Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1. Pengertian Abortus
Abortus adalah berrakhirnya kehamilan sebelun janin dapat hidup di dunia luar, tanpa
mempersoalkan penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar bila berat
badannya telah mencapai lebih dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20
minggu (Sastrawinata, dkk, 2004). Abortus adalah pengakhiran dengan cara apapun
sebelun janin cukup berkembang untuk dapat hidup di luar kandungan. Bila abortus
terjadi secara spontan, istilah keguguran lazim digunakan oleh orang-orang awam
(Cunningham, 2005).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat tertentu) pada waktu
sebelum usia kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum
mampu untuk hidup di luar kandungan (Saifuddin, 2002). Aborsi adalah suatu usaha
untuk mengakhiri kehamilan dengan mengeluarkan hasil pembuahan secara paksa
sebelun janin mampu bertahan hidup. Jika dilahirkan yang diterima sebagai aborsi
umumnya adalah usia kehamilan hingga 20 minggu atau berat janin 500 gram
(Varney, 2006). Abortus spontan adalah abortus yang tidak disengaja dan tanpa
tindakan apapun. Abortus macam ini lebih sering terjadi karena di luar faktor
kemampuan manusia, misalnya perdarahan atau kecelakaan. Kebanyakn abortus
terjadi secara alamiah antara kehamilan minggu ke 6 (Llewellyn Jones, 2001).
2. Etiologi Abortus
Menurut Cunningham, (2000), etiologi dari abortus antara lain :
a. Faktor janin
1) Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau kelainan
kromosom (monosomi, trisomi, poliploidi). Abnormalitas kromosom sering terjadi di
antara embrio dan janin fase awal yang mengalami abortus spontan serta menjadi
sejumlah besar kehamilan awal yang sia-sia. Penelitian menyebutkan bahwa 50 60
% dari abortus dini spontan berhubungan dengan anomaly kromosom pada saat
konsepsi
2) Embrio dengan kelainan lokal
3) Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trotbblas)
b. Faktor Ibu
1) Infeksi
Ibu yang menderita penyakit berat seperti infeksi yang disertai demam tinggi,
penyakit jantung atau paru yang kronik, keracunan, mengalami kekurangan vitamin
yang berat. Toksin, bakteri, virus atau plasmodium dapat melalui plasenta masuk ke
janin, sehingga menyebabkan kematian janin dan kemudian terjadi abortus. Anemia
berat, keracunan, laparotomy peritonitis umum dan penyakit menahun seperti
brusellosis, momonukleosis infeksiosa, toksoplasmosis juga dapat menyebabkan
abortus walaupun lebih jarang (Arisman, 2007).
Infeksi maternal yang dapat membawa resiko bagi janin yang sedang berkembang,
terutama pada akhir trimester pertama atau awal trimester kedua. Mookroorganisme
yang dapat menyebabkan abortus adalah (Sastrawinata, dkk, 2004):
a) Virus, misalnya rubella, sitomegalovirus, virus herpes simpleks, varisella zoster,
vaccine, hepatitis, polio dan ensefalomielitis.
b) Bakteri, misalnya Salmonella typhi
c) Parasit, misalnya Toxoplasma gondii, Plasmodium
2) Penyakit vaskuler, misalnya hipertensi vaskuler
Gangguan sirkulasi plasenta akibat ibu menderita suatu penyakit atau kelainan
pembentukan plasenta. Endarteritis dapat terjadi dalam vili koreales dan
menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan terjadi sejak kehamilan muda misalnya
karena hipertensi menahun (Arisman, 2007).
3) Kelainan endokrin
Abortus spontan dapat terjadi bila produksi progesterone tidak mencukupi atau pada
penyakit disfungsi tiroid dan defisiensi insulin. Kenaikan insiden abortus dapat
berdampak negative terhadap psikologi ibu hamil, seperti adanya stress yang
diakibatkan oleh pengalaman dan peristiwa masa lalu yang buruk atau tidak
menyenangkan tentang kehamilan yang diperkirakan akan berdampak buruk terhadap
harga diri dan status kesehatan kehamilan ibu (Soepardan, 2005).
c. Faktor eksternal
Tembakau, alkohol, kafein, radiasi, kontrasepsi, toksin lingkungan adalah beberapa
zat yang berperan sebagai penyebab abortus (Cunningham, 2005). Faktor laen yang
memudahkan terjadi abortus diantaranya adalah keadaan neonatal, yakni ketika ibu
masih belum menyadari kehamilannya atau tidak siap dengan kehamilan pertamanya.
