Você está na página 1de 7

ANALISA GAS DARAH

Pemeriksaan gas darah dan PH digunakan sebagai pegangan dalam


penanganan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas
darah dipakai untuk menilai:
Keseimbangan asam basa dalam tubuh, Kadar oksigenasi dalam darah, Kadar
karbondioksida dalam darah
Ukuran-ukuran dalam analisa gas darah:
PH normal 7,35-7,45
Pa CO2 normal 35-45 mmHg
Pa O2 normal 80-100 mmHg
Total CO2 dalam plasma normal 24-31 mEq/l
HCO3 normal 21-30 mEq/l
Base Ekses normal -2,4 s.d +2,3
Saturasi O2 lebih dari 90%.
Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan
ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri.
Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
Langkah-langkah untuk menilai gas darah:
1.

Pertama-tama perhatikan pH (jika menurun klien mengalami asidemia,


dengan dua sebab asidosis metabolik atau asidosis respiratorik; jika meningkat

klien mengalami alkalemia dengan dua sebab alkalosis metabolik atau alkalosis
respiratorik; ingatlah bahwa kompensasi ginjal dan pernafasan jarang memulihkan
pH kembali normal, sehingga jika ditemukan pH yang normal meskipun ada
perubahan dalam PaCO2 dan HCO3 mungkin ada gangguan campuran)
2.

Perhatikan variable pernafasan (PaCO2 ) dan metabolik (HCO3) yang


berhubungan dengan pH untuk mencoba mengetahui apakah gangguan primer
bersifat respiratorik, metabolik atau campuran (PaCO2 normal, meningkat atau
menurun; HCO3 normal, meningkat atau menurun; pada gangguan asam basa
sederhana, PaCO2 dan HCO3 selalu berubah dalam arah yang sama;
penyimpangan dari HCO3 dan PaCO2 dalam arah yang berlawanan menunjukkan
adanya gangguan asam basa campuran).

3.

Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah


terjadi (hal ini dilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika nilai
bergerak yang sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan).

4.

Buat penafsiran tahap akhir (gangguan asam basa sederhana, gangguan


asam basa campuran)
Rentang nilai normal
pH : 7, 35-7, 45 TCO2 : 23-27 mmol/L
PCO2 : 35-45 mmHg BE : 0 2 mEq/L
PO2 : 80-100 mmHg saturasi O2 : 95 % atau lebih
HCO3 : 22-26 mEq/L

Gejala-gejala terjadi penyakit gagal ginjal :


Gagal ginjal akut antara lain : nyeri pinggang yang amat sangat sakit, bengkak mata,
bengkak kai, saat kencing sakit, demam, kencing sedikit, kencing merah (ada darah),
sering kencing, ada kelainan urine.
Gagal ginjal kronik antara lain : mual, muntah, bengkak, lemas, tidak ada tenaga,
nafsu makan berkurang, kencing berkurang, gatal, sesak napas, wajah pucat/ anemia,
ada kelainan pada urine.

Sesak Nafas.
Ada dua masalah sehingga menimbulkan gangguan pada pernafasan dengan
penyakit gagal ginjal. Sesak nafas untuk kasus yang pertama adalah adanya cairan
yang berlebih karena tidak berfungsinya ginjal sehingga cairan tersebut akan menutup
saluran paru-paru. Dan kedua, anemia (kekurangan oksigen pembawa sel-sel darah
merah) yang mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen dan kehabisan nafas. Pada
kasus ciri-ciri penyakit ginjal sesak nafas ini, biasanya pasien gagal ginjal akan sulit
tidur karena kesulitan bernafas dan perut kembung terus-menerus. Aktifitas yang
memerlukan sedikit gerak fisik pun akan terasa sangat berat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita
dapat

menjadi

sesak

nafas, akibat

ketidakseimbangan

suplai

oksigen

dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan
asites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh,sehingga
perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis
metabolic akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Asidosis dapat menyebabkan kompensasi meningkatnya respirasi sebagai usaha
mengeluarkan ion hidrogen.
Karena juga menderita penyakit diabetes, sesak napas terjadi karena
komplikasi asidosis diabetes. Darah menjadi asam sehingga tubuh mengkompensasi
dengan cara napas yang dalam dan cepat untuk mengeluarkan asam didalam darah.
Pernapasan seperti ini disebut pernapasan kuss maul. Pengobatan yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan cairan yang cukup, memperbaiki kadar gulanya
dan mengurangi kadar asam basa darah.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid,
gangguan sistem imun, dangangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun,
maka gula darah akan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 6thedition, The
McGraw-Hill Company, USA
Katzung, G. dan Bertram, M., 2007, Basic and Clinical Pharmacology, 10thedition,
The

