hoshi no Techou, satu
set Spica, dan satu buah tripod kepada KIR SMAN 1
Banjarmasin. Kerja sama ini merupakan manifestasi
dari International Year of Astronomy (IYA) 2009 and
Beyond, yaitu proyek You are Galileo! yang

disponsori oleh UNESCO dan National Astronomical


Observatory of Japan (NAOJ) pada tahun 2011 [2].
Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai
kegiatan yang sudah dilakukan pada Bagian 2.
Selanjutnya, pada Bagian 3 akan dibahas mengenai
rencana pengenalan astronomi ke depannya di Kota
Banjarmasin. Kesimpulan dan saran akan disampaikan
pada Bagian 4.
2.

Kegiatan yang Dilakukan


Pengenalan pertama dilakukan pada tanggal 28
Maret 2011 yang ditandai dengan audiensi dan
pemberian buku Pengantar Astrofisika, peta bintang,
dan modul gerhana Bulan 2011. Pertemuan pertama
dalam suasana yang santai dan akrab ini dihadiri oleh
Pimpinan, Guru Pembina, dan Ketua KIR SMAN 1
Banjarmasin.

Gambar 1: Suasana di ruang multimedia saat


praktik pembuatan jam Matahari.

Selanjutnya, pertemuan kedua dilakukan pada


tanggal 9 Juli 2011. Bertempat di ruang multimedia
SMAN 1 Banjarmasin, kegiatan diisi dengan
presentasi mengenai pengetahuan dasar astronomi dan

54

P. Husnindriani, dkk: Inisiasi Kegiatan Astronomi di Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMAN 1 Banjarmasin

praktik merakit jam Matahari (Gambar 1). Siswa


terlihat sangat antusias dalam mengikuti pelatihan.
Sejumlah 20 siswa mengikuti pelatihan ini dengan
didampingi oleh dua orang guru, yang ikut serta
merakit jam Matahari [3].
Pada tanggal 5 September 2011, penulis
melakukan perakitan teleskop, yang pada awalnya
menemui kesulitan dalam hal pengaturan fokus
teleskop saat digunakan untuk mengamati obyek
langit. Namun, pada akhirnya teleskop siap digunakan
untuk pelatihan selanjutnya.
Pelatihan berikutnya dilakukan pada tanggal 7
September 2011. Fokus utama dari kegiatan kali ini
adalah untuk memperkenalkan cara penggunaan
teleskop. Pelatihan dilakukan seusai sekolah dan
diikuti oleh empat orang siswa anggota KIR. Penulis
sengaja membatasi siswa yang ikut dengan tujuan agar
masing-masing
siswa
benar-benar
mampu
menggunakan teleskop secara keseluruhan. Empat
orang siswa tersebut keesokan harinya melakukan
pelatihan kepada anggota KIR yang lain yang
berjumlah sekitar 40-50 siswa.

terhadap astronomi, penulis berpendapat bahwa hal ini


menjadi salah satu indikator penting yang
menunjukkan bahwa peminat astronomi sebenarnya
cukup banyak. Fakta ini membawa penulis pada
rencana ke depan agar astronomi tidak hanya bisa
dinikmati oleh siswa KIR SMAN 1 Banjarmasin,
tetapi juga oleh siswa-siswa dari sekolah lain dan
masyarakat umum di Banjarmasin.
Rencana tersebut dapat berjalan jika terdapat
kesinambungan kegiatan astronomi untuk skala
SMAN 1 Banjarmasin terlebih dahulu. Untuk itu,
penulis melakukan bimbingan jarak jauh agar kegiatan
astronomi dapat dilakukan, minimal sebanyak 1 kali
dalam sebulan. Beragam modus komunikasi dan
transfer pengetahuan dapat dilakukan, misalnya
jejaring sosial, diskusi di forum maya, atau kontak
langsung via email. Untuk memantapkan kemampuan
dalam penguasaan teleskop, yang tidak bisa dipungkiri
telah menjadi daya tarik utama dari kegiatan
astronomi, penulis menghimbau anggota KIR SMAN
1 Banjarmasin agar bisa melakukan pelatihan teleskop
pada siang hari kepada siswa dan guru sekolah.
4.

Gambar 2: Antusiasme saat pengamatan Bulan berlangsung


meskipun dalam kondisi yang cukup berawan (atas). Selain
Bulan, cahaya lampu dari jarak yang cukup jauh pun digunakan
sebagai obyek pelatihan teleskop (bawah)

Setelah melakukan pengamatan dengan teleskop


pada siang hari, selanjutnya penulis melakukan
pelatihan teleskop pada malam hari. Bertempat di
salah seorang rumah guru SMAN 1 Banjarmasin, pada
tanggal 9 September 2011 malam, penulis melakukan
pelatihan kepada lima orang siswa dan satu orang guru
(Gambar 2). Kondisi cuaca yang mendung tidak
mengurangi antusiasme para peserta pelatihan. Karena
saat itu fase Bulan adalah purnama, pengamatan pun
berfokus pada Bulan yang masih bisa terlihat
meskipun cuaca cukup berawan. Terlihat kegembiraan
yang terpancar dari peserta, baik siswa maupun guru.
3.

Rencana ke Depan
Seiring dengan meningkatnya jumlah peserta KIR
SMAN 1 Banjarmasin karena ketertarikan siswa

Kesimpulan
Dalam rentang waktu dari Bulan MaretSeptember 2011, telah empat kali dilakukan
pengenalan dan pelatihan astronomi. Penulis melihat
antusiasme luar biasa yang ditunjukkan oleh siswa dan
guru. Dengan adanya dukungan dari pihak sekolah
dan fasilitas untuk kegiatan astronomi berupa kit
teleskop, siswa dan guru yang mengikuti pelatihan
dapat dengan cepat menguasai apa yang diajarkan.
Ke depannya, penulis berharap bahwa kegiatan
astronomi ini dapat juga dikembangkan untuk skala
yang lebih luas, yaitu masyarakat umum di
Banjarmasin. Pihak sekolah diharapkan terus
mendukung adanya kegiatan positif. Selain itu,
ketersediaan
SDM yang mumpuni sebagai
pembimbing langsung kegiatan astronomi menjadi
salah satu kunci utama untuk keberlangsungan
kegiatan. Sumber informasi astronomi yang memadai
dan terjangkau juga menjadi saran dari penulis agar
popularisasi astronomi dalam lingkup sekolah hingga
kota dapat berjalan dengan sukses.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih penulis ucapkan kepada Pimpinan
SMAN 1 Banjarmasin yang sangat mendukung
adanya kegiatan astronomi di sekolah tersebut.
Demikian halnya kepada Evan Irawan Akbar, S. Si.
dari Observatorium Bosscha atas kesediaannya
membantu dalam hal pengiriman paket donasi.
Daftar Pustaka
[1] http://bosscha.itb.ac.id/
[2] http://kimigali.jp/index-e.html
[3] http://www.mysundial.ca/tsp/tsp_index.html

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 55 56, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

ASTRONOMI DI SEKOLAHKU
MAHDI NURIANTO AHMAD
SMA Negeri 5 Surabaya, Jalan Kusuma Bangsa 21 Surabaya, Indonesia
mahdisby@hotmail.com

Abstrak: Keikutsertaan siswa SMA mengikuti muatan lokal dan ekstrakurikuler


Astronomi lebih rendah dibandingkan bidang lain (Matematika dan Biologi). Hal itu
dikarenakan sosialisasi dan pembinaan yang masih kurang. Hal ini bisa diatasi
dengan peningkatan layanan terhadap siswa yang berminat dalam bidang Astronomi
serta kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga terkait dalam pembinaan
Astronomi di sekolah.
Kata kunci: Mulok, Ekstrakurikuler, siswa SMA, Olimpiade Sains Nasional

1.

Pendahuluan

Astronomi sebagai salah satu sains dasar sangat


dibutuhkan bagi suatu negara, termasuk Indonesia.
Banyak aspek dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari Astronomi,
antara lain penentuan awal bulan kalender Islam. Pada
era modern ini banyak umat Islam di Indonesia yang
memakai perhitungan (hisab) dalam menentukan awal
bulan kalender Islam, sehingga membutuhkan ilmu
Astronomi demi keakuratan data. Penduduk Indonesia
yang bekerja sebagai petani banyak menggunakan rasi
bintang dalam menentukan waktu yang tepat untuk
menanam padi. Astronomi juga tidak dapat dipisahkan
dari dunia pelayaran. Rasi Salib Selatan (Crux) juga
digunakan masyarakat Indonesia yang bekerja sebagai
nelayan untuk menentukan arah selatan. Selain itu
dengan mempelajari Astronomi maka dapat
meningkatkan keimanan kita akan besarnya ciptaan
Tuhan.
Kita akan menyadari bahwa planet kita, Bumi,
merupakan planet yang sangat istimewa bila dilihat
dari segi jaraknya dengan bintang, komposisi planet,
dan juga suhu. Dengan menguasai ilmu Astronomi,
maka masyarakat Indonesia dapat menyaring isu yang
menyesatkan terhadap suatu fenomena Astronomi.
Sebagai contoh beberapa tahun yang lalu terdapat isu
bahwa planet Mars dan Bulan ukurannya akan nampak
sama ketika dilihat dari permukaan Bumi. Namun bila
kita telaah lagi dari segi jarak maka kenampakan Mars
di Bumi jauh lebih kecil dari Bulan. Banyak pula isuisu bohong (hoax) lainnya yang dipublikasi di situssitus internet dan dapat mengakibatkan kekacauan
publik bila masyarakat Indonesia mengambil isu-isu
tersebut secara mentah-mentah.
Banyak aspek lain dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dengan
Astronomi walaupun di masa modern seperti saat ini.

Namun pada kenyataannya, sebagian besar


masyarakat Indonesia masih asing dengan Astronomi.
Banyak orang masih mengaitkan Astronomi dengan
Astrologi. Lalu banyak orang yang beranggapan
bahwa Astronomi adalah ilmu yang sangat rumit.
Banyak pula orang yang beranggapan bahwa
Astronomi adalah ilmu yang tidak penting. Sebab
sangat
sedikit
lapangan
pekerjaan
yang
memperkerjakan astronom. Selain itu, sumber daya
manusia Indonesia dalam bidang Astronomi juga bisa
dibilang kurang.
2.

Muatan Lokal Astronomi

Di SMA Negeri 5 Surabaya kelas XI terdapat


perbedaan yang sangat besar antara jumlah siswa yang
mengikuti muatan lokal (mulok) Astronomi dengan
jumlah siswa peserta mulok lainnya (Matematika,
Biologi) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Peserta Mulok SMA Negeri 5 Surabaya
Kelas XI
Mulok
Jumlah
Siswa

Matematika

Biologi

Astronomi

120

50

Sementara itu, perbandingan jumlah siswa mulok


Astronomi kelas X dan kelas XI dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Peserta Mulok Astronomi
Kelas
X
XI

Jumlah siswa
21
7

56

M. N. Ahmad: Astronomi di Sekolahku

Guru yang mengajar pada mulok Astronomi


berlatar belakang sarjana Geografi. Terkadang
terdapat beberapa hal yang tidak tepat dan
membingungkan siswa atau terjadi kesalahan konsep.
Misalnya, guru mengatakan bahwa panjang siang hari
di ekuator Bumi berbeda-beda, namun menurut
Wikipedia panjang/lama siang di ekuator Bumi adalah
sama sepanjang tahun.
Minat siswa SMA terhadap Astronomi bisa
dibilang cukup besar. Hal ini bisa dilihat dari jumlah
siswa yang memilih mulok Astronomi yang
meningkat dua tahun terakhir. Walaupun masih sangat
kecil dibandingkan jumlah siswa kelas X dan XI yang
ada sebanyak 576 siswa.
3.

Ekstrakurikuler Astronomi

Siswa yang mengikuti ekstrakurikuler Astronomi


di SMA Negeri 5 Surabaya awal tahun 2011/2012
sejumlah 7 siswa. Dengan rincian 5 siswa kelas X dan
2 siswa kelas XI. Dari 7 siswa tersebut hanya 4 siswa
yang mengikuti mulok Astronomi. Hal ini
menunjukkan keinginan mengikuti ekstrakurikuler
Astronomi masih lebih rendah dibanding keinginan
mengikuti mulok Astronomi.
Selama ini tenaga pengajar pada kegiatan
ekstrakurikuler Astronomi adalah kakak kelas peserta.
Hal ini dikarenakan sedikitnya dana untuk menunjang
kegiatan. Salah satu siswa yang mengikuti mulok dan
ekstrakurikuler Astronomi menyatakan bahwa materi
yang diajarkan pada mulok serta ekstrakurikuler
sedikit berbeda dan belum tahu keterkaitan kedua
materi kegiatan tersebut. Siswa tersebut memilih
mulok dan ekstrakurikuler Astronomi karena suka
dengan hal-hal yang berkaitan dengan alam semesta
dan sains. Tetapi ia merasa bahwa kegiatan yang
diadakan ekstrakurikuler kurang ada studi lapangan.
Salah satu siswa yang hanya mengikuti
ekstrakurikuler Astronomi, tetapi tidak mengikuti
mulok Astronomi, menyatakan lebih nyaman
mengikuti mulok Matematika daripada mulok
Astronomi.
Dari jumlah siswa yang mengikuti mulok maupun
ekstakurikuler Astronomi dapat dikatakan bahwa
siswa yang menfokuskan diri untuk mengikuti

olimpiade bidang Astronomi terbilang sedikit. Siswa


masih beranggapan bahwa Astronomi itu rumit dan
susah. Apalagi dibandingkan dengan bidang sains
lainnya seperti Fisika, Kimia, dan Biologi yang
memiliki jam pelajaran yang lebih banyak dan dengan
sumber daya manusia (guru) yang lebih berkualitas
dibandingkan bidang Astronomi.
Olimpiade Astronomi layak sebagai gebrakan
untuk memberi semangat siswa dalam belajar
Astronomi. Namun perlu fasilitator, dalam hal ini guru
yang berkompeten dalam memberi pelajaran yang
berkualitas bagi para siswa yang berminat
mempelajari Astronomi. Di sekolah penulis, pada
tahun 2010/2011, semua bidang Olimpiade Sains
Nasional (OSN) mendapat pembinaan oleh dosen
kecuali
Astronomi.
Pembinaan
Astronomi
dilaksanakan oleh kakak kelas karena menurut
keterangan yang penulis peroleh tidak ada dosen
Astronomi di Kota Surabaya. Oleh karena itu
dibutuhkan kerjasama antara Perguruan Tinggi (PT)
yang memiliki prodi Astronomi dengan Kemendiknas
serta sekolah-sekolah dalam meningkatkan sumber
daya manusia di bidang Astronomi.
4.