Juga pengetahuan yang salah tenteng masalah reproduksi manusia (karena
penerangan yang keliru) menyebabkan ibu melakukan hal-hal yang tak dapat
dibenarkan, misalnya minum jamu atau obat-obatatl dengan maksud lancer haidnya
kembali menjelang. Sikap tersebut akan menimbulkan gangguan pada pertumbuhan
hasil konsepsi. Selain keadaan tersebut, kondisi fisik juga bisa mempengaruhi
tumbuhnya benih hasil konsepsi akan mengalami keguguran, jika ibu hamil dalam
kondisi tersebut. Keadaan ini erat hubungannya dengan hormone yang dihasilkan
oleh kelenjar didalam tubuh ibu yang tidak memadai (Sarwono, 2008).
Ketika ibu hamil meminum obat, maka obat itu akan mengalir melalui darahnya
menuju bayi. Sirup batuk, pereda nyeri, obat-obatan modern dan jamu-jamuan apabila
diminum sembarangan akan menjadi sangat berbahaya. Beberapa darinya bahkan
dapat menyebabkan cacat bawaan atau ketidakmampuan bayi seperti rendahnya
tingkat kecerdasan atau anomali otak lainnya ( Arisman, 2007).
Penelitian epidemiologi mengenai merokok tembakau dan abortus spontan
menemukan bahwa merokok tembakau dapat sedikit meningkatkan resiko untuk
terjadinya abortus spontan. Namun, hubungan antara merokok dan abortus spontan
tergantung pada faktor-faktor lain termasuk konsumsi alcohol, perjalanan reproduksi,
waktu gestasi untuk abortus spontan, kariotipe fetal, dan status sosioekonomi.
Peningkatan angka kejadian abortus spontan pada wanita alkoholik mungkin
berhubungan dengan akibat tak langsung dari gangguan terkait alkoholisme (Wahid,
2008).
3. Klasifikasi Abortus Spontan
a.Abortus Imminens
1) Pengertian Abortus Imminens
Abortus imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih di dalam uterus, dan tanpa adanya
dilatasi serviks (Wiknjosastro, 2005). Terjadi perdarahan bercak yang menunjukan
ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini,
kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan (Saifuddin, 2002).
2) Tanda dan Gejala Abortus Imminens
Menurut Sastrawinata, dkk (2004), tanda dan gejala abortus imminens antara lain :
a) Pengeluaran darah sedikit atau bercak pervaginam dan dapat berlanjut beberapa
hari atau berulang.
b) Nyeri perut bagian bawah atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi.
c) Ostium uteri tertutup
d) Uterus sesuai umur kehamilan
3) Penanganan Abortus Imminens
a) Observasi perdarahan (Saifuddin, 2002)
b) Bedrest selama 3 x 24 jam (Sastrawinata dkk, 2004)
c) Periksa USG untuk menentukan janin masih hidup (Mansjoer, 2001)
d) Hindari koitus (Saifuddin, 2002)
e) Kuretase bila reaksi kehamilan 2 kali berturut turut negative (Mochtar, 1998)
b. Abortus Incipiens
1) Pengertian Abortus Incipiens
Perdarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih
berada dalam kavum uteri. Jondisi ini menunjukan proses abortus sedang
berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus incomplete atau complete (Saiffudin,
2002).
2) Tanda dan Gejala Abortus Incipiens
a) Perdarahan sedang hingga banyak (Saifiiddin, 2002)
b) Pembukaan serviks dan atau pecah ketuban (Varney, 2006)
c) Ostium terbuka, buah kehamilan masih di dalam rahim (Sastrawinata dkk, 2004)
d) Besar uterus sesuai usai kehamilan (Saifiiddin, 2002)
e) Nyeri pada abdomen bagian bawah atau pada punggung (Varney, 2006)
3) Penanganan Abortus Incipiens
Menurut Sastrawinata dkk, (2004), penangan abortus incipiens adalah :
a) Evakuasi
b) Uterotonik pasca evakuasi
c) Antibiotic selama 3 hari
c. Abortus Incomplete
1) Pengertian Abortus Incomplete
Perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar
dari kavum uteri melalui kanalis servikalis (Saifuddin, 2002). Abortus incomplete
didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada vagina,
tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus
berlangsung banyak, dan membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena
masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus
alienum). Oleh karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan
mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri (Sastrawinata dkk, 2004).
