Você está na página 1de 184

PERAN PEMERINTAH DAERAH

DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

Editor:
Dr.M.R. Khairul Muluk,S.Sos,M.Si

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia


ISBN : 978-602-203-446-9
Copyright@Mei, 2013

Published by :

Universitas Brawijaya Press (UB Press)


Veteran St., Malang 65145 Indonesia
Phone: 0341-551611 Ext. 376
Fax: 0341-565420
e-Mail: ubpress@ub.ac.id, ubpress@gmail.com
http://www.ubpress.ub.ac.id
Bekerja sama dengan:
Faculty of Administrative Science
University of Brawijaya
Jl. MT Haryono 163
Malang

Daftar Isi
Daftar Isi........................................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................. iv
Prakata.............................................................................................................. vi
TANTANGAN BAGI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN
PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN1
Kerjasama Pemerintah Daerah Dalam Melayani Pengelolaan Sampah
(Sebuah Gambaran Pada Pemkot Malang)
Abdullah Said ................................................................................................. 1
e-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik Di Indonesia
Antara Harapan Dan Kenyataan
Choirul Saleh .................................................................................................. 18
Implementasi Undang-Undang Pelayanan Publik:
Siapkah Daerah Otonom?
Abdul Hakim dan Siti Rochmah................................................................... 30
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Berkualitas
Sebagai Upaya Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat
Abdul Yuli Andi Gani........................................................................... ........ 46
Komparasi Konsep Demokrasi Dengan Konsep Syuro Dalam Islam:
Pengambilan Keputusan
Trisnawati .............................................................................................. ........ 61
PEMERINTAHAN YANG INOVATIF SEBAGAI KUNCI
KEBERHASILAN PENGELOLAAN SEKTOR PUBLIK
Kompleksitas Kerjasama Antar Daerah
M.R. Khairul Muluk ............................................................................. ........ 85

ii

Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Melalui Integrasi Sektor Industri


Kreatif (Creative Industry) Dengan Sistem Inovasi Daerah
Hermawan.............................................................................................. ........ 98
Kerjasama Antar Daerah Dalam Perspektif Sound Governance
Tjahjanulin Domai ................................................................................ ........ 110
Segitiga Inovasi: Analisis Membangun Inovasi Pada Pemerintahan Daerah
Irwan Noor............................................................................................. ........ 136
Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Mempercepat Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Bambang Supriyono ............................................................................. ........ 151
Profil Penulis........................................................................................... ........ 172

iii

KATA PENGANTAR
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Sumartono, MS
Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh.

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas
terselesaikannya Proceeding Seminar Nasional dan Konferensi Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diadakan oleh Jurusan Ilmu
Administrasi

Publik

bekerjasama

dengan

Fakultas

Ilmu

Himpunan

Administrasi

Mahasiswa

Ilmu

Universitas

Brawijaya

Administrasi

Publik

(Humanistik).
Sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2011 Tertanggal 20 Mei 2011, Tentang Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada Tahun 2011
2025, diperlukan langkah langkah konkrit yang tepat untuk mewujudkan tujuan
mulia sebagaimana tertera dalam Master Plan ini. Sesuai dengan Visi dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), maka visi dari MP3EI adalah
untuk Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan
Makmur.
Melalui Instrumen MP3EI diharpkan terjadi percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi sehingga akan menempatkan Indonesia sebagai negara
maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD
14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD
4,0-4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil
sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada
periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh
penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0
persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti inilah yang diyakini
merupakan cerminan dari Negara maju. Seminar Nasional dan Konferensi ini,
merupakan salah satu bentuk wujud Kepedulian Fakultas Ilmu Administrasi,

iv

khususnya Jurusan Ilmu Administrasi Publik, untuk terus memberikan kontribusi


dan berperan dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh Panitia
Pelaksana yang telah menyelenggarakan Seminar Nasional dan Konferensi ini.
Juga kepada seluruh Narasumber Seminar, Pemakalah Konferensi dan para
peserta yang telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Tanpa adanya dukungan dan kerja keras dari berbagai pihak, kegiatan ini tidak
akan terlaksana dengan baik.
Akhirnya, kami berharap ada sumbangsih pemikiran yang dihasilkan,
sehingga dapat dimanfaatkan dari terselenggaranya Seminar Nasional dan
Konferensi ini. Tentu tak lain, sebagai bagian dari kontribusi dan kecintaan kami
terhadap Negeri ini.
Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.
Malang, 30 Juli 2012
Prof. Dr. Sumartono, MS
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

PRAKATA
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
terselesaikannya Proceeding Konferensi Nasional Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diadakan oleh Jurusan Ilmu
Administrasi Publik bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Ilmu
Administrasi Publik (Humanistik), Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya.
Proceeding yang merupakan kumpulan dari makalah (paper) konferensi
ini, merupakan kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian Seminar Nasional
tentang Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia. Makalah makalah
dalam konferensi ini merupakan karya dari Dosen Jurusan Ilmu Administrasi
Publik FIA UB, yang dipersembahkan sebagai bentuk kepedulian akademisi
jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB terhadap proses pembangunan bangsa.
Konferensi ini adalah bentuk sumbangsih nyata bagi suksesnya Master Plan
Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang merupakan salah
satu kebijakan penting yang diambil oleh Pemerintah baru baru ini. Berbeda
dengan sudut pandang kajian yang selama ini ada, konferensi ini ingin
memberikan perspektif yang berbeda, yaitu perspektif keilmuan Administrasi
Publik.
Konferensi nasional yang diselenggarakan pada kegiatan kali ini terdiri
dari dua Kluster. Kluster pertama bertemakan Tantangan Bagi Birokrasi untuk
Mewujudkan Percepatan dan Perluasan Pembangunan. Dalam tema ini
pemakalah memaparkan tentang bagaimana tantangan berat yang dihadapi oleh
birokrasi, untuk mewujudkan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Hal ini mengingat bahwa birokrasi kita masih dirudung berbagai kompleksitas
permasalahan. Makalah pertama adalah makalah karya Dr. Chairul Shaleh, M.Si
yang merupakan salah satu dosen senior di Jurusan Administrasi Publik FIA UB.
Makalah yang berjudul E-Government sebagai inovasi pelayanan publik di
Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan membahas dan mendiskusikan
mengenai sentralnya peran Electronic Government (E-Government) dalam
memberikan pelayanan publik yang lebih baik di Indonesia. Makalah kedua yang
berjudul Implementasi Undang Undang Pelayanan Publik : Siapkah Daerah
Otonom membahas mengenai berbagai permasalahan pelik yang akan dihadapi
daerah otonom ketika mengimplementasikan Undang Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik. Makalah ini merupakan karya dari Prof. Dr.

vi

Abdul Hakim yang merupakan Guru Besar FIA UB dan Dr. Siti Rochmah M.Si
yang merupakan dosen senior jurusan ilmu administrasi publik FIA UB.
Selanjutnya adalah makalah dari Prof. Abdul Yuli Andi Gani yang memaparkan
mengenai Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang Berkualitas sebagai upaya
Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat. Makalah ini menekankan
begitu penting dan besarnya peran pelayanan prima dalam proses pembangunan.
Sedangkan kluster kedua mengambil tema Pemerintahan yang Inovatif
sebagai Kunci Keberhasilan Pengelolaan Sektor Publik. Tema ini menekankan
bahwa Pemerintahan yang inovatif merupakan kunci suksesnya pembangunan.
Pengalaman dari berbagai Pemerintah, baik di Pusat maupun daerah, merupakan
pelajaran yang nyata, bahwa Inovasi memegang peran yang sangat penting dalam
proses pembangunan. Makalah pertama yang didiskusikan dalam konferensi ini
adalah makalah dari Guru Besar bidang Pemerintahan Daerah FIA UB, Prof. Dr.
Bambang Supriyono, MS dengan judul Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam
Rangka Mempercepat Pembangunan Ekonomi Indonesia. Dalam makalah ini
beliau mendiskusikan bagaimana Inovasi yang dilakukan oleh Pemerintahan
Daerah merupakan salah satu factor kunci untuk menunjang proses percepatan
pembangunan, termasuk percepatan pembangunan di bidang ekonomi. Makalah
selanjutnya adalah makalah dari Dr. Hermawan M.Si yang saat ini sedang
menjabat sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Jurusan
Administrasi Publik FIA UB. Makalah yang berjudul Perencanaan
Pembangunan Ekonomi Daerah Melalui Integrasi Sektor Industri Kreatif
(Creative Industry) Dengan Sistem Inovasi Daerah (SIDA) mengelaborasi secara
teoritis maupun praktis tentang perencanaan pembangunan di daerah yang
seharusnya sudah mulai melirik sektor industri kreatif sebagai tumpuan. Agar
lebih optimal, selain dikembangkan sistem inovasi nasional oleh Pemerintah
Pusat, perlu pula dikembangkan system inovasi daerah (SIDA) oleh Pemerintah
Daerah. Paper selanjutnya yang berjudul Segitiga Inovasi: Analisis Membangun
Inovasi Pada Pemerintah Daerah merupakan karya Dr. Irwan Noor, MA, yang
memang menekuni bidang inovasi Pemerintahan Daerah. Segitiga inovasi yang
didisuksikan dalam makalah ini, berusaha mengungkapkan sebuah model di
dalam membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model,
yaitu Leadership, Political and Climate Model. Makalah selanjutnya adalah
makalah dengan judul Kerjasama Antar Daerah dalam perspektif Sound
Governance, ditulis oleh Dr. Tjahjanulin Domai, MS, yang merupakan pakar dari
kerjasama antar daerah khususnya dalam perspektif Sound Governance.
Kerjasama antar daerah yang dipaparkan dalam makalah ini, menggunakan
perspektif Sound Governance, yang akhir akhir ini hangat dibicarakan di kalangan
ilmuwan administrasi publik. Masih soal kerjasama antar daerah, makalah

vii

selanjutnya adalah makalah yang disampaikan oleh Drs. Abdullah Said, M.Si
dengan judul Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Melayani Pengelolaan
Sampah (Sebuah Gambaran pada Pemerintah Kota Malang), yang
mendiskusikan tentang permasalahan sederhana tapi penting- namun tak pernah
selesai : sampah. Dalam makalah ini ditawarkan mekanisme kerjasama antar
daerah dalam pengelolaan sampah.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam proses
seminar maupun penyusunan proceeding ini. Namun, kami berharap perspektif
keilmuan Administrasi Publik ini, dapat memperkaya dan ikut berkontribusi
dalam proses Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Negara ini. Semoga.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Malang, 30 Juli 2012
Hormat Kami,
Ketua Jurusan Administrasi Publik,
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Dr. M. R. Khairul Muluk, M.Si

viii

TANTANGAN BAGI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN


PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN

KERJASAMA PEMERINTAH DAERAH DALAM MELAYANI


PENGELOLAAN SAMPAH
(SEBUAH GAMBARAN PADA PEMKOT MALANG)
Abdullah Said

PENDAHULUAN
Sampai saat ini sampah merupakan masalah serius di negeri ini. Kota-kota
besar dengan jumlah penduduk yang padat dan lahan yang terbatas tetapi masih
mengelola sampah secara tradisional mengakibatkan pengelolaan sampah
terbengkalai. Lahan yang dipakai sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
seringkali melewati batas kota dan berada di wilayah kabupaten di sekitar kota.
Hal ini bisa terjadi bilamana terdapat kerjasama dan pengertian yang baik antara
dua institusi atau lebih. Kota yang tidak mempunyai kerjasama dengan kabupaten
dalam pengelolaan sampah akan menghadapi keterbatasan lahan yang lambat laun
tidak akan mampu menampung produksi sampah setiap harinya. Alternatif
pengolahan sampah dengan cara modern harus menjadi pertimbangan seperti
penghilangan/pemusnahan sampah dengan incinerator.
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa
kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh,
dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1)
sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa
sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk

seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah
yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan,
seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat
kimia dan agen penyakit yang berbahaya
Keterbatasan dana dapat menjadi penyebab kenapa kebanyakan kota
belum/tidak memakai teknologi modern pengelolaan sampah ataupun karena
masih berjalannya kerjasama antar dua institusi pemerintah kota dan kabupaten
dalam menyediakan TPA. TPA memang menjadi alternatif pengelolaan sampah
yang murah akan tetapi apabila tidak ditangani dengan baik akan menjadi sumber
penyakit, kotor, sumber bau dan pencemaran lingkungan yang serius.
Dengan teknologi yang tepat, sampah yang tadinya menjadi masalah
sebagai barang buangan, kotor, berbau, menimbulkan penyakit dan mencemari
lingkungan dapat menjadi barang yang bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai
ekonomi tinggi. Teknologi tersebut bisa berupa pemanfaatan sampah menjadi
kompos, daur ulang, maupun pemakaian kembali. Hal ini bisa terlaksana apabila
terdapat pemisahan sampah dan menjadi semakin efektif apabila pemisahan
sampah dipahami dan dilakukan dengan baik oleh penghasil sampah (Rumah
Tangga, Industri, Kantor, dll).
Pemerintah Kota/Kabupaten dengan kebijakannya dapat mengendalikan
polusi melalui pengelolaan sampah yang baik. Instrumen kebijakan tersebut bisa
berupa strategi yang dituangkan dalam peraturan sehingga semua pihak terikat
untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta sanksi yang jelas. Pengelolaan
sampah selain didukung oleh instrumen kebijakan, didalamnya mengandung
aspek ekonomi, aspek budaya masyarakat dalam memandang sampah dan
kebersihan, aspek partisipasi dan aspek manajemen.
Global Warming akibat menipisnya lapisan ozon bisa disumbangkan oleh
pengelolaan

sampah

yang

buruk

seperti

pembakaran

sampah

dalam

pemusnahannya tanpa memperhatikan materi sampah. Plastik dan barang kimia


lainnya yang dibakar akan menyumbangkan polusinya dalam merusak lingkungan
yang akan berakibat jangka panjang. Isu tersebut harus segera ditanggapi untuk

mengontrol polusi yang dihasilkan untuk menjaga dan melindungi udara, air, air
bawah tanah dan sampah padat yang berbahaya.
Buruknya pengelolaan sampah bisa membuat air dan sumber air tidak
dapat dipakai karena tercemar oleh sampah industri dan rumah tangga, berbau dan
berbahaya seperti yang terjadi di Australia pada tahun 1800an seperti kutipan
berikut:
By the 1820s, the Tank Stream on which Sydney had
depended, had become so polluted that it could not be used for
domestic water. In Victoria, Batmans Swampa lake with
clear water and abundant wildlifebecame a receptacle for
the industrial and household waste of expanding Melbourne
and by the 1860s was foul-smelling and dangerous. (Australian
Government, National Waste Report 2010).
Sejak lahirnya kebijakan lingkungan di sebagian besar negara-negara
industri, pemerintah cenderung untuk menggunakan kekuasaan dan pengawasan,
(berupa peraturan yang langsung secara terus-menerus dengan pengawasan dan
sistem penyelenggaraan) sebagaimana strategi penguasa dalam pengendalian
polusi dan pengelolaan sampah. Pendekatan yang umum ini memerlukan
pemerintahan yang sehat berkenaan dengan ketetapan standar dalam pengelolaan
sampah.
Pada kasus yang lebih umum, pendekatan kekuasaan dan pengawasan juga
mempunyai jadwal pertemuan dan standar, memberikan ijin serta prosedur
penyelenggaraan untuk fasilitasi, penetapan tanggungjawab, dan hukuman bagi
yang tidak memenuhi. Tanggungjawab untuk menetapkan dan menjalankan
standar dan persyaratan lain dibagi dalam cara menetapkan perundangan-udangan
antara pemerintah pusat, propinsi, dan pemerintah lokal.
Pendekatan

kekuasaan

dan

pengawasan

memberikan

pengaturan

kekuasaan yang maksimum untuk mengontrol dimana dan bagaimana sumbersumber daya akan digunakan untuk mencapai sasaran yang berwawasan
lingkungan. Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah dengan menyiapkan

aturan yang rasional untuk memprediksi tentang berapa banyak tingkat polusi
yang bisa dikurangi. Pendekatan ini juga membatasi kompetisi diantara fasilitasfasilitas yang tidak mangadopsi teknologi ramah lingkungan.
Pada kasus-kasus pengendalian polusi udara, sebagai
contoh, semua fasilitas baru harus mengadopsi teknologi
penyusutan yang seragam. Pada kasus pengendalian polusi air,
polusi yang sama di kontrol dengan teknologi yang diterapkan
pada kelas industri, dengan mengabaikan usia fasilitas
(Moore 1989).
Pada pihak yang mendatangkan pencemaran, prinsip upah-pengguna
membayar hukuman yang bersifat finansial untuk tingkat polusi yang lebih tinggi
dan membayar hukuman lebih kecil atau menerima hadiah finansial untuk tingkat
polusi yang lebih rendah.
Menurut prinsip pengguna-upah, pengguna sumber
upah merupakan biaya sosial yang penuh untuk menyediakan
sumber-sumber, seperti untuk air dan dihubungkan pada
pelayanan-pelayanan termasuk biaya pengurusan pengobatan.
Sementara instrumen ekonomis menerapkan biaya langsung
(contoh, dasar tuntutan untuk pembatasan volume dan
pencemaran kota, pembayaran-per-sistim per karung untuk
buangan limbah padat, biaya izin untuk pengeluaran udara
dimana perubahan-perubahan biaya dengan yang dipancarkan,
yang disetorkan dibayar ulang, instrumen lain meliputi biayabiaya tidak langsung seperti pajak-pajak polusi yang di
masukkan (sebagai contoh, pajak-pajak bahan bakar). (OECD
1990).
Secara keseluruhan, pendekatan ekonomis

mempunyai beberapa

keuntungan:
Hemat biaya promosi yang berarti mencapai tingkat yang dapat diterima
tentang polusi;

Pengembangan stimuli terhadap teknologi pengendalian polusi dan


keahlian di sektor swasta;
Penyediaan pemerintah dengan sumber pendapatan untuk mendukung
program pengendalian polusi;
Menyediakan teknologi pengendalian polusi yang fleksibel;
Mengeliminasi syarat-syarat dari pemerintah untuk memperbesar jumlah
informasi detil yang diperlukan untuk menentukan layak dikerjakan dan
pengendalian pada tingkat yang tepat untuk setiap tanaman atau produk
(OECD 1989).
Sebagaimana

hal

tersebut

di

atas,

instrumen

ekonomis

sering

mempersatukan prinsip-prinsip pembuat pencemaran-upah. Maksudnya prinsip


untuk digabungkan, pada biaya sosial yang minim, pengeluaran pada proteksi
lingkungan dihubungkan dengan standar atau tuntutan. Menurut Coase dalam
Pearce dan Turner:
hal ini tidak efisien, alasannya bagi pemerintah
terhadap peraturan yang berbelit-belit tentang kerusakan
polusi, kecuali untuk penyelenggaraan bagi hak milik.
Tergantung pada siapa yang memiliki hak milik, salah satu
pembuat pencemaran akan membayar korban untuk kerugian
sebagai toleransi atau korban akan dibayar oleh pembuat
pencemaran yang tidak mencemari (Pearce dan Turner 1990).
Keabsahan pendekatan ini, walaupun didasarkan pada dua anggapan
yakni: biaya transaksi tidak penting (khususnya, dimana jumlah korban dan
pembuat pencemaran tidak besar) dan perundingan berhasil dengan persetujuan
yang kuat. Dalam ketiadaan salah satu kondisi, walaupun intervensi publik
mungkin hanya satu-satunya solusi yang efektif menurut laporan internal Bank
Dunia.
Sampah anorganik bisa membantu mengembangkan industri daur ulang
(recycling). Kertas bekas akan di daur ulang oleh industri kertas, sampah plastik
dan kaca akan di daur ulang menjadi bahan baku industri, sedangkan sampah

organik dapat mengembangkan industri pengolah kompos menjadi pupuk organik


dan juga dapat diolah menjadi industri energi/industri bahan bangunan.
Daur ulang adalah salah satu cara yang digunakan untuk meminimalkan
jumlah sampah yang ada untuk meningkatkan nilai ekonomisnya menjadi barangbarang yang berguna. Daur ulang merupakan proses untuk mengurangi
penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi penggunaan energi, mengurangi
polusi, kerusakan lahan, dan emisi gas rumah kaca jika dibandingkan dengan
proses pembuatan barang baru.
Dari gambaran tersebut di atas perlu kiranya pemerintah untuk melakukan
reformasi dalam pelayanan pengelolaan sampah yang merupakan tugas sebagai
pelayanan kepada publik. Maksimalisasi pelayanan kepada publik yang diberikan
oleh pemerintah akan tercapai jika birokrasi mampu bersifat impersonal, tidak
memihak dan berdiri di atas kepentingan demi pemberian layanan yang bersifat
rasional dan lepas dari kepentingan sesaat (Usman, 1999:93). Sehingga dalam
konteks globalisasi fungsi public service harus diubah dan lebih menekankan pada
fungsi kewirausahaan (entrepreneurialship) (Thoha dan Dharma, 1999:39) karena
bentuk pemerintahan yang berkembang di era industri dengan birokrasi yang
lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai
hirarki komando, tidak lagi berjalan dengan baik (Osborne dan Gaebler, 1992:29).
Lontaran yang disampaikan dalam bukunya yang berjudul Reinventing
Government tersebut merupakan serangan terhadap prinsip birokrasi yang
dikemukakan oleh Weber yang di dalam ideal typenya salah satunya, adalah a
hierarchiecal system of authority (sistem kewenangan yang hirarkis), yang
terbukti tidak mampu lagi memenuhi tuntutan jaman dalam memberikan layanan
yang terbaik kepada publik.
Permasalahan sampah merupakan permasalahan yang harus di atasi
terutama di kota-kota besar, karena lahan pembuangan sampah semakin
menyempit, bisa karena memang ukurannya atau produksi sampah semakin
meningkat karena penggunaan barang-barang juga meningkat akibat peningkatan
jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk ini bisa disebabkan oleh dua
faktor di kota besar yaitu tingkat kelahiran dan tingkat urbanisasi.

Sampah yang tidak terangkut dari tempat penampungan sementara ke


tempat penampungan akhir dapat menyebabkan bau yang tidak sedap dan sumber
penyakit, karena biasanya tempat penampungan sementara tidak terlalu jauh
jaraknya dengan pemukiman apabila di bandingkan dengan tempat penampungan
akhir yang di kondisikan (harusnya) jauh dari lingkungan pemukiman.
Permasalahan Indonesia khususnya di kota besar Pulau Jawa khususnya
Malang Raya di dalam pengelolaan sampah yang seharusnya dengan mudah
dilaksanakan adalah transportasi dari tempat penampungan sementara ke tempat
penampungan

akhir.

Data

mengenai

transportasi

sampah

dari

tempat

penampungan sementara ke tempat penampungan akhir dapat dilihat pada tabel di


bawah ini.
Tabel 1. Pelayanan dan Kuantitas Sampah Padat
Kuantitas
Sampah
(ton/hari)

Kabupaten/Kota
Kabupaten

170

Serang
Kota Tangerang

750

Kota Jakarta

6.000

Kota Bekasi

1.100

Kabupaten

290

Bekasi
Kota Depok

750

Kota Bogor

520

Kota Bandung
Kabupaten
Bandung

2.000
2.250

Kota Cirebon
Kota Surabaya
Total

150
2.200
16.180

Sampah yang
diangkut dari TPS Prosentase
ke TPA
26,
45
47
53,
400
33
88,
5.300
33
23,
260
64
72,
210
41
30,
230
67
69,
360
23
77,
1.550
50
17,
400
78
86,
130
67
59,
1.300
09
62,
10.185
95

Sumber: dikutip dan diolah dari Mangkoedihardjo, Journal of Applied


Sciences in Enviromental Sanitation, 2007
Tabel.1 menggambarkan bagaimana sampah diangkut dari Tempat
Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) hanya
mencapai 62,95% dari 11 kabupaten/kota yang menjadi tempat penelitian.
Sebanyak 37,05% sampah tidak terangkut dan terangkut pada keesokan harinya
sehingga sampah yang bagian bawah menjadi membusuk dan menyebabkan
polusi udara dan bisa menyebabkan penyakit. Kabupaten Bandung menghasilkan
2.250 ton sampah perhari dan hanya 400 ton diantaranya yang mampu
dipindahkan ke TPA dari TPS, sisanya mungkin menumpuk dan membusuk di
TPS, di bakar, di tanam di lahan kosong. Kinerja Kota Bekasi hanya mencapai
23,64% dalam memindahkan sampah dari TPS ke TPA, untuk ukuran kota maka
dapat dipastikan Kota Bekasi tidak mampu memberikan pelayanan kepada
penduduknya. Kabupaten Serang mampu mentransportasikan sampah dari TPS ke
TPA sebanyak 26,47% perharinya. Kabupaten/kota lainnya juga menunjukkan
kinerja yang tidak cukup baik, karena sampah seharusnya diangkut semuanya
setiap hari dari TPS ke TPA.
Di Kota Malang persoalan sampah dari tahun ke tahun sangat krusial.
Volume sampah yang tak terangkut ke LPA (lahan pembuangan akhir) Supit
Urang makin banyak.
Data tahun 2006, sampah tak terangkut hanya 160 meter kubik. Namun,
tahun 2007 volume sampah tak terangkut meningkat sampai 3.240 meter kubik.
Itu belum termasuk data 2008 dan 2009 hingga Juni. Kepala Dinas Kebersihan
dan Pertamanan (DKP) Kota Malang mengakui persoalan itu. Tidak semua
sampah bisa terangkut karena jangkauan pengangkutan, ungkap dia kemarin.
Menurut Kepala Dinas (DKP) Kota Malang, produksi sampah di Kota
Malang rata-rata menembus 900 meter kubik per hari. Bahkan bisa lebih. Tetapi,
yang mampu terangkut ke Supit Urang hanya 700-800 meter kubik. Bahkan,
kondisi Supit Urang diprediksi 10-15 tahun lagi tak akan sanggup menampung
sampah dari Kota Malang. Pasalnya, dari enam sel yang digunakan untuk

menampung sampah, lima sel di antaranya telah penuh. Sel yang masih kosong
adalah sel IV. Saat ini, pembuangan sampah terfokus di sel VI. Itu pun akhir 2009
diprediksi sel VI sudah penuh. Kami berupaya pengangkutan itu tetap stabil.
Yang tak terangkut dicarikan jalan alternatif. Salah satunya dengan komposting.
Pada tahun ini (2001) Kota Malang menghasilkan sampah cukup tinggi
yakni sebesar 400 ton perhari. Sebagian besar sampah tersebut berasal dari rumah
tangga. Sedangkan sisanya berasal dari sampah pasar hingga sampah industri yang
dikumpulkan dari 75 TPS dari seluruh sudut Kota Malang.
Kepala DKP Kota Malang, Drs. Wasto, SH. MH. membenarkan jika
volume sampah di Kota Malang sudah mencapai ratusan ton per hari. Melihat
volume yang sangat besar ini, sampah menjadi persoalan yang cukup pelik.
Bahkan, saat ini dana operasional komposting di sembilan lokasi itu hanya
mengandalkan penjualan pupuk. Padahal, harga pupuk kompos per kilogramnya
hanya berkisar antara Rp 150-Rp 300. Selain optimalisasi sembilan lokasi sentra
pembuatan pupuk kompos, DKP juga gencar melakukan sosialisasi pentingnya
pemilahan sampah untuk skala rumah tangga. Sosialisasi ini terkait dengan
program penyebaran keranjang takakura kepada penduduk di lima kecamatan
Kota Malang. Dengan membuat kompos sendiri, diharapkan volume sampah
yang terangkut tetap stabil. Sedangkan yang tak terangkut bisa diatasi sendiri oleh
masyarakat.
Permasalahan sampah akan berlanjut apabila sampah yang dikumpulkan
tidak dipilah-pilah menurut jenis sampahnya karena apabila dibakar, bahan-bahan
anorganik akan menjadi sumber polusi yang sangat berbahaya bagi kesehatan
manusia dan lingkungan. Sampah yang tidak dipilah dengan benar menjadikan
teori 3R mengenai sampah tidak dapat dijalankan dengan baik.
Konsep 3R adalah prinsip pengolahan sampah yang terdiri dari Recycle,
Reuse dan Reduction. Pengelolaan sampah mengikuti hirarki pertama yaitu
reduction, mengurangi sampah yang dihasilkan dengan bijaksana. Hirarki kedua
adalah re-use, sebelum membuang barang, kita harus melihat apakah barang
tersebut masih bisa digunakan kembali atau tidak baik digunakan sendiri atau oleh

orang lain seperti furnitur, komputer, gelas, kaca dan lain-lain dan hirarki terakhir
adalah recycle atau daur ulang, barang yang dihasilkan pada zaman sekarang
sebisa mungkin adalah barang yang bisa di daur ulang.
Menurut Visvanathan (2006), permasalahan penanganan sampah yang
didasarkan pada studinya di negara-negara Asia Selatan ada pada aspek teknik,
manajemen, keuangan, hukum dan pendukung. Diantaranya yang menjadi
permasalahan penanganan sampah pada aspek teknik meliputi ketentuan fasilitas
penampungan sampah primer, transportasi sampah dan sistem pengelolaan
sampah. Pada aspek manajemen terdapat permasalahan diantaranya adalah
pelaksanaan masterplan yang tidak sesuai, lemahnya pengawasan penanganan
sampah dan kurangnya dukungan LSM dan organisasi berbasis masyarakat.
Aspek keuangan mempunyai permasalahan pada transparansi dan belum ada
pembedaan biaya pada penghasil sampah yang banyak dan sedikit. Aspek hukum
mempunyai masalah pelaksanaan standar polusi dan emisi, zona bebas bangunan
sekitar 500m2 di sekitar TPA dan aspek yang terakhir adalah aspek pendukung
yang mempunyai permasalahan kurangnya dukungan swasta, pendidikan publik
mengenai sampah, dan mendorong pemisahan sampah.
Permasalahan yang terjadi di negara-negara Asia Selatan bisa mungkin
terjadi di Indonesia karena karakteristiknya tidak terlalu beda baik geografi,
penduduk maupun kebudayaan. Permasalahan yang sesuai dengan kondisi di
Indonesia merupakan titik masuk untuk melakukan identifikasi masalah dalam
membuat model di penelitian ini.
Pemerintah melalui aparatnya dalam mengelola sampah harus dengan cara
profesional seperti yang telah dilakukan oleh pihak swasta. Menurut Wahab
(1999:89) model pelayanan publik yang dianjurkan salah satunya adalah
menggunakan model pelayanan yang telah lama berlangsung di sektor
bisnis/swasta (market like-modes). Ungkapan ini sejalan dengan pemikiran
Osborne dan Gaebler (1992:91) yang mengungkapkan bahwa swasta lebih baik
dalam melaksanakan fungsi-fungsi bisnis, meskipun tidak dipungkiri bahwa ada
perbedaan antara swasta dan publik. Penggunaan kepada model swasta
menyebabkan terjadinya perubahan orientasi yang menurut Wahab :

10

Pada dasarnya mencoba menempatkan warga negara


sebagai konsumen yang harus dilayani kepentingannya dengan
sebaik-baiknya sehingga makna konsumen dalam konteks
pelayanan publik yang semula berkiblat pada kepentingan
birokrasi (bureaucratic-oriented) atau berorientasi kepada
produsen

(producer-oriented)

berubah

kepada

orientasi

konsumen (consumen-driven approach), Wahab (1994:59)


Dalam bahasa Tjokrowinoto (1999:28) perubahan dilakukan terhadap
birokrasi dengan mengubah corak rule-driven bureaucracy menjadi market-driven
bureaucracy. Sehingga dengan pendekatan ini publik tidak lagi diperlakukan
sebagai obyek melainkan sebagai warga negara yang aktif (Wahab, 1994:82).
Namun demikian model pelayanan sebagaimana yang disarankan oleh
Osborne dan Gaebler (2002) tersebut banyak mendapat kritikan. Kettl (1998)
mengungkapkan bahwa dalam new public management melahirkan usaha
membuat praktek-praktek seperti bisnis dan perubahan yang diarahkan ke pasar
merupakan serangan agresif terhadap tradisi akuntabilitas demokratis. Alasan lain
yang dikemukakanya adalah:
Pertama, privatisasi dan usaha-usaha meniru sektor swasta akan
mempersempit cakupan akuntabilitas dan menempatkan perhatian utama
pada memenuhi standar dan memuaskan pelanggan. Pendekatan ini tidak
merefleksikan aneka ragam, canel-canel akuntabilitas tumpang tindih di
dalam sektor publik karena standar-standar dalam sektor swasta kurang
kuat.
Kedua, new public management tidak menempatkan penekanan yang
tepat

pada

undang-undang

publik

dan

norma-norma

demokratis.

