Você está na página 1de 45

BAB I

PENDAHULUAN
Hipertensi

dikenal

secara

luas

sebagai

penyakit

kardiovaskular.

Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan
prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju. 1
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain
mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal
maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap
tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke
dokter, perawatan di rumah sakit dan / atau penggunaan obat jangka panjang.
Makin meningkatnya harapan hidup makin kompleks penyakit yang
diderita oleh orang lanjut usia, termasuk lebih sering terserang hipertensi.
Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi
(HST), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik
HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas
dan mortalitas pada pasien usia lanjut.2
Hipertensi pada usia lanjut mempunyai beberapa kekhususan, umumnya
disertai dengan faktor risiko yang lebih berat, sering disertai penyakit-penyakit
lain yang mempengaruhi penanganan seperti dosis obat, pemilihan obat, efek
samping atau komplikasi karena pengobatan lebih sering terjadi, terdapat
komplikasi organ target, kepatuhan berobat yang kurang, sering tidak mencapai
target pengobatan dan lain-lain. Kesemua ini menjadikan hipertensi usia lanjut
tergolong dalam risiko kardiovaskular yang tinggi atau sangat tinggi. Oleh karena
itu penanganan hipertensi pada usia lanjut membutuhkan perhatian yang besar.3
Hipertensi khususnya pada usia lanjut sangat sering dijumpai. Dari hasil
riset dasar kesehatan nasional (RISKESDAS) 2007 didapatkan prevalensi
hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% yang meningkat semakin banyak, sehingga
di atas 55 tahun melebihi 50%. Data dari negara maju tak jauh berbeda, di
Amerika Serikat prevalensi hipertensi pada usia diatas 65 tahun adalah 72%.
Dalam penelitian Framingham, pada yang mempunyai tekanan darah normal di

usia 50 tahun, hampir seluruhnya (90%), kemudian menjadi hipertensi.


Komplikasu hipertensi yang utama adalah penyakit kardiovaskular, yang dapat
berupa penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, penyakit ginjal kronik,
kerusakan retina mata, maupun penyakit vaskuar perifer.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan klasifikasi
Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada
arteri. Tekanan tersebut dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa
darah. Hipertensi berkaitan dengan kenaikan tekanan diastolik, tekanan
sistolik, atau kedua-duanya secara terus-menerus. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi
(denyut jantung). Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam
arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua
denyutan.5,6
The Joint National Community on Preventation, Detection,Evaluation and
Treatment of High Blood Preassure 7 (JNC-7), WHO dan European
Society of Hipertension mendefinisikan hipertensi sebagai kondisi dimana
tekanan darah sistolik seseorang lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah
diastoliknya lebih dari 90 mmHg.6
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur 18
tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada
dua atau lebih kunjungan klinis2 (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah
mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik
(TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg.
Prehipertensi

tidak

mengidentifikasi

dianggap

pasien-pasien

sebagai
yang

kategori

tekanan

penyakit

darahnya

tetapi

cenderung

meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua


tingkat (stage) hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus diberi
terapi obat.

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur 18 tahun menurut JNC
7.2
a. Isolated Sistolik Hypertension
Sesuai dengan panduan JNC-VII, ISH didefinisikan sebagai Tekanan
Darah Sistolik 140 mmHG dengan Tekanan Darah Diastol 90 mmHg

atau kurang. Kenaikan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan


darah diastolik umumnya terjadi diatas usia 60 tahun. Hal ini sejalan
dengan berkurangnya elastisitas pembuluh darah besar (aorta) dan
proses aterosklerosis. ISH didapatkan pada usia 60-70 dari kasus
hipertensi pada usia lanjut dengan risiko 2-4 kali lipat untuk terjadinya
infark miokard, LVH, gangguan fungsi ginjal, stroke, dan mortalitas
kardiovaskuler.3
Komplikasi KV berbanding lurus dengan peningkatan tekanan darah
sistolik dan tekanan nadi serta berbanding terbalik dengan penurunan
tekanan darah diastolik. Semakin tinggi tekanan darah sistolik atau
tekanan nadi semakin berat risiko komplikasi kardiovaskular. Selain
itu penurunan tekanan darah dioastolik yang terlalu rendah berisiko
b.

mengurangi aliran darah ke arteri koroner.3


Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh
tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat
menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya
ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg; dikategorikan sebagai
hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Pada hipertensi
emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan
organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus
diturunkan segera (dalam hitungan menit jam) untuk mencegah
kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh gangguan organ target
akut: encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri
akut disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris
tidak stabil, dan eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan. .
Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai
kerusakan organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan
dengan obat antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1

dalam waktu beberapa jam s.d. beberapa hari.


2.2 Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya ( 50 juta jiwa) menderita
tekanan darah tinggi ( 140/90 mmHg); dengan persentase biaya
4

kesehatan cukup besar setiap tahunnya.4 Menurut National Health and


Nutrition Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang
dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-31%, yang berarti
bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi
peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991.
Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif.
Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya
umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi 55 tahun yang
tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%.2 Kebanyakan pasien
mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka didiagnosis
dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur
diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun,
laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari
umur 55 - 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki
yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur 60 tahun),
prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %.8
2.3 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen
maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.8
a. Hipertensi primer (essensial). Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi
merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer).5 Literatur lain
mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk
terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun
teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun-temurun dalam suatu keluarga, hal ini

setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan


penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila
ditemukan

gambaran

bentuk

disregulasi

tekanan

darah

yang

monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya


hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan
adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine,
pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen.
b. Hipertensi sekunder. Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan
sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal
akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah
penyebab sekunder yang paling sering.10 Obat-obat tertentu, baik
secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat
ini dapat dilihat pada tabel 2. Apabila penyebab sekunder dapat
diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan
atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya
sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi
sekunder.
Tabel 2. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi8
Penyakit
penyakit ginjal kronis
hiperaldosteronisme primer
penyakit renovaskular
sindroma Cushing
pheochromocytoma
koarktasi aorta
penyakit tiroid atau paratiroid

Obat
Kortikosteroid, ACTH
Estrogen (biasanya pil KB dg
kadar estrogen tinggi)
NSAID, cox-2 inhibitor
Fenilpropanolamine dan analog
Cyclosporin dan tacrolimus
Eritropoetin
Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug, ACTH: adrenokortikotropik hormon
2.4 Patogenesis
6

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur,
tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS
diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi
sewaktu bilik jantung diisi.

Gambar 1. Fisiologi pengaturan tekanan darah


Pengaturan tekanan darah sangat kompleks dan mencakup interaksi antara
berbagai faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel
hemodinamik yakni curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung
dipengaruhi oleh volume darah yang sangat tergantung secara independen
dengan konsentrasi natrium serum. Resistensi perifer diatur pada tingkat
arteriol dan dipengaruhi oleh faktor neuronal dan hormonal. Tonus
vaskulur normal dipengaruhi oleh zat vasokonstriktor (angiotensin II dan
katekolamin) dan vasodilator (kinin, prostaglandin dan nitrit oksida).
Resistensi pembuluh darah diatur oleh autoregulasi dimana peningkatan
tekanan darah akan memicu vasokonstriksi untuk mencegah hiperperfusi
jaringan. Faktor lokal seperti pH dan hipoxi serta interaksi neuronal antara
dan adrenerdik juga terlibat.

Gambar 2. Autoregulasi tekanan darah oleh sistem RAAS


Ginjal dan kelenjar adrenal berperan penting pada regulasi tekanan darah
dan berinteraksi satu sama lain untuk mengatur tonus tekanan darah dan
volume tekanan darah. Ginjal mempengarhi resistensi perifer dan
homeostasis natrium secara langsung melalui sistem RAAS. Renin
merupakan enzim proteolitik yang dihasilkan di ginjal oleh sel
jukstaglomerular di arterior aferen. Saat volume atau tekanan darah turun
terjadi penurunan tekanan pada arteriol aferen, penurunan GFR dan
peningkatan resorpsi natrium tubulus proksima sehingga terjadi konservasi
natrium dan ekspansi voume darah. Sel jukstaglomerular berespn dengan
melepaskan renin. Renin mengkatabolisme angiotensinogen plasma
menjadi angiotensin I yang kemudia dikonversi menjadi angiotensin II
oleh Angiotensin

converting

enzyme

di perifer. Angiotensin

II

meningkatkan tekanan arah dengan meningkatkan resistensi perifer dengan


merangsang kontraksi sel otot polos vaskular, meningkatkan volume
plasma dengan merangsang sekresi aldosteron pada adrenal, meningatkan
reabsorbsi natrium tubulus. Atrium jantung juga mensekresika atrial
natriuretik peptita (ANP) sebagai respon terhadap ekspansi volume jantung
pada gagal jantung dan menghambat reabsorbi natrium di tubulus ginjal
dan menyebabkan vasodilatasi sistemik.