Kesimpulan

1. Perlu ditingkatkan layanan terhadap siswa yang


berminat dalam bidang Astronomi,
2. Untuk mengatasi kelangkaan guru Astronomi perlu
pembekalan/pelatihan pada guru bidang studi yang
lebih terkait dengan Astronomi,
3. Kerjasama dengan PT dan lembaga terkait dalam
pembinaan Astronomi di Indonesia,
4. Ada expo Astronomi di tingkat nasional maupun
tingkat provinsi
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih penulis sampaikan kepada ayahanda
serta kawan-kawan mulok dan ekstrakurikuler
astronomi yang telah banyak membantu dalam
penulisan tulisan (artikel) ini.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Khatulistiwa

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 57 58, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PERLUKAH ASTRONOMI MASUK KURIKULUM SEKOLAH?


SLAMET M. TOHAR
Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA-UNY, Yogyakarta, Indonesia
slametmt@uny.ac.id

Abstrak. Tulisan ini bertujuan untuk menggugah masyarakat Astronomi


mengusulkan pada Pemerintah agar mendudukkan kembali Astronomi sebagai mata
pelajaran yang diajarkan di sekolah. Melalui Olimpiade Sains Nasional bidang
Astronomi masyarakat peduli Astronomi perlu menunjukkan eksistensinya kepada
masyarakat bahwa mata pelajaran Astronomi penting untuk dipelajari di sekolah.
Selama ada OSN, Astronomi terasa hanya sebagai pelengkap dari bidang-bidang
lain yang ditandingkan dalam OSN, karena Astronomi bukan mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah. Harapannya agar Astronomi dapat dipandang sebagai bagian
dari ilmu dasar yang wajib diajarkan di sekolah dalam arti masuk di dalam
kurikulum sekolah, sehingga dapat memberikan dampak meningkatnya pengetahuan
masyarakat dalam menyikapi fenomena Astronomi dalam kehidupan sehari-hari
secara lebih ilmiah.
Kata Kunci: Pelajaran Astronomi, kurikulum, memasyarakatkan Astronomi.

1.

Pendahuluan
Seharusnya materi tanding yang ada di Olimpiade
Sains Nasional (OSN) merupakan pelajaran yang
diajarkan di sekolah. Astronomi merupakan satu
bidang yang kebetulan tidak tersurat secara eksplisit di
dalam kurikulum sekolah, namun ikut ditandingkan di
dalam OSN. Dari sini timbul gagasan, apakah
Astronomi perlu dimasukan ke dalam kurikulum lagi
agar kedudukannya lebih mantap sebagai mata tanding
di OSN.
2.

Rasional
Permasalahan yang muncul di daerah setiap kali
ada event OSN adalah siapa siswa yang harus
mewakili sekolah untuk mata tanding Astronomi.
Sekolah selalu kebingungan karena bidang Astronomi
hampir tidak diajarkan di SMA dan merupakan
pelengkap di tingkat SMP. Kebanyakan siswa yang
mengikuti tes Kabupaten/Kota bila ditanya tentang
kesiapan, selalu dijawab hanya coba-coba ikut.
Kesertaannya tanpa dilandasi kemampuan atau
kompetensi yang dimiliki dalam pembelajaran
kesehariannya.
Seperti telah diketahui bersama oleh guru seluruh
Indonesia bahwa mata pelajaran Astronomi tidak
tercantum dalam kurikulum SMA dan sedikit saja
materi Astronomi yang diajarkan di SMP itu pun
masuk dalam mata pelajaran IPA Fisika. Masalah ini
menjadi salah satu kendala untuk sekolah-sekolah
yang tidak siap mengikuti OSN Astronomi. Dengan
perkataan lain sekolah peserta OSN Astronomi masih
sangat terbatas, belum merata seperti mata lomba yang

lain. Belum semua sekolah menggunakan kesempatan


untuk mengikuti lomba karena tidak memiliki siswa
yang memang juara di sekolahnya di bidang
Astronomi walaupun di tingkat Kabupaten/Kota.
Keadaan ini juga terjadi di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Sekolah-sekolah yang ingin mengikuti lomba
akan menawarkan kepada siswa yang berminat dan
kemudian
melatih,
baik
secara
langsung
memberdayakan guru Fisika atau guru Geografi atau
secara tidak langsung menggunakan tenaga di luar
guru untuk melatih para siswanya tersebut.
Mengundang pelatih dari luar sekolah pada umumnya
dilaksanakan oleh praktisi Astronomi atau dosen dari
perguruan tinggi. Sesungguhnya banyak sekolah
mengadakan pembinaan untuk semua mata lomba
OSN dengan cara mengundang dosen-dosen
perguruan tinggi untuk melatih siswanya. Cara ini
dipakai agar para siswa lebih terlatih untuk
menghadapi soal-soal di OSN yang umumnya
dikembangkan oleh dosen-dosen perguruan tinggi .
Idealnya, olimpiade sains seharusnya merupakan
pencerminan kemampuan siswa belajar di masingmasing sekolah untuk mata lomba di OSN. Semua
mata lomba memiliki kedudukan yang sama seperti
Fisika, Matematika, Biologi, Kimia, dan lainnya yang
merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Bukan merupakan mata pelajaran ekstra kurikuler
yang keberadaannya karena ada olimpiade sains. Saat
ini banyak sekolah yang mengadakan pelajaran
tambahan khusus bagi siswa yang akan mengikuti
OSN. Sekolah-sekolah ingin agar siswanya mendapat
hasil maksimal sampai predikat juara OSN.

58

S. M. Tohar: Perlukah Astronomi Masuk Kurikulum Sekolah?

Khusus untuk bidang Astronomi pada umumnya


sekolah jauh-jauh hari sudah menyiapkan siswanya
untuk dilatih di luar jam belajar. Tentu hal ini pihak
sekolah yang memiliki pendanaan cukup dapat
menyelenggarakan mata pelajaran Astronomi di luar
jam pelajaran reguler. Alasan utama adalah karena di
sekolah tidak ada pelajaran Astronomi sehingga para
siswanya perlu diberikan pelajaran ekstra.
Memberikan pelajaran ekstra di luar kurikulum
dilihat dari segi pendidikan menjadi tidak wajar.
Mereka mendapatkan beban yang lebih dibandingkan
dengan teman-teman yang tidak diorbitkan sebagai
peserta OSN. Pada umumnya pelajaran ekstra ini
dilaksanakan atau diadakan sebelum babak penyisihan
OSN berlangsung. Sekolah sudah menyiapkan
siswanya untuk mengikuti pelajaran ekstra agar kelak
dapat lolos seleksi baik ke tingkat kabupaten/kota,
provinsi, nasional bahkan jika mungkin dapat ikut di
tingkat internasional. Bagaimana dengan sekolahsekolah yang tidak memiliki dana yang cukup untuk
mengadakan pelajaran ekstrakurikuler tersebut?
Apakah materi siswa yang seperti itu yang
diinginkan oleh penyelenggara OSN? Tentunya tidak.
Siswa yang demikian itu akhirnya hanya menguasai
bidang ilmu tertentu saja, dan bidang yang lain
terpinggirkan. Ambil suatu contoh bahwa ada siswa
yang mendapatkan medali emas bidang tertentu, tetapi
pada saat dia mengikuti SNMPTN ternyata tidak lolos
masuk perguruan tinggi. Kasus ini menunjukkan
bahwa siswa tersebut dalam belajar keseharian terlena
hanya mementingkan untuk mendapatkan medali emas
bidang itu tetapi mengabaikan pelajaran yang lain.
Sekolah-sekolah, ataupun daerah-daerah yang
ambisius ingin dianggap sebagai lembaga atau sebagai
daerah yang memperhatikan maupun sukses dalam
bidang pendidikan berusaha sekuat tenaga dengan
menggelontorkan dana agar medali emas OSN bisa
diraih melalui sekolah-sekolah yang dibina khusus
untuk itu.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan kembali
bagaimana kita dapat merekrut putra-putra daerah
yang terbaik diajang OSN (khususnya bidang
Astronomi) tanpa mengorbankan anak didik. Tanpa
adanya pengkarbitan kemampuan mereka, biar mereka
berkembang secara alamiah tanpa adanya tekanan baik
dari orang tua, sekolah, daerah maupun untuk
kepentingan yang lain.
Khususnya untuk bidang Astronomi kiranya perlu
ditekankan adanya kewajaran siswa dalam

memperoleh pengetahuan atau ilmu itu sendiri


sehingga materi Astronomi yang dilombakan menjadi
ilmu yang diperoleh secara wajar oleh siswa, dan
merupakan hasil dari proses belajar mengajar di
sekolah. Oleh karena itu, Prodi Astronomi ITB
sebagai pihak yang sangat berkepentingan untuk
keberlanjutan Astronomi di Indonesia, perlu
mengusulkan kepada Pemerintah atau dalam hal ini di
tingkat Kementerian agar mata pelajaran Astronomi
diangkat kembali sebagai mata pelajaran ataupun
bagian dari mata pelajaran yang dicantumkan dalam
kurikulum SMA seperti pernah tercantum dalam
kurikulum 1994. Bukan untuk sekedar kepentingan
jangka pendek seperti OSN saja, namun untuk
kepentingan yang lebih strategis bangsa di masa yang
akan datang.
Kepentingannya yang pertama bahwa pelajaran
Astronomi sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia
sebagai pengetahuan dasar yang kedudukannya seperti
Fisika, Biologi, dan Kimia. Seperti diketahui jika
dicermati pada pendidikan dasar di luar negeri,
Astronomi merupakan mata pelajaran dasar sains yang
diajarkan sejak sekolah dasar. Tetapi di negeri kita
mengapa pengetahuan ini justru dihindari, padahal
banyak masyarakat petani secara tradisional sudah
menggunakan rasi bintang untuk menentukan awal
musim tanam.
Kepentingan yang kedua bahwa Indonesia
sebagai Negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam sangat berkepentingan mengingat
kaidah-kaidah Astronomi merupakan alat untuk
menentukan kalender Hijriah. Pengetahuan Astronomi
dapat membuka cakrawala masyarakat untuk ikut
berpikir lebih cerdas tentang dunia di sekitarnya.
Harapannya kelak masyarakat dapat memahami
mengapa terjadi perbedaan-perbedaan penentuan awal
bulan Hijriah secara ilmiah maupun secara akidah.
Perbedaan-perbedaan yang terjadi di dalam
menentukan hari besar Islam agar dapat disikapi oleh
masyarakat secara ilmiah bukan dengan cara-cara
yang emosional.
3.

Kesimpulan
Masuknya pelajaran Astronomi ke dalam
kurikulum sekolah menegah merupakan hal yang
dipandang mendesak. Oleh karena itu, pendekatan
yang intensif kepada pemerintah agar ilmu Astronomi
dapat menjadi mata pelajaran di sekolah segera
dilakukan oleh masyarakat Astronomi.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 59 60, April 2011


2011. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PENDIDIKAN ASTRONOMI SEBAGAI SAINS


SOEKIYAH PERMANI1, PREMANA. W. PREMADI1
1

Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia


soekipermani@gmail.com

Abstrak. Astronomi adalah ilmu alam dasar tertua yang dipelajari manusia. Alam
semesta adalah laboratorium alamiah terbesar yang menyediakan berbagai objek dan
fenomena untuk diamati, dipahami, dan jika mungkin, juga dimanfaatkan manusia untuk
meningkatkan nilai hidupnya. Astronomi mengajarkan cara berpikir saintifik sebagai
karakter dasarnya. Dalam pembelajaran materi astronomi, memperkenalkan fakta
haruslah disertai dengan penjelasan proses temuannya, berikut deskripsi saintifik yang
terkini, menurut tatanan logika yang runut. Astronomi dapat mendorong perkembangan
ilmu lainnya, baik ilmu alam dasar maupun ilmu terapan. Pendidikan astronomi yang
baik akan melatih cara berpikir saintifik bagi generasi muda dan memajukan pendidikan
pada umumnya.
Kata Kunci: astronomi, pendidikan astronomi, sains.