Akuntabilitas publik berkurang bila layanan pemerintah yang dilakukan oleh


organisasi swasta atau non profit tidak terikat dengan prinsip-prinsip hukum
publik.
Ketiga, dalam new public management administrator publik dianggap
sebagai wiraswasta, mencari kesempatan untuk menciptakan kemitraan

11

swasta dan melayani pelanggan. Pandangan terhadap peran administrator


publik ini adalah sempit, dan disesuaikan untuk mencapai prinsip-prinsip
demokratis

seperti

kewajaran,

keadilan,

partisipasi,

dan

artikulasi

kepentingan bersama. Kualitas yang membuat administator menjadi


wiraswastawan yang baik bisa membuatnya menjadi pelayan publik yang
tidak efektif. (Kettl (1998)
Kritikan tersebut di atas juga didukung oleh Denhardt dan Denhardt
(2003). Oleh karenanya keduanya menyarankan untuk meninggalkan prinsipprinsip old public administration ataupun new public management dan beralih ke
prinsip new public service yang lebih melayani warga masyarakat bukan sebagai
pelanggan. Dengan demikian pemerintah akan lebih tanggap terhadap keinginan
masyarakat.
Di

sisi

lain,

perlu

ditinggalkannya

prinsip-prinsip

old

public

administration ataupun new public management dan beralih ke prinsip new public
service disebabkan karena kinerja birokrasi pelayanan publik saat ini menjadi isu
kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki
implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan
ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang
amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa segera keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Buruknya kinerja birokrasi publik sering menjadi determinan
yang penting dari penurunan minat investasi. Sayangnya, kinerja birokrasi publik
dari berbagai studi dan observasi tidak banyak mengalami perbaikan bahkan
cenderung menjadi semakin buruk.
Kesan umum

(public

image)

akan

rendahnya

kinerja

birokrasi

pemerintahan dalam memberikan kepada publik, yang kental dengan fenomena


kurangnya kesadaran pejabat birokrasi, yang dikatakan Amin Rais dalam Islamy
(1998) sebagai elitis dan kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat, perlu
diakhiri. Masih menurut Islamy (1998) masyarakat kini telah kritis dan telah
memenuhi kewajiban-kewajibannya. Maka, memenuhi hak-hak masyarakat
adalah suatu keharusan, bukan (sebaliknya) memasung hak-haknya seperti yang
terjadi sekarang ini. Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara yang harus

12

disadari ialah apabila negara, melalui aktivitas pemerintahan dapat mengusahakan


kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat (Kumorotomo, 1999). Sedangkan
Dwiyanto (2002) dalam pengantarnya mengatakan bahwa banyak perhatian
diberikan untuk mereformasi sistem dan lembaga politik, tetapi hal yang sama
tidak dilakukan dalam birokrasi publik. Reformasi politik yang tidak dikuti oleh
reformasi birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan kinerja pelayanan publik.
Pelayanan publik yang profesional perlu diwujudkan untuk mengatasi
rendahnya kinerja birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Hal
ini penting mengingat dalam sistem pemberian pelayanan kepada masyarakat
akhir-akhir ini menunjukkan banyak kemunduran, sebagaimana dinyatakan oleh
Sherwood (1997) bahwa :
profesionalisme

pemerintah

sedang

mengalami

kemunduran. Saat ini lebih banyak pejabat politik dalam


birokrasi, dan lingkungan kerja belum mendukung atau dapat
dipercaya. Tetapi pejabat pemerintah mempunyai peran penting
untuk memulihkan lingkungan kerja agar sesuai dengan standar
profesionalisme. Untuk itu dibutuhkan orientasi layanan yang
baru. Demikian juga alternatif struktur formal dan layanan
eksekutif yunior mungkin banyak membantu
Ada banyak penjelasan yang bisa digunakan untuk memahami mengapa
pemerintah dan birokrasinya gagal mengembangkan kinerja pelayanan yang baik.
Osborne dan Plastrik (1997) menggunakan:
metafora biologi menjelaskan lima DNA, kode
genetika, dalam tubuh birokrasi dan pemerintah yang
mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Sikap dan perilaku
di suatu birokrasi dan pemerintah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik akan sangat ditentukan oleh bagaimana
kelima DNA dari birokrasi yang dikelola, yaitu : misi,
akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya.

13

Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespon dinamika


yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan
oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan
kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Sehingga kemampuan
untuk merespon (responsibilitas) dijadikan sebagai asas etika bagi aparat
pemerintah menyangkut hasrat seorang petugas untuk merasa memikul
kewajibannya secara penuh dan ikatan yang kuat dalam pelaksanaan semua tugas
pekerjaan

secara

memuaskan.

Petugas

administrasi

pemerintahan

harus

mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-fungsi secara efektif,


sepenuh kemampuan, dan dengan cara yang paling memuaskan pihak yang
menerima pertanggungjawaban. Pertanggung jawaban itu dapat ditujukan kepada
masyarakat atau publik, instansi pemerintah maupun kepada pihak atasan
langsung. Kebiasaan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk
melempar tanggung jawab kepada pihak lain apapun dalihnya harus disingkirkan
dari para petugas pemerintahan.
Setiap administrator pemerintahan harus bersedia
memikul pertanggung jawaban mengenai apa saja yang
dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa
dirinya hanya menjalankan perintah (just following orders), ia
hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan
pemerintah (Gie, 1987).
Namun demikian, pada kenyataannya kinerja birokrasi
publik di Indonesia seringkali tidak memiliki misi yang jelas
sehingga fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh
birokrasi itu cenderung semakin meluas, bahkan kemudian
menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika
membentuk birokrasi itu (Tangkilisan, 2005).
Selain itu ketidakjelasan misi juga membuat orientasi birokrasi dan
pejabatnya pada prosedur dan peraturan menjadi amat tinggi. Apalagi dalam
birokrasi pelayanan publik di Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan
peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong

14

para pejabat birokrasi publik menggunakan prosedur dan peraturan sebagai


kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan.
Di Indonesia, secara normatif telah di atur dengan UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi efektifitas implementasinya belum
dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah
substansial, struktural maupun kultural. Kemudian diterbitkan regulasi yang baru
yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang baru sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan ke depan
yang mempunyai peran penting. Dengan peraturan perundang-undangan yang
baru disyahkan ini pemerintah pusat dan daerah berkewajiban membuat kajian
lingkungan hidup strategis. Kajian itu untuk memastikan pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan
program pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya alam juga harus didasarkan
pada rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang
menjadi dasar penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah.
Malang Raya merupakan daerah pertama yang akan dijadikan pilot project
penanganan sampah secara regional dan terintegrasi. Apabila berhasil akan diikuti
oleh daerah-daerah lain di Jatim.
Salah satu solusi untuk menangani permasalahan sampah di Jatim,
khususnya di Malang Raya penanganannya harus dilakukan secara regional dan
terintegrasi. Hal tersebut sebagai langkah ideal, karena sistem ini terbukti efektif
dan efisien ditengah keterbatasan daya dukung lingkungan, keuangan, dan Sumber
Daya Manusia (SDM) di masing-masing kabupaten/kota. Penanganan sampah
yang efisien dan efektif dimulai dari Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota
Batu. Daerah ini didukung SDA dan SDM yang nantinya disusul daerah lain di
Jatim.

KESIMPULAN

15

Berdasarkan kenyataan, membuktikan bahwa penanganan sampah yang


tidak bagus akan berdampak buruk bagi sebuah wilayah. Bukan hanya secara
estetika pada sebuah daerah, tetapi sampah juga bisa menyebabkan penyakit.
Dalam menangani dan mengelola sampah, membutuhkan waktu serta memerlukan
konsep sinergi antar aspek, seperti aspek hukum, organisasi, teknis operasional,
pembiayaan serta peran aktif masyarakat.
Selain itu dibutuhkan komitmen beberapa kalangan, dan meniadakan ego
sektoral dan ego teritorial. Perlu ada kerjasama dari berbagai pihak baik
pemerintah maupun masyarakat dalam menangani sampah ini, karena sudah ada
beberapa daerah di Indonesia yang mampu mewujudkan penanganan sampah
secara regional dan terintegrasi, antara lain SARBAGITA (Denpasar, Badung,
Gianyar, dan Tabanan).
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel & Bingham Powel, 1996, Comparative Politics Development Approach, Little
Brown Company, Bombai, India
Caiden, G.E., 1982, Public Administration, Second Edition, California : Palisades Publishers
Denhardt, J.V; Denhardt, R.B, 2003, The New Public Service, M.E. Shaper, Inc, 80 Business Park
Drive, Armont, New York
Donovan, F. dan A.C. Jackson, 1991, Managing Human Service Organization, New York, N.Y. :
Prentice Hall
Dwiyanto, 2002, Reformasi Birokrasi Publik, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada
Effendi, Sofyan, 1990, Kebijaksanaan Publik Berwawasan Pemerataan, Dalam Buku Beberapa
Aspek Pembangunan Orde Baru, Rhamadhani, Solo
Handayaningrat, Suwarso, 1988, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, PT.
Gunung Agung, Jakarta
Henderson Keith, dan Parson, 1947, Bureaucracy and The Alternatives in Owrld Perspective, ST
Martins Press Inc Hood, 1991, New Public Management
Hughess, O., 1994, Public Management and Administration : An Introduction, N.Y., New York :
St. Martin Press
Islamy, M. Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar, Universitas Brawijaya, Malang
James, O., 2005, Public Service : Expectations, Performance and Satisfaction, Journal of
Economic Social Research Council
Kearns, Kevin P., 2000, The Strategic Managemen of Accountability in Nonprofit Organizations ;
An Analytical Framework, Public Administration Review March/April, 1994, Vol. 54, No.2
Kettl, D.F., 1998, Public Administration : The State of the Field, dalam Political Science : The
State of the Dicipline II, diedit oleh Ada W. Finifter Washington, DC : the American Political
Science Association.
Korten, David C., 1990, Getting to The 21st Century : Voluntary Action and Global Agenda, USA ;
Kumarian Press
Lincoln dan Guba, 1985, YS dan Egon GB, 1985, Naturalistic Inquiry, London : Sage Publication
Lovelock, Ch Ristoper, 1988, Product Plus : How Product Plus Service = Competitive Advantage,
Mc Graw Hill, New York

16

Martin, L.L. dan P.M. Kettner, 1996, Measuring the Performance of Human Service Program,
New Delhi : Sage Publications
Moenir, H.A.S., 2002, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta
Osborne, D. and Gaebler T., 1992, Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector, Reading, MA : Harvard University Press
Pollitt, Christopher, & Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform ; A Comparative
Analysis, Oxford University Press, London
Salusu, Jonathan, 1997, Pengambilan Keputusan Strategik Dalam Organisasi Publik dan NonProfit, PT. Gramedia, Jakarta
Tangkilisan, H.N.S., 2005, Manajemen Publik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta
The Liang Gie, 1987, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III,
Liberty Offset, Yogyakarta
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1989, Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Tiara Wacana,
Yogyakarta
Townley, B., 1994, Reframing Human Resource Management : Power, Ethics and the Subject at
Work, London : Sage Publications
Wahab, Solichin Abdul, 1999, Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Prespektif Teori
Governance, Jurnal Administrasi Negara, Vol. II No. 1, Jurusan Administrasi Negara, FIA,
Universitas Brawijaya Malang

17

E-GOVERNMENT SEBAGAI INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI


INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN1
Choirul Saleh2

PENDAHULUAN

Penggunaan internet yang diistilahkan sebagai e-commerse yang telah


diterapkan secara meluas di dunia bisnis sekitar 10 dasawarsa yang lalu, secara
ekonomis telah membawa keberuntungan secara memuaskan bagi mereka.
Bertolak daricerita keberhasilan sektor bisnis itulah yang dijadikan sebagai
inspirasi baru dan mendorong para policymaker pada organisasi sektor publik di
beberapa negara maju untuk melakukan reformasi organisasinya dalam
menggunakan Information Communication Tehnology (ICT) sebagai sarana
kerjanya, terutama dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi
atau institusi mereka. Beberapa negara yang pertama kali memanfaatkan internet
sebagai sarana kerja mereka di antaranya adalah AS dan Singapora (Joseph&
Ezzedeen, 2009) serta Inggris (Indrajid; 2002). Bahkan karena ketiga negara
tersebut tidak saja menggunakan sarana ICT dalam meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kerja yang bersifat teknis, lebih dari pada itu mereka juga
memanfaatkan ICT tersebut secara intensif dalam rangkameningkatan kualitas
pelayanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas hampir di seluruh bidang
kegiatan mereka, sehingga ketiga negara tersebut dianggap sebagai negara-negara
pioner di dalam mengaplikasikan E-Government (E-Gov).
Menanggapi tentang besarnya manfaat yang dapat diraih oleh negaranegara maju melalui pengaplikasian E-Gov ini, Farazmand (2004) mengatakan
bahwa E-Gov yang sangat sarat dengan ICT itu, di samping mampu meningkatkan
kuantitas dan kualitas transaksi, juga merupakan cara

jitu yang mampu

mengefisienkan waktu, biaya serta dapat menyederhanakan birokrasi berbelit yang


sering terjadi di dalam organisasi pemerintahan. Sehubungan dengan berbagai
1

Disampaikan pada acara Seminar Nasional Jurusan Ilmu Administrasi Publik Dalam Rangka Dies Natalis
FIA UB ke 51 pada tanggal; 08 Oktober 2011
2 Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB Malang.

18

kelebihan dari penerapan E-Gov tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat menumbuhkan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
negara atau pemerintah.Walaupun berbagai bukti nyata telah memberikan
petunjuk bahwa banyak negara maju yang bisa memperoleh manfaat besar dari
pengaplikasian E-Gov, tetapi secara umum banyak negara yang terlambat
mengadopsi ICT tersebut ke dalam tubuh organisasi pemerintahannya, terutama
bagi negara-negara sedang berkembang, sebagaimana halnya yang terjadi di
Indonesia hingga di pertengahan tahun 2001 saat ini. Jangankan untuk
menyelenggarakan program E-Gov, bahkan untuk mengaplikasikan E-Service pun
pada umumnya mereka sangat terlambat, dengan berbagai alasan yang seolah-olah
logis, mengapa mereka, segera mengadopsi ICT secara konsekwen dalam rangka
meningkatkan kinerja mereka, terutama dalam melakukan public services delivery
bagi warga negaranya.
Tidak berbeda dengan negara-negara sedang berkambang pada umumnya,
Indonesia hingga saat ini juga masih termasuk sebagai negara yang sangat
terlambat dalam mengodopsi ICT sebagai sarana utama dalam pelaksanaan
kerjanya. Bahkan berdasarkan UN Goverment Survey (2008) Indonesia belum
termasuk sebagai salah satu dari 70 negara di dunia yang memiliki tingkat
kesiapan dan kemampuan yang cukup dalam mengimplementasikan prinsipprinsip E-Govke dalam kehidupan organisasi pemerintahannya.
E-GOVOVERNANCE SEBAGAI TINDAKAN INOVASI PELAYANAN PUBLIK.

Sejak penggunaan ICT telah merambah secara luas ke dalam kehidupan


organisasi sektor publik, ternyata pemanfaatan teknologi tersebut tidak hanya
mampu menggiring atas terjadinya pergeseran yang positif dibidang proses dan
prosedur penyusunan kebijakan publik, tetapi juga mampu menciptakan terjadinya
peningkatan tranparansi dan akuntabilitas hampir diseluruh fungsi pemerintahan,
dan dapat pula meningkatkan jumlah cost saving pada kegiatan administrasi
pemerintahan. Bahkan lebih dari pada itu penerapan E-Gov secara kuantitatif
mampu memperluas cakupan pelayanan, sedangkan secara kualitatif juga sangat
efektif dalam menumbuhkan tingkat kepuasan masyarakat penerima jasa layanan
yang disedikan oleh pihak pemerintah. Dengan kata lain dapat pula dikatakan

19

bahwa penerapan E-Gov secara esensial merupakan tindakan inovatif bagi


terselenggarakannya pelayanan publik yang dapat menciptakan kepercayaan dan
kepuasan masyarakat kepada pemerintah.Dalam hal ini Pathak et al (2008: 68)
pernah mengtakan sebagai berikut:
E governance, reformers aspire to reincorce the
connection between public officials and communities thereby
leading to a stronger, more accuntable and inclusive
democracy. The success of E-Governance requires fondamental
chnges in how goverment works and how people view the
provisions throgh which government is helping them.
Memperhatikan pendapat yang telah diutarakan oleh Pathak et al tersebut
di atas, dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwasannya penerapan E-Gov.
pada saat ini tidak boleh dipandang hanya sebagai bentuk-bentuk penyelenggaraan
pemerintahan berbasis ICT dengan memanfaatkan jaringan internet semata. Ada
banyak hal yang

lebih penting dan dari pada itu, sehingga E-Gov. harus

dipandang sebagai sebuah model aktivitas kepemerintahaan integratif yang


dicirikan oleh adanya sebuah proses aktivitas kerja seluruh organisasi sektor
publik yang mampu menciptakan terjadinya demokratisasi pemerintahan yang
lebih terpercaya, maupun berbagai aspek tindakan pemerintah lainnya yang lebih
transparan, akuntabel, cepat, tepat dan akurat melalui aplikasiICT, karena
kehadliran E-Gov. ternyata mampu menciptakan serta memperbaiki kualitas
interaksi antara pemerintah dengan berbagai pihak. Berbagai interaksi yang lajim
dapat ditingkatkan kualitas interaksinya itu diantaranya adalah interaksi antara
pemerintah dengan warga negaraatau Government to Citizen (G to C), interaksi
pemerintah dengan swastaGovernment to Business (G to B), serta interaksi yang
terjadi antara pemerintah dengan pemerintah Government to Government (G to
G)maupun bentuk-bentuk interaksi lainnya, baik yang berjalan secara upward
interaction,downward interaction maupun yang berjalan secara backward
interactionserta

forward

interactionsehingga

dapat

mengefektifkan

dan

mengefisienkan kinerja internal organisasi pemerintahan yang lajim disebut


sebagai internal government operation (Backus; 20010).

20

Pendek kata,bahwa dengan kehadliran E-Gov. yang diaplikasikan secara


konsekwen oleh negara-negara maju ternyata mampu membuka peluang yang
seluas-luasnya bagi negara itu untuk melakukan perbaikan kinerja mereka.
Mereka dengan sangat meyakinkan telah melakukan pergeseran pola kerja yang
semula bersiofat negatif dan banyak mendapat kecamanan serta menimbulkan
kekecewaan warga negara itu, telah menjelma menjadi pola kerja yang penuh
dengan pujian dan kepuasan dari berbagai pihak karena kualitasnya yang menjadi
semakin meningkat dengan terciptanya interaksi antara pemerintah dengan
masyarakat yang semakin harmonis. Sementara itu kinerja internal organisasi
sektor publiknya juga menjadi sangat efektif dan efisien sehingga cost of public
service delivery yang ditanggung oleh masyarakat menjadi sangat murah yang
berdapak positif pada peningkatan kualitas interaksi yang terjadi antara negara
dengan

warga

masyarakatnya,

users,citizenmaupun

yang

baik

berstatus

mereka

yang

berstatus

sebagai

sebagaicustomer.Menanggapi

tentang

berbagai manfaat positif yang dapat dirasakan oleh negara-negara maju yang telah
mengaplikasikan E-Gov. secara konsekwen tersebut, Bhatnagar dalam Pathak et al
(2008) mengatakan Online system have not only helped achieve efficiency gains
by cutting overal time to process applications but also made transactions more
traceable, transparent and eaisier to access.
Mengomentari tentangberbagai hasil dan dampak positif yang telah
dirasakan oleh berbagai negara maju melalui penerapan E-Gov. tersebut,
Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dalam UU
Government Survey (2008: 3) mengatakan sebagai berikut:
Innovation

in

information

and

communication

technologies have also provided an apportunity for effective


working modalities across government agencies. Whereas at an
early stage ICT was viewed as an important tool for improving
efficiency, as organizations become more mature and more
complex, the role of ICT needs to evolve to enable onterorganizational linkages and, with it, the need for e-government

21

coordination as such, ICT is being viewed as a key tool to bring


about a change in service delivery.
Menyimak tentang apa yang disampaikan oleh OECD tersebut,
memberikan pemahaman yang lengkap bagi kita bahwa kehadliran E-Gov bagi
organisasi sektor publik atau organisasi pemerintahan itu adalah merupakan
sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindarkan, apabila negara itu
benar-benar memiliki keinginan yang kuat dalam rangka memperbaiki kualitas
kinerja mereka. Pada umumnya ada 3 (tiga) aspek dari kinerja organisasi sektor
publik yang mampu ditingkatkan kualitasnya melalau penyelenggaraan E-Gov.
yang meliputi:
- Penyerahan atau pemberian e-service kepada masyarakat secara efisien, efektif,
yang dilakukan oleh pemerintah dengan memegang teguh pada prinsip-prinsip
equity, impartiality dan equality.
- Peningkatan kepuasan bagi warga negara maupun pihak swasta karena adanya
pelayanan pemerintah yang dilakukan secara cepat, tepat dan akurat karena
proses pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selalu didasarkan pada sikap
dan perilaku public servants yang penuh semangat, proaktif, progresif dan
positif tanpa.
- Peningkatan kepercayaan masyarakat kepada organisasi sektor publik, karena
adanya interaksi yang berjalan secara lancar, transparan dan akuntabel.
Sementara itu menurut hasil survey yang pernah dilakukan oleh Pathak et
al (2008) bahwa pengaplikasian program E-Gov yang dilakukan secara
konsekwen itu ternyata juga terbukti sangat ampuh dan efektif untuk memberantas
korupsi, khususnya korupsi di bidang pemberian atau penyerahan jasa pelayanan
publik

yang

dilakukan

olehpihak

pemerintah

kepada

mereka

yang

membutuhkannya. Salah satu bentuk korupsi bidang pelayanan publik yang bisa
diminimalisir secara efektif melalui penyelenggaraan E-Gov itu adalah apa yang
lajim disebut sebagai petty bureaucratic corruption maupun yang disebut sebagai
low-level administrative corruption (Pathak et al; 2008) yang sering dilakukan
oleh kelompok birokrat kelas bawah yang oleh Lipsky (1980) diistilahkan sebagai
Street Level Bureaucrats.

22

Berkaca dari berbagai fakta keberhasilan oleh negara-negara maju dalam


menerapakan E-Gov tersebut, pada saat ini banyak negara-negara sedang
berkembang termasuk Indonesia yang berusaha mengikuti langkah-langkah yang
telah diambil oleh berbagai negara maju tersebut, yakni mulai berusaha untuk
mengaplikasikan E-Gov di republik tercinta ini. Sudah barang tentu bahwa
Indonesia juga memiliki harapan yang besar, bahwa dengan diterapkannyaEGovini juga akan dapat membawa hembusan angin segar dan kesuksesan yang
memuaskan banyak pihak,sebagaimana yang telah diraih oleh berbagai negara
maju yang telah lebih dahulu menerapkan E-Gov di negaranya. Dengan kata lain
bahwa Indonesia melalui E-Gov. nya juga sangat menaruh harapan untuk
dapatmeningkatkan efektivitas kerja, efisiensi biaya, serta bertujuan untuk
mempermudah dan memperlancar jalannya proses pelayanan publik bagi warga
negaranya, baik bagi mereka yang berstatus sebagai citizens, client, users maupun
customers. Bahkan melaluiE-Gov itu juga bahwa Indonesia juga memiliki cita-cita
mulia

untuk

menciptakan

tewujudnyaclean

government

atau

menekan

INDONESIA

DALAM

terjadinyakorupsi di negeri ini.


MENAKAR KESIAPAN DAN KEMAMPUAN
MENGAPLIKASIKAN E-GOVERNANCE.

Sampai dengan selesainya penulisan paper singkat ini, penulis belum


berhasil untuk mendapatkan informasi yang akurat, tentang kapan sesungguhnya
peletakan fondasi pertama atas penerapan E-Gov maupun E-Service telah dimulai
oleh Pemerintah Indonesia. Namun berdasarkan data dari hasil survey yang
dilakukan oleh UN Government Survey (2008: 34) menginformasikan bahwa
penerapan E-Gov. yang telah dilakukan oleh Indonesia menempati rangking ke 96
ditingkat Asia Tenggara pada tahun 2005. Bertolak dari informasi tersebut
menunjukkan bahwa penerapan E-Gov. di Indonesia telah dimulai beberapa tahun
sebelum tahun 2005, walaupun tidak dapat menunjukkan secara pasti tahun perapa
program tersebut telah dimulai kegiatannya. Ironisnya setelah penilaian atau
survey yang dilakukan oleh UN Government Survey tersebut berjalan selama 3
(tiga) tahun, ternyata prestasi Indonesia dalam mengaplikasikan E-Govjustru
mengalami penurunan yang sangat tajam, karena kedudukan Indonesia pada tahun

23

2008 hanya berada pada rangking 106, yang berarti dalam kurun waktu sekitar 3
tahun, penerapan E-Gov di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 10 poin.
Mengapa prestasi Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov mengalami
kemerosotan yang drastis?, sementara itu apabila dilihat secara faktual, bahwa
program penggunaan ICT pada berbagai organisasi sektor publik di Indonesia
semakin tahun jumlahnya menjadi semakin meningkat. Boleh jadi bahwa secara
kuantitatif jumlah organisasi sektor publik di Indonesia yang menerapkan EService sebagai embrio dari penerapan E-Gov.memang semakin besar jumlahnya,
tetapi apabila dilihat dari segi kualitas penerapannya, sebagian besar dari mereka
belum menampakkan kondisidan prestasi yang optimal, apa lagi untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik penyedia
jasa layanan pada khususnya maupun kepercayaan publik terhadap negara pada
umumnya, ternyata masih jauh dari harapan yang dinginkan.
Secara garis besar untuk menakar tingkat kesiapan dan kemampuan
Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov. dapat dilihat melalui 3 (tiga) aspek
dasar yang terdiri dari:
1. Berdasarkan proses internal atas penyelenggaraan E-Gov. terkait dengan
pelaksanaan pekerjaan organisasi sektor publik tertentu yang bertujuan to
improving of internal government operation yang bermuara pada
terciptannya proses kerja yang tebih transparan, efisien dan efektif sehingga
dapat menekan biaya operasional sampai pada batas minimal yang paling
rendah dengan waktu pelaksanaan yang tercepat.
2. Berdasarkan output yang mampu dihasilkan melalui penyelenggaraan EGov.yang dapat menyederhanakan dan mempermudah bagi pihak
masyarakat untuk mengakses jasa layanan publik yang disediakan oleh
organisasi sektor publik sebagai provider-nya, sehingga dapat mempercepat
dan meningkatkan adanya pemerintahan yang demokratis melalui
penerapan ICT sebagai basis dari penyelenggaraan E-Gov.
3. Berdasarkan outcome yang dapat dilihat dari munculnya kepuasan
masyarakat penerima jasa layanan yang berdampak pada meningkatnya
public trustpihak masyarakatterhadap proses penyerahan jasa pelayanan

24

yang diberikan oleh pemerintah, karena penyerahan jasa pelayanan tersebut


benar-benar diselenggarakan melalui prinsip a better relationship between
citizens and government, yang bermuara padasemakin melemahnya petty
bureaucratic corruption sampai pada batas yang paling rendah yang biasa
dilakukan oleh low-level bureacratic yang berhadapan langsung dengan
masyarakat penerima jasa layanan publik.
Oleh karena penerapan E-Gov. di negeri ini belum mampu menciptakan
atas ke 3 (tiga) aspek dasar tersebut secara optimal apalagi ideal, maka tidaklah
berlebihan apabila pihak UN E-Government Surveymenilai bahwa penerapan EGov di Indonesia semakin hari kualitasnya tidak menjadi semaikan baik, dan
justru berapa pada posisi yang sebaliknya. Hal ini mengandung pengertian bahwa
Indonesia belum memiliki kesiapan dan tingkat kemampuan yang optimal dalam
menerapkan E-Govsecara konsekwen.
Berdasarkan hasil studi pernah dilakukan oleh penulis, tentang kualitas
penyelenggaraan E-Passport Servicesyang diasumsikan sebagai langkah awal atas
terbentuknya E-Gov di negeri ini, dilihat berdasarkan prosesnya, hasilnya maupun
dari segi dampaknya juga menunjukkan adanya hasil yang kurang optimal.
Ketidak optimalan penyelenggaraan E-Passport Services yang didesakkan oleh
International Civil Assosiation Organization kepada Indonesia pada tahun 2006
itu, sampai dengan kondisi awal tahun 2011 ternyata belum bisa dilaksanakan
secara tuntas, karena Indonesia belum mampu menyelesaikan aplikasi program EPassport Services secara menyeluruh sebagaimana tahap-tahap yang telah
ditetapkan, sehingga sampai saat ini penerbitan E-Passport Books yang berbasis
micro chips belum bisa diproduksi secara masal. Oleh sebab itu dapatlah
dikatakan bahwa penerbitan E-Passport Book yang dilakukan oleh indoneia
hingga saat ini, teknis belum sesuai dengan standard yang telah ditetapkan oleh
ICAO. Kendatipun hasil studi ini bukan merupakan representasi dari keseluruhan
dari penyelenggaraan E-Service maupun E-Gov. yang telah dilakukan oleh
indonesia selama ini, setidaknya data tersebut adalah merupakan salah satu potret
wajah dari sebuah proses penyelenggaraan E-Gov yang belum tuntas

25

diimplementasikan secara konsekwen, apabila kurang tepat untuk disebut sebagai


penyelenggaraan E-Gov. yang masih dilakukan setengah hati.
Adapun indikator yang dijadikan sebagai tolok ukur oleh UN Government
Survey dalam menilai tingkat kesiapan dan kemampuan sebuah negara dalam
mengimplementasikan E-Govyang disebut sebagai phases of web measure index
UN Government Survey (2008: 17)itu adalah berupa tahapan penerapan E-Gov
yang dilakukan oleh sebuah negara yang terdiri dari;a) emerging stage, b)
enhance stage, c) interctive stage, d) transactional stage, dan e) connected
stage.Sementara itu agak berbeda dengan apa yang disusun oleh pihak UN
Goverment Survey, Sakowitcz mengidentifikasi kesiapan dan kemampuan sebuah
negara dalam mengimplementasikan E-Govberdasarkan 4 (empat) tahapan yang
meliputi;a)information available on-line, b) one-way interaction, c) two way
interaction and d) full on-line transactioin, including delivery and payment.
Meskipun antaraUN Government Survey dan Sakowitcz menggunakan
indikator tahapan penyelenggaraan E-Gov saling berbeda antara satu dengan
lainnya, tetapi keduanya memiliki indikator yang hampir sama ketika mereka
melihat proses penerapan E-Govyang dilakukan oleh sebuah lembaga atau
institusi sektor publik yang bertindak sebagai providers dalam memberikan jasa
pelayanan publik kepada pihak-pihak yang membutuhkannya. Beberapa kesamaan
process indicatorsyang dimaksud oleh kedua pihak tersebut di antaranya adalah;
there are available on-line 24h/7 days, ease of use and one-stop shop (Sakowitcz;
2003) dan (UN Government Survey; 2008).Tanpa harus memaparkan secara rinci
dan detil tentang tahapan pelaksanaan E-Gov yang telah dicapai oleh Indonesia,
maupun kemampuan Indonesia dalam melakukan proses pemberian jasa yanan
berbasis ICT sebagaimana yang disusun dan diutarakan oleh UN Government
Survey maupun Sakowitcz, yang jelas Indonesia hanya menempati urutan yang ke
106 di tingkat Asia Tenggara pada tahun 2008 yang lalu.
Kondisi yang semacam ini baik secara langsung maupun tidak langsung
mengadung pengertian bahwa Indonesia belum bisa mencapai tahapan yang
tertinggi dengan proses pemberian jasa pelayanan yang masih relatif sulit, lamban,
kurang menyenangkan dan tidak berjalan secara terpadu dalam kurun waktu 24

26

jam/hari selama 1 (satu) minggu penuh tanpa berhenti. Terlebih lagi apabila
penerepan E-Gov. tersebut dihubungkan dengan menurunnya angka korupsi
sebagaimana yang terjadi di Fiji dan Etiopia ( Pathak; 2008) maka Indonesia
masih berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan, sebab E-Gov. yang telah
diaplikasikan selama ini tidak berdampak sedikitpun terhadap terjadinya
penurunan angka korupsi di negeri ini. Oleh sebab itu dilihat dari sisi penerapan
E-Gov, masih banyak Pekerjaan Rumah (PR)yang harus segera dilakukan oleh
Indonesia agar pelaksanaan E-Gov benar-benar dapat menghasilkan sesuatu yang
positif di segala bidang sebagaimana yang telah terjadi diberbagai negara lainnya.
Masih relatif rendahnya kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan EGov ini salah satu diantaranya adalah diakibatkan oleh rendahnya kualitas Sumber
daya aparatur (SDA) yang yang secara teknis diberi kepercayaan atau
kewenangan dalam mengoperasional E-Gov dalam menjalankan tugas mereka
sehari-hari. Banyak para pemerhati tentang pelaksanaan E-Gov di Indonesia
mengambil sebuah kesimpulan bahwa rendahnya kemampuan Indonesia dalam
menerapkan E-Govselama ini adalah merupakan akibat dari masih rendahnya ICT
literacy yang melekat pada SDA, karena mereka belum memiliki profesionalitas
ataupun kompetensi yang cukup memadai dibidang ICT, karena dengan berbekal
profesionalitas kompetensi tersebut dapat mengakibatkan seseorang dapat
melakukan pekerjaan secara efisien, efektif dan ekonomis. Mungkin saja
sinyalemen yang semacam ini tidak terlalu salah, apabila kita melihat kondisi
SDA yang bekerja pada organisasi sektor publik di indonesia sekitar 5 tahun atau
10 tahun yang lalu, tetapi sinyalemen yang semacam ini barang kali sudah kurang
tepat lagi apabila digunakan untuk menganalisis keadaan SDA yang bekerja pada
organisasi sektor publik di indonesia ada pada saat ini. Dalam hal ini Witthon
(2007) tidak menafikkan bahwa pelaksanaan kerja secara efisien, efektif dan
ekonomis memang bisa diraih oleh para SDA yang memiliki profesionalitas dan
kompetensi teknis yang tinggi. Namun demikian, selanjutnya Ia mengatakakan
bahwa prinsip 3E yang terdiri dari efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam
penyelenggaraan administrasi publik tidaklah cukup, oleh sebab itu harus
ditambah dengan 1 prinsi E lagi yang Ia sebut sebagai professional ethic atau
ethical competence.