Hampir 95% hipertensi adalah idiopatik (hipertensi esensial) . Kebanyakan


pasien tetap stabil seumur hidup dan sebagian mengalami komplikasi
infark miokard, strokea tau komplikasi lain. Sisanya adalah hipertensi
sekunder yang disebabkan oleh penyempitan arteri renalis biasanya oleh
plak aterosklerosis (hipertensi renovaskular). Yang jarang terjadi adalah
hipertensi akibat penyakit adrenal seperti aldosteronisme perifer, sindrom
cushing, feokromositoma atau penyakit lain
Sekitar 5% hipertensi menunjukkan peningkatan tekanan darah cepat yang
jika tidak terdeteksi dapat menyebaban kematian dalam 1-2tahun.
Hipertensi maligna atau accelerated secara klinis ditandai oleh hipertensi
berat (DBP >120mmHg), gagal ginjal, perdarahan retina dan eksudat
dengan atau tanpa papiledema. Hipertensi maligna dapat terjadi pada
hipertensi yang sudah ada, esensial maupun sekunder.Faktor resiko
hipertensi mencakup faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik.
Beberapa

gen

tunggal

dapat

menyebabkan

hipertensi

dengan

mempengaruhi reaborbsi natrium. Hipertensi juga dipengaruhi oleh


polimorfisme lokus angitensin. Pengaruh genetik dan ras pada sistem
RAAS belum jelas namun diduga melibatkan perbedaan pada regulasi
tekanan darah mencakup loading natrium ginjal, peningkatan reaktivitas
vaskular terhadap vasoprotektor atau proliferasi otot polos vaskular. Faktor
lingkungan: modifikasi ekspresi genetik seperti stres obesitas, merokok,
inaktivitas fisik dan konsumsi garam. Hubungan antara diet tinggi natrium
dan prevalensi hipertensi berbeda pada populasi yang berbeda secara
impresif.

Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara


potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah 10
- Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau
variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial dll

Produksi

vasokonstriktor
Asupan natrium (garam) berlebihan
Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya

produksi angiotensin II dan aldosteron


Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan

peptide natriuretik
Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi

tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal


Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada

pembuluh darah kecil di ginjal


Diabetes mellitus
Resistensi insulin
Obesitas
Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,

karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular


Berubahnya transpor ion dalam sel

berlebihan

hormon

yang

menahan

natrium

dan

2.5. Diagnosis
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi:
- Menilai gaya hidup dan identifikasi
kardiovaskular

atau

penyakit

penyerta

faktor-faktor
yang

mungkin

resiko
dapat

mempengaruhi prognosis sehingga dapat memberi petunjuk dalam


-

pengobatan
Mencari penyebab tekanan darah tinggi
Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit
kardiovaskular

Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat


penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes
laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik lainnya.
Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan
fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-

10

rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk
mendiagnosis hipertensi.
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah
mempunyai faktor resiko tambahan (lihat tabel 3) tetapi kebanyakan
asimptomatik.
Tabel 3. Faktor-faktor resiko kardiovaskular2
Faktor resiko mayor
Hipertensi
Merokok
Obesitas (BMI 30)
Immobilitas
Dislipidemia
Diabetes mellitus
Mikroalbuminuria

Kerusakan organ target


Jantung : Left ventricular hypertrophy
Angina atau sudah pernah infark

atau
perkiraan

GFR<60 ml/min
Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65
tahun untuk perempuan)
Riwayat keluarga untuk

miokard
Sudah pernah revaskularisasi koroner
Gagal jantung
Otak : Stroke atau TIA
Penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer
Retinopathy

penyakit

kardiovaskular prematur (laki-laki < 55


tahun atau perempuan < 65 tahun)
BMI = Body Mass Index; GFR= glomerular Filtration Rate; TIA =
transient ischemic attack
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar,
pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat
badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri
karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid;
pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk
melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang
abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan
denyut nadi, serta penilaian neurologis. Pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik juga perlu digali apakah sudah ada kerusakan organ target sebelumnya
atau disebabkan hipertensi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus meliputi
hal-hal seperti:

Otak: stroke, TIA, dementia

11

Mata: retinopati
Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark

miokard, pernah revaskularisasi koroner


Ginjal: penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer

Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai


terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit;
kalium, kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 12
jam) termasuk HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram.
Pemeriksaan opsional termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau
rasio albumin / kreatinin. Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk
mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak diindikasikan kecuali apabila
pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.
2.5 Penatalaksanaan
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah : Penurunan mortalitas dan
morbiditas

yang

berhubungan dengan

hipertensi.

Mortalitas

dan

morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target (misal:


kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit
ginjal). Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan
pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang
menunjukkan pengurangan resiko.
a. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII.5
- Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
- Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
- Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg
b. Target nilai tekanan darah menurut JNC VIII12
- Pada populasi umum usia 60 tahun terapi farmakologi dimulai
pada SBP>150 dan DBP>90 mmHg dengan target tekanan
-

darah <150/90mmHg (Grade A)


Pada populasi umum usia 60 tahun jika terapi farmakologi
berhasil mencapai SBP <140mmHg dan dapat ditoleransi
secara baik tanpa efek samping maka terapi tidak perlu diubah
(Grade E)

12

Pada populasi umum <60 tahun terapi farmakologi dimulai


untuk mencapai target DBP <90mmHg (Grade A untuk usia 3059 tahun, grade E untuk usia 18-29 tahun) dan SBP

<140mmHg (Grade E)
Pada populasi usia 18 tahun dengan CKD atau diabetes terapi
farmakologi bertujuan mencapai SBP <140 dan diastolik

<90mmHg (grade E)
c. Target nilai tekanan darah menurut ESH 20139
- Tekanan darah <140/90 untuk pasien hipertensi dengan faktor
resiko CVD rendah dan <130/80 pada pasien dengan resiko
CVD
-

tinggi

(diabetes,

penyakit

cerebrovaskular,

kardiovaskular, ginjal)
Pada orang tua <80 tahun target SBP 140-150mmHg dan pada
kondisi fit dapat <140mmHg atau disesuaikan dengan toleransi

individual
Pada orang tua <80tahun target SBP 140-150mmg
Pada pasien diabetes melitus target DBP <85mmHg
Pada kehamilan terapi diberikan pada TD >160/110mmHg

13

Tabel 4. Perbandingan target tekanan darah menurut JNC VII, JNC


VIII, ESH/ESC 2013, ISHIB 2010, ADA 2013, KDIGO 2102, NICE,
CHEP 20138
Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum
dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan
pasien dengan hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai
tetapi tekanan darah sistolik masih tinggi. Diperkirakan dari populasi
pasien hipertensi yang diobati tetapi belum terkontrol, 76.9%
mempunyai tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg.12 Pada kebanyakan pasien, tekanan darah
diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik
yang diiginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah
sistolik berkaitan dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan
darah diastolik, maka tekanan darah sistolik harus digunakan sebagai
petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada hipertensi.5
Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk pasien dengan
prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan hipertensi
atau untuk pasien-pasien dengan target tekanan darah 130/80 mmHg
(DM dan penyakit ginjal). Pemilihan obat tergantung berapa tingginya
tekanan darah dan adanya indikasi khusus. Kebanyakan pasien dengan
hipertensi tingkat 1 harus diobati pertama-tama dengan diuretik tiazid.
Pada kebanyakan pasien dengan tekanan darah lebih tinggi (hipertensi
tingkat 2), disarankan kombinasi terapi obat, dengan salah satunya
diuretik tipe tiazid. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan
dengan: terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi

14

Gambar 3. Penatalaksanaan hipertensi menurut JNC 75

15

Gambar 4. Penatalaksana hipertensi menurut JNC 811

16

Tabel 6. Obat-obat antihipertensi dan dosis rekomendasi JNC 811


a. Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting
untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang
penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan
prehipertensi dan hipertensi harus melakukan

perubahan gaya

hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah


dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC
VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien
dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi
berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien
dengan tekanan darah prehipertensi.14 Modifikasi gaya hidup yang
penting

yang

terlihat

menurunkan

tekanan

darah

adalah

mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;


mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop

17

Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah


natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja.
Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup
baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan
berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat. 10
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk
menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang
gemuk dan obesitas disertai pembatasan pemasukan natrium dan
alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan
moril.
b. Terapi farmakologi
Panduan dalam Pemilihan dosis obat antihipertensi
- Mulai satu obat: titrasi maksimal. Jika tujuan tekanan darah
tidak dicapai dengan penggunaan satu obat meskipun titrasi
dengan dosis maksimum yang disarankan, tambahkan obat
kedua dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau
ARB) dan titrasi sampai dengan maksimum yang disarankan
-

dosis obat kedua untuk mencapai tujuan tekanan darah.


Jika tujuan tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat, pilih
obat ketiga dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI,
atau ARB), hindari penggunaan kombinasi ACEI dan ARB.
Titrasi obat sampai ketiga untuk maksimum dosis yang

dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah.


Mulailah dengan 2 obat pada saat yang sama, memulai terapi
dengan 2 obat secara bersamaan, baik sebagai obat 2 yang
terpisah atau sebagai kombinasi pil tunggal. Titrasi obat ketiga
sampai dengan maksimum dosis yang dianjurkan untuk
mencapai tujuan tekanan darah. Beberapa anggota komite
sarankan mulai dengan> 2 obat ketika tekanan darah sistolik >
160 mmhg kombinasi pil dan / atau tekanan darah diastolk >
100 mm hg, atau jika tekanan darah sistolik > 20 mm hg di atas
target dan / atau tekanan darah diastolik > 10 mmhg di atas
target. jika tujuan tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat,
18

pilih obat ketiga dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB,


ACEI, atau ARB), hindari penggunaan gabungan ACEI dan
ARB. Titrasi obat sampai ketiga dengan dosis maksimum yang
disarankan.

19

Tabel 7. Indikasi memulai obat antihipertensi menurut ESC


-

2013.12
Kombinasi

Obat-Obat

Anti-Hipertensi

15,16

Data-data

menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi


memiliki tekanan darah yang tidak terkontrol (tidak mencapai
target). Hal ini selain disebabkan karena pasien tidak patuh
menggunakan obat, juga disebabkan karena pemberian obat
anti-hipertensi yang tidak adekuat. The American ALLHAT
study (The Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to
Prevent Heart Attack Trial, 2000) menunjukkan bahwa untuk
mencapai TD < 140/90 mmHg ],60% pasien hipertensi
membutuhkan 2 atau 3 jenis obat anti-hipertensi. Dengan
demikian

berbagai

asosiasi

hipertensi

menganjurkan

menggunakan 2 atau 3 jenis obat anti-hipertensi. Bahkan


mereka telah membuat algoritme pengobatan agar lebih efektif
menurunkan tekanan darah dalam kombinasi obat. Pabrik obat
juga membuat dosis kombinasi tetap (fixed dose combination)
dalam satu tablet dengan tujuan meningkatkan kepatuhan
pasien dalam mengkonsumsi obat. Contoh kombinasi 2 obat
antihipertensi antara lain :(Exforge), Nifedipin + atenolol
(NIF-TEN),

Telmisartan

HCT

(Micardis

Plus),

20

Irbesartan+HCT(Co-aprovel), Valsartan+HCT (CoDiovan),


Bisoprolol + HCT (Lodoz), Spironolacton + Butizide
(Aldazide), Reserpin + Hydralazine + HCT (Serapes), dan
lain lain. Kombinasi obat hipertensi dengan obat lain juga
tersedia seperti kombinasi Amlodipin dengan Atorvastatin
-

(Caduet).
Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi

1.
2.
3.
4.
5.

dianjurkan:
Mempunyai efek aditif
Mempunyai efek sinergisme
Mempunyai sifat saling mengisi
Penurunan efek samping masing-masing obat
Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target

tertentu
6. Adanya fixed dose combination

akan meningkatkan

kepatuhan pasien (adherence)


Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai
berikut:5,8
1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan
2.
3.
4.
5.

diuretik
Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
Penyekat beta dengan diuretik
Diuretik dengan agen penahan kalium
Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan

antagonis kalsium
6. Agonis -2 dengan diuretik
7. Penyekat -1 dengan diuretic
Menurut European Society of Hypertension 2013, kombinasi dua
obat untuk hipertensi ini dapat dilihat pada gambar dibawah
dimana kombinasi obat yang dihubungkan dengan garis hijau
adalah kombinasi yang paling efektif.

21

Gambar 5. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk


obat-obat antihipertensi. Garis hijau : kombinasi yang direkomendasikan.
Garis hijau putus-putus : kombinasi yang mungkin. Garis hitam putusputus: kombinasi yang memungkinkan tetapi kurang disarankan. Garis
merah: tidak direkomendasikan9
A. Diuretik
Diuretik yang digunakan sebagai obat antihipertensi adalah
diuretik tiazid, diuretik hemat kalium, dan loop-diuretik .
Pemberian diuretik sebagai obat antihipertensi tunggal dilaporkan
efektif dalam menurunkan TD pada 50% penderita HT ringan
sampai sedang. Diuretik menyebabkan ekskresi air dan Na +
melalui

ginjal

meningkat.

Berkurangnya

volume

plasma

menurunkan preload selanjutnya menurunkan cardiac output.


Selain

itu,

menyebabkan

berkurangnya
sensitivitas

konsentrasi

Na+

dalam

adrenoreseptoralfa

darah

terhadap

katekolamin menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau resistensi


perifer menurun. Diuretik bermanfaat pada orang tua karena orang
tua volume dependent. 12,13
1. Diuretik tiazid. Hydro-chloro-thiazide (HCT) adalah yang
paling banyak dilakukan klinik. Dulu HCT diberikan pada
dosis besar yaitu 25-50 mg/hari sehingga banyak menimbulkan

22

efek

samping

seperti

peningkatan

asam

urat

(70%),

peningkatan gula darah (10%), gangguan profil lipid atau


hiponatremia. Saat ini HCT digunakan dalam dosis kecil yaitu
12,5 - 25 mg/hari. Pada dosis ini HCT dilaporkan efektif
menurunkan TD, menurunkan morbiditas dan mortalitas dan
tidak banyak menimbulkan efek samping, sehingga HCT dosis
kecil dianjurkan sebagai obat antihipertensi lini I pertama
untuk kebanyakan pasien hipertensi. HCT memiliki efek
retensi Ca++ sehingga dapat mencegah osteoporosis. Dengan
demikian penggunaan HCT sebagai obat antihipertensi pada
lansia memiliki efek tambahan. HCT dosis kecil (6,25 mg)
dapat dikombinasi dengan hampir semua obat anti-hipertensi
lainnyaa dan memberi efek sinergistik. Hasil ALLHAT (2002)
memberi informasi bahwa

diuretik tiazid merupakan obat

antihipertensi lini pertama bagi pasien HT tanpa komplikasi.


Kondisi lain yang juga menguntungkan penggunaan diuretik
tiazid adalah isolated systolic hypertension. Dosis maksimum
HCT adalah 25 mg/hari.

