Você está na página 1de 102

ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM

TENTANG WAJIBNYA WASIAT WAJIBAH


KEPADA KERABAT NON MUSLIM

SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu syariah

Oleh :
Rini Asmawati
(2100036)

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2004

Drs. H. Selamet Hambali


Jln. Candi Permata II / 180
Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (Empat) eks
Hal

: Naskah Skripsi
An. Sdr. Rini Asmawati
Assalamualaikum Wr. Wb
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya

kirim naskah skripsi Saudara :


Nama

: Rini Asmawati

NIM

: 2100036

Judul

: Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat


Wajibah Kepada Kerabat Non Muslim

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera
dimunaqasahkan
Demikian harap menjadikan maklum
Wassalamualaikum Wr. Wb
Semarang, September 2004
Pembimbing

Drs. H. Selamet Hambali


NIP. 150 198 821

ii

DEPARTEMEN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARIAH SEMARANG
Jln. Raya Ngaliyan Boja Km. 02 Semarang Tlp / Fax. (024) 601291

PENGESAHAN
Skripsi saudara

: Rini Asmaawati

NIM

: 2100036

Judul

: Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat


Wajibah kepada Kerabat Non Muslim

Telah memunaqashahkan Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam


Negeri

Walisongo

Semarang,

dan

dinyatakan

lulus

dengan

predikat

Cumloude/Baik/Cukup,pada tanggal :
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata I tahun
akademik 2003/2004
Semarang, September 2004
Sekretaris

Ketua Sidang/Dekan

()

(..)

Penguji

Penguji

()

Pembimbing

(..)

(..)

iii

ABSTRAKSI PENELITIAN

Rini Asmawati (NIM : 2100036). Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wajibnya
Wasait Wajibah Kepada Kerabat Non Muslim. Skripsi. Semarang : Program Strata I
Jurusa Ahwal Al- Syahsiyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2004.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1). Untuk mengetahui
bagaimana pendapat Ibnu Hazm tentang

wajibnya wasiat wajibah. 2). Untuk

mengetahui mengapa kerabat non muslim yang seharusnya tidak menerima warisan
tetapi menurut Ibnu Hazm dikatakan wajib di berikan warisan melalui wasiat
wajibah. 30. 3). Untuk mengetahui mana yang lebih benar dan adil bagi kerabat non
muslim dalam mendapatkan haknya dalam mewarisi melalui wasiat wajibah .
Penelitian ini menggunakan metode Riset kepustakaan ( Library Research)
dengan tehnik Deskriptif Analisis atau (Content Analisis) yakni data yang dianalisis
menurut isinya. Selain itu penulis juga menggunakan Metode Holistika adalah untuk
mengetahui hakekat pemikiran Ibnu Hazm ditinjau dari seluruh kenyataan yang
melingkupinya. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan Deduktif dan pendekatan Induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Ibnu Hazm adalah seorang ulama dari golongan Dhahiri. Nama lengkapnya adalah
Ibnu Ahmad Ibnu Said Ibnu Hazm Ibnu Ghalib Ibnu Shalih ibnu Sufyan Ibnu Yazid.
Ibnu Hazm Lahir di Akhir Ramadhan di Andalusia (sekarang Spanyol dan Portugal)
Pada tahun 384 H. Namun dia lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Ibnu hazm
sangat terkenal dengan pemikirannya yang tekstual dalam dalil Al-Quran dan Hadits.
Pada prinsipnya metode istinbath yang dipakai Ibnu Hazm dalammenentukan suatu
hukum menggunakan 4 (empat) dasar dalil pokok : Al-Quran, As-Sunnah, Ijma dan
Dalil.

iv

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis


menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
bahan rujukan.

Semarang,

September 2004
Deklarator

Rini Asmawati

KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Ilahi Rabby yang senantiasa memberikan rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya kepada hambanya, khususnya penulis. Hanya karena-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ANALISIS PENADAPAT
IBNU HAZM TENTANG WAJIBNYA WASIAT WAJIBAH KEPADA
KERABAT NON MUSLIM
Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan pangkuan beliau Nabi
Agung Nabi Muhammad SAW, yang telah membukakan jalan kebenaran bagi
manusia, juga kepada keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.
Berkenaan dengan selesainya skripsi ini, berkat bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya, utama kepada yang terhormat :
1. Bapak. Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A. selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang
2. Bapak. Dr. H. Muhibbin, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang
3. Bapak. Drs. H. Selamet Hambali Selaku Pembimbing yang dengan sabar
membimbing dalam penyusunan skripsi.
4. Bapak. Dr. H. Abu Hapsin M.Ag., selaku Dosen Wali yang telah
mengarahkan dan membimbing penulis selama studi.
5. Bapak K.H. Zainal Asyikin beserta keluarga, selaku pengasuh yang senantiasa
membimbing dan memberikan doa kepada penulis
6. Bapak KH. Abdul Kholiq beserta keluarga, selaku pengasuh yang senantiasa
membimbing dan memberikan doa kepada penulis
7. Penghargaan yang tiada tara penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta
Bapak H. Sarjono dan Ibu Hj. Aimatun Nikmah, serta kakaku Afina dan adikadikku tercinta yang senantiasa memberikan doa restu dan motivasi moral
maupun material yang tulus selama berlangsungnya studi hingga selesai studi.

vi

MOTTO

! " #$ %
:
'(
&
)&
* + ,- . /0 1% !2
3 4- 5 67 8
+ 2,

9-

@=>?<42 ;

Depag Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro


Grafindo, 1994, hlm. 1112.

vii

PERSEMBAHAN

!" #
$

&! &!
.

#
'

See

#
"
+

!) *

" +, +

"

"

&

(
(
!

viii

&

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .

ii

HALAMAN PENGESAHAN .

iii

HALAMAN DEKLARASI

iv

HALAMAN ABSTRAKSI .

HALAMAN KATA PENGANTAR ..

vi

HALAMAN MOTTO .

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ..

viii

HALAMAN DAFTAR ISI ..

ix

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..

B. Rumusan Masalah .

11

C. Tujuan Penulisan Skripsi

11

D. Telaah Pustaka

12

E.

Metode Penulisan 13

F.

Sistematika penulisan skripsi.. 17

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT WAJIBAH


A. Pengertian Wasiat Wajibah

19

B. Pengetian Non Muslim.

24

C. Dasar Hukum Wasiat Wajibah

29

D. Rukun Dan Syarat-Syarat Wasiat Wajibah ..

31

E.

36

Wasiat Wajibah Menurut Pendapat Para Ulama ..

ix

BAB III : PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG WAJIBNYA WASIAT


WAJIBAH KEPADA KERABAT NON MUSLIM
A. Biografi Ibnu Hazm

41

B. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat


Kepada Kerabat Non Muslim ..

50

C. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat Wajibah Kepada


Kerabat Non Muslim

60

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANGWAJBNY WASIAT


WAJIBAH KEPADA KERABAT NON MUSLIM.
A. Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat Wajibah
Kepada Kerabat Non Muslim

73

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Wajibnya


Wasiat Wajibah Kepada Kerabat Non Muslim.. 82
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan

89

B. Saran-saran

91

C. Penutup .. 92

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

MOTTO

! " #$ %
:
'(
&
)&
* + ,- . /0 1% !2
3 4- 5 67 8
+ 2,

9-

@=>?<42 ;

Depag Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro


Grafindo, 1994, hlm. 1112.

xi

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama yang universal, di mana ajaran

Islam

mempunyai karakteristik yang bersifat pluralisme yaitu aturan Tuhan yang


tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Islam
juga merupakan agama yang Kitab Sucinya dengan tegas mengakui hak
agama-agama lain dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajmukan
sosial budaya dan agama sebagai ketetapan Tuhan yang tidak

pernah

berubah-ubah. 1

Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku (QS. Al-Kafirun : 6)2

- ,$ +++ *) ( '& "#$% !


Tidak ada paksaan untuk ( memasuki ) agama (Islam). Sesungguhnya
kebenaran itu telah nyata (bedanya)

dari yang tidak benar.

(QS. Al-Baqarah : 256)3


1

Abuddin Nata, Metodologi Study Islam., Jakarta: Raja Grafindo, 2001, hlm. 80.
Depag Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro
Grafindo, 1994, hlm. 1112.
3
Ibid., hlm. 63.
2

Tidak mengherankan bahwa Islam sebagai agama besar terakhir,


mengklaim sebagai agama yang sempurna dari agama-agama sebelumnya.
Sehingga kesempurnaan agama Islam tampak sekali pada berbagai aspek
kehidupan manusia sehari-hari. Karena sebagian hukum Islam mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan begitu juga hubungan sesama manusia lain,
di dalam masyarakat biasanya di sebut dengan istilah Muamalah.4 Sehingga
Al-Quran dan Hadits dijadikan sumber hukum Islam dalam menggali suatu
ketetapan hukum yang berjalan di masyarakat.
Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam menjelaskan
berbagai bentuk ajaran Islam. Bahwa bentuk konkrit yang dapat kita lihat
adalah adanya perintah tolong menolong atau menyantuni sesama manusia
misalnya berupa pemberian zakat, shadaqah, hibah, serta wasiat kepada orang
lain. Dan terbukti ajaran-ajaran yang terdapat dalam Islam banyak
bersentuhan dengan realitas sosial

di masyarakat. Sehingga dari berbagai

bentuk kegiatan tersebut ada pula yang bernilai Ibadah seperti

adanya

wasiat wajibah kepada non muslim. Yaitu hak untuk dapat mewarisi.Adalah s
memberikan hak kepada kerabat non muslim berupa pemberian harta yang
pada dasarnya kerabat non muslim tidak mendapatkannya karena terhalang
dalam hal perbedaan agama.

Juhaya S. Praja, Hukum Islam Di Indonesia, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1991, hlm. 75.

Meskipun sudah menjadi kesepakatan para ulama (ijma) bahwa


perbedaan agama (muslim dan non muslim) merupakan salah satu faktor
pengahalang untuk dapat mewarisi. Seperti ungkapan sebagai berikut :

+
Telah

C :BD @AB, @/ 01 2 34 567( 89:90;<=>?, . %


sepakat para ulama (fuqaha) bahwa ada tiga hal yang dapat

menghalangi untuk mewarisi, yaitu perbudakan, pembunuhan dan


perbedaan agama. 5
Bekenaan dengan perbedaan agama, apa yang disepakati para ulama
hanya sebatas ahli waris non muslim, baik sejak awal tidak beragama Islam
atau keluar dari ajaran Islam (murtad), tidak dapat mewarisi pewaris muslim.
Kesepakatan ulama didasarkan pada hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Usamah Ibnu Zaid, yang ungkapannya sebagai
berikut :

@ Q> ;OP 2

N I>! ;E J#;< K 0;L M F H G 8(>EF <


S
J#;< . B( N>R;O( Q>

Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang non muslim demikian juga
tidak mewarisi orang non muslim terhadap orang muslim.

255.

Wahbah Zuhaily, Al-Fiq Al- Islami Wa Adillatuh, Juz VIII, Beirut : Dar Al-Fikr, 1989, hlm.

Imam Abi Al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz II, tt. Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 56.

Melihat pengertian hadits tersebut diatas di tegaskan bahwa tidak


boleh mewarisi antara orang muslim dengan orang non muslim karena
merupakan

penghalang dari mewarisi.

Akan tetapi

sejalan

dengan

pemikiran Ibnu Hazm yang mengatakan dalam Kitabnya Al-Muhalla bahwa


setiap orang muslim yang akan meninggal dunia diwajibkan untuk
memberikan harta warisan kepada kerabatnya khususnya

non

muslim

melalui wasiat wajibah.


Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim
sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat
bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam
keadaan tertentu.7
Dengan

ketinggian

nilai-nilai

ajaran

Islam,

sehingga

dapat

membuktikan kepada umatnya bahwa Islam merupakan agama penyempurna


bagi agama-agama sebelumnya. Ketinggian agama Islam ini sesuai dengan
ungkapan : Islam itu tinggi dan tidak dapat diungguli ketinggiannya .
Bahwa agama Islam itu tinggi, ketinggian agama Islam membawa juga
ketinggian martabat umat Islam. Sebagai bukti ketinggian umat Islam ialah
mereka di benarkan mewarisi keluarganya yang tidak beragama Islam, tetapi

462.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.

tidak sebaliknya orang-orang yang tidak beragama Islam dapat mewarisi


keluarganya yang beragama Islam.8
Menurut Ibnu Hazm yang berpendapat dalam uraiannya dalam
kitabnya Al-Muhalla mengatakan :

>( @/ >(F@ 79
T JBG , 0U
;O( A V;< W Q 8;O(
>^ _ 0L 7#Q 79 ]X @2 YP < ?$Z[ ( \ >1 X >( @
8937 F3>( G 7d<F Ae f gQ @ \ c
bX @JO 6 JG ` ;a
>j F J#;< W Q> 7;i F@ >V;<>h b @
> gQ@0L7
>#d<F @ 0d<FAe f gQ \ T DX
f >h bX F@ >R?;VL7
JG3 >!F ( 89:l 0L F gQ \ c eG=>' >R#Q 0L7 k@ G I >P (
+++++++++++ FnmF 37 TP
Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang
tidak mewarisi disebabkan adanya perbudakan , adanya kekufuran (non
muslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (karena
bukan ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya,
dalam hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila ia tidak berwasiat (bagi
mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau wali yang mengurus wasiat
untuk memberikan wasiat tersebut kepada mereka (kerabat) menurut
kepatutan. Andaikan kedua orang tua atau salah satunya tidak beragama
Islam (non muslim) atau menjadi budak, atau salah satu dari keduanya.
Apabila ia tidak berwasiat, maka harus diberikan harta (kepada orang tua)
tidak boleh tidak. Setelah itu ia boleh berwasiat sekehendaknya. Apabila
berwasiat bagi tiga orang kerabat di atas, hal itu telah memadai 9

8
9

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT Al-Maarif , 1981, hlm. 99.


Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut : Dar Al-Fikr, hlm. 314.

Dari uraian Ibnu Hazm diatas tampak jelas bahwa kedua orang tua dan
kerabat yang tidak mewarisi, salah satunya disebabkan tidak beragama Islam
(non muslim) wajib diberi wasiat. Yang dimaksud kerabat menurut Ibnu
Hazm adalah semua keturunan yang memiliki hubungan nasab dengan ayah
dan ibu sampai terus ke bawah.
Kewajiban berwasiat bagi setiap muslim, sebagaimana diungkapkan
Ibnu Hazm, didasarkan kepada dalil Al-Quran surat Al-Baqarah ayat : 180

#G!rX

7; 8"#L 7 q#D p % o 7P

b jb c

#;< ` B

+ - ,$ + #,"BP 0;< >s,b C eP>G


Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu, bapak, dan karib kerabat, secara maruf. Ini adalah kewajiban
atas orang-orang yang bertaqwa . (Al-Baqarah : 180)10
Adanya hak wasiat wajibah bagi kerabat non muslim dapat dikatakan
sebagai bentuk baru dari pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia,
mungkin juga di dunia Islam , karena negeri-negeri muslim sendiri wasiat
wajibah hanya di berikan kepada cucu yang orang tuanya meninggal terlebih
dahulu, bukan ahli waris non muslim.11

10

Depag Republik Indonesia, op cit. hlm. 44.