27

Apabila profesionalitas dan kompetensi teknis adalah merupakan prasyarat


yang harus dimiliki oleh para SDA dalam mengaplikasikan E-Gov demi
terwujudnya kualitas kerja yang dapat menciptakan terjadinya penurunan biaya
operasional, percepatan waktu pelayanan dan lain sebagainya, sedangkan
professional ethic atau ethical competence sangat mujarab dalam menciptakan
attitude dan aptitudeketika mereka menjalin interaksi dengan pihak users, client,
customer maupun citizen, sehingga interaksi pemerintah dengan warga negara
maupun pihak swasta menjadi lebih baik, yang secara tidak langsung juga dapat
menekan terjadinya tindak kejahatan korupsi yang biasa dilakukan oleh para
bureacrats yang tidak bertanggungjawab dalam memberikan jasa pelayanan
publik bagi mereka yang membutuhkannya. Sehubungan dengan hal tersebut
dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwa dalam rangka meningkatkan
kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov tidak saja harus ditempuh
melalui peningkatan kompetensi dan profesionalitas teknis bagi SDA-nya saja,
melainkan lebih dari itu juga harus ditempuh dengan cara melakukan
perbaikanterhadap etika profesionalitas atau perbaikan padakompetensi etik yang
telah mereka miliki selama ini.
KESIMPULAN

Dewasa ini intensitas penggunaan ICT di dalam organisasi sektor publik


yang diistilahkan sebagai E-Gov. semakin hari menjadi semakin tak terhidarkan.
Bahkan penggunaan E-Gov. sudah dianggap sebagai representasi dari kemampuan
organisasi pemerintah di dalam meningkatkan proses pelayanan publik di segala
bidang. Oleh sebab itu, sangatlah beralasan apabila penerapan E-Gov. lebih
dianggap sebagai proses otomatisasi yang harus dilakukan oleh organisasi
pemerintah dalam memberikan jasa pelayanan kepada publik secara lebih efisien,
efektif, transparan dan tepat sasaran. Sudah barang tentu bahwa berbagai
anggapan tersebut bermuara dari berbagai fakta keberhasilan gemilang yang
pernah dicapai oleh negara-negara maju dalam menerapkan E-Gov. diseluruh
sektor organisasi pemerintahan yang dimilikinya.
Namun demikian, ketika E-Gov. tersebut diimplementasikan di negaranegara sedang berkembang, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Indonesia,

28

ternyata hasilnya tidak se-efektif sebagaimana yang terjadi pada negara-negara


maju, apabila kurang tepat untuk dikatakan gagal. Efisiensi, efektivitas dan
perbaikan kinerja internal organisasi akibat penerapan E-Gov. sebagaimana yang
dirasakan oleh negara-negara maju, ternyata belum bisa diwujudkan akibat
diterapkannya E-Gov. Demikian pula hanya dengan perbaikan interaksi antara
pemerintah dengan warga negaranya ternyata juga belum tumbuh secara
sempurna, dan penurunan tindakan yang bersifat koruptif juga masih belum
kentara. Berdasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
belum optimalnya hasil atas penerapan E-Gov tersebut, salah satu diantaranya
adalah disebabkan oleh masih rendahnya profesionalitas dan kompetensi SDA
yang ada. Namun yang perlu digaris bawahi di sini adalah profesionalitas dan
kompetensi yang dimaksud bukan semata-mata terletak pada kompetensi teknis,
melainkan lebih disebabkan oleh rendahnya kompetensi etis yang sangat
berpengaruh dalam membentuk perilaku mereka dalam menjalankan sebuah
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ancarani, Alessandro, 2005, Towards Quality E-Service In The Public sector, The Evolution of
Web Sites In The local Public Sercice Sector, Managing Service Quality, Vol 15 No 1, Pp. 623, Emerald Group Publishing Ltd.
Backus, M, 2001, E-Governance and Developing Countries Introduction and Examples, IICD
Research Report No 3.
Farazman, A, 2004, Innovation In Strategic Human Resource Management, Building Capacity In
The Age of Globalization, Public Organization Review, 4, 3-24.
Joseph, Rhonda, C, 2009, E-Government And E-HRM In The Public Sector, dalam Enciclopedia
of Human Resource Management System,: Challenges in HRM, Hersly New York,
Information Science Refference, Publisher.
Lipsky, M., 1980, Street Level Bureaucracy, Dilemmas Of Individual In Public Services, Russell
Sage Foundation, New York.
Pathak, R., D, et al (2008), E-Governance, Corruption and Public Service Delivery: A
Comparative Study of Fiji and Ethiopia, JOAAC, Vol 3 No. 1.
Sakowitcz, Marcin, 2003, How to Evaluate E-Government?, Different Methodologies and
Methods, Warsaw School of Economics, Departement of Public Administration, Email:
msakow@sgh.waw.pl, downloaded 19 January 2010.
United Nation, 2008, UN E-Goverment Survey From E-Government to Connected Governance,
UN, Publication

29

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PELAYANAN PUBLIK:


SIAPKAH DAERAH OTONOM?
Abdul Hakim dan Siti Rochmah

PENDAHULUAN
Secara hukum Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik telah diundangkan pada tanggal 18 Juli 2009 dan dimuat secara resmi
dalam Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 112. Namun sampai sekarang
implementasi undang-undang, yang sangat dinantikan oleh publik tersebut, belum
terlaksana karena Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaannya
bagi para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik belum terbit sampai saat
ini. Menarik untuk disimak, bahwa undang-undang tersebut lahir atas dasar
beberapa pertimbangan sebagai berikut: pertama, bahwa negara berkewajiban
melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan
dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Kedua, untuk membangun
kepercayaan publik terhadap penyelenggara pelayanan publik. Ketiga, sebagai
upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk
serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik; dan keempat, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan
menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberikan perlindungan bagi
setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Terlepas dari alasan-alasan tersebut, disadari bahwa ada suatu fenomena
empirik yang mendorong ke arah pentingnya aturan hukum dan manajemen
pelayanan publik, yaitu kondisi kualitas pelayanan publik yang dirasakan buruk,
atah bahkan santa buruk, oleh warga negara dan penduduk Indonesia. Menurut
Tjokrowinoto (2001), sikap dan perilaku birokrasi publik pada tataran
pemerintahan lokal yang berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat sebagian besar terkooptasi kepentingan-kepentingan pribadi dan

30

kelompok yang cenderung vested interest. Birokrasi publik di daerah memiliki


jarak sosial yang terlalu jauh dengan masyarakat dan pengguna jasa yang
dilayaninya. Pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur birokrasi cenderung
bersifat sentralistik sehingga banyak pelayanan yang diberikan tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Rendahnya aksesibilitas dan kualitas pelayanan
publik yang terefleksikan melalui akuntabilitas kinerja birokrasi publik dalam
berbagai penyelenggaraan pelayanan publik yang terjadi di daerah-daerah telah
memunculkan berbagai bentuk protes sosial yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk, mulai dari tulisan di media, unjuk rasa sampai dengan tindakan anarkis
yang merugikan dan mengancam legitimasi pemerintahan. Ketidakmampuan
birokrasi publik untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal dalam
pelayanan publik, antara lain disebabkan oleh faktor-faktor rendahnya kapabilitas,
profesionalisme, dan kompetensi pejabat birokrasi publik. Kenyataan ini telah
mengakumulasikan ketidakpuasan publik yang selanjutnya menjelma menjadi
tuntutan yang terus meningkat menjadi gerakan reformasi pelayanan publik.
Kesadaran akan pentingnya payung hukum yang melandasi pelayanan
publik yang berkualitas sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1993, jauh sebelum
undang-undang tersebut diundangkan. Misalnya, Keputusan Menpan No. 81/1993
yang dipertegas dengan Inpres No. 1/1995 tentang Peningkatan Kualitas
Pelayanan Aparatur Pemerintah. Kemudian Surat Edaran Menko Waspan No.
56/MK/WASPAN/6/1998 tentang Langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan
Masyarakat, yang intinya meminta agar seluruh Menteri Kabinet Reformasi
Pembangunan, Gubernur BI, para Gubernur seluruh Indonesia, para Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan para Bupati/Walikota Kepala Daerah
di seluruh Indonesia agar dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkahlangkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit
kerja/kantor pelayanan termasuk BUMN/BUMD.
Tidak dapat disangsikan bahwa undang-undang pelayanan publik tersebut
memuat banyak hal yang menjadi kewajiban para penyelenggara dan pelaksana
pelayanan publik. Dalam Pasal 15 disebutkan sebanyak dua belas kewajiban yang
harus dipenuhi oleh Penyelenggara Pelayanan Publik, dan lima kewajiban yang

31

harus dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Publik. Dalam Ketentuan Umum


undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Penyelenggara
Pelayanan

Publik

atau

disebut

Penyelenggara

adalah

setiap

institusi

penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan


undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Sedangkan Pelaksana
Pelayanan Publik atau disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan
setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas
melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Dengan demikian jelas bahwa Pemerintah Daerah adalah Penyelenggara
Pelayanan Publik, dan segenap aparatur Pemerintah Daerah adalah Pelaksana
Pelayanan Publik. Hal ini sekaligus memperjelas pula bahwa kewajibankewajiban yang ada dalam undang-udang tersebut haruslah dilaksanakan sehingga
tujuan

undang-udang

pelayanan

publik

untuk

mewajudkan

sistem

penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas


pemerintahan yang baik (good governance) dapat tercapai. Pertanyaannya adalah
sejauhmana kesiapan Pemerintah Daerah dan jajaran birokrasinya untuk
mengimplementasikan undang-udang tersebut? Tema inilah yang menjadi bahan
diskusi dalam artikel ini.
KEWAJIBAN PENYELENGGARA
PELAYANAN PUBLIK

DAN

PELAKSANA

DALAM

Komitmen untuk melaksanakan pelayanan publik yang berkualitas


sebenranya sudah ada sejak dikeluarkannya Surat Edaran Menwaspan No.
56/MK/WASPAN/6/1998 tentang Langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan
Masyarakat. Dalam surat edaran tersebut dinyatakan tentang kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh organisasi pemerintah dan juga BUMN/BUMD sebagai
berikut:
1. Menerbitkan pedoman pelayanan, yang antara lain memuat persyaratan,
prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan,
baik yang bentuk buku panduan atau pengumuman maupun melalui media
informasi lainnya;

32

2. Menempatkan petugas yang bertanggung jawab melakukan pengecekan


kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian mengenai diterima
atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga;
3. Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu yang
telah ditetapkan dan apabila batas waktu yang telah ditetapkan terlampaui,
maka permohonan tersebut berarti disetujui;
4. Melarang dan atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain
dan meniadakan segalka bentuk pungutan liar di luar biaya jasa pelayanan
yang telah ditetapkan;
5. Sedapat mungkin menerapkan pola-pola pelayanan secara terpadu bagi
unit-unit kerja kantor pelayanan yang terkait dalam memproses atau
menghasilkan satu produk pelayanan;
6. Melakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan
masyarakat atau pelayanan yang telah diberikan, antara lain dengan cara
masyarakat atau pelayanan yang telah diberikan, antara lain dengan cara
penyebaran kuesioner kepada masyarakat dan hasilnya perlu dievaluasi dan
ditindaklanjuti;
7. Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai
tuntutan perkembangan dinamika masyarakat.
Secara substantif, isi surat edaran tersebut termuat di dalam dua belas
kewajiban bagi Penyelenggara Pelayanan Publik, sebagaimana diatur dalam Pasal
15, sebagai berikut:
1. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
2. Menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan;
3. Menempatkan pelaksana yang kompeten;
4. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang
mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
5. Memberikan

pelayanan

yang

berkualitas

sesuai

penyelenggaran pelayanan publik;


6. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan;

33

dengan

asas

7. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-udangan yang


terkait dengan penyelenggaran pelayanan publik;
8. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan;
9. Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya;
10. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan
publik;
11. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku
apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi
atau jabatan;
12. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang
berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak,
berwenang, dan sah sesuai dengan perraturan perundang-udangan.
Sedangkan untuk Pelaksana Pelayanan Publik memiliki lima kewajiban,
sebagai berikut:
1. Melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang diberikan
oleh Penyelenggara;
2. Memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-udangan;
3. Memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu
tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga
negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
4. Memberikan

pertanggungjawaban

apabila

mengundurkan

diri

atau

melepaskan tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan;


dan
5. Melakukan evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja kepada
Penyelenggara secara berkala.

34

Uraian tentang kewajiban-kewajiban tersebut menunjukkan betapa banyak


dan luasnya aspek yang harus disiapkan oleh daerah otonom dalam rangka
implementasi undang-undang pelayanan publik. Untuk pembahasan dalam artikel
ini, kita ambil saja sebagai contoh, lima kewajiban pertama dari Penyelenggara,
yaitu: (a) menyusun dan menetapkan standar pelayanan; (b) menyusun,
menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan; (c) menempatkan
pelaksana yang kompeten; (d) menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas
pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
dan

(e)

memberikan

pelayanan

yang

berkualitas

sesuai

dengan

asas

penyelenggaran pelayanan publik.


Untuk yang pertama, pertanyaannya adalah: Sudahkah setiap SKPD yang
ada menyusun dan menetapkan standar pelayanan sesuai dengan tupoksinya
masing-masing? Dalam Ketentuan Umum Undang-undang Pelayanan Publik,
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan standar pelayanan adalah tolok ukur
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian
kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat
dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.
Komponen standar pelayanan ini diatur dalam Pasal 21 undang-undang tersebut,
yang meliputi sekurang-kurangnya empat belas aspek:
a. Dasar hukum;
b. Persyaratan;
c. Sistem, mekanisme, dan prosedur;
d. Jangka waktu penyelesaian;
e. Biaya atau tariff;
f. Produk pelayanan;
g. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;
h. Kompetensi pelaksana;
i. Pengawasan internal;
j. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
k. Jumlah pelaksana;

35

l. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan


sesuai dengan standar pelayanan;
m. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen
untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan;
dan
n. Evaluasi kinerja pelaksana.
Salah satu pedoman yang dapat digunakan oleh SKPD untuk menyusun
standar pelayanan agar dapat menyajikan pelayanan prima kepada masyarakat
adalah dengan mengimplementasikan sendi-sendi pelayanan, sebagaimana yang
diatur dalam Keputusan Manteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) No.
81/1993 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan. Sendi-sendi tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Kesederhanaan

dalam

arti

prosedur

atau

tata

cara

pelayanan

diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah


dipahami dan mudah dfilaksanakan.
b. Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
1) Prosedur atau tata cara pelayanan umum;
2) Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif;
3) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan umum;
4) Rincian biaya atau tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya;
5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum;
6) Hak dan kewajiban, baik dari pemberi maupun penerima pelayanan
umum

berdasarkan

bukti-bukti

penerimaan

permohonan

dan

kelengkapannya untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum;


7) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat;
c. Keamanan, dalam arti proses serta hasil pelayanan umum dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian
hukum

36

d. Keterbukaan, dalam arti prosedur atau tata cara atau persyaratan, satuan
kerja atau pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu
penyelesaian dan rincian biaya dan hal-hal yang berkaitan dengan proses
pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka kepada masyarakat
agar mudah dan diketahui masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
e. Efisiensi, dalam arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan langsung dengan maksud dan tujuan pelayanan yang
diberikan, mencegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan
persyaratan, kelengkapan sebagai persyaratan dari satuan kerja atau instansi
pemerintah lain yang terkait.
f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan nilai barang dan atau jasa pelayanan
umum dan tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran, kondisi dan
kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum
harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan
diperlakukan secara adil.
h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam menyusun standar pelayanan
adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna
jasa layanan atas pelayanan yang diberikan. Dalam konteks ini, Parasuraman et al.
(1985) setelah meneliti lima perusahaan yaitu: perbankan, kartu krdit, perbaikan
dan perawatan peralatan elektronika, broker saham, dan perusahaan telepon SLJJ,
dan dengan menggunakan 22 instrumen pengukur kualitas layanan (dikenal
dengan SERVQUAL) menyimpulkan terdapat lima dimensi kualitas layanan yang
berpengaruh pada kepuasan pengguna jasa layanan, yaitu: (1) bukti langsung
(tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, sarana komunikasi; (2)
keandalan (reability), meliputi kemampuan memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan segera; (3) daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para

37

staf dan karyawan untuk membantu para pengguna jasa layanan dan memberikan
pelayanan dengan tanggap;

(4) jaminan (assurance),

yang mencakup:

pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya yang


dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan; dan (5)
perhatian (emphaty) yang meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pengguna
jasa layanan.
Aspek kedua yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah adalah
menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan. Hal yang
dimaksud dengan Maklumat Pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi
keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan.
Dengan demikian, Maklumat dapat disusun jika standar pelayanan telah disusun
terlebih dahulu. Oleh karena itu sangatlah penting bagi Pemerintah Daerah untuk
memiliki sistem informasi pelayanan publik yang berbasis website. Hal yang
dimaksud dengan Sistem Informasi Pelayanan Publik adalah rangkaian kegiatan
yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme
penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya
dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braille, bahasa gambarm
dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik. Sistem
Informasi ini seharusnya sudah mulai dibangun sejak sekarang dan bukan
menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaannya. Dalam
Undang-Undang Pelayanan Publik, Pasal 23 ayat (4), disebutkan bahwa
Penyelenggara berkewajiban mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas sistem
informasi elektronik atau nonelektronik, yang meliputi sekurang-kurangnya: (a)
profil Penyelenggara; (b) profil Pelaksana; (c) standar pelayanan; (d) maklumat
pelayanan; (e) pengelolaan pengaduan; dan (f) penilaian kinerja.
Jalan keluar yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dengan
mengembangkan fungsi website yang sudah ada sekarang, sehingga memiliki situs
khusus untuk Sistem Informasi Pelayanan Publik, dengan berbagai menu sajian,
sesuai dengan yang diharapkan dalam Undang-undang Pelayanan Publik.

38

Kewajiban ketiga dari Pemda sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik


adalah menempatkan pelaksana yang kompeten. Kewajiban ini ada hubungannya
dengan tuntutan akan pelayanan yang berkualitas. Karena jika pelaksanaan
pelayanan dilakukan oleh aparatur yang tidak menguasaia pekerjaannya, dan tidak
memiliki keterampilan, maka dikhawatirkan masyarakat tidak memperoleh
pelayanan yang baik dan berkualitas. Dalam hubungannya dengan faktor manusia
atau faktor pelaksana pelayanan publik ini, Moenir (1995) menyebutkan tentang
perlunya memperhatikan tiga hal penting sebagai berikut: (a) adanya kesanggupan
dalam melakukan pekerjaan dengan motif mulia, yaitu ikhlas; (b) adanya
keterampilan khusus untuk mengangani pekerjaan, dan untuk itu pekerja harus
memiliki keterampilan yang disyaratkan, atau jika belum memiliki harus terlebih
dahulu mendapatkan pendidikan atau pelatihan yang sepadan; dan (c) disiplin
dalam hal waktu, prosedur dan metode yang telah ditentukan.
Urgensi pelaksana pelayanan publik yang memiliki kompetensi yang
disyaratkan

dalam

penyelenggaraan

dan

pelaksanaan

pelayanan

publik

dikarenakan adanya tuntutan pertanggungjawaban atas pelayanan yang diberikan,


dan juga adanya kemungkinan masyarakat pengguna jasa layanan untuk
mengajukan tuntutan hukum dan atau melaporkan Penyelenggara dan Pelaksana
Pelayanan Publik kepada pihak yang berwenang. Sebagaimana diatur dalam Pasal
51, bahwa masyarakat dapat menggugat Penyelenggara atau Pelaksana melalui
peradilan tata usaha negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan
kerugian di bidang tata usaha negara. Oleh karena itu, dalam undang-undang
tersebut juga diatur tentang perilaku aparatur pelaksana dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Perilaku tersebut, meliputi: (a) adil dan tidak diskriminatif; (b)
cermat; (c) santun dan ramah; (d) tegas, andal, dan tidak memberikan putusan
yang berlarut-larut; (e) profesional; (f) tidak mempersulit; patuh pada perintah
atasan yang sah dan wajar; (g) menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan
integritas institusi penyelenggara; (h) tidak membocorkan informasi atau
dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-udangan;
(i) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan
kepentingan; (j) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari
benturan kepentngan: (k) tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta

39

fasilitas pelayanan publik; (l) tidak memberikan informasi yang salah atau
menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam
memenuhi kepentingan masyarakat; (m) tidak menyalahgunakan informasi,
jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki; (n) sesuai dengan kepantasan; dan
(o) tidak menyimpang dari prosedur.
Dalam penyelenggaraan pelayanan public dibutuhkan dibutuhkan aparatur
yang memiliki komitmen dan semangat kerja tinggi untuk mencapai kinerja
pelayanan public yang sesuai standar pelayanan yang telah ditentukan, dan
menghasilkan kepuasan dari para pengguna jasa layanan. Hasil penelitian tentang
kinerja di antaranya menunjukkan bahwa kinerja (performance) akan tercapai jika
secara internal pegawai memiliki komitmen dan semangat kerja yang tinggi dan
dari sisi eksternal dilibatkan dalam berbagai bidang kerja, sesuai dengan
kompetensinya; di samping tersedianya informasi yang tepat berkaitan dengan
bidang kerjanya (Vogel, 1981). Faktor eksternal dan internal tersebut akan
berpengaruh terhadap kinerja pegawai atau sikap pegawai di lingkungan
organisasinya. Dalam kerangka perilaku organisasi terdapat sejumlah sikap yang
berkaitan dengan pekerjaan. Kebanyakan riset dalam ilmu perilaku organisasi
memperhatikan ketiga sikap tersebut, yaitu: kepuasan kerja, semangat kerja, dan
komitmen terhadap organisasi (Brooke, 1988:139-145). Hasil survey yang
dilakukannya menunjukkan bukti yang nyata bahwa terdapat kerugian organisasi
yang disebabkan oleh sikap, keinginan, motivasi dan komitmen pegawai yang
rendah di bidang kerjanya. Misalnya, 50 persen menyatakan mereka tidak
berusaha lebih keras dalam pekerjaan dan mereka hanya bekerja sekedarnya agar
tidak dikeluarkan; 52 persen percaya bahwa bekerja keras tidak menghasilkan
pekerjaan yang lebih baik; 60 persen mengakui mereka tidak bekerja keras seperti
sebelumnya; dan 77 persen mengatakan mereka tidak bekerja sekeras yang dapat
mereka lakukan.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam konteks implementasi
Undang-undang Pelayanan Publik, Pemerintah daerah membutuhan aparatur
pelaksana pelayanan publik yang tidak hanya memiliki komitmen terhadap
organisasi sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik tetapi juga memiliki semangat

40

kerja. Komitmen pada organisasi sebagai suatu sikap yang diambil pegawai,
bagaimanapun juga menentukan perilakunya sebagai perwujudan dari sikap.
Konsekuensi perilaku yang muncul sebagai perwujudan tingginya tingkat
komitmen pegawai pada organisasi antara lain: rendahnya tingkat pergantian
pegawai, rendahnya tingkat kemangkiran, tingginya motivasi kerja, menyukai
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencapai kinerja yang
tinggi, sebagaimana yang dicerminkan dari model hubungan antara nilai, sikap
dan perilaku (Davis dan Frederick, 1984:75). Sedangkan semangat kerja dapat
dilihat dari aspek-aspek seperti motif, motivasi dan hasrat yang kuat untuk
melakukan sesuatu. Semakin tinggi semangat kerja pegawai semakin kuat
dorongan untuk melaksanakan tugas. Jadi komitmen dan semangat kerja memiliki
kaitan yang erat.
Komponen yang keempat yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah
dalam menyelenggarakan pelayanan publik adalah menyediakan sarana dan
prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim
pelayanan yang memadai. Dalam Pasal 25 UU Pelayanan Publik disebutkan
antara lain: (a) Penyelenggara dan Pelaksana berkewajiban mengelola sarana,
prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan,
akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan
dan/atau penggantian sarana, prasarsana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; (2)
Pelaksana wajib memberikan laporan kepada Penyelengara mengenai kondisi dan
kebutuhan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik sesuai dengan
tuntutan kebutuhan standar pelayanan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah saatnya Pemerintah Daerah untuk
membuat pemetaan kebutuhan sarana, prasarana dan fasilitas pelayanan publik,
untuk kemudian melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan

sarana,

prasarana dan fasilitas pelayanan publik pada masing-masing SKPD. Daftar


kebutuhan tersebut tidak hanya untuk kebutuhan Penyelenggara, tetapi juga
kebutuhan Pelaksana Pelayanan Publik. Daftar kebutuhan inilah yang kemudian
digunakan oleh masing-masing SKPD untuk melakukan pengadaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektivitas,

41

efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan berkesinambungan. Menurut Lovelock


(1988), organisasi publik harus merespon faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi kualitas jasa layanan yang mereka berikan. Faktor internal adalah
prasarana dan sarana pendukung layanan, kapasitas dan kompetensi sumberdaya
manusia pelaksana, waktu dan biaya layanan yang ditetapkan. Sedangkan faktor
eksternal adalah tingkat kepuasan yang dirasakan masyarakat pengguna jasa
layanan. Perlu diperhatikan faktor-faktor apa yang menjadikan mereka puas dan
faktor apa yang membuat mereka tidak puas atas jasa layanan yang diberikan.
Kemudian perlu pula ditelusuri sumber-sumber ketidakpuasan tersebut, apakah
dari prasarana dan sarana ataukah dari sumberdaya manusianya.
Komponen terakhir (dalam bahasan ini) yang harus disiapkan oleh
Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran pelayanan publik adalah kewajiban
untuk memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaran
pelayanan publik. Dalam Pasal 4 UU Pelayanan Publik disebutkan dua belas asas
pelayanan public, yaitu: (1) kepentingan umum; (2) kepastian hukum; (3)
kesamaan hak; (4) keseimbangan hak dan kewajiban; (5) keprofesionalan; (6)
partisipatif; (7) persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif; (8) keterbukaan; (9)
akuntabilitas; (10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; (11)
ketepatan waktu; dan (12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Keduabelas asas ini haruslah diperhatikan dalam proses pemberian pelayanan
publik sehingga tercipta pelayanan publik yang berkualitas.
Dalam pelayanan publik yang berkualitas, unsur kepedulian terhadap
pengguna jasa layanan menjadi fokus utama bagi setiap penyelenggara pelayanan
publik. Menurut Kotler (2003), pengguna jasa layanan (customers) adalah value
maximizers, artinya mereka selalu menginginkan produk yang dapat memberikan
nilai atau tingkat kepuasan paling tinggi. Pengguna jasa layanan selalu memiliki
harapan tinggi akan produk atau jasa yang diterima dari penyelenggara pelayanan
publik. Menurut Kotler, kepuasan adalah perasaan seseorang yang muncul atas
persepsinya pada produk atau jasa yang mereka dapatkan. Pengguna jasa layanan
akan memperoleh kepuasan jika produk atau jasa tersebut berkualitas tinggi atau
sesuai dengan yang diharapkan.

42

Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan


kualitas layanan menurut Lovelock (1998), adalah:
1. Tangibles (berwujud), baik bentuk maupun fasilitas, misalnya penampilan
fasilitas fisik, peralatan, personil, dan komunikasi;
2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan tepat;
3. Responsiveness (daya tanggap), memiliki rasa tanggung jawab terhadap
kualitas layanan dan responsif atas kebutuhan dan keluhan pengguna jasa
layanan;
4. Assurance (jaminan atau kepastian), baik pengetahuan tentang pelayanan,
perilaku dan kemampuan pegawai dalam memberikan layanan;
5. Empathy (empati), yaitu rasa perhatian yang penuh secara personal kepada
pengguna jasa layanan.
Selain Lovelock, Maxwell (2000), juga mengungkapkan beberapa kriteria
untuk menciptakan pelayanan yang berkualitas, yaitu:
1. Tepat dan relevan, artinya pelayanan harus mampu memenuhi keinginan,
harapan dan kebutuhan individu atau masyarakat;
2. Tersedia dan terjangkau, artinya pelayanan harus dapat dijangkau atau
diakses oleh setiap orang atau kelompok yang membutuhkan pelayanan
tersebut;
3. Dapat menjamin rasa keadilan, artinya terbuka dalam memberikan
perlakuan kepada individu atau sekelompok orang dalam keadaan yang
sama tanpa membedakan ras, jenis kelamin, asal usul, dan identitas lainnya;
4. Dapat diterima, artinya layanan memiliki kualitas jika dilihat dari teknik,
cara, kualitas, kemudahan, kenyamanan, menyenangkan, dapat diandalkan,
tepat waktu, cepat, responsif, dan manusiawi;
5. Ekonomis dan efisien, artinya dari sudut pandang pengguna jasa layanan
dapat dijangkau dari segi tarif yang ditentukan;
6. Efektif, artinya menguntungkan pengguna jasa layanan dan semua lapisan
masyarakat yang dilayani.

43

Jika prinsip-prinsip tersebut dijalankan, maka yang diharapkan tercipta


oleh penyelenggara pelayanan publik adalah kepuasan pengguna jasa layanan,
yaitu sejauh mana layanan yang diberikan dapat memenuhi harapan pengguna jasa
layanan, baik dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas jasa layanan yang
diterimanya. Indikasi kepuasan dapat dilihat dari tidak ada atau minimalnya
intensitas komplain yang dilakukan pengguna jasa layanan terhadap penyedia jasa
layanan. Bagi aparatur pemerintah pemberi jasa layanan, ukuran kepuasan
pengguna jasa menjadi sangat penting untuk menentukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menyempurnakan prasarana dan sarana pelayanan maupun
untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparatur pemberi jasa layanan.
Oleh karena itu, Osborne dan Plastrik (1997), menyarankan penggunaan sistem
dan prosedur pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan atau pengguna jasa
layanan. Menurut mereka, organisasi publik yang berorientasi kepada pengguna
jasa layanan, akan memperoleh manfaat sebagai berikut:
1. Sistem yang berorientasi pelanggan akan memaksa pemberi jasa layanan
untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya;
2. Mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan pemberi jasa;
3. Merancang lebih banyak inovasi;
4. Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memilih di antara
pelbagai macam layanan;
5. Tingkat pemborosan lebih rendah, karena pasokan disesuaikan dengan
permintaan;
6. Mendorong pelanggan untuk membuat pilihan dan menjadi pelanggan
yang berkomitmen;
7. Menciptakan peluang lebih besar bagi terciptanya keadilan.
Walaupun apa yang disarankan oleh Lovelock, Maxwell, dan Osborne,
namun inti yang terkandaung di dalamnya adalah bahwa untuk menciptakan
pelayanan publik yang berkualitas, terdapat sejumlah prinsip yang harus
diperhatikan oleh penyedia jasa layanan atau penyelenggara dan pelaksana
pelayanan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus membangun sistem

44

pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa layanan,


dan bukan kepada kepentingannya sendiri.
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut, sudah saatnya Pemerintah Daerah dan
segenap SKPD yang menjadi penyelenggara pelayanan publik, untuk menyiapkan
segala sesuatunya dalam rangka pelaksanaan kewajiban mereka dalam posisi
sebagai penyelenggara pelayanan publik. Demikian pula dengan para aparatur
yang bertugas sebagai pelaksana pelayanan publik harus memiliki komitmen dan
semangat untuk menyesuaikan diri dengan era baru Undang-undang Pelayanan
Publik, agar tidak terjadi banyak complain maupun tuntutan sebagai akibat
ketidakmampuan mereka dalam menerapan asas-asas dan standar pelayanan
publik.
Reformasi manajemen pelayanan publik sudah selayaknya menjadi suatu
keharusan bagi Pemerintah Daerah, dengan memeta-ulang segenap komponen
penentu pelayanan publik yang berkualitas, dan berupaya maksimal untuk
menerapkannya dalam proses pemberian layanan, sehingga kinerja institusi
pemerintah sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik dapat terus ditingkatkan
secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA
Brooke, Russel Price, 1988. Discriminant Validation of Measures of Job Satisfaction:
Realtionship to Motivation and Satisfaction. Dalam Journal of Applied Psycology.
Davis, Keith dan William Frederick, 1984. Bussiness and Society. Fifth Edition. Japan:
McGrawHill.
Kotler, Philip, 2003. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control.
Englewood Cliffs N.J.: Prentice-Hall International Inc.
Lovelock, Ch., 1988. Product Plus: How Product Plus Service Competitive Advantage. New York:
McGraw-Hill Book Co.
Moenir, A.S, 1995. Pendekatan Manusia dan Organisasi Terhadap Pembinaan Kepegawaian.
Jakarta: Gunung Agung.
Osborne, David, dan Petter Plastrik, 1997. Banashing Bureaucracy the Five Strategies for
Reinventing Government. California: Addson-Wesley Publishing Co. Inc.
Parasuraman, A., V.A. Zeithaml, and L.L. Berry, 1985. A Conceptual Model of Service Quality
and Ist implications for Future Research. Dalam Journal of Marketing, Vol. 4, 1985, p.48.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001. Birokrasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Vogel, Ezra F., 1981. Japan as Number One: Lesson for American Bussines Leader. Tokyo:
University Press.

45

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG


BERKUALITAS SEBAGAI UPAYA MEMBERIKAN PELAYANAN
PRIMA KEPADA MASYARAKAT
Abdul Yuli Andi Gani

ABSTRACT: Societal demand in the decentralization era toward


qualified public service has grown rapidly. Government credibility is highly
determined by its ability to cope with various problems of public service. Thus, a
capable government would gain more and more support from the people to
provide satisfying public service. The quality of service should become all parties
concern within the government either in the implementation or leadership level in
accordance with its role. Regional government needs an integrated management
within its administration particularly in licensing service. The service would
highly depend on 3 (three) aspects, those are the implementation pattern, human
resources support, and institution /organization. Therefore, to improve the
service, order, mechanism, and implementation procedures for taskforce is
needed.
Keywords: Quality Public Service, Implementation Pattern, Human
Resources Support, Institution / Organization.
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus


berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya
kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini
ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan Ilmu Administrasi
Publik. Hal ini disebabkan karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya
adalah

masyarakat,

maka

administrator

publik

seharusnya

memusatkan

perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara


melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik.
Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan
peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang
disebut sebagai new public service.