Dosis diatas ini meningkatkan

mortalitas. Chlorthalidone (Hygroton) adalah preparat lain


dari diuretik tiazid. Indapamide (Natrilix SR.) adalah diuretik
tiazid yang non diuresis; obat ini menurunkan tekanan darah
tanpa meningkatkan produksi urin. Kelebihan

indapamide

adalah menurunkan TDS tanpa mempengaruhi TDD. Pada


pasien gangguan fungsi ginjal tiazid tidak efektif menurunkan
TD dan sering menyebabkan hipokalemia. Pada keadaan ini
loop diuretik menjadi pilihan. Untuk meningkatkan efektifitas,
tiazid dan loop diuretik dapat dikombinasi.
2. Diuretik hemat kalium. Spironolakton

(Aldactone,

carpiaton, letonal, 25 mg dan 100 mg) adalat antialdosteron, memiliki efek antihipertensi lemah sehingga jarang
diberikan sebagai obat tunggal dalam terapi HT. Spironolakton

23

disebut diuretik hemat kalium karena meningkatkan kadar


kalium dalam plasma, sehingga obat ini selalu dikombinasikan
dengan HCT atau furosemide untuk mencegah terjadinya
hipokalemia. Pada pasien gagal jantung, dilaporkan bahwa
konsentrasi plasma aldosteron berbanding lurus dengan
mortalitas, pemberian spironolakton pada pasien HT vang juga
gagal jantung menurunkan mortalitas seperti dilaporkan pada
Randomized

Aldactone

Evaluation

Study

(RALES).

Spironolakton juga dianjurkan pada penderita infark miokard


dengan hipertensi karena memiliki efek mencegah remodeling.
Indikasi lain dari diuretik hemat kalium adalah untuk
hiperaldosteronisme. Efek samping spironolakton adalah
impotensi, gynecomastia dan hipertrofi prostat. Hati-hati
digunakan bersama ACE-I karena dapat menyebabkan
hiperkalemia.
3. Loop diuretik. Furosemide (Lasix: Farsix, Uresix) adalah
loop diuretik yang kuat, tersedia dalam tablet (40 mg/tablet)
dan dalam bentuk vial (20 mg/ampul). Obat ini dapat cepat
sekali menguras cairan tubuh dan elektrolit, sehingga tidak
dianjurkan sebagai obat antihipertensi kecuali pada pasien HT
yang juga menderita retensi cairan yang berat, atau pada
Hypertension Heart Failure (HHF) . Efek samping loop
diuretik adalah hiponatremia, ototoksisitas, hiperurisemia,
hiperglisemia, hipokalemia, dan meningkatkan LDL kolesterol
sebaliknya menurunkan HDL kolesterol. Indikasi lain dari loop
diuretik adalah edema pada sindrom nefrotik, chronic renal
insufficiency, atau sirosis hepatis yang sudah refrakter terhadap
diuretik lain. Akan tetapi loop diuretik mengaktifkan sistem
RAA dan meningkatkan PGC, hal ini dilaporkan dapat
memperburuk kerusakan ginjal. Kontraindikasi loop diuretik
adalah hipovolemia, hiponatremia, anuri (obstruksi post renal)

24

dan pasien yang alergi terhadap preparat sulfa. Bumetanide


(Bumex) dan ethacrynic acid (Edecrin) adalah preparat
loop diuretik.
A. Beta bloker.
Beta bloker menurunkan tekanan darah terutama dengan
mengurangi isi sekuncup jantung, selain itu juga menurunkan
aliran simpatik dari SSP dan menghambat pelepasan rennin
dari ginjal, sehingga mengurangi sekresi aldosteron. Beta
bloker generasi baru seperti bisoprolol, carvedilol, nebivolol
dan lain - lain yang memiliki farmakokinetik lebih netral, serta
memiliki efek pleiotropik seperti meningkatkan produksi NO,
memiliki efek anti-oksidan dan menghambat adrenoseptor-a1.
Efek antihipertensi dari beta bloker generasi ketiga ini belum
pemah diperbandingkan.
output

dan

resistensi

Beta bloker menurunkan Cardiac


perifer

sehingga

memiliki

efek

antihipertensi . Sejak ditemukan pada tahun 1960, B-bloker


selain sebagai obat antiaritmia, juga digunakan sebagai obat
antihipertensi. Bahkan pada JNC I-V (1998), beta bloker dan
diuretik direkomendasikan sebagai obat antihipertensi lini
pertama. Namun pada tahun 1985, laporan dari Medical
Research Council (MRC) Trial of mild hypertension
menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi ringan, diuretik
lebih

unggul

menurunkan

insiden

stroke

dibanding

propranolol; dan pada tahun 1992 MRC Trial of hypertension


in older adult menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi
umur 65-74 tahun, diuretik lebih unggul dari atenolol dalam
mencegah kejadian kardiovaskular termasuk stroke; kemudian
Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial (ASCOT, 2006)
menunjukkan

bahwa

resimen

kombinasi

atenolol

dan

diuretik .tiazid tidak lebih baik bahkan sedikit inferior


dibandingkan regimen kombinasi amlodipin dan ACE-inhibitor
dalam menurunkan kejadian kardiovaskular pasien hipertensi.
25

Hasil hasil

ini menyebabkan

popularitas

BB sebagai

antihipertensi menurun. Padahal secara farmakologi hasil hasil


penelitian tersebut diatas memiliki banyak kelemahan yang
perlu diluruskan disini. Indikasi utama beta bloker adalah pada
pasien HT yang takikardi atau takiaritmia (termasuk pasien
anxiety, feokromositoma dan tirotoksikosis), dan pada pasien
HT yang memiliki penyakit jantung koroner (angina pektoris
atau pasca miokard infark). Bagi pasien HT umur lanjut yang
sudah mengalami j penurunan fungsi jantung, penggunaan Beta
bloker tentu harus sangat hati-hati. Beta bloker yang dapat
digunakan pada pasien HT golongan ini hanya metoprolol,
bisoprolol dan carvedilol dengan ketentuan "start low go low.
-

Beberapa beta bloker yang sering dipakai adalah:


Propranolol (Inderal) adalah prototype dari beta bloker
yang non-cardioselective. Obat ini tersedia dalam dua
kemasan (10 mg dan 40 mg/tablet). Dosis : 2-3 x 10 mg, atau
2-3 x 20 mg biasanya cukup efektif menurunkan TD. Efek
samping

antara

lain:

bronkospasme,

bradikardi,

hiperglikemia.
Atenolol (Tenormin, Farnormin, betablok) tersedia
dalam tablet 50 dan 100 mg Dosis : 1-2 x 50 mg, atau 1 x

100 mg.
Metoprolol (Seloken, Lopresol, Cardiosel)tersedia
dalam tablet 50 dan 100 mg. Dosis : 1-2 x 50 mg, atau 1 x

100 mg
Bisoprolol (Concor, Maintate) tersedia dalam tablet 2,5

dan 5 mg. Dosis : 1.-2 x 2,5 mg, atau 1 x5 mg.


Carvedilol (Dilbloc, V-bloc, Blorec) tersedia dalam
tablet 25 mg. Dosis: 1 x/ 12,5 atau 25 mg. Dilbloc dan Vbloc 6,25/tablet digunakan untuk gagal jantung.

Beta bloker aktif secara oral. Efek samping biasa meliputi


kelelahan, insomnia, dan halusinasi, juga dapat menyebabkan
hipotensi. Selain itu juga dapat menurunkan libido dan
26

menyebabkan impotensi. Beta bloker dapat mengganggu


metabolisme lipid, menurunkan HDL, dan meningkatkan
trigliserol plasma, selain itu juga dapat menyebabkan rebound
hipertensi.
B. Penyekat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker). 12
Sebagaimana diketahui bahwa kalsium adalah zat yang tersebar
di sel tubuh, dan merupakan intracellular messenger untuk
menjembatani suatu rangsang menjadi respon. Sebuah sel dapat
berkontraksi-apabi la terjadi peningkatan Ca2+ intrasel baik
disebabkan oleh masuknya Ca ekstrasel melalui kanal kalsium
atau karena dilepaskan dari intrasellular store. Berbagai
penyakit atherosklerotik seperti hipertensi, penyakit jantung
koroner, juga diabetes melitus dan obesitas, homeostasis kalsium
intrasel terganggu, akibatnya pembuluh darah menjadi sangat
sensitif terhadap substansi vasoaktif sehingga cenderung
berkontraksi. Hal ini meningkatkan resistensi

perifer dan

meningkatkan TD. Dengan menghambat kalsium masuk


kedalam sel, CCB memiliki efek vasodilatasi, memperlambat
laju jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan TD. CCB juga dapat bertindak sebagai intracellular
messenger bagi sistem RAA, dan juga berperan dalam sekresi
berbagai substansi neurohumoral. Dalam penelitian telah
dibuktikaf bahwa CCB menurunkan produksi angiotensin II
(Ang-II) melalui mekanisme penghambatan terhadap aktivitas
ACE. CCB juga menghambat vasokonstriksir hiperplasi dan
hipertrofi pembuluh darah yang diinduksi oleh Ang-II. Efek-efek
ini membuat CCB mampu menghambat proses dan progresivitas
atherosclerosis.

