Você está na página 1de 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pemeriksaan pendengaran adalah bagian penting dari pemeriksaan otologi lengkap.
Tujuan evaluasi audiologik adalah untuk menentukan derajat dan jenis ketulian, untuk
memantau pelaksanaan otologi, serta untuk memantau terapi audiologik, termasuk
amplifikasi. Untuk menentukan jenis dan derajat ketulian yang akurat, evaluasi
audiologik dilakukan menggunakan audiometer di dalam ruangan dengan pengaturan
bunyi. Audiometer merupakan suatu alat listrik yang menghasilkan nada dengan frekuensi
yang beragam (dalam satuan Hertz) mulai dari 125 hingga 8.000 atau 12.000 Hz, dan
dengan intensitas (dalam satuan desibel) mulai dari 10 dB hingga 120 dB.
Suara adalah sensasi yang timbul apabila getaran longitudinal molekul di
lingkungan eksternal, yaitu masa pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi
berselang seling mengenai memberan timpani. Plot gerakan-gerakan ini sebagai
perubahan tekanan di membran timpani persatuan waktu adalah satuan gelombang, dan
gerakan semacam itu secara umum disebut gelombang suara.
Secara umum kekerasan suara berkaitan dengan amplitudo gelombang suara dan
nada berkaitan dengan prekuensi (jumlah gelombang persatuan waktu). Semakin besar
suara semakin besar amplitudo, semakin tinggi frekuensi dan semakin tinggi nada.
Namun nada juga ditentukan oleh faktor - faktor lain yang belum sepenuhnya dipahami
selain frekuensi dan frekuensi mempengaruhi kekerasan, karena ambang pendengaran
lebih rendah pada frekuensi dibandingkan dengan frekuensi lain. Gelombang suara
memiliki pola berulang, walaupun masing - masing gelombang bersifat kompleks,
didengar sebagai suara musik, getaran apriodik yang tidak berulang menyebabakan
sensasi bising. Sebagian dari suara musik bersala dari gelombang dan frekuensi primer
yang menentukan suara ditambah sejumla getaran harmonik yang menyebabkan suara
memiliki timbre yang khas. Variasi timbre mempengaruhi mengetahui suara berbagai alat
musik walaupun alat tersebut memberikan nada yang sama.

Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri.


Alat ini menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui
aerphon. Pada setiap frekuensi ditentukan intensitas ambang dan
diplotkan pada sebuah grafik sebagai presentasi dari pendengaran
normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan
gambaran mengenai rentang nada yang paling terpengaruh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan
lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level
pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai. Tes
audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengaran atau seseorang yang akan bekerja pada suatu bidang yang
memerlukan ketajaman pendengaran. Pemeriksaan audiometri ada yang bersifat
subyektif dan obyektif. Subyektif meliputi ; audiometri nada murni, audiometri
tutur, Visual respon audiometri, play audiometri, Bekesy audiometry, SISI test.
Pemeriksaan obyektif meliputi ; Timpanometri, OAE (Oto Acoustic Emission),
BERA (Brainstem Evoked Respons Audiometry), Tone Burst, ASSR.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis
dan pasien yang kooperatif. Dikenal dua macam pemeriksaan standar yaitu
audiometri nada murni dan audiometri tutur.
Audiometri nada murni adalah suatu sistem uji pendengaran
dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi
nada-nada murni dari berbagai frekuensi

250-500, 1000-2000,

4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB).


Bunyi

yang

dihasilkan

disalurkan

melalui

telepon

kepala

(earphone) dan vibrator tulang ketelinga orang yang diperiksa


pendengarannya. Masing-masing untuk mengukur ketajaman
pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada

tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang
dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengetahui jenis
dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata
sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun
merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni. Telinga manusia
normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekwuensi 20-20.000 Hz.
Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan
sehari-hari.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien pada
stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya
terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air conduction)
dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka
mengindikasikan adanya tuli konduksi. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh
bone conduction menggambarkan tuli seonsorineural.
2.2 Tehnik Pemeriksaan
Langkah pertama dalam evaluasi adalah penentuan derajat ketulian dengan
pemeriksaan hantaran udara. Pemeriksaan dilakukan dengan earphone agar ambang
tiap telinga dapat diukur secara individual. Pemeriksaan hantaran udara digunakan
untuk menilai seluruh sistem pendengaran dengan cara menghantarkan bunyi dari
earphone melalui telinga luar, telinga tengah dan koklea. Hasil pemeriksaan
direkam pada suatu audiogram. Tanda O berwarna merah menunjukan ambang
dengar telinga kanan, tanda X biru menunjukan pendengaran telinga kiri.
Pemeriksaan hantaran tulang memintas telinga luar dan tengah, serta
digunakan untuk menilai secara langsung fungsi telnga dalam. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara menempelkan alat penggetar (vibrator) yang dihantarkan
oleh tulang pada tulang mastoid dibelakang daun telinga. Osilator ini
menggetarkan tulang kepala dan merangsang kedua koklea secara bersamaan.
Masking digunakan untuk menghilangkan respon telinga yang lain selama
melakukan pemeriksaan pada satu telinga. Pada waktu dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan earphone, bunyi merambat dari telinga satu ke telinga yang
4

lain melalui hantaran udara. Bunyi yang dihantarkan oleh udara menyebrang ke
telinga yang berlawanan dengan intensitas sekitar 40 dB. Selama pemeriksaan
hantaran tulang stimulus mencapai koklea pada waktu yang sama, sehingga
masking selalu diperlukan.
2.2.1 Alat dan bahan
1. Audiometer
2. Lembar data pemeriksaan
3. Ruangan pemeriksaan harus memenuhi persyaratan :

Tidak ada jendela keluar atau jendela kaca tebal


Kamar chamber atau lapis karpet
Lantai karpet
Acoustic Tile on Walls and Ceiling
Double or Acoustic Door

4. Sound Level Meter untuk mengukur Background noise.


2.2.2 Cara Kerja
a. Prinsip Pemeriksaan
Ambang dengar (hearing threshold) adalah intensitas terendah yang masih dapat
didengar, dinyatakan dalam dB. Pemberian rangsangan bunyi pada telinga melalui
hantaran udara pada frekwensi tertentu dengan intensitas paling rendah yang masih
dapat didengar, hasilnya adalah grafik audiogram. Kepekaan terhadap nada murni
diukur pada frekwensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000, 6000 dan 8000 Hz. Kisaran
normal ambang dengar antara 0 25 dB.
b. Persiapan pemeriksaan.
Sebelum pemeriksaan pasien harus terbebas dari paparan bising minimal selama 16
jam untuk menghindari adanya temporary threshold shift (TTS).
c. Tahapan pemeriksaan audiometri.
Pemeriksaan hantaran udara :

1. Pasien harus duduk sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat melihat panel
kontrol ataupun pemeriksanya.
2. Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone yang tepat atau
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan harus disingkirkan. Misalnya anting
anting, kacamata, topi, wig, permen karet dan kapas dalam telinga.
3. Berikan instruksi yang jelas dan tepat. Pasien perlu mengetahui apa yang harus
didengar dan respon apa yang harus diberikan jika mendengar nada. Oleh karena
itu lakukan pengenalan

nada pada pasien (nada rendah, sedang, tinggi) ,

kemudian pasien diinstruksikan untuk menekan tombol bila mendengar nada.