46

Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik


untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani
masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari
adanya beberapa masalah yang kompleks seperti tanggung jawab, etika, dan
akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi. Administrator yang bertanggung
jawab harus melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program
guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja
karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi.
Dengan demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi mengarahkan
atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat. Perwujudan
paradigma diatas akhirnya akan sangat bergantung pada adanya komitmen dan
keinginan yang kuat dari para aparat pemerintah sehingga dapat melaksanakan
pelayanan publik dengan benar dan sungguh-sungguh.
Untuk menyelenggarakan pelayanan publik berdasarkan paradigma
tersebut dan yang sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di era
globalisasi ini, maka pemerintah memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah
untuk

mengembangkan,

memperbaiki

dan

mengelola

sumberdaya

yang

dimilikinya, yang telah ditetapkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan pemberian otonomi kepada
daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, adalah: Pertama, mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah. Kedua, bahwa efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan

pemerintahan

daerah

perlu

ditingkatkan

dengan

lebih

memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar


pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan
persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada
daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

47

Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan


prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penampilan birokrasi
yang baik mensyaratkan otonomisasi, dan sebaliknya otonomisasi akan
meningkatkan efektifitas dan daya tanggap administrasi terhadap kebutuhan lokal.
Secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan
pemerintah kepada masyarakat, antara lain melalui pemotongan jalur birokrasi
pelayanan, sehingga masyarakat dapat lebih mudah mengakses pelayanan
pemerintah, terutama pelayanan pemerintah daerah. Mayoritas dari warga negara
hanya peduli pada pelayanan administrasi yang lebih baik, lebih cepat, lebih
sederhana prosedurnya, lebih terbuka, dan dengan biaya yang murah.
Desentralisasi diyakini oleh banyak orang sebagai sistem pemerintahan
yang lebih baik dari pada sentralisasi, terutama dalam pelayanan publik dilihat
dari segi manajemen pemerintah desentralisasi dapat meningkatkan efektifitas ,
efisiensi dan akuntabilitas publik. Sedangkan dilihat dari segi percepatan
pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan (perlombaan) antar
daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya, dan ini mendorong
pemerintah local untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan
publik kepada warganya.
Perbaikan pelayanan tersebut akan makin baik kalau didukung oleh sistem
pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan memberi ruang partisipasi
yang luas bagi masyarakat. Dengan sistem seperti itu maka tujuan akhir dari
desentralisasi dan otonomi daerah berupa peningkatan kesejahteraan serta
kemandirian masyarakat akan dapat tercapai. Sehingga kualitas layanan aparatur
pemerintah kepada masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan otonomi
daerah.
Dan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara
masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik, maka pemerintah
menetapkan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang
bertujuan:

48

1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung


jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik;
2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik
Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para
masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta
terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis. Rencana strategis
sangat terkait
sumberdaya

dalam upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan


yang dimilikinya,

yaitu dengan mengidentifikasi

kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Kondisi
lingkungan global yang penuh persaingan menuntut organisasi untuk lebih
dinamis dengan perubahan lingkungannya. Sehingga setiap pegawai harus
memandang, memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan.
Perencanaan strategis adalah suatu cara untuk membantu organisasi dan
komunitas masyarakat dalam mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah
serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan. Gejolak yang makin
meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan
komunitas publik. Pertama, organisasi harus berpikir strategis yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya. Kedua, organisasi harus bisa menerjemahkan inputnya
untuk strategi yang efektif guna menanggulangi lingkungan yang senantiasa
berubah. Ketiga, organisasi harus mengembangkan alasan yang diperlukan untuk
meletakkan landasan bagi pemakaian dan pelaksanaan strateginya. Perencanaan
strategis dapat membantu organisasi dan komunitas untuk merumuskan dan
memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi. Selain itu, perencanaan
strategis dapat pula membantu organisasi dan komunitas membangun kekuatan

49

dan mengambil keuntungan dari peluang penting, sembari organisasi dan


komunitas mengatasi atau meminimalkan kelemahan dan ancaman serius,
sehingga dapat membantu organisasi dan komunitas menjadi lebih efektif dalam
dunia yang penuh persaingan.
Bryson (2007:3) menyebutkan bahwa para pemimpin pemerintahan,
lembaga publik dari semua jenis, organisasi nirlaba, dan komunitas menghadapi
banyak tantangan sulit dalam tahun-tahun mendatang. Perubahan-perubahan
tersebut misalnya perubahan demografis, perubahan nilai, privatisasi pelayanan
publik, perubahan ekonomi global dan sebagainya.
Jadi baik organisasi besar maupun kecil, tetap harus menyadari adanya
pergeseran yang sangat penting di dalam fokus dan kegiatan organisasi di era
globalisasi. Artinya, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, hal ini
disebabkan tantangan-tantangan yang semakin sulit di tahun-tahun yang akan
datang tidak bisa dipandang remeh. Oleh karena itu strategi diperlukan untuk
menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Dalam kondisi seperti itu maka setiap
organisasi publik atau privat, maupun masyarakat sendiri bila ingin tetap survive
dan bertahan hidup harus mampu merespon perubahan itu dengan langkahlangkah yang tepat, dengan berpikir dan bertindak makin strategis, mungkin
dengan menigkatkan kualitas kegiatannya atau bahkan bila perlu melakukan
perubahan fokus atau kegiatannya.
Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat
di Pemerintahan baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai
dengan peranannya. Mengingat Pemerintah Daerah merupakan pelaksana kegiatan
pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga memerlukan penanganan secara
terpadu dalam bidang administrasi khususnya pelayanan perijinan.Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain
ditegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi adalah berupaya memberikan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik kepada masyarakat,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Maka Pemerintah
Daerah membentuk Badan Pelayanan Terpadu dengan Peraturan Daerah masingmasing. Badan Pelayanan Terpadu kemudian dilengkapi dengan Badan Perijinan

50

Terpadu melalui Peraturan Daerah masing-masing. Sehingga semua proses


perijinan dilaksanakan di daerah mulai dari penerimaan berkas, pemrosesan
dokumen, penandatanganan ijin sampai dengan penyerahan dokumen ijin.
Badan Perijianan Terpadu telah menerapkan sistem pelayanan satu pintu
(one stop service/OSS) sejak tahun 2002, yang dimaksudkan untuk mempermudah
masyarakat dalam mengurus perijinan yaitu dengan memberikan perijinan secara
terpadu pada satu tempat/lokasi sesuai dengan kewenangan masing-masing
instansi. Hal ini mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana
pelayanan

sehingga

pelayanan

perijinan

dapat

diselenggarakan

secara

berhasilguna dan berdayaguna serta untuk mendorong laju perekonomian dan


kesejahteraan masyarakat.
Sebagai salah satu contoh bahwa dengan OSS pelayanan perijinan yang
efektif dan efisien dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS misalnya pada
perijinan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Jika dibandingkan dengan pelayanan
sebelum OSS perijinan IMB baru akan selesai hingga waktu 1 bulan dari awal
permohonan diajukan, sedangkan dengan menggunakan sistem OSS Perijinan
IMB akan selesai dalam waktu 10 hari. Dilihat dari prosedur pelayanan OSS yang
diawali dengan pemohon yang mengajukan berkas permohonan perijinan di loket
pelayanan sesuai dengan bidang perijinan (IMB). Berkas permohonan perijinan
tersebut disampaikan kepada masing-masing Instansi/Unit Kerja Teknis dan
diproses dengan melalui tahap: pemeriksaan berkas, ceking lokasi, evaluasi,
penetapan biaya, dan pengesahan surat perijinan oleh pejabat yang berwenang.
Kemudian berkas yang telah disahkan diserahkan ke loket pengambilan yang
selanjutnya dapat diambil oleh pemohon ijin setelah membayar bisya retribusi
sebesar yang telah ditetapkan. Untuk penetapan biaya IMB telah ditentukan dalam
Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Saat ini di dalam
setiap perijinan selalu memberikan perincian biaya yang jelas dan transparan.
Selain itu, pemohon dapat melakukan tindakan seperti pengecekan, pemeriksaan,
pengukuran dan complain kepada petugas jika biaya maupun pelayanannya tidak
sesuai dengan peraturan yang ada.

51

Sebagai organisasi publik dalam pelayanan perijinan BPT harus mampu


memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efisien jika
dibandingkan dengan pelayanan perijinan yang dilakukan tidak satu pintu atau
ketika ditangani oleh masing-masing instansi secara langsung. Efektif dan efisien
ini baik dalam prosedur perijinan, waktu penyelesaian maupun biaya yang harus
ditanggung oleh masyarakat.
Berkembangnya arus informasi dan komunikasi yang saat ini hampir tidak
terbatas oleh jarak dan waktu serta didukung pula dengan tingkat pendidikan dan
ekonomi masyarakat yang semakin tinggi membuat masyarakat semakin menuntut
agar pelayanan yang diberikan bisa lebih baik atau paling tidak seimbang dengan
biaya atau kontribusi yang telah diberikan masyarakat. Dalam menghadapi
berbagai tuntutan masyarakat atas pelayanan publik, bagi suatu organisasi
diperlukan penerapan strategi yang sesuai dengan keadaan dan kendala yang
dihadapi agar mampu meningkatkan kualitas pelayanannya. Begitu pula dengan
Pemerintah Daerah memerlukan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan agar lebih baik dari yang selama ini diberikan yaitu dengan
memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Tanpa
adanya penerapan strategi yang efisien dan efektif dalam upayanya meningkatkan
kualitas pelayanan publik, maka pelayanan perijinan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah kepada masyarakat akan statis, tidak berkembang dalam arti
tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Pelayanan kepada
masyarakat akan selalu terpaku pada kebiasaan yang terjadi sehari-hari tanpa
memperhatikan perubahan-perubahan yang dihadapi oleh Masyarakat itu
sendiri.Sehingga Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya meningkatkan
kualitas pelayanan publik kepada masyarakat agar layanan prima dapat tercapai.
Permasalahan
Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada 3 aspek, yaitu
bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumberdaya manusia, dan
kelembagaan/ institusi/organisasi.
1. Pola Penyelengaraan

52

Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia


masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line staff) sampai
dengan tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai
keluhan, aspirasi maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan
diabaikan sama sekali.
b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan
kepada masyarakat, lambat penyampaiannya atau bahkan tidak sampai sama
sekali kepada masyarakat.
c. Kurang aksesibel. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari
jangkauan

masyarakat,

sehingga

menyulitkan

bagi

mereka

yang

memerlukan pelayanan.
d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan
lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih
ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan
instansi pelayanan lain yang terkait.
e. Terlalu birokratis. Pelayanan, khususnya pelayanan perijinan pada
umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari beberapa meja
yang harus dilalui, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang
terlalu lama.
Dalam hal penyelesaian masalah dalam proses pelayanan, staf pelayanan
tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah, dan di lain pihak
masyarakat sulit bertemu dengan penanggung jawab pelayanan. Akibatnya,
berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk
diselesaikan.
Bukan rahasia lagi bahwa panjangnya meja birokrasi dalam pengurusan
perijinan/untuk mendapatkan pelayanan, dimanfaatkan oleh oknum aparat
untuk mengambil Pungutan Liar (Pungli), sehingga mengakibatkan

53

tingginya harga pelayanan, menjamurnya korupsi di tubuh birokrasi dan


ketidakpuasan masyarakat penerima pelayanan.
f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya
aparat pelayanan kurang peduli terhadap keluhan/saran/ aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan diberikan apa adanya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu.
g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan khususnya dalam pelayanan
perijinan, seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
2.

SDM

Dilihat dari sisi sumberdaya manusianya, kelemahan utama pelayanan


publik Pemda adalah tentang kurangnya profesionalisme, kompetensi, empati, dan
etika. Dan salah satu unsur utama yang sangat perlu dipertimbangkan untuk
perbaikan/peningkatan mutu pelayanan publik adalah masalah sistem remunerasi
(penggajian) yang sesuai bagi birokrat, sehingga Pungli dan korupsi di tubuh
birokrasi dapat dikurangi atau dibersihkan.
3.

Kelembagaan

Kelemahan utama kelembagaan birokrasi Pemda terletak pada desain


organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan
kepada masyarakat yang efisien dan optimal; tetapi justru hirarkis sehingga
membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi
dengan baik. Kecendrungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, yaitu
fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat dominan dilakukan
oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik menjadi tidak efisien. Sebaiknya,
kedua fungsi tersebut dibagi secara seimbang antara pemerintah dan masyarakat,
yaitu pemerintah sebagai pemegang fungsi pengaturan, sedangkan dalam hal-hal
tertentu

yang

memungkinkan,

masyarakat

dilibatkan

dalam

fungsi

penyelenggaraan, misalnya perencanaan dan pembangunan.


Oleh karena itu untuk peningkatanan pelayanan dan pengaduan
masyarakat terhadap layanan birokrasi local. Serta upaya realisasi quality service

54

performance maka perlu disusun tata cara, mekanisme dan prosedur pelakasanaan
bagi unit kerja.
Pemecahan Masalah

Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan


publik yang berkualitas telah semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas
pemerintah

sangat

ditentukan

oleh

kemampuannya

mengatasi

berbagai

permasalahan pelayanan publik seperti telah disebutkan di atas. Sehingga


pemerintah yang mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan
masyarakat akan terus mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Penyelesaian Secara Mikro

Masalah-masalah pelayanan publik secara mikro dapat diatasi dengan:


a. Penetapan standar pelayanan
Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting, karena merupakan
suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan
suatu kualitas tertentu, sesuai dengan harapan-harapan masyarakat dan
kemampuan penyelenggara pelayanan.
Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi
jenis pelayanan, identifikasi penerima layanan, identifikasi harapan penerima
layanan, perumusan visi dan misi layanan, analisis proses dan prosedur, sarana
dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan
memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, akan
tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung
terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah
informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumberdaya manusia
yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan
ditanganinya.
Sebagai salah satu standar pelayanan mutu untuk Pemda adalah IWA
2:2005 (International Workshop Agreement 4) yang mengadopsi sistem

55

manajemen mutu ISO-9001:2005 untuk dapat diterapkan secara spesifik di


pelayanan publik Pemda.
b. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP)
Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara
konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures (SOP). Dengan
adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit
pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan
secara konsisten.
Di samping itu SOP juga bermanfaat untuk:
- Memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterrupted. Jika terjadi hal-hal
tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu
berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya. Oleh karena
itu, proses pelayanan dapat terus berjalan;
- Memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan
peraturan yang berlaku;
- Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap
kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
- Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahanperubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;
- Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
dan
- Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang
akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses
pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang
terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tanggung jawab
yang jelas.
c. Pengembangan survei tentang kepuasan penerima layanan
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu
mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah mereka

56

terima dari Pemda. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan penerima


layanan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia
pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu,
survei kepuasan penerima layanan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan
pelayanan publik.
d. Pengembangan sistem pengelolaan pengaduan
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi yang sangat
penting bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk memperbaiki
kesalahan yang mungkin terjadi, sekaligus secara konsisten menjaga dan
meningkatkan pelayanan yang dihasilkan agar selalu sesuai standar yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didesain suatu sistem pengelolaan pengaduan
yang secara efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi
bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan di waktu yang akan datang.
Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang berkualitas di maksudkan agar
tercipta akses untuk kemudahan serta efisiensi dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para
masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta
terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis, Rencana strategis
sangat terkait dengan upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan
sumberdaya yang dimilikinya, yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan.
2. Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat di
Pemerintahan baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai
dengan peranannya.

57

3. Pengembangan kelembagaan daerah, mulai dari rumusan pengembangan tata


laksana pemerintahan yang mendukung percepatan pencapaian visi dan misi
pembangunan 2008-2013, penyusunan berbagai peraturan daerah untuk
mendukung pengembangan kelembagaan tersebut, implementasinya yang
disertai dengan monitoring dan evaluasi, hingga inovasi dalam berbagai
pelayanan publik oleh pemerintah.
4. Untuk pengembangan Pelayanan Prima melalui Teknologi Informasi di
Pemerintahan, maka terdapat tiga hal pokok yang akan dikembangkan, antara
lain: Sistem Layanan Pengaduan Masyarakat On-line, Pengembangan Website
sebagai media informasi, dan

komunikasi serta Pengembangan Sistem

Informasi Pelayanan Terpadu.


5. Dengan adanya orientasi baru dalam manajemen publik tersebut, maka
pemerintah daerah tidak saja dituntut akuntabilitasnya ke dalam tetapi justru ke
luar (masyarakat). Melalui akuntabilitas publik, pemerintah akan dipantau dan
dievaluasi kinerjanya oleh masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terhadap
kinerja pemerintah daerah akan lebih mudah jika pemerintah daerah sudah
membuat indikator dan target-target yang disusun dalam Standar Pelayanan
Minimal (SPM). SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua
belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah
SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi
masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja
pemerintah daerah.
Rekomendasi
1. Berdasarkan Ombudsman Republik Indonesia, sesuai pasal 6 UU No.37/2008
berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah,
termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, badan hukum milik
negara atau badan swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik.
2. UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI adalah wajib dilaksanakan dan
sifatnya mengikat bagi pejabat atau lembaga penerima rekomendasi,
penyelenggara negara dan pemerintahan yang menjadi objek pengawasan

58

Ombudsman RI meliputi berbagai lembaga negara dan pemerintahan di tingkat


pusat dan daerah, (termasuk MA, pengadilan tinggi, pengadilan negeri,
pengadilan agama, PTUN, pengadilan militer), lembaga kepolisian, kejaksaan,
departemen dan kementerian, lembaga pemerintah non departemen (LPND),
BPN, pemerintah daerah, perguruan tinggi negeri, dan sebagainya sedangkan
badan swasta atau perseorangan yang menjadi objek pengawasan Ombudsman
RI adalah badan swasta atau perseorangan yang mendapat/melaksanakan tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh
dananya

bersumber

dari

APBN/APBD.

Penyimpangan,

pelanggaran,

pengabaian atau ketidakpatutan dalam proses pemberian pelayanan publik


disebut maladministrasi.
3. Dalam pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa maladministrasi adalah perilaku atau
perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut.Termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang
perseorangan,
4. Pengawasan Ombudsman dilakukan untuk mencegah dan memberantas
perilaku koruptif yang banyak terjadi dalam proses pemberian pelayanan
publik. Perilaku koruptif dimaksud dapat berupa penundaan pelayanan secara
berlarut (undue delay), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), tidak
kompeten, tidak memberi pelayanan atau diskriminatif,
5. Melakukan pemekaran wilayah kecamatan yang telah
kecamatan

baru

dalam

rangka

peningkatan

ditentukan menjadi

pelayanan

publik

dan

pemberdayaan masyarakat.
6. Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal
seperti:
1) Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepada
masyarakat.
2) Adanya sistem penanganan keluhan yang responsif.

59

3) Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila
mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
daerah.
4) Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat
pelaksana pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichien, 2008, Analisa Kebijakan Publik, UMM Press, Malang.
Depkofindo, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan e-goverment, 2003.
---------------, 2006, Panduan Pengelolaan Situs Web Pemerintah Daerah.
Depdagri, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor Tahun 2008 tentang Pelaksanaan egovernment di Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah.
Eddy Satriya, 2003, Electronic Government, Bulettin Pemerintahan, (30) Maret 2003.
Eko Bambang, 2009, Strategi Pelayanan Prima dalam Layanan Publik, Banyumedia, Malang.
Indrajit, Richardus, 2002, Electronic Government, Penerbit Andi Yogjakarta.
Kushandajani. Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Peningkatan Pelayanan Publik di Era
Otonomi Daerah
Kominfo Newsroom. 2009. Ombusman Republik Indonesia. Jakarta.
Laguboti, Toba, 2005, Peluang Indonesia untuk Bangkit Melalui Implementasi E-government,
Depkofind0.
LGSP/USAID Amerika. 2008. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Dengan Skema Tindakan
Peningkatan Pelayanan (STPP).
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007, Manajemen Pelayanan Publik, Pustaka Pelajar
Yogjakarta.
Sosiawan, Edwi Srif, 2004, Implementasi E-government pada Pemerintah Daerah di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogjakarta.
Suparjo, 2007, Arsitektur Website Pemerintah yang Ideal, Radjawali, Jakarta.
United Nations, 2005, Global e-government Readiness Repport.
Widodo, Joko, 2007, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Banyumedia, Malang.
www.lgsp.or.id. Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (OutcomeBbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia

60

KOMPARASI KONSEP DEMOKRASI DENGAN KONSEP SYURO


DALAM ISLAM: PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Trisnawati

ABSTRACT: Democracy is governance system mechanism or form an


state as effort realize democracy (power of citizen) of state to be run by
government of state. Principle of Syura (musyawarah) - asking for opinion and
convert to convert idea is symbol progress of taught by civilization is Islam. May
even exist a letter of Al so called Qur'An of letter of Syura. Democracy and of
Syuro in course of decision making have different characteristic especially in
majority voice where in concept of syuro that is not have the character of absolute
though remain to be especial consideration in deliberation. Principal and
democracy concept which in line with islam is people taking part in in controlling,
lifting, and degrading government, and also in determining a number of policy
pass its proxy.

PENDAHULUAN
Dasar Pemikiran
Demokrasi merupakan konsep yang dimulai zaman renaissance dengan
bangkitnya pemikiran rasional melahirkan sain dan teknologi, muncullah
kapitalisme dengan sistem ekonominya yang non agraris yang tidak mau dikekang
lagi oleh monarchi

dan theokrasi, secara politik mengajukan konsep

DEMOKRASI. Disini "rakyat" hakekatnya adalah kelas yang baru muncul, yaitu
kaum kapitalis. Dari konsep demokrasi, mau tidak mau akan memunculkan
konsep KEBEBASAN yang akan membentur konsep KETERIKATAN dalam
folosofi Timur.
Menurut beberapa literature yang lain3, kira-kira 500 tahun Sebelum
Masehi, sejarah demokrasi dicatat karena ada sekelompok kecil manusia di
Yunani dan Romawi yang mulai mengembangkan sistem pemerintahan yang
memberikan kesempatan yang cukup besar bagi publik untuk ikut serta dalam
merancang keputusan. Perkembangan yang paling penting bagi sejarah demokrasi,

Arif, Saiful et.al, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, 2006, Program Sekolah Demokrasi
dan Averroes Press, Malang.

61

dalam berbagai literatur, telah terjadi di Eropa. Tiga di antaranya di sepanjang


Pantai Laut Tengah (Yunani dan Romawi), yang lainnya di Eropa Utara.
Sudah lazim diceritakan, istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno,
democratia. Plato yang memiliki asli Aristocles (427-347 SM) sering disebut
sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah democratia itu. Demos
berarti rakyat, kratos berarti pemerintahan. Demokrasi menurut Plato kala itu
adalah adanya sistem pemerintahan yang dikelola oleh para filosof. Hanya para
filosoflah yang mampu melahirkan gagasan dan mengetahui bagaimana memilih
antara yang baik dan yang buruk untuk masyarakat. Belakangan diketahui
sebetulnya yang diinginkan oleh Plato adalah sebuah aristokrasi.
Selain Plato dan Aristoteles, salah satu nama lain yang dianggap
memberikan kontribusi adalah Chleisthenes. Dialah tokoh yang telah mengadakan
berbagai pembaruan Athena dalam sebuah sistem pemerintahan kota (Hornblower
dalam Dunn, 1992). Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athenda
ke dalam 10 kelompok, di mana masing-masing terdiri dari beberapa demes yang
mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.
Selain Chleisthenes, juga dikenal nama lain seperti Solon (638-558 SM
yang dikenal sebagai tokoh pembuat hukum, Pericles (490-429 SM yang dikenal
sebagai jenderal yang negarawan, Demosthenes (385-322 SM) yang dikenal
sebagai orator (Ghofur, 2002).
Sering dikisahkan bahwa di Yunani dan Romawi pada 500 SM itulah
pertama kali dilahirkan suatu sistem pemerintahan yang memberi partisipasi
rakyat melalui sejumlah besar warga negara. Sistem pemerintahan yang demikian
merupakan perkembangan dari model sebelumnya yang didominasi oleh sistem
kerajaan, kediktatoran, aristokrasi atau oligarki.
Tetapi harus dipahami bersama, Yunani Kuno bukanlah sebuah negara
dalam pengertian kita yang modern saat ini, yaitu suatu tempat di mana semua
orang Yunani hidup dalam sebuah negara dengan satu pemerintahan (Dahl, 2001).
Yunani Kuno masa itu adalah sebuah tempat di mana berkumpul ratusan kota
yang merdeka, yang masing-masing dikelilingi oleh daerah pedalaman. Negara

62

Yunani saat itu adalah gambaran tentang sebuah negara-kota atau polis. Sebuah
negara-kota tentu saja sangat berbeda dengan ciri khas negara-negara modern saat
ini yang kita sebut sebagai negara-modern, negara-bangsa atau negara-nasional,
seperti Amerika, Prancis, Jepang ataupun Indonesia.
Dari sekilas sejarah demokrasi yang dimunculkan oleh Barat menunjukkan
adanya sebuah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada.
Sehingga memunculkan ide demokrasi sebagai penyelesaian permasalahan dalam
kepemimpinan dan hokum-hukum pemerintahan. Namun sampai detik ini belum
ada Negara yang mampu membangun negaranya dengan konsep demokrasi.
Amerika sebagai Negara besar pengusung demokrasi belum mampu menunjukkan
hasil tentang penerapan demokrasi.
Berbeda dengan Islam yang telah memberikan bukti selama 7 abad
lamanya dalam pemerintahan ke-Nabi-an dan ke-Khalifah-an yang ditunjukkan
dengan terbentuknya masyarakat yang tenang, damai dan sejahtera. Sehingga
sampai saat ini tersebar Islam keseluruh penjuru dunia dengan konsep yang sama
dalam pembentukan pemerintahan Islam dengan mencontoh Rasulullah dan para
Khalifah sebelumnya.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam isu demokrasi Barat dalam
pemikiran dan peradaban Islam adalah:
1. Bagaimana konsep syuro dalam Islam?
2. Bagaimana konsep demokrasi Barat?
3. Bagaimana Perbandingan konsep syuro dan demokrasi Barat?

KAJIAN PUSTAKA
1. Konsep Syura
Pemerintahan yang diterapkan dalam Islam adalah pemerintahan yang
berprinsip atas dasar syura (musyawarah), kemaslahatan dan keadilan, ini menjadi
kunci pokok dalam kemasyarakatan, dan mengurus (mengelola) negara. Dalam

63

Islam tidak ada cara khusus dalam melaksanakan syuro. Ini merupakan system
yang bersifat intern yang bisa berubah sesuai dengan situasi dengan
mempertimbangkan waktu dan tempat. Dan merupakan kebebasan dari jamaah,
lembaga dalam ketentuannya dan penerapannya, namun tetap dalam aturan-aturan
yang tidak bertentangan dengan syariat (hukum Islam).
Syura ini telah diterapkan pada masa Rasulullah, dan para Khulafaur
Rasyidin sebagai contoh abadi dari perjalanan sejarah syura. Kekhalifahan Abu
Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
itu berdiri di atas dasar pemilihan kaum muslimin secara mutlak. Kalaupun Abu
Bakar mewasiatkan kekhalifahan sesudahnya kepada Umar, tetapi pengangkatan
Umar menjadi khalifah setelah ada baiat dari umat Islam masa itu. Apabila Umar
mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk memilih seorang khalifah diantara
enam orang yang ditunjuk sebelum wafatnya, maka perbuatan itu sekedar nasehat
kalau orang Islam mau memilih salah satu diantara mereka, karena nyatanya
mereka itu pribadi-pribadi umat yang utama dan paling sesuai. Kalaupun Ali tidak
diberi kekuasaan kekhalifahan setelah wafatnya nabi, khususnya setelah
kekhalifahan Umar, padahal Ali keluarga terdekat Rasulullah. Maka bukanlah
karena kepentingan politik belaka, namun lebih pada hasil syuro yang menjadi
dasar pemerintahan dalam Islam.
Abu Bakar As Siddiq sesudah di baiat menjadi khalifah pertama di antara
khalafaur rasyidin mengatakan, wahai manusia sesungguhnya aku telah dipilih
menjadi pemimpinmu, tetapi bukanlah orang yang paling baik diantara kalian, bila
aku berlaku baik, maka bantulah aku, apabila keliru maka luruskan aku. Orang
yang lemah diantara kamu itu kuat disisiku sampai aku berikan hak kepadanya,
jika Allah menghendaki. Tak ada suatu kaum yang mau meninggalkan jihad di
jalan Allah melainkan Allah akan membalas mereka dengan kehinaan. Dan
tidaklah kejahatan itu tersebar disuatu kaummelainkan Allah akan menyebarkan
cobaan bagi mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan RasulNya,
apabila mendurhakai Allah dan RasulNya, maka janganlah kalian mentaatiku4.

Dr. Mahdi Fahulullah, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, CV. Ramadhani,
Solo, 1991, hlm. 124-125.

64

Lain itu, sebagaimana Ali yang enggan untuk tinggal di Istana Putih di
kota Kufah, sebab ia lebih suka untuk tinggal bersama masyarakat, sehingga lebih
dekat mengetahui keinginan masyarakat dan untuk bermusyawarah dalam
urusan dunia yang tidak bertentangan dengan nash, seperti ilmu perang, bertani
dan sebagainya. Rasulullah mengajak para sahabat untuk membawa aspirasi umat
ke kota Madinah dalam musyawarah tentang urusan yang tidak terdapat dalam
wahyu dan nashnya5. Pada waktu situasi dan kondisi berubah seperti di zaman
Abu Bakar, penduduk Mekkah dan Madinah bermusyawarah tentang peperangan
Syam, karena masalah itu adalah masalah oerang yang akibat dan pengaruhnya
kembali kepada penduduk Mekah dan Madinah. Pemerintahan dalam Islam tidak
dimaksudkan seperti yang diduga oleh sebagian pemuka.pemuka agama. Tak ada
Iclarius dalam agama Islam6. Setiap muslim yang mengerti,ia mempunyai hak
mutlak untuk menduduki pangkat tertinggi dalam negara sampai pun pangkat
kekhalifahan7. Nabi sendiri tidak memakai jubah.
a. Pengertian Syura/ Musyawarah
Dalam bahasa arab, perkataan Syura berasal dari kata dasar syuwara
yasyuru musyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasehat,
pertimbangan. Dengan demikian secara etimologis musyawarah merupakan kata
kerja yang dibendakan (masdar) yang mengandung arti saling memberi isyarat,
petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual8.
Di dalam ajaran Islam perkataan syuro merupakan konsep ketatanegaraan
yang berasal dari Al Quran. Pentingnya syura dalam Islam bisa disaksikan ketika
ajaran ini banyak dimuat dalam ayat Al Quran terdapat empat ayat yang
berkaitan dengan akar kata yang sama dengan syuro yaitu, yang pertama
berhubungan dengan persoalan keluarga (QS. Al Baqarah 2:233, QS. Maryam
5

Seperti masalah tawanan orang musyrik Mekah pada perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan para
sahabat dalam strategi perang, strategi benteng pertahanan perang Badar dan Rasulullah menerima usulan
sahabat. Diantaranya Al Habab Ibnu Al Munzir dan Salman Al Farisi. ibid.hlm. 125.
6 Tidak ada Iclarius dalam Islam. Kewajiban orang Islam menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Menghubungkan Islam dengan sekularisme. Henri Laoust, Las Schismes daus IIslam. P.370. Opcid
7 Negara sekuler dan persamaan karena tidak ada sistem kependetaan dalam Islam kekuasaan hukum kembali
kepada tiap muslim yang berpengetahuan cukup. Dominique Saurdel, ap.L. Gardet.IIslam.p.70. Opcid.
8 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, lihat
dalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi Menurut
Konstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000, hlm. 78.

65

19:29), sedangkan dua ayat berikutnya berhubungan dengan kemasyarakatan dan


ketatanegaraan (QS. Al Imran 3:159, dan QS As Syuura 42:38)9.
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhan dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menginfakkan sebagian dari rizqi yang Kami berikan kepada
mereka.10
Namun, syura tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga
untuk orang non muslim. Sebagaimana makna yang terkandung dalam QS Ali
Imran 3: 159.
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap
keras dan behati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam

urusan

itu.

Kemudian,

apabila

engkau

telah

membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah.


Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut
adalah salah satu tanda bahwa Islam adalah rahmat untuk semesta alam11, dan
dari ayat syura tidak menunjukkan kekhususan hanya pada umat Islam (mukmin).
Maka musyawarah ini tidak terbatas pada sebagian orang, tetapi bagi mereka yang
berada dalam urusan yang harus diselesaikan dengan syura.
Disimpulkan

bahwa

syura

(musyawarah)

adalah

meminta

atau

mengeluarkan pendapat yang baik untuk mendapatkan yang terbaik, menemukan

Mahmud Fuad Abdul Baqi,Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut 1987 yang terdapat
dalam Aidul Fitriciada Azhari, ibid.
10 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung. Penjelasan:
Ayat ini turun pada periode dimana belum terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik,
atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah saw. Turunnya
ayat yang menguraikan syura pada peride Mekah, menunjukkan bahwa bermusyawarah aalah anjuran Al
Quran dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan dalam petunjuk Allah.
11 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm.96.

66

yang paling sesuai diantara yang sesuai, sehingga memberikan kemaslahatan bagi
umat.
b. Prinsip dan Kaedah Syura
Prinsip syura (musyawarah) meminta pendapat dan tukar menukar ide
adalah symbol kemajuan peradaban yang diajarkan Islam. Bahkan ada sebuah
surat Al Quran yang bernama surat Syura. Selain itu, pentingnya syura dalam
agama Islam yang suci ini juga ditegaskan fakta-fakta, yaitu : Allah swt. sebagai
Dzat Maha Mengetahui rahasia dan hakikat segala sesuatu ketika hendak
menciptakan Nabi Adam sebagai khalifah yang memakmurkan bumi ini meminta
pendapat dan komentar para malaikat (QS Al Baqarah 2:30).
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat,Aku hendak menjadikan khalifah dibumi, mereka
berkata,apakah Engkau hendak menjadikan orang yang
merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami
bertasbih

memujiMu

dan

menyucikan

namaMu?.