Dede Ibin, Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim , Dalam Suara Uldilag,
: II No : 4 Tahun 2004, hlm. 75.
11

Vol

Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak diadakan wasiat untuk


kerabat yang tidak mendapat pusaka, oleh muwarisnya, maka hakim harus
bertindak sebagai muwaris, yanng memberi sebahagian harta peninggalan
kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapat pusaka dengan memberikan
sebagian suatu wasiat yang wajib untuk mereka.12
Dengan di berikannya hak wasiat wajibah kepada ahli waris non
muslim sebagai alternatif agar memperoleh haknya sebagaimana dalam dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan
Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 yang memberikan hak
wasiat wajibah kepada non muslim. Sesungguhnya telah memberikan
gambaran positif bahwa hukum Islam tidaklah eksklusif dan diskriminatif
yang seolah-olah telah menempatkan warga negara non muslim kelas dua di
depan hukum. Apabila ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang tidak
dapat mewarisi dengan

jalan apapun. Sebagaimana hukum asalnya, maka

hukum Islam akan dipandang sebagai suatu ancaman I apabila di


transformasikan ke dalam Hukum Nasional (hukum Positif) hal ini sangat
tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam selanjutnya.13
Mengenai wasiat wajibah Ibnu Hazm sebagai Madzhab Ad-Dhahiri
beranggapan bahwa wasiat adalah hal yang wajib bagi orang yang
12

Ibnu Hazm, loc. cit.,

13

Dede Ibin, op cit. hlm. 78.

meninggalkan harta baik sedikit maupun banyak. Karena kewajiban wasiat


tersebut berlaku setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seorang
meninggal dunia dan orang itu tidak berwasiat maka hartanya harus
disedekahkan sebagian untuk memenuhi wasiat.14
Ibnu Hazm seorang ulama Adz-Dhahiri menerangkan bahwa wasiat
wajibah dalam bab tersendiri. Wajibnya wasiat wajibah kepada kerabat non
muslim merupakan bagian dari upaya pembaharuan hukum kewarisan Islam
di Indonesia agar hukum kewarisan Islam dapat diformulasikan dengan segar
dan baik sehingga dapat diterima semua fihak, terutama di tengah-tengah
gencarnya upaya kita untuk mempositifkan hukum Islam menjadi undangundang melalui legeslasi nasional yang kerapkali mendapat hambatan
psikologis dan politis dari sebagian kalangan.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai status
hukum berwasiat, antara wajib dan sunnah adalah merupakan kajian ijtihad
dalam memahami dalil Al-Quran dan Hadits (syariat) yang banyak
dipengaruhi oleh kondisi nalar, kadar ilmu, latar belakang budaya, serta situasi
dan kondisi masyarakat yang melingkupinya.
Menurut Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Zaid adalah :

14

Al-Fakhrurrazi, Tafsir Al-Kabir, Juz V, Beirut : Dar Kutubil Ilmiyah, t.th, hlm. 51.

v 68#L7 u #,G @8D7O ( >?; 8 X

H G t >$< G R< G I>!

Semua ayat (yang berkaitan dengan hukum wajib) adalah telah


dimansukhkan sehingga tetaplah sunnah hukum wasiat . 15
Menurut Abu Muslim Al-Ashbahani ayat wasiat sama sekali tidak
mansukh, karena ada pertentangan antara ayat wasiat dan ayat kewarisan.16
Sependapat dengan Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Zaid adalah
ulama jumhur yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu Sunnah.17
Dalam pandangan Ibnu

Hazm, ayat wasiat ini menentukan suatu

kewajiban hukum yang definitif bagi orang Islam untuk membuat wasiat
yang akan di distribusikan kepada kerabat dekat yang bukan menjadi ahli
waris. Lebih jauh lagi, Ibnu Hazm berpendapat, jika orang yang meninggal
gagal untuk memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan
harus membuatkan wasiat atas namanya. 18
Kewajiban wasiat sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm, beliau
berpedoman kepada dhahir dari nash Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana
ditegaskan :

15

hlm. 177

16

Al-Qurtuby, Tafsir Jamili Ahkam Al-Quran, Juz I, Beirut: Dar Kutubil Ilmiyah, 1993,

Hasby Ash-Shidieqhy, Fiqh Mawaris, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm.301
Ibnu Ismail Al-Kahlani, op. cit, hlm. 103.
18
Retno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Hukum Adat Di Indonesia, Jakarta:
INIS, 1998, hlm. 86.
17

10

0;< y BQ ,Q *b7 x ;>G>?#;< I :V6>e( ` ;a x ; 1>w p % (


.Am n< K
Kami telah sepakat dan kebanyakan orang-orang yang menyalahi kami,
bahwasanya Ijma dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatu
kebenaran yang meyakinkan dalam agama Islam.19
Dari pemahaman di atas, penulis sangat tertarik akan pendapat Ibnu
Hazm yang mengatakan bahwa hukum wasiat adalah fardhuain atau wajib.
Selain itu Ibnu Hazm juga memberikan hak kepada non muslim yang tidak
mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah. Sehingga penulis tertarik untuk
menganalisa yang akhirnya akan mendapatkan kejelasan mengenai ketetapan
hukum dalam hal mendapatkan hak waris melalui wasiat wajibah kepada
kerabat non muslim.
B.

Pokok Permasalahan
Sehingga rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1.

Bagaimana Pendapat Ibnu Hazm Tentang Hukum Wasiat Wajibah


Kepada Kerabat Non Muslim ?

19

Ibnu Hazm, Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, tp.tt, hlm. 312.

11

2.

Bagaimana Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Wajibnya


Wasiat Wajibah Kepada Kerabat Non Muslim ?

C.

Tujuan Penulisan Skripsi


Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Ilmiyah Akademik
a. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Ibnu Hazm tentang
wajibnya wasiat wajibah.
b. Untuk mengetahui mengapa kerabat non muslim yang seharusnya
tidak menerima warisan tetapi menurut Ibnu Hazm dikatakan wajib
di berikan warisan melalui wasiat wajibah.
c. Untuk mengetahui mana yang lebih benar dan adil bagi kerabat non
muslim dalam mendapatkan haknya dalam mewarisi melalui
wasiat wajibah
2. Tujuan Formal Akademik dalam rangka untuk memenuhi persyaratan
guna meraih gelar sarjana pada jenjang Strata Satu (S.I) di Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang.

D.

Telaah Pustaka
Kitab yang membahas tentang Ushul Fiqh Ibnu Hazm adalah
Al-Muhalla.

Di mana dalam kitab tersebut dapat ditemukan bagian Ibnu

12

Hazm beristidlal atau berpendapat sehingga dari situ dapat diketahui metode
yang ia pakai termasuk di dalamnya masalah wasiat wajibah.
Selain karya Ibnu hazm sendiri, terdapat pula buku Ensiklopedi
Hukum Islam yang membicarakan Ibnu Hazm dan pemikirannya juga
dilengkapi dengan biografinya dimana dari sanalah penulis banyak
mengambil masukan mengenai biografi Ibnu Hazm.
Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, karya Ibnu Hazm serta madzhab
dzahiri yang menerangkan masalah ushul fiqh Ibnu Hazm dan metode Ibnu
Hazm dalam menentukan suatu hukum seperti halnya wasiat wajibah.
Ilmu Waris, karya Fatchur Rahman dalam bab wasiat wajibah
menerangkan tentang siapa saja yang berhak menerima wasiat wajibah.
Fiqh Sunnah Juz III, karya Sayid Sabiq menerangkan bahwa wasiat
wajibah itu pemberian seseorang

kepada orang lain baik berupa barang,

piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah
orang yang berwasiat meninggal dunia.20
Menurut Ibnu Hazm wasiat wajibah adalah wajib bagi seseorang yang
meninggalkan harta dan wajib berwasiat kepada kerabat yang terhalang
mewarisi salah satunya disebabkan perbedaan agama.
20

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, Ar-Risalah, Beirut, Cet. I, 2002, hlm. 353.

13

E.

Metode Penulisan Skripsi


Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif oleh karena itu
menggunakan metode library research yang mengandalkan atau memakai
sumber karya tulis kepustakaan. Yang relevan dengan pokok permasalahan
agar skripsi ini mengarah pada obyek kajian dan sesuai dengan tujuan
penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.

Metode Pengumpulan Data


Dalam hal ini penulis mengumpulan karya-kaya Ibnu Hazm
sebagai sumber utama maupun karya tulis lain sebagai data
pendukung untuk menelaah

pendapat Ibnu Hazm khususnya

mengenai wajibnya wasiat wajiabah kepada kerabat non muslim yang


membantu dalam penyusunan skripsi.
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi
yang di cari, atau secara sederhana biasa disebut sumber asli.21 Dalam
hal ini ialah data pustaka karya tulis Ibnu Hazm yang berhubungan
langsung dengan masalah yang ingin di teliti penulis. Sumber data

21

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 36.

14

itu antara lain ; Ibnu Hazm; Al-Muhalla, Ihkam fi Ushul Al-Ahkam,


Al-Muhalla Bi Al-Astar
Sedangkan data skunder adalah data yang disebut dengan data
tangan kedua yang merupakan data yang diperoleh lewat pihak lain,
tidak lansung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.22 Data
tersebut adalah data yang berasal dari karya tulis seseorang yang
berkaitan dengan pendapat Ibnu Hazm.
2.

Metode Analisi Data


Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusun dan
menganalisa data-data yang terkumpul dipakai

metode-metode

sebagai berikut :

a. Metode Diskriptif
Menganalisa data merupakan suatu langkah yang sangat
kritis dalam penelitian. Dalam hal ini penelitian harus memastikan
pola analisa mana yang akan digunakan apakah analisis statistik
ataukah non statistik.

22

Ibid., 91

15

Untuk menganalisa

data yang sudah terkumpulkan

penulis penulis mengunakan metode yang sesuai dengan jenis


data kepustakaan yaitu non statistik. Mengingat bahwa data
tersebut adalah data dokumen tertulis maka penulis menggunakan
metode deskriptif.23 Lebih khususnya penulis menggunakan salah
satu metode deskriptif, yaitu Riset Dokumen (content Analisis)
adalah

data

yang

sering

dianalisis

Metode analisis ini diaplikasikan

menurut

isinya.24

semaksimal mungkin untuk

melakukan penggalian pendapat Ibnu Hazm mengenai judul yang


dibahas untuk mendapatkan kebenaran yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiyah.
b. Metode Induksi
Pengkajian

pendapat

Ibnu

Hazm

ini

memerlukan

inventarisasi dari berbagai data yang ada, baik dari data pokok
maupun pendukung, sehingga nantinya memberikan kesimpulan
yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiyah.
Maka dalam hal ini penulis memakai metode induksi yang
merupakan proses pengorganisasian fakta-fakta atau hasil

23
24

Saifuddin Azwar, op. cit. hlm. 126.


Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 85.

16

pengamatan yang terpisah-pisah menjadi rangkaian hubungan atau


suatu generalisasi.25
c. Metode Deduksi
Sebuah metode yang sangat mendukung untuk melakukan
kajian ferifikatif terhadap suatu pemikiran. Atau dengan kata lain
sebuah pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum
mengenai suatu fenomena (teori) dan menggenaralisasikan
kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang
bericiri sama dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi)26
Dalam hal ini ketentuan umum tentang wasiat wajibah
akan dijadikan sebagai premis mayor yang kemudian akan
dilakukan intrepretasi dan ditarik sebuah keputusan khusus
bernilai ferifikatif-yang selalu berkesinambungan dengan premis
mayor-terhadap pemikiran Ibnu Hazm.
F.

Sistematika Penulisan Skripsi


Untuk mendapatkan gambaran yang jelas serta untuk mempermudah
pembahasan, secara global skripsi ini penulis bagi menjadi lima bab, yang
mana kelima bab tersebut akan penulis uraikan menjadi sub-sub bab dan

25
26

Saifuddin Azwar, op. cit, hlm. 40.


Ibid.,

17

antara sub-sub yang satu dan yang lainnya saling berkaitan sehingga menjadi
kesatuan yang utuh. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
Bab I, Merupakan gambaran umum tentang penulisan skripsi terdiri
dari Pendahuluan, dalam bab ini penulis menerangkan

latar

belakang

masalah, pokok masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode


penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II, Pada Bagian ini akan di paparkan perihal deskripsi umum
tentang wasiat wajibah yang didalamnya akan dibahas tentang : Bagaimana
definisi dan dasar hukum wasiat wajibah, kemudian definisi dari non muslim,
rukun dan syarat wasiat wajibah, serta pelaksanaan dan batasan-batasan dalam
wasiat wajibah.
Bab III, Merupakan pembahasan pendapat Ibnu Hazm tentang
wajibnya wasiat wajibah kepada kerabat non muslim, yang didalamnya terdiri
dari : biografi Ibnu Hazm, bagaimana metode istimbath hukum yang
digunakan

Ibnu Hazm, serta penjabaran pendapat Ibnu Hazm tentang

wajibnya wasiat wajibah kepada kerabat non muslim.


Bab IV, Berisi analisis pendapat Ibnu Hazm tentang tentang
kewajiban berwasiat kepada kerabat non muslim. Di dalamnya akan diuraikan

18

bagaimana analisis istimbath hukum Ibnu Hazm, serta analisis Pendapat Ibnu
Hazm tentang wajibnya wasiat wajibah kepada kerabat non muslim.
Bab V, merupakan bab yang terakhir dalam penulisan skripsi ini dan
pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan pembahasan, juga beberapa
saran yang perlu sehubungan dengan kesimpulan tersebut.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT WAJIBAH

A. Pengertian Wasiat Wajibah


Kata wasiat dalam, Al-Quran disebutkan 9 kali, dan kata lain yang
seakar, disebut 25 kali. Secara Bahasa Wasiat artinya berpesan, menetapkan,
memerintah seperti dalam Al-Quran (QS. Al-Anam 6 : 151, 152, 153, Al-Nisa
4 : 131 ), kemudian mewajibkan (QS. Al-Ankabut 29 : 8, Luqman 31 : 14, AlSyura 42 : 13, Al-Ahqaf 46 : 15 ), dan mensyariatkannya ( Al-Nisa 4 : 11)1
Wasiat berarti pesan, baik berupa harta maupun lainnya.
Sedangkan menurut syariat, wasiat berarti pesan khusus yang dijalankan
setelah orang itu meninggal dunia.2 Menurut Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah
mengatakan bahwa wasiat adalah :

!" #
(

$ % &#'

Pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, utang, atau
manfaat agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal
dunia .

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta : Raja Grafindo, 2002, hlm. 183.
Abdul Ghofur, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 491.
3
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah,, Juz III, Beirut : Muassasah, 2002, hlm. 317.
2

20

Sementara menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Miras Al-Muqaran


mendefinisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang
lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela dan
tidak mengharapkan imbalan (Tabarru) yang pelaksanaannnya di tangguhkan
setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.4
Fuqaha
memberikan

yang
hak

bermadzhab

memiliki

Hanafiyah

sesuatu

secara

mentarifkan
sukarela

wasiat

ialah

(Tabarru)

yang

pelaksanaannya di tangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang


memberikan , baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat. Fuqaha Malikiyah
mentarifkan ialah suatu perikatan yang mengharuskan kepada si penerima wasiat
meng-hak-i 1/3 harta peninggalan si pewasiat, sepeninggalnya atau yang
mengharuskan penggantian hak 1/3 harta pewasiyat kepada penerima wasiat
sepeninggalnya.
Ulama-ulama

yang

bermadzhab

Syafiiyah

dan

Hanabilah

mentarifkannya dengan tarif yang hampir sama dengan tarif di atas. Sedang
kitab Undang-Undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946,5 mentarifkannya
secara umum yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan macam-macam
wasiat, yakni : mengalihkan hak memiliki harta peninggalan, yang ditangguhkan
kepada kematian seseorang.

4
5

Abd Al-Rahim Al-Kisyka, Al-Miras Al- Muqaran, Baghdad, tp.1969. hlm. 103.
Ibid,

21

Ini berbeda dengan pengertian wasiat wajibah, wasiat wajibah sebagai


suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar
harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak melakukan wasiat secara
sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan kepada
orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu. 6
Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah atas tindakan ikhtiariyah.
Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam
keadaan bagaimanapun juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa
seseorang untuk memberikan wasiat.7 Menurut asal hukum, wasiat itu adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan.
Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan
dengan jalan putusan hakim. 8
Namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi,
mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat,
yang terkenal dengan wasiat wajibah kepada orang-orang tertentu dalam keadaan
tertentu. Dikatakan wasiat wajibah (wajib) disebabkan karena dua hal :
1. Hilangnya unsur ikhtiyar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung
kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
6

Ahmad Rafiq, op. cit, hlm.184.


Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : Al-Maarif, 1994, hlm. 62.
8
Hasby Ash-Siddieqhy, Fiqih Mawaris, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 300.
7

22

2. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal


penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. 9
Dari beberapa pengertian diatas tentunya sangat berbeda dengan
pengertian wasiat wajibah, oleh karenanya penulis akan menguraikan beberapa
pengertian wasiat wajibah diantaranya adalah :
a.

Menurut Ibnu Hazm wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh
penguasa (dilaksanakan oleh hakim) untuk orang-orang tertentu yang tidak
diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara si mayit
meninggalkan harta, baginya berlaku kewajiban wasiat.10

b.

Menurut Drs. Fatchur Rahman wasiat wajibah adalah

wasiat

yang

ditetapkan berdasarkan penguasa ataupun keputusan hakim sebagai aparat


negara yang mempunyai wewenang dapat memaksa seseorang memberi
wasiat.11
c.