1. Pendahuluan
Astronomi adalah ilmu tertua yang dipelajari oleh
manusia. Alam semesta menjadi rumah sekaligus tempat
belajar bagi manusia. Sejak zaman prasejarah Bumi
telah menyediakan kebutuhan manusia untuk bertahan
hidup sekaligus meningkatkan taraf hidup. Waktu
bercocok tanam, kebutuhan navigasi, sistem
penanggalan, termasuk penentuan waktu beribadah
dihitung dengan referensi pemunculan objek-objek
langit tertentu yang menunjukkan keteraturan. Tanpa
disadari kegiatan ini merupakan kegiatan saintifk yang
bertumpu pada pengamatan, pengumpulan data, analisa
data, pengajuan hipotesa, dan pengambilan kesimpulan.
Dengan cara yang nampak naluriah ini nenek moyang
kita telah melakukan kegiatan sains dalam bidang
astronomi untuk menunjang kebutuhan hidupnya.
Sebagai cabang sains, sangat berhubungan dengan
bidang ilmu lain. Kemajuan astronomi mempengaruhi
kemajuan ilmu lain, seperti disebutkan dalam presentasi
Govender (2011). Untuk mendukung kegiatannya,
astronomi selalu mencari teknologi terdepan yang dapat
digunakan untuk melihat lebih jauh lagi. Seperti
teknologi pengamatan pada berbagai panjang
gelombang, penerbangan ruang angkasa, penyimpanan
data, pengolahan data, dan lain sebagainya. Hubungan
dengan bidang sains lainnya, seperi fisika, kimia,
biologi, matematika, dan komputasi juga sangat banyak
dan bisa saling mendukung.
Astronomi bukanlah melulu tentang fakta. Fakta
tentang alam semesta didapatkan dari pengamatan dan
analisa atas data yang didapatkan dari pengamatan.
Berdasarkan ilmu fisika yang telah saat itu dikenal dapat
ditarik suatu kesimpulan yang dapat menjelaskan
fenomena dalam alam semesta, dan dapat menjadi teori
baru, Bahkan beberapa teori fisikapun didapatkan dari
pengamatan astronomi, dengan cara mengamati perilaku
benda langit dalam selang waktu yang sangat panjang.
Teori gerak planet Kepler dan kemudiaan teori gravitasi
Newton diturunkan dari hasil pengamatan seperti ini.
Astronomi secara keilmuan mengajarkan kita cara
berpikir saintifik. Data dikumpulkan dan dapat

dipertanggungjawabkan, analisa dilakukan, kesimpulan


diambil dan dapat diuji, dan harus terbuka untuk
dikembangkan, karena sains selalu bersifat progresif
sesuai kemajuan daya pikir manusia. Oleh karena itu
ilmu astronomi sangat baik diajarkan pada generasi
muda, karena dapat membangun jiwa muda yang
bertanggungjawab dan jujur.

2. Astronomi di Indonesia
Hidup di negara agraris dan kelautan, masyarakat
Indonesia sangat memperhatikan kondisi langit dalam
menentukan waktu menanam, panen, berlayar, dan
navigasi
kelautan.
Tradisi
praktis
tersebut
memanfaatkan pemunculan rasi bintang di langit dan
memperhatikan korelasinya dengan kondisi di bumi
pada waktu itu. Misalnya, munculnya rasi bintang
tertentu berkorelasi dengan musim hujan yang
menunjukkan kapan waktu bercocok tanam. Demikian
pula posisi bintang di langit dapat digunakan untuk
menunjukkan arah bagi para nelayan yang melaut.
Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya,
pemanfaatan objek yang ada di alam semesta ini dapat
membantu manusia untuk bertahan hidup. Secara
naluriah manusia menggunakan segala sesuatu yang ada
di sekitarnya untuk dijadikan alat yang dapat
memudahkan hidupnya. Kegiatan mulai dilakukan oleh
para pendahulu kita itu adalah kegiatan saintifik yang
saat ini dibukukan dan dipelajari di sekolah. Sangat
disayangkan jika sains hanya disampaikan sebagai
paparan fakta tanpa menjelaskan proses yang
berlangsung dalam pencapaian kesimpulan. Esensi
sains bahkan hilang tak tersampaikan.
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan
kehidupan perkotaan, astronomi sederhana seperti
mengenali langit malam, praktis sudah diabaikan oleh
masyarakat luas saat ini. Pengamatan langit malam
selalu dihubungkan dengan peralatan canggih dan
teleskop mahal. Ditambah lagi dengan adanya polusi
cahaya yang membuat semakin banyak objek langit
tidak dapat dilihat karena bersaing dengan cahaya
penerangan di Bumi.

60

S. Permani, P. W. Premadi: Pendidikan Astronomi Sebagai Sains

Di lihat dari manfaat yang didapat, pengamatan


langit malam dapat melatih kegiatan saintifik. Dengan
melihat langit malam maka kita dilatih untuk
melihat/mengamati dan menanyakan cerita yang logis
tentang apa yang kita lihat. Sangat disayangkan jika
semangat mengamati ini hilang begitu saja.

3. Pendidikan Astronomi di Indonesia


Pendidikan astronomi di Indonesia ada sejak
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Indonesia
hanya memiliki satu perguruan tinggi yang
menyediakan program kesarjanaan dalam astronomi,
yaitu Institut Teknologi Bandung. Materi astronomi
dipelajari sejak tinggat dasar hingga tingkat menengah
atas mengikuti kurikulum yang seragam. Setiap tingkat
pendidikan mendapatkan materi astronomi yang
tergabung dengan materi lain dan tidak dipelajari secara
terpisah (Kunjaya, 2011).
Pada tingkat menengah pertama (SMP) astronomi
muncul dalam 1 bab pada kelas 9 dalam mata pelajaran
fisika. Materi yang dipelajari adalah Tata Surya, seperti
tertera dalam buku teks Wariyono (2009). Pada tingkat
menengah atas (SMA) astronomi dipelajari sebanyak 1
bab pada kelas 10 dalam mata pelajaran geografi. Materi
yang dipelajari adalah Tata Surya hingga Alam Semesta
seperti tertera dalam buku teks Waluya (2010).
Guru pengajar materi astronomi di SMP adalah guru
fisika yang sudah pernah mendapatkan materi astronomi
di masa pendidikannya, sehingga secara prinsip mereka
memiliki bekal untuk mengajarkan materi astronomi.
Sebaliknya guru pengajar materi astronomi SMA adalah
guru geografi yang tidak mendapatkan materi astronomi
pada masa kuliahnya. Umumnya mereka tidak memiliki
pengetahuan maupun pengalaman untuk mengajarkan
astronomi. Mereka sendiri harus belajar dari dasar, dan
mempelajari materi baru bukan sesuatu yang mudah,
apalagi untuk kebutuhan mengajar.
Pembelajaran astronomi di SMA menjadi suatu hal
yang rancu. Di satu sisi materi ini hanya satu bab saja
dan dapat dipelajari sambil lalu, namun saat ini di
Indonesia aktif dalam olimpiade sains untuk siswa dan
astronomi menjadi salah satu bidang yang dilombakan.
Banyak sekolah mengerahkan usaha ekstra untuk dapat
berprestasi dalam lomba tersebut. Tentu saja hal ini
menjadi sangat membingungkan sekaligus menyulitkan
bagi guru pengajar materi astronomi seperti disebutkan
pada presentasi Nathanael (2011), karena tuntutan yang
besar untuk berprestasi, padahal kemampuan menguasai
materi yang tidak ada sama sekali. Ditambah lagi
sulitnya mendapatkan materi astronomi dalam bahasa
Indonesia yang dapat mudah diajarkan pada para siswa.
Pendidikan astronomi di Indonesia dipermasalahkan
karena penempatan materi yang tidak tepat sehingga
dinilai membebani mata pelajaran induknya terutama
pada tingkat SMA. Materi astronomi ditempatkan di
mata pelajaran geografi menjadi beban guru geografi
karena guru geografi tidak mendapatkan pelatihan
tentang materi astronomi pada masa kuliahnya.
Sedangkan jika materi astronomi ditempatkan pada
pelajaran fisika maka mata pelajaran fisika dinilai sudah
sangat berat karena sudah padatnya materi akan makin
terbebani.
Materi astronomi yang dialihkan dari satu bidang ke
bidang lain membuat materi ini tidak tersampaikan

dengan baik. Padahal jika melihat manfaat yang akan


didapatkan maka sayang sekali jika tidak secara serius
ditekuni.
Di Indonesia, pembalajaran materi astronomi dalam
hubungannya dengan pelajaran fisika seringkali dengan
cara memperkenalkan objek atau fenomena astronomis
hanya sebagai ilustrasi suatu topik pelajaran tertentu.
Cara ini belum berarti telah mempelajari astronomi,
karena dengan demikian astronomi hanya merupakan
ilmu aplikasi fisika saja. Padahal banyak pengetahuan
fundamental fisika bersumber dari penelitian astronomi
yang pada hakekatnya merupakan cabang sains yang
independen dengan yang mengamati dan menganalisa
alam dengan kekuatan rasio.

4. Diskusi dan Penutup


Astronomi adalah ilmu dasar dan bukan merupakan
penyampaian fakta belaka. Mengajarkan astronomi,
seperti mengajarkan cabang sains yang lain, haruslah
memicu rasa keingintahuan yang sehat, dan dapat
mengasah daya pikir siswa. Dalam ilmu astronomi
banyak sekali hal baru yang ditemukan yang dapat
dipahami dengan penuh minat oleh masyarakat. Akan
semakin menarik jika temuan baru dalam astronomi
diajarkan dalam cerita yang mencakup rangkaian
penelitian yang panjang dan melibatkan banyak disiplin
ilmu. Dengan demikian, astronomi sebagai sains
diperkenalkan sebagai hasil badan usaha pikiran dan
teknologi manusia yang terus berkembang.
Kebutuhan mempelajari astronomi dikarenakan
manfaat yang didapatkan dari mempelajari ilmu itu
sendiri. Astronomi adalah ilmu dasar yang dapat
mengajarkan cara berpikir saintifik yang akan terus
melekat dan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
oleh para siswa hingga dewasa. Kegiatan olimpiade
adalah kegiatan tambahan yang menarik untuk dapat
menjadikan astronomi lebih gegap gempita di sekolahsekolah, namun tak bisa dijadikan usaha primer dalam
pembelajaran astronomi karena pada umumnya peserta
olimpiade eksklusif mereka yang berprestasi tinggi. Ini
berarti mengabaikan kebanyakan populasi siswa
Indonesia, padahal astronomi adalah sains dasar untuk
semua.
Ucapan Terima Kasih
Kami berterimakasih kepada Panitia Seminar
Pendidikan Astronomi yang telah memberikan
kesempatan untuk berbagi, dan juga kepada para peserta
seminar yang telah memperkaya wawasan kami tentang
realita pendidikan astronomi di Indonesia maupun di
dunia.
Daftar Pustaka
[1] Govender, K. 2011. Astronomy For A Better World.
Seminar Pendidikan HAI
[2] Kunjaya, C. 2011. Extending Astronomical
Education By Olympiad Activities. Seminar
Pendidikan HAI
[3] Nathanael, M. 2011. Pendidikan Astronomi di SMA.
Seminar Pendidikan HAI
[4] Waluya, B., 2010, Geografi SMA/MA,
Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
[5] Wariyono, S., 2009, Mari Belajar Ilmu Alam
Sekitar, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 61 62, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PENDIDIKAN ASTRONOMI DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA


EDDY SUSIANTO1, HASANAH PRATIWI S.2
1

PPPPTK IPA, Bandung, Indonesia


SMPN 10 Cimahi, Cimahi, Indonesia
bahari_boy@yahoo.com
2

Abstrak. Fenomena alam yang terjadi akhir-akhir ini dan isu-isu global yang mengancam
eksistensi manusia erat kaitannya dengan kajian Astronomi. Banyak masyarakat awam yang
keliru dalam menanggapi fenomena/isu tersebut, bahkan para praktisi pendidikan pun
kadang ikut-ikutan latah. Menyikapi hal tersebut penulis berasumsi bahwa kajian Astronmi
menjadi wajib dalam dunia pendidikan. Namun pengembangan pendidikan Astronmi di
Indonesia, terkendala oleh: kurikulum pendidikan, sarana prasarana Astronomi, keengganan
pendidik mengajarkan Astronomi, image Astronomi di masyarakat, dan kurang proaktifnya
lembaga terkait dalam mensosialisasikan Astronomi pada masyarakat. Melalui Seminar
Pendidikan Astronomi yang produknya diterbitkan dalam bentuk prosidings, diharapkan
kumpulan ide penulis untuk mengembangkan pendidikan Astronomi di Indonesia bisa
terwujud. Ide tersebut antara lain: mata pelajaran Astronomi menjadi mata pelajaran wajib di
kurikulum sekolah, membangun sarana prasarana pendidikan Astronomi untuk masyarakat,
memberi kesempatan atau mewajibkan guru-guru untuk melaksanakan penelitian dalam
bidang Astronomi, mengenalkan penting dan menariknya Astronomi kepada masyarakat
oleh pemerintah dan lembaga terkait serta menerbitkan buku-buku kajian/aplikasi Astronomi
dalam berbagai bidang.
Kata Kunci: Seminar Pendidikan Astronomi, prosidings, kumpulan ide