Dia

berfirman sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu


ketahui.
Dalam studi Sirah, tercatat banyak sekali aktifitas Rasulullah yang
dilakukan dengan syura mengumpulkan para sahabat guna bertukar fikiran dan
meminta pendapat seputar masalah yang dihadapi oleh Beliau sendiri atau secara
umum yang menyangkut kepentingan kaum muslimin sebagaimana pada tahun
pertama hijriah ketika jumlah kaum muslimin terus bertambah banyak, maka
Beliau bermusyawarah tentang cara memberitahukan masuknya waktu sholat serta
mengajak kaum muslimin berkumpul untuk sholat berjamaah. Beberapa usulan
masuk, ada yang mengusulkan menggunakan api, ada yang usul dengan
genderang dan ada pula yang usul dengan lonceng. Sayang usulan-usulan itu tidak
disepakati oleh forum ketika itu, karena api menyerupai kaum majusi, gederang
menyerupai yahudi dan lonceng menyerupai nasrani. Akhirnya musyawarah pada
kesempatan itu pun gagal mendapatkan sebuah kesepakatan. Malam harinya,
beberapa masyarakat bermimpi, termasuk Umar r.a bertemu dengan seseorang

67

yang mengajarkan lafadz-lafadz adzan. Salah seorang yang bermimpi waktu itu
adalah Abdullah bin Zaid bin Abduh. Rabbih Al Anshari yang kemudian menjadi
orang pertama yang menceritakan perihal mimpinya pada Rasulullah saw.
Berdasarkan teori Al Baqillani dan Al Mawardi, keputusan musyawarah
tersebut harus dilakukan melalui pemilihan (ikhtiyar), artinya ajaran Islam
menghendaki berlakunya system mayoritas. Ini dikuatkan oleh pandangan ulama
kotemporer Yusuf Qardhawi, yang menyatakan bahwa logika penalaran, syariat
dan kenyataan tentu akan menyatakan harus ada yang diunggulkan

12

Menurutnya, yang diunggulkan apabila terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah


yang terbanyak. Pendapat dua orang akan lebih dekat pada kebenaran daripada
pendapat satu orang. Qardhawi menyitir sebuah hadits yang mengatakan
bahwa Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua
orang (RH. At Thirmidzy dan Al Hakim)13.
Kemudian Yusuf Qardhawi, dengan mengutip Al-Imam Abu Hamid Al
Ghazaly, berpendapat bahwa untuk nash-nash (kaidah ototitatif) yang kuat, jelas,
dan tidak menimbulkan perbedaan pendapat, maka yang harus diunggulkan atau
dikedepankan adalah tidak terletak pada suara terbanyak, tetapi ada pada pendapat
yang benar, sekalipun hanya mendpat satu suara. Sedangkan untuk masalahmasalah yang ijtihadiyah yang tidak ada nashnya atau ada nashnya tetapi banyak
mengundang penafsiran atau ada nash lain yang bertentangan atau lebih kuat,
maka tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti suara terbanyak dengan
model pemungutan suara dalam pengambilan keputusannya. Yusuh Qardhawi
menyatakan dalam kitabnya Adapun sistem voting yang sudah diketahui dan
disepakati manusia, termasuk pula orang-orang Muslim, merupakan cara yang
paling tepat untuk itu. Tidak ada alam syariat yang melarang sistem ini14

12

Yusuf Al Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta,
1997, hlm. 199. Yusuf Al Qardhawi adalah seorang ulama Mesir kontemporer dan guru besar di
Universitas Al-Azhar. Pandangannya terkenal dengan Al Wasathiyatul-Islamiyah atau Islam moderat yang
memadukan anatara ajaran salaf dengan yang kontemporer, yang tetap dengan yang berubah, dan rasional.
Dalam bidang ketatanegraan ia mengenalkan konsepsi daulah madaniyah (pemerintahan sipil) dan daulah
syariyah dusuriyah (Negara berdasarkan hukum syariah dan konstitusional), oleh Aidul Fitriciada Azhari,
op cid, hlm. 80.
13 Menurut Al Bany hadits ini isnadnya dhaif, ibid.
14 Ibid. hlm. 81

68

Dengan demikian, benang merah yang dapat diambil dari beberapa ulama
tersebut bahwa syura dalam pengambilan keputusan juga dapat mengikuti suara
terbanyak (mayoritas) selama mengandung kebenaran dan kemaslahatan umat dari
sebuah keputusan yang diambil. Syura adalah mencari yang baik diantara yang
tidak baik.
Namun dari hasil syuro dalam Islam, keputusan tetap ada pada seorang
pemimpin (imamah) sebagai pengambil keputusan yang telah diamanahi oleh
Allah sebagai penerus para nabi, sebagaimana dalam surat An Nisa 4:29
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (Pemegang
Kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam beberapa
kejadian yang harus melibatkan beberapa orang sahabat untuk dimintai
pertimbangan, dan kepetusan dari masukan atau pendapat dari para sahabat ada
pada Rasulullah. Dan tidak semua sahabat yang diajak untuk syuro, hanya-sahabat
yang memiliki kemampuan dan keilmuwan. Konsep pengambilan keputusan
dalam Islam ada pada seorang imamah dengan otoritas pemimpin ((imamah).
Konsep syura digunakan Rasulullah sebagai mempersatukan umat atau
melibatkan umat untuk peduli terhadap permasalahan yang harus dipecahkan,
namun sesungguhnya kepatusan ada pada Rasulullah.
Mohammad Asad dalam memaknai ayat potongan ayat wa syawirhum fil
amr ( ) adalah menunjukkan pemerintahan berdasarkan persetujuan
dan perwakilan (goverment by consent and council). Persetujuan artinya
pemerintahan menurut ajaran Islam harus dijalankan berdasarkan hasil
persetujuan yang dihasilkan oleh musyawarah. Ini merupakan implikasi dari
perkataan azm yang mengandung arti taking councel with knowledgeable

69

people (ahl ar-ray) and thereupon following them (therein), (mengambil


keputusan bersama orang yang memiliki pengetahuan, kemudian mengikutinya).
Dengan demikian, meurut Asad, pemerintah terikat oleh hasil pemusyawaratan
yag dilakukan oleh para ahli yang mengetahui bidang tersebut. Ini kemudian
mengantarkan konsep perwakilan yang disebut Al Baqillani (meninggal 1013 M),
seorang pengikut madzhab Imam Malik, sebagai ahl al-hall wal al-aqd dan
kemudian dilembagakan dalam tradisi daulah Islamiaya sebagai majlis syura.
Selain itu pula, Islam juga mengenal konsep imamah dalam musyawarah yang
tidak didasarkan pemilihan (voting), tetapi pada otoritas pemimpin ((imamah).
c. Pengambilan Keputusan dalam Islam
Pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan diantara alternatif
yang ada dan juga segera memikirkan apa implikasi dan dampaknya jika terjadi
kesalahan dalam mengambil keputusan, termasuk alternatif pemecahannya15.
Mengambil keputusan tidak serta merta tanpa ada pertimbangan. Namun
didasarkan pada informasi yang dikumpulkan mengenai permasalahannya, nasihat
dari orang yang lebih expert, dan juga sangat diperlukan analisa dan penilaian
subyektif dari pengambil keputusan itu sendiri.
Firman Allah SWT:
Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan apapun. (Ali
Imran 159)
Urusan mereka (orang Islam) dimusyawarahkan sesama mereka.
(Asy Syura 38)
Rasulullah SAW pun bersabda:
Hajat tercapai bagi mereka yang membuat 'istikharah', dan tidak
ada penyesalan bagi mereka yang bermusyawarah, dan tidak susah
mereka yang berhemat dengan cermat. (Riwayat At Tabrani)

15

Chester I. Barnard dalam The Function of Executive

70

Berdasarkan ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah yang tertulis di atas,


Islam menggalakkan umatnya mengadakan syura (musyawarah). Karena
berdasarkan pengalaman kita, syura memang besar faedahnya kepada hidup kita
dan masyarakat. Sebab itu Allah sendiri yang memerintahkan supaya syura
dipraktekkan. Manusia selalu berhadapan dengan:
1. Masalah-masalah hidup di rumah, dalam masyarakat dan dalam negara.
2. Keperluan-keperluan ekonomi, pendidikan, pembangunan dan lain-lain
lagi.
3. Gangguan musuh.
4. Kebuntuan fikiran.
Maka semuanya itu, kalau disyurakan baru dapat menghasilkan keputusan
yang sebaik-baiknya, dibandingkan dengan keputusan-keputusan yang dibuat
secara pribadi.Arti syura menurut bahasa ialah berunding atau bertukar fikiran.
Manakala dari segi istilah syariat Islam, arti syura atau musyawarah ialah bertukar
fikiran atau berbincang antara dua orang atau lebih dalam menghadapi hal-hal
yang dibenarkan oleh syariat sesuai dengan adab-adab, cara cara yang syari
untuk memperoleh hasil yang baik dan benar yang akan menjadi tindakan
bersama, seseorang atau satu kelompok.
Perkara-perkara yang disyurakan itu ialah masalah kehidupan seperti
menyelesaikan krisis, masalah ekonomi, pendidikan, ketentaraan, pertanian dan
lain-lain lagi. Setiap anggota diminta mengeluarkan fikiran, kemudian
dipertimbangkan bersama. Mana pendapat yang benar atau kuat dan tepat
alasannya atau lebih munasabah (memungkinkan) dan lebih mendekati kebenaran,
maka itulah keputusan syura yang wajib diterima bersama untuk menjadi tindakan
bersama, tindakan seseorang atau tindakan suatu kelompok.
Dalam syura, perbincangan mesti dua arah atau lebih. Tidak dikatakan
syura kalau satu pihak saja yang berbicara dan memberi pendapat. Syura secara
Islam mesti dilakukan dengan bertata-tertib, beradab, berperaturan dan cara-cara
yang ditetapkan oleh Islam. Syura yang tidak mengikuti kaedah syar'i tidak

71

dianggap syura Islam walaupun diberi nama syura Islam. Nama tidak penting,
yang penting ialah ciri-cirinya.
Berikut ini ialah tata tertib atau disiplin dan adab-adab syura menurut
Islam:
Tujuan dan niat anggota syura ialah mencari dan menegakkan kebenaran
karena Allah. Masing-masing mesti mengawal diri dari maksud riya', bermegahan,
ujub atau untuk hobi semata-mata. Sebaiknya masing-masing mempunyai rasa
takut pada Allah, kalau-kalau terjadi perbincangan yang tidak tepat dan tidak
selaras dengan kehendak Allah dan Rasul. Untuk mengelak dari riya', ujub dan
bermegahan, caranya ialah masing masing mengharapkan kebenaran itu
datangnya dari orang lain, bukan dari dirinya. Dan dia akan merendahkan diri
untuk menerima dan mendukung kebenaran yang sudah ditemui itu.
Sekiranya kebenaran itu keluar dari mulut kita sendiri, segeralah banyak
bersyukur pada Allah, karena memperlihatkan kebenaran itu kepada kita.
Bukankah kita dhaif untuk menemukannya kalau bukan dengan petunjuk
dari Allah? Dengan ilmu dan keyakinan yang demikian, Islam menyelamatkan
majelis syura dari timbulnya rasa sombong, bermegahan, menunjuk kepandaian,
merasa diri lebih tinggi, mujadalah (debat tidak menentu), keras kepala, hinamenghina, jatuh-menjatuhkan dan akhlak lain yang keji.
Di waktu seorang anggota syura berbicara, anggota- anggota yang lain
mesti menghormati pandangannya dan sama-sama mendengarnya. Biarkan dia
menghabiskan bicaranya walaupun kita tidak setuju pendapatnya. Memotong
bicara kawan atau minta dia berhenti sebelum habis berbicara adalah tidak
beradab dalam syura. Sikap itu sangat dibenci.
Bila seorang anggota syura selesai memberi pandangannya, ucapkan
terima kasih. Kalau didapatkan ucapannya benar, beri tahniah dengan sepotong
doa:
Moga-moga Allah membalas kamu dengan kebaikan.

72

Sekiranya pendapat yang diberi salah, jangan sekali-kali menghinanya.


Betulkan dengan mesra dan kasih sayang menggunakan hujah-hujah yang bernas.
Sekiranya kita sendiri yang melakukan kesalahan atau mengeluarkan
pendapat yang salah, minta ampunlah kepada Tuhan dan merendah dirilah untuk
menerima hakikat kesalahan itu.
Misalnya terjadi perbedaan pendapat yang serius hingga sukar untuk
menyatukan pandangan, maka demi perpaduan, pandangan ketua atau
pemimpinlah yang mesti diterima.
Dalam syura Islam jangan sekalipun terjadi mujadalah, berburuk sangka,
sakit hati, caci maki, berkelahi, lempar kursi, pukul meja, tunjuk pistol, geram,
dendam dan sebagainya. Anggota-anggota syura akan sanggup untuk mengalah,
bersabar untuk mencari nas (dalil) atau bersikap tawakuf (menerima tidak,
menolak pun tidak). Bahkan demi menjaga ukhuwah karena Allah, di akhir
majelis, masing-masing akan saling bermaaf-maafan dan berbaik sangka serta
bersabar untuk menanti bantuan Allah dalam masalah apapun yang timbul. Di
penutupnya, sama-sama membaca surah Wal Ashr dan doa kifarah, yakni
meminta ampun kepada Allah. Insya Allah dengan cara itu, umat Islam akan
senantiasa membuat keputusan yang tepat, bersih dan diberkati Allah.
2. Konsep Demokrasi
a. Hakekat Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan
berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi
ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa
saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

73

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga


pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan
kewenangan

eksekutif,

lembaga-lembaga

pengadilan

yang

berwenang

menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat


(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau
oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang
diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum
legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil
penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan
umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh
warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela
mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak
untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung,
tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota
parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara
demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden
hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam
sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta
demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang
masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang
bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin
negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem
yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya
memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya
umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau
bekas narapidana).
b. Prinsip Demokrasi Barat

74

Istilah "Demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena


kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal
dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun,
arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah
berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem
"Demokrasi" di banyak negara16.
Kata "Demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci
tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat
ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan
dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica)
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah
(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat
yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain,
misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri
anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan
aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable),
tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap
lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya
secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
16

Insiklopedia wikipedia

75

Demokrasi berasal dari perkataan Yunani, demokratia, yang berarti


kekuasaan rakyat, atau suatu bentuk pemerintahan negara, dimana rakyat
berpengaruh di atasnya, atau pemerintahan rakyat.
Ide-die tentang demokrasi dan prakteknya diketahui manusia lebih kurang
dua ribu lima ratus tahun yang lalu, akan tetapi sampai sekarangpun demokrasi
sebagai suatu cara hidup hanya terdapat di sebagian kecil dunia saja dan cara
hidup yang demokrastis adalah suatu hal yang paling sulit.
Demokrasi yang diinginkan adalah adalah terjadinya pemilihan umum
yang jujur dan adil, berkembangnya pers yang merdeka, adanya kemerdekaan
mengadakan perkumpulan politik, kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan
berbicara, adanya hak untuk memilih pekerjaan sendiri, adanya hak untuk
membentuk serikat-serikat kerja bebas, hak untuk bergerak bebas dalam negara
sendiri dan secara umum serta hak setiap orang bebas mengembangkan
kesanggupan pikiran moralnya.
Pemerintahan demokrasi yang tulen adalah suatu pemerintahan yang
sungguh-sungguh melaksanakan kehendak rakyat yang sebenarnya, akan tetapi
kemudian penafsiran atas demokrasi itu berubah menjadi suara terbanyak dari
rakyat banyak.
Penafsiran demokrasi sebagai suara terbanyak dari rakyat banyak ini tidak
asli lagi, oleh karena tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat. Dalam hal ini
demokrasi dapat disalahgunakan oleh golongan yang lebih besar dalam suatu
negara untuk memperoleh pengaruh pada pemerintahan negara, dengan selalu
mengalahkan kehendak golongan yang kecil jumlah anggotanya.
Dalam demokrasi tulen dijaminlah hak-hak kebebasan tiap-tiap orang
dalam suatu negara. Demokrasi itu juga diartikan sebagai perbandingan separuh
ditambah satu, jadi golongan mana telah memperoleh suara paling sedikitnya
separuh ditambah satu suara.
Makna sebenarnya demokrasi didalam suatu pemerintahan rakyat adalah
bahwa rakyat sangat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan

76

diperhatikan oleh wakil-wakil rakyat. Pemerintahan yang tidak termasuk dengan


demokrasi adalah cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang
diri atau pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja, yang
menganggap dirinya tercakap dan berhak untuk mengambil dan melakukan segala
kekuasaan di atas segenap rakyat.
Pemerintahan dalam arti demokrasi adalah dimana golongan yang
memerintah dan golongan yang terperintah itu adalah sama dan tidak terpisahpisah, yang artinya satu sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya
semua orang/rakyat adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk
diperintah.
Suatu demokrasi menghargai setiap person sebagai makhluk moral dan
rasional yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas dirinya sendiri. Sistem
demokrasi pada prinsipnya menolak setiap campur tangan dari luar atas jalan
hidup seseorang, dan pada yang saat yang sama menuntut bahwa hak individu
untuk menentukan diri sendiri secara politis harus mendapat prioritas
dibandingkan dengan hak-hak politik lainnya.
Oleh karena itu, demokrasi sebagai sistem politik juga merupakan refleksi
yang paling nyata dari pengakuan akan hak individu atas kebebasan. Secara
politik pengakuan ini terwujud melalui terbukanya peluang yang sebesar-besarnya
bagi partisipasi politik semua warga. Hak yang sama atas partisipasi politik
sebagai sebuah prinsip terutama dimaksudkan untuk memberi peluang sebagai
semua warga secara aktif.
Sehingga analisis, bahwa calon politisi bersanding dengan politisi atau
birokrat atau bahkan independen yang tidak ada basis partai, maka ini juga adalah
usaha untuk menjalankan makna demokrasi yang sebenarnya, dimana siapa saja
bisa menjadi calon untuk memegang tampuk pemerintahan, tanpa harus
terkendala dengan ''perahu'' partai politik.
Saat ini, sebagai ciri demokrasi ialah bahwa tiap-tiap keputusan
bersandarkan atas dasar kelebihan suara. Di sini timbul perjuangan untuk merebut
suara terbanyak pada tiap-tiap persoalan di antara golongan. Golongan yang besar

77

memperoleh suara terbanyak sedang golongan kecil menderita kekalahan.


Walaupun demikian, perjuangan demokrasi dalam perebutan suara terbanyak itu
bukanlah suatu hal antara hidup dan mati, sebab golongan kecilpun tetap berhak
untuk duduk dalam pemerintahan.
Titik berat pada cara hidup demokratis adalah berdasarkan keinsafan akan
adanya tujuan yang tidak dapat dipisahkan dari cara mencapainya, yang senantiasa
menentukan bentuknya. Perbincangan dan persetujuan adalah cara yang menjadi
ciri bagi masyarakat demokratis dalam usahanya untuk menyelesaikan perbedaanperbedaan pandangan dan kepentingan. Telah menjadi pandangan demokratis,
karena tidak seorangpun yang mempunyai kebenaran mutlak, kedua belah pihak
dalam suatu argumen dapat memberikan sumbangan ditemukannya jawaban
paling tepat. Satu-satunya jalan untuk menemukan kesalahan dalam jawaban itu
adalah dengan mengerahkan segala bakti yang ada.
Dalam

teori

masyarakat

demokrasi,

pemerintah

mendapatkan

kekuasaannya yang sah berkat persetujuan dari yang diperintah. Karena itu tidak
ada alasan bagi negara untuk eksis selain untuk melayani kepentingan rakyat.
Apabila negara mulai menindas dan tidak mengacuhkan hak-hak rakyat, maka
kewajiban bagi rakyat untuk memberontak melawan pemerintah.
Dalam negara demokrasi ada persamaan kemerdekaan bagi tiap-tiap orang.
Jadi kemerdekaan atau kebebasan manusia diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu
demokrasi hanya dapat dicapai, jika rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya
yang dipercaya mengatur atau ikut mengatur ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintahannya.
c. Prinsip Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Menurut Sadek, J. Sulaymn, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip
yang menjadi standar baku diantaranya:
1. Kebebasan berbicara setiap warga negara.
2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak
didukung kembali atau harus diganti.

78

3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol


minoritas
4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik
rakyat.
5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
7. Semua

individu

bebas

melakukan

apa

saja

tanpa

boleh

dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi


Berikut adalah pemikiran beberapa tokoh muslim tentang konsep dan
pemikiran demokrasi17.
1. Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya,
Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar
kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan
manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern
(Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam
menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan
teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah
memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
2. Mohammad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh
intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan
kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi
kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang
merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah
mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar
demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai
17

Sumber: http://globalisasi.wordpress.com/islam-global-politics

79

agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam


tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis
moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep
demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang
ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang
berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi
sebagai berikut:
a. Tauhid sebagai landasan asasi.
b. Kepatuhan pada hukum.
c. Toleransi sesama warga.
d. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
e. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan
juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan
legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di
tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut
merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum
tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan
hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk
sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syri (legislator) sementara
manusia berposisi sebagai faqh (yang memahami dan menjabarkan)
hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang
batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan
alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki
kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam,
Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-Arf: 54).

80

Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan


Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas
persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum,
dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
3. Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
a. Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk
mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus
keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu
yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di
belakangnya.
b. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan
dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta
memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
c. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu,
barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat
yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh
kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
d. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang
tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat
khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk
menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang
tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan
tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar
mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan
pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara

81

mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan


nash syariat secara tegas.
e. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta
otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang
sejalan dengan Islam.
4. Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya,

demokrasi

mengandung sisi

yang baik

yang tidak

bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan


dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak
bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan
hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan
yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan
adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
a. menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
b. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas
lainnya.
c. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak
ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
d. Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga
hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
PENUTUP
Kesimpulan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan
Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah
keikutsertaan

rakyat

dalam

mengontrol,

mengangkat,

dan

menurunkan

pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.

82

Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan
secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang
keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem
demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi
pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika
mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum
yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagibagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat
minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup
mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada
persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilainilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Saiful, et.al, 2006, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, Program Sekolah
Demokrasi dan Averroes Press, Malang.
Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum kewarisan Islam di Indonesia : eksistensi dan adaptabilitas.
Yogyakarta : Ekonisi
Chester I. Barnard dalam The Function of Executive
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung.
Dahl, Robert, 2001. Democracy and its Critics. New Haven: Yale University Press.
Dunn, John, ed., 1992. Democracy. The Unfinished Journey. Oxford: Oxford University Press
Fahulullah, Mahdi, Dr., 1991. Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub,
CV. Ramadhani, Solo.
Furqon, 1982, penelitian pustaka (library research)
Ensiklopedia wikipedia
K.H. M. Ihya Ulumuddin, 2009, Inaarud Dujaa fi MaghazikKhaiil waraa 1/91, Majalah Al
Mutashim, Tahun XII, Shafar 1430 H, Pebruari 2009 M, Persyarikatan Dakwah Al
Haromain, Surabaya.
Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung.
Mahmud Fuad Abdul Baqi, 1987, Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut
yang terdapat dalam Aidul Fitriciada Azhari.

83

M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah Volume 12: Pesan dan Kesan Serta Keserasian Al Quran,
Lentera Hati, Jakarta
Nurcholish Madjid, 2000, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi
Menurut Konstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta.

84

KOMPLEKSITAS KERJASAMA ANTAR DAERAH


M.R. Khairul Muluk

Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan


mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan aspirasi dan pilihan masyarakat
setempat. Penyelenggaraan otonomi ini perlu juga mempertimbangkan keragaman
potensi antar daerah. Terdapat daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam
yang besar dan didukung oleh kemampuan atau kualitas masyarakatnya dalam
memanfaatkan potensi tersebut. Sebaliknya, terdapat pula daerah yang memiliki
potensi sumberdaya alam yang kurang, bahkan rawan bencana, sekaligus tidak
didukung oleh kualitas sumberdaya masyarakat yang memadai untuk menghadapi
tantangan tersebut. Kondisi yang demikian berakibat pada munculnya masalah
kemiskinan, baik menyangkut kemiskinan kultural, kemiskinan natural maupun
kemiskinan struktural.
Menghadapi keragaman potensi daerah dalam mencapai tujuan bernegara
dan berbangsa diperlukan peran pemerintah daerah untuk menekan disparitas
antar daerah sekaligus meningkatkan sinergi dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Upaya menekan disparitas dapat dilakukan melalui berbagai cara.
Pertama, meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di berbagai bidang oleh pemerintah kabupaten/kota. Upaya ini
diantaranya:

penyediaan

infrastruktur,

pembangunan

peningkatan peran usaha kecil dan menengah,

ekonomi

melalui

pembangunan sosial dan

ketenagakerjaan. Kedua, peningkatan peran Pemerintah Pusat atau Provinsi


melalui intervensi kebijakan dalam rangka mengurangi tingkat disparitas. Di Jawa
Timur, upaya ini diantaranya dilakukan melalui kebijakan pro-poor, penciptaan
kesempatan kerja di sektor pertanian, kebijakan pendidikan dan kesehatan untuk
masyarakat miskin, pembangunan infrastruktur jalan diwilayah lingkar selatan.
Ketiga, kerjasama antar daerah yang berorientasi pada pengurangan disparitas.
Upaya ini dapat dilakukan melalui kerjasama antar daerah untuk memanfaatkan
setiap potensi yang dimiliki agar dapat memacu perkembangan daerah masingmasing hingga terjadi pengurangan disparitas.

85

HUBUNGAN ANTARPEMERINTAHAN
Kebutuhan akan pelayanan publik dan pembangunan yang lebih efektif
serta partisipatoris menyebabkan pentingnya Hubungan antar Pemerintahan
(intergovernmental relations) yang efektif sekaligus efisien. Hubungan antar
pemerintahan juga merupakan konsekuensi logis dari adanya federalisme bagi
negara federal dan desentralisasi bagi negara kesatuan. Di negara federal,
hubungan antar pemerintahan terjadi pada hubungan antara Pemerintah Federal
dengan Negara Bagian (federal and state relations), hubungan antar Negara
Bagian (interstate relations), dan hubungan antar daerah otonom (relationship
among local government) (Rosenbloom, 1989).
Sementara itu, untuk negara kesatuan Smith (1985) memberikan batasan
yang menarik tentang hubungan antar pemerintahan, yakni: the relationships
between levels of government. Mengacu pada ruang lingkup tersebut maka
hubungan antar pemerintahan pada dasarnya merupakan hubungan antar susunan
atau jenjang pemerintahan, yakni hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah provinsi, antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten/kota,
antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dan antar
pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah kabupaten/kota.
Tentang batasan hubungan antar pemerintahan ini, Henry (2004) telah
memberikan ruang lingkup menarik seperti hubungan antara Pemerintah Federal
dengan Negara Bagian, hubungan antar Negara Bagian yang menghasilkan dua
kajian khusus yakni interstate cooperation dan interstate conflict. Penekanan
khusus diberikan Henry pada hubungan antara Negara Bagian dengan daerah
otonom, dan kerjasama antar daerah otonom (interlocal cooperation). Penekanan
pada kerjasama antar daerah juga diberikan oleh Cooper, dkk (1998) yang
memasukkan local government cooperation sebagai bagian penting dalam
hubungan antar pemerintahan.
Penyelidikan tentang hubungan antar pemerintahan telah mengklasifikasi
hubungan tersebut dalam tiga penafsiran (Smith, 1985), yakni: pendekatan hukum
dan administrasi, politik masyarakat, dan politik antar-organisasi. Tiga pendekatan

86

ini umumnya digunakan oleh para ahli ilmu sosial, politik, dan administrasi untuk
melakukan analisis terhadap fenomena hubungan antar pemerintahan.
Pendekatan pertama, pendekatan hukum dan administrasi (law and
administration approach) lebih menekankan pendekatan yang bersifat top-down
dengan melihat praktek hubungan antar pemerintahan dari kacamata pemerintah
pusat. Pendekatan ini lebih memandang bagaimana hubungan antar pemerintahan
memberi manfaat besar bagi kepentingan nasional sehingga perlu dikembangkan
instrumen untuk memadukan beragam kepentingan daerah dengan kepentingan
nasional. Instrumen utama dalam pendekatan ini adalah kontrol dan pengaruh
(influence) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kontrol merupakan
instrumen yang lebih keras sementara pengaruh memiliki sifat yang lebih lembut
dan halus.
Pada dasarnya baik kontrol dan pengaruh tetap merupakan instrumen
penting bagi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah baik dalam
kepentingan pemberian standar pelayanan yang merata secara nasional, atau
upaya pengurangan disparitas kesejahteraan antar daerah, maupun penciptaan
stabilitas nasional. Kontrol merupakan pengendalian langsung pemerintah pusat
kepada daerah otonom yang bisa berlangsung dalam dua bentuk, yakni: kendali
administrasi dan kendali legislasi atau yudisial. Sementara itu, pengaruh
merupakan pengendalian yang bersifat tak langsung namun memiliki efek
membangun ketaatan daerah otonom pada pemerintah pusat. Pengaruh dapat
berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: komunikasi dan konsultasi antara daerah
dan pusat, dan pemberian bantuan keuangan yang bersifat spesifik (specific
grant), serta pengawasan pemerintah pusat kepada daerah. Pengawasan ini tentu
melibatkan kualitas pelayanan publik, pembangunan, dan pemerintahan umum di
daerah.
Pendekatan kedua yakni pendekatan politik masyarakat (community
politics approach) merupakan sebuah pendekatan analisis yang bersifat bottom-up
karena melihat praktek dan fenomena hubungan antar pemerintahan lebih pada
penekanan perjuangan kepentingan masyarakat setempat ketika berhadapan
dengan kepentingan pemerintah pusat. Politik masyarakat cenderung lebih

87

memperjuangkan

otonomi

masyarakat

setempat

(local

autonomy)

yang

diwujudkan dalam aspirasi dan pilihan masyarakat (local voice dan local choice).
Dalam pendekatan ini, desentralisasi dipandang sebagai instrumen yang
seharusnya mampu menampung pemerintahan daerah yang benar-benar bekerja
untuk kepentingan masyarakat setempat baik dalam pembuatan kebijakan maupun
dalam pelaksanaan daripada kebijakan tersebut. Desentralisasi dilihat sebagai cara
untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada masyarakat sehingga
pendekatan ini juga mewaspadai beragam bentuk penetrasi dan intervensi
pemerintah pusat kepada daerah. Intervensi pemerintah pusat dipandang sebagai
situasi yang dapat mengancam atau paling tidak mengurangi kadar otonomi
daerah.
Pendekatan politik masyarakat ini memandang bahwa aspirasi dan pilihan
masyarakat setempat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat yang berbeda satu
sama lain sehingga antar daerah memiliki kepentingan yang berbeda satu sama
lain. Keberpihakan pada karakteristik setempat ini menunjukkan kadar otonomi
yang dimiliki daerah sehingga seringkali pula perhatian besar diberikan pada
karakteristik masyarakat. Adapun karakteristik tersebut mencakup: sumberdaya
alam, sosial, dan ekonomi sebuah daerah otonom, perbedaan kultural dengan
daerah lainnya, dan struktur politik di dalam masyarakat daerah otonom tersebut.
Tiga karakteristik ini yang harus diperjuangkan menjadi aspirasi dan pilihan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik (fungsi mengatur) dan
pelaksanaannya (fungsi mengurus). Adapun keluaran dari pendekatan ini adalah
pemerintahan berbasis lokal yang kuat yang tercermin dari adanya nilai-nilai lokal
yang dominan dalam penyelenggaraan otonomi daerah, derajat kekuasaan yang
terkonsentrasi di daerah, kadar integrasi masyarakat, serta struktur formal
pemerintahan daerah.
Pendekatan ketiga, yaitu: pendekatan politik antar organisasi (interorganizational politics) yang menempatkan posisi pemerintah pusat dan daerah
lebih setara dan dipadankan sebagai hubungan antar organisasi yang saling
membutuhkan satu sama lain dan bekerja sama guna mencapai tujuan masingmasing. Kata kunci dalam pendekatan ini adalah jaringan (network) karena

88

mengandaikan hubungan organisasional antara pemerintah pusat dengan daerah


otonom seperti tipe jaringan dalam teori struktur organisasi. Sebagai jaringan
maka metafora hierarki diabaikan dalam pendekatan ini dan menggantikannya
seperti organisasi yang setara satu sama lain. Beberapa pandangan yang mendasari
pendekatan ini antara lain sebagai berikut. Pertama, pemerintah pusat tidak selalu
berkehendak

atau

bahkan

mampu

menggunakan

kekuasaannya

untuk

mendominasi daerah otonom. Kedua, daerah otonom memiliki sumber daya yang
cukup untuk menahan tekanan pemerintah pusat. Ketiga, daerah otonom memiliki
kehendak yang beragam untuk menggunakan sumber daya politik, keuangan,
hukum, dan administrasi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat.
Keempat, terdapat asumsi bahwa posisi pusat dan daerah dijalankan oleh aktoraktor yang berlawanan namun saling tergantung satu sama lain dalam mencapai
tujuan masing-masing. Untuk itu senantiasa ada ruang yang terbuka lebar untuk
negosiasi, tawar-menawar, dan inisiasi program kerjasama.
Dalam pendekatan politik antar organisasi ini, istilah interaksi dipandang
lebih baik untuk menggambarkan hubungan pusat dan daerah. Kata interaksi
dipandang lebih baik daripada istilah pengendalian pusat kepada daerah atau
perlawanan daerah terhadap pusat. Kata interaksi pusat dan daerah dianggap jauh
egaliter dibandingkan dua pendekatan terdahulu. Interaksi dan interdependensi
antara berbagai jenjang pemerintahan amat dipengaruhi oleh banyak faktor politik
dan organisasional, yaitu: konsistensi kebijakan pemerintah pusat, pengaruh
daerah otonom terhadap proyek dan prioritas pemerintah pusat, perangkat
teknologi, dan jarak fisik antar jenjang pemerintahan.
KERJASAMA ANTARDAERAH
Selanjutnya, perkembangan perekonomian, politik, dan teknologi telah
menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak dan pelik. Banyak
kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas daerah baik yang
bersifat positif maupun negatif (positive and negative externalities). Lokasi rumah
sakit, lembaga pendidikan, pergerakan kepemilikan kendaraan bermotor, investasi
aktivitas ekonomi dan lain-lain kini seringkali melampaui batas-batas daerah
otonomi. Dinamika aktivitas masyarakat menyebabkan tak satupun daerah kini

89

benar-benar dapat mempertahankan beragam aktivitas selalu berada dalam batas


wilayahnya.
Rosenbloom (1989) memandang hubungan antar daerah otonom dalam
tiga perspektif. Dari sisi manajerial, aktivitas regional dalam beberapa daerah
otonom akan sangat mahal apabila diselenggarakan oleh masing-masing daerah
otonom. Skala ekonomi regional membutuhkan penyelenggaraan secara regional
pula sehingga efisiensi dan efektivitas pemerintahan dapat direalisir. Oleh karena
itu, untuk menghadapi pemenuhan kebutuhan pada skala regional dibutuhkan
konsolidasi daerah otonom jika daerah tersebut sama besar dan kuatnya, atau
dengan melakukan aneksasi daerah yang lebih kecil oleh daerah yang lebih besar,
atau penguatan kerjasama antar daerah.
Dari perspektif politik, Rosenbloom (1989) mengungkapkan pandangan
yang agak bertentangan dengan apa yang diungkap penting dalam sisi ekonomi.
Semakin kecil daerah otonom-nya maka kemampuan sistem politik lokal untuk
memperkuat daya tanggap dan keterwakilan akan menjadi lebih baik. Daerah
otonom pada dasarnya merupakan perwujudan dari demokrasi aras lokal.
Sehingga penguatan pelayanan publik dan pembangunan pada level daerah
otonom akan menekankan arti penting pemerintahan yang berbasis pada aspirasi
dan pilihan masyarakat. Dari sisi ini sebenarnya hubungan antar daerah dianggap
agak

kurang

menguntungkan

bagi

kemandirian

masyarakat

dalam

menyelenggarakan pemerintahan daerahnya. Untuk menyeimbangkan tuntutan


pemenuhan kebutuhan dan pelayanan publik yang bersifat lintas daerah otonom,
sekaligus menyeimbangkan kepentingan dari sisi ekonomi dan politik di atas
maka

Rosenbloom(1989)

menyampaikan

gagasan

tentang

pentingnya

pembentukan Dewan Regional (regional council). Dewan ini bertugas untuk


mengkoordinasikan

kebijakan

dan

aktivitas

administrasi

dari

berbagai

pemerintahan daerah dalam wilayahnya sehingga memperkuat koordinasi antar


daerah otonom. Beberapa urusan yang dianggap penting untuk dikelola oleh
dewan regional ini antara lain: perencanaan wilayah, keamanan, kualitas
pelayanan air bersih, perumahan, dan pembangunan ekonomi.