2) Tanda dan Gejala Abortus Incomplete
a) Kram perut bagian bawah (Saifuddin, 2002)
b) Perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri atau kontraksi rahim ada, dan
bila perdarahan banyak dapat terjadi syok (Sastrawinata dkk, 2004).
c) Pemeriksaan dalam, ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah kehamilan
(Sastrawinata dkk, 2004).
3) Penanganan Abortus Incomplete
Menurut Mansjoer (2001), penanganan abortus incomplete meliputi :
a) Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infuse cairan NaCl fisiologis atau
ringer laktat dan selekas mungkin ditransfusi darah.
b) Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret tajam lalu suntikkan
ergometrin 0, 2 mg intramuscular.
c) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran
plasenta secara manual.
d) Berikan antibiotic untuk mencegah infeksi.
d. Abortus Complete
1) Pengertian Abortus Complete
Perdarahan pada kehamilan muda dimana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan
dari kavum uteri (Saifuddin, 2002). Kalau telur rahim dengan lengkap, abortus
disebut komplet. Pada setiap abortus penting untuk selalu memeriksa jaringan yang
dilahirkan apakah komplet atau tidak dan untuk membedakan dengan kelainan
trofoblas (molahidatidosa) (Sastrawinata dkk, 2004).
2) Tanda dan Gejala Abortus Complet
a) terdapat sedikit atau bahkan tanpa nyeri perut bagian bawah (Saifuddin, 2002).
b) Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap (Sastrawinata dkk, 2004).
c) Ostium tertutup uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau ostium terbuka kavum
uteri dalam keadaan kosong (Sastrawinata dkk, 2004).
3) Penanganan Abortus Complet
Penanganan abortus complete adalah (Mansjoer, 2001):
a) Bila keadaan pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3 sampai 5hari.
b) Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfuse darah
f. Abortus Habitualis
1) Pengertian Abortus Habitualis
Abortus Habitualis adalah istilah yang diberikan ketika seorang wanita mengalami
abortus spontan sebanyak tiga kali atau lebih secara berurutan (Varney, 2006). Wanita
yang mengalami abortus habitualis memiliki kesempatan mengalami abortus lagi
sebesar 30%, jika ia terhindar dari hasil akhir ini, ia akan mempunyai resiko lebih
tinggi dari pada wanita yang tidak mengalami abortus untuk mendapatkan bayi
preterm, namun tidak mempunyai 75% kemungkinan melahirkan bayi sehat aterm
(Llewellyn dan Jones, 2001).
Menurut Sastrawinata, dkk (2004), kejadian ini lebih sering terjadi pada primi tua,
etiologi abortus ini adalah kelainan genetic (kromosomal), kelainan hormonal
(imunologik), dan kelainan anatomis.
2) Penanganan Abortus Habitualis
Wanita yang mendapatkan abortus habitualis memerlukan support dan perhatian yang
besar (Llewelyn dan Jones, 2001). Konseling tentang penggunaan alat kontrasepsi
dan kembali melakukan hubungan seksual dalam kurun waktu dua hingga empat
minggu, serta konseling tentang kehamilan dimasa mendatang. Tanpa memperhatikan
tipe abortus spontan, semua ibu dengan Rh-negatif pasca abortus titer antibodinya
negative harus mendapat immunoglobin Rh dalam waktu 72 jam setelah abortus
berlangsung (Varney, 2006).
Penggunaan alat kontrasepsi dan kembali melakukan hubungan seksual dalam kurun
waktu dua hingga empat minggu, serta konseling tentang kehamilan dimasa
mendatang. Tanpa memperhatikan tipe abortus spontan, semua ibu dengan Rh-negatif
pasca abortus titer antibodinya negative harus mendapat immunoglobin Rh dalam
waktu 72 jam setelah abortus berlangsung (Varney, 2006).