1. Pendahuluan
Astronomi sangat berkaitan dengan fenomenafenomena alam yang terjadi akhir-akhir ini. Isu-isu global
yang mengancam eksisitensi manusia juga erat kaitannya
dengan kajian Astronomi. Banyak masyarakat awam
bahkan ada juga insan pendidikan yang keliru
menanggapi isu/fenomena alam yang seharusnya bisa
dinalar dengan kajian Astronomi.
Kekeliruan ini kadang diperparah dengan tayangan
media massa yang motifnya hanya mencari rating
tertinggi alias keuntungan ekonomi semata. Media massa
cenderung tidak mendidik dalam tayangannya sehingga
kadang malah memperkeruh suasana dan menimbulkan
keresahan di masyarakat. Sebagai contoh ketika dunia
digemparkan dengan isu kiamat 2012, media lebih
banyak menayangkan bencana-bencana mengerikan yang
akan terjadi di tahun 2012 dengan tayangan film maupun
infotainmentnya. Jarang sekali media menyiarkan
klarifikasi dari pakar-pakar yang berwenang khususnya
Astronomi untuk menjawab isu tersebut. Kalaupun ada
waktunya sangat singkat. Jika hal ini dilakukan
masyarakat tidak akan resah dan malah bisa menyikapi
dengan positif isu tersebut. Setidaknya masyarakat akan
termotivasi belajar Astronomi sehingga jika isu serupa
dihembuskan
kembali
masyarakat
akan
bijak
menyikapinya.
2. Permasalahan Pendidikan Astronomi di Indonesia
Melihat permasalahan di atas penulis berasumsi
bahwa kajian Astronomi menjadi wajib dalam dunia

pendidikan. Namun beberapa masalah menghadang


pengembangan pendidikan Astronomi, antara lain:
a. Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Kurikulum pendidikan nasional sekarang ini (KTSP)
di sekolah menengah tidak berpihak untuk
pengembangan pendidikan Astronomi di Indonesia. Ini
dapat dibuktikan dengan semakin habisnya materi
Astronomi dari kurikulum sekolah. Kajian Astronomi
dalam kurikulum sekolah hanya sebagai sisipan di mata
pelajaran geografi, yaitu geografi kelas X [1]. Itupun
banyak bersifat sebagai hafalan, sehingga guru-guru
lebih senang memberikan tugas baca untuk siswanya
daripada mengajarkannya secara langsung. Dalam
kurikulum sebelumnya (tahun 1994), kajian Astronomi
diberikan pada mata pelajaran fisika dengan bobot yang
cukup tinggi. Entah mengapa pada kurikulum 2004
(KBK) dan 2006 (KTSP) kajian tersebut dihilangkan dan
dipindahkan ke mata pelajaran geografi, dengan
pengurangan materi yang signifikan [2].
Kementerian Pendidikan Nasional sebagai pemegang
kebijakan terkesan belum menganggap penting
pengembangan pendidikan Astronomi di Indonesia.
Padahal potensi SDM di Indonesia sudah menembus
level internasional. Baik dari sisi pengajarnya maupun
anak didiknya. Sudah banyak prestasi yang ditorehkan
oleh siswa-siswi Indonesia dalam ajang kompetisi
internasional, antara lain dalam Olimpiade Astronomi
tingkat internasional. Akan sangat disayangkan jika SDM
yang brilian tersebut malah lebih tertarik untuk
mengembangkan ilmu Astronomi di negara lain oleh
karena kurangnya penghargaan di negara sendiri.

62

E. Susianto, H. Pratiwi S.: Pendidikan Astronomi di Indonesia dan Permasalahannya

Sebagai bahan perbandingan, Thailand


mengeluarkan kebijakan lewat kurikulumnya
menempatkan pendidikan Astronomi sebagai
pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah sejak
2001[3].

sudah
untuk
mata
tahun

b. Sarana Prasarana Astronomi


Ketersediaan sarana prasarana merupakan penunjang
dalam pencapaian tujuan pendidikan Astronomi. Dengan
kata lain, pengembangan pendidikan Astronomi akan
tersendat bila ada kendala dalam penyediaan sarana dan
prasarana tersebut. Kendala tersebut akan sulit untuk
dihindari selama pendidikan Astronomi masih belum
menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah.
c. Keengganan Pendidik Mengajarkan Astronomi
Saat Astronomi bukan mata pelajaran yang di-UANkan apalagi tidak ada dalam kurikulum, para
pendidik/guru di sekolah merasa tidak perlu untuk
mengajarkannya. Lebih baik mengajarkan materi yang
akan di-UAN-kan. Selain penyebab di atas, kurang
kompetennya guru dalam bidang Astronomi juga menjadi
sebab guru tidak percaya diri dalam mengajar Astronomi.
d. Image Astronomi di Masyarakat
Masyarakat masih menganggap lulusan Astronomi
susah cari kerja, tidak produktif dan tidak dibutuhkan di
masyarakat, sehingga SDM Astronomi jumlahnya masih
terbatas.
e. Kurang Proaktifnya Lembaga Terkait dalam
Mensosialisasikan Astronomi pada Masyarakat
Lembaga/institusi yang bergerak di bidang
Astronomi kurang aktif terjun ke sekolah dan tempattempat umum dalam mengenalkan Astronomi, terutama
fenomenanya. Kalaupun ada, frekuensinya masih kurang.
Jika hal ini diprogramkan minimal sebulan sekali, maka
diharapkan masyarakat akan mengetahui bahwa
Astronomi adalah ilmu yang menarik untuk dipelajari,
setidaknya memotivasi mereka untuk belajar Astronomi.

3. Kumpulan Ide yang Ditawarkan Untuk


Pengembangan Pendidikan Astronomi
Menanggapi permasalahan di atas, penulis
menawarkan beberapa ide yang sekiranya bisa
mendongkrak pengembangan dan pendidikan Astronomi
di Indonesia. Kumpulan ide tersebut antara lain:
a. Melalui kebijakan pemerintah melalui Pusat
Kurikulum, mata pelajaran Astronomi menjadi
mata pelajaran wajib di kurikulum sekolah
menengah. Ini akan berdampak guru tertuntut untuk
belajar Astronomi lebih lanjut dan terserapnya
lulusan Astronomi dalam bidang pendidikan.
b.

Pemerintah dan lembaga yang terkait dengan


Astronomi
membangun
dan
menfasilitasi
masyarakat terutama insan pendidikan yang peduli
dengan Astronomi dengan sarana dan prasarana
yang memadai dan proyek-proyek Astronomi
lainnya.
Memperbanyak
Planetarium
dan

Observatorium dan melengkapi sarana yang telah


ada.

c.

Memberi kesempatan atau mewajibkan guru-guru


untuk melaksanakan penelitian dalam bidang
Astronomi atau sebagai narasumber dalam seminar
pendidikan Astronomi. Selain mengembangkan
kompetensi astronominya, hal ini sekaligus dapat
memotivasi mereka dalam meniti karirnya. Artikel
yang dimuat di prosidings dalam seminar dapat
menambah angka kredit untuk kenaikan golongan
para guru-guru.

d.

Mengenalkan penting dan menariknya Astronomi


kepada masyarakat oleh pemerintah dan lembaga
terkait melalui seminar pendidikan Astronomi
secara berkala, mobile Observatorium dan aplikasi
Astronomi dalam berbagai bidang, misalnya

Gambar 1. Mobile Observatorium Planetarium Jakarta


yang berkunjung ke sekolah secara massal di
masyarakat.

penentuan waktu sholat, arah kiblat, pengamatan


hilal dan lain sebagainya.

e.

Menerbitkan buku-buku kajian/aplikasi Astronomi


dalam berbagai bidang dalam sajian yang menarik
dan dapat dicerna sesuai jenjang pendidikan dan
didistribusikan secara massal di masyarakat.

4. Kesimpulan
Pengembangan pendidikan Astronomi di Indonesia
perlu melibatkan berbagai pihak. Pemerintah sebagai
pemegang kebijakan, institusi pendidikan dan lembaga
terkait sebagai pelaksana dan guru sebagai ujung tombak
di lapangan. Partisipasi masyarakat juga perlu dilibatkan
dalam
mendukung
pengembangan
pendidikan
Astronomi. Tanpa adanya kolaborasi dari berbagai pihak,
dipastikan pendidikan Astronomi di Indonesia hanya
jalan ditempat dan tertinggal dengan negara yan lain.
Daftar Pustaka
[1] Eni Anjani, Tri Haryanto (2009), Geografi untuk
kelas X SMA, Pusat Perbukuan depdiknas, Jakarta
[2] Permendiknas nomor 22 tahun 2006, Standar Isi
[3] http://www.narit.or.th

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 63 64, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

PERKEMBANGAN ILMU ASTRONOMI DI INDONESIA


ASEP YOYO WARDAYA
Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
asepyoyo@yahoo.co.id, asepyoyowardaya@undip.ac.id

Abstrak. Ilmu Astronomi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
sangat luas jangkauan keilmuannya meliputi seluruh alam semesta raya dan
berhubungan erat dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya. Perkembangan
ilmu Astronomi di Indonesia masih belum dimaksimalkan, yang berbeda dengan
perkembangan ilmu Astronomi yang sangat pesat di negara-negara maju. Kemajuan
ilmu Astronomi di Indonesia dapat dicapai jika terdapat peninjauan ulang sistem
pendidikan Astronomi di tingkat pendidikan menengah dan perguruan tinggi melalui
sistem pembelajaran yang berjenjang dan teratur.
Kata Kunci: Perkembangan ilmu astronomi, sistem pendidikan, berjenjang, teratur.

1. Pendahuluan
Pemahaman manusia akan berbagai mekanisme
yang terjadi di alam semesta semakin berkembang
seiring dengan semakin banyaknya penemuanpenemuan mutakhir yang dihasilkan dari pengamatan
pada berbagai panjang gelombang. Salah satu
contohnya
adalah
penemuan-penemuan
yang
dihasilkan dari pengamatan satelit sinar-X. Penemuan
tersebut sangat membantu dalam upaya kita mahami
tentang teori bintang bintang neutron dan black hole
yang memiliki kerapatan massa beberapa ton/cm3
hingga miliaran ton/cm3[1].
Penemuan luar biasa juga dihasilkan dari
pengamatan pada panjang gelombang micowave. Dari
pengamatan tersebut, astronom mempelajari teori
ledakan maha dasyat (big bang) sebagai teori
pembentukan alam semesta. Astronom juga dapat
memperkirakan
usia
alam
semesta
bahkan
memperoleh bukti tentang keberadaan dark energy.
Masih sangat banyak lagi penemuan-penemuan lain
yang menakjubkan serta lebih banyak lagi pertanyaanpertanyaan yang belum terjawab yang masih menjadi
misteri alam semesta, seperti misalnya tentang asal
muasal dari dark energy yang merupakan penyumbang
terbesar dari energi alam semesta [1].
2. Potensi Ilmu Astronomi di Indonesia
Dengan melihat potensi pengembangan keilmuan
Astronomi, sesungguhnya masih banyak sekali kajiankajian yang belum diketahui oleh manusia sehingga
prospek penelitian dalam bidang Astronomi hampir
tiada batasnya untuk dikembangkan. Negara-negara
maju yang menginginkan untuk menguasai ilmu
pengetahuan dan menguasai hegemoni dunia rela
mengeluarkan dana yang sangat besar untuk
melakukan riset-riset luar angkasa seperti pengiriman

satelit-satelit ke luar angkasa untuk keperluan


penelitian, mata-mata, senjata rahasia, dan sebagainya.
Adapun perkembangan ilmu Astronomi di
Indonesia masih kurang mendapat perhatian dari
pemerintah dan masyarakat. Ilmu Astronomi belum
disosialisasikan secara penuh dari mulai tingkat SMA
hingga perguruan tinggi. Pada beberapa buku teks
Fisika SMA hingga Fisika Dasar di perguruan tinggi
[2], bidang Astronomi biasanya hanya hanya
terangkum dalam bahasan mengenai hukum gravitasi
Newton, teori relativitas khusus dan tiga hukum
Kepler yang terkenal. Pada buku-buku mekanika
klasik [3], mulai terdapat pembahasan lebih lanjut dari
teori relativitas. Untuk pengembangan jurusan di
universitas, hanya beberapa perguruan tinggi saja yang
memiliki beberapa perkuliahan kajian Astronomi
sehingga secara total Indonesia hanya sedikit
menghasilkan sarjana-sarjana dengan kompetensi
Astronomi.
Kekurangan lain adalah sulitnya menemukan
buku-buku Astronomi dari tingkat SMA sampai
perguruan tinggi. Jika ditinjau dari aplikasi praktis
yang bermanfaat bagi masyarakat, ilmu Astronomi
biasa digunakan pada penanggalan kalender Islam
untuk menghitung waktu awal bulan puasa, Idul Fitri
dan Idul Adha yang rutin dilakukan setiap tahun [4].
Aplikasi lain dari ilmu Astronomi adalah untuk
membantu navigasi dalam pelayaran dan para nelayan,
seperti untuk menentukan terjadinya pasang surut air
laut akibat adanya gaya tarik bulan.
3. Langkah-langkah untuk Memajukan Ilmu
Astronomi
Untuk menghasilkan kemajuan dalam bidang
Astronomi dibutuhkan campur tangan dari pemerintah
serta sumbangan ilmu dan pikiran dari akademisiakademisi Astronomi. Beberapa langkah untuk