90

Sifat hubungan antar daerah (interlocal relations) dapat diidentifikasi tidak


sebagai suatu nilai tunggal (single value) namun justeru banyak nilai (multivalue). Rosenbloom (1989) menegaskan bahwa kebutuhan akan kemandirian
daerah dan kebutuhan akan pelayanan yang lebih baik justeru akan mengarahkan
hubungan antar daerah sebagai bersifat kompetitif. Masing-masing daerah
bersaing untuk memperoleh insentif ekonomi yang diperoleh dari institusi
pemerintahan suprastruktur sekaligus berlomba-lomba pula untuk menghindari
disinsentif yang diberikan olehnya. Pada sisi lain, masing-masing daerah juga
bersaing agar mampu menyediakan layanan publik yang lebih baik dibanding
daerah lainnya guna meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
publik yang disediakan.
Dengan menggabung pendapat Nicholas Henry dan David Rosenbloom
tentang sifat hubungan antar daerah (interlocal relations) maka diperoleh adanya
tiga kategori yakni kompetisi (Rosenbloom, 1989), kerjasama dan konflik antar
daerah (Henry, 2004). Tampaknya masing-masing kategori tersebut membutuhkan
kajian lebih lanjut untuk pengembangan teoritisnya yang disebabkan oleh masih
langkanya perhatian pada hubungan antar daerah ini. Kajian tersebut penting
untuk mengungkap latar belakang, bentuk, dan konsekuensi serta dampak dari
setiap kategori hubungan antar daerah.
Cooper, dkk. (1998) menyatakan bahwa kerjasama antar daerah otonom
senantiasa berdasar pada kesepakatan kerjasama (cooperative agreements) antar
pemerintah daerah. Karakteristik dari kesepakatan kerjasama tersebut adalah:
Kesepakatan tersebut umumnya merupakan kesepakatan antara dua pemerintahan
berkaitan dengan aktivitas tunggal tertentu; Kesepakatan tersebut cenderung pada
pemberian pelayanan publik daripada penguasaan fasilitas tertentu; Kesepakatan
tersebut tidak bersifat permanen dan mengandung adanya peluang untuk negosiasi
ulang dan bahkan penghentian kerjasama oleh masing-masing pihak; Kesepakatan
tersebut mengandung klausul pemberlakuan jika memenuhi persyaratan tertentu
yang telah dikemukakan sejak awal; Kesepakatan tersebut diperbolehkan oleh
peraturan perundangan yang lebih tinggi yang memberikan kewenangan untuk

91

melakukan kerjasama antar daerah dalam wilayah tertentu; Kerjasama antar


daerah juga bisa berbentuk kerjasama regional dengan atau tanpa institusi baru.
Kerjasama regional bisa dilakukan pada perihal yang sulit dikerjakan oleh
satu daerah otonom tertentu dan harus dikerjakan dalam bentuk kerjasama.
Cooper (1998) menunjukkan manfaat yang bisa dipetik dari kerjasama regional:
konsistensi kebijakan atau peraturan daerah beserta penerapannya yang
menjangkau batas-batas politik daerah; Manajemen sumberdaya yang efisien;
Pembagian tanggung jawab; Gabungan kekuatan politik multi pihak; Kemampuan
gabungan dalam meraih dukungan publik untuk mendukung program-program
regional.
Kerjasama antar daerah dijalankan melalui kesepakatan pelayanan antar
daerah (interlocal service arrangements). Kesepakatan tersebut merupakan
kesepakatan suatu pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya untuk
memberikan pelayanan publik kepada warganya. Motivasi utama dari pemerintah
daerah untuk mengadakan kerjasama antar daerah dalam pelayanan publik adalah
adanya pertimbangan skala ekonomi pelayanan. Diyakini bahwa pelayanan publik
tertentu lebih efektif dan efisien jika dijalankan oleh batas yurisdiksi dan wilayah
yang lebih luas (Henry, 2004). Selanjutnya Henry juga menggambarkan baha
terdapat

tiga

bentuk

Intergovernmental

kesepakatan

service

kerjasama

agreements,

Joint

antar

daerah,

service

yakni:

agreements,

Intergovernmental service transfer.


Intergovernmental service agreements merupakan kesepakatan yang
menjamin pelayanan publik dapat dinikmati oleh masyarakat tidak hanya dari
pemerintah daerahnya sendiri namun juga dari pemerintah daerah lainnya
terutama yang berdekatan batas wilayahnya. Konsekuensinya adalah pemerintah
daerah tempat penduduk tadi tinggal (pemda asal) harus membayar kepada
pemerintah daerah lainnya (pemda pelayan) sebagai pengganti biaya dari
pelayanan publik yang diberikan. Dengan demikian, pemda asal tidak harus
membentuk institusi pelayanan sendiri bagi seluruh penduduknya terutama bagi
penduduk yang tinggal di daerah yang berbatasan dengan daerah otonom lain.
Efisiensi pemerintahan tetap dapat dicapai dan pada saat yang sama pelayanan

92

publik tetap dapat diberikan dengan baik. Bagi pemda pelayan, adanya tambahan
penduduk dari daerah lain yang harus dilayaninya berarti bertambahnya konsumen
dan meningkatkan skala ekonominya sehingga ada pemasukan tambahan untuk
menutup overhead cost yang menjadi bebannya.
Joint service agreements merupakan kesepakatan yang berlangsung antara
dua atau lebih pemerintah daerah otonom untuk menjalankan pelayanan publik
tertentu. Kesepakatan ini berbentuk penggabungan aktivitas pelayanan mulai dari
perencanaannya, pembiayaannya, dan penyelenggaraan layanannya sampai pada
pengawasannya. Dengan demikian biaya dan sumber daya pelayanan publik
tertentu diperoleh dari kekuatan gabungan pemerintah daerah yang bersepakat
tersebut. Umumnya bentuk kesepakatan ini dijalankan bagi pelayanan publik yang
membutuhkan biaya dan sumberdaya besar yang tidak dapat dipenuhi oleh hanya
satu daerah otonom saja dan sekaligus pengguna layanannya berasal dari
penduduk yang tinggal di berbagai daerah. Dengan demikian, efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik akan diterima secara optimal oleh berbagai daerah
tersebut.
Intergovernmental service transfer terdiri dari tiga bentuk kesepakatan
penyerahan kewenangan dalam pelayanan publik tertentu. Pertama berupa
kesepakatan penyerahan pelayanan publik secara tetap kepada daerah otonom
lainnya yang berdekatan. Kedua penyerahan pelayanan publik secara permanen
kepada daerah otonom lainnya yang berbeda level. Bentuk kedua ini bisa berupa
penyerahan pelayanan publik yang tidak mampu dilaksanakan semata oleh
kabupaten/kota tertentu kepada pemerintah provinsi atau begitu pula sebaliknya.
Ketiga penyerahan pelayanan publik secara permanen kepada institusi di luar
pemerintah, yakni perusahaan swasta atau organisasi nirlaba atau sosial. Jenis
kesepakatan ini membawa resiko lebih serius dibandingkan dua jenis kesepakatan
sebelumnya karena dijalankan dengan mengorbankan kewenangan yang dimiliki
suatu daerah otonom. Ini berarti berkurang pula kekuasaan daerah otonom
tersebut.
BELAJAR DARI PENGALAMAN TIGA DAERAH

93

Kendati terdapat beragam potensi, salah satu permasalahan yang dihadapi


Provinsi Jawa Timur adalah adanya disparitas antar wilayah. Terdapat 38
kabupaten/kota di Jawa Timur yang masing-masing wilayah tidak memiliki
potensi sama. Sebagai gambaran, di wilayah Jawa Timur bagian barat terdapat
Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ponorogo memiliki lahan pertanian yang
relatif subur kendati tidak merata di seluruh wilayah. Kabupaten Ngawi, kendati
secara umum memiliki lahan yang relatif subur tetapi terdapat sebagian wilayah
yang merupakan lahan kering yang dihuni oleh penduduk miskin. Kabupaten
Pacitan, memiliki potensi sumberdaya alam dan hutan tetapi secara geografis
merupakan daerah yang sulit dijangkau dibanding daerah lainnya. Kabupaten Madiun
memiliki wilayah yang luas, tetapi potensi alamnya belum dikelola secara optimal.
Demikian pula Kota Madiun, memiliki potensi perdagangan dan jasa yang jauh lebih
tinggi dibanding daerah lainnya tetapi daerah ini belum menjadi daya dukung yang kuat
untuk memajukan daerah-daerah lain di sekitarnya.
Sebagai pusat pengembangan Jawa Timur wilayah barat, posisi Kota
Madiun menjadi sangat strategis dan memiliki potensi bekerjasama dengan daerah
lainnya dalam wilayah pembangunan tersebut. Sebenarnya Pusat Pengembangan
Jawa Timur Wilayah barat mencakup juga wilayah Kabupaten Madiun, Ngawi,
Pacitan, ponorogo dan Magetan. Dengan luas wilayah sebesar 33 km2 yang terdiri
dari 3 (tiga) kecamatan, 27 kelurahan dan jumlah penduduk sebesar kurang lebih
203 ribu penduduk, PDRB Kota Madiun didukung dari sektor perdagangan dan
industri (GADIS) sebagai salah satu sektor yang menonjol di daerah tersebut.
Pertumbuhan yang masih rendah dialami sektor pertanian dan sebesar 0,04%.
Pergeseran sektor pertanian ke industri pengolahan dan perdagangan jasa sangat
nampak akibat meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian sebagai akibat dari perkembangan kota.
Kajian yang dilakukan oleh Soeadi, dkk (2011) menunjukkan hasil yang
mencengangkan tentang hubungan antar daerah karena sulit menyebut terjadinya
kerjasama antar daerah dalam pembangunan daerah yang terkoordinasi. Kerjasama di
tiga daerah yang diteliti (Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi)
disimpulkan belum terjadi. Meskipun demikian, perkembangan perekonomian,

94

politik, dan teknologi menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak
dan pelik. Banyak kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas
daerah baik yang bersifat positif maupun negatif (positive and negative
externalities). Pelayanan

rumah sakit dan lembaga pendidikan, pergerakan

kepemilikan kendaraan bermotor, investasi aktivitas ekonomi dan lain-lain kini


seringkali melampaui batas-batas daerah otonomi. Dinamika aktivitas masyarakat
menyebabkan tak satupun daerah kini benar-benar dapat mempertahankan
beragam aktivitas selalu berada dalam batas wilayahnya.
Fenomena lain yang terjadi adalah adanya egoregional. Hal ini nampak
pada konteks kerjasama antar daerah yang tidak tertulis secara legal formal.
Selama ini kerjasama antar daerah tersebut adalah bersifat informal. Komunikasi
antar pimpinan lembaga Satuan Kerja Perangkat Daerah antar daerah sudah sering
dilakukan, dan sebatas mengungkapkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya
kerjasama antar daerah dalam bidang-bidang tertentu seperti jalan, pariwisata, dan
pendidikan. Namun pada prakteknya kerjasama resmi tidak terjadi dan bahkan
konflik muncul karena eksternalitas dari jenis layanan tertentu yang tidak
ditanggung oleh daerah yang diuntungkan. Masing-masing daerah masih berjalan
sendiri-sendiri dan hanya berkutat dengan kepentingannya sendiri tanpa
memandang kebutuhan daerah lainnya.
Meski belum ada kerjasama dan terjadi egoregional, ternyata ada potensi
kerjasama antar tiga daerah yang dikaji. Yang dibutuhkan oleh Kota Madiun
adalah perencanaan tata ruang wilayah yang menyebabkan sinergi pembangunan
wilayah Jawa Timur bagian barat. Kabupaten Madiun membutuhkan kerjasama
yang baik dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan sehingga membantu
aksesibilitas pemenuhan kebutuhan kualitas dua layanan tersebut bagi warganya.
Sementara itu, Kabupaten Ngawi tidak terlalu merasa membutuhkan kerjasama
dengan Kabupaten Madiun dan Kota Madiun sebagai daerah yang paling dekat
berbatasan dalam Provinsi yang sama. Aktivitas ekonomi justeru menempatkan
beberapa Kabupaten di Provinsi tetangga, yakni Jawa Tengah, sebagai daerah
yang lebih dibutuhkan untuk pengembangannya.

95

Situasi yang terjadi pada Kabupaten Ngawi justeru menarik untuk


ditindaklanjuti. Jika ketergantungan ekonomi Kabupaten Ngawi jauh lebih besar
kepada daerah yang berada di Provinsi Lain dibandingkan kepada daerah
tetangganya yang berada dalam Provinsinya sendiri maka hal ini menunjukkan
beberapa pertanda. Pertama telah terjadi pertanda situasi discatchment area dalam
Provinsi Jawa Timur karena Kabupaten Ngawi merupakan remote area dari pusat
pemerintahan dan ekonomi Provinsi Jawa Timur. Kedua berarti ada pertanda
bahwa Kabupaten Ngawi bukan kesatuan ekonomi dari Wilayah Pengembangan
Kawasan Barat Jawa Timur atau Kabupaten Ngawi termasuk yang termarjinalkan
dalam pengembangan wilayah yang mungkin saja terlalu terpusat pada Kabupaten
dan Kota Madiun. Ketiga berarti daya tarik ekonomi daerah-daerah di wilayah
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur jauh lebih baik dibandingkan dengan
daerah-daerah di wilayah Provinsi Jawa Timur yang terdekat dengan Kabupaten
Ngawi.
KESIMPULAN
Penyelenggaraan otonomi daerah yang efektif dan efisien membutuhkan
ketersediaan sumber daya yang cukup baik yang berasal dari internal maupun
eksternal daerah otonom. Dalam banyak hal penyelenggaraan urusan daerah juga
akan bersinggungan dengan urusan, sumber daya, dan masyarakat daerah lain
yang tidak bisa dihindari karena faktor mobilitas orang dan barang, perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi, dan eksternalitas aneka hal. Oleh karena itu,
kerjasama antar daerah sebagai bagian dari hubungan antar pemerintahan
diperlukan untuk menjamin ketersediaan layanan publik yang memadai. Namun
demikian, meski kerjasama antar daerah dipandang penting oleh banyak pihak
ternyata tidak semua daerah menjalankan kerjasama antar daerah dengan tingkat
kesungguhan yang memadai. Persoalan egoregional merupakan penghalang besar
bagi terjadinya kerjasama antar daerah meskipun terdapat potensi besar dan
kebutuhan akan terjadinya kerjasama antar daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Cooper, P.J., et. al. 1998. Public Administration for the Twenty-First Century. Orlando: Harcourt
Brace & Company.

96

Henry, N. 2004. Public Administration and Public Affairs. 9th edition. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Rosenbloom, D.H. 1989. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law
in the Public Sector. 2nd edition. New York: McGraw Hill.
Smith, B.C. 1985. Decentralization: the Territorial Dimension of the State. London: George Allen
& Unwin.
Soeaidi, S., dkk. 2011. Pengembangan Kerjasama Antar Daerah: Studi di Kabupaten Madiun, Kota
Madiun, dan Kabupaten Ngawi. Balibang Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan
RCCP Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

97

PEMERINTAHAN YANG INOVATIF SEBAGAI KUNCI


KEBERHASILAN PENGELOLAAN SEKTOR PUBLIK

PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH


MELALUI INTEGRASI SEKTOR INDUSTRI KREATIF
(CREATIVE INDUSTRY) DENGAN SISTEM INOVASI DAERAH
(SIDA)
Hermawan
ABSTRAK: Dalam penyelenggaraan pembangunan ekonomi daerah maka
proses inovasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian kesejahteraan daerah.
Salah satu sektor ekonomi yang selama ini belum banyak dibidik untuk
mendongkrak perekonomian masyarakat lokal adalah sektor industri kreatif.
Padahal sektor ini sudah menjadi perhatian pemerintah pusat sejak dikeluarkannya
Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada tahun 2008.
Pemerintah kemudian semakin menunjukkan perhatiannya terhadap ekonomi
kreatif dengan mencanangkan Tahun Indonesia Kreatif di tahun 2009. Pada tahun
2009 Presiden mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2009 untuk mendorong semua
instansi pemerintah terkait meningkatkan komitmennya dalam pengembangan
ekonomi kreatif. Salah satu langkah inovatif adalah penggabungan dengan
program yang sudah ada seperti sSistem Inovasi Daerah dengan program
pengembangan Industri Kreatif
Kata Kunci: Industri Kreatif, Sistem Inovasi daerah

PENDAHULUAN
Pendekatan hybrid dalam penyelenggaraan pembangunan daerah dewasa
ini merupakan bagian inovatif dalam pencarian model terbaik pembangunan di
daerah. Dalam kontek perencanaan pembangunan, berbagai bentuk pendekatan
inovatif dimungkinkan setelah banyaknya kritik terbuka terutama dari ekonom
akan

kecenderungan failure of planning dalam kegiatan perencanaan

pembangunan. Menurut Choudhury & Kirkpatrik (2007:2), Models can more

98

easily be designed to match the constraints and policy objective.. rather than
using a standart framework . Dalam dunia perencanaan, berbagai tawaran model
pendekatan baru bisa memberikan cara alternatif yg lebih fleksibel di luar
kerangka pendekatan standar yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi
di daerah, upaya memadukan unsur praktis berupa program pengembangan
industri kreatif (ekonomi kreatif) dengan Sistem Inovasi Daerah dapat secara
luwes ditarik menjadi suatu kegiatan menyeluruh dalam kesatuan proses dan
sistem perencanaan.
Dalam kontek pembangunan ekonomi lokal, perencanaan pembangunan
yang baik berarti perencanaan yang bisa mengoptimalkan penggunaan setiap
potensi dan kreatifitas di daerah. Wheeler (2004:133) mengistilahkan
perencanaan yang best approached at a regional scale. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan daerah pengalokasian berbagai sumber daya serta peningkatan peran
masyarakat guna mencapai level kesejahteraan tertinggi sekaligus mengurangi
ketimpangan pembangunan antar daerah. Pada dekade terakhir ini, pemanfaatan
sektor ekonomi alternatif berupa kebijakan pengembangan ekonomi kreatif
(industri kreatif) sudah mulai dikenal dan diperhitungkan.
Dalam hal konteks ekonomi kreatif, setiap daerah sebenarnya telah
memiliki potensi dan resource-nya masing-masing. Misalnya, Propinsi Jawa
Timur ternyata mempunyai potensi yang tinggi dalam industri kreatif. Diantara
indikator potensi pendukung ekonomi kreatif Jawa Timur adalah: Konstribusi
industri kreatif mendekati 7,9 % dari PDRB Jatim. Kinerja perekonomian Jawa
Timur yang berada dalam posisi kedua setelah Jakarta (15,1 %) di level nasional,
lebih dari 51 % ekonomi Jatim ditopang oleh sektor industri dan perdagangan.

Disamping itu, adanya Komitmen yang tinggi dari masing-masing Pemda


kabupaten/kota di Jawa Timur; potensi jumlah penduduk Jatim cukup tinggi
dengan ragam budaya yang telah berkembang; perangkat pendukung kualitas
SDM berupa pendidikan tinggi, pendidikan vokasi bidang teknologi, pendidikan
bisnis, desain dan pendidikan lainnya tersedia cukup banyak menjadi poin
potensial bagi berkembangnya ekonomi kreatif Jawa Timur. Target peran
ekonomi kreatif Jawa Timur jika mengacu pada blue print ekonomi kreatif

99

nasional, maka pada RJPJ tahun 2016 - 2025 kreatif propinsi Jawa Timur harus
dapat memberi konstribusi diatas 10 % dari PDRB atau 12 % dari total ekspor.
Ada optimisme melebihi target dibalik capaian ekonomi daerah dan propinsi
Jatim terkini. Namun demikian, dibalik potensi berkembangnya ekonomi kreatif
yang cukup tinggi di Jawa Timur tersebut tetap harus didukung oleh kebijakan
pemerintah daerah yang kondusif bagi berkembangnya ekonomi kreatif Jawa
Timur. Masih ada beberapa permasalahan yang harus diantisipasi, diantaranya
adalah:
1. Masih belum terstrukturnya pembinaan Sumber Daya Insani (SDI) sebagai

aset pokok dalam pengembangan ekonomi kreatif


2. Status dan kegiatan industri kreatif hingga sekarang masih relatif baru dan
belum begitu dikenal oleh masyarakat sehingga belum diakui sebagai
penggerak roda ekonomi dan pembangunan yang signifikan.
3. Belum jelas dan efektifnya perencanaan pembangunan daerah untuk
pengembangan ekonomi kreatif yang dapat menopang pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur.
Oleh karena itu, guna mendukung berkembangnya ekonomi kreatif yang
tangguh perlu dibuat arah perencanaan yang inovatif searah optimalisasi
pengelolaan sumberdaya dan potensi ekonomi lokal.
KONSEP PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
Pembangunan ekonomi lokal pada dasarnya sarat dengan kreatifitas dan
inovasi. Sebagaimana Edward J. Blakey (1994) berpendapat bahwa ..The
central feature of locally based economic development is in the emphasis on
endogenous development using the potential of local human and physical
resources to create new employment opportunities and to stimulate new locally
based economic activity. Dinamika pembangunan daerah menyerupai proses
perencanaan yang pada hakekatnya suatu sintesis antara intelegensia dengan
ketersediaan aneka pendukung kemakmuran dan kesejahteraan. Berbagai faktor
pendukung kemakmuran sebagaimana juga diuraikan Blakey antara lain; natural

100

resouces, labor, capital, investment, entrepreneurship, transport, communication,


industrial composition, technology, size, export market, international economic
situation, local government capacity, national and state government spending and
development support. Dari uraian ini sebenarnya begitu banyak peluang dan
sumber daya yang bisa dieksploitasi untuk memajukan ekonomi lokal, tentunya
tergantung kecerdasan dan kemauan para aktor di daerah.
Masih dalam wacana pembangunan ekonomi lokal, The World Bank
(2001) mendefinisikan Local Economic Development (LED) is the process by
which public, business, and non governmental sector partners work collectively to
create better conditions for economic growt and employment generation. Bisa
dimaknai bahwa kegiatan pembangunan daerah merupakan cerminan dari
penerapan nilai-nilai governance yang terdiri dari berbagai aktor; masyarakat,
bisnis dan sektor non-pemerintah lainnya. Dengan demikian sebagaimana pola
pengembangan ekonomi kreatif, kemampuan menjaga komunikasi diantara semua
lembaga atau stakeholder (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat).
Lebih lanjut tujuan dari pembangunan daerah sebagaimana dikemukakan
Bank Dunia adalah untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di
dalamnya dan untuk menjamin masa depan ekonomi daerah di tengah
meningkatnya persaingan pasar to improve the quality of life for all.
Practicing local economic development means working directly to build the
economic strength of all local area to improve its economy future and the quality
of life of its inhabitant. Prioritizing the local economy is crucial if communities
today depend upon them being able to adopt to the fast changing and increasingly
competitive market environment. Aspek improvisasi, adopsi yang tercermin dari
pernyataan ini menunjukkan suatu nilai perlunya pembebasan keterbatasan
(inhibit) pola pikir yang menyumbat inovasi.
Dari sisi masyarakat, pengembangan ekonomi lokal diartikan sebagai
upaya

untuk

menghambat

membebaskan

masyarakat

dari

semua

keterbatasan

yang

usaha untuk membangun kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut

dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi semua aspek
kehidupannya seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, agama,

101

harga diri, dan lain-lainnya. Semua jaminan tersebut tidak akan dapat diperoleh
apabila sistem masyarakat kacau, poor quality dan tidak berkelanjutan. Dengan
demikian pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan
masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan pada kekuatan
lokal, baik itu kekuatan nilai geografis, sumber daya alam, SDM, teknologi,
capacity of the institution, maupun aset pengalaman (Haeruman, 2000).
Industri Kreatif
Industri kreatif merupakan perkembangan lain dari fenomena ekonomi
kreatif yang ada di suatu masyarakat. Definisi berdasarkan UK DCMS Task force
1998: Creatives Industries as those industries which have their origin in
individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job
creation through the generation and exploitation of intellectual property and
content Sehingga Industri kreatif dapat didefinisikan sebagai: Industri yang
berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan
mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut . Sedangkan
Howkins (dalam Moelyono, 2010:218) mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai
kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya dan
lingkungn sebagai tumpuan masa depan.
Industri kreatif bukanlah sebagaimana UKM yang pada umumnya
mengelola produk-produk konvensional yang biasa ada di pasar. Kementerian
Perdagangan RI menganggap bahwa sektor Ekonomi kreatif merupakan era
ekonomi

baru

yang mengintensifkan informasi

dan kreatifitas

dengan

mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusianya sebagai
faktor produksi utama dalam suatu kegiatan ekonomi. Perkembangan Ekonomi
kreatif ditopang oleh berlembangnya industri kreatif yang mulai diyakini dapat
memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional secara signifikan.
Sedangkan Deperindag RI, mendefinisikan industri kreatif sebagai industri
yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan

102

mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berangkat dari
kreativitas individual, ketrampilan dan bakat Industri ini berpotensi untuk
menciptakan pekerjaan dan pengkayaan melalui produksi dan eksploitasi
Intelectual Property (Kekayaan hak intelektual).

Klaster inidustri ini

dibangkitkan oleh ide ide yang terletak dipersimpangan antara seni, bisnis dan
teknologi.
Dalam ranah administrasi publik kajian Industri Kreatif mendapatkan
maknanya setelah menjadi salah satu fokus pengembangan ekonomi dari
pemerintah sejak diluncurkannya buku hasil studi pemetaan industri kreatif. Buku
pemetaan industri kreatif ini kemudian diikuti peluncuran Cetak Biru
Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada tahun 2008. Pemerintah
kemudian semakin menunjukkan perhatiannya terhadap ekonomi kreatif dengan
mencanangkan Tahun Indonesia Kreatif di tahun 2009. Pada tahun 2009 Presiden
mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2009 untuk mendorong semua instansi
pemerintah terkait meningkatkan komitmennya dalam pengembangan ekonomi
kreatif, yang menetapkan 14 subsektor industri kreatif Indonesia , yaitu;
1.

Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan,
antara lain: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang,
produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di
media cetak dan elektronik.

2.

Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan
informasi produksi antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota,
perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi
lelang, dll.

3.

Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi
dan perdagangan, pekerjaan, produk antik dan hiasan melalui lelang, galeri,
toko, pasar swalayan, dan internet.

4.

Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi


produk kerajinan antara lain barang kerajinan yang terbuat dari: batu
berharga, aksesoris, pandai emas, perak, kayu, kaca, porselin, kain, marmer,
kapur, dan besi.

103

5.

Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior,
produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan.

6.

Desain Fashion: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian,
desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode
dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk
fashion.

7.

Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi
produksi Video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video,film.
Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron,
dan eksibisi film.

8.

Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi,


produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan,
ketangkasan, dan edukasi.

9.

Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi,


dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik,
pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi
musik.

10. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang
berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan
balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik
teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana
pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.
11. Penerbitan & Percetakan : kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan
penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan
konten digital serta kegiatan kantor berita.
12. Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan
pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer,
pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem,
desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak & piranti keras,
serta desain portal.
13. Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi,
produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio.

104

14. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkati dengan usaha inovatif
yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan
pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses
baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat
memenuhi kebutuhan pasar.
Industri kreatif dapat memberi konstribusi pada beberapa aspek
pembangunan daerah, tidak hanya ditinjau pada aspek ekonomi semata, tetapi
juga dapat memberikan dampak sosial yang positif serta identitas dan ikon atau
citra daerah bahkan negara. Dari hasil studi Deperindag tahun 2007, Industri
kreatif di Indonesia telah terbukti mampu menyerap kurang lebih 5,4 juta tenaga
kerja dan mendukung hampir 9,13 % dari total eksport. Industri semacam ini
dapat dianggap berbahan baku energi terbarukan yang seolah tiada habis selama
sumber daya manusia yang kreatif masih ada.
Ditinjau dari aspek pembangunan ekonomi daerah dapat digambarkan
lebih jelas bahwa kratifitas dapat merangsang terjadinya lingkungan urban di
daerah dengan terciptanya wilayah-wilayah kreatif. Di suatu kawasan tertentu
dapat lahir dampak multiefek di setiap sektor, mulai pembangunan infrastruktur
pendukung hingga kebijakan pemerintah daerah. Kreativitas ketika memproduksi
barang baru yang unik dan berkualitas atau kreativitas dalam memanfaatkan,
mengelola dan mengatur anugrah kekayaan alam yang ada melalui teknik dan
kebijakan kreatif, akan memberi kesan kondusif dan citra positif serta identitas
(ikon) suatu daerah, bangsa atau negara oleh investor. Digambarkan pula bahwa
Industri kreatif sesungguhnya merupakan industri yang bukan termasuk capital
intensive (padat modal), namun dapat digunakan sebagai pemicu reaksi berantai
dampak multi industri lainnya. Dengan demikian, industri kreatif sangat ideal
dikembangkan di setiap wilayah tergantung pada bagaimana bisa menyusun
kebijakan atau perencanaan yang tepat.
Model Perencanaan Industri Kreatif bagi Pembangunan Ekonomi Daerah
Di era otonomi, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang lebih
besar dalam pembangunan ekonominya. Salah satu kreativitas yang dapat

105

ditawarkan adalah bagaimana memikirkan sebuah sistem yang kondusif demi


berlangsungnya perkembangan ekonomi kreatif melalui proses inovasi teknologi
dan birokrasi yang terus menerus. Yakni model perencanaan melalui
penggabungan program pengembangan Industri kreatif bersama kegiatan Sistem
Inovasi daerah (SIDA), yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Kepala Daerah

DPRD

Lembaga Perumus dan


Koordinasi (KEK)

INDUSTRI KREATIF
(14 Sub sektor)

1.
2.
3.
4.

Universitas
Industri
Organisasi Profesi Ilmiah
Tokoh masyarakat (pemuda
pelopor)

Lembaga Pelaksana

Lembaga Pengawas

1. Lembaga
pengembang
(LPM/Universitas/BBI)
2. Lembaga profesi
3. Lembaga Pengguna (Industri/
IKM, Koperasi, org.masyarakat)
4. Lembaga Keuangan

1.
2.

Universitas
Organisasi
ilmiah

profesi

Gambar 1 : Integrasi Program Industri Kreatif dengan SIDA


Perencanaan program industri kreatif sebagaimana diilustrasikan di atas
merupakan sistem kreatifitas daerah berkelanjutan yang merupakan mobilisasi
seluruh kekuatan sistem teknologi dan birokrasi daerah. Perencanaan di awali
dengan pendekatan dan sosialisasi kegiatan ekonomi kreatif secara komprehensif
di setiap sektor pemerintah daerah. ini di harapkan dapat menciptakan local
inconporated untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi kreatif dan pendapatan
daerah maupun kesejahteraan daerah sehingga menjadi masyarakat yang mampu
dalam pengertian yang sesungguhnya.

106

Kegiatan-kegiatan yang dapat di lakukan pemerintah daerah dalam


suksesnya pelaksanaan perencanaan pengembanagn industri kreatif adalah sesuai
dengan misi dan tujuan kebijakan pengembangan ekonomi kreatif:
1.

Mendukung pengembangan SDM daerah dengan memberikan pelatihan,


pendidikan, dan dukungan anggaran. Bertujuan untuk meningkatkan kualitas
SDM Jatim menjadi masyarakat yang kreatif dan berdayaguna dalam
membangun ekonomi kreatif.

2.

Mendukung kerja sama multiparti (industri, lembaga riset pemerintah,


universitas dan lembaga keuangan) tingkat daerah, antar daerah, dan dalam
skala nasional. Menguatkan aktifitas dan fungsi institusi riset daerah untuk
menjadi pendorong industri kreatif daerah dengan implementasi program aksi
mendukung Sumber Daya Insani Kreatif Jawa Timur di masing-masing wilayah
di seluruh Jawa Timur

3.

Memindahkan sebagian dari fungsi riset pemerintah Pusat ke daerah dalam


Balai Besar Industri (BBI) atau membentuk beberapa badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Daerah (BPPTD) dalam beberapa kawasan industri
kreatif tertentu. Untuk itu mendorong peran riset dan pengembangan di
daerah sebagai basis dalam menggali, menemukan, memanfaatkan teknologi
serta membuat kebijakan untuk meningkatkan peran dari unit atau lembaga
terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif.

4.

Mengembangkan kebijakan yang kreatif terkait hasil analisis kebijakan


ekonomi kreatif (ada di pembahasan pada bab sebelumnya) yakni; Kebijakan
pembiayaan dan penjaminan pinjaman, Kebijakan pemasaran, Kebijakan
tentang penyediaan bahan baku, Kebijakan perizinan usaha, mengantisipasi
peluang dan tantangan bagi Kebijakan Industri Kreatif Jawa Timur, termasuk
dengan perlindungan terhadap pelaku/industri kreatif, seperti fasilitasi dan
apresiasi HAKI, sarana prasarana pendukung (seperti IT, alternative financial
support, pasar) dan iklim investasi yang kondusif dalam persaingan global.
Peran pemerintah daerah yang sesungguhnya selaku fasilitator sebenarnya

tidak boleh terlalu dominan. Pemerintah daerah adalah salah satu entitas yang
memberikan agenda perhatian pada pertumbuhan komunitas kreatif di daerah.

