Você está na página 1de 13

ABORTUS

Abortus adalah suatu proses berakhirnya suatu kehamilan, dimana janin belum mampu hidup
di luar rahim ( belum viable ) dengan criteria usia kehamilan kurang 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram.
Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi para ahli tentang abortus,antara lain :

EASTMAN : Abortus adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum
sanggup hidup sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya

terletak antara 400-1000 gr, atau usia kehamilan kurang dari 28 minggu.
JEFFCOAT : Abortus adalah pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum usia kehamilan 28

minggu, yaitu fetus belum viable by law.


HOLMER : Abortus adalah terputusnya kehamilan sebelum minggu ke 16, dimana
proses plasentasi belum selesai.

Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang
terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus provokatus ini
dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis.
Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibu. Disini
pertimbangan dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan
Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan spesialis Jiwa. Bila perlu dapat ditambah
pertimbangan oleh tokoh agama terkait. Setelah dilakukan terminasi kehamilan, harus
diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak terkena trauma psikis dikemudian hari.
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang tidak
dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas umur
kehamilannya, hanya sedikit memberi gejala atau tanda sehingga biasanya ibu tidak melapor atau
berobat. Sementara itu, dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan abortus spontan atau
kehamilan ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan mengalami 2 keguguran
yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan mengalami 3 atau lebih keguguran yang berurutan
Rata rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan kejadian
abortus spontan antara 15-20% dari semua kehmilan. Kalau dikaji lebih jauh kejadian abortus
sebenarnya bias mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical pregnancy loss
yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi. Sebagian besar kegagalan
kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma dan disfungsi oosit). Pada tahun
1988 Wilcox dan kawan kawan melakukan studi terhadap 221 perempuan yang diikuti selama

707 siklus haid total. Didapatkan total 198 kehamilan, dimana 43 (22%) mengalami abortus
sebelum saat haid berikutnya.
Abortus habituaslis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara berturut-turut.
Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus
spontan, pasangan punya resiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2
kali, resikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3
abortus berurutan adalah 30-45%
Etiologi
1. Faktor genetik.
Sebagian besar abortus spontan, termasuk abortus inkompletus disebabkan oleh kelainan
kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan
kelainan sitogenetik. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama
berupa trisomi autosom. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko ibu
terkena aneuploidi adalah 1 : 80, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan
kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.
Selain itu abortus berulang biasa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, dimana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak
diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan
kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.
2. Kelainan kongenital uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik. Insiden kelainan
bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan dengan riwayat abortus, dimana
ditemukan anomaly uterus pada 27% pasien. Penyebab terbanyak abortus karena kelainan
anatomik uterus adalah septum uterus (40 - 80%), kemudian uterus bikornis atau uterus
didelfis atau unikornis (10 - 30%).

Mioma uteri juga bisa menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang. Risiko
kejadiannya 10 - 30% pada perempuan usia reproduksi.
Selain itu Sindroma Asherman bias menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan
darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 80%, bergantung pada berat
ringannya gangguan.
3. Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada
perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Berbagai teori diajukan untuk mencoba
menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaraya sebagai berikut.
a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung
pada janin atau unit fetoplasenta.
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit
bertahan hidup.
c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin.
d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah yang bisa
mengganggu proses implantasi.
4. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan efek plesentasi dan adanya mikrotrombi
pada pembuluh darah plasenta. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus,
sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi
tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4 6 minggu, dan penurunan produksi
prostasiklin saat usia kehamilan 8 11 minggu. Hiperhomosisteinemi, bisa congenital
ataupun akuisita juga berhubungan dengan thrombosis dan penyakit vascular dini. Kondisi
ini berhubungan dengan 21% abortus berulang.

5. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi
dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan
tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang
telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.

Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu
neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi
gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.
6. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem
pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem
hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama
kadar progesterone.
Perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama , risiko abortus
meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat
punya peluang 2 3 kali lipat mengalami abortus.
Pada tahun 1929, allen dan Corner mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus luteum,
dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko
abortus. Sedangkan pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari
atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17% kejadian defek fase luteal. Dan, 50% perempuan
dengan histologi defek fase luteal punya gambaran progesterone yang normal (Prawirohadjo,
2009)
Patologi
Pada permulaan, terjadi perdarahan dalam desidua basalis, diikuti oleh nekrosis jaringan
sekitar, kemudian sebagian atau seluruh hasil konsepsi terlepas. Karena dianggap benda asing
maka uterus berkontraksi untuk mengeluarkannya. Pada kehamilan dibawah 8 minggu hasil
konsepsi dikeluarkan seluruhnya, karena vili korealis belum menembus desidua terlalu dalam
sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu telah masuk agak dalam sehingga sebagian keluar
dan sebagian lagi akan tertinggal karena itu akan terjadi banyak perdarahan.
Macam Macam abortus
1) Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka
abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran
(Miscarriage).
Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus insipiens,
abortus inkompletus, abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed abortion, abortus
habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.
a) Abortus imminens (keguguran mengancam)

Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,


dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis
abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium
uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar
tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif. Pada beberapa
wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika
tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi koreales ke dalam
desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya
merah, cepat berhenti, dan tidak disertai mules-mules.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa
diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormone
progesterone atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat obatan ini
walaupun secara statistic kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada
penderita sangat menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi
perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih
kurang 2 minggu.
b) Abortus incipiene (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya
dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal
ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah.
Pengelolaan pasien ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan
hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi / pengeluaran hasil
konsepsi disusul dengan kuretasi bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan diatas 12
minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus
hati hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul
dengan tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk
mencegah terjadinya perforasi pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu perbaikan
keadaan umum, pemberian uterotonika dan antibiotic profilaksis.
c) Abortus incomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis

terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadangkadang sudah menonjol
dari ostium uteri eksternum.
d) Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di keluarkan
dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada
penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah
banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa
dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan.
Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan.
Uterotonika tidak perlu diberikan.
e) Abortus infeksiosa dan Abortus septik
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan
abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya
ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat
terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih
sering ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan
antisepsis. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus
septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium,
dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau
sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala
dan tanda infeksi genitalia, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam berbau,
uterus yang membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila terdapat
sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil, demam tinggi dan
tekanan darah menurun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan
perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas
kuman yang diambil dari adarah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk
tahap pertama dapat diberikan Penisilin 4x1,2 juta unit atau ampisilin 4x1gram
ditambahkan gentamisin 2x80 mg dan metronidazole 2x1 gram. Selanjutnya antibiotic
disesuaikan dengan hasil kultur.

Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam
setelah antibiotic adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi
dengan uterrotonika.
Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari
pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotic yang lebih sesuai.
Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambahkan dengan injeksi ATS dan irigasi
kanalis vagina / uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total
secepatnya.
f) Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di dalam
kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih.
Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang
kemudian menghilang secara spontan atau setelah pengobatan. Gejala subyektif
kehamilan menghilang, mammae agak mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi malah
mengecil, dan tes kehamilan menjadi negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan
segera apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
Pengelolaan missed abortion yakni dengan evakuasi dan kuretase. Tindakan tersebut
dapat menimbulkan kompliasi perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi / kuretase dalam
sekali tindakan. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat
dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus
memungkinkan. Bila umur kehamilan diatas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu
dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi
terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis dapat
dilakukan dengan cara pemberian infuse intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10
unit dalam 500 cc dektrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total
oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan
tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi
diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar
dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
g) Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut tiga kali atau lebih.
Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir

sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua
kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadi abortus lagi pada seorang
wanita mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan
dimana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah
kehamilan melewati trisemester pertama, dimana ostium serviks akan membuka
(inkompeten) tanpa disertai rasa mules / kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran
janin. Biasanya disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya.
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat. Dengan
pemeriksaan dalam / inspekulo kita bias menilai diameter kanalis servikalis dan diadapati
selaput ketubanyang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trisemester kedua.
Diameter ini melebihi 8 mm. pengelolaan pasien inkompetensia serviks dianjurkan untuk
periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus
dilakukan tindakan untuk memberi fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban
dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12-14
minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari kanalis
servikalis dengan benang sutera/ MERSILENA yang tebal dan simpul baru dibuka
setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.
2) Abortus provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin
mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475 abortus legal dilaporkan ke Centers for
Disease Control
and Prevention (2003). Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19 tahun atau kurang, dan
sebagian besar berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum menikah. Hampir
60% abortus terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8 minggu, dan 88% sebelum minggu
ke 12 kehamilan (Centers for Disease Control and Prevention, 2000).
Manuaba (2007), menambahkan abortus buatan adalah tindakan abortus yang sengaja
dilakukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28 minggu atau berat janin 500
gram.
Abortus ini terbagi lagi menjadi:
a) Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)

Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat
persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
b) Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak
berdasarkan indikasi medis.