64

A. Y. Wardaya:Perkembangan Ilmu Astronomi di Indonesia

memajukan ilmu Astronomi tersebut di antaranya


adalah sebagai berikut.
1. Menyepadankan
perkembangan
ilmu-ilmu
Astronomi dengan ilmu-ilmu dasar lainnya seperti
Fisika, Biologi, Kimia, Matematika dan
sebagainya
melalui
sistem
pembelajaran
berjenjang dan teratur dari mulai sekolah tingkat
menengah hingga perguruan tinggi. Beberapa
penyepadanan tersebut di antaranya adalah sebagai
berikut.
a. Mengagendakan mata pelajaran Astronomi
sebagai mata pelajaran wajib dari tingkat SMA
sampai perguruan tinggi (khususnya pada
jurusan Fisika).
b. Menyediakan buku-buku Astronomi untuk
tingkat SMA sampai perguruan tinggi.
c. Dengan adanya materi pelajaran Astronomi di
sekolah, diharapkan perguruan tinggi membuka
program kuliah untuk guru-guru Astronomi
yang dapat mengajar di SMA.
2. Menyebarkan teknologi peralatan Astronomi di
seluruh Indonesia seperti teropong bintang. Alat
tersebut disamping dapat digunakan sebagai bahan
penelitian di universitas juga dapat digunakan
untuk keperluan penentuan waktu-waktu kalender
Islam.
3. Mengadakan kursus-kursus untuk para guru Fisika
tentang
pengetahuan
Astronomi
sehingga
pengetahuan Astronomi dalam jangka pendek
dapat dikuasai untuk tingkat SMA dan perguruan
tinggi.
4. Untuk menambah minat pelajar dalam mendalami
ilmu Astronomi perlu diintensifkan perlombaanperlombaan karya ilmiah seperti lomba OSN,
penulisan artikel Astronomi, dsb. Khusus untuk

perlombaan OSN, minat SMA-SMA untuk


mengikutinya cukup besar, namun seringkali
terkendala dengan kekurangan buku-buku teks dan
sumber bacaan.
4. Kesimpulan
Ilmu Astronomi di Indonesia masih belum
dimaksimalkan perkembangannya, padahal potensi
ilmu Astronomi sangat besar baik untuk keilmuan
maupun untuk aplikasi praktis bagi masyarakat.
Supaya dihasilkan perkembangan ilmu Astronomi
yang pesat, dibutuhkan campur tangan pemerintah dan
akademisi untuk perubahan kurikulum serta
penyebaran buku-buku bidang Astronomi bagi sekolah
menengah dan perguruan tinggi. Dukungan lain yang
diperlukan untuk peningkatan ilmu Astronomi adalah
penyebaran peralatan Astronomi seperti teropong
bintang yang dapat disebarkan ke berbagai universitas
di Indonesia, agar mahasiswa terbiasa dengan kegiatan
penelitian tentang kondisi bintang-bintang dan bendabenda angkasa raya.
Daftar Pustaka
[1] W. Sutantyo (2010), Bintang-bintang di Alam Semesta,
Penerbit ITB, Bandung.
[2] M. Abdullah (2007), Fisika Dasar I (Edisi Revisi),
Penerbit ITB, Bandung.
[3] H. Goldstein, C. Poole and J. Safko (2000), Classical
Mechanics (third Edition), Addison Wesley.
[4] A. W. Ariasti, F. Dirghantara dan H. L. Malasan
(1995), Perjalanan Mengenal Astronomi, Penerbit ITB,
Bandung.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 65 66, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

JARINGAN KEASTRONOMIAN
WIDYA SAWITAR
Planetarium Jakarta

Abstrak. Kemajuan penelitian keantariksaan terutama bidang keastronomian


memaksa kalangan astronomi bekerja keras untuk mengolah derasnya informasi
yang diperolehnya. Namun, tidak mungkin ini dilakukan sendiri karena secara
fakta bahwa bidang astronomi menyangkut beragam keilmuan yang secara otomatis
juga menyangkut beragam instansi yang terkait. Pendataan untuk hal ini dan
kemapanan jaringan kerjasama tentu dibutuhkan untuk menatap masa depan yang
lebih baik. Apresiasi, komitmen, dan kontribusi dari semua elemen sangat
diharapkan termasuk dari kalangan masyarakat luas.
Kata Kunci: peranti keastronomian, jaringan kerja, konsolidasi

1.

Pendahuluan
Sebenarnya banyak peranti keastronoman di
Indonesia yang dapat ditilik. Yang menjadi pemikiran
di sini dan sangat penting, serta harus diperjuangkan
adalah jaringan kerja. Bagaimana membangun sistem
keastronomian yang senantiasa bergerak bersama
untuk suatu target yang konvergen di masa depan.
Bagaimana mengejawantahkan keinginan yang
tertuang dalam pikiran Astronomi dalam frontier
ilmu pengetahuan [1]. Uraian ini dapat saja dianggap
sebagai angan-angan penulis dalam melihat
keastronomian secara menyeluruh walau tetap saja
banyak keterbatasan dari pengetahuan penulis sendiri.
Sejenak lintas sejarah. Perkembangan eksplorasi
ruang angkasa dengan segala dampaknya mengundang
perhatian dunia. Sejak era Sputnik sampai teleskop
antariksa Hubble, juga International Space Station
(ISS), membuat derasnya informasi astronomi yang
diterima baik bagi ilmuwan maupun publik. Bahkan,
Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mencanangkan tahun
1992 sebagai Tahun Antariksa Internasional. PBB
menyiratkan tiga pokok pikiran, yaitu memonitor
sumber daya alam dan lingkungan Bumi, pendidikan
mengenai antariksa, dan penyuluhan kepada
masyarakat tentang kegiatan keantariksaan sekaligus
manfaatnya. Dari sini bisa dibayangkan betapa
beragam disiplin ilmu masuk di dalamnya. Hal ini
ditindaklanjuti pada tahun 1999 dengan Resolusi PBB
54/68 bahwa tanggal 410 Oktober dicanangkan
sebagai World Space Week, yang bermakna
imbauan pada tiap negara untuk berperan aktif dalam
perayaan tersebut [2]. Sekitar 25 macam kegiatan
direkomendasikan dengan objektif peningkatan
kesadaran masyarakat umum dan pengambil
keputusan secara global akan pentingnya kegiatan
keantariksaan untuk tujuan damai. Pertimbangan
penting adalah disebutnya astronomi dalam resolusi
itu, yang kemudian mengantarkan ke pencanangan
tahun 2009 sebagai Tahun Astronomi Internasional.

Yang patut disimak dari hal di atas adalah


instansi yang terkait. Bagaimana di Indonesia? Ada
berapa banyak dan bagaimana kondisi peranti
keastronomian yang bisa dirajut untuk satu target
eksplorasi ruang angkasa di masa depan? Pada
kesempatan ini walaupun penulis mengulas beberapa
instansi yang relevan dengan hal ini.
2.

Imbauan Kepada Instansi Terkait


Yang pertama diulas adalah yang langsung
terkait dengan astronomi, yakni, antara lain, Program
Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (juga
alumninya), Observatorium Bosscha, Planetarium
Jakarta, Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB,
Himpunan Astronomi Indonesia (anggotanya tidak
semua berprofesi astronom). Tantangan utama bagi
tiap jenis unit itu adalah mereka masih satu-satunya di
Indonesia (catatan: beberapa fasilitas baru seperti
Planetarium Tenggarong di Kalimantan Timur masih
dalam tahap persiapan). Dengan kapasitasnya masingmasing, unit-unit itu hanya dapat melayani masyarakat
dalam jumlah sangat terbatas pada luasan daerah yang
terbatas pula. Jadi, dalam hal ini memang sudah tidak
lagi dipertanyakan komitmen dunia astronomi, tapi
justru mempertanyakan bagaimana meningkatkan
apresiasi - komitmen kontribusi masyarakat umum
kepada astronomi ?[3]
Instansi lain yang baik ditilik prospeknya adalah
Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PP
IPTEK) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang
memperkenalkan iptek secara interaktif. Hanya saja
topik astronominya masih belum bergema dan sekali
lagi jangkauan layanan informasinya masih sempit:
hanya Jakarta dan sekitarnya. Sementara Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
sebenarnya dapat lebih luas jangkauannya. Stasiun
atau pos yang dimiliki LAPAN di Indonesia
sesungguhnya bisa memaksimalkan fungsi distribusi
informasinya. Diharapkan bukan dari segi muatan

66

W. Sawitar: Jaringan Ke-Astronomi-an

hasil observasi saja. Namun, harapan yang dapat


dicuatkan adalah kegiatan penyuluhan berkala kepada
siswa atau masyarakat sekitar. Memang sangat terlalu
naif kalau pada saat sekarang ini fungsi LAPAN
disandingkan dengan semisal NASA atau ESA.
Namun, yang penulis inginkan bahwa orientasi ke
sana haruslah jadi ukuran.
Sebenarnya masih begitu banyak instansi yang
dapat dimasukkan dalam peranti keastronomian yang
bisa didorong untuk dapat berfungsi sebagai sumber
informasi khususnya astronomi atau eksplorasi ruang
angkasa secara umum. Sebut saja yang berafiliasi
dengan
Departemen Pendidikan Nasional,
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata seperti
permuseuman; Departemen Perhubungan, termasuk
BMKG, TNI,
PT Dirgantara Indonesia, BPPT,
Kementerian RISTEK, LIPI; Kelompok Perguruan
Tinggi dengan segala perangkat yang ada termasuk
bidang keilmuan yang menyangkut masalah eksplorasi
ruang angkasa dan juga ke-Bumi-an; Departemen
Agama; kalangan media massa termasuk penerbit;
perpustakaan; Kementrian Komunikasi dan Informasi,
Pos dan Telekomunikasi (terlebih berbasis satelit).
Tentu masih banyak lagi yang secara nasional baik
pemerintahan maupun swasta yang tidak mungkin
penulis sebut satu per satu. Namun, garis tegas yang
bisa diambil di sini bahwa keastronomian ternyata
merambah ke semakin banyak sektor bahkan bisnis
dan politik [4]. Sekarang, setelah semua bisa mendata
peranti tersebut, apa yang akan dilakukan? Sistem
jaringan apa yang akan dibuat? Pemikiran inilah yang
menurut penulis sudah sepatutnya dikedepankan
dengan mengadakan kajian serius. Konsolidasi antar
instansi sudah selayaknya diprioritaskan.
3.

Kesimpulan
Sejarah keastronomian di dunia sejak ribuan
tahun lalu, termasuk di Indonesia [5;6], telah
membuktikan bahwa astronomi tidak kenal batas
negara, sifatnya universal. Masyarakatnya dituntut
berinteraksi dan bersosialisasi yang menggiring dalam
akulturasi sosial-budaya. Pembangunan stasiun ruang
angkasa internasional makin mengukuhkan bahwa
astronomi amatlah unik sebagai hasil integrasi ilmu
dari bidang eksakta, sosial-budaya bahkan politik.
Astronomi juga menyimpan nuansa seni, keindahan,
dan harmoni. Imajinasinya menelusuri jejak ilmu
tentang proses alami sejak bermilyard tahun ke masa
silam kekinian maupun ke masa depan yang
diungkapkan dalam bahasa Matematika, Fisika,
Kimia, Biologi, dan keimanan. Maka sungguh tepat
bahwa astronomi senantiasa berada di garis depan
ilmu pengetahuan, bahkan menjadi ujung tombak
iptek. Kebutuhan keastronomian membuat disiplin
ilmu lainnya pun bergerak maju. Tinggal sejauh mana
dan bagaimana kita semua menyadari hal ini untuk
menggalang kebersamaan keastronomian untuk
merealisasikan itu semua secara berkesinambungan,
sehingga
program-program
dapat
terencana,
terlaksana, dan berhasil baik dalam kualitas dan

kuantitas. Inilah yang pada awal di atas penulis


katakan sebagai angan-angan, kalau tidak dapat
dikatakan sebagai cita-cita.
Ucapan Terima Kasih
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kerendahan
hati, sebagai hanya satu dari komponen astronomi
yang begitu kompleks, penulis menyampaikan terima
kasih kepada Bapak Jorga Ibrahim, Bapak (alm)
Winardi Sutantyo, dan Ibu Premana W. Premadi yang
telah banyak membuka wawasan kepada penulis.
Bagaimana astronomi bukan sekedar dipandang
sebagai astronomi semata, melainkan hakekat apa
yang terkandung di dalamnya. Pemikiran dalam
tulisan singkat ini sekaligus persembahan buat beliau,
yang tentu saja belum ada artinya dibandingkan
dengan kontribusi beliau dalam dunia keastronomian.
Daftar Pustaka
[1] Ibrahim, J., 1995, Astronomi dalam Frontier
Ilmu Pengetahuan, dalam B. Dermawan, H. L.
Malasan, dan M. Putra (eds.), Prosidings
Seminar Sehari Astronomi, Jurusan Astronomi
ITB dan Himpunan Astronomi Indonesia, p.1-8
[2] LAPAN, 2000, Bahan Rapat Kerja antar
Departemen/Instansi tentang Kegiatan Indonesia
dalam Rangka World Space Week, Pussisgan
LAPAN Jakarta
[3] Pengantar untuk Ceramah dan Diskusi Open
House
Observatorium
Bosscha,
2000,
Pengembangan Sains Antariksa dan Peningkatan
Apresiasi Sains Masyarakat
[4] Jenie, S. D., 1995, Kurikulum Astronautika untuk
Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam
Bisnis Keantariksaan, dalam B. Dermawan, H.
L. Malasan, dan M. Putra (eds.), Prosidings
Seminar Sehari Astronomi, Jurusan Astronomi
ITB dan Himpunan Astronomi Indonesia, p.8796
[5] Sawitar, W., 2008, Constellations: The Ancient
Cultures of Indonesia. Paper poster of the 10th
Asian-Pacific Regional Meeting 2008
[6] Sawitar, W., 2009, Star and the Universe: The
Ancient Cultures of Indonesia, Stars of Asia
Workshop
at
National
Astronomical
Observatory of Japan Mitaka Tokyo, 11-14
Mei 2009.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 67 68, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

MEMBANGUN JEJARING PENDIDIKAN ASTRONOMI MELALUI PUSAT


PERAGA ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (PUSPITEK)
INDRAWAN
UPTD Graha Teknologi Sriwjaya, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia
mangkuto@ymail.com
Abstrak. UPTD Graha Teknologi Srwijaya (UPTD GTSS) sebagai pusat peraga ilmu pengetahuan
sangat berperan untuk memberikan fasilitas kepada masyarakat, pelajar, mahasiswa, dan guru untuk
meningkatkan kemampuan di bidang sains dan teknologi. Mengingat disiplin di bidang sains dan
teknologi sangat banyak, para pengelola UPTD GTSS menyadari tidak dapat menguasai seluruh ilmu
yang ada. Dengan keterbatasan tersebut, UPTD GTSS menjalin kemitraan dengan berbagai pihak
diantaranya dengan Observatorium Bosscha ITB. Bentuk kerja sama yang telah dilaksanakan adalah
pelatihan perakitan teleskop YOU ARE GALILEO. Namun itu belumlah cukup untuk
memasyarakatkan Astronomi. Tantangan ke depan yang dihadapi adalah fenomena gerhana matahari
total yang diperkirakan terjadi pada 9 Maret 2016 dan melintasi kota Palembang. UPTD GTSS yang
tepat berada di tengah kota Palembang harus mempersiapkan diri untuk meningkatkan pelayanannya.
Oleh sebab itu, dari sekarang UPTD GTSS harus melakukan terobosan untuk membangun jejaring
pendidikan Astronomi. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, UPTD GTSS juga dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas untuk mengembangkan pendidikan Astronomi melalui kerjasama
dengan Observatorium Bosscha ITB.
Kata Kunci: Graha Teknologi, Puspitek, Pendidikan Astronomi, Bosscha, ITB

1.