107

Artinya sebaiknya komunitas ekonomi kreatif tetap dibiarkan berjalan mandiri


sementara pemerintah berperan sebagai partner pendukung dengan menelorkan
kebijakan yang proaktif. Kesuksesan komunitas kreatif yang cukup populer
dimana kebijakan pemerintah daerah memberi suasana kondusif seperti
dicontohkan di Bandung yang berhasil dibangun akar rumput dalam program
ekonomi kreatifnya dengan perhelatan kreatif Festival setiap momen tertentu.
Kegiatan ini telah menelorkan branding Bandung yang diterima oleh pemerintah
daerahnya sebagai official branding Bandung sekaligus konsep membangun
Bandung sebagai creative city menunjukkan hal itu dapat bekerja dengan baik.
Contoh lain, gagasan creative economy banyak lahir didalam komunitas kreatif di
Bali yakni mampu membangun budaya kreatif secara lebih meluas, nurturing
local talent dan creative community member to grow, dan menanamkan
kewirausahaan serta network bagi para pelaku kreatif. Di Bali, mengembangkan
industri kreatif melalui komunitas juga merupakan sebuah upaya mencetak
potensi unggul mengiringi tourism yang terlebih dulu telah membentuk pencitraan
Bali.
PENUTUP
Metode pendekatan yang inovatif bagi pembangunan ekonomi daerah
dapat dilakukan melalui progtram Industri kreatif yang fleksibel dan
berkelanjutan. Industri kreatif memiliki potensi besar di masa depan bagi daerah
mengingat: Industri Kreatif merupakan pilar utama dalam mengembangkan sektor
ekonomi kreatif yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Karakteristik industri kreatif cenderung berbeda dengan industriindustri yang sudah ada, karena inputnya sebagian besar bersifat intangible, yaitu
idea dan kreativitas individu. Sehingga dianggap rendah capital.
Ketika kewenangan pemerintahan pusat semakin banyak diberikan kepada
daerah, maka pendekatan perencanaan ekonomi selain mengacu sistem inovasi
nasional yang kokoh perlu juga di topang oleh sistem Inovasi Daerah (SIDA).
Dalam hal ini kegiatan industri kreatif dapat diintegrasikan dalam sistem inovasi
daerah. Untuk mendukung berjalannya industri kreatif-SIDA dengan baik, ada
beberapa hal yang bisa di lakukan pemerintah daerah; al. (1) Mendukung

108

pengembangan SDM kreatif daerah dengan memberikan pelatihan, pendidikan,


dan sebagainya; (2) Mendukung kerja sama tripartit (industri, lembaga riset
pemerintah, universitas) tingkat daerah, antar daerah. Menguatkan aktifitas dan
fungsi institusi riset daerah untuk menjadi pendorong industri kreatif daerah
dengan mempermudah terbentuknya klaster-klaster ekonomi kreatif di daerah; (3)
Memindahkan sebagian dari fungsi riset pemerintah Pusat ke daerah dalam Balai
Besar Industri (BBI) atau membentuk beberapa badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Daerah (BPPTD) dalam beberapa kawasan tertentu yang memiliki
potensi industri kreatif; (4) Untuk mendukung terciptanya SIDA-Industri Kreatif
yang baik perlu ada komunikasi yang intensif antara eksekutif di daerah, legislatif,
lembaga pelaksana, lembaga pengawas, dan lembaga perumus dan koordinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Blakely, Edward. J (1994) Planning Local Economic Development. Theory and Practice, 2nd Sage
Publication
Chowdhury, Anis and Colin Kirkpatrick (2005) Development Policy and Planning, an
Introduction to models and Techniques, NY:Routledge
Depdagri (2007) Studi Industri Kreatif Indonesia, Jakarta
Depdagri (2008), UK DCMS Task force 1998
Moelyono, Mauled (2010) Menggerakkan Ekonomi Kreatif antara Tuntutan dan Kebutuhan,
Jakarta: Rajawali Press
Tarigan, Antonius dan Tatag Wiranto (2002) Kemitraan bagi Pengembangan Ekonomi Lokal,
dalam Forum Inovasi, Capacity Building & Good Governance, Vol. 4: September-Nopember
2002
Wheeler, Stephen M (2004) Planning for Sustainability, Creating Livable, Equitable, and
Ecological Communities, NY: Routledge

109

KERJASAMA ANTAR DAERAH


DALAM PERSPEKTIF SOUND GOVERNANCE
Tjahjanulin Domai
ABSTRACT: The recent decentralization and local autonomy policies in
Indonesia has brought some implications such as the changing pattern of the
relationship between the governmental levels and the greater authority on the
local government, as well as the opening of the opportunity for the local to do
interregional cooperation. However, Farazmand observes some barriers against
this cooperation involving: untrustworthy, power domination, excessive
expectation, political and cultural environment, religion, ethnic and racial.
Keywords: Decentralization, Intergovernmental Relation and Sound
Governance

PENDAHULUAN
Kerjasama Antar Daerah
Dalam periode pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kerjasama
antar daerah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang demikian signifikan.
Muncul dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga kerjasama ini merupakan
respon terhadap perubahan pola relasi antar lapis pemerintahan dan kewenangan
yang besar pemerintah daerah sebagai implikasi dari diterapkannya kebijakan
desentralisasi di Indonesia (Pratikno dkk, 2007).
Perubahan-perubahan ini semakin membuka lebar jalan bagi pemerintah
daerah untuk melakukan kerjasama, baik dengan pemerintah daerah lain maupun
dengan aktor non negara.
Pada sisi yang lain, desentralisasi juga membuka tantangan dan peluang
baru di ranah daerah, yang akan menjadi sangat sulit bagi daerah untuk
meresponnya secara efektif tanpa terbangunnya suatu kerjasama yang memadai
(Pratikno dkk, 2007). Sebagai contoh, peluang pengembangan ekonomi, misalnya
pariwisata, yang berada dalam suatu kawasan daerah tertentu akan sangat tidak
efektif pengelolaannya jika hanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Bahkan tidak
jarang pula yang malah menimbulkan konflik baru antar daerah.

110

Senada dengan pendapat Pratikno dkk (2007) tersebut Paterson (2008)


mengatakan banyak pemerintah lokal saat ini yang mencari metode baru untuk
mengurangi pengeluaran dan menjaga kualitas jasa, mereview sistem layanan,
menetapkan prioritas, dan menentukan layanan mana yang diberikan lewat tatanan
alternatif.
Alternatif untuk pemberian jasa yang digunakan pemerintah lokal bisa
meliputi: kontrak dengan perusahaan privat, organisasi sukarela, kelompok
lingkungan, waralaba, subsidi kepada pemberi jasa langsung, penggunaan buruh
berdonasi, penentuan ongkos dan beban user untuk menutup biaya jasa, dan
negosiasi persetujuan kooperatif antar-pemerintahan. Penggunaan persetujuan
kooperatif untuk pemberian jasa adalah salah satu alternatif bagi pemerintah lokal.
Paterson (2008) mengatakan kerjasama antar-pemerintah adalah sebagai
tata cara yang digunakan antara satu atau lebih pemerintahan dalam mencapai
tujuan bersama, pemberian jasa atau pemecahan masalah. Contoh dari kerjasama
ini berkisar dari tindakan informal dan/atau pertukaran informasi atau peralatan,
kepentingan pengadaan layanan bersama atau proyek pengairan, sampah, limbah,
dan drainase bersama, sampai tatanan formal, termasuk persetujuan legal yang
mengikat. Survey yang dijalankan New York State Department of State di tahun
1981 dan 1982 menunjukkan kooperatif formal dan informal dengan pemerintah
lain.
Kerjasama pembangunan dan pemanfaatan sumber daya antar daerah
dimaksudkan agar dapat mengurangi kesenjangan antar daerah, mengendalikan
konflik, meningkatkan pelayanan, pemberdayaan peran serta masyarakat dan
meningkatkan efisien dan efektivitas pemanfaatan sumber daya, sehingga
terwujud pembangunan yang serasi, selaras dan seimbang sesuai kedudukan,
peran dan fungsinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi,
keanekaragaman potensi masing- masing dalam satu manajemen terpadu.
(Tasmaya, 2007).
Dalam literatur disebutkan bahwa kerjasama memiliki derajat yang
berbeda, mulai dari koordinasi dan kooperasi sampai pada derajat yang paling

111

tinggi yaitu collaboration (Thomson, 2001; Thomson dan Ferry, 2006). Para
ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan terletak dalam kedalaman
interaksi, integrasi, komitmen, dan kompleksitas dimana cooperation terletak
pada tingkatan terendah, sedangkan collaboration pada tingkatan yang paling
tinggi. (Keban, 2007).
Ramses dan Bowo (2007) mengatakan kerjasama pada hakekatnya
mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih berinteraksi secara dinamis untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian ini terkandung tiga unsur
pokok yang melihat pada suatu kerangka kerja sama, yaitu unsur dua pihak atau
lebih, unsur interaksi, dan unsur tujuan bersama. Jika satu dari tiga unsur tidak
termuat dalam suatu obyek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek
tersebut tidak terdapat kerjasama.
Unsur

dua

pihak,

selalu

menggambarkan

suatu

himpunan

dari

kepentingan-kepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi, saling


interaksi untuk mewujudkan tujuan bersama urgen dilakukan. Apabila hubungan
atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing
pihak, maka hubungan dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Suatu interaksi
meskipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerjasama. Suatu interaksi yang
ditujukan untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak, dan pada saat yang
bersamaan merugikan kepentingan pihak- pihak lain yang terlibat dalam proses
interaksi, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan pihakpihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi dan selaras.
Pelaksanaan kerjasama hanya dapat tercapai apabila diperoleh manfaat bersama
bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Apabila suatu pihak dirugikan dalam
proses kerjasama, maka kerjasama tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai
keuntungan atau manfaat bersama dari kerjasama, perlu komunikasi yang baik
antar semua pihak dan pemahaman yang sama terhadap tujuan bersama.
Alasan lain dilakukannya kerjasama antar pemerintah daerah adalah:
1. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat membentuk kekuatan yang lebih
besar. Dengan kerja sama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-

112

masing daerah yang bekerja sama dapat disinergikan untuk menghadapi


ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau
ditangani sendiri-sendiri. Melalui bekerja sama untuk mengatasi hambatan
lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
2. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat mencapai kemajuan yang lebih
tinggi. Dengan bekerja sama masing-masing daerah akan menstransfer
kepandaian, keterampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu
belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan
berusaha memajukan atau mengembangkan diri dari hasil belajar bersama.
3. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan kerja sama,
masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih
baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur
pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri
memperjuangkan kepentingannya, mungkin kurang diperhatikan, tetapi
bila masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya
akan lebih diperhatikan.
4. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat memperkecil atau mencegah
konflik. Dengan kerja sama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat
atau sudah terlibat konflik dapat bersikap lebih toleransi dan berusaha
mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut.
5. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah
akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam
melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat
kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau
digunakan.
6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memerlukan keberlanjutan
penanganan bidang- bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerja sama
tersebut

masing-masing

menghianati

patnernya

daerah
tetapi

memiliki

komitmen

untuk

tidak

memelihara

hubungan

yang saling

menguntungkan secara berkelanjutan.


7. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerjasama
tersebut, kecenderungan ego daerah dapat dihindari, dan visi tentang

113

kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh (Keban,


2007).
Selanjutnya Hamdi (2007) mengatakan bahwa: Pertama, setiap daerah
dalam semua tingkat perkembangan, telah memiliki pemahaman bahwa akan
memetik

manfaat

dari

pengembangan

jaringan

kerjasama

untuk

lebih

meningkatkan kemajuan daerahnya. Kedua, kerjasama tersebut berlangsung


secara sukarela dan merupakan suatu kebutuhan atas dasar pemahaman bahwa
terdapat saling ketergantungan atau saling pengaruh-mempengaruhi antar daerah.
Oleh karena itu untuk mengembangkan pemahaman dan kesediaan bekerjasama
dalam rangka pembelajaran untuk secara terus menerus membangun kapasitas
tersebut diperlukan kepemimpinan pemerintah nasional dalam memotivasi
pemerintah daerah untuk bekerjasama, terutama melalui instrumen kebijakan dan
peraturan yang berskala nasional.
Ramses dan Bowo (2007) mengatakan kerjasama antar pemerintah daerah
otonom pada semua jenjang dan lembaga lainnya adalah kebijakan yang penting
karena alasan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan urusan-urusan yang bersifat lintas daerah otonom yang terkait
dengan pelayanan masyarakat dapat efektif dan efisien jika dilaksanakan
bersama secara sinergi antar daerah otonom. Aspek- aspek pelayanan
masyarakat tertentu menjadi optimal jika dilaksanakan secara terpadu oleh
daerah yang berbatasan
2. Solusi yang optimal atas masalah tata ruang, lalu lintas dan transportasi,
penanggulangan sampah, penyediaan air bersih, penanggulangan banjir dan
pelestarian daerah aliran sungai sebagai masalah bersama, hanya dapat
dicapai melalui kerjasama. Hubungan sebab akibat pemanfaatan ruang,
mobilitas penduduk dengan segala implikasinya menimbulkan masalahmasalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama
Berdasarkan kompleksitas masalah dan meluasnya tuntutan demokratisasi
dan

keterbukaan,

maka

kerjasama

antar

114

daerah

otonom

urgen

agar

penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih efektif, efisien dan responsif


terhadap kebutuhan daerah otonom sekitar.
Bentuk Kerjasama Antardaerah
Secara teoritis, istilah kerjasama (International Relation) telah lama
dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan
(Rosen dalam Keban, 2007). Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk
mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau
pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana
pembelian dalam skala besar atau melebihi threshold points, akan lebih
menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya
overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing
dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan
seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan
administrator. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya
dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak
dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal
harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan
orang dewasa, transportasi. Kerjasama antar Pemerintah Daerah adalah suatu
bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam
bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas
pelayanan yang lebih baik.
Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah
menjadi isu penting di negara maju (Henry dalam Keban 2007) dimulai dari
bidang yang sangat terbatas seperti kepolisian dan pemadam kebakaran dimana
antara satu kota dengan kota lain telah dilakukan perjanjian kerjasama saling
bantu membantu menghadapi krisis seperti kebakaran dan bencana lainnya.
Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme kerjasama ini tidak hanya diterapkan
pada situasi emergency saja tetapi juga pada pengaturan kerjasama untuk
membeli jenis-jenis pelayanan tertentu dari perusahaan swasta atau dari
pemerintah lain, ataupun dari NGOs. Khusus cooperative agreements yang
dilakukan antar Pemerintah Daerah semula lebih ditujukan pada (1) kegiatan

115

tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak bersifat
permanen, (4) sebagai stand-by provision yang baru dilaksanakan bila kondisi
tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan/diijinkan oleh badan legislatif.
Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1)
Intergovernmental Service Contract; (2) Joint Service Agreement, dan (3)
Intergovernmental Service Transfer (Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama
dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis
pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau
ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua di atas biasanya dilakukan
untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan
tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan
perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol
kebakaran, pembuangan sampah. Jenis kerjasama ketiga merupakan transfer
permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang
pekerjaan

umum,

prasarana

dan

sarana,

kesehatan

dan

kesejahteraan,

pemerintahan dan keuangan publik.


Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu
kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu
bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (Rosen dalam Keban, 2007). Bentukbentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas :
a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan
atas perjanjian tertulis
b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas
perjanjian tertulis.
Bentuk handshake agreements merupakan bentuk yang banyak
menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk
yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan
bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus
diucapkan dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan
kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi

116

dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan
konflik.
Disisi lain menurut Rosen dalam Keban (2007) dalam pengaturan
kerjasama (forms of cooperation Arrangements) terdiri atas beberapa bentuk
yaitu:
a. Constantia, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya,
karena lebih mahal bila ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian
perpustakaan dimana sumberdaya seperti buku-buku, dan pelayanan
lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa, pelajar dan
masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri
karena lebih mahal.
b. Joint Purchasing, yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan
pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian
lebih besar.
c. Equipment Sharing, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan
yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan.
d. Cooperative

Construction,

yaitu

pengaturan

kerjasama

dalam

mendirikan bangunan, seperti pusat rekreasi, gedung perpustakaan,


lokasi parkir, gedung pertunjukan, dan sebagainya.
e. Joint Services, yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan
publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana
setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan
tersebut.
f. Contract Services, yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu
mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu,
misalnya pelayanan air minum, persampahan, dan sebagainya. Jenis
pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke
pihak yang lain.
Meskipun demikian, pengalaman menunjukan bahwa bentuk dan metode
kerjasama di atas seringkali mengalami masalah dalam pelaksanaannya (Rosen,
1993). Karena berkaitan dengan keterlibatan masing-masing daerah yang

117

memiliki jurisdiksi yang berbeda, maka terjadi kesulitan dalam pengaturan jadwal
penggunaan sumberdaya yang disepakati dan pembebanan biaya untuk kerjasama,
yang pada gilirannya sering memunculkan friksi atau konflik. Hal tersebut sering
terjadi karena ada daerah merasa adanya pembebanan lebih (overcharge) terhadap
dirinya, sementara yang lainnya merasa kurang mendapat pelayanan yang
seharusnya ia terima. Masyarakat juga merasa terbebani bila lokasi pelayanan
tersentralistis (gabungan) karena harus mengeluarkan biaya transport yang relatif
lebih besar dibandingkan dengan ketika memiliki pelayanan sendiri. Disamping
kesulitan transport sering diungkapkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan,
juga masyarakat merasa terasing bila dilayani oleh pihak-pihak baru.
Pembelian secara terpusat melalui suatu kerjasama (joint purchasing) juga
tidak luput dari kritikan. Standardisasi barang yang dibeli sering menjadi masalah,
karena ada daerah yang merasa barang yang dibeli telah sesuai dengan standard
keinginannya, sementara yang lain belum. Seringkali, terdapat kesulitan dalam
memenuhi harapan dari pihak-pihak yang bekerjasama (Rosen, 1993).
Di negara sedang berkembang, kerjasama antar Pemerintah Daerah sering
nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti Integrated Area
Planning (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau
kompleksitas dari masalah-masalah yang dihadapi karena tidak dapat ditangani
dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batas-batas wilayah administratif.
Memang harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar daerah belum nampak
sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau keputusan internal
suatu Kabupaten atau Kota ataupun juga Provinsi sering berkaitan dengan
permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pengalaman menunjukan
bahwa banyak permasalahan pada suatu Kabupaten atau Kota atau juga Provinsi
justru muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah
lain seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan. Pendek
kata, suatu perencanaan atau kebijakan yang dibuat oleh suatu Kabupaten atau
Kota, atau juga Provinsi, sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi
Kabupaten atau Kota, ataupun Provinsi lain. Dalam kondisi seperti ini, fungsi

118

perencanaan yang bersifat integratif dan koordinasi horisontal merupakan kunci


utama.
Munculnya model integrated area planning ini diharapkan dapat
mengurangi berbagai konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan
mengefektifkan

pembangunan

sektor-sektor

tertentu

dan

institusi

yang

berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan mengesampingkan


batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi terhadap
kekurangan-kekurangan perencanaan sektoral khususnya koordinasi antar sektor,
dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang
mungkin tidak sesuai dengan batas-batas wilayah administratif yang ada) seperti
daerah aliran sungai (DAS) dan pembangunan pedesaan yang kemudian dikenal
dengan integrated rural development.
Meskipun model ini cukup diandalkan pada masa lalu, tetapi terdapat
hambatan penting yang perlu diperhatikan. Hambatan tersebut menyangkut
masalah struktur (organisasi) yang menangani integrated area development.
Struktur yang ada adalah struktur yang formal yang dibentuk sesuai unit-unit
politik dan administratif yang ada, seperti dinas-dinas dan lembaga-lembaga
teknis masing-masing Kabupaten/ Kota atau Provinsi. Struktur formal ini tidak
dirancang untuk menangani hal tersebut, akibatnya model ini kurang mendapat
dukungan otoritas formal, yang berarti sulit diimplementasikan dan sulit berhasil.
Jalan keluar yang pernah ditawarkan adalah (1) membentuk suatu struktur
yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditempatkan di
area yang bersangkutan, atau juga dibuat oleh pemerintah lokal atau perusahaan
swasta yang diberi status khusus; (2) membentuk tim konsultan perencanaan dari
luar area, untuk mempersiapkan perencanaannya; dan (3) melakukan reformasi
struktur organisasi yang ada dan memperbaiki kemampuan para staff yang ada
untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan rencana dan memperkuat
hubungan horisontal antar sektor serta memperlemah hubungan vertikal.
KEBIJAKAN
NORMATIF

KERJASAMA

ANTARDAERAH

119

DALAM

KAJIAN

Kerjasama antar daerah secara formal telah diberikan payung hukum


melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal
87 ayat (1) yang menyatakan bahwa beberapa daerah dapat mengadakan
kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama, (2) daerah dapat
membentuk badan kerjasama antar daerah, (3) daerah dapat mengadakan
kerjasama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama, (4)
keputusan bersama dan/atau badan kerjasama, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yang membebani masyarakat dan daerah harus
mendapatkan persetujuan DPRD masing-masing.
Selanjutnya pada pasal 88 ayat (1) daerah dapat mengadakan kerjasama
yang saling menguntungkan dengan lembaga/ badan di luar negeri, yang diatur
dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan pemerintah,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) tata cara, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah.
Peluang adanya kerjasama Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 diganti
dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 195 ayat (1) yang
menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah
dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling
menguntungkan.
Selanjutnya pada pasal 196 lebih menegaskan perlunya kerjasama
pelayanan publik. Ayat (1) pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan
dampak lintas daerah ditata bersama oleh daerah terkait, ayat (2) untuk
menciptakan efisiensi, darah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama
dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat, ayat (3) untuk
pengelolaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), daerah
membentuk badan kerjasama, ayat (4) apabila daerah tidak melaksanakan
kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pelayanan publik
tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah.

120

Kebijakan kerjasama tersebut di atas diperkuat dengan terbitnya Peraturan


Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang tata cara pelaksanaan kerjasama daerah.
Khusus pasal 4 pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan bagi
masyarakat oleh pemerintah yang berupa pelayanan administrasi, pengembangan
sektor unggulan dan penyediaan barang dan jasa rumah sakit, pasar, pengelolaan
air bersih, perumahan, perparkiran dan persampahan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kerjasama daerah merupakan sarana untuk
lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah
yang lain, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar
daerah serta meningkatkan pertukaran pengetahuan teknologi dan informasi.
Melalui kerjasama daerah diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang berada di wilayah
terpencil, perbatasan antar daerah dan daerah tertinggal. Obyek yang dapat
dikerjasamakan meliputi seluruh urusan yang menjadi kewenangan daerah
otonom, aset daerah dan potensi daerah serta penyediaan pelayanan umum.
Pelaksanaan kerjasama harus berpegang pada prinsip efisiensi, efektivitas, sinergi,
saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikat baik, persamaan kedudukan,
transparansi, keadilan dan kepastian hukum. Obyek kerjasama merupakan faktor
utama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kerjasama untuk selanjutnya
menentukan pilihan bentuk kerjasama yang akan dilaksanakan.
Dalam rangka mewujudkan keserasian pembangunan yang bertumpu pada
laju pertumbuhan antar daerah di wilayah Perkotaan Yogyakarta yang semakin
pesat, serta untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul di wilayah Kabupaten
Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, maka perlu mengadakan
kerjasama pengelolaan prasarana dan sarana perkotaan, tindak lanjut tersebut
ketiga pemerintah daerah mengeluarkan keputusan bersama Bupati Bantul, Bupati
Sleman dan Walikota Yogyakarta Nomor: 18 tahun 2001, Nomor: 01/PKKDH/2001, dan Nomor: 01 tahun 2001 tentang kerjasama pengelolaan prasarana
dan sarana perkotaan antar Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota
Yogyakarta.

121

Apabila dicermati secara teliti pada dasarnya keempat regulasi tersebut


memiliki prinsip dasar yang sama dan saling melengkapi. Kerjasama antar daerah
dilakukan

untuk

meningkatkan

kesejahteraan

rakyat

didasarkan

pada

pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinkronisasi program


kegiatan, sinergi dan saling menguntungkan serta untuk mengatasi permasalahan
bersama untuk daerah.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
DALAM KAJIAN EMPIRIK

KERJASAMA

ANTAR

DAERAH

Kebijakan yang diambil dalam melaksanakan kerjasama antar daerah


meliputi kerjasama dengan daerah perbatasan dan kerjasama dengan daerah lain
yang tidak berbatasan. Kajian kerjasama daerah dengan daerah yang berbatasan,
dilakukan terutama dengan penekanan untuk menyelesaikan dan mengantisipasi
timbulnya masalah perbatasan serta mengoptimalkan dan mengefisiensikan
penggunaan sumberdaya dan sumber dana daerah.
Kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman dan Kabupaten Bantul, sebagai implementasi dari kerjasama ketiga daerah
tersebut adalah aktivitas untuk mengatasi masalah-masalah aglomerasi perkotaan
seperti jalan, air bersih, air limbah, transportasi, persampahan, dan drainase.
Diharapkan dengan terjalinnya kerjasama ketiga daerah ini dapat meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pencapaian kepentingan bersama dalam pengelolaan
kawasan Perkotaan Yogyakarta.
Menurut Suryakusumo (2008) keterbatasan masing-masing daerah
merupakan suatu peluang untuk bekerjasama dengan daerah sekitarnya. Dalam hal
ini masing-masing daerah dapat mengambil keuntungan dari pada melakukan
secara sendiri. Kerjasama antar daerah akan dapat terlaksana jika terdapat dua
atau lebih daerah yang berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama dalam posisi
yang setara, seimbang serasi dan selaras dan dituangkan kedalam nota
kesepahaman.
Kenyataannya kerjasama antar daerah dibeberapa daerah, bisa dikatakan
berhasil dilaksanakan. Karena dengan adanya kerjasama antar daerah, setiap

122

masalah yang muncul bisa diatasi bersama. Sehingga masing-masing pemerintah


daerah bisa mensinergikan konsep pembangunannya.
Terbentuknya Badan Kerjasama antar daerah dibeberapa daerah memang
cukup bervariasi. Karena dasar terbentuknya pada nota kesepahaman yang dibuat
masing-masing daerah. Contohnya BKAD di kawasan Banjarnegara, Banyumas,
Purbalingga, Cilacap dan Kebumen. Badan kerjasama juga dibentuk di Kabupaten
Boyolali, Sukoharjo, Karangayar, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Lembaga
kerjasama yang diberi nama Pengembangan Ekonomi Wilayah atau Regional
Economic Development terbentuk atas kerjasama pemerintah Indonesia dengan
pemerintah Jerman.
Kerjasama lintas wilayah provinsi juga terbentuk di Kabupaten Pacitan
(Jawa Timur), Wonogiri (Jawa Tengah) dan Gunung Kidul (Daerah Istimewa
Yogyakarta), dengan nama Pawonsari kerjasama antar kota Surabaya dan
Kabupaten Sidoarjo dengan nama Su-Si, kerjasama Kota Bogor dengan Kota St.
Louis, Amerika Serikat. Kerjasama Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Kota
Hue Vietnam, Provinsi Thua Thien Hue. Kerjasama juga dilakukan oleh Provinsi
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Riau dan Kalimantan Barat.
Mencermati uraian tersebut di atas sejalan dengan dimensi-dimensi sound
governance dari Farazmand (2004) yaitu dimensi proses yang mengatur interaksi
stakeholders yang terlibat dalam kerjasama, dimensi struktur, proses ini
menjelaskan

bagaimana

governance

dijalankan,

dimana

struktur

ini

mendefinisikan dan memberikan arahan bagi proses.


Sound governance memiliki sebuah struktur yang padat, legitimat,
kompeten dan dinamis dalam bentuk dan substansinya. Dimensi konstitusi adalah
dokumen pembimbing fundamental yang merupakan cetak biru bagi governance
dan konstitusi adalah sumber legitimasi. Dimensi organisasi dan institusi
mengungkapkan institusi tanpa organisasi yang jelas dikatakan rapuh dan
cenderung hancur sebaliknya organisasi tanpa institusi yang rapuh dan berpeluang
kecil untuk bertahan. Karena itu dimensi ini menjadi komponen integral bagi
sound governance. Dimensi manajemen dan kinerja adalah ibarat sebuah lem,

123

tepatnya transmisi sistem yang membuahkan hasil yang diinginkan. Manajemen


harus didukung oleh pengetahuan, teknologi, kapasitas, sumberdaya dan
keterampilan. Dimensi kebijakan ini memandu dan memberikan arahan bagi
institusi dan organisasi governance untuk mencapai tujuan dan target yang
diinginkan.
Dimensi kesadaran dan nilai mewakili sistem nilai yang unik dan tidak
biasa dalam struktur/proses governance misal sistem governance yang tidak sehat,
korup dan miskin biasanya tergantung pada kekuatan eksternal, tingkat
kompleksitas, keragaman dan intensitasnya rendah. Sound governance memiliki
nilai-nilai yang sehat dan dinamis, misalnya: keadilan, kesetaraan dan integritas.
Dimensi etik, akuntabilitas, dan transparansi merupakan hal yang penting dalam
sound governance.

Etika

yang implementatif dapat

mencegah

potensi

penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, juga mencegah orientasi kerja birokrasi


yang hanya murni ekonomis dan administratif belaka. Birokrasi bekerja untuk
mencapai efektivitas dan efisiensi dan berorientasi kepada kepentingan publik.
Dimensi sektor dari governance dikatakan penting karena difokuskan pada sektor
spesifik, seperti industri, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, dalam dimensi
ini diperlukan adalah partisipasi langsung dari masyarakat, manajemen yang
handal, pengetahuan dan skill dalam hal kinerja organisasi.
Kerjasama antar daerah adalah sebagai bentuk respon atas kompleksitas
persoalan yang berkembang harus dibangun dalam kerangka yang komprehensif, dengan
melibatkan banyak pihak yang terkait.
Oleh karena itu setiap kerjasama antar daerah harus didasarkan pada kepentingan
bersama, maka proses pembentukan kerjasama antar daerahpun haruslah bersifat
partisipatif dan fleksibel sehingga dapat melahirkan konsensus. Konsesus ini tidak akan
terbentuk tanpa adanya pengakuan kesetaraan, kesukarelaan dan otonomnya setiap pihak
yang terlibat. Sehingga, kerjasama antar daerah merupakan bentuk relasi secara
horizontal antar daerah.
Nilai kerjasama antar daerah yang berbasis old public administration berbeda
dengan nilai New Public Management dan nilai sound governance. Kerjasama antar
daerah yang berbasis old public administration pola organisasinya memiliki nilai pola

124

hubungan yang bersifat hirarkhis, yang melihat forum organisasi kerjasama sebagai unit
yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, diarahkan pada
tujuan tertentu, dalam pengambilan keputusan didominasi oleh pusat sebagai aktor
tunggal.
Kerjasama antar daerah yang berdasarkan New Public Managemen lebih
didasarkan pada inter relasi antar daerah yang masing-masing daerah bersifat bebas,
fleksibel dan mandiri. Untuk melakukan relasi satu daerah dengan daerah yang lain.
Selain itu tidak ada struktur kewenangan yang bersifat hirarkhis dan terpusat. Dalam
kerjasama antar daerah yang berbasis New Public Management lebih menekankan pada
pembuatan performance indikator sebagai ukuran dalam kerjasama antar daerah
sehingga diperoleh nilai ekonomis, efisien dan efektif.
Kerjasama antar daerah yang berdasarkan sound governance ada empat aktor,
dan sepuluh dimensi. Keempat aktor membangun inklusifitas relasi politik antar negara,
masyarakat, dunia bisnis dan kekuatan internasional.
Dalam kerjasama antar daerah keempat aktor tersebut saling berinteraksi dalam
posisi yang setara, mandiri, saling menguntungkan, bersifat partisipatif dalam
aktivitasnya didukung oleh dimensi proses, struktur, kesadaran dan nilai, konstitusi,
organisasi dan institusi, manajemen dan kinerja, kebijakan, sektor, globalisasi, dan etika,
akuntabilitas dan transparansi.
Sound
Governance

Old Public

New Public

Administration

Management

Dari gambar tersebut di atas dapat dilihat ada hubungan secara konseptual
antara ketiganya, namun bila dilihat dimensinya Sound Governance sebenarnya
adalah pikiran-pikiran yang lebih kritis dan dinamis.
Untuk lebih jelasnya ketiga konsep tersebut di atas dapat dilihat pada tabel
berikut ini.

125

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Old Public Administration, New Public


Management dan Sound Governance
Old Public Administration
Hirarkhis
Tujuan jelas
Keputusan dari pusat
Aktor
tunggal
pemerintah

New Public Management


Hubungan bebas
Fleksibel
Mandiri
Kewenangan
tidak
hirarkhis
Efisien, ekonomi dan
efektif

BEBERAPA MASALAH
ANTAR DAERAH

POKOK

Sound Governance
Setara
Mandiri
Saling
menguntungkan
Partisipatif
Demokratis

IMPLEMENTASI

KERJASAMA

Kerjasama antar pemerintah daerah harus dilihat sebagai suatu kebutuhan


yang tidak terelakkan, sebagaimana dikatakan oleh Peterson (2008) kerjasama
antar pemerintah untuk mencari metode baru untuk mengurangi beban
pengeluaran, menjamin kualitas pelayanan jasa, menetapkan prioritas dan
menentukan layanan mana yang diberikan lewat kerjasama. Lebih lanjut
dikatakan kerjasama antar pemerintah sebagai tata cara yang digunakan antara dua
atau lebih pemerintahan dalam mencapai tujuan bersama, pemberian jasa atau
pemecahan masalah. Contoh dari kerjasama ini berupa tindakan informal,
pertemuan informasi atau peralatan, sampai tatanan formal, termasuk persetujuan
legal yang mengikat. Lebih lanjut dikatakan bahwa pejabat municipal di New
York memilih otoritas luas untuk membuat persetujuan antar pemerintah. Seperti
dikatakan pemerintah bisa menjalankan fungsi atau jasa yang dulunya dijalankan
secara individu, tapi sekarang secara bersama.
Kerjasama antar pemerintah adalah sebuah langkah signifikan. Meski
kondisi yang berbeda bisa menciptakan kerjasama, beberapa pertimbangan
mendasar mendapat perhatian pemerintah yang melakukan persetujuan kerjasama
sebagai berikut :
1) Ekonomi

skala,

sejumlah

layanan

yang

diberikan

pemerintah

mempermudah pencapaian ekonomi skala dimana biaya unit dari layanan


tersebut sekarang ketika volume layanan bertambah, layanan ini
memberikan peluang bagi kerjasama. Contoh layanan di pekerjaan umum,

126

pengelolaan air limbah, fasilitas kapital, air bersih, persampahan, sering


mengurangi biaya unit untuk operasi hingga pada biaya yang optimal.
2) Distribusi sumberdaya alam yang tidak sama, seperti lahan, air bersih,
transportasi, jalan dan drainase, sumberdaya ini dibutuhkan oleh
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, contoh kerjasama
layanan air bersih, tempat pembuangan akhir sampah.
3) Kegiatan

pembangunan

dan

pelayanan

kepada

masyarakat

suatu

pemerintah daerah tidak dapat dibatasi oleh wilayah administratif. Contoh


masalah drainase, pembuangan sampah, jalan, transportasi, pelayan
kesehatan, pendidikan, hal semacam memerlukan kerjasama antar
pemerintah daerah yang berbatasan.
Dalam pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah, yang menjadi cara
kerja dominan dan yang penting diperhatikan adalah membangun konsensus antar
aktor. Oleh karena itu, bentuk kerjasama seharusnya dibangun dengan fleksibel,
sehingga peluang perubahan dan penyesuaian selalu terbuka dalam pelaksanaan
kerjasama. Namun dalam kenyataannya ada beberapa hambatan dan pelaksanaan
kerjasama tersebut antara lain sebagai berikut :
1.

Kecenderungan ego daerah lebih menonjol dalam membangun kerjasama


antar pemerintah daerah

2.

Saling dan ketidakpercayaan antar aktor yang terlibat dalam kerjasama

3.

Gap sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang bekerjasama

4.

Kecenderungan adanya dominasi suatu daerah terhadap daerah yang lain


dalam pengambilan keputusan terhadap sektor yang dikerjasamakan

5.