Efek lain adalah CCB menghambat sekresi

aldosteron, menurunkan sintesis endotelin dan menghambat


vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh endotelin. dilaporkan juga
memiliki efek antiperoksidan terhadap jaringan lemak. Di bidang

27

reologi, CCB dilaporkan menghambat agregasi trombosit. Masih


ada satu efek CCB yang tidak kalah pentingnya yaitu efek pada
arterial compliance (komplians arteri). Suatu obat antihipertensi
dikatakan baik apabila mampu meningkatkan komplians arteri
sehingga menurunkan pulse pressure dan pulse wave velocity.
Komplians arteri diartikan sebagai kemampuan arteri untuk
mengakomodasi volume darah yang meningkat secara simultan
pada waktu ventrikel kiri berkontraksi. Semakin elastik sebuah
pembuluh darah, maka kompliansnya semakin baik. Efek CCB
yang antisklerotik atau efek yang menurunkan ketebalan tunika
media dan meningkatkan kandungan elastin pada arteri
meningkatkan komplians. Dengan demikian CCB sebagai obat
antihipertensi memiliki efek proteksi terhadap penyakit jantung,
penyakit pembuluh darah dan penyakit ginjal. Semua CCB
memiliki efek anti iskemik miokard melalui mekanisme yang
telah dijelaskan diatas yaitu: menurunkan resistensi perifer,
menurunkan beban jantung, meningkatkan suplai; menurunkan
kebutuhan O2, anti sklerotik dan anti agregasi. Berbagai studi
menunjukkan bahwa CCB menurunkan episode angina pada
penderita PJK. Prospective Randomized Amlodipine Survival
Evaluation (RAISE) trial (1996) dan Vasodilator -Heart Failure
Trial III (V-HeFT III,1997) menunjukkan bahwa golongan
dihidropiridin efektif memperbaiki gejala seperti sesak dan
menurunkan mortalitas pasien gagal jantung yang memiliki
ejection fraction (EF) rendah. Golongan benzotiazepin dan
verapamil memiliki efek antiaritmia (terutama takiaritmia).
Verapamil merupakan obat yang memiliki sifat seperti betablockers yaitu efek kronotropik negatif dan inotropik negatif,
jadi pasien yang mempunyai indikasi diberikan beta-blockers
namun memiliki penyakit asma atau diabetes yang tidak cocok
diberikan beta-blockers dapat diganti dengan verapamil. Efek

28

proteksi terhadap penyakit ginjal. CCB golongan dihidropiridin


dan benzotiazepin mampu memperbaiki efek vasokonstriksi vasa
aferen arteri ginjal yang diinduksi oleh Ang-II atau adrenalin.
Dengan demikian meningkatkan glomerular capillary pressure,
meningkatkan glomerulo flow rate dan meningkatkan perfusi
ginjal pada penderita HT. Dihidropiridin generasi baru seperti
efonipine dan manidipine selain menyebabkan dilatasi vasa
aferen, juga menyebabkan delatasi vasa eferen ginjal sehingga
menurunkan glomerular capillary pressure, dengan demikian
memiliki efek menurunkan proteinuria. Studi klinik juga telah
membuktikan bahwa CCB menghambat progresivitas kerusakan
ginjal pada pasien dengan berbagai Penyakit ginjal kronis, efek
renoprotektif CCB dilaporkan sebanding dengan ACE-Inhibitor.
CCB memiliki Trough-to-Peak (T/P) ratio antara 55-70 %.
Golongan CCB. Beberapa golongan CCB yang dibicarakan
disini adalah yang memiliki efek pada sistem kardiovaskuler
yaitu : dihidropiridin, fenilalkilamin dan bensotiazepin.
a. Dihidropiridin:

merupakan

CCB

generasi

kedua

ini

mempunyai afinitas lebih besar untuk kanal kalsium vaskuler


dibandingkan dengan kanal kalsium di jantung.
1) Nifedipin (Adalat) adalah CCB generasi pertama yang
paling kuat menyebabkan vasodilatasi. Tersedia dalam dua
kemasan (5 mg dan 10 mg) diberikan secara oral. Berhubung
karena onset of action dari obat ini sangat cepat dan memiliki
duration of action yang pendek yaitu hanya 6-8 jam, maka
obat ini memprovokasi suatu refleks takikardi dan TD menjadi
fluktuatif. Sifat ini menyebabkan nifedipin tidak popular
digunakan sebagai obat antihipertensi, apalagi pada pasien HT
yang juga menderita PJK. Nifedipin GIT (Adalat oros) berisi
nifedipin 30 mg dengan formulasi lepas lambat yang memiliki
duration of action 24 jam (T/P ratio 65%), sehingga

29

menurunkan TD lebih stabil dan tidak memiliki efek refleks


takikardi yang nyata. Obat ini diberikan sekali sehari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nifedipin GIT bermanfaat pada
pasien HT, termasuk mereka yang juga menderita PJK maupun
gagal jantung.
2) Amlodipin (Norvask) adalah CCB yang unik karena bersifat
long acting. Obat ini menurunkan TD secara perlahan-lahan
sehingga tidak menimbulkan refleks takikardi. Efek samping
amlodipin adalah edema pretibial. Amlodipin tersedia dalam
dua kemasan (5 mg dan 10 mg) yang diberikan secara oral
sekali sehari.
3) Felodipin (Plendil, Nirmadil), tersedia dalam bentuk tablet
2,5,5 dan 10 mg.
4) Nicardipine (Perdipine) adalah CCB yang dapat diberikan
secara

parenteral.

Berbagai

guideline

sudah

merekomendasikan nicardpine digunakan pada hipertensi


emergensi, diantaranya JNC 7 (2003), American stroke
Association 2007 dan CHEST 2007. Pada evaluasi keamanan
penggunaan nicardipine pada pasien pre-eclampsia berat,
penggunaan obat ini baik pada jangka pendek (< 7 hari),
jangka menengah (2-28 hari) dan jangka panjang (>29 hari)
menunjukkan perbaikan pada tekanan darah sistolik maupun
diastolik pada ibu tanpa efek toksik terhadap janin.
Nicardipine di Indonesia tersedia dalam sediaan ampul 10 mg
(untuk syringe pump/infus drip) dan ampul 2 mg. Obat ini
dapat dilarutkan dengan berbagai jenis pelarut seperti NaCl
0,9%, larutan Ka En, dextrosa 5% dan Ringer Asetat, namun
tidak dapat dilarutkan dengan Ringer Laktat dan tidak dapat
digunakan bersama Bikarbonat natrikus. Nicardipine memiliki
mula keija 5-10 menit dan lama kerja 15-90 menit. Untuk
hipertensi emergensi dosis adalah 0,5-6 ug/KgBb/ menit
(dengan syringe pump). Pada kasus hipertensi peri dan pasca