Pendahuluan
UPTD Graha Teknologi Sriwijaya (UPTD GTSS)
merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat peraga
ilmu pengetahuan (Puspitek). Lembaga ini paling banyak
dikunjungi para pelajar karena di UPTD GTSS banyak alat
peraga yang bernuansa sains dan teknologi dasar. Di
samping itu memiliki berbagai macam aktivitas yang
dilaksanakan pada siang dan malam hari seperti science
camp. Pada kegiatan malam diadakan pengamatan matahari
tengelam, bulan, bintang, planet dan lain-lain. Di samping
itu, masyarakat dan wartawan juga sering menayakan
tentang fenomena alam seperti halo, penentuan dan
pengamatan hilal, proses terjadinya gerhana matahari,
gerhana bulan dan lain sebagainya.
Keingintahuan masyarakat terhadap fenomena alam
yang terjadi harus dapat dijawab UPTD GTSS sebagai
science center. Hingga saat ini, UPTD GTSS belum
memiliki SDM yang handal di bidang Astronomi dengan
kemampuan yang terbatas. Mengingat keterbatasan tersebut,
UPTD GTSS harus melakukan terobosan untuk membentuk
jejaring di berbagai bidang keilmuan termasuk membangun
jejaring keilmuan Astronomi.
Saat ini, UPTD GTSS telah bekerjasama dengan
Observatorium Bosscha ITB dan National Astronomical
Observatory of Japan (disingkat NAOJ) di dalam
memperkenalkan ilmu Astronomi dengan melibatkan
sebanyak 40 orang tingkat SMP dan SMA se Sumatera
Selatan dengan tema YOU ARE GALILEO. Di balik hasil
pelatihan yang diselengarakan Obervatorium Bosscha dan
NAOJ, UPTD GTSS mendapat tantangan untuk menjaga
kesinambungan dari kegiatan tersebut dengan berbagai
aktivitas. Maka, UPTD GTSS sebagai science center
harus melibatkan perguruan tinggi untuk meningkatkan
kompetensi dan kualitas pelayanan di bidang sains dan
teknologi. Untuk itu, perlu dibangun jejaring pendidikan
astronomi antara Observatorium Bosscha dengan UPTD
Graha Teknologi Sriwijaya.
2. UPTD Graha Teknologi Sriwijaya
2.1 Wahana-wahana UPTD GTSS

UPTD GTSS memiliki beberapa wahana, sebagai berikut:


1.
Wahana Ilmu-Ilmu Dasar
Wahana ini berisikan konsep dasar sebuah sains dan
teknologi. Tujuan dan manfaat wahana ini sebagai berikut:
a. Untuk masyarakat umum dengan berbagai latar
belakang pendidikan.
b. Membangkitkan minat pengunjung terhadap ilmu
pengetahuan dengan diberikan pengalaman
langsung dalam ilmu pengetahuan, diberikan
kesempatan terlibat dalam penemuan hukumhukum atau fenomena-fenomena dasar ilmu
pengetahuan Matematika, Fisika Dasar, Geologi,
Bunyi dan Cahaya, Persepsi dan Pengujian,
Rekayasa, Biologi, Zat dan Kimia.
2.
Wahana Tematik
Pelayanan yang diberikan kepada pengunjung sebagai
berikut.
a. Pengunjung
mendapat
kesempatan
untuk
mengetahui secara lebih mendalam dan lebih
mendetail mengenai suatu tema ilmu pengetahuan,
mulai dari pengenalan sampai penerapannya di
masa depan.
b. Memuaskan keingintahuan dengan melihat dan
mengamati secara langsung proses penemuan,
inovasi dan evolusi suatu tema yang terkait dengan
pengembangan teknologi, organisasi dan inisiatif.
2.2 Tugas Pokok dan Fungsi
Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) UPTD GTSS Provinsi
Sumatera Selatan, antara lain sebagai berikut:
1) penyajian pameran hasil/prestasi penelitian dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
2) penyediaan peluang untuk melaksanakan penelitian
atau pengembangan ilmu pengetahuan masyarakat
dan teknologi bagi siswa dan mahasiswa, serta
masyarakat Sumatera Selatan,
3) mempertajam kemampuan ilmu pengetahuan
teknologi bagi masyarakat, terutama siswa dan
mashasiswa dengan menyediakan kesempatan
berdialog melalui seminar, simposium dan
lokakarya.

68 Indrawan:Membangun Jejaring Pendidikan Astronomi Melalui Pusat Peraga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek)
2.3 Program Kegiatan
UPTD Graha Teknologi Sriwijaya merupakan bagian dari
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pendidikan
(Disdik) Provinsi Sumatera Selatan. UPTD GTSS setiap
tahun menyusun dan membuat Rencana Kerja Angaran
(RKA). Hampir seluruh program kegiatan UPTD GTSS
didanani oleh APBD Provinsi Sumatera Selatan. Anggaran
yang diberikan untuk UPTD GTSS sangat terbatas, karena
anggaran yang diberikan harus didistribusikan untuk bidangbidang yang lain dan UPTD yang lain di bawah Disdik Prov.
Sumsel. Akibatnya, sebagian dari kegiatan diselengarakan
dengan swadana atau menjalin kemitraan yang tidak
mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan yang
berlaku.
Di dalam perencanaan program kegiatan, umumnya
selalu berpatokan kepada kebutuhan sekolah (mengacu
kepada
kurikulum),
ciri
khas
UPTD
GTSS,
kontekstual/trendy, hari besar nasional dan lainnya. UPTD
GTSS berupaya memenuhi kebutuhan pengembangan
pendidikan sains dan teknologi dan menjadi supporting
system pendidikan sains dan teknologi.
Secara garis besar program kegiatan yang dibuat
lembaga sebagai berikut:
a. Program Tahunan
Program yang telah ditentukan dan direncanakan
sesuai dengan sumber pembiayaan yang berasal dari
APBD, diantaranya: pengadaan dan penambahan serta
perawatan alat peraga, pendidikan dan pelatihan serta
sejenisnya, lomba dan kompetisi.
b. Program Regular
Program-program yang rutin dikaksanakan dan
bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada
pengunjung seperti demo sains dan peneropongan
matahari.
c. Program Eksklusif
Program yang dipesan dan dilaksanakan secara khusus
dengan waktu yang ditentukan oleh sekolah/ lembaga /
mitra, seperti pelatihan yang dilakukan bersama
Observatorium Bosscha dan NAOJ YOU ARE
GALILEO.
Sasaran dari semua program yang direncanakan dan
dilaksanakan di UPTD GTSS sebagai berikut:
a. Pelajar (mulai tingkat taman kanak-kanak, SD, SMP,
SMA sederajat dan mahasiswa);
b. Guru (TK, SD, SMP, SMA sederajat) dan dosen;
c. Kelompok sains, masyarakat, keluarga dan stake
holder lainnya (seperti Balitbangda).
2.4 Pengunjung
Pengunjung UPTD Graha Teknologi Sriwijaya didominasi
para pelajar (lihat Tabel 1 dan Tabel 2). Kedatangan mereka
umumnya untuk mempelajari dan mengekplorasi alat peraga
yang ada, sehingga dapat memhami sebuah fenomena sains
dan teknologi.
Kunjungan hanya dilaksanakan pada hari dan jam
kerja dari pukul 08.30 sampai 15.30, kecuali jika ada
permintaan khusus. Antusiasme para pengunjung pada siang
hari adalah menikmati matahari. Sedangakan untuk malam
hari disesuaikan dengan fenomena alam seperti terjadinya
hujan meteor. Informasi terjadinya fenomena alam diperoleh
dari Observatorium Bosscha (Dr. Hakim). Namun,
keingintahuan pengunjung tentang sebuah fenomena belum
dapat terpuaskan karena keterbatasan sumber daya yang
dimiliki.
3. Membangun Jaringan Komunikasi Astronomi
UPTD GTSS telah memiliki sebuah teropong matahari
dan teropong manual, semi otomatis dan yang otomatis serta

mendapat bantuan dari NAOJ berserta Observatorium


Bosscha. ketika diklat untuk guru dalam tema You Are
Galileo. Fasilitas teropong yang dimiliki UPTD GTSS
adalah yang paling lengkap di lingkungan sekolah dan
Puspitek, tetapi masih kurang di dalam SDM serta
pengembangan kegiatannya.
Jalinan komunikasi antara pihak UPTD GTSS dengan
Observatorium Bosscha, hanya baru sebatas individu yaitu
antara Indrawan (Pimpinan UPTD GTSS) dan Dr. Hakim
(Kepala Observatorium Boscha ITB). Untuk masa
mendatang harus terbentuk jalinan komunikasi Astronomi
antara kedua lembaga yang sangat kuat, sehingga dapat
disusun sebuah bentuk pembelajaran dan pendidikan
Astronomi di UPTD GTSS. Keuntungan utama yang didapat
adalah masyarakat dapat mengetahui ilmu Astronomi.
Jalinan dan jalur komunikasi Astronomi dapat
memanfaatkan teknologi informasi. Kedua belah pihak
bersinergis membuat kegiatan bersama, seperti star party,
pengamatan malam dan lain sebagainya yang dilaksanakan
melalaui jaringan komunikasi internet.
Tabel 1. Jumlah Pengunjung
Tahun 2011

Tabel 2. Total Pengunjung


sampai 2010

Bulan

Pengunjung

Tahun

Januari

1390

2005

2844

Februari

3515

2006

10490

Maret

3093

2007

13756

April

1367

2008

16820

Mei

3781

2009

16282

Juni

3929

2010

15735

Juli

837

Agustus

281

September

991

Total

19184

Pengunjung

4. Kesimpulan
Jejaring pendidikan astronomi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada di pusat peraga ilmu
pengetahuan, seperti UPTD Graha Teknologi Sriwijaya
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan, sehingga
keilmuan Astronomi dapat dikenal mulai dari tingkat taman
kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah sederajat,
kalangan perguruan tinggi serta masyarakat umum.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Bpk Dr. Hakim L. Malasan (Kepala
Observatorium Bosscha ITB) yang telah merintis kerjasama dengan
UPTD Graha Teknologi Sriwijaya dan Dr. Aprilia yang memberi
kesempatan untuk mengikuti Seminar Pendidikan Astronomi, Bpk
Alex Nurdin (Gubernur Provinsi Sumatera Selatan) dengan
kebijakannya meningkatkan kualitas rakyat Sumsel melalui program
peningkatan kualitas pendidikan sains dan teknologi, Bpk Ade
Karyana (Ka. Dinas Pendidikan Prov. Sumsel) dengan bimbingan
dan arahannya untuk kemajuan pendidikan di Prov. Sumsel serta
teman-teman pengelola dan pengembang wahana keastronomian
yaitu Bpk H. Rudi Asri, S.Pd (Kasubag TU), Bpk Awalludin, S.Pd.
M.Si (Kasi Perencanaan & Evaluasi), Bpk Qum Zaidan Marhani,
S.Pd., M.Si (Kasi Penelitian dan Promosi), dan Staf UPTD Graha
Teknologi.
Daftar Pustaka
Indrawan; Rencana Strategis (Renstra) UPTD Graha Teknologi
Sriwijaya; 2007.
Indrawan; Pembinaan dan Peningkatan Kinerja UPTD Graha
Teknologi (Rapat Pembinaan Awal tahun 2011).
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 24 Tahun 2008

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 69 70, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

FOLK ASTRONOMY: UPAYA MERAIH (KEMBALI) POSISI KEEMASAN


ASTRONOMI
HALMAR HALIDE1, NUR HASANAH2
1

Guru Besar Hidrometeorologi, Jurusan Fisika, FMIPA, UNHAS, Makassar, Indonesia


Jurusan Fisika, FMIPA, UNHAS, Makassar, Indonesia
halmarh@yahoo.com
2

Abstrak. Salah satu faktor penyebab kurangnya minat menekuni Astronomi adalah
aplikasi praktis ilmu ini dalam memecahkan masalah masyarakat. Salah satu
persoalan ummat yang berpotensi untuk dipecahkan adalah upaya menyatukan hari
raya ummat Islam. Hingga saat ini, ummat ini masih melaksanakan hari rayanya
pada hari yang berbeda. Selain kasus keagamaan tersebut, Astronomi juga
berpotensi menjangkau berbagai persoalan yang lebih luas. Hal ini bisa dicapai
melalui upaya menemukan korelasi (ranah waktu) maupun koherensi (ranah
frekuensi) antara keberadaan benda-benda langit dan fenomena yang dijumpai pada
berbagai sektor seperti: lingkungan, pertanian, peternakan dan kelautan. Kompetensi
dan kontribusi mahasiswa yang unik ini diharapkan mampu mendudukkan kembali
astronomi pada tempat dimana ia dahulu pernah berjaya.
Kata Kunci: Folk Astronomy, korelasi, koherensi

1.