Visi-misi yang berbeda antar pemerintah daerah


Permasalahan- permasalahan implementasi kerjasama tersebut di atas

sejalan dengan pemikiran Farazmand (2004) dalam sound governance. Bahwa ada
beberapa hambatan dalam implementasi membangun kerjasama antara lain
sebagai berikut :
(1) Ketidakpercayaan adalah hambatan utama dalam membentuk kerjasama
antar aktor yang terlibat dalam kerjasama

127

(2) Kecenderungan struktur kekuasaan untuk mendominasi secara global agar


yang bekerjasama menjadi patuh
(3) Harapan yang terlalu tinggi terhadap keberhasilan kerjasama yang
dilaksanakan
(4) Kondisi lingkungan potensial antar aktor ini berkaitan dengan idiologi,
politik dan budaya
(5) Agama dan budaya menjadi penghambat kerjasama antar pemerintah
(6) Etnis dan rasial juga menjadi hambatan dalam implementasi/ membangun
kerjasama antar pemerintah
KERJASAMA ANTARPEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PILIHAN
KEBIJAKAN
Dalam kebijakan publik model apa yang ditempuh suatu negara atau
pemerintah daerah dalam rangka menyelesaikan masalah secara bersama-sama
tidak lain dari bentuk pilihan kebijakan. Dalam memecahkan masalah lewat
kerjasama, ada kekurangan, ketidakefektifan, ketidakefisienan bahkan kegagalan
akan dapat dilihat dari tepat tidaknya kebijakan yang dipilih, dengan melihat pada
relung kebijakan yang paling mendasar, maka dapat dilihat dari sepuluh dimensi
dari Sound Governance, salah satunya berkaitan dengan Policy, yang
memberikan panduan, arahan dan kendali yang jelas bagi dimensi proses, struktur
dan manajemen. Salah satunya adalah eksternal dari organisasi governance, dan
ini berasal dari otoritas legislatif dari rakyat. Jenis kebijakan ini memandu dan
memberikan arahan bagi institusi dan organisasi governance untuk mencapai
tujuan dan target yang diinginkan. Tipe kedua kebijakan adalah yang internal
organisasi dan institusi governance, ini adalah kebijakan organisasi atau panduan
kepada peran yang mendefinisikan dan menetapkan aturan, regulasi, prosedur dan
nilai yang digunakan untuk menghasilkan kinerja organisasi dalam misi dan
tujuan Sound Governance. Secara bersama, kebijakan eksternal dan internal
menjadi mekanisme kendali bagi kinerja organisasi Sound Governance. Semakin
tinggi keterlibatan warga negara dalam perumusan Policy semakin tinggi
kredibilitas dan legitimasi governance system.

128

Kerjasama antar pemerintah daerah sebagai pilihan kebijakan, mengingat


bisa saja pemerintah-pemerintah daerah dihadapkan pada masalah tertentu tidak
memanfaatkan untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah yang lain dalam
rangka mencari solusi yang diinginkan masih banyak pemerintah daerah di
Indonesia tidak menggunakan sebagai suatu pendekatan dalam memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi.
Hubungan antar pemerintah salah satu konsep pilar karena adanya suatu
janji, karena kalau pilihan kebijakan itu dengan benar maka dimungkinkan
pemerintah daerah itu memainkan peran kunci dalam rangka menjamin
keseluruhan sistem pemerintah daerah itu dikuasai dan digunakan untuk
kesejahteraan masyarakat daerah baik untuk kepentingan internal dan eksternal,
maka kerjasama antar pemerintah daerah harus direncanakan secara terintegrasi.
Sebagai suatu konsep hubungan antar pemerintah masih banyak para pakar
belum sepakat apa sebenarnya hubungan antar pemerintah. Menurut Kamus
Websters :
Hubungan antar pemerintah adalah keberadaan, atau
timbulnya

kerjasama

atau

secara

bersama-sama

dua

pemerintah atau jenjang atau level antar pemerintah, adanya


dua atau lebih pemerintah menjalin kerjasama.
Bagaimana memahami hubungan antar pemerintah tersebut menurut
Wahab (2009) mencoba menjelaskan suatu model cara pemerintah daerah
menjalin kerjasama satu sama lain. Adapun model tersebut :
1. The Coordinate Authority Model
Adapun cirinya adalah :
a. Pemerintah federal/ pusat dan daerah keduanya secara positif memiliki
kewenangan yang sama (setara)
b. Pemerintah federal/pusat dan daerah mempunyai kewenangan otonom di
masing-masing wilayahnya
c. Hanya batas-batas yang tegas antara kekuasaan pusat dan daerah, satu
sama lain tidak bisa mencampuri

129

d. Pemerintah daerah, kota, kabupaten, provinsi mengikuti sistem satu


kesatuan (unitary)
Kritik terhadap The Coordinate Authority Model adalah :
a. Tidak ada batas yang tegas antar kewenangan pusat dan daerah,
demikian sebagian besar kekuasaan bulat jadi dinikmati baik oleh pusat,
pemerintah daerah
b. Aliran kewenangan kekuasaan dalam sistem ini tidak dengan sendirinya
punya arah yang jelas misal pusat ke daerah atau provinsi ke daerahdaerah meskipun pemerintah atasannya mempunyai kewenangan yang
dijamin oleh undang-undang atas pemerintah lokal

2. The Inclusive Authority Model


Adapun cirinya adalah :
a. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sama-sama dipengaruhi oleh
keputusan-keputusan yang dibuat oleh para aktor politik di tingkat
nasional dan dipengaruhi juga oleh kepentingan-kepentingan ekonomi
nasional.
b. Kekuasaan lembaga-lembaga di luar lembaga nasional seperti misal
Gubernur, anggota dewan sangat terbatas. Contoh Amerika Serikat
mengikuti pola ini sistem politik diatur secara hirarkhi dipengaruhi oleh
pusat. Tumbuhnya peluang kesempatan kerjasama hampir dipastikan
terjadi pada tingkat pusat dan daerah. (Negara bagian-pemerintah
provinsi-pemerintah daerah) kombinasi antara anggota provinsi dan
daerah cenderung menyamai anggaran yang dibutuhkan pada tingkat
pusat.
3. The Overlaving Authority Model
Adapun cirinya adalah :
a. Kekuasaan tersebut menyebar secara luas tidak semua tingkatan
pemerintah itu saling tergantung

130

b. Sinerginya tinggi masing-masing pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/


kota mempunyai wilayah-wilayah otonom yang eksklusifitasnya terbatas
masing-masing tingkatan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota
c. Antar hubungan diantara pemerintah atau lingkungan pemerintah dijalin
dalam suatu yang kompetitif maupun kooperatif
4.

Federal dan Negara Bagian yang Memiliki Otonom di Wilayah MasingMasing


Adapun cirinya adalah :
a. Tujuan pemerintah federal bersifat egaliter dan universal
b. Tujuan pemerintah daerah itu terbatas bersifat partikularistik hanya
terbatas pada wilayahnya sendiri

Apa dasar, basis hubungan antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi


dan pemerintah daerah adalah :
1.

Pemerintah pusat jelas pemegang uang,

2.

Pemerintah pusat itu butuh sumberdaya manusia, sumberdaya keorganisasian,


instansi-instansi tidak punya membutuhkan pihak yang menerima uang
pemerintah

3.

Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota punya sumberdaya manusia dan


sumberdaya keorganisasian dan instansi yang beragam pemerintah daerah
butuh uang untuk itu
Kalau dilihat model apapun pada hubungan antar pemerintah dan

ditempatkan sebagai bentuk wujud kebijakan yaitu bahwa rasanya tidak mungkin
memahami yang menyangkut model hubungan antar pemerintah jika kita tidak
memahami keunikan yang tersembunyi keberhasilan dan kegagalan kalau
mengimplementasikan kebijakan itu.
Konsep hubungan antar pemerintah untuk suksesnya memahami benar
konsep partnership sebagaimana dikatakan oleh Hetifah (2009) Partnership
adalah perspektif baru yang merupakan penjabaran dari governance. Partnership
diperlukan untuk melipat gandakan dukungan dari sektor publik dan sektor privat

131

dalam upaya membangun komunikasi. Pemerintah lokal terlibat dalam


partnership karena mereka harus memanfaatkan sumberdaya mereka yang
terbatas sebaik mungkin. Banyak program membangun komunikasi yang tidak
dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun oleh lembaga non profit. Mereka
menyadari bahwa membangun komunikasi akan lebih efektif jika dilakukan
bersama.
Menurut Wahab (2009) partnership membutuhkan komitmen yang tinggi
agar supaya proses perubahan yang diinginkan mampu untuk memperkuat posisi
masing-masing. Sebagai contoh dalam partnership masing-masing pihak harus
mematuhi ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maupun ketentuanketentuan dalam Memorandum of Understanding mereka, karena tidak lain itu
menyangkut peran dan tanggung jawab masing-masing. Misal kerjasama antar
pemerintah daerah tidak dirumuskan yang kuat untuk menjalankannya maka besar
kemungkinan terjadi kemacetan atau kegagalan dalam proses pengambilan
keputusan, dan menyepakati prosedur yang disepakati untuk menjalankannya.
Dengan kata lain Memorandum of Understanding dan bentuk prosedur serta
negosiasi yang lain perlu dijabarkan, dirasionalkan, dipahami dengan tepat dan
benar oleh masing-masing pemerintah daerah agar dapat menghindari penggunaan
yang sia-sia atas sumberdaya atau pemberian jasa layanan kepada masyarakat
yang berkualitas rendah atau capaian-capaian hasil yang tidak memuaskan, karena
itu perlu dilakukan secara teratur dan konsisten evaluasi terhadap pelaksanaan
peran dan tanggung jawab masing-masing secara lebih terbuka oleh pemerintah
yang menjalankan kerjasama tersebut dan dalam evaluasi tersebut perlu juga
melibatkan masukan dari masyarakat.
Harapan orang awam dan policy maker masalah-masalah yang ada dapat
mudah dipecahkan lewat kerjasama tersebut. Pengambilan keputusan akan mulus
tujuan tercapai secara efisien dan efektif.
Pastinya ada beberapa contoh Network Governance yang fleksibel dan
proaktif dengan dampak nyata kepembuatan kebijakan publik. Tapi masalahnya
adalah bahwa network governance, menggunakan proses sosial dan politik yang

132

banyak dan terjadi dalam konteks politik dan ekonomi yang tidak terkontrol.
Realitanya banyak hal yang bisa salah dan menghambat terjadinya network
governance yang efektif: yaitu (1) sulit memotivasi aktor untuk ikut serta karena
adanya biaya transaksi yang tinggi dan adanya peluang kecil dari seorang aktor
untuk mendapatkan pengaruh politik riil, (2) tidak mungkin menyelesaikan
konflik internal dalam network bisa mencapai solusi bersama, (3) penciptaan
network governance yang mandiri juga dianggap sulit karena minimnya legitimasi
dan sumberdaya, (4) kegagalan pemerintah untuk memahami tata cara
pelaksanaan network governance atau perlawanan politik dari aktor network
governance kegangguan eksternal, (5) perbedaan persepsi dari network
pemerintah dan network governance.
Permasalahan tersebut di atas berlawanan dengan pemikiran dari
Farazmand (2004) berkaitan dengan dimensi proses, dalam sound governance
melibatkan proses pemerintahan, dimana terjadi interaksi seluruh elemen atau
stakeholder yang ada, dimana proses menjelaskan bagaimana governance bekerja.
Disamping itu pula berlawanan dengan dimensi struktur dimana struktur adalah
kumpulan elemen, aktor, peraturan, prosedur, kerangka pengambilan keputusan
konstitutif. Sound governance memiliki struktur yang solid, berbekal informasi,
sah, kompeten, dan dinamis dalam bentuk maupun substansi, misal dalam public
governance pejabat-pejabat yang terpilih dan ditunjuk, stakeholder, lembaga
swadaya masyarakat adalah bagian dari struktur pemerintahan.
Merumuskan dan mengimplementasikan solusi memuaskan bagi kebijakan
yang tidak jelas dan kompleks jelas membutuhkan: (1) agar semua aktor yang
relevan dan yang terpengaruh bisa terlibat dalam negosiasi network, (2) agar aktor
mau mengumpulkan sumberdayanya. (3) agar mereka sepakat dalam konsepsi
sifat masalah, ragam opsi dan dalih pembuatan keputusan yang paling penting.
Tidak ada jaminan bahwa kebutuhan ini bisa dipenuhi. Realitanya, ada
serangkaian hambatan yang harus diatasi untuk menghasilkan penyelesaian
masalah yang sesuai dengan network governance.
Partisipasi aktor bisa terhambat oleh sifat tertutupnya network governance.
Schapp dan Van Twist (1997) dalam Sorensen dan Torfing mengatakan empat

133

bentuk ketertutupan dimana aktor tertentu mengabaikan aktor lainnya. Pertama,


ada ketertutupan sosial yang tidak disadari jika aturan, norma dan prosedur yang
meregulasi akses ke network governance ternyata mengabaikan aktor tertentu dari
network. Kedua, ketertutupan sosial bisa nyata jika aktor network menyadari
bahwa beberapa aktor relevan diabaikan. Ketiga, ada ketertutupan kognitif yang
tidak disadiri, dalam arti bahwa kerangka aktor network yang diskursif, aktor lain
diabaikan dari negosiasi dalam network governance. Terakhir ketertutupan
kognitif bisa jadi sadar ketika aktor network mempertimbangkan efek eksklusi
kerangka referesinya, tapi tidak mau merubahnya untuk menghasilkan untuk
menghasilkan partisipasi dalam network governance.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Farazmand (2004) dalam dimensi
kognisi dan nilai dimana kognisi dan nilai mewakili sistem nilai yang unik atau
tidak biasa dalam struktur dan proses governance. Misalnya: sistem governance
yang tidak sehat, korup dan miskin biasanya tergantung pada kekuatan eksternal,
tingkat kompleksitas, keberagaman dan intensitasnya rendah. Sound governance
memiliki nilai-nilai yang sehat dan dinamis misalnya keadilan, kesetaraan dan
integritas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. (1997). Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Edisi Kedua. Bumi Aksara. Jakarta.
Farazmand Ali (ed). (2004). Sound Governance Policy and Administrative Innovation. Praeger,
Westport, Connecticut. London.
Hamdi, M. (2007). Organisasi Kerjasama Antar Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintah Indonesia,
Jakarta.
Henry, N. (1995). Public Administration and Public Affair. Sixth Edition. Engle Wood Cliffs, N.J.
Prentice- Hall.
Hetifah, SJ. S. (2009). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Yayasan Obar Indonesia.
Jakarta.
Keban, Jeremias, T. (2007). Membangun Kerjasama Antar Pemerintah Daerah
Dalam Era Otonomi. Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
Paterson, DA. (2008). Intergovernmental Cooperation James A. Coon Local Government
Technical Series. Department of State, Lorraine A. CortesVazquez. Secretary of State New
York State.
Pratikno (ed). (2007). Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format
Kelembagaan. Program S2. PLOD. UGM. Yogyakarta.
Ramses, A. dan Bowo Fauzi. (2007). Kerjasama Antar Daerah Format Pengaturan dan
Pengorganisasian. Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia. Jakarta.
Rosen, E.D. (1993). Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London, Sage
Publications, International Educational and Professional Publisher.
Sorensen, Eva and Torfing. Jacob (2007) Theories of Democratic Network Governance Polgrave
Mac Milan Hound Mills Basingstoke, Hampshire RG21 GXS and 175 F1 7th Avenue, New
York, N.Y. 10010.

134

Suryokusumo, F.A. (2008). Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan. Penerbit
Sinergi Publishing, Yogyakarta.
Tasmaya, R.H. (2007). Kerjasama Antar Jabodetabekjur (Dalam Rangka Solusi
atas Masalah Bersama). Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia. Jakarta.
Thomson. (2007), Thomson dan Ferry (2006). Dalam Keban. Membangun Kerjasama antar
Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi, Jurnal Ilmu Pemerintah. MIPI. Jakarta.

135

SEGITIGA INOVASI: ANALISIS MEMBANGUN INOVASI PADA


PEMERINTAHAN DAERAH
Irwan Noor18
ABSTRAK: Inovasi menjadi bagian integral di dalam membangun
kemajuan suatu daerah. Namun sayangnya, tidak semua daerah terpicu untuk
mengembangkannya. Tiga faktor yang diidentifikasi berpengaruh di dalam
mengembangkan inovasi pada pemerintah daerah, yaitu kepemimpinan, iklim
organisasi, dan lingkungan politik. Dengan analisis segitiga inovasi serta
mempergunakan pendekatan sistemik, tulisan ini mengajukan sebuah model di
dalam mendesain inovasi pemerintahan daerah, yang disebut dengan LPC Model.

PENDAHULUAN
Dalam ranah administrasi publik, konsep inovasi mulai merebak sekitar
tahun 1990-an. Perkembangan ini dipicu dengan terjadinya pergeseran paradigma
administrasi publik, dari classic administration ke new public management
(NPM). Sebuah konsep yang memiliki banyak nama. seperti: Managerialism
(Pollit)19; Market-Based Public Administration (Lan and Rosenbloom)20; PostBureaucratic Paradigm (Barzeley)21; Entrepreneurial Government (Osborne and
Gaebler)22. Dalam hal ini Christopher Pollitt (1993) melihat New public
management sebagai contoh 'managerialism', yang dianggap lebih mirip sebuah
ideologi daripada teori.
Secara teoritis, konsep NPM merupakan adopsi nilai-nilai bisnis yang
dicoba-terapkan dalam sektor publik. Oleh karenanya, nilai-nilai kompetisi
menjadi sentra perbincangan dalam banyak kajiannya. Istilah Steering, not
rowing, sebagaimana dikemukakan Osborne and Gaebler (1993) seakan

18
19

20

21

22

Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya


Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American experience,
Oxford, Blackwell
Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public
Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 6
Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in government,
University of California Press
David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is
transforming the public sector, Plume

136

menjustifikasi

sektor

publik

untuk

mempraktekan

nilai

bisnis

dalam

perkembangan organisasinya. Keberhasilan pemerintah lokal (sektor publik)


diukur dari nilai-nilai kompetitif daerah bersangkutan. Istilah daya saing daerah
(local competitive advantage) kemudian muncul beriringan dengan maraknya
keberhasilan beberapa pemerintah lokal. Keberhasilan beberapa pemerintah lokal
di Selandia Baru, Canada, maupun di Indonesia (Gorontalo, Sragen, Jembrana)
kemudian dijadikan kiblat keunggulan konsep tersebut. Adapun pilar memicu
keunggulan bersaing atau kompetitifnya suatu daerah adalah keberhasilannya
dalam inovasi di pemerintah lokal tersebut.
Berangkat dari analogi keberhasilan beberapa pemerintah lokal karena
inovatif, menjadikan konsep inovasi merebak dan menjadi isu di dalam
mengukur keberhasilan suatu daerah. Gaung mantra inovasi didukung pula oleh
pembenaran secara teoritis, yuridis, maupun praktis. Secara teoritis atau
konseptual, beberapa laporan tentang makna pentingnya inovasi banyak
dipublikasikan. Seperti Publin Report (2005), yang berisi beragam hasil kajian
inovasi di sektor publik, seperti: On the differences between public and private
sector innovation (D9); The structure and size of the public sector in an enlarged
Europe (D14); Policy learning, what does it mean and how can we study it?
(D15); Studies of innovation in the public sector, a theoretical framework, (D16) ;
Report on the Publin surveys (D17); Innovation in the social sector case study
analysis (D18); Innovation in the health sector case study analysis (D19).
SCALES, Research Report H200303 (2003), Leadership as a determinant of
innovative behaviour, CESIS (2007), Paper No.105, Innovation Policy
Instruments. Atau beberapa kajian yang dilakukan beberapa ahli. Shapiro,
(2002:7), misalnya mengungkapkan: The winners will be the government that find
ways to release their innovative potential and apply it to the way they think and
the way they work, sedangkan Groot (2007), menyatakan bahwa: Innovative
local government: making public services more responsive. Farazmand
(2004:19) mengungkapkan Without policies and administrative innovation,
governance fall into decay and effectiveness, loses capacity to govern, and
becomes a target of criticism and failure. Jones, sebagaimana dikutip Martin
(993:2), menyatakan bahwa:

137

local governments main role is to help local


communities to learn to make strategic choices by balancing the
costs and benefits of efficiency, effectiveness, economic growth,
quality of life, social justice, participation and legitimacy. This
role, one suspects, demands a high level of innovation if local
government organizations are to be effective in their work
Sedangkan Mulgan dan Albury, (2003:2), menyatakan:
Innovation should be a core activity of the public sector:
it helps public services to improve performance and increase
public value; respond to the expectations of citizens and adapt
to the needs of users; increase service efficiency and minimise
costs. Moreover the public sector has been successful at
innovation in the past - effective government and public services
depend on successful innovation to develop better ways of
meeting needs, solving problems, and using resources and
technologies
Secara yuridis, khususnya pada pemerintah daerah di Indonesia, UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, khususnya pasa 2
ayat 3 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, jika dielaborasi lebih jauh
peraturan tersebut mengarah pada kemampuan daerah untuk kompetitif.
Sedangkan inovasi berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan (Ebner, 2004;
Lin, 2007) merupakan bagian integral bagi pencapaian kompetitif.
Secara praktis, keberhasilan beberapa daerah di Indonesia, seperti
Kabupaten Jembrana dalam melaksanakan program inovasi terbukti secara
signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hasil studi yang dilakukan
PPKSD FISIP UI dan Yayasan TIFA (2004) dalam kurun waktu 3-4 tahun,
Jembrana, dengan inovasi dalam kebijakan kesehatan, dapat mengurangi keluarga
miskin sebesar 44 persen (Tahun 2001 19,4 berkurang menjadi hanya 10,9 pada
tahun 2003). Prestasi lainya adalah kematian bayi per seribu lahir hidup pada
tahun 2001 sebesar 15,25 berkurang menjadi 8,39 atau berkurang 45 persen.

138

Inovasi bidang pendidikan, dapat mengurangi tingkat drop out (do) sekolah dasar
pada tahun 2001 menjadi 0,02 atau berkurang 75 persen. Selain itu beberapa
daerah telah banyak pula melakukan inovasi program untuk meningkatkan
kesejahteraan

rakyatnya.

Kabupaten

Banjarnegara

melalui

Pembenahan

Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara. Kabupaten


Deliserdang melalui pembentukan LEPP-M3 sebagai upaya pemberdayaan
ekonomi masyarakat pesisir. Kabupaten Gianyar melalui Gianyar Sejahtera
(Tifa,2004). Kabupaten Sumba Timur melalui pelatihan aparatur pemerintah desa
(Apkasi,2003 dalam Tifa 2004). Selain itu, Desember 2007, Kementerian Dalam
Negeri memberikan penghargaan tiga daerah paling inovatif (setelah disaring dari
36 daerah 10 daerah hingga jadi 3 daerah), yaitu: Kabupaten Sragen
merupakan

daerah

paling

inovatif

dalam

hal

manejemen

pengelolaan

pemerintahan daerah. Kabupaten Jembrana, inovatif dalam pelayanan publik,


sedangkan Kabupaten Kutai Timur menjadi daerah paling inovatif dalam
pemasaran promosi investasi daerah dan perizinan investasi (Harian Berita Sore,
2007). Selain itu, dampak signifikan bagi dari inovatif tergambar pada
peningkatan Indeks Pembangunan Manusia daerah bersangkutan.
Makna pentingnya inovasi sebagaimana diungkapkan di atas, menjadikan
inovasi bagian integral bagi pembangunan sebuah daerah. Namun dibalik itu
semua, tidak semua pemerintah daerah di Indonesia inovatif. Inovasi belum
menjadi bagian integral pada aktivitas pemerintahan, terutama pemerintahan lokal
di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Maret 2009, The Boston
Consulting Group (BCG), the National Association of Manufacturers (NAM), dan
The Manufacturing Institute (MI) mempublikasikan Global Innovation Index,
yang merupakan ukuran tingkat inovasi suatu negara, mengungkapkan negaranegara berkembang, termasuk Indonesia tidak seberuntung negara negara maju.
Rata-rata berada dalam rangking menengah ke bawah.
Pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa pemerintah lokal
(daerah), terutama di Indonesia kurang inovatif? Pertanyaan ini sebagai
reaksi makna pentingnya inovasi tersebut bagi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat suatu daerah. Sebagaimana dinyatakan di atas, inovasi memiliki

139

landasan teoritis yang kuat. Didukung secara yuridis di dalam pengembangnnya.


Banyak contoh (praktis) daerah-daerah menjadi maju karena inovasi. Pertanyaan
inilah yang dicoba elaborasi dalam artikel ini, yang didasarkan pada hasil
penelitian yang penulis lakukan.
METODE SEGI TIGA INOVASI
Secara teoritis, ada dua faktor dominan di dalam memahami inovasi
pemerintahan lokal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secara empiris Kim
menunjukkan dengan pengujian secara multiple regression analysis, bahwa faktor
internal dan eksternal berhubungan secara signifikan serta positip terhadap
perkembangan inovasi. Dalam faktor internal, dua komponen sangat berperan di
dalam pengembangan inovasi, yaitu kepemimpinan (gaya dan visi) dan iklim
organisasi (struktur organisasi dan pemberian imbalan). Selman (2004)
mengungkapkan:

Innovation and leadership are closely related. Leadership

always has some focus on bringing about a better future. In this sense, leaders are
necessarily innovators. Pada pandangan lain, dalam studi yang dilakukan
Gumusluoglu (2009:2) dinyatakan, bahwa leadership has important effects on
creativity at both the individual and organizational levels. Beberapa studi yang
dilakukan, seperti Senge (1990), Yoon (2006); Gumusluoglu (2009); Paulsen et.al
(2009); Makri and Scandura (2010), umumnya menunjukkan pentingnya
kedudukan pemimpin di dalam mengembangkan inovasi pada organisasi yang
dipimpimnya.
Berkenaan dengan konsep kepemimpinan dalam inovasi, beberapa kajian
memusatkan perhatian akan pentingnya gaya (leadership style) dan visi
kepemimpinan (leadeship vision) dalam menumbuhkan kembangkan inovasi.
Hansenfeld (2010:495), misalnya menyatakan : Innovation process require
different leadership style. Leadership styles have an important impact on
innovativenss (Katrinli, 2009:121). Pernyataan Bossink (2004:211) The
leadership styles and their characteristsics relate to process and product
innovations. Pada pandangan lain Jung, et.al (2003) maupun Zaccaro (2001)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah salah satu faktor kunci dalam
mempromosikan kinerja inovatif. Sedangkan Daft (2008:434) menyatakan the

140

leadership style of the top exucutive sets the tone for how effective organization is
at

acontinuous adaption and innovation.

Sedangkan keterkaitan visi

kepemimpinan dengan inovasi dikemukakan oleh Robertson (2002). Sedangkan


Hitt et.all (2007:428) dalam menjelaskan kaitan antara visi kepemimpinan dengan
inovasi menyatakan:

Effective leadership and shared values promote

integration and vision for innovation.


Faktor internal kedua yang sangat erat bagi perkembangan inovasi adalah
iklim atau budaya organisasi. Menurut Tushman (2006), budaya organisasi
terletak di jantung inovasi. a deeper understanding of how values and norms
induce innovative behaviour of individuals and firms is still lacking (Hartmann,
2006) organizational culture can foster motivation to innovate by stressing the
importance of innovation and defining the way to behave innovatively. (Hartmann,
2006). Martin (2000) mengungkapkan:

A culture of innovation is seen as

essential if local government organisations are to effectively manage and survive


in ever-changing environments. Oleh karenanya, A culture of innovation
provides an opportunity for local government to respond to pressing local needs
within legislative and financial constraints. Adapun untuk membentuk budaya
inovasi di perlukan kepemimpinan yang sangat bagus dalam arti ia mampu
berkomunikasi dengan apa yang dia kelola, baik langsung maupun tidak langsung.
Gumusluoglu dan lsev (2009) menyebutkan Leadership has been suggested to
be an important factor affecting innovation. A number of studies have shown that
leadership positively nfluences organizational innovation. Pada bagian mereka
mengungkapkan Innovation is defined as the successful implementation of
creative ideas within an organization .It has been suggested that leadership is
among the most important factors affecting innovation
Salah satu faktor yang jarang dikaji dalam membangun inovasi pada
pemerintah lokal adalah lingkungan politik (supra dan inpra struktur politik),
sebagai faktor eksternal. Padahal lingkungan politik merupakan faktor yang
sangat berperan di dalam merumuskan maupun di dalam pengimplementasian
sebuah kebijakan di dalam pemerintah daerah. UU 12 tahun 2008, sebagai revisi
UU 32 tahun 2004, menunjukkan peran lingkungan politik di dalam kehidupan

141

pemerintah daerah di Indonesia, terutama di dalam memilih kepala daerah


(pemimpin daerah). Berkenaan dengan peran pentingnya lingkungan politik ini
dikemukakan Doner (2009:2), dengan mengutip pendapat Bates (1995), political
leaders or ruling elites are thus key to the creation of institutional capacities,
whether in the bureaucracy, the private sector, or publicprivate networks.
Pernyataan ini senada dengan pandangan Parker dalam laporan IdeA (2009:19):
essential condition for innovation is that of political leadership and support.
Hal ini dikarenakan, sebagaimana dikemukakan Hambleton (2009:106),
politicians can play a powerful role in how particular
issues are framed, articulating why they matter, and creating
popular support for new approaches. When innovation is
needed not only in how services are delivered, but also in the
very relationship between citizens, professionals and the state,
public service managers need the support and the engagement
of politicians as well
Dengan demikian, lingkungan politik, di samping memiliki peran sebagai
faktor pengaruh di dalam mendesain inovasi di pemerintahan daerah, ia juga
menjadi faktor pengungkit di dalam mendesain inovasi. Dengan bahasa lain,
lingkungan ekternal banyak memberikan pengaruh yang signifikan bagi
pengembangan inovasi suatu organisasi.
Berangkat dari tiga komponen di atas, kepemimpinan, iklim organisasi dan
lingkungan politik, dapat dikemukakan bahwa inovasi pada pemerintahan lokal
sangat dipengaruhi oleh tiga faktor tersebut. Dengan mengadopsi model yang
dikembangkan Johannessen (2009)23, inovasi dapat digambarkan dalam segitiga,
seperti gambar 1 berikut:

23

Johannessen, Jon-Arild (2009), A systemic approach to innovation: the interactive innovation


model,Kybernetes, Vol. 38 Nos 1/2, pp. 158-176

142

Gambar 1. Innovation as Interactive Learning: a Systemic Model


Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa inovasi pemerintahan daerah
dipengaruhi oleh tiga faktor secara sistemik, Untuk membuktikan model
konseptual di atas, dilakukan penelitian di daerah kabupaten Jembrana. Pilihan
daerah didasarkan keberhasilan kabupaten Jembrana sebagai salah satu daerah
yang paling inovatif di Indonesia. Analisis sistem dipergunakan dalam kegiatan
penelitian ini. Dengan mengikuti alur pemikiran yang dikemukakan Sterman
(2000), yaitu (1) Problem Articulation: The Importance of Purpose; (2)
Formulating a Dynamic Hypothesis; (3) Formulating a Simulation Model; (4)
Testing, dan (4) Policy Design and Evaluation, dilakukan analisis sistem dengan
bantuan program Stella.
LPC MODEL: TEMUAN PENELITIAN
Simulasi tiga komponen dengan sistem dinamis memberikan petunjuk,
kendatipun iklim organisasi tidak langsung memberikan pengaruh pada
pertumbuhan inovasi, namun pengabaian terhadap faktor ini akan memberikan

143

pengaruh negatip bagi pertumbuhan inovasi. Berbeda dengan dua faktor lainnya,
yaitu kepemimpinan dan lingkungan politik, sangat berperan bagi pertumbuhan
inovasi. Pertumbuhan inovasi secara eksponensial mengikuti perkembangan
kedua faktor tersebut. Eksponensial positip maupun negatip dipengaruhi secara
langsung oleh kedua faktor tersebut. Hal ini digambarkan lebih lanjut pada grafik
di bawah ini.

Gambar 2. Analisis Sistem Dinamis terhadap Inovasi


Kepemimpinan yang memberikan nilai positip di dalam perkembangan
inovasi sangat dipengaruhi oleh faktor gaya kepemimpinan, visi kepemimpinan
yang inovatif dan partai politik pemenang pemilu. Adapun gaya kepemimpinan
(leadership style) maupun Visi kepemimpinan (leadership vision) dipengaruhi
oleh dukungan politik terhadap kepala daerah dan berpengaruh positip bagi iklim
organisasi. Demikian pula dengan iklim organisasi yang memberikan pengaruh
bagi pertumbunan inovasi suatu pemerintahan daerah, dipengaruhi oleh faktor
imbalan dan struktur organisasi maupun gaya kepemimpian kepala daerah.
Dimana masing-masing faktor sangat dipengaruhi oleh partai politik pemenang
pemilu. Dengan demikian, faktor supra maupun infra struktur politik, yang
merupakan faktor bagi lingkungan politik, merupakan faktor krusial untuk
mendesain inovasi suatu pemerintahan daerah. Temuan ini menunjukkan bahwa
analisis di dalam mendesain inovasi pemerintahan daerah sangat didukung oleh
faktor tersebut.
Dengan demikian, temuan dalam penelitian ini memberi petunjuk akan
kebenaran kontruksi teoritis yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama. Inovasi

144

pemerintahan daerah sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal,
yang terdiri dari kepemimpinan (visi dan gaya kepemimpinan) dan iklim
organisasi (struktur dan pemberian imbalan) serta faktor eksternal, yaitu
lingkungan politik (supra dan inpra struktur politik). Penelitian ini memberikan
kontribusi di dalam penguatan pandangan teoritis yang dibangun sebelumnya dan
memperjelas hipotesis dari Yoon (2006) leadership is a key factor for the success
of innovation. Hal ini dikarenakan pemimpin adalah aktor sentral yang berperan
dalam pengembangan inovasi. Seorang pemimpin yang memiliki visi dan gaya
kepemimpinan yang memahami lingkungan dimana ia berada. Visi kepemimpinan
seorang pejabat daerah adalah visi yang berangkat dari pemahaman akan potensi
daerah yang dilandasi oleh nilai-nilai kemasyarakatan. Tanpa pemahaman hal
tersebut, visi terkadang hanya menjadi kebutuhan administratif tanpa perwujudan
yang nyata. Namun sebaliknya, pemimpin yang memahami nilai di atas, maka
akan memunculkan dorongan untuk mewujudkannya. Keberhasilan pemerintahan
daerah Kabupaten Jembrana dalam berinovasi dilandasi oleh visi Bupati Jembrana
yang didasari oleh nilai-nilai kemasyaraatan dan nilai potensi daerah yang ada.
Oleh karenanya, dalam berinovasi tidak dijumpai inovasi dalam bidang
parawisata. Kendatipun jika diperhatikan provinsi Bali selalu mengandalkan
bidang parawisata. Namun, inovasi di Jembrana lebih diarahkan pada perbaikanperbaikan nilai dasar kemasyarakatan. Hal ini disebabkan secara sosial ekonomi
masyarakat di Kabupaten Jembrana lebih rendah dibanding daerah yang ada di
provinsi Bali. Pemahaman akan nilai kemasyarakatan sebagai visi kepemimpinan
Bupati Jembrana menjadikan inovasi dalam bidang pendidikan, kesehatan maupun
kepemerintahan berhasil dengan baik. Ini sama artinya, inovasi pada pemerintahan
daerah lebih banyak