4. Pasang headphone dengan posisi warna merah untuk telinga kanan dan warna
biru untuk telinga kiri
5. Pemeriksaan dimulai pada telinga yang lebih sehat dimulai pada frekuensi 1000
Hz dengan intensitas 40 50 dB, bila orang yang diperiksa mendengar maka ia
akan menekan tombol sinyal dan petunjuk lampu akan menyala.
6. Turunkan secara bertahap intensitas suara sebesar 10 dB sampai tidak
mendengar, naikkan lagi intensitas suara dengan setiap kenaikan sebesar 5 dB
sampai orang yang diperiksa mendengar lagi. Berikan rangsangan sampai 3 kali
bila respon hanya 1 kali dari 3 kali test maka naikan lagi 5 dB dan berikan
rangsangan 3 kali. Bila telah didapat respon yang tetap maka perpaduan antara
penurunan dan penambahan merupakan Batas Ambang Dengar.
7. Catat hasil dalam lembar data pemeriksaan dan pada audiochart.
8. Untuk pemeriksaan frekuensi berikutnya, mulailah pada tingkat 15 dB lebih
rendah dari ambang dengar pada frekuensi 1000 Hz ( misalnya bila pada
frekuensi 1000 Hz dimulai intensitas 50 dB, maka pada frekuensi 2000 Hz
dimulai dengan intensitas 30-35 dB )
9. Lakukan pemeriksaan untuk frekuensi diatas 1000 Hz dengan cara yang sama,
dan terakhir pemeriksaan pada frekuensi 500 Hz. Sebaiknya naik turun tidak
teratur misal 1000, 250, 2000, 125, 4000 Hz.
10. Tehnik ini dapat dipakai untuk menentukan ambang hantaran tulang maupun
udara. Pada audiometric ambang hantaran tulang, biasanya tidak terdapat
frekuensi 6000 dan 8000 Hz.

Tanda hantaran udara


6

Tanpa masking
Masking

Telinga Kanan
O

Telinga Kiri
X

Telinga Kanan
<
[

Telinga Kiri
>
]

Tanda hantaran tulang

Tanpa masking
Masking

Gambar 1. Prosedur pemeriksaan audiometri didalam kamar tertutup

Gambar 2. Audiometer digital

2.3 Hasil Pemeriksaan


Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Jenis
ketulian; tuli konduktif, sensorineural atau campuran. Derajat ketulian dapat
7

ditentukan dengan merata-rata ambang dengar hantaran udara masing-masing telinga,


pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz. Setelah derajat ketulian
untuk hantaran udara ditentukan, perhitungan yang sama dilakukan untuk hantaran
tulang. Dengan membandingkan ambang dengar hantaran udara (AC) dan tulang
(BC), dapat diperoleh informasi mengenai jenis ketulian.
Pada interpretasi audiogram harus ditulis (a) telinga yang mana, (b) jenis
ketuliannya, (c) derajat ketuliannya. Misalnya telinga kiri konduktif sedang.
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udaranya (AC) saja. Derajat ketulian menurut ISO :
0-25

dB : normal

>25-40 dB : tuli ringan


>40-55 dB : tuli sedang
>55-70 dB : tuli sedang berat
>70-90 dB : tuli berat
>90 dB

: tuli sangat berat

Hasil Audiogram

BAB III

KESIMPULAN
Audiometri nada murni adalah suatu sistem uji pendengaran
dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nadanada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-8000 dan
dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB).
Audiometri nada murni berguna untuk mengetahui pendengaran
seseorang normal atau tidak (tuli), jenis ketulian, dan derajat ketuliannya.
Tuli konduksi disebabkan oleh kelainan telinga luar atau tengah, seperti
atresia liang telinga, serumen, sumbatan tuba eustachius serta radang
telinga tengah. Tuli sensorineural disebabkan oleh aplasia, labirintitis,
intoksikasi obat, trauma akustik dan pajanan bising.
Saat ini tujuan dari pemeriksaan audiometri digunakan untuk ;
mendiagnostik penyakit telinga, mengukur kemampuan pendengaran
dalam menangkap percakapan sehari-hari, atau dengan kata lain validitas
sosial pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat
pembantu mendengar atau pndidikan khusus, ganti rugi (misalnya dalam
bidang kedokteran kehakiman dan asuransi), skrining anak balita dan SD,
memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetirto I,Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007 : 18-22.
2. Goldsmith,AJ.,& Wynn, R. Ketulian dan Pemeriksaan Pendengaran. Dalam : Ilmu
THT Essensial. Edisi V. EGC. Jakarta : 2011 : 106 - 108.
3. Robert H. Maisel . Audiometri Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI.
EGC Jakarta :1997
4. Sadham, J. Audiometry. (Online) 2007. (Diakses 7 Januari 2012). HYPERLINK
http://www.o.ebme.co,uk
5. ASHA. Guidelines for Manual Pure-Tone Threshold Audiometry. (Online) 2005.
(Diakses 7 Januari 2012). HYPERLINK http://www.asha.org /docs/html/GL200500014.html

11

Você também pode gostar