Menurut Dr. Ahmad Rofiq, MA, wasiat wajibah adalah tindakan yang
dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa , atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang

telah meninggal yang

diberikan kepada orang tertentu dalam keadan tertentu.12

Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 63.


Ibnu Hazm, Al-Muhalla Bi Al-Astar, Juz VIII, Beierut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, t.th, hlm.

10

353.

11
12

Fatchur Rahman, loc. cit.


Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 462.

23

Sementara di kalangan ulama fikih dikenal dengan istilah al-Washiyyah


al-Wajibah (wasiat wajib) yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang
yang wafat, karena adanya suatu halangan syara misalnya, berwasiat kepada ibu
atau ayah yang beragama non muslim, karena beda agama menjadi penghalang
bagi seseorang untuk menerima warisan. 13
Secara singkat, wasiat wajibah di negara-negara Islam di dunia sudah di
kemukakan. Di Indonesia Wasiat Wajibah di muat dalam pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam, yakni untuk anak angkat dan atau orang tua angkat, kalau dalam
Kompilasi Hukum Islam dikatakan dapat digantikan, artinya tidak dapat
memaksa, tidak imperatif.14
Dalam hukum BW (hukum positif) istilah wasiat wajibah disebut dengan
Platvervurlling. Secara garis besar antara pergantian kedudukan atau-mawalidengan wasiat wajibah hampir sama. Perbedaannya, jika dalam wasiat wajibah
dibatasi penerimaannya, maka dalam penggantian kedudukan

adalah

menggantikan hak sesuai dengan hak yang di terima orang tuanya.15


Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah
adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa (dilaksanakan oleh hakim) untuk
13

hlm. 1930.
14

Dahlan Abdul Aziz , Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997,

Cik Hasan Bisri, et. al., Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 93.
15
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 463.

24

orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia,
sementara si mayit meninggalkan harta, baginya berlaku kewajiban wasiat.
Dengan demikian wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya
tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang
meninggal dunia. Wasiat wajibah ini tetap harus dilaksanakan baik diucapkan
atau tidak diucapkan. Baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh yang
meninggal dunia. Sehingga pelaksanaan wasiat wajibah tersebut diucapkan atau
dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan hukum yang
membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakannya.
B. Pengertian Non Muslim
Sebelum penulis memaparkan pendapat Ibnu Hazm tentang wajibnya
wasiat wajibah kepada kerabat non muslim, terlebih dahulu penulis jelaskan
mengenai, bagaimana kriteria kerabat non muslim menurut Ibnu Hazm yang
nantinya wajib diberi wasiat wajibah ?. Dengan mengetahui tentang siapa saja
kerabat non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah akan mempermudah
kepada para pembaca untuk memahaminya. Selain itu untuk menghindari
terjadinya suatu kesalahfahaman dalam menentukan kerabat non muslim yang
wajib diberi wasiat wajibah.

25

Apabila non muslim dilihat dalam jenis kafir, menurut ulama fikih
membaginya kepada : Kafir Harbi, Kafir Kitabi, Kafir Muahid, Kafir Mustamin,
Kafir Zimmi dan Kafir Riddah.16
Yang dimaksud kerabat non muslim menurut Ibnu Hazm yaitu para
kerabat yang berbeda agama

dengan pewasiat. Kerabat tersebut merupakan

kerabat yang tidak dapat mewarisi, karena terhijab atau salah satunya disebabkan
tidak beragama Islam (non muslim) sehingga wajib diberi wasiat.

Yang

dimaksud kerabat menurut Ibnu Hazm adalah semua keturunan yang memiliki
hubungan nasab dengan ayah dan ibu sampai terus ke bawah. Mereka berada
pada garis keturunan yang sama dengan orang yang meninggal dunia, dalam garis
ibu atau ayah atau bahkan dalam garis ayah dan ibu secara bersamaan.17 Disini
yang dimaksudkan non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah adalah non
muslim dari golongan Ahl Dzimmah.
Menurut Syariah non muslim juga dikatakan sebagai Ahl Dzimmah,
adalah orang-orang selain Islam yang tinggal di Darul Islam dan mematuhi
seluruh hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Darul Islam. Dan
mereka (non muslim) juga bebas melaksanakan berbagai aktivitas duniawi dan
keagamaan selama tidak mengganggu kemaslahatan umum yang ada di Darul
Islam. Sebagai jaminan keamanan bagi diri mereka diwajibkan membayar pajak,

16
17

Dahlan Abdul Aziz, op. cit., hlm. 875.


Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut : tp. t.th, hlm. 314.

26

yang jumlahnya ditentukan oleh pemerintah Darul Islam. Ahl Dzimmah ini juga
disebut dengan Kafir Dzimmi.18 Mereka dikatakan Dzimmi karena berada di
bawah perlindungan orang-orang Islam.
Bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang sahnya wasiat antara sesama
muslim, karena wasiat merupakan tali silaturrahmi, dan diberikan kepada kerabat
dekat atau bukan kerabat, atau bahkan berlainan negara. Di mana silaturrahmi
tersebut mempunyai kekuatan yang sangat kuat.
Begitu sebaliknya tidak adanya suatu perbedaan tentang wasiat orang
Islam kepada selain Islam (non muslim) yang dimaksud adalah dari golongan Ahl
Dzimmah atau Yahudi dan Nasrani (non muslim yang tinggal di Darul Islam dan
mematuhi seluruh perundang-undangan yang berlaku di Darul Islam tersebut.19
Menurut Shahibul Bakhru Zakhar sudah menjadi kesepakatan ijma
bahwa wasiat kepada Ahl Dzimmah hukumnya sah. Yang disandarkan pada
firman Allah yang berbunyi :

)*+,-./0 1/ +23 +,-.+45/6+7 4+,*1 /2+3% /8 +,-.94 /:*-;9*< 12+/=> /21?@ 4,-AB91*C
O

LMN J K12+/D/+-; )4E /4FG@ >/H+,/+B1/H +-D/ );4:1 +,4+I61#1:

Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
18
19

Dahlan Abdul Aziz, op. cit, hlm. 860.


Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit. hlm. 129.

27

menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah :


8)20
Akan tetapi selain Kafir Dzimmi ada juga Kafir Harbi adalah kaum kafir
yang memusuhi Islam. Sehingga harus dibedakan dengan Kafir Dzimmi yaitu non
muslim yang mematuhi perundang-undangan Islam. Dalam hal wasiat terdapat
perbedaan bahwa tidak diperbolehkan orang Islam berwasiat kepada Kafir Harbi.
Ulama

dari

kalangan

Syafiiyah,

Hanafiyah,

Hanabilah

telah

membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama Islam (non muslim)
dengan syarat yang diberi wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak
demikian maka wasiatnya batal, tidak sah. Adapun dalil membolehkan berwasiat
untuk mereka yang tidak beragama Islam (non muslim) adalah dikiaskan kepada
hibah dan shadaqah.21. Sedangkan kepada kafir Harbi menurut Abu Hanifah dan
Abu Yusuf tidak sah diberi wasiat karena Kafir Harbi berbeda dengan Kafir
Dzimmi.
Menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Miras Al-Muqaran bahwa
Ahl Dzimmih merupakan golongan dari Yahudi dan Nasrani.22 Pendapat
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap golongan Yahudi dan Nasrani
dapat di berlakukan dengan hukum Ahl Al-Kitab, khususnya dalah hal makanan

20

Depag Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro


Grafindo, 1994, hlm. 924.
21
Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit., hlm. 130.
22
Ibid,

28

(sembelihan), perkawinan, hak-hak sipil, dan kewajiban mereka sebagai warga


negara dalam wilayah Islam. 23
Sedangkan menurut Ibnu Hazm, memahami term Ahl Al-Kitab mirip
dengan pemahaman ulama salaf, yang memasukkan kaum Majusi sebagai
kelompok Ahl Al-Kitab.24
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerabat non muslim yang
wajib diberi wasiat wajibah adalah para kerabat yang berbeda agama dengan
pewasiat. Kerabat tersebut merupakan kerabat yang tidak dapat mewarisi, karena
terhijab atau bukan ahli waris. Yang dimaksud kerabat Ibnu Hazm adalah semua
keturunan yang memiliki hubungan nasab dengan ayah dan ibu sampai terus ke
bawah. Mereka berada pada garis keturunan yang sama dengan orang yang
meninggal dunia, dalam garis ibu atau ayah atau bahkan dalam garis ayah dan ibu
secara bersamaan.
Disini non muslim yang dimaksudkan adalah Ahl Dzimmah yaitu dari
golongan Yahudi dan Nasrani. Dikatakan Ahl Dzimmah karena mereka mematuhi
peraturan perundang-undangan Islam, serta tidak memerangi orang Islam, selain
itu mereka

berada di bawah perlindungan orang Islam. Sehingga menurut

syariah orang Islam harus berbuat adil kepada mereka (non muslim) dengan

23
24

Dahlan Abul Aziz, loc. cit.


Ibnu Hazm, Al- Muhalla, Juz VI, Beirut : Dar al-Fikr, t.th, hlm. 445.

29

memberikan haknya untuk dapat mewarisi kerabatnya yang beragama Islam.


Dalam hal mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah.
C. Dasar Hukum Wasiat Wajibah
Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat menetapkan wasiat wajibah atas
dasar hasil mengkompromikan pendapat-pendapat ulama salaf dan ulama khalaf
yakni :
1.

Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat


menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha dan tabiin
besar ahli fiqih dan ahli hadist. Antara lain Said Ibnu Musaiyab, Hasan AlBishry, Thawus, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu Hazm.

2.

Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang


tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila si mati
tidak berwasiat, adalah diambil dari pendapat madzhab Ibnu Hazm yang
dinukil dari fuqaha tabiin dan dari pendapat madzhab Imam Ahmad.

3.

Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada


cucu-cucu dan pembatasan penerimaan kepada sebesar 1/3 peninggalan
adalah didasarkan pendapat Ibnu Hazm dan berdasarkan kaidah syariah :

R #5

&6 S

LT 2

6 P # &6

6Q

H
KMU

30

Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara


yang mubah. Karena ia (Ibnu Hazm) berpendapat bahwa hal itu akan
membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan demikian,
maka wajiblah ditaati. 25
Sebagaimana dalam firman Allah telah disebutkan diantaranya adalah:
1. Dalam al-Quran
Surat al- Baqarah ayat : 180

12+/&6)]GQ)1 /2+1%/ 1)/ *\/ 1) [6+1Z 1Y161:)/H4$ +*)4,-.1%1W*161X 1W *VH/ +,-A+*1 1E /M-.
O

`6;#J K 12+/;1M-)1 1 _;1W /^ +46+*)/&

Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabat, secara
maruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa
.26
Ibnu Hazm mengatakan bahwa wasiat itu hukumnya fardhu ain bagi
setiap orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka.
Dalam ayat tersebut Tuhan mewajibkan kepada umat Islam untuk
mempusakakan harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan mewajibkan
untuk mendahulukan pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang dari pada
mempusakakan harta peninggalannya.27

25

Fatchur Rahman, op. cit. hlm. 66.


Soenaryo, loc.cit.,
27
Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 52.
26

31

2. Dalam Hadist Nabi


a.

Dasar hukum wasiat wajibah dalam hadist Nabi yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukum wasiat wajibah diantaranya adalah :

@
@ a d0 a ] a ]6N 2& 2 b8 !2
c 6U
eM R # 8
f g , h6 cW
,d 2
0
R j =
k $ 6 6N 2&H a ] i & MA %
CH
mn
KS l% CH Va ], @ a d0
Aku menerima dari jalur Malik dari Nafi dari Umar berkata :
Rosulullah Saw bersabda : Hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu
yang hendak diwasiatkan , sesudah bermalam selama dua malam tiada
lain wasiatnya itu ditulis pada awal kebijakannya. Ibnu Umar berkata
tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengarkan hadist itu
kecuali wasiat selalu berada disisku.
Bermalam disini untuk perkiraan bukan sebagian batasan mutlak.
3. Salah satu yang dijadikan dasar hukum wasiat wajibah selain dari Al-Quran
dan Hadits adalah Kitab Undang-undang Hukum Wasiat Mesir N0: 71 Tahun
1946.
D. Rukun Dan Syarat Wasiat Wajibah
1. Rukun Dan Syarat Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya melalui
pembebanan oleh hakim,sehingga wasiat wajibah tersebut tidak menggunakan
28

Malik bin Anas, Al-Muwattha, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 500.

32

atau tidak memerlukan adanya rukun-rukun wasiat. Di mana pelaksanaannya


tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang
meninggal dunia. Wasiat wajibah ini tetap harus dilaksanakan baik di ucapkan
atau tidak, baik dikehendaki atau tidak dikehendaki atau tidak dikehendaki
oleh yang meninggal dunia. Sebagaimana wasiat-wasiat lainnya yang
pelaksanaannya harus memperhatikan beberapa unsur, diantaranya :
a.

Mushi (Pemberi Wasiat).

b.

Mushalah (Penerima Wasiat).

c.

Mushabih (Barang yang Diwasiatkan).

d.

Redaksi Ijab Dan Qabul / Lafadz (Shighat)


Meskipun wasiat wajibah tidak memerlukan adanya rukun-rukun

wasiat seperti wasiat-wasiat lainnya, akan tetapi wasiat wajibah ini harus
memenuhi dua syarat :
Pertama yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris, apabila dia
berhak menerima harta pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat
untuknya.
Maka jikalau seseorang meninggal dengan meninggalkan ibu, dua
anak perempuan, dua anak lelaki, dua anak lelaki kandung, maka tidak ada
wasiat untuk anak-anak dari anak lelaki karena mereka menerima 1/6
(seperenam) harta. Andaikata tidak ada dua anak lelai dari anak lelaki tidak

33

mendapat pusaka dan wajiblah untuknya wasiat wajibah dengan sejumlah


harta peninggalan, lalu masing-masingnya menerima 1/6(seperenam) dari
harta peningalan.
Kedua orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek bukan
memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan
dengan jalan yang lain seperti hibah upamanya.29
2. Pelaksanaan Dan Batasan-Batasan Wasiat Wajibah
Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir dalam pasal 78, mewajibkan
pelaksanaan wasiat wajibah tersebut tanpa tergantung perizinan ahli waris,
kendatipun si mati tidak mewasiatkannya, setelah dipenuhi biaya perawatan
dan pelunasan hutang dengan wasiat wajibah tersebut didahulukan dari pada
wasiat-wasiat lainnya. Artinya apabila ada sisa setelah pelaksanaan wasiat
wajibah baru dilaksanakan wasiat-wasiat yang lain menurut urut-urutan yang
telah ditentukan oleh undang-undang wasiat, kemudian dibagi-bagikan kepada
ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing.30

29
30

Hasby ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 304-305.


Fatchur Rahman, op.cit., hlm. 65.

34

Mengenai batasan Wasiat Wajibah disandarkan kepada tafsiran hadis


Rosulullah SAW, dalam peristiwa Saad bin Abi Waqas, sewaktu dikunjungi
Rosulullah pada waktu sakitnya timbul dialog sebagai berikut31 :

@
@ a d0 . a ] @ ko0 p ] q 2&% d 2
2 q w&%]uHR ;8iq v%MgHb5 2 ir
sW t u ,d
a ]yz {{&|%T:8 i &HCHu x6C ia V ! l6: b5
#. #. { } { } a ] } C } a ;8y6D~ & R ;8} C }
(m
K
AM , 0=: 2 Z
Mx0 0=: H !H
Artinya : Bahwasanya Saad Bin Abi Waqqash pulang, kemudian
berkatalah ia kepada Rasulullah saw., Ya Rasulullah, sakitku
telah demikian parah-sebagaimana engkau lihat-sedang aku
memiliki harta, dan tidak ada yang bakal mewarisiku selain
seorang anak perempuan saja. Bolehkah aku bersedekah dengan
dua pertiga hartaku ? Maka berkatalah Rasulullah Saw, kepadanya
Jangan . Maka Saad beliau Bagaimana jika separuhnya ?
Rasulullah Saw berkata, Jangan . Kemudian Rasulullah Saw
berkata pula, Sepertiga, dan sepertiga itu banyak, sesungguhnya
apabila engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang
kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka sebagai
orang-orang miskin yang meminta-minta .
Hadits tersebut diatas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Wasiat Mesir N0 : 71 Tahun 1946, dalam pasal 76,77,78 yang menentukan
biaya penerimaan wasiat wajibah tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta
warisan .33

31
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Hukum
Perdata (BW), Jakarta : Sinar grafika, 2000, Cet. II. Hlm. 138.
32
Ahmad Ibnu Ali Ibnu Hajar, Fatkh Al-Bari, Juz III, tp : Dar Al-fikr, t.th, hlm. 164
33
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media Offset,
2001, hlm. 116.