30

operasi dapat diberikan secara bolus dengan dosis 10-30


ug/KgBb/menit.
b. Fenilalkilamin
Prototip dari golongan ini adalah Verapamil (Isoptin). Obat
ini memiliki afinitas besar terhadap kanal kalsium di jantung
sehingga memiliki efek kronotropik dan inotropik negative
mirip beta blocker. Jadi indikasi obat ini juga seperti betablocker yaitu sebagai obat antihipertensi, antiaritmia terutama
Supraventricular Tachycardi (SVT), anti angina dan anti
atherosklerosis. Verapamil biasanya diberikan pada pasien
yang kontraindikasi terhadap beta blocker.
Isoptin tersedia dalam bentuk oral (80 mg/tablet) dan
injeksi (10 mg/ vial). Untuk pengobatan HT biasanya 2-3 x
80mg sehari. Untuk pengobatan SVT dapat diberi Isoptin 10
mg I.V. perlahan-lahan, kemudian dilanjutkan dengan tablet
Verapamil diabsorbsi cukup baik melalui GIT, didistribusi ke
seluruh tubuh. Efek samping verapamil adalah bradikardi, AV
blok, hipotensi dan konstipasi.
c. Bensotiazepin
Prototip dari golongan ini adalah diltiazem.
Diltiazem (Herbesser) adalah CCB non dihidropiridin yang
menyebabkan

dilatasi vasa aferen dan eferen glomerulus,

sehingga memiliki efek lebih baik melindungi pasien diabetik


nefropati yang diukur dari proteinuria. Diltiazem terutama
diberikan pada pasien HT yang disertai angina pektoris,
takiaritmia
Herbessert

diabetik
(R)

nefropati,

aterosklerotik

carotid,

tersedia dalam tablet 30 mg/tablet, diberikan 2-3

kali sehari, dan Herbesser CD 100 mg dan 200 mg diberikan


sehari sekali. Herbesser injeksi (ampuls 10 mg dan 50 mg)
dengan dosis 5-15 ug/kgBb/menit efektif menurunkan TD pada
31

pasien krisis hipertensi. Efek samping antara lain: pusing dan


bradikardi. Flushing, sakit kepala, peningkatan SGOP dan
SGPT, dan gatal gatal juga pernah dilaporkan.
D.Penghambat Sistem Renin-Angiotensinogen11
Sistem Renin Angiotensin (RA) merupakan regulator yang penting
dalam mengatur TD, keseimbangan cairan dan elektrolit. Selama
bertahun-tahun sistem RA dianggap sebagai bagian dari sistem
endokrin. Akhir-akhir ini terbukti bahwaj komponen sistem RA
yaitu renin, angiotensinogen, angiotensin (Ang) I dan II dapat
diproduksi secara lokal pada berbagai macam organ seperti
jantung, ginjal, otak, 1 paru-paru, dan vaskular, dimana efektor dari
sistem RA ini dapat berfungsi secara] parakrin, autokrin dan
intrakrin. Sistem RA dalam sirkulasi {circulating RA system) 1
yang mengatur TD serta homeostasis cairan dan elektrolit hanya
berjumlah 10 % dari seluruh sistem RA dalam tubuh. Sedangkan
90 % sistem RA terdapat di dalam jaringan (tissue RA system) yang
berperan pada pengaturan tonus vaskular, proses; remodeling dan
proliferasi sel jantung, ginjal, saraf dan lain-lain. Blokade sistem
RA merupakan pendekatan rasional dalam pengobatan HT, gagal
jantung, dan diabetik nefropati maupun non-diabetik. Akan tetapi
melihat homeostasis sistem RA yang begitu sempuma, obat
penghambat aktivitas sistem RA mungkin tidak memiliki efek besar
dalam menurunkan TD kecuali pada pasien yang memiliki aktivitas
renin plasma yang tinggi. Obat golongan ini bermanfaat pada HT
ringan dan sedang, atau diberikan dalam dosis kecil untuk
mencegah proses degenerasi sistem kardiovaskular. Obat yang
masuk dalam golongan penghambat aktivitas sistem RA adalah
ACE-inhibitor, AT, Reseptor Blockers (ARB) dan Direct Renin
Inhibitor (DRI)

32

a. ACE-inhibitor
ACE selain mengubah Ang-I menjadi Ang-II, enzim ini juga
menghambat katabolisme kinin menjadi bradikinin. Bradikinin
dibentuk dari kininogen oleh kallikrein. Peptide ini merangsang
reseptor bradikinin pada endotel selanjutnya meningkatkan
produksi NO dan prostaglandin yang memiliki efek vasodilatasi
(prostasiklin dan PGE2). Dengan demikian penghambatan aktivitas
ACE oleh ACE-inhibitor meningkatkan konsentrasi bradikinin
yang memiliki efek kardioprotektif.
ACE-inhibitor dibagi 3 golongan:
1) Yang mengandung Sulfhydiyl group : Kaptopril
2) Yang mengandung dicarboxyl: Enalapril, Lisinopril, Benazepril,
Quinapril Ramipril, Perindopril, Trandopril, Spiripril, Celazapril
dan Pentopril.
3) Yang mengandung Phosphorius : Fosinopril.
Mekanisme kerja obat obat ACE-inhibitor semuanya sama (tidak
seperti beta-blockers), dengan demikian memiliki indikasi dan efek
samping sama.
Farmakokinetik obat obat ACE-inhibitor juga sama, semuanya
diekskresi melalui ginjal

(kecuali fosinopril dan spirapril

diekskresi sebagian di ginjal dan sebagian di hati), sehingga pada


pasien gangguan fungsi ginjal dosis harus dikurangi. Untuk
hipertensi, mekanisme ACE-inhibitor menurunkan TD adalah
melalui:
1) Menghambat pembentukan Ang-II di sirkulasi maupun di
jaringan.
2) Menghambat aktivitas saraf simpatis dengan menurunkan
pelepasan noradrenalin.
3) Menghambat pelepasan endotelin.
4) Meningkatkan produksi substansi vasodilatasi seperti NO,
bradikinin, prostaglandin dan Ang-( 1 -7).

33

5) Menurunkan retensi sodium dengan menghambat produksi


aldosteron.
6) Memperbaiki insulin resisten. Insulin menyebabkan up-regulation
reseptor AT, dan retensi sodium.
7) Menurunkan medial thickness (rasio elastin/kolagen) pembuluh
darah. Dengan demikian memperbaiki komplians arteri besar
sehingga refleks takikardi tidak terjadi dan hanya terjadi sedikit
peningkatan katekolamin.
Rekomendasi penggunaan ACE-inhibitor:
1) Penderita HT dengan aktivitas plasma renin yang tinggi misalnya
pada stenosis arteri renalis. Penderita kulit hitam atau lansia
biasanya memiliki aktivitas plasma renin rendah sehingga tidak
memberi respon yang baik terhadap terapi ACE-inhibitors.
Penderita HT dengan DM yang disertai proteinuria, gagal jantung,
pasca miokard infark dengan gangguan fungsi diastolik. ACEinhibitor menurunkan resistensi insulin (efek ini baru tampak
pada terapi > 3 bulan). Karena DM sendiri merupakan faktor
risiko berbagai kejadian kardiovaskular, maka target penurunan
TD pada populasi DM dianjurkan lebih rendah dari populasi
biasa. ACE-inhibitor menurunkan after-load dan pre-load,
menghambat proses fibrosis dan growth pada miokard, dengan
demikian memperbaiki geometri ventrikel kiri sehingga fungsi
sistolik

dan

diastolik

ikutmembaik.

Penurunan

pre-load

danperbaikan fungsi endotel meningkatkan aliran koroner


sehingga ACE-inhibitor bermanfaat pada pasien HT yang juga
PJK atau gagal jantung.
2) Pasien
dengan
penyakit

renovaskular:

ACE-inhibitor

meningkatkan aliran darah ginjal dan menghambat progresivitas


gagal ginjal. Pada keadaan dimana terjadi penurunan tekanan
perfusi ginjal seperti pada pasien gagal jantung kongestif berat
atau stenosis a. renalis bilateral, GFR dipertahankan dengan
meningkatkan resistensi post-glomerular arteriole (arteriol eferen)
34

oleh produksi Ang-II, maka pemberian ACE-inhibitor pada


kondisi ini harus sangat hati-hati karena dapat mempresipitasi
teijadinya gagal ginjal. Pada penderita dengan fungsi ginjal
normal, ACE-inhibitor dilaporkan dapat meningkatkan kalium.
Kekuatiran kombinasi ACE-inhibitor dengan spironolakton
menimbulkan hiperkalemia ternyata pada Randomized Aldactone
Evaluation Study (Rales) tidak terbukti. Hiperkalemia mungkin
terjadi apabila pasien menderita gangguan fungsi ginjal seperti
pada diabetik nefropati. ACE-inhibitor kontraindikasi pada wanita
hamil. Sebaiknya hati hati penggunaannya pada wanita umur
reproduksi.
Obat

Nama dagang Sediaan (mg/tab)

Enalapril - Vasotec
Lisinopril Zestril

2,5 & 5
5 & 10

Dosis(mg/hari)

Keterangan

2,5 40
5-40

2 x/hari
1 x/hari

2,5-10

1 x/hari

5-10
2,5-5
5-10
10-20
5

1 x/hari_
1 x/hari
1 x/hari
1 x/hari
1 x/hari

0,5-2'

1 x/hari

Noperten
Tensinop
Perindopr - Bio-Prexum
il
Imidapril
Ramipnl
Fosinopril
Quinapril
Benazepri

5 & 10

- Tanapress
_5 & 10_
- Triatec
- Acenorm-M 10
- Accupril
10 & 20
- Lotensin
5

l
Trandolap - Gopten

0,5 & 2

ril
Tabel 8. Preparat ACEi 12
ACE-inhibitor dapat dikombinasikan dengan semua obat
antihipertensi lainnya. Kombinasi yang paling baik adalah dengan
diuretik. Efek samping:
1) Batuk batuk: batuk kering tejadi pada 5 - 20% pasien. Efek
samping ini tidak berhubungan dengan dosis dan lama
penggunaan. Lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan

35

karena akumulasi bradikinin, substansi P dan/atau prostaglandin.