Dalam menghadapi masalah social ekonomi tersebut, seorang wanita jika terjadi
kehamiian yang tidak diinginkan, maka ditempuh jalan yang dapat mengeluarkannya
dari masalah tekanan sosial ekonomi tersebut dengan cara menggugurkan
kandungannya karena apabila anak tersebut dilahirkan akan menjadi beban yang berat
dalam kehidupannya (Wiknjosastro, 2003)
2. Paritas
Salah satu resiko terjadinya abortus dikarenakan oleh jumlah paritas yang meningkat
(Cunningham, 2005). Sedangkan menurut Llewellyn dan Jones (2001), frekuensi
terjadinya abortus meningkat bersama dengan meningkatnya angka graviditas, 6%
kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi
16% pada kehamilan ketiga dan seterusnya.
Uterus yang meregang adalah etiologi dari abortus. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa paritas yang meningkat menjadi salah satu faktor resiko ibu untuk terjadi
abortus (Sastrawinata, dkk, 2004).
Paritas 2-3, merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal.
Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal
lebih tinggi. Resiko pada paritas satu dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang
lebih baik, sedangkan resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan
keluarga berencana. Sebagian kehamiian pada paritas tinggi adalah tidak
dirertcanakan (Sarwono, 2002).
3. Usia ibu
Secara biologis para wanita dianjurkan mengandung di usia muda, tapi usia ideal
untuk mengandung sebaiknya usia 20-29 tahun. Kesuburan seorang ibu juga
dipengaruhi oleh usia, sehingga pasangan usia lanjut membutuhkan lebih lama untuk
dapat mengandung (Neil, 2001).
Menurut Cunningham (2005), kejadian abortus meningkat sebesar 12% pada wanita
usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia lebih dari 40 tahun.
Sedangkan menurut Llewellyn dan Jones (2001), abortus lebih sering terjadi pada
wanita berusia diatas 30 tahun dan meningkat diatas usia 35 tahun. Periode umur
seseorang wanita dalam masa reproduksi dibagi menjadi 3 periode. Periode menunda
kehamilan (35 tahun) (Hanafi, 2004).
Usia 20-35 tahun merupakan waktu yang tepat karena tubuh lebih prima dalam
menerima kehamilannya. Hal ini berdampak positif karena memungkinkan wanita
aktif mengasuh dan membesarkan anak dalam waktu yang panjang. Menutur
Musbikin (2008), masa emas usia reproduktif wanita terbatas, batasan ini terkait
dengan faktor reproduksi wanita yang berada pada kondisi yang optimal pada usia
20-35 tahun. Kehamilan yang terjadi pada usia 35 tahun), terjadi penurunan
kemampuan fisik karena terjadinya proses degeneratif sehingga menimbulkan
komplikasi termasuk abortus.
4. Riwayat Abortus
Setiap satu dari enam kehamilan berakhir dengan keguguran spontan dan sering pula
dijumpai seorang wanita yang mengalami satu atau lebih keguguran spontan setiap
hamil. Seorang wanita yang mengalami dua kali keguguran spontan berturut-turut,
dan tidak dapat mempertahankan kehamilannya hingga cukup bulan, memiliki 35%
kemungkinan untuk mengalami keguguran kembali pada kehamilan berikutnya.
Kejadian tersebut bisa dikarenakan oleh serviks inkompeten. Etiologi dari serviks
inkompeten adalah riwayat trauma pada serviks seperti trauma sewaktu dilatasi dan
kuretase (Cunningham, 2005).
Bila abortus yang tidak ditangani secara suci hama (steril), yakni bebas kuman.
Kadang-kadang ibu tidak menyadari kehamilannya, sehingga menyangka pendarahan
yang dialaminya Cuma pendarahan biasa saja. Keadaan ini menyebabkan hasil
konsepsi tidak dikeluarkan sebagaimana mestinya dan hasil konsepsi yang tidak
keluar itu akan menyebabkan peradangan yang menjalar ke kandungan, selanjutnya
kedalam saluran telur dan bisa mengakibatkan penyumbatan saluran telur. Keadaan
ini yang menimbulkan kegagalan pada kehamilan berikutnya, karena sperma tidak
bisa bertemu dengan sel telur. Seperti diketahui, perjumpaan sperma dengan sel telur
yang membuahkan hasil konsepsi itu biasanya berlangsung di dalam saluran telur.
Keadaan itu kadang-kadang juga bisa terjadi pada pertolongan abortus yang tidak