Zaman Keemasan Masa Lalu


Menurut sejarah, astronomi dan para penekunnya
(astronom) pernah menempati posisi terhormat pada
berbagai peradaban mulai dari Mesopotamia, Mesir,
Yunani, Amerika, Eropa, India dan Cina serta Islam di
masa keemasannya. Kala itu para astronom memegang
peran penting dalam penentuan upacara ritual
keagamaan dan pengatur roda kehidupan suatu
masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena para
astronom tersebut diyakini memiliki pengetahuan
tentang perlangitan (heavens). Pengetahuan ini
menganugerahi mereka dengan kemampuan membuat
kalender sebagai acuan kegiatan bermasyarakat.
Keahlian membuat kalender/almanak tersebut mereka
peroleh melalui ketekunan mengamati keteraturan
munculnya benda-benda langit dan perubahan
sosok/fasa mereka. Untuk benda langit misalnya
bulan, ada beberapa penampakan fasa yang
ditunjukkannya seperti: bulan sabit, bulan separuh,
Gibbous, dan bulan purnama. Pengetahuan tersebut
juga bahkan menjadikan mereka tidak saja menjadi
peramal cuaca [1] yang diwariskan secara turun
temurun [2] serta konsultan bagi para pecocok tanam
melalui resep-resep bercocok tanam termasuk
penggunaan pupuk dan pestisida non-kimiawi [3].
Tidak hanya itu, fenomena langit pun telah merasuk
hingga masalah ritme/siklus dalam kehidupan wanita
yakni istilah datang-bulan dan lama kehamilan ratarata 265,8 hari (setara dengan 9 kali periode sinodis
bulan) [10]. Tak mengherankan jika monumen

keemasan dan kontribusi mereka pada peradaban


dunia masih dapat disaksikan hingga saat ini seperti:
Stonehenge untuk meramal gerhana matahari dan
bulan [1].
2.

Korelasi Fenomena Benda Langit pada Ranah:


Darat, Laut, dan Udara
Pengetahuan modern yang berbasis metode ilmiah
berupaya menemukan kaitan antara kehadiran benda
langit dan kejadian yang terjadi di bumi. Rupa/fase
bulan telah terbukti berkorelasi dengan peubah-peubah
cuaca dan hidrologi seperti suhu atmosfir [4; 5] , awan
[7], curah hujan dan debit sungai [6]. Tidak hanya
permasalahan atmosfir seperti cuaca dan iklim, irama
benda langit pun telah dimanfaatkan pada bidang
pertanian khususnya oleh kelompok biodynamic
farming and gardening yang dipelopori oleh R.
Steiner, Maria dan Matthias Thun. Agar diperoleh
panen terbaik, jadwal tanam hingga panen mereka pun
telah disesuaikan dengan fase bulan [11]. Tak
ketinggalan dengan aplikasinya pada ranah atmosfir
dan daratan, fenomena langit pun diketahui telah
merambah ranah laut via dinamika pasang surut yang
mengendalikan pasokan oskigen dan unsur hara bagi
ikan-ikan estuaria dan ketersediaan cahaya yang
berkaitan dengan perilaku mangsa-pemangsa para
organisma laut seperti udang-udangan dan moluska
[8] dan ikan-ikan estuaria [9].

70 H. Halide, N. Hasanah: Folk Astronomy: Upaya Meraih (Kembali) Posisi Keemasan Astronomi

3.

Tantangan Ke Depan
Masa gemilang itu yang disebutkan pada paragraf
awal tampaknya telah berlalu. Meskipun astronomi
tingkat universitas masih diajarkan hingga saat ini dan
Ilmu Falak yang pernah diajarkan pada tingkat SMA,
namun berita mereka (astronomi dan astronom) hanya
memiliki gema terbatas dan sekilas (transient)
misalnya: sidang Isbat penentuan awal/akhir bulan
Qamariyah hanya dilakukan tiga kali setahun (baca:
tiga kali dalam 365 hari). Sesuatu barulah akan
menjadi kenangan abadi (everlasting) jika ia mampu
digunakan sebagai agen pencerahan pikiran ataupun
sebagai alat praktis untuk memecahkan masalah
masyarakat.
Saat ini ada persoalan ummat yang potensial bisa
mengangkat kembali posisi para astronom. Persoalan
tersebut adalah bagaimana menyatukan hari raya umat
Islam. Sebenarnya ada solusi alternatif yang dapat
menjembatani kedua kelompok yang menganut sistem
yang berbeda (komputasi versus observasi) dalam
proses penentuan awal/akhir bulan. Alternatif ini
adalah penggunaan teropong infra-merah dan
pemrosesan citra yang canggih. Hal ini telah
dibuktikan beberapa kali. Misalnya bulan sabit (hilal)
yang disaksikan dari ketinggian 1782 meter pada
bulan Juni 2007 yang sudut elongasinya 4,75 derajat
[12] dan hilal yang terlihat dari ketinggian 300 meter
pada bulan April 2010 dengan sudut elongasi 4,55
derajat [13].
Kedua nilai elongasi ini jauh lebih
rendah dari batas Danjon yakni 7,5 derajat untuk
syarat terlihatnya hilal. Umat ini seharusnya iri pada
keberhasilan bangsa lain yang telah berhasil melihat
hilal tertipis sekalipun dengan IPTEK yang mereka
miliki. Untuk mengejar ketertinggalan ini, Olimpiade
Astronomi tingkat sekolah menengah yang dilakukan
tiap tahun sebaiknya dilengkapi pula dengan
perlombaan menyaksikan hilal termuda. Selain acara
perlombaan rutin diluar kampus/sekolah, sudah
waktunya institusi astronomi menyajikan juga
kurikulum yang merakyat yakni perkuliahan Folk
Astronomy.
Folk Astronomy Astronomi Rakyat
Perkuliahan ini bisa disajikan pada tingkat sarjana
maupun
pascasarjana
sesuai
kemampuan
mahasiswanya. Pada tingkat sarjana, penekanannya
pada kompetensi mahasiswa untuk menemukan
korelasi (domain waktu) maupun koherensi (domain
frekuensi) empiris antara keberadaan benda-benda
langit dengan fenomena yang ditemukan pada
berbagai sektor kehidupan dan lingkungannya. Pada
tingkat pascasarjana, mahasiswa diharapkan mampu
menyibak mekanisma dibalik korelasi tersebut,
menyusun
dan
menguji
hipotesis
serta
memformulasikan suatu teori.
Keberhasilan
dalam
menemukan
hubungan/korelasi tersebut akan membantu proses
pengambilan keputusan terbaik untuk masa depan.
Misalnya, pengetahuan tentang adanya korelasi antara
agregasi
(berkumpulnya)
ikan/udang
dengan
4.

sosok/fasa bulan tertentu dapat dimanfaatkan untuk


mengatur jumlah penangkapan ikan/udang sedemikian
rupa hingga over exploitation suatu komoditas dapat
dihindari. Hal ini diharapkan dapat menjamin
keberlanjutan kehidupan komoditas tersebut.
Daftar Pustaka
[1] Ken Ring (2008), The Original Predicting
Weather by the Moon, Titirangi, Auckland, New
Zealand.
[2] N. P. Premachandra, R. P. De Silva and B.V. R.
Punyawardena (2005), Understanding the
relationships between rainfall and lunar phase a
case study in kandy region in sri lanka, The
Journal of Agricultural Sciences, 1, 1 6.
[3] E. A. Crawford, 1989, The Lunar Garden
Planting by the Moon phases, Weidenfeld &
Nicholson, New York, 9 26 & 47 50.
[4] Balling, R. C., Jr., and R. S. Cerveny (1995),
Impact of lunar phase on the timing of global and
latitudinal tropospheric temperature maxima,
Geophys. Res. Lett., 22(23), 3199-3201.
[5] Cerveny, R. S., and R. C. Balling Jr. (1999),
Lunar influence on diurnal temperature range,
Geophys. Res. Lett., 26(11), 1605-1607.
[6] Cerveny, R. S., B. M. Svoma, and R. S. Vose
(2010), Lunar tidal influence on inland river
streamflow across the conterminous United
States, Geophys. Res. Lett., 37.
[7] N. Pertsev and P. Dalin (2010), Lunar
semimonthly signal in cloudiness: Lunar-phase or
lunar-declination effect?, Journal of Atmospheric
and Solar-Terrestrial Physics, 72, 713 71.
[8] A. K. Nishida, N. Nordi and R. R. N. Alves
(2006), Molluscs production associated to lunartide cycle: a case study in Paraba State under
ethnoecology viewpoint, Journal of Ethnobiology
and Ethnomedicine, 2 28.
[9] J. A. A. Ramos, M. Barletta, D. V. Dantas, A. R.
A. Lima, and M. F. Costa (2011), Influence of
moon phase on fish assemblages in estuarine
mangrove tidal creeks, Journal of Fish Biology,
78, 344 354.
[10] http://www.turtlezen.com/mayancalendarandtheg
oddess.html
[11] http://www.biodynamics.com/
[12] http://www.mondatlas.de/other/martinel/sicheln20
07/crescent_june.html
[13] http://legault.perso.sfr.fr/new_moon_2010april14.
html

Penutup

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 73 74, April 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

LAPORAN DISKUSI
KIKI VIERDAYANTI1,2, SOEKIYAH PERMANI1
1

Program Studi Astronomi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung


Observatorium Bosscha, Institut Teknologi Bandung
kiki@as.itb.ac.id
2

Banyak sekali perkembangan baru di Astronomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir, di antaranya peningkatan sains
di sekolah, peningkatan mutu riset, serta penyelenggaraan Olimpiade Astronomi. Tantangan yang paling riil saat ini
sehingga perlu dilakukan pembentukan jaringan di Indonesia menurut ketua Program Studi (Prodi) Astronomi (Dr.
Mahasena Putra) antara lain adalah kebutuhan untuk meningkatkan mutu riset (riset proper) di level perguruan tinggi
serta kebutuhan untuk menyiapkan infrastruktur di lingkungan sekolah (kurikulum, guru dan sebagainya). Dalam hal
peningkatan mutu riset, penggalakan pertukaran/mobilitas mahasiswa sangat diperlukan baik di luar negeri maupun di
dalam negeri. Untuk di dalam negeri, aktivitas ini akan sangat membantu terbentuknya kerjasama riset di lingkungan
perguruan tinggi di Indonesia. Dalam hal peningkatan pengenalan Astronomi di lingkungan sekolah masih diperlukan
pengantar Astronomi yang cocok untuk level menengah meskipun tidak harus berupa mata pelajaran yang berdiri
sendiri. Selain itu, pembinaan Astronomi di lingkungan sekolah dapat dikembangkan dengan membentuk forum guru
atau kelompok penggemar Astronomi.
Perihal peran Astronomi sebagai sarana untuk mengenalkan sains kepada anak-anak khususnya usia sekolah,
Presiden IOAA saat ini (Dr. Chatief Kunjaya) berpendapat bahwa Olimpiade Astronomi merupakan salah satu cara
memupuk budaya sains pada anak sekolah. Sedangkan untuk pengembangannya, perlu adanya kemitraan sehingga
pelatihan Astronomi dapat dilakukan oleh dosen/guru di daerah. Dari kemitraan pembinaan olimpiade ini, diharapkan
dapat juga terjalin kemitraan penelitian dengan memanfaatkan teropong-teropong hibah dari Kemendiknas yang
digunakan dalam Olimpiade Astronomi tingkat internasional yang diselenggarakan di Bandung tahun 2008. Teropong
tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk program pengabdian kepada masyarakat. Dengan kemitraan, beban kegiatan
tidak hanya tertumpu pada Astronomi ITB yang sedang mencoba untuk mewujudkan mimpi besar untuk membuat
teropong besar (mengejar ketinggalan dari Thailand yang baru saja meresmikan teropong 2,4 meter).
Menanggapi perihal pembentukan jaringan guru-guru pecinta Astronomi, Drs. Widya Sawitar dari Planetarium
Jakarta mengemukakan bahwa di Jakarta, khususnya, telah ada jaringan seperti ini dan sudah berjalan sejak Astronomi
masuk dalam OSN. Selain itu, aktivitas jaringan ini juga melibatkan Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ).
Menyinggung mengenai muatan Astronomi dalam kurikulum SMA, Dr. Chatief Kunjaya menceritakan salah satu
upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki sistem pengenalan Astronomi di SMA dengan melayangkan surat ke
BSNP. Surat tersebut berisi saran untuk mendudukkan Astronomi di tempat yang tepat dalam kurikulum SMA. Intinya
bukan membentuk mata pelajaran Astronomi mengingat mata pelajaran yang ada sudah banyak sehingga penambahan
Astronomi hanya akan memberatkan siswa, tetapi bagaimana pola pikir Astronomi dapat tersalurkan kepada siswa.
Selain itu, penempatan ilmu Astronomi dalam ilmu Geografi dinilai kurang tepat, kecuali bila Geografi dimasukkan ke
dalam IPA karena untuk dapat masuk ke prodi Astronomi ITB harus melalui jalur IPA. Jika Astronomi masuk dalam
Geografi dan Geografi dikelompokkan dalam IPS, maka justru siswa yang ingin masuk ke prodi Astronomi tidak
mendapat bekal IPA yang memadai di level SMA. Dr. Chatief Kunjaya berujar bahwa daripada menjadi tugu yang hanya
menjadi batu sandungan (memberatkan siswa), atau menjadi bebek yang salah kandang (masuk dalam IPS), lebih baik
menjadi kopi yang mengharumkan air (dengan memberikan contoh pola pikir astronomi di bidang-bidang ilmu yang
relevan).
Senada dengan Dr. Chatief Kunjaya, Dr. Wasis, selaku perwakilan BSNP, juga berpendapat bahwa upaya yang
paling diperlukan saat ini dalam mengembangkan Astronomi di lingkungan sekolah adalah bagaimana menghidupkan
'roh' Astronomi di tempat-tempat yang tepat. Muatan materi Astronomi juga perlu dikaji supaya jangan sampai
Astronomi hanya menjadi 'hantu' yang menakut-nakuti siswa dan guru, tetapi dapat menjadi roh dalam aspek-aspek
sains. Kurikulum mengharapkan siswa mengenal dan berinteraksi dengan alam, namun yang terjadi adalah penyampaian
materi Astronomi lebih berfokus pada hafalan data-data. Output seminar ini diharapakan dapat menjadi masukan untuk
diskusi-diskusi di BSNP, termasuk mengenai penempatan materi Astronomi di dalam mata pelajaran Geografi.
Mutoha Arkanuddin dari Jogja Astro Club juga berpendapat bahwa pengembangan ilmu Astronomi di lingkungan
sekolah akan lebih efektif bila melalui pembentukan club astronomi di lingkungan sekolah daripada memaksakan