35

Pada prinsipnya besarnya wasiat itu ialah sepertiga harta peninggalan


setelah diambil biaya-biaya perawatan dan pelunasan hutang-hutang si mati.
Apabila melebihi sepertiga harta warisan menurut kesepakatan seluruh
mazhab, membutuhkan izin dari ahli waris, jika semua mengizinkan wasiat
tersebut dapat berlaku dan sebaliknya apabila ahli waris tidak mengizinkan
maka batallah wasiat tersebut.34
3. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat
Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu
dalam pasal 197, Yang berbunyi sebagai berikut:
1)

Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan


Hakim yang telah mempunyai hukum tetap dihukum karena :
a.

Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau


menganiaya berat kepada pewasiat;

b.

Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan


bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;

c.

Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan


surat wasiat dan pewasiat.

34

Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 153.

36

2)

Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat
itu:
a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia
sebelum meninggalnya pewasiat ;
b. Mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk
menerimanya ;
c. Mengetahui wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau
menolak sampai meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

3)

Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.35


Apabila diperhatikan dari pasal tersebut dapat diperoleh kesan
bahwa ketentuan batalnya wasiat tersebut di analogikan kepada Mawani
Al-Irs (penghalang dalam kewarisan) meskipun tidak seluruhnya. Namun
karena tujuannya jelas, yaitu demi terealisasinya tujuan wasiat itu maka
ketentuan pasal tersebut perlu disosialisasikan.36

E. Wasiat Wajibah Menurut Pendapat Para Ulama


Dalam menentukan hukum wasiat, kebanyakan ulama berpendapat bahwa
hukum wasiat adalah tidak wajib karena kewajiban wasiat tercantum dalam AlQuran telah dihapus (mansukh) oleh ayat kewarisan.
35

Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I Nomor I Tahun 1991Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta : 2000, hlm. 90.
36
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 459.

37

Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa sejak munculnya ayat


tentang wasiat, berwasiat untuk kedua orang tua dan para kerabat terdekat adalah
kewajiban. Akan tetapi setelah turun ayat tentang kewarisan dengan sistem
pembagian yang pasti, maka kewajiban berwasiat tersebut menjadi mansukh yang
dan akhirnya hukum wasiat menjadi tidak wajib.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dipaparkan kembali tentang dasar
pokok disyariatkannya wasiat. Yaitu ayat Al-Quran yang tercantum dalam surat
Al-Baqarah (2) : 180.

12+/&6)]GQ)1 /2+1%/ 1)/ *\/ 1) [6+1Z 1Y161: )/H4$ +*)4,-.1%1W*161X 1W *VH/ +,-A+*1 1E /M-.
O K `6;#J K 12+/;\M-)1 1 _;1W /^ +46+*)/&
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabat, secara maruf. Ini
adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa . (Al-Baqarah :
180)37
Sebagaimana telah di uraikan di atas, bahwa dasar kewajiban wasiat
tersebut, menurut kebanyakan ulama telah dihapus oleh ayat-ayat kewarisan yang
dimaksud salah satunya tersebut dalam surat An-Nisa ayat 7, yang berbunyi :

/ 1%/ 1)1Y161: \N3 4E +/T 1!/13/ 1 *94&16]9GQ)1 / 1%/ 1) 1Y161: \N3 4E +/T 1!/a 1536/
O
37

J [o +46)\ #+/T 1!16-{*. +*4+/ >*] \N3 *+4&16)]GQ)1

Depag R. I, op. cit, hlm. 1112.

38

Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, bagi orang wanita hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan .38
Dalam menafsirkan ayat yang dijadikan dasar pokok disyariatkannya
wasiat sebagaimana tersebut di atas, kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan firman Allah yang berbunyi (,A

E M.) adalah ( 68

,A ) yang artinya adalah diserahkan kepada kamu.39


Sedangkan firman Allah yang berbunyi (e ;M

menunjukkan bahwa

wasiat tersebut adalah tidak wajib. Hal ini beralasan seandainya hukum wasiat itu
wajib, maka perintah wasiat tersebut tentu ditujukan dengan kata-kata untuk
semua muslim, dan bukan dengan kata-kata untuk semua orang yang bertaqwa.
Oleh karena itu dalam ayat tersebut Allah hanya menyebutkan dengan kata-kata
untuk semua orang yang bertaqwa saja, maka hal yang demikian ini
menunjukkan bahwa hukum wasiat tersebut tidak wajib.40
Sementara itu Imam Ibnu Kastir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa
ayat 180 surat Al-Baqarah tersebut mengandung maksud adanya perintah
membuat wasiat kepada orang tua dan para kerabat. Hal ini hukumnya wajib
38

Ibid, hlm. 116.


Muhammad Ali As-Sayyis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Beirut : t.th, hlm. 55.
40
Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Quran, Cet. I, Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1988, hlm. 104.
39

39

sebelum turun ayat tentang kewarisan (pembagian harta peninggalan), maka


hukum wasiat tersebut dihapus oleh ayat-ayat tentang kewarisan, dan sistem
kewarisan dengan pembagiannya yang pasti, menjadi ketentuan yang harus
diambil dan dipegangi oleh orang-orang yang berhak.41
Imam mazhab empat, golongan Zaidiyah dan juga golongan Imamiyah
berpendapat bahwa hukum wasiat tidaklah wajib bagi setiap orang yang
meninggalkan harta, sekalipun terhadap kedua orang tua para kerabat yang tidak
menerima warisan.42
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa menurut kebanyakan ulama, hukum
wasiat adalah tidak wajib, karena kewajiban berwasiat telah di hapus oleh sistem
kewarisan. Jika hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi tersebut dikaitkan
dengan kitab disyariatkannya wasiat sebagaimana tersebut dalam surat AlBaqarah ayat 180 juga tentang ayat-ayat kewarisan yang salah satunya telah
disebutkan diatas, maka tidak wajib, khususnya untuk kerabat dekat. Akan tetapi
jika dikaitkan dengan sifat hukum, maka hukum wasiat bisa bermacam-macam.
Adakalanya hukum wasiat menjadi wajib apabila wasiat itu ditujukan untuk
membayar hutang atau mengembalikan barang titipan.43

195-196.

41

Ismail Ibnu Kastir, Tafsir Al-Quran Al-Azim, Beirut : Al-Maktab Al-Ilmiyah, 1994, hlm.

42

Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit., hlm. 109.


Ibid,

43

40

Hukum wasiat menjadi sunnah apabila wasiat tersebut ditujukan kepada


kerabat yang tidak menerima warisan atau untuk membuat kebijakan secara
umum. Hukum wasiat menjadi mubah apabila wasiat tersebut di tujukan untuk
saudara dan para kerabat yang kaya. Dan adakalanya hukum wasiat menjadi
haram apabila wasiat ditujukan untuk kejelekan dan kemaksiatan.44
Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah
dari surat Al-Baqarah ayat 180-181 yang intinya dapat dituturkan sebagi berikut:
Bahwa orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sedangkan ia memiliki harta
peninggalan yang cukup banyak maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua
orang tuanya dan kerabat-kerabatnya. Dan sesungguhnya orang yang mengubah
isi wasiat tersebut akan menanggung akibatnya.45
Pada akhirnya sebagai tindak lanjut pendapat-pendapat tersebut di atas,
para fuqaha tidak membatasi tentang siapa-siapa yang memperoleh wasiat itu,
asalkan dengan syarat orang yang menerima wasiat tersebut mempunyai
kecakapan dalam memegang harta di samping dia bukan termasuk ahli waris.

44

Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Islami Wa Adiillatuh,, Beirut : Dar Al-Fikr, 1989, hlm., 12-13.
Amrullah Ahmad, et.al, Dimensi hukum Islam Di Indonesia Dalam Sistem Hukum Nasional
Mengenang 65 th Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. Xiii.
45

BAB III
PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG WAJIBNYA WASIAT WAJIBAH
KEPADA KERABAT NON MUSLIM
A. Biografi Ibnu Hazm
1.

Latar Belakang Kehidupan Ibnu Hazm


Ibnu Hazm adalah seorang ulama dari golongan Dzahiri yang sangat
terkenal pemikirannya yang tesktual dalam dalil Al-Quran maupun Hadits
Nabi. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui
lebih mendalam tentang pribadinya serta peninggalannya yang telah
membuat

orang

memperhatikannya,

menghormatinya

dan

semakin

mengagungkannya.
Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali Ibnu Ahmad Ibnu Said Ibnu
Hazm Ibnu Ghalib Ibnu Shalih Ibnu Sufyan Ibnu Yazid. Ibnu Hazm lahir di
akhir Ramadan (384 H/ 7 November 994 M Manta Lisma, 28 Syakban 456
H/15 Agustus 1064 M) di Andalusia (sekarang Spanyol dan Portugal) pada
tahun 384 H.1 Tetapi beliau lebih terkenal dengan nama Ibnu Hazm. Ulama
besar dari Spanyol, ahli fikih dan ushul fikih, ahli Hadits dan ahli di bidang
ilmu kalam (Teologi Islam). Beliau adalah pengembang mazhab Adz-

Ibnu Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla Bi al-Atsar, Juz I, Beierut : Dar Kutub Al-Ilmiyah,
t.th, hlm. 5.

42

Dzahiri.2 Ibnu Hazm juga berasal dari keluarga bangsawan arab yang
berkedudukan sebagai menteri Kerajaan Arab Islam Kakeknya bernama
Yazid adalah bangsawan Persia, Maula Yazid Ibnu Abi Sufyan, saudara
muawiyyah yang diangkat oleh Abu Bakar menjadi panglima tentara yang
dikerahkan untuk mengalahkan negeri Syam. Dengan demikian Ibnu Hazm
seorang yang berkebangsaan Persia yang di masukkan ke dalam golongan
Quraisy dengan jalan mengadakan sumpah setia dengan Yazid Ibnu Abi
Sufyan itu, karenanyalah Ibnu Hazm telah memeluk Islam sejak dari
kakeknya yang tertingi yaitu Yazid.3
2.

Pertumbuhannya
Ibnu Hazm datang dari keluarga terhormat dan berkecukupan,
ia dibesarkan dalam keluarga kaya. Namun demikian ia memusatkan
perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari harta dan kemegahan. Ia
menghafal Al-Quran dari purinya, diajarkan oleh inang pengasuhnya yang
merawatnya. Ayahnya memberi perhatian yang penuh kepada pendidikannya
dan memperhatikan bakat dan arah kehidupannya. Oleh karena gerakgeriknya di dalam istana diawasi dengan ketat oleh inang pengasuhnya,
maka terpeliharalah dia dari sifat-sifat anak muda, ia mempelajari ilmu-ilmu
yang dipelajari oleh pemuda-pemuda bangsawan dan penguasa, yaitu
2

608 .

Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm.

Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang : Pustaka Rizki


Putra, 1997, hlm. 545.

43

menghafal Al-Quran, menghafal sejumlah syair dan menghadapi guru-guru


utama untuk memperoleh ilmu dan meneladani akhlak mereka.4
Sebagai seorang anak pembesar, Ibnu Hazm mendapat pendidikan
dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya ia dibimbing dan di asuh oleh
guru-guru yang mengajarkan Al-Quran, syair dan tulisan indah arab (khatt).
Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya
yang bernama Husein Ibn Al-Farisi dan Ahmad Muhammad Bin Jasur.
Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainya, seperti filsafat, bahasa,
teologi, etika, mantik dan ilmu jiwa disamping memperdalam fikih dan
Hadits.5
Tokoh yang terkenal sangat kritis ini pada mulanya adalah penganut
Mazhab Syafii

yang ia dalami dari ulama Syafiiyah

di Cordova.

Kemudian ia tertarik dengan mazhab Dzahiri, setelah ia mendalaminya lewat


buku-buku dan para ahlinya yang di daerah itu, dan akhirnya ia terkenal
sebagai seorang paling gigih mempertahankannya. Bahkan ada yang
menyebutnya sebagai pendiri kedua dari madzhab yang hampir terbenam
itu.6

Ibid., hlm. 546.


Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993, hlm. 148.
6
IAIN Syrif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Jambatan, 1992 hlm. 358.
5

44

Pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fikih mazhab Maliki karena


kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika Utara menganut mazhab ini.7
Al-Muwattha sebagai kitab fikih standar untuk Mazhab Maliki di
pelajarinya dari gurunya, Ahmad bin Muhammad bin Jasur, tidak hanya AlMuwattha Ibnu Hazm pun mempelajari Kitab Ikhtilaf Imam Malik.
Menurutnya, meskipun ia menyukai mazhab maliki akan tetapi ada yang
lebih disenanginya, yaitu kebenaran. Hasil pemahaman Ibnu Hazm dari
kitab lain mendorongnya untuk mendalami kitab fikih yang dikarang oleh
Imam Syafii dan murid-muridnya. Akan tetapi di mazhab ini pun ia tidak
bertahan lama. Selanjutnya ia tertarik dan pindah ke Mazhab Adz-Dzahiri
setelah ia mempelajari kitab fikih karangan Munzir Bin Said Al-Ballut (w.
355 H), seorang ulama dari Mazhab Adz-Dzahiri.8
Berbagai ilmu pengetahuan keislaman lainnya sempat dikuasainya.
Ia menekuni dan mendalami ilmu-ilmu keislaman, terutama setelah ia
meninggalkan suatu jabatan dalam pemerintahan waktu itu, karena dengan
kedudukannya itu, ia di pandang kurang berwibawa, bahkan banyak
mendapat kecaman dari sebagian kalangan ulama. Karena itu jabatan
tersebut ditinggalkannya dan memutuskan untuk selanjutnya mendalami
ilmu-ilmu keislaman, terutama mengenai aliran-aliran hukum dalam Islam.

Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazhahib Al-Islamiyah, Juz I, Beirut : Dar Kutubil
Ilmiyah, 1989, hlm. 555.
8
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit,.

45

Sehingga pada akhirnya ia muncul sebagai seorang ulama yang amat kritis
baik terhadap ulama pada masanya, maupun terhadap yang sebelumnya.9
3.

Kegiatan Di Bidang Politik


Ibnu Hazm datang dari keluarga terhormat, ayahnya adalah Ahmad
bin Said bin Hazm Al-Andalusi. Seorang menteri pada masa pemerintahan
Khalifah Bani Umayyah. Hisyam II (401 H / 1010 M - 404 H / 1013) dan
Sulaiman II (404 H / 1013 M - 407 H / 1016 M) pada masa kanak-kanak
dan remajanya, Ibnu Hazm mendapat pendidikan di lingkungan istana, akan
tetapi kehidupan di istana tidak berlangsung lama. Hanya sampai pada usia
14 tahun, Ibnu Hazm dapat menikmati kehidupan di istana. Karena
pergolakan politik yang mengakibatkan ayahnya jatuh dari kekuasaannya.10
Setelah di Spanyol terjadi peristiwa-peristiwa politik yang membuat
kehidupan keluarganya berganti suasana.
Sebagai anak seorang menteri dan hidup dilingkungan istana, Ibnu
Hazm mulai berkenalan dengan politik ketika ia berusia lima tahun. Pada
waktu itu terjadi kerusuhan politik dalam masa

pemerintahan Khalifah

Hisyam II al-Muaiyyad (1010 M 1013 M) yang mengakibatkan Hisyam


beserta ayah Ibnu Hazm di usir dari lingkungan istana. Keterlibatan Ibnu
Hazm di bidang politik secara langsung terjadi pada masa pemerintahan
Khalifah Abdurrahman V al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hisyam III
9

Ensiklopedi Islam Indonesia, loc,cit,.


Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit, hlm. 608

10

46

Al-Mutamid (1027 M 1031 M). Pada masa kedua khalifah ini Ibnu Hazm
menduduki jabatan menteri.11 Di dunia politik, berbagai percaturan politik
tidak asing lagi baginya, dalam gerakan politiknya Ibnu Hazm memihak dan
mendukung dinasti Bani Umayyah.
Kekuasaan Abdurrahman ini tidak berlangsung lama karena dia dapat
di bunuh secara gelap, lalu penolong-penolongnya dan penyokongpenyokongnya di tindak dan di usir. Ibnu Hazm tertawan dan mendekam
dalam tawanan beberapa lama. Setelah dibebaskan pada tahun 409 H.
Sesudah 6 tahun meninggalkan kota itu, dia kembali ke Cordova untuk
menyaksikan kehancuran kota itu. Meskipun

Ibnu Hazm telah

meninggalkan dunia politik, namun ia tetap mendukung kepada Bani


Umayyah dan ingin melihat kebesaran mereka.12
4.

Keilmuannya
Selaku anak seorang wazir, pada masa kecilnya ia diasuh dan di didik
oleh para inang pengasuhnya. Setelah beranjak besar dan menghafal AlQuran ia diasuh dan di didik oleh Abu Husain Al-Fasi, seorang yang
terkenal saleh, zahid dan tidak beristri. Al-Fasi inilah yang petama sekali
membentuk dan mengarahkan Ibnu Hazm, sehingga hasil didikan Al-Fasi
sangat terkesan pada dirinya. Al-Fasi membawa Ibnu Hazm ke majlis

11
12

Dewan Redaksi, loc.cit,.


Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit,. hlm. 547.

47

pengajian Abu Al-Qosim Abdur Rahman Al-Azdi (w. 410) untuk belajar
bahasa arab dan Hadits.
Ilmu Fikih dipelajarinya pada Abdullah bin Yahya Ibn Ahmad Ibn
Dahlan, Mufti Cordova dan Ibn Fardli wafat terbunuh oleh tentara barbar
pada tahun 403 H, seorang ahli dalam bidang Hadits, Rijal (biogarfi perawi
Hadits), Adab (peradaban) dan Sejarah.13
Dalam bidang tafsir dipelajarinya kitab tafsir Baqi Ibnu Makhlad,
teman Ahmad bin Hambal, Kitab ini oleh Ibnu Hambal di nilai tak ada
taranya. Ibn Hazm mempelajari juga kitab tafsir Al-Ahkam Al-Quran,
tulisan Umayyah Al-Huzaz bermazhab Syafii dan kitab Al-Qadli Abu AlHakam Ibn Said yang sangat keras membela mazhab Daud Dzahiri.14
Menurut Ibnu Hazm ada tiga macam hukum yang secara tegas di
terapkan oleh agama dan terdapat di dalam Al-Quran, Hadits dan Ijma
Sahabat, yaitu wajib, haram, dan mubah. Bagi Ibnu Hazm tidak ada tempat
bagi rayu (akal) untuk terlibat secara langsung di dalam menetapkan
hukum. Oleh karena itu, ia hanya mengakui empat macam dalil hukum yang
dijadikan sumber dan sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu Al-Quran,
Hadits, Ijma Sahabat, dan Dzahir (lahir) nash yang mempunyai satu arti
saja.15

13

Ibid., hlm. 556.


Ibid., hlm. 558.
15
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit,.
14

48

Pada mulanya Ibn Hazm mempelajari fikih Maliki, karena gurugurunya bermazhab dengan mazhab itu. Selain itu mazhab Maliki adalah
mazhab resmi di Andalusia. Ibnu Hazm pernah mengatakan bahwa dua
mazhab yang berkembang melalui tangan kekuasaan penguasa adalah
mazhab Hanafi di Timur dan mazhab Maliki di Barat.16
Ibnu Hazm menemukan kritikan-kritikan yang dilakukan oleh AsySyafii terhadap Maliki. Karena itu ia pun mempelajari mazhab Syafii
dengan sungguh-sungguh, walaupun mazhab ini tidak populer di Andalusia.
Ketika guru-gurunya dan penganut mazhab Maliki bertanya kepadanya, ia
menjawab : Uhibbu Malikan Walakin Mahabbati lil Haqqi Akbaru Min
Mahabbati li Malikin = Aku mencintai malik, akan tetapi cintaku kepada
kebenaran lebih besar daripada cintaku kepada malik. Ibnu Hazm pun
beralih dari mazhab Maliki ke mazhab Syafii. Ibnu Hazm mengagumi
Syafii karena ia teguh berpegang kepada nash dan qiyas yang di qiyaskan
kepada nash. Namun pada akhirnya ia tertarik pada mazhab Dzahiri yang
dikembangkan oleh Daud al-Asbahani. Mazhab Dzahiri berprinsip hanya
berpegang pada nash semata, kalau tidak ada nash baru di pakai Istihsan.17
Mazhab inilah yang dipeganginya sampai ke akhir masa hayatnya.

16
17

Hasbi Ash-Shiddieqy, loc,cit,.


Ibid., hlm. 557.

49

5.

Karya-Karya Ibnu Hazm


Menurut pengakuan putranya, Abu Rafi Al-Fadl Bin Ali, sepanjang
hidupnya Ibnu Hazm sempat menulis lebih kurang 400 judul buku yang
meliputi lebih kurang 80.000 halaman. Buku-buku tersebut mencakup
disiplin ilmu. Namun tidak semua bukunya dapat ditemukan karena banyak
yang dibakar dan dimusnahkan oleh

orang-orang yang tidak sepaham

dengan Ibnu Hazm. Beberapa dari buku-buku tersebut adalah sebagai


berikut:
a. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam (8 jilid), memuat ushul fiqh Mazhab
Adz-Dzahiri, menampilkan juga pendapat-pendapat ulama di luar
Mazhab Adz-Dzahiri sebagai perbandingan ;
b. Al-Muhalla (13 jilid), buku fikih yang di susun dengan metode
perbandingan; penjelasan luas; Argumen Al-Quran, Hadits dan ijma
yang dikemukakan pun memadai;
c. Ibtal Al-Qiyas, pemikiran dan berbagai argumentasi dalam menolak
kehujahan qias;
d. Tauq Al-Hamamah, karya autobiografi Ibnu hazm yang meliputi
perkembangan pendidikan dan pemikirannya, ditulis pada tahun 418 H;
e. Nuqat Al-Arus Fi Tawarikh Al-Khulafa, yang mengungkap para
khalifah di Timur dan Spanyol;
f. Al-Fasl Fi Al-Milal Wa Al-Ahwa Wa An-Nihal. Teologi yang disajikan
dalam metode perbandingan agama dan sekte-sekte dalam Islam;

50

g. Al-Abtal, pemaparan Ibnu Hazm mengenai argumen-argumen mazhab


Adz-Dzahiri;
h. At-Talkhis Wa At-Takhlis, pembahasan rasional masalah-masalah yang
tidak disinggung oleh Al-Quran dan Sunnah ;
i. Al-Imamah Wa Al-Khilafah Al-Fihrasah, sejarah Bani Hazm dan asal
usul leluhur mereka;
j. Al-Akhlaq Wa As-Siyar Fi Mudawwanah An Nufus,

sebuah buku

sastra Arab ;
k. Risalah Fi Fadail Ahl Al-Andalus, catatan-catatan Ibnu Hazm tentang
Spanyol, ditulis khusus untuk sahabatnya, Abu Bakar Muhammad Bin
Ishaq.18
B. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat Wajibah
Kepada Kerabat Non Muslim
Sebelum penulis memaparkan tentang istinbath hukum Ibnu Hazm yang
berkaitan dengan wajibnya wasiat wajibah kepada kerabat non muslim terlebih
dahulu akan penulis kemukakan berbagai metode istinbath hukum Ibnu Hazm
secara global. Ibnu Hazm terkenal sebagai salah satu tokoh mazhab Adz-Dzahiri
dan paling banyak mempelajari mazhab-mazhab lain sehingga terkenal dengan
tokoh radikal yang kontroversial.

18

Dahlan Abdul Aziz, op.cit., hlm. 610.

51

Ibnu Hazm sebagai ulama yang kebetulan minhaj yang ditempuhnya


sama dengan minhaj yang di tempuh oleh Daud Adz-Dzahirii yang di dalam
meletakkan hukum banyak berbeda
disebabkan

dengan ulama pada umumnya. Hal ini

karena Ibnu Hazm mempunyai metode tersendiri di dalam

memahami nash Al-Quran maupun Hadits, yaitu minhaj Adz-Dzahiri yang jauh
berbeda dengan minhaj yang ditempuh oleh kebanyakan ahli Ushuliyyin.
Ibnu Hazm adalah seorang tokoh fiqh yang menghidupkan Fiqh Dzahiri
atau menghidupkan ilmu Al-Quran. Kecakapan dapat menampung hukum
dengan segala kejadiannya. Beliau beralasan dengan mengungkapkan firman
Allah Swt dalam Surat Al-Maidah ayat : 3

!"

#
- , ()*%+&'$%!"

Artinya : Hari ini Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
kucukupkan kepadamu nikmatku dan telah kuridhai Islam itu jadi
agama bagimu.19
Dengan turunnya ayat ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa agama Islam
telah sempurna dan sesuatu yang sempurna itu tidak ada sumbernya untuk
ditambahi. Sebagaimana tersebut diatas bahwa minhaj Ibnu Hazm adalah Dzahiri
hal ini bisa dilihat melalui pendapatnya tentang wasiat, beliau berpendapat bahwa
19

Depag Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro,


1994, hlm. 153.

52

wasiat itu wajib dilakukan oleh orang yang meninggal dunia dan ia meninggalkan
harta yang banyak untuk berwasiat. Kemudian wasiat itu diperuntukkan kepada
para kerabatnya yang terhalang mendapat harta pusaka orang yang meninggal.
Ibnu Hazm dalam beristinbath juga mempergunakan akal, dan hal ini
kebanyakan orang yang telah menyangka bahwa Ibnu Hazm dalam beristinbath
tidak berpegang pada akal sama sekali, padahal sesungguhnya Ibnu Hazm
mempergunakan akal sebagai salah satu sendi dalam mempelajari dan mencari
Problem Solving dalam keislaman, dengan dalil aqli dia berpegang kepada akal
dan menetapkan keesaan Allah, kebenaran Nabi dan kemukjizatan dalam AlQuran adalah perintah Allah.20
Sebagaimana ulama-ulama lain Ibnu Hazm dalam beristinbath selalu
mendasarkan

pada

dua

sumber

Al-Quran

dan

Al-Hadits.

Dalam

mengistinbathkan (mengambil atau menetapkan) suatu hukum, Ibnu Hazm dalam


kitabnya Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam menjelaskan bahwa ia dalam beristinbath
menggunakan 4 (empat) dasar pokok yaitu Al-Quran, Al-Sunnah, Ijma dan
Dalil.
Kemudian bagaimana Ibnu Hazm memahami Al-Quran memahami AsSunnah dan bagaimana mengahadapi sesuatu yang berpautan dengan Al-Quran
dan As-Sunnah.
20

Ibnu Hazm, Ihkam Fi Ushul Al- Ahkam, Beirut : Dar Kutubil Ilmiyah, tp. tt., hlm. 66.

53

1. Al-Quran
Ibnu Hazm berkata :

> D3E > ?@ A B %C =%. /01 2*34 5/ 6 7 8 3 !1 9 : ;<


GE H G G I; %J F 5 @ %KL MN ' ; F :
#
%.T 1L U V 1 %. / U " =A/< O% 2P Q%P L 3 + R %ES
' )W
Dasar-dasar yang tidak diketahui sesuatu syara melainkan dari pada
dasar-dasar itu ada empat, yaitu nash Al-Quran, nash kalam Rosullulah
yang sebenarnya datangnya dari pada Allah juga yang shahih kita terima
dari padnya dan dinukilnya oleh orang-orang kepercayaan atau yang
mutawatir dan yang di ijma oleh semua umat dan suatu dalil dari padanya
yang tidak mungkin menerima selain dari padanya yang tidak mungkin
menerima selain dari suatu cara.21
Ibnu Hazm menetapkan bahwasanya Al-Quran adalah kalam Allah
merupakan sumber dari segala sumber. Tidak ada suatu dalil syari melainkan
di ambil dari Al-Quran itu, maka barang siapa berkehendak mengetahui
syariat-syariat Allah, dia akan menemukan dalam Al-Quran ada dalam
sunnah nabi, adakalanya terdapat dalam ijma yang bersendikan sunnah.22

21
22

Hasby Ash-Shieddiqi, op. cit, hlm. 318.


Ibid, hlm.320.

54

2. As-Sunnah
Ibnu Hazm menetapkan Al-Quran sebagai sumber dari segala sumber,
dan beliau memandang As-Sunnah masuk ke dalam nash-nash yang turut
membina syariat walaupun hujjahnya diambil dari Al-Quran. Dalam hal ini
Ibnu Hazm berkata :

X %YL GZ %)T Z % 3[ 2*34 \ G L Q T3+ U; < @ D3E D % B%+


G 3 %^; GZ : E! 0UT _` %)T
; F : GB%3/ %/ A %]
aW D e NB% IfZ - ?W ! aW 1L @ DL M b 5 cd ! %/ &, ;
%^ i j k/ / aW %l)W , g Hh ?
; G ,UT ` F 5/
%[ `m / 1 j k/no : E/ _p 3/ aW q%S ' D3E @ %[ `m /
' 0 G F ? ; F : 5 " st @ =O 3E/ G r / 1
Tatkala kamu telah menerangkan bahwasanya Al-Quran adalah pokok
pangkal yang harus kita kembali kepadanya dalam menentukan hukum,
maka kami pun memperhatikan isinya, lalu kami dapati di dalamnya
keharusan mentaati apa yang Rosulullah suruh kita kerjakan, dan kami
dapati Allah swt. Mengatakan dalam Al-Quran untuk mensifatkan
Rosulnya. Dan dia tidak menuturkan sesuatu dari hawa nafsunya, tidaklah
yang dituturkan itu melainkan apa yang diwahyukan kepadanya sahlah
bagi kami bahwasanya wahyu yang datang dari Allah terbagi dua ;
pertama wahyu yang dibacakan yang merupakan mujizat, yang kedua
wahyu yang diriwayatkan dan dinukilkan yang tidak merupakan mukjizat
dan tidak disyariatkan kita membacanya sebagai ibadah, namun demikian
dia tetap dibacakan dan itulah bentuk Hadits Rosulullah.23

23

Ibnu Hazm, Ihkam Fi Ushul Al- Ahkam, op. cit. hlm. 95.

55

Sudah jelas bahwa As-Sunah merupakan hujjah, menurut ketetapan


Al-Quran. Jadilah As-Sunnah merupakan bagian yang menyempurnakan AlQuran.
Ibnu Hazm berkata:

% C \ )W 6 7 %l ' u v L 8 %w/ %.w B I xf st D3E


{ 1 G

|F

] / 5!N{%.! %! z y% :%hUT ` y% F ) 5/

'zD H! 1 @ %

%h5!N{%#

1 =|D H } G

Al-Quran dan Hadits yang shahih sebagiannya disandarkan kepada


sebagianya. Keduanya dipandang satu, dalam arti kedua-duanya datang
dari sisi Allah s.w.t. Allah berfirman Hai segala orang yang telah
beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rosul jang kamu berpaling dari
padanya, sedang kamu melanggar apa yang dituturkannya dan janganlah
kamu seperti orang yang mengatakan kami telah mendengar padahal
mereka tidak mendengar . 24
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Ibnu Hazm memandang
Al-Quran dan As-Sunnah merupakan satu kesatuan. Karena keduanya ialah
wahyu dari Allah sebagian jalan menyampaikan syariat Islam kepada
manusia. Ibnu Hazm menetapkan bahwa syariat Islam hanya mempunyai satu
sumber yang bercabang dua, dan kedua-duanya sama kekuatannya dalam
menetapkan hukum, walaupun cabang yang pertama merupakan pokok bagi
cabang yang kedua yaitu As-Sunnah. Dengan demikian nyatalah

24

Ibid., hlm. 96.

bahwa

56

sumber-sumber hukum syara disisi Ibnu Hazm hanya tiga yaitu : Nushush
yang terdiri dari Al-Quran dan As-Sunnah, Ijma dan hukum yang dibina atas
nash dan ijma dinamakan Dalil.25
Sependapat dengan sebagian ulama Syafiiyah bahwa seluruh Ahlu
Dhahir mengatakan bahwa menjadi hujjah di antara bagian sunnah hanyalah
ucapan, perbuatan-perbuatan Nabi yang dibarengi dengan ucapan, atau ada
qarinah yang menunjuk kepada wajib, atau perbuatan itu merupakan
pelaksanaan dari perintah.
Ada suatu pendapat dalam kalangan Syafiiyah, Malikiyah dan
Hanafiyah, yaitu segala perbuatan Nabi ditawaqqufkan kedudukannya,
beberapa ulama dari golongan Hanafiyah dan Malikiyah menetapkan bahwa
perbuatan-perbuatan Nabi menunjuk kepada wajib bahkan lebih kuat dari
perintah.26
3. Ijma
Metode istinbath hukum ketiga yang dipakai Ibnu Hazm adalah Ijma.
Dalam menanggapi Ijma Ibnu Hazm berkata; Kami telah sepakat dan
kebanyakan orang yang menyalahi kami, bahwasanya ijmadari segenap

25
26

Hasby, op. cit., hlm 327.