Abortus Incomplet
Abortus inkompletus adalah keluarnya sebagian, tetapi tidak seluruh hasil konsepsi, sebelum
umur kehamilan lengkap 20 minggu dan sebelum berat janin 500 gram (SPMPOGI, 2006).
Abortus inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih
ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Prawirorahardjo, 2009).
Gejala-gejala Abortus Inkompletus
Adapun gejala-gejala dari abortus inkompletus adalah sebagai berikut:
1. Amenorea
2. Perdarahan yang bisa sedikit dan bisa banyak, perdarahan biasanya berupa darah beku
3. Sakit perut dan mulas mulas dan sudah ada keluar fetus atau jaringan
4. Pada pemeriksaan dalam jika abortus baru terjadi didapati serviks terbuka, kadang kadang
dapat diraba sisa sisa jaringan dalam kantung servikalis atau kavum uteri dan uterus lebih
kecil dari seharusnya kehamilan (Mochtar, 1998).
Diagnosis Abortus Inkompletus
Diagnosis abortus inkompletus ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
a. Adanya amenore pada masa reproduksi
b. Perdarahan pervaginam disertai jaringan hasil konsepsi
c. Rasa sakit atau keram perut di daerah atas simpisis
2. Pemeriksaan Fisik
a. Abdomen biasanya lembek dan tidak nyeri tekan
b. Pada pemeriksaan pelvis, sisa hasil konsepsi ditemukan di dalam uterus, dapat juga
menonjol keluar, atau didapatkan di liang vagina.
c. Serviks terlihat dilatasi dan tidak menonjol.
d. Pada pemeriksaan bimanual didapatkan uterus membesar dan lunak.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu bekuan,
waktu perdarahan, dan trombosit.
b. Pemeriksaan USG ditemukan kantung gestasi tidak utuh, ada sisa hasil konsepsi
Penanganan
Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok, tindakan
pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan selanjutnya adalah untuk
menghentikan sumber perdarahan.
Tahap Pertama :
Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke tingkat syok
yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang lebih baik.
Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil), tindakan tahap ke dua umumnya akan
berjalan dengan baik pula.
Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa :
a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut nadi, frekuensi
pernafasan, dan suhu badan).
b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti adanya
takipnu, sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi oksigen melalui
kateter nasal).
c. Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi Trendelenburg.
d. Pemberian infus cairan (darah) intravena (campuran Dekstrose 5% dengan NaCl 0,9%,
Ringer laktat).
e. Pengawasan jantung (Fungsi jantung dapat dipantau dengan elektrokardiografi dan dengan
pengukuran tekanan vena sentral).
f. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, jenis Rhesus, Tes
kesesuaian darah penderita dengan darah donor, pemeriksaan pH darah, pO2, pCO2 darah
arterial. Jika dari pemeriksaan ini dijumpai tanda-tanda anemia sedang sampai berat, infus
cairan diganti dengan transfusi darah atau infus cairan bersamaan dengan transfusi darah.
Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit, jika sudah timbul gangguan pembekuan
darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah timbul tanda-tanda asidosis harus segera
dikoreksi.

Tahap kedua :
Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap ke dua dilakukan. Penanganan
tahap ke dua meliputi menegakkan diagnosis dan tindakan menghentikan perdarahan yang
mengancam jiwa ibu. Tindakan menghentikan perdarahan ini dilakukan berdasarkan
etiologinya.
Pada keadaan abortus inkompletus, apabila bagian hasil konsepsi telah keluar atau
perdarahan menjadi berlebih, maka evakuasi hasil konsepsi segera diindikasikan untuk
meminimalkan perdarahan dan risiko infeksi pelvis. Sebaiknya evakuasi dilakukan dengan
aspirasi vakum, karena tidak memerlukan anestesi (Prawirohardjo, 1992).
Tindakan Operatif Penanganan Abortus Inkompletus
Tindakan Operatif Penanganan Abortus Inkompletus terdiri dari:
- PengeIuaran Secara digital
Hal ini sering kita laksanakan pada keguguran bersisa. Pembersihan secara digital hanya dapat
dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang dapat dilalui oleh satu janin longgar
dan dalam kavum uteri cukup luas, karena manipulasi ini akan menimbulkan rasa nyeri.
- Kuretase
Kuretase adalah cara menimbulkan hasil konsepsi memakai alat kuretase (sendok kerokan).
Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan pemeriksaan dalam untuk
menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya uterus.
- Vacum kuretase adalah cara mengeluarkan hasil konsepsi dengan alat vakum (Setyasworo,
2010).
Komplikasi Abortus Inkompletus
Komplikasi yang dapat ditimbulkan abortus inkompletus adalah sebagai berikut:
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika
perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan
tidak diberikan pada waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus

segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan alatalat lain.
3. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan dan karena infeksi berat.
4. Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan flora
normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci, Gram negatif
enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas
vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili, streptococci, staphylococci, Gram negatif
enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur (Prawirohardjo, 1999).

DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjisastro H, Safiudin AB, Rachimahadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Bina
Pustaka Sarwono Prawihardjo, Jakarta, 2011
2. Mansjoer A, TORCH. Editor Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI,
Setiowulan W, dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Jilid pertama,
Media Auesculapius FKUI, Jakarta, 2001.
3. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21.
Jakarta: EGC, 2005.

4. Anonim. 2005. Obstetri patologi dan Ginekologi. Bagian obstetric


dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung;
Elstar Offset Bandung.
5. Prawirohardjo Sarwono.2009. Perdarahan pada kehamilan muda.
Ilmu Kandungan.Edisi ketujuh. Jakarta : PT.Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.p 464-74.

Você também pode gostar