74

K. Vierdayanti, S. Permani

menjadi mata pelajaran tersendiri. Sebagai contoh, saat ini di Jogja sudah terbentuk tiga club astronomi amatir.
Semantara itu, penempatan astronomi dalam mata pelajaran geografi telah menimbulkan kebingungan di lingkungan
sekolah perihal apakah siswa dari IPA atau IPS yang akan dikirim untuk mengikuti olimpiade astronomi nasional.
Keberadaan materi Astronomi di dalam kurikulum SMA mengundang banyak opini yang berbeda dari para peserta
seminar. Di satu sisi ada yang merasa perlunya Astronomi menjadi mata pelajaran tersendiri mengingat pentingnya peran
kebijakan di Indonesia. Tanpa adanya kebijakan khusus, Astronomi akan terus dipandang tidak bermanfaat. Akibatnya
pembekalan ilmu Astronomi untuk guru-guru juga dipandang tidak perlu dan ketika seorang guru merasa kurang
kompeten mengajar suatu materi, materi tersebut akan cenderung dilewati atau dibebankan kepada siswa untuk mencari
tahu sendiri. Hal ini pada akhirnya akan menghambat perkembangan Astronomi di Indonesia. Ditambah lagi
pembentukan club astronomi juga tidak mudah, antara lain karena terbentur dana. Muncul juga saran untuk mengundang
kepala sekolah dalam pertemuan-pertemuan seperti ini karena mereka adalah penentu kebijakan di sekolah-sekolah.
Mengingat minat siswa yang cukup besar terhadap ilmu Astronomi (Prahesti Husnindriani, Astronomi ITB) dan
kebutuhan akan tenaga pendidik/pembina ilmu astronomi (Perwakilan SMAN 2 Bandung) juga merupakan salah satu isu
penting dalam seminar ini, Dr. Andi Suhandi berkomitmen untuk terus mengembangkan bidang astronomi di jurusan
pendidikan Fisika FPMIPA UPI yang kelak diharapkan dapat membantu menyiapkan guru-guru dengan materi
astronomi.
Berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidik di lingkungan sekolah, Dr. Biemo Soemardi, selaku wakil dari
Dikti bidang beasiswa berpendapat bahwa masih terdapat masalah yang berkaitan dengan birokrasi karena pendidikan
dasar dan menengah memiliki direktorat yang berbeda dengan pendidikan tinggi. Tentu saja untuk meningkatkan
kualitas pendidikan tidak bisa hanya dilakukan di pucuknya saja, tetapi harus dari dasarnya. Upaya yang dilakukan Dikti
hingga saat ini adalah dengan penyediaan beasiswa bagi pendidik dan tenaga pendidikan di lingkup perguruan tinggi
saja, antara lain dengan beasiswa unggulan. Untuk meningkatkan kualitas pendidik di lingkungan sekolah, kita perlu
meyakinkan badan pengembangan SDM untuk pengadaan beasiswa di level menengah ke bawah. Sedangkan untuk
mobilitas mahasiswa, kemungkinan besar masih dapat difasilitasi melalui program-program Dikti.
Awalludin, SPd., Msi., dari Graha Teknologi Sriwijaya Palembang memaparkan peluang pengembangan Astronomi
melalui pusat-pusat sains di Indonesia. Pusat sains dapat menjadi raga yang tepat untuk dimasuki roh Astronomi karena
tidak dibebani dengan kurikulum dan sebagainya. Yang paling utama adalah bagaimana mengemas materi Astronomi
yang dapat membumi sehingga meningkatkan minat pengunjung terhadap ilmu Astronomi. Sebagai contoh di Graha
Teknologi Sriwijaya, jumlah pengunjung semakin meningkat setelah mendapatkan teropong You Are Galileo dari
Jepang. Modul atau rambu-rambu pengenalan astronomi dangat diperlukan selain penambahan alat peraga yang
menarik. Dalam han ini ITB dapat berperan menghimpun pusat-pusat sains di Indonesia.
Berkaitan dengan modul, buku-buku Astronomi berbahasa Indonesia masih sangat kurang di Indonesia sehingga
menyulitkan masyarakat umum untuk memperoleh informasi astronomi. Namun sudah ada upaya untuk
mengembangkan buku astronomi berbahasa Indonesia yang dikembangkan oleh salah satu mahasiswa S2 Astronomi saat
ini. Mahasiswa S2 di bawah bimbingan Dr. Premana W. Premadi ini mencoba membuat kompilasi bahan bantu ajar
untuk Astronomi berupa gambar-gambar dan aktivitas kelas yang akan membantu memudahkan guru dalam mengajar
dan siswa dalam memahami. Dr. Premana juga mengemukakan bahwa ada pula mahasiswa yang sedang berupaya
menyiapkan materi dalam bentuk animasi di situs internet. Hal yang sangat penting adalah menumbuhkan rasa ingin
tahu anak-anak dan tidak hanya menghafal. Anak-anak perlu diajak untuk menemukan kaidah melalui pengamatan.
Anak-anak sering berhenti bertanya setelah mulai bersekolah yang merupakan indikasi hilangnya rasa ingin tahu anakanak karena terlalu banyak dihantam materi.
Dalam diskusi 60 menit ini, antusiasme peserta dalam menyampaikan gagasan dan pendapat sangat besar yang
menunjukkan kepedulian terhadap perkembangan astronomi di Indonesia. Dari hasil diskusi dapat disimpulkan bahwa
masih banyak problematika baik horizontal (antar perguruan tinggi) maupun vertikal (dengan sekolah dan Dikti) yang
harus dipecahkan bersama-sama. Pembentukan jaringan merupakan salah satu upaya awal yang harus segera
diwujudkan.

PROSIDINGS SEMINAR PENDIDIKAN ASTRONOMI, 75 76, Maret 2012


2012. Peringatan 60 Tahun Pendidikan Astronomi di Indonesia

CONCLUDING REMARKS
DHANI HERDIWIJAYA 1,2
1

Program Studi Astronomi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung


Observatorium Bosscha, Institut Teknologi Bandung
dhani@as.itb.ac.id
2

Bermula dari motto Dr. Kevin Govender, Astronomy for Better World ditambahkan and Better Life. Dunia
yang dapat diubah oleh astronomi adalah bidang-bidang Science and Research, Technology and Skill, Culture and
Society (ditambahkan Religion). Ketiga aspek tersebut mempengaruhi bagaimana kita beriklan dan bicara
kepada masing-masing masyarakat, yaitu masyarakat ilmiah, masyarakat melek teknologi dan masyarakat
berbudaya dalam strata lokal sampai internasional. Bagaimana dengan kondisi dan suasana di Indonesia?
Lulusan tahap Sarjana sejak 60 tahun yang lalu sejumlah 288 mahasiswa. Dengan demikian setiap lulusan
mengemban tugas beriklan dan bicara kepada kurang lebih 1.000.000 orang. Suatu nisbah liliput. Apakah
jumlah lulusan itu sudah mencapai critical mass dari bola salju? Apakah energi bola salju sudah cukup untuk
menggelinding?
Tingkat popularitas Astronomi di Indonesia tidaklah bisa dibantah. Terukur dalam porsi kecil dengan jumlah
kunjungan di Observatorium Bosscha lebih dari 60.000 orang per tahun. Perlu lebih dari 10 tahun untuk mencapai
pengunjung ke sejuta. Fenomena alam visual seperti gerhana bulan, gerhana matahari, oposisi Mars, transit
Merkurius, transit Venus, hujan meteor, hilal awal Ramadan dan Syawal, dll. Fenomena alam yang nun jauh, seperti
lubang hitam, supernova, tabrakan galaksi, dll. tidak kalah menarik perhatian masyarakat yang haus informasi yang
tepat dan sederhana. Pandangan masyarakat yang hiperkorek atau nihil informasi juga mudah melahirkan hoax
atau berita bohong. Kabar burung yang mendompleng fenomena alam memerlukan waktu para penggiat astronomi
untuk klarifikasi.
Astronomi yang populer berarti juga banyak pertanyaan menggelitik. Wajarlah siswa dan orang tua mencari
institusi pendidikan formal dan informal untuk mewadahi dan mencoba cari jawabnya. Berdirinya Observatorium
Bosscha 88 tahun yang silam menjadi biji berkah bagi bangsa Indonesia, lalu tumbuh menjadi Jurusan Astronomi 60
tahun lalu. Institusi pendidikan formal memerlukan sumber daya manusia dan infrastruktur pendidikan, seperti
kurikulum, laboratorium, dll. Terasa juga pendidikan informal dengan adanya planetarium, science center, klub
ekstrakurikuler astronomi, jejaring sosial, dll. mengisi ruang-ruang hampa informasi astronomi. Institusi pendidikan
formal, selain menyimpan potensi yang besar, juga berevolusi dari kekurangan yang ada menuju kondisi yang lebih
baik. Minimnya porsi pengetahuan antariksa, astronomi yang dianggap bukan physical science, sehingga salah
tempat pendidikan astronomi dalam geografi (IPS), kurangnya buku-buku Astronomi, kurangnya bekal guru-guru
terhadap ilmu astronomi dasar, dan masih banyak poin minus yang bisa dicari. Seminar ini bertujuan untuk
menggabungkan banyak pihak, dari pengalaman guru di lapangan sampai pembuat kebijakan nasional. Ternyata,
masing-masing perlu untuk saling beriklan dan bicara.
Aspek popularisasi dapat pula ditempuh melalui jalan kompetisi melalui ajang olimpiade berjenjang dari kota,
provinsi, nasional dan internasional. Jalan popularisasi dan kompetisi ibaratnya dua anak yang berbeda. Keduanya
mempunyai sifat berbeda sehingga memerlukan cara penanganan berbeda pula. Ujungnya adalah mengharumkan
orang tuanya, yaitu astronomi itu sendiri.
Dampak munculnya jalan-jalan secara formal, popularisasi dan kompetisi adalah lahirnya enterpreunership
atau lahir jiwa-jiwa kewirausahaan bidang Astronomi. Lahir jasa penjualan alat-alat observasi, perangkat lunak, dll.
Puncak pendidikan astronomi adalah tantangan dalam melakukan riset. Kebutuhan mutlak riset Astronomi
adalah ketersediaan instrumentasi yang kompetitif. Negara Thailand tahun 2012 akan meresmikan teleskop 2.4 m
seharga kurang dari 9 juta dollar. Observatorium baru ini akan merangsang pertumbuhan instrumentasi canggih dan
SDM yang terlatih. Hal ini membuat astronom Indonesia prihatin akan masa depan pendidikan Astronomi das warsa
ke depan. Semoga di usia Observatorium Bosscha ke-100 pada tahun 2023 sudah berdiri observatorium baru di

76

D. Herdiwijaya

Indonesia. Seorang philantrofis, seperti penyandang dana Observatorium Mt. Lokon, Manado, diperlukan untuk
Observatorium Merah Putih dengan kualitas internasional, untuk generasi 100 tahun mendatang.
Di manakah posisi kita sekarang? Nisbah penggiat Astronomi dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat
kecil, maka setiap insan harus berakselerasi dalam beriklan dan bicara. Akhirnya keyakinan Astronomy for
Better World and Better Life harus menjadi kenyataan.

LAMPIRAN
SLIDE PRESENTASI
BOSSCHA OBSERVATORY
Dr. Hakim L. Malasan

77

78
1

79

80
9

10

11

12

13

14

15

16

81

82
17

18

19

20

21

22

23

24

83

84
25

26

27

28

29

30

31

32

85

86
33

35

34

87

Ucapan Terima Kasih


Acara Seminar Pendidikan Astronomi ini dapat berlangsung dengan sukses
berkat dukungan dari:

88

Penerbit

: Observatorium Bosscha ITB

ISBN

: 9786021810804

Você também pode gostar