Ibid., hlm. 328.

57

ulama Islam adalah hujjah dan suatu kebenaran yang meyakinkan dalam
agama Allah .27
Ijma yang ditetapkan Ibnu Hazm ialah ijma yang mutawatir, yang
bersambung sanadnya kepada Rasul, terhadap suatu urusan yang dapat
diketahui dengan mudah bahwa dia itu agama Allah yang bersendikan nash.
Karenanya segala ijma yang tidak bersandarkan nash, bukanlah ijma.
Karena menurut Ibnu Hazm sanad dari ijma hanyalah nash. Dalam
hal ini beliau berkata :

U# = ( 3hL %/L G/ U Z G/ # %/L > e ~ > 5 1L Q %P L 1


Q%P L G_ \ ( " I xf %^# ( T (N@no ? % %P L ? _" 5/
Tidak ada ijma melainkan karena ada nash. Nash itu adakalanya sabda
nabi adakala perbuatannya, adakala taqrirnya. Semua orang yang
mengalami ada ijma atas selain jalan-jalan ini niscaya kami memintakan
kepadanya membenarkan perkataannya itu, yaitu bahwasanya yang
demikian telah di ijmai . 28
4. Dalil
Dasar yang keempat dari dasar-dasar istinbath yang di tempuh Ibnu
Hazm dan golongan Dzahiriyah ialah Dalil. Sebenarnya dalil tersebut tidak
berbeda jauh dari qiyas. Hal ini telah diungkapkan oleh Khatib Al-Baghdadi.
Golongan Dzahiriyah mengatakan bahwa dasar yang mereka menamakan
dalil itu tidak keluar dari nash. Dalil menurut Ibnu Hazm berbeda dengan

27
28

Ibid., hlm. 345.


Ibid., hlm. 348.

58

qiyas. Qiyas dasarnya mengeluarkan illat dari nash dan memberikan hukum
nash kepada segala yang padanya terdapat illat itu, sedangkan dalil langsung
di ambil dari nash.29
Ulama Dzahiri secara teoritik berpendapat bahwa setiap hukum yang
ditetapkan berdasarkan qiyas adalah batil. Namun secara praktis mereka
terpaksa menggunakan Qiyas, yang dinamakan al-Dalil namun hal ini di tolak
oleh Ibnu Hazm, ia berkata ; Orang-orang yang tidak mengetahui,
menyangka, bahwa pendirian kami memegang dalil, keluar (menyimpang)
dari nash dan ijma. Dan itu ada lagi orang yang menyangka bahwa dalil dan
qiyas itu satu, maka kesalahan mereka dalam sangkaan itu, adalah sesuatu
kesalahan yang amat buruk .30
5. Istishab
Ibnu Hazm menggunakan Istishab sebagai salah satu metode istinbath
hukum. Ibnu Hazm mentarifkan Istishab sebagai berikut : Hukum asal yang
selain ada dengan nash kekal hingga ada dalil yang mengubahnya .
Ibnu Hazm mempergunakan dasar Istishab dalam segala bidang,
bukan sebagai golongan Hanafiyah atau Malikiyah yang memakai Istishab
dalam bidang menolak tuduhan, bukan dalam bidang menetapkan hak.
Mereka mengatakan bahwa Istishab digunakan untuk menetapkan hak-hak
yang telah ada, selama belum ada dalil yang menghilangkan hak, tetapi tidak
29

Ibid., 349-350.
Ibnu Hazm, Ihkam Fi Ushul Al- Ahkam, op. cit hlm. 98.

30

59

menetapkan hak-hak baru atas dasar istishab. Syafiiyah dan Hanbaliyah


berpendapat bahwa Istishab dapat digunakan untuk menetapkan hak baru dan
untuk menetapkan hak yang lama.31
Inilah beberapa dalil yang dipegang Ibnu Hazm bersama-sama
golongan Dzahiriyah dalam beristinbath, dan inilah natijah-natijah yang
dicapai Ibnu Hazm dengan mempergunakan dalil-dalil itu. Pokok dalildalilnya ialah nash dan ijma. Dari keduanya dikeluarkan satu dasar yang
dinamakan dalil. Dalil ini tidak dapat dinamakan qiyas, walaupun qiyas juga
merupakan Dalalatul Aula, yang oleh ulama ushul dinamakan Dalaalatun
Nash, atau Mafhum Muwafaqoh, atau Fatwa al-Khitab.
Demikianlah sumber-sumber hukum yang dipakai oleh Ibnu Hazm
dalam beristinbath yaitu dengan mengambil dzahir nah, jika tidak
menemukan dalil dari sumber-sumber tasyri. Sehingga Ibnu Hazm
mengunakan apa yang dinamakan Dalil sehinga beliau menolak Qiyas.
Ibnu Hazm memberi pengertian bahwa yang berpegang kepada Qiyas
hanyalah ulama mutaakhirin. Dasar pokok Ibnu Hazm menolak Qiyas adalah
bahwa nash-nash syara yang menerangkan segala apa yang kita perlukan.
Perintah-perintah dan larangan syara ditetapkan dengan nash dan ijma tidak
dapat seorang menambahnya, segala yang lain dari yang disuruh dan dicegah,
adalah mubah, dan kemubahannya itu bukan karena hukum asal bagi sesuatu

31

Hasby, op. cit., hlm. 358.

60

adalah mubah tetapi karena nash-nash itu memubahkan segala yang tidak
dilarang.32
C. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat Wajibah Kepada Kerabat
Non Muslim
1.

Wasiat Wajibah Menurut Ibnu Hazm


Dalam memandang hukum wasiat, Ibnu Hazm berpendapat bahwa
wasiat itu wajib atas setiap orang yang meninggalkan harta. Karena
kewajiban wasiat tersebut berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan
harta, maka apabila seseorang meninggal dunia dan orang itu tidak
berwasiat, hartanya haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi
kewajiban wasiat tersebut.33
Sementara itu karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum
muslimin adalah penguasa (Waliyul Amri), dan urusan wasiat ini termasuk
salah satu urusan pada diri setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa
haruslah

bertindak

untuk

memberikan

sebagian

harta

peninggalan

sebagaimana tersebut diatas guna memenuhi kewajiban hukum wasiat.34


Dengan demikian pengertian wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm
didefinisikan dengan wasiat yang ditetapkan oleh penguasa (dilaksanakan
32

Ibid., hlm. 367.


Ibnu Hazm, Al-Muhalla, juz IX, Op. Cit., hlm. 313.
34
Hasby Ash-Shiddieqi, Fiqh Mawaris, Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 301.
33

61

hakim) untuk orang-orang tertentu yang

tidak diberi wasiat oleh orang

yang meninggal dunia, sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya


berlaku kewajiban wasiat.
Adapun dasar hukum adanya wasiat, menurut Ibnu Hazm adalah
berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Ayat-ayat yang menjadi rujukan
Ibnu Hazm antara lain adalah surat al-Baqarah (2) : 180 dan an-Nisa (4) :
12, sedangkan Hadits nabi didasarkan kepada riwayat Malik dari Nafi dari
Umar.35
Kemudian Hadits yang diriwayatkan dari jalan Tariq bin Malik dari
Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah yang telah penulis sebutkan
dalam Bab II,

dijadikan dasar wajib disedekahkan sebagian harta

peninggalan orang yang tidak berwasiat.


Adanya pendapat Ibnu Hazm tentang wajibnya wasiat, dapat terjadi
karena beliau mengambil arti dzahir atau harfiahnya nash Al-Quran dan AlHadits yang telah disebutkan di atas. Menurut beliau, nash (baik Al-Quran
dan al-Hadits), haruslah di pahami secara langsung dari arti dzahirnya
sebagaimana telah ditegaskan ;

M3 ZL )EZ aW

35

^ %B%. :)! 1 q %/ ] ^ 3@ % 3 5/
.UT ` F ?

Ibnu Hazm, Al-Muhalla, loc. cit.

62

Kami telah sepakat dan kebanyakan orang-orang yang menyalahi kami,


bahwasanya ijma dari segenap ulama islam adalah hujjah dan suatu
kebenaran yang meyakinkan dalam agama Islam. 36
Dalam pendapatnya yang demikian ini, beliau beralasan dengan
firman Allah dala surat al-Baqarah (2) : 181 yang artinya : Maka barang
siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.37
Berdasarkan firman Allah tersebut, maka lafadz Tabdil itu tidak ada
arti lainnya kecuali mengalihkan pembicaraan dari kedudukan serta
runtutnya kepada arti lain tanpa ada dalil nash maupun ijma. Dengan
demikian, maka menurut beliau mengikuti Dzahir Nash itu adalah dilarang.
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 190

' 5!)
-

x! 1 |F {DL ) 1 }

%E! 5!N{ F U vH Z

%h

,(3Ev&

Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi


kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena

36
37

Ibnu Hazm, Ihkam Fi Ushul Al- Ahkam, Juz III, op. cit., hlm. 292.
Depag Republik Indonesia, op. cit., hlm. 46

63

sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampai


batas . (QS. Al-Baqarah : 190)38
Adapun orang yang berhak menerimanya, Ibnu Hazm berpendapat
bahwa yang berhak menerima wasiat adalah kerabat yang tidak menerima
warisan. Menurut ketegasan ayat di atas, dapat diketahui bahwa hukum
wasiat adalah wajib, kemudian kewajiban berwasiat kepada orang tua dan
para kerabat yang tidak dapat menerima warisan dikeluarkan dengan adanya
Hadits dari Abu Umamah dari Rasulullah Saw. bersabda sebagai berikut
Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap orang yang punya hak
atasnya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris. 39
Oleh karena itu kewajiban pemberian wasiat tersebut tinggal para
kerabat yang tidak dapat menerima warisan, baik dikarenakan ia menjadi
budak atau berbeda agama atau adanya kerabat lain yang menghalangi atau
mungkin memang karena ia tidak berhak mendapatkan warisan.
Selanjutnya Ibnu Hazm menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
para kerabat adalah orang-orang yang apabila dinasabkan akan diketahui
bahwa mereka berada pada garis keturunan yang sama dengan orang yang
meninggal dunia, dalam garis ibu atau ayah atau bahkan dalam garis ayah
dan ibu secara bersamaan. Dan orang-orang tersebutlah yang dimaksud
38
39

Ibid,
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Ja karta : Al-Kautsar, 2002, hlm. 337.

64

dengan para kerabat. Oleh karena itu, mengartikan para kerabat dengan
selain orang-orang tersebut di atas adalah tidak mempunyai dasar yang
kuat.40
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah
menurut Ibnu Hazm adalah orang-orang yang jika ditelusuri lewat garis
keturunannya, berada dalam garis yang sama dengan si pewasiat baik lewat
garis bapak atau ibu atau bahkan keduanya.
2.

Wasiat Wajibah Kepada Kerabat Non Muslim Menurut Ibnu Hazm


Sudah menjadi kesepakatan para ulama (ijma) bahwa perbedaan
agama (muslim dan non muslim) merupakan salah satu faktor penghalang
untuk dapat mewarisi. Hal tersebut dapat dilihat dalam salah satu kitab
fiqih:

'5!) 8 =U E =3 ?@ 2 / A ? O%.E^ c^
Telah

sepakat para ulama (fuqaha) bahwa ada tiga hal yang dapat

menghalangi untuk mewarisi, yaitu perbudakan, pembunuhan

dan

perbedaan agama. 41
40
Eko Budiono, Wasiat Wajibah Menurut Berbagai Referensi Hukum Islam Dan
Aplikasinya Di Indonesia , Dalam Mimbar Hukum Nomor : 63 Tahun 2004, Jakarta : Al-Hikmah,
hlm.105.
41
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al- Islamy wa Adillatuh, Juz VIII, beirut : Dar al-Fiqr, 1989,
hlm. 255.

65

Berkenaan dengan perbedaan agama, yang disepakati para ulama


tersebut

hanya sebatas ahli waris non muslim, baik sejak awal tidak

beragama Islam (kafir) atau keluar dari agama Islam (murtad), tidak dapat
mewarisi pewaris muslim.

42

kesepakatan para ulama tesebut didasarkan

pada Hadits Nabi Saw. Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Usamah Ibnu Zaid yang ungkapannya sebagai berikut :

=3Z%# H+ 3!1z, :%h

G F ? ; D )! 5B A/% 5

-G c^/&z H/3Z% 1

Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang non muslim demikian juga
tidak mewarisi orang non muslim terhadap orang muslim.
Sedangkan menurut Muazd Ibnu Jabal Muawiyah, masruk (Generasi
Sahabat Dan Ibnu Musayab generasi tabiin) serta kalangan Syiah
Imamiyah ahli waris muslim dapat mewarisi pewaris non muslim, dengan
alasan Islam itu tinggi dan tidak dapat diungguli ketinggiannya.Bahwa
agama Islam itu tinggi, ketinggian agama Islam membawa juga ketinggian
martabat umat Islam. Sebagai bukti ketinggian umat Islam ialah mereka di
benarkan mewarisi keluarganya yang tidak beragama Islam, tetapi tidak

42
43

Ibid., 256
Imam Abi Al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz II, tt. Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 56.

66

sebaliknya orang-orang yang tidak beragama Islam dapat mewarisi


keluarganya yang beragama Islam.44
Selain itu, mereka menguatkan pendapatnya dengan kenyataan
bahwa Islam telah menghalalkan wanita-wanita non muslim untuk dinikahi
orang muslim, sedangkan wanita-wanita muslim tidak halal bagi non
muslim.45 Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat mewarisi
sebagaimana dikemukakan para ulama di atas tampaknya masih tetap
mewarnai hukum kewarisan Islam dewasa ini.
Sekalipun ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi pewaris
muslim sebagaimana telah menjadi kesepakatan para ulama (ijma), namun
ada sebagian ulama yang salah satunya Ibnu Hazm, yang berpendapat bahwa
ahli waris non muslim akan mendapat harta warisan pewaris muslim melalui
wasiat wajibah.
Ibnu Hazm berpendapat dalam kitabnya Al-Muhalla :

%/ =3 %/L=D 3! 1 5!N GB3E ?f! D H/ U


3Z , AH/
. ; Z D 3!1 C< = n+ 5 .vmV 5/ e %@ D< %/ =3^
A ( %/)B1 d U ^! DZ =e ~ \ )W1 =GH^ GB v]%
D %w! G 3^Z %# J =3^ % %l)W = () D%# DZ =?;
44
45

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT Al-Maarif , 1994, hlm. 99.