McGraw-Hill Company, USA

Guyton, A. C., 1995, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 7. RGC, Jakarta

A Placebo-controlled Comparison of
Diltiazem and Amlodipine Monotherapy
in Essential Hypertension Using 24-h
Ambulatory Monitoring

Thirty patients (17 females, median age 55 years) with mild/moderate


hypertension (sitting diastolic blood pressure 95-110 mmHg over 2
consecutive weeks) participated in a study of the efficacy and tolerability of
once-daily diltiazem ?controlled delivery? 180 mg-360 mg and amlodipine 510 mg compared with placebo (using clinic and 24-h ambulatory blood
pressure measurement (Accutraker II). The study was conducted in a general
practice setting using a randomized double-blind crossover design with Latin
square allocation of treatment order within subjects. During each phase,
doses were titrated to achieve a predose clinic sitting diastolic blood pressure
of 90 mmHg. Three patients withdrew while taking amlodipine and 3 while
taking placebo. The numbers of patients receiving the higher dose in each
phase were as follows: placebo 22, diltiazem 12 and amlodipine 19. End-ofphase mean clinic sitting blood pressures were as follows: placebo 152/100,
diltiazem 146/95 and amlodipine 140/93. End-of-phase mean 24-h
ambulatory blood pressures were as follows: placebo 151/93, diltiazem
143/86 and amlodipine 137/84. Both clinic and ambulatory blood pressures
were therefore significantly reduced (p < 0.01) in both active phases
compared with placebo, and systolic blood pressure was also significantly
lower with amlodipine compared with diltiazem. Heart rate was increased with

amlodipine. Both drugs were well tolerated, and adverse events were
predictable for each agent, with amlodipine causing more vasodilator side
effects. Thus both amlodipine and diltiazem once-daily are effective in
reducing blood pressure. While amlodipine is more potent than diltiazem in
reducing systolic blood pressure, it causes more vasodilator side effects.

Comparison of Amlodipine and


Long-Acting Diltiazem in the
Treatment of Mild or Moderate
Hypertension*
1.
2.
3.

Lawrence D. Horwitz1,
Howard D. Weinberger1 and
Lois Clegg1
+ Author Affiliations

1.

1.

University of Colorado Health Sciences Center, Denver, Colorado,


USA.
Address correspondence and reprint requests to Lawrence D. Horwitz, MD,
Cardiology B130, University of Colorado Health Sciences Center,4200 E. Ninth Avenue,
Denver, CO.

Received September 20, 1996.

Accepted May 5, 1997.


1

Abstract

The comparative effects of the once a day calcium channel antagonists


amlodipine and long-acting diltiazem were assessed in a parallel
design, investigator-blinded, multicenter trial in 123 patients with
diastolic blood pressures ranging from 95 to 114 mm Hg before
treatment. Patients were randomized to one of the two drugs and
titrated at 2-week intervals to 5 or 10 mg of amlodipine or 180, 240, or
360 mg of long-acting diltiazem during a 10-week treatment period.

Both drugs significantly reduced resting, sitting, standing, and 24-h


ambulatory systolic and diastolic pressures. Amlodipine caused
significantly greater reductions in sitting and standing systolic
pressures, standing diastolic pressures, and 24-h ambulatory systolic
and diastolic pressures versus diltiazem. Sitting systolic pressures were
reduced from 151.9 2.0 (SE) at baseline to 137.9 1.8 mm Hg with
amlodipine treatment and from 149.0 2.1 to 145.1 2.5 mm Hg
with diltiazem. Sitting diastolic pressures were reduced from 100.2
0.6 to 87.8 1.0 mm Hg with amlodipine and from 101.1 1.0 to 91.9
1.1 mm Hg with diltiazem. Reductions in standing systolic pressures
after treatment were 12.1 1.5 mm Hg amlodipine v 4.6 1.5 mm
Hg diltiazem (P < .01), and reductions in standing diastolic pressures
were 11.8 0.9 mm Hg amlodipine v 8.6 0.9 mm Hg diltiazem
(P < .02). Heart rates did not change significantly with either drug
during the study. Two subjects in each group dropped out because of
adverse experiences. Although both agents were well tolerated and
reduced blood pressures consistently over the 10-week test period,
amlodipine was more effective than diltiazem in reducing systolic and
diastolic blood pressures to the target pressures of <140 mm Hg
systolic and <90 mm Hg diastolic over a range of doses widely used in
clinical practice. Am J Hypertens 1997;10:12631269 1997 American
Journal ofHypertension, Ltd.

Você também pode gostar