Dilaporkan bahwa pemberian aspirin, antagonis tromboksan dan
preparat besi mengurangi batuk yang ditimbulkan oleh ACEinhibitor. Batuk akan mereda setelah 2-3 hari berhenti obat.
2) Dysgeusia: hilang rasa pengecap sering dilaporkan pada
penggunaan kaptopril. Efek samping ini reversible.
3) Angioedema: Terjadi pada 0,1 -0,5% pasien. Efek samping ini
diduga berhubungan dengan produksi bradikinin atau reaksi
alergis.

Gejalanya

adalah

pembengkakan

di

hidung,

kerongkongan, glottis, larynx, lidah dan bibir. Angioedema yang


terjadi pada jalan napas dapat menyebabkan kematian. Proteksi
jalan napas dengan pemberian adrenalin, antihistamin atau
kortikosteroid harus segera diberikan. Angioedema juga dapat
terjadi di saluran cerna menimbulkan gejala berupa mual dan
muntah, sakit perut dan diare.
4) Skin rash: bercak makulopapular yang disertai gatal atau tidak
gatal pernah dilaporkan. Bercak ini kadang kadang menghilang
sendiri atau dengan mengurangi dosis, atau dengan pemberian
antihistamin.
5)

Lain lain: Hiperkalemia dan gagal ginjal akut telah dibahas


diatas. Hepatotoksik. glikosuria dan proteinuria merupakan efek
samping yang jarang.
b. Angiotensin receptor blockers (ARB)
Angiotensin

receptor

blockers

(ARB)

yang

pertama

dipasarkan adalah losartan (1995). Dengan memblokade AT2


reseptor, ARB menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi
Na+ dan cairan (mengurangi volume plasma), menurunkan
hipertrofi vaskular. Efek ini mirip efek ACE-inhibitor sehingga
indikasi ARB dan efek samping hampir sama seperti ACEinhibitor. ARB bahkan pernah dilaporkan lebih unggul dari ACEinhibitor, hal ini disebabkan karena selain memblokade AT1 ARB

36

tidak menurunkan konsentrasi Ang-II dalam darah, jadi terjadi


perangsangan AT2 lebih banyak oleh Ang-II yang menyebabkan
vasodilatasi dan antiproliferasi. Namun Levy (2004) dan
Reudelhuber

(2005)

menemukan

hasil

berbeda,

mereka

menunjukkan bahwa perangsangan AT2 dapat menyebabkan


fibrosis dan hipertrofi vaskular, serta memiliki efek proinflamasi
dan

proatherogenik. Akhir akhir

menunjukkan

bahwa

ARB

ini

sebagai

ada beberapa studi


obat

antihipertensi

meningkatkan insiden miokard infark. Namun hal ini dibantah oleh


Volpe dkk (2009) melalui suatu meta-analisis. Kontroversi ini
menyebabkan beberapa senter menganjurkan ARB sebagai
penggati ACE- inhibitor, artinya ARB hanya diberikan pada pasien
yang tidak dapat menerima ACE-inhibitor. Walaupun demikian
telah dilaporkan bahwa pasien yang menggunakan ARB terjadi
penurunan insiden penyakit Alzheimer, insiden atrial fibrilasi, dan
terjadi peningkatan ekskresi asam urat Angiotensin receptor
blockers (ARB) yang pertama dipasarkan adalah losartan (1995).
Dengan

memblokade

AT2,

reseptor,

ARB

menyebabkan

vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi


volume plasma), menurunkan hipertrofi vaskular. Semua ARB
memiliki bioavailability rendah, namun karena ikatan dengan
protein plasma sangat kuat sehingga ARB hanya diberikan sehari
sekali. Efek samping ARB antara lain: pusing, sakit kepala, diare,
hiperkalemia, penurunan rash, batuk-batuk (lebih kurang dibanding
ACE-inhibitor),

abnormal

taste

sensation

(metallic

taste).

Walaupun jarang terjadi, ARB pernah dilaporkan menyebabkan


gagal ginjal dan gangguan fungsi hati, serta menimbulkan reaksi
alergi.
Obat
Valsartan
Losartan

Nama dagang

Sediaan (mg/ tab)

- Diovan
- Cozaar

80 & 160
50

Dosis (mg/hari)
40-160
25-100

Keterangan
1 x/hari
1 x/harT"

37

Telmisarta -Micardis

20&40

20-40

n
Irbesartam - Aprovel
Olmesarta - Olmetec

150 & 300


5 & 20

150-300
5-20

1 x/hari
1 x/hari

n
Candesarta - Blopress

8 & 16

8-16

1 x/hari

200 - 400

1 x/hari

n
Eprosartan - Teventen
400
Tabel 9. Preparat ARB

1 x/hari

c. Direct Renin Inhibitor (DRI)


Pengetahuan

mengenai

renin

telah

mengalami

banyak

perubahan. Renin yang dulunya dianggap sebagai enzim yang


diproduksi dari ginjal untuk mengubah Angiotensinogen menjadi
Ang-I ternyata juga diproduksi di berbagai organ. Prorenin yang
dulunya diketahui sebagai prekursor renin ternyata jumlahnya jauh
lebih banyak dari renin (95% dari total renin) dan memiliki peranan
yang lebih besar dari renin. Prorenin meningkat pada pre-eclampsia,
polycystic ovary syndrome, gagal jantung, diabetik nefropati,
retinopati dan penyakit penyakit komplikasi kardiovaskular.
Prorenin lebih meningkat pada penderita DM dengan proteinuria
dibandingkan yang tanpa proteinuria. Dengan demikian prorenin
dapat dipakai sebagai prediktor baik buruknya prognosis penyakit
kardiovaskular.
Renin dan prorenin menjadi aktif setelah bergabung dengan
prorenin reseptor di jaringan untuk memproduksi Ang-I. Dilaporkan
juga bahwa renin dan prorenin yang aktif ini meningkatkan
proliferasi dan hipertrofi sel, serta meningkatkan produksi
transforming growth Factor-p1 (TGF-pl), fibronectin, collagen-1 dan
PAI-1 secara langsung melalui suatu mekanisme yang diatur oleh
reseptor (receptor mediated), tanpa ada hubungan dengan Ang-II.
Aliskiren (Rasilez) adalah renin inhibitor yang pertama
dipasarkan oleh Novartis. Obat ini bergabung dengan sisi aktif