As-Syafii, Al-Um, Juz IV, Beirut : Dar Marifah, t.th. hlm. 73

67

%d = ?d U ^! DZ e N# 3< 5 ! DL %l )W1 = % . ; !
GB %h 5/ A S ?; DZ e ~ ) BO%7 % Z ?; ! = )B1 : %+ 5/
'''''''''''(`T 5! #N+
Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang
tidak mewarisi disebabkan adanya perbudakan , adanya kekufuran (non
muslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (karena
bukan ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya,
dalam hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila ia tidak berwasiat (bagi
mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau wali yang mengurus wasiat
untuk memberikan wasiat tersebut kepada mereka (kerabat) menurut
kepatutan. Andaikan kedua orang tua atau salah satunya tidak beragama
Islam (non muslim) atau menjadi budak, atau salah satu dari keduanya.
Apabila ia tidak berwasiat, maka harus diberikan harta (kepada orang tua)
tidak boleh tidak. Setelah itu ia boleh berwasiat sekehendaknya. Apabila
berwasiat bagi tiga orang kerabat di atas, hal itu telah memadai 46
Dari uraian diatas, Ibnu Hazm di atas tampak jelas bahwa kedua
orang tua dan kerabat yang tidak mewarisi, salah satunya disebabkan tidak
beragama Islam (non muslim), wajib diberi wasiat. Apabila seorang muslim
sewaktu hidupnya tidak bewasiat, maka ahli waris atau wali yang mengurus
wasiat harus melaksanakan wasiat tersebut. Dengan demikian kewajiban
berwasiat tidak hanya bersifat diyani tetapi juga dapat dipaksakan apabila ia
lalai melaksanakannya karena sudah menyangkut kepentingan orang lain
(masyarakat).47
Sedangkan menurut Ibnu Hazm

ayat kewajiban berwasiat tetap

berlaku (muhkam) yang dikhususkan bagi orang tua dan kerabat yang tidak
46

Ibnu Hazm, Almuhalla, Juz IX, Beirut : Dar Al-Fikr, hlm. 314.
Dede Ibin, Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim , Dalam Suara Uldilag Vol
II, No: 4 tahun 2004, Jakarta : Al-Hikmah, hlm. 72.
47

68

mewarisi karena berbagai hal, diantaranya adanya perbedaan agama (non


muslim). Untuk menguatkan pendapatnya Ibnu Hazm telah mengemukakan
beberapa buah Hadits diantaranya Hadits yang diriwayatkan dari imam
Malik:

G F ? ; F : :%h:%h3 5B 5 2Z % 5 e %/ c!3] 5/ %!
=AB / () A; 1L g
v! G^ ; ! 6 7 G H/ 3/ cW%/,
M) 1L e ~:%h ; F :
N/ A a R 3/%/3 5BL ,:%h

'9 ;
Aku menerima dari jalur malik dari nafi dari Umar berkata : Rosulullah
SAW bersabda : Hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak
diwasiatkan , sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu
ditulis pada awal kebijakannya. Ibnu Umar berkata tidak berlalu bagiku
satu malampun sejak aku mendengarkan Hadits itu kecuali wasiat selalu
berada disisku.49
Sekalipun antara jumhur ulama dan Ibnu Hazm ada perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum berwasiat, tetapi ulama dari kalangan
Syafiiyah, Hanafiyah, Hanabilah telah membolehkan berwasiat untuk
mereka yang tidak beragama Islam (non muslim) dengan syarat yang diberi
wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak demikian maka wasiatnya
batal, tidak sah.

48
49

349.

Malik bin Anas, Al-Muwattha, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 500.
Ibnu Hazm, Al-Muhalla Bi Al-Astar, Juz VIII, Beirut : Dar Kutubil Ilmiyah, .tt, hlm.

69

Adapun dalil membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak


beragama Islam (non muslim) adalah dikiaskan kepada hibah dan shadaqah.
Seperti dalam

Al-Quran (QS. 60 : 8) yang artinya : Allah tiada melarang

kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil . Demikian juga
Hadits Nabi Saw.Yang diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa Ibnu Umar
bahwasanya Rasulullah Saw, telah memberikan izin kepada Umar r.a untuk
memberikan sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik.50
Senada dengan pendapat diatas, Subhi Mahmasani mengemukakan
bahwa kesamaan agama bukan syarat sahnya wasiat. Oleh karenanya boleh
saja seorang suami yang muslim berwasiat kepada istrinya yang beragama
Masehi (Ahl Kitab) sebanyak 1/3 harat warisan.
Wasiat wajibah kepada kerabat non muslim dapat dikatakan bentuk
baru dari pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Meskipun wasiat wajibah
kepada kerabat non muslim hanya sebagai mazhab minoritas (Dzahiri)
dalam pemikiran hukum Islam, namun patut kita hargai sebagai suatu ijtihad
dalam upaya mengaktualkan nilai-nilai hukum kewarisan Islam di tengahtengah masyarakat Indonesia yang pluralistik dalam banyak hal, baik

50

Wahbah Zuhaily, op. cit, hlm. 39.

70

sosial, budaya, hukum, maupun agama, agar hukum Islam tidak kehilangan
jati dirinya sebagai Rahmatal Lilalamin.
Apabila berdasarkan sistem hukum yang berlaku bagi warga negara
non muslim, bukanlah sikap adil dan manusiawi apabila ahli waris non
muslim diberi hak wasiat wajibah dari pewarisnya yang muslim (apabila ia
tidak berwasiat) agar tidak terjadi kegoncangan social diantara mereka yang
berbeda agama, karena prinsip keadilan bahkan asas kemanusiaan yang
universal

bahwa

manusia

seluruhnya

sama

dipandang

dari

sisi

kemanusiaannya, dan kemaslahatannya yang menjadi tujuan hukum


merupakan unsur-unsur konstitusi hukum Islam.51
3.

Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam


Pada Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dijelaskan dalam pasal
209, bahwa wasiat yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang diberikan
kepada orang tua angkat dan anak angkat yang tidak menerima warisan dari
anak atau orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia dengan batasan
maksimal sepertiga harta dari pewasiat. Kompilasi Hukum Islam dalam
menetapkan

adanya

wasiat

wajibah

ini

adalah

dengan

jalan

mengkompromikan antara hukum Islam (referensi fikih) dengan hukum


adat.
51

. Madja El-Muhtaj, Social Engineering Dan Maslahat , Dalam Mimbar Hukum Nomor ;
52 tahun 2001, Jakarta : al-Hikmah, hlm. 79.

71

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas tampaknya ada kesamaan


pandangan dalam mendefinisikan konsep wasiat wajibah antara yang
dikemukakan oleh Ibnu Hazm, Undang-Undang

Mesir dan Kompilasi

Hukum Islam,yaitu ;
a.

Adanya wasiat yang ditetapkan oleh undang-undang yang memberikan


kekuatan memaksa terhadap kekayaan seseorang yang meninggal dunia,
sedangkan ia tidak dapat berwasiat untuk diberikan kepada orang
tertentu.

b.

Dalam menentukan siapa yang berhak menerima wasiat wajibah


terdapat perbedaan antara yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, UndangUndang Mesir dan Kompilasi Hukum Islam. Menurut Ibnu Hazm
bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah kerabat yang tidak
menerima warisan, baik dikarenakan ia menjadi budak, atau berbeda
agama atau juga adanya kerabat lain yang menghalanginya atau
memang tidak berhak mendapat warisan. Sedangkan menurut UndangUndang Mesir bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah
cucu, dan menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa yang berhak
menerima wasiat wajibah adalah anak angkat dan orang tua angkat.

c.

Jika ditinjau dari segi pengambilan hukumnya, konsep dan ketentuan


yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dan undang-undang wasiat mesir
tampak lebih sederhana keberadaannya dibandingkan

dengan

72

Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kenyataan
yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, maka konsep dan ketetapan
yang dikemukakannya lebih mungkin diterapkan di Indonesia,
walaupun ada sekelompok ulama yang menolak dengan alasan,
ketentuan tersebut tidak mempunyai dalil syari.52
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa

di Indonesia wasiat

wajibah tidak hanya diterapkan kepada anak angkat dan orang tua angkat
saja. Sebagaimana yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, tetapi
juga diterapkan sebagiamana konsep Ibnu Hazm, di mana yang berhak
menerima wasiat wajibah adalah para kerabat yang tidak menerima warisan
yang disebabkan antara lain karena berbeda agama. Meskipun demikian
perlu di ingat bahwa wasiat wajibah dapat diberikan kepada kerabat yang
non muslim, apabila mereka kondisinya yang sangat miskin dalam bidang
ekonomi dibanding dengan kerabat lainnya. Jika ternyata kerabat yang non
muslim hidupnya berkecukupan dibanding kerabat yang muslim,maka dia
tidak mendapatkan wasiat wajibah. Karena bagaimanapun hukum Islam
tetap memposisikan perbedaan agama sebagai penghalang untuk mewarisi.

52

Eko Budiono, op.cit. hlm. 108.

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG WAJIBNYA


WASIAT WAJIBAH KEPADA KERABAT NON MUSLIM
A. Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat Wajibah Kepada
Kerabat Non Muslim
Allah menurunkan syariat Islam pada dasarnya untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam beserta isinya. Karena kedudukannya sebagai rahmat seluruh alam
(sesuai dengan konteks tempat dan zaman), maka ditetapkanlah peraturanperaturan hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat,
menolak madharat dan kerusakan serta mewujudkan sebuah keadilan.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa hukum dalam ayat wasiat tidaklah
dihapuskan melainkan dikhususkan hanya untuk yang berhubungan dengan
orang-orang yang tidak dapat mewarisi. Yaitu bagi kerabat yang terhijab atau
tidak menjadi ahli waris, kewajiban wasiat masih tetap ada dengan jumlah yang
tidak ditentukan selama dalam batas 1/3 harta peninggalan.
Dalam menafsirkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 180, AlFakhrurrazi menyatakan bahwa wasiat adalah ditetapkan oleh syariah yang

74

dilakukan pada saat seseorang dalam keadaan sakit mendekati ajalnya dan
dikatakan atas harta kekayaan.1
Sementara Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Said berpendapat bahwa wasiat itu
hukumnya bukan wajib, akan tetapi sunnah saja. Hal ini didasarkan pada surat
Al-Baqarah ayat 180 yang telah dimansukhkan dengan ayat kewarisan, sehingga
hukum wasiat yang semula wajib menjadi sunnah karenanya.2
Allah menurunkan syariat Islam pada dasarnya untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam beserta isinya. Karena kedudukannya sebagai rahmat seluruh alam
(sesuai dengan konteks tempat dan zaman), maka ditetapkanlah peraturanperaturan hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat,
menolak madharat dan kerusakan serta mewujudkan sebuah keadilan.
Bentuk-bentuk reformasi terhadap hukum kewarisan mengenai institusi
wasiat wajibah ini dapat secara jelas dilihat dalam pasal 209 dari Kompilasi
Hukum Islam. Berbeda dengan para ahli hukum Islam pada umumnya, yang
mengindetifikasikan cucu yatim sebagai penerima wasiat wajibah. Para ahli
hukum Islam Indonesia, melalui Kompilasi Hukum Islam telah menggunakan
wasiat wajibah untuk memperbolehkan anak angkat dan orang tua angkat

1
2

Al-Fakhrurrazi, Tafsir Al-Kabir, Juz V, Dar Kutubil Ilmiyah, tt, hlm. 51.
Al-Qutuby, Al-Jami Al-Ahkam Al-Quran, Juz I, Beirut: Dar Al-Fikr, 1993, hlm. 177.

75

mengajukan klaim atas bagian tertentu dalam warisan dengan maksimal


sepertiga bagian dari harta warisan.3
Berdasarkan praktek hukum yang ada tersebut, maka kemudian para ahli
hukum Islam Indonesia merasa berkewajiban untuk menjembatani kesenjangan
antara hukum Islam dan hukum adat.4 Sebagian besar masyarakat Indonesia,
kebutuhan dalam masalah-masalah hukum yang diderivasikan dari kedua sistem
hukum oleh karenanya senantiasa dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.
Pluralisme agama, sosial dan budaya yang berkonsekuensi trikotomi
sistem hukum di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi
implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga muslim. Sebab
banyak masalah keluarga dan kemasyarakatan yang memerlukan penyelesaian
dengan pendekatan syariat, khususnya fiqhiyah.5
Di dalam hukum Islam, hukum adat maupun BW terdapat kesamaan
bahwa pembunuhan menjadi penghalang kewarisan. Dalam BW tidak
menjadikan agama sebagai faktor yang di perhitungkan dalam hukum, oleh
karena perbedaan agama tidak menjadi penghalang dalam kewarisan.6 Hukum
Islam menempatkan perbedaan agama sebagai faktor pengahalang kewarisan
3

Retno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat Di Indonesia, Jakarta: INIS,
1998, hlm. 89.
4
Ibid, hlm. 90.
5
Amrullah Ahmad, et.al, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang
65 Th Prof. Dr. Bustanul Arifin S.H, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. Xiii.
6
Amir syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Ankasa Raya,
1993, hlm.157.

76

meskipun halangan perbedaan agama tidak dilakukan secara jelas dalam AlQuran, namun didasarkan hadist Nabi yang sama-sama diterima kebenarannya.
Sedangkan di Indonesia, sekalipun pasal 171 Kompilasi Hukum Islam
tidak menyatakan perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat mewarisi,
namun pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
pewaris dan ahli waris harus dalam keadaan beragama Islam maka diantara
keduanya, apabila salah satunya tidak beragama Islam maka diantara keduanya
tidak dapat saling mewarisi. Tetapi karena di Indonesia terdapat pluralitas
hukum, yaitu adanya hukum adat dan hukum perdata Barat (BW) disamping
hukum Islam, yang memungkinkan masyarakat muslim melakukan pilihan
hukum (Hak Opsi) dalam penyelesaian sengketa warisnya sesuai dengan
ketentuan penyelesaian umum angka 2 UU no : 7 tahun 1989 tentang PA, maka
antara orang muslim dan non muslim mungkin saja dapat saling mewarisi.
Karena dalam hukum adat dan hukum Perdata Barat (BW) perbedaan agama
tidak dijadikan sebagai penghalang untuk dapat mewarisi.7
Apabila berdasarkan sistem hukum yang berlaku, bagi warga negara non
muslim dapat mewarisi pewaris non muslim, bukanlah sikap yang adil dan
manusiawi apabila ahli waris non muslim tidak di beri hak wasiat wajibah dari
pewarisnya yang muslim (apabila ia tidak berwasiat) agar tidak terjadi
7

Subekti, K U H Perdata, Jakarta : Pradya Paramita, 2001, hlm. 223 yaitu Pasal 838
KUHPerdata, yang merupakan faktor penghalang untuk dapat mewarisi sebatas pembunuhan,
percobaan pembunuhan dan fitnah.

77

keguncangan sosial antar mereka yang berbeda agama, karena prinsip keadilan,
bahkan asas kemanusiaannya, dan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum
merupakan unsur-unsur konstitusi hukum Islam.8
Sedangkan perbedaan agama (non muslim) sekalipun dalam pandangan
Islam sebagai dosa besar (kafir), tetapi bagi penganut agama lain sebagai suatu
kebenaran sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan masing-masing yang patut
dihargai dan dihormati oleh siapapun sebagaimana Islam telah mengajarkan
demikian.
Dalam Al-Quran dengan tegas digariskan suatu prinsip yang berbunyi:
Tidak (boleh) ada paksaan di dalam agama. (QS 2 : 256) prinsip tersebut
mengandung makna bahwa manusia sepenuhnya mempunyai kebebasan untuk
menganut suatu keyakinan atau kaidah agama yang disenanginya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama.9
Pada dasarnya Islam sama sekali tidak membenarkan adanya pemaksaan
terhadap seseorang untuk memeluk Islam. Menurut Ibnu Katsir, ayat tentang
larangan pemaksaan beragama ini sudah meralat (nasakh) ayat tentang perintah
untuk berperang demi agama (QS. Al-Taubah [9]: 36). Dengan penekanan pada

Madja El muhtaj, Social Engineering dan Maslahat , Dalam Mimbar Hukum No : 52


Tahun 2001, Jakarta : Al-Hikmah, hlm. 79
9
Muhammad Daud Ali, et.al, Lembaga-lembaga Islam Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1995, hlm. 313.

78

larangan pemaksaan tersebut, Al-Quran pada hakekatnya memberi prinsip


Freedom Of Religion And Belief (kebebasan beragama dan keimanan).10
UUD 1945 sebagai penjabaran dari pancasila di mana dalam bagian pasalpasalnya banyak menguraikan tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM), yang tidak hanya sebagai cerminan dari keinginan masyarakat Indonesia
tetapi juga menjadi keinginan masyarakat global. Diantara pasal-pasal tersebut
adalah:
a.

Pasal 28 E ayat I setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat


menurut agamanya.

b.

Pasal 28 I ayat 2 Setiap orang bebas memeluk agama yang bersifat


diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu

c.

