Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan
lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level
pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai. Tes
audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengaran atau seseorang yang akan bekerja pada suatu bidang yang
memerlukan ketajaman pendengaran. Pemeriksaan audiometri ada yang bersifat
subyektif dan obyektif. Subyektif meliputi ; audiometri nada murni, audiometri
tutur, Visual respon audiometri, play audiometri, Bekesy audiometry, SISI test.
Pemeriksaan obyektif meliputi ; Timpanometri, OAE (Oto Acoustic Emission),
BERA (Brainstem Evoked Respons Audiometry), Tone Burst, ASSR.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis
dan pasien yang kooperatif. Dikenal dua macam pemeriksaan standar yaitu
audiometri nada murni dan audiometri tutur.
Audiometri nada murni adalah suatu sistem uji pendengaran
dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi
nada-nada murni dari berbagai frekuensi
250-500, 1000-2000,
yang
dihasilkan
disalurkan
melalui
telepon
kepala
tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang
dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengetahui jenis
dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata
sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun
merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni. Telinga manusia
normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekwuensi 20-20.000 Hz.
Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan
sehari-hari.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien pada
stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya
terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air conduction)
dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka
mengindikasikan adanya tuli konduksi. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh
bone conduction menggambarkan tuli seonsorineural.
2.2 Tehnik Pemeriksaan
Langkah pertama dalam evaluasi adalah penentuan derajat ketulian dengan
pemeriksaan hantaran udara. Pemeriksaan dilakukan dengan earphone agar ambang
tiap telinga dapat diukur secara individual. Pemeriksaan hantaran udara digunakan
untuk menilai seluruh sistem pendengaran dengan cara menghantarkan bunyi dari
earphone melalui telinga luar, telinga tengah dan koklea. Hasil pemeriksaan
direkam pada suatu audiogram. Tanda O berwarna merah menunjukan ambang
dengar telinga kanan, tanda X biru menunjukan pendengaran telinga kiri.
Pemeriksaan hantaran tulang memintas telinga luar dan tengah, serta
digunakan untuk menilai secara langsung fungsi telnga dalam. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara menempelkan alat penggetar (vibrator) yang dihantarkan
oleh tulang pada tulang mastoid dibelakang daun telinga. Osilator ini
menggetarkan tulang kepala dan merangsang kedua koklea secara bersamaan.
Masking digunakan untuk menghilangkan respon telinga yang lain selama
melakukan pemeriksaan pada satu telinga. Pada waktu dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan earphone, bunyi merambat dari telinga satu ke telinga yang
4
lain melalui hantaran udara. Bunyi yang dihantarkan oleh udara menyebrang ke
telinga yang berlawanan dengan intensitas sekitar 40 dB. Selama pemeriksaan
hantaran tulang stimulus mencapai koklea pada waktu yang sama, sehingga
masking selalu diperlukan.
2.2.1 Alat dan bahan
1. Audiometer
2. Lembar data pemeriksaan
3. Ruangan pemeriksaan harus memenuhi persyaratan :
1. Pasien harus duduk sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat melihat panel
kontrol ataupun pemeriksanya.
2. Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone yang tepat atau
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan harus disingkirkan. Misalnya anting
anting, kacamata, topi, wig, permen karet dan kapas dalam telinga.
3. Berikan instruksi yang jelas dan tepat. Pasien perlu mengetahui apa yang harus
didengar dan respon apa yang harus diberikan jika mendengar nada. Oleh karena
itu lakukan pengenalan
Tanpa masking
Masking
Telinga Kanan
O
Telinga Kiri
X
Telinga Kanan
<
[
Telinga Kiri
>
]
Tanpa masking
Masking
dB : normal
Hasil Audiogram
BAB III
KESIMPULAN
Audiometri nada murni adalah suatu sistem uji pendengaran
dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nadanada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-8000 dan
dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB).
Audiometri nada murni berguna untuk mengetahui pendengaran
seseorang normal atau tidak (tuli), jenis ketulian, dan derajat ketuliannya.
Tuli konduksi disebabkan oleh kelainan telinga luar atau tengah, seperti
atresia liang telinga, serumen, sumbatan tuba eustachius serta radang
telinga tengah. Tuli sensorineural disebabkan oleh aplasia, labirintitis,
intoksikasi obat, trauma akustik dan pajanan bising.
Saat ini tujuan dari pemeriksaan audiometri digunakan untuk ;
mendiagnostik penyakit telinga, mengukur kemampuan pendengaran
dalam menangkap percakapan sehari-hari, atau dengan kata lain validitas
sosial pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat
pembantu mendengar atau pndidikan khusus, ganti rugi (misalnya dalam
bidang kedokteran kehakiman dan asuransi), skrining anak balita dan SD,
memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetirto I,Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007 : 18-22.
2. Goldsmith,AJ.,& Wynn, R. Ketulian dan Pemeriksaan Pendengaran. Dalam : Ilmu
THT Essensial. Edisi V. EGC. Jakarta : 2011 : 106 - 108.
3. Robert H. Maisel . Audiometri Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI.
EGC Jakarta :1997
4. Sadham, J. Audiometry. (Online) 2007. (Diakses 7 Januari 2012). HYPERLINK
http://www.o.ebme.co,uk
5. ASHA. Guidelines for Manual Pure-Tone Threshold Audiometry. (Online) 2005.
(Diakses 7 Januari 2012). HYPERLINK http://www.asha.org /docs/html/GL200500014.html
11