38

renin dan prorenin menyebabkan fungsi katalitik ke dua peptide ini


menurun (plasma renin activity menurun) sehingga produksi Ang-II
berkurang dan menghambat end organ damage. Bebera uji klinik
menunjukkan bahwa Aliskiren mengurangi proteinuria P (AVOID
Trial), dan menurunkan LVH (ALLAY Study). Renin inhibitor
sangat bermanfaat diberikan pada pasien obesitas; hal ini
disebabkan lemak visceral memproduksi berbagai macam bahan
yang toksik terhadap vaskular, salah satunya adalah renin.
Dosis Aliskiren adalah 150 mg atau 300 mg sekali sehari.
Indikasi obat ini sama seperti ACE-inhibitor atau ARB. Untuk
meningkatkan efek, Aliskiren dapat dikombinasi dengan ACEinhibitor atau ARB.
E. Anti-adrenergik12,13
Studi-studi awal membuktikan bahwa golongan obat ini
efektif menurunkan TD dan memberi benefit pada pasien
hipertensi. Akan tetapi karena sebagian obat golongan ini (central
acting) harganya murah sehingga tidak pernah dilakukan uji klinik
secara besar-besaran seperti obat obat baru. Tampaknya obat antiadrenergik mulai ditinggalkan sebagai obat anti-hipertensi di
Negara barat. Namun, secara farmakologi, anti-adrenergik adalah
obat yang paling fisiologis menurunkan TD dibandingkan obatobat antihipertensi lainnya
1. Central acting
Anti-adrenergik yang kerja sentral menurunkan aktivitas saraf
simpatis, oleh sebab itu, obat golongan ini merupakan pilihan
utama bagi pasien HT yang niemiliki aktivitas saraf simpatis tinggi
seperti takikardi, gelisah, hiperhidrosis, mata merah, ujung kaki
dan tangan dingin, insomnia dan sebagainya. Kelebihan dari obat
ini adalah murah
a. Reserpin (Serpasil, 0,1 mg/tablet) mengurangi jumlah katekolamin
yang tersimpan di vesikel ujung saraf adrenergik, susunan saraf

39

pusat maupun perifer. Dengan demikian pemberian reserpin


menyerupai suatu simpatektomi secara farmakologi. Kondisi ini
menyebabkan Cardiac output, laju jantung, resistensi perifer
maupun sekresi renin menurun sehingga TD menurun. Efek
samping reserpin kebanyakan berhubungan dengan susunan saraf
pusat misalnya sedasi, sulit berkonsentrasi, dan yang paling berat
adalah depresi. Efek samping lain adalah hidung buntu dan
eksaserbasi ulkus peptikum. Untuk mencegah efek samping dosis
reserpin dianjurkan tidak melebihi 0,1 mg/hari. Telah dilaporkan
bahwa dosis 0,05 mg/hari reserpin tetap memiliki efek. Reserpin
menyebabkan retensi air dan garam sehingga kombinasi reserpin
dengan diuretik merupakan kombinasi yang ideal.
b. Klonidin (Catapres) tersedia dalam bentuk tablet (75 ug dan
150 ug/tablet) dan vial (150 ug/ampul). Klonidin merupakan agonis
adrenoseptor-a2 yang banyak terdapat di susunan saraf pusat
maupun diujung saraf adenergik perifer. Perangsangan reseptor ini
menurunkan

pelepasan

katekolamin

(negative

feed

back

mechanism) sehingga menurunkan aktivitas sarafadrenergik.


Melalui mekanisme ini klonidin menurunkan TD. Akan tetapi
berkurangnya aktivitas saraf adrenergik juga menimbulkan
beberapa efek samping misalnya sedasi, xerostomia, hipotensi
postural, bradikardi, gangguan ereksi, pada pasien tertentu dapat
mempresipitasi gagal jantung. Efek samping yang paling serius
dari klonidin adalah rebound hypertension; penghentian tiba tiba
obat ini menyebabkan TD overshut yang dapat menimbulkan strok
hemoragi.
2. Alfa1-blockers
al- blockers menurunkan resistensi perifer sehingga memiliki
efek menurunkan TD. Namun hal ini juga menyebabkan refleks
takikardi dan peningkatan aktivitas renin plasma pada awal
pemberian obat. Efek samping obat ini adalah hipotensi ortostatik

40

dan retensi cairan. Pasien yang mengalami retensi cairan kurang


mengalami hipotensi ortostatik. Beberapa keuntungan a 1-blockers
adalah memperbaiki profil lipid dan gejala hipertrofi prostat.
Namun pada ALLHAT,(2002) melaporkan penggunaan a1-blocker
doxazosin sebagai obat antihipertensi tunggal meningkatkan
insiden gagal jantung. Hal ini menyebabkan berbagai guideline
tidak lagi menganjurkan a1-blockers sebagai obat antihipertensi
tunggal. Al-blockers disarankan kombinasi dengan diuretik atau
obat antihipertensi lainnya, kecuali pada pasien HT dengan
dislipidemia atau hipertrofi prostat.
Beberapa preparat a1-blockers yang beredar:
1) Prazosin (Minipress) tersedia dalam 2 kemasan ( l mg dan 2
mg/tablet), diberikan peroral 2 x sehari. Dosis awal 0,5 - 1 mg/kali
kemudran dititerasi. Doxazosin (Cardura, 1 mg dan 2 mg/tablet)
dan Terazosin ( Hytrin, 1 mg dan 2 mg/tablet) bersifat longacting diberikan satu kali sehari. Dosis awal 1-2 mg, dosis
maksimal 4 mg.
Untuk menghindari first dose effect dan hipotensi ortostatik,
maka a1-blocker sebaiknya diberikan pada malam hari sebelum
tidur.
2.7.Komplikasi hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak
endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi
termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan
pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit
serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner
(infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila
penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain maka
akan

meningkatkan

mortalitas

dan

morbiditas

akibat

gangguan

kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan

41

hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit


koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung5

42

BAB III
KESIMPULAN
-

The

Joint

National

Community

on

Preventation,

Detection,Evaluation and Treatment of High Blood Preassure 7


(JNC-7),

WHO

dan

European

Society

of

Hipertension

mendefinisikan hipertensi sebagai kondisi dimana tekanan darah


sistolik seseorang lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah
-

diastoliknya lebih dari 90 mmHg.


Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai
normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan

tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg.


ISH didefinisikan sebagai Tekanan Darah Sistolik 140 mmHG

dengan Tekanan Darah Diastol 90 mmHg atau kurang.


Krisis hipertensi dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau

hipertensi urgensi.
Etiologi hipertensi di bagi dua yaitu Hipertensi primer dan
hipertensi sekunder. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat dikontrol. Banyak penyebab hipertensi sekunder;

endogen maupun eksogen.


Pengaturan tekanan darah sangat kompleks dan mencakup interaksi
antara berbagai faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi
dua variabel hemodinamik yakni curah jantung dan resistensi

perifer.
Untuk mendiagnosis hipertensi data di dapat dari anamnesis
mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit
keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur

diagnostik lainnya.
Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan: terapi
nonfarmakologi dan terapi farmakologi
DAFTAR PUSTAKA

43

1. 2003 World Health Organization (WHO) / International Society of


Hypertension Statement on Management of Hypertension. J Hypertens
2003;21:1983-1992
2. Hajjar I, Kotchen TA. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment, And
Control Of Hypertension In The United States, 1998 2000. JAMA
2003;290:199-206
3. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture Note:
kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta: Erlangga; 2003.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009Sudoyo AW,
5. Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
6. Chobaniam AV et al. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
JAMA 2003;289:2560-2572
7. Sherwood Lauralee, 2001 ; Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (Human
Physiology: From cells to systems) ; Edisi II, Jakarta, EGC.
8. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. U.S.
Department of Health and Human Services. 2003.
9. Dosh SA. The diagnosis of essential and secondary hypertension in
adults. J.Fam Pract 2001;50:707-712
10. Oparil S et al. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med
2003;139:761-776
11. Vasan RS et al, Impact of High Normal Blood Pressure on the Risk of
Cardiovascular Disease, NEJM 2001;345:1291-1297
12. James, Paul et al. 201 Evidence based guideline for the managementof
high blood presure in adults report from the panel members appointed to
the english joint national commitee (JNC 8). JAMA 2014;311(5):507-520
13. Mancia et al. 2013 ESC/ESH guideline for the management of arterial
hypertension. Journal of Hypertension 2013; 31:1281-1357
14. Hyman DJ et al. Characteristic Of Patients With Uncontrolled
Hypertension In The United States. NEJM 2001;345:479-486

44

15. Sacks FM et al. Effects On Blood Pressure Of Reduced Dietary Sodium


And The Dietary Approaches To Stop Hypertension (Dash) Diet. DASH
Collaborative Research Group. NEJM 2001;344:3-10
16. Kabo, Peter. Hipertensi dalam Bagaimana menggunaka obat-obatan
kardiovaskular secara rasional. Edisi 1. 2010. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
17. Myceek, MJ et al. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. 2001. Jakarta:
Widya Medika.

45

Você também pode gostar