Pasal 28 J ayat I Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia


orang lain tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.11
Masyarakat Indonesia telah terikat dengan kontrak social, di mana semua

warga negara tanpa membedakan suku, budaya dan agama wajib memelihara
ketertiban dan perdamaian tanpa adanya pelaku anarkis dalam segala bentuk dan
manifestasinya, baik fisik, politik maupun hukum. Dalam kondisi demikian Islam
tidak melarang bagi warga negara muslim untuk berbuat baik dan berlaku adil
10

A. Qodri Azizy, Eklektisime Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam Dengan
Hukum Umum, Yogyakarta : Gama Media Offset , 2002, hlm. 34
11
Undang-Undang Dasar R.I Tahun 1945

79

terhadap warga negara non muslim (QS 60 : 80), dan seorang muslim tetap
dipertahankan untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya sekalipun berbeda
agama.
Berbuat baik dan berlaku adil terhadap warga negara non muslim
diantaranya dengan memberikan bagian harta warisan melalui wasiat kepada
mereka seperti hadist dari riwayat Muad Bin Jabal. Bagian harta wasiat wajibah
relatif hanya dibatasi dengan batasan maksimal sepertiga harta.12
Berkenaan dengan pemaparan penulis, dapat dipahami bahwa hukum
dituntut dapat memainkan peran ganda, pertama hukum dapat berfungsi sebagai
alat kontrol sosial terhadap perubahan yang berlangsung dalam kehidupan
manusia. Kedua hukum dapat dijadiakan sebagai alat rekayasa sosial dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sebagai suatu sistem hukum
berdasarkan wahyu, hukum Islam memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan hal ini, tugas hukum serta merta adalah menjaga dan
mengendalikan sistem sosial sehingga baik pribadi maupun masyarakat memiliki
fasilitas dan peluang rasa aman serta bebas untuk memenuhi dan mewujudkan
kebutuhan-kebutuhan secara adil dan manusiawi. Sisi lainnya , adalah nilai-nilai

12

Muhammad Ibnu Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, Juz III, hlm., 99.

80

moral yang secara instrinsik melalui integritas prinsip keadilan,

asas

kemanusiaan, universal dan tujuan hukum ( Al -Maslahah ).


Oleh karena itu, dalam konteks ini hukum Islam dituntut akomodatif
terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau
tidak besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau
meminjam istilah Abdurrahman Wahid, Fosilisasi bagi kepentingan umat, karena
itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian
untuk memformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang mucul dalam
masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan
kehilangan aktualisasinya.13
Dalam menetapkan hukum wasiat wajibah kepada kerabat non muslim
berbeda-beda namun dari perbedaan tersebut penulis mengganggap sebagai bukti
keluwesan hukum Islam . pendapat jumhur fuqaha mengatakan bahwa wasiat
bukanlah Fardlu Ain .14
Implikasi wasiat yang dipahami mayoritas ulama tersebut adalah
kewajiban wasiat hanya dipahami jika seseorang telah berwasiat. Tetapi apabila
ia tidak berwasiat maka tidak perlu dipenuhi.

99.

Mereka beralasan bahwa

13

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, Yogyakarta : Gama Media Offset, 2001, hlm.

14

Fatchur Rohman, Ilmu Waris, Bandung : Al Maarif , 1981, hlm. 54.


Ahnmad Rofiq , Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm

15

446.

15

81

kewajiban berwasiat seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 180 hanya berlaku
pada awal Islam.
Dengan melihat situasi dan kondisi wasiat wajibah menurut penulis wajib
dan berlaku apabila para ahli waris yang ditinggalkan itu telah memiliki harta
yang banyak. Sedangkan para kerabat yang ia tinggalkan hidup dalam
kekurangan maka disinilah fungsi wasiat dapat berlaku. Di sini penulis lebih
cenderung kepada pendapat Ibnu Hazm yang mewajibkan wasiat wajibah kepada
kerabat yang tidak dapat menerima warisan, baik dikarenakan ia menjadi budak
atau berbeda agama atau adanya kerabat lain yang menghalangi atau karena ia
tidak berhak mendapat warisan.

Dengan demikian sesungguhnya telah

memberikan gambaran positif bahwa hukum Islam tidaklah eksklusif dan


diskriminatif yang seolah-olah telah menempatkan warga non muslim sebagai
kelas dua di depan hukum.
Meskipun imam mazhab empat, golongan Zaidiyah, dan juga golongan
Imamiyah berpendapat bahwa hukum wasiat tidaklah wajib bagi setiap orang
yang meninggalkan harta, sekalipun terhadap kedua orang tua, para kerabat
yang tidak menerima warisan. Dapat dikatakan bahwa menurut kebanyakan
ulama hukum wasiat adalah tidak wajib, karena kewajiban berwasiat telah di
hapus oleh sistem kewarisan.

82

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Wajibnya Wasiat


Wajibah Kepada Kerabat Non Muslim
Telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Ibnu Hazm
berpendapat bahwa bagi

setiap muslim wajib memberikan wasiat kepada

kerabat-kerabatnya yang tidak menerima warisan misalnya, karena perbudakan,


atau karena kekafiran (non muslim), pada masalah tersebut mereka terhalang
kewarisannya, maka kewajiban muslimlah untuk melaksanakan wasiat wajibah.
Berdasarkan dari ketentuan ayat 180 surat Al-Baqarah maka yang berhak
menerima wasiat wajiabh adalah sebagai berikut :
1. Kedua orang tua (Ibu Bapak)
2. Karib kerabat yang tehalang kewarisannya disebabkan karena bukan menjadi
ahli waris atau berbeda agama.
Kewajiban

wasiat

sebagimana

disampaikan

Ibnu

Hazm,

beliau

berpedoman kepada zahir dari nash Al-Quran dan hadist. Sebagaimana


ditegaskan :

!" #!
.'() $% &

83

Kami telah sepakat dan kebanyakan orang-orang yang menyalahi kami,


bahwasanya ijma dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatu
kebenaran yang meyakinkan dalam agama Islam.16
Dalam pandangan Ibnu Hazm, ayat wasiat ini menentukan suatu
kewajiban hukum yang definitif bagi orang Islam untuk membuat wasiat yang
akan didistribusikan kepada kerabat dekat yang bukan ahli waris.
Pendapat senada dikemukakan oleh Daud Al-Zahiri Ibnu Jarir Al-Tabary
dan sebagian Tabiin dan Hasan, yaitu bahwa wasiat hukumnya wajib, mereka
beralasan bahwa yang dinasakh oleh ayat kewarisan adalah wasiat yang diberikan
kepada kerabat yang sudah di tentukan baginya. Karena itu mereka yang sudah
ditentukan baginya. Karena itu mereka yang tidak menerima warisan tidak
termasuk yang dinasakh.17
Sependapat dengan Rasyid Rida juga mengatakan

dalam surat Al-

Baqarah ayat 180 bahwa hukum wasiat adalah wajib bagi orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan harta yang banyak bagi pewarisnya, Di mana wasiat
tersebut harus diberikan kepada orang tua dan para kerabatnya yang tidak dapat
mewarisi meskipun kedua orang tuanya berbeda agama (non muslim) dengan
batasan maksiamal sepertiga harta.18

16

Ibnu Hazm, Ihkam Fi Ushul Al- Ahkam, Beirut : Dar-Kutubil Ilmiyah, tp.tt, hlm. 312.
.Ahmad Rofiq, op. cit., hlm., 447.
18
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Juz II, Beirut : Dar Al-Marifah, t.th. hlm. 127.
17

84

Beliau juga mengatakan surat Al-Baqarah tersebut tidak dimansuh oleh


ayat kewarisan. Apabila dilihat secara dzahir menurut beliau ayat tersebut
mewajibkan berwasiat kepada orang tua dan para kerabat apabila telah mendekati
ajalnya. Ayat tersebut lebih dikhususkan kepada orang-orang yang tidak
mendapat warisan yaitu orang tua dan para kerabat.19
Dalam menafsirkan (Haqqan Ala Al-Muttaqin) hukum wasiat itu wajib
karena sudah dijelaskan dalam Al-Quran, sehingga orang-orang yang berwasiat
merupakan orang yang mentaati perintah Allah. Beliau memberikan pendapat
tentang wajibnya memberikan wasiat, hal itu disandarkan pada ayat Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 181

B 23/4- 25/40-67& ,84"*+-9:/;7*< -/4=, - - *+*0>?4" -0@94A1!*+-40-6 - -/-.*+,--./-01!


F

ED #<C

Artinya : maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setalah ia


mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orangorang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah maha mendengar
lagi maha mengetahui.20

19
20

Ibid., 124.
Soenarjo, Al-Quran Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro, 1994, hlm. 44

85

Sesuai dengan hadist Nabi:

L K + & J & 6K IE
I 0 . 5! 9 H G
Q L RJ "S T < +! J O P + 3M N G
E 36
I 3 J & 6K T X = R
W
0 ."E I VR. U
[\
BY J
L "H Z
Artinya : Aku menerima dari jalur Malik dari Nafi dari Umar berkata :
Rosulullah Saw bersabda : Hak seorang muslim yang mempunyai
sesuatu yang hendak diwasiatkan , sesudah bermalam selama dua
malam tiada lain wasiatnya itu ditulis pada awal kebijakannya.
Ibnu Umar berkata tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku
mendengarkan hadist itu kecuali wasiat selalu berada disisku.
Dengan melihat ayat serta hadist tersebut diatas dapa disimpulkan bahwa
Rasyid Rida mewajibkan wasiat bagi setiap orang meninggalkan harta. Dalam hal
ini dikhusskan kepada orang-orang yang mewarisi seperti halnya orang tua dan
para kerabat yang berbeda agama (non muslim).22
Sementara itu para ulama penganut Mazhab Syafii menyatakan yang
disebut karib kerabat adalah setiap orang yang berasal dari satu nasab baik
hubungan nasab tersebut dekat maupun jauh, muslim maupun kafir, kaya maupun
miskin, laki-laki maupun perempuan, ahli waris maupun bukan ahli waris,
muhrim maupun bukan muhrim,23

21

Malik bin Anas, Al-Muwattha, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 500.
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Juz II, Beirut: Dar Marifah, t.th., hlm. 134-142.
23
Abdul Ghofur, Fiqh Wanita, Jakarta : al-Kaustar, 1998, hlm. 497.
22

86

Islam merupakan agama penyempunaan bagi agama-agama sebelumnya.


Dengan ketinggian nilai-nilai ajaran Islam, sehingga dapat membuktikan kepada
umatnya bahwa agama Islam mampu membawa ketinggian martabat umat Islam.
Sehingga sebagai buktinya mereka (non muslim) dibenarkan mewarisi
keluarganya yang tidak beragama Islam.
Menurut penulis wasiat wajibah tetap untuk karib kerabat yang tidak
mendapatkan warisan, karena beda agama (non muslim) atau karena terhijab,
merekalah yang berhak mendapat wasiat wajibah berdasarkan ayat 180 surat
Al-Baqarah, sedang bagi orang-orang yang terhijab yang orang tuanya meninggal
terlebih dahulu dalam hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
185 tentang waris pengganti.24
Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa :
1.

Ahli Waris yang meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali tersebut mereka yang
tersebut dalam pasal 173.

2.

Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang di ganti.

24

Cik hasan Bisri, et.al., Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 93.

87

Adalah menarik komentar Mustafa Syalabi ia mengatakan bahwa ;


Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat penting artinya
sebagai penangkal kericuhan dalam keluarga. Karena ada diantara
anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan dengan
jalan warisan. Padahal ia telah cukup berjasa dalam pengadaan harta itu,
atau seorang cucu miskin terhalang oleh pamannya yang kaya, atau
karena berbeda agama, dan sebagainya. Maka dengan adnya sistem
wasiat yang diatur dalam hukum Islam, kekecewaan itu dapat diatasi.25
Sehingga hal ini menurut penulis dari beberapa keterangan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat tersebut menyatakan dengan tegas,
seseorang dapat membuat wasiat atas harta kekayaannya, bahwa ayat-ayat wasiat
tersebut masih diperlukan dalam keadaan yang khusus.

25

Dikutip Dari Bukunya Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 184.

BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang singkat mengenai konsep wasiat wajibah kepada
kerabat non muslim, menurut Ibnu Hazm dapat disimpulkan bahwa:
1.

Wasiat secara umum adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada


orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara
sukarela

dan

tidak

mengharapkan

imbalan

(Tabarru)

yang

pelaksanaannnya di tangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang


memberi wasiat.
2.

Menurut Ibnu Hazm wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh
penguasa (dilaksanakan oleh hakim) untuk orang-orang tertentu yang tidak
diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara si mayit
meninggalkan

harta,

baginya

berlaku

kewajiban

wasiat

yang

pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan


atau kehendak orang yang meninggal dunia. Baik wasiat itu diucapkan atau
tidak dikehendaki. Tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan
hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan dan
wasiat wajibah itu diberikan kepada kerabat dikarenakan beberapa hal
tidak dapat menerima harta pusaka seperti halnya kerabat non muslim, atau
terhijab.

90

3.

kerabat non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah adalah para kerabat
yang berbeda agama dengan pewasiat. Non muslim yang dimaksudkan
adalah Ahl Dhimmah yaitu dari golongan Yahudi dan Nasrani. Dikatakan
Ahla Dzimmah karena mereka mematuhi peraturan perundang-undangan
Islam, serta tidak memerangi orang Islam, selain itu mereka berada di
bawah perlindungan orang Islam. Kerabat tersebut merupakan kerabat yang
tidak dapat mewarisi, karena terhijab atau bukan ahli waris. Semua
keturunan yang memiliki hubungan nasab dengan ayah dan ibu sampai
terus ke bawah. Mereka berada pada garis keturunan yang sama dengan
orang yang meninggal dunia, dalam garis ibu atau ayah atau bahkan dalam
garis ayah dan ibu secara bersamaan. Begitu juga dengan batasan harta
yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga harta.

4.

Menurut Ibnu Hazm hukum wasiat wajibah adalah Fardhu Ain.


Sebagaimana ulama-ulama lain Ibnu Hazm dalam beristinbath selalu
mendasarkan pada dua sumber Al-Quran dan Al-Hadits. Dalam
mengistinbathkan (mengambil atau menetapkan) suatu hukum, Ibnu Hazm
dalam kitabnya Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam menjelaskan bahwa ia dalam
beristinbath menggunakan 4 (empat) dasar pokok yaitu Al-Quran,
Al-Sunnah, Ijma dan Dalil.
Meskipun menurut Ibnu Hazm kerabat non muslim telah mendapatkan

haknya mewarisi kerabat yang muslim melalui wasiat wajibah, akan tetapi
menurut penulis juga sepakat dengan para ulama yang tetap memposisikan

91

bahwa perbedaan agama tetap menjadi penghalang untuk mewarisi sehingga


wasiat wajibah dapat diberikan kerabat non muslim apabila mereka kondisinya
sangat miskin dalam bidang ekonomi di banding kerabat lain.
B. Saran-Saran
Dalam rangka kesempurnaan skripsi ini penulis sampaikan beberapa
saran yang berkaitan dengan pembahasan wasiat wajibah pada kerabat non
muslim sebagai berikut:
1.

Agar pemerintah atau lembaga agama serta instansi terkait hendaklah


memasyarakatkan wasiat wajibah sebagai suatu amalan yang telah
dilegislasi syara serta telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam secara
rinci, apabila dilihat dalam sidang pengadilan, hanya sedikit prosentase
masalah wasiat yang diangkat dalam sidang dibanding dengan masalahmasalah lain serta perkawinan dan kewarisan.

2.

Oleh karena masalah wasiat itu selalu dikaitkan dengan masalah waris,
maka hendaklah kepada para pejabat terkait, ulama dan mubaligh untuk
memberikan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai tata cara berwasiat
yang sesuai dengan ketentuan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
sebagai salah satu jalan untuk bertaqarub kepada Allah, menyantuni
sesama, mempererat tali persaudaraan dan menghindari perselisihan antara
ahli waris dalam pembagian harta warisan.

3.

Tentang wasiat wajibah kepada kerabat non muslim, merupakan bagian dari
upaya pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia agar hukum

92

tersebut dapat diformulasikan dengan segar dan baik sehingga dapat


diterima oleh semua pihak, terutama ditengah-tengah gencarnya upaya kita
untuk mempositifkan hukum Islam menjadi undang-undang melalui
legislasi nasional yang kerap kali mendapat hambatan psikologis dan politis
terutama dikalangan non muslim.
C. Penutup
Akhirnya dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah Ilahi Robby
yang mana memberi rahmat hidayah, inayah serta karena dan perlindungan.
Sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam bentuk librari tentang
wajibnya wasiat wajibah kepada kerabat non muslim. Meskipun demikian skripsi
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik konstruktif dan saran yang
inovatif dari segenap pembaca demi kesempurnaan selanjutnya. Sebagai kata
penutup penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah khazanah
keilmuan di bidang syariah dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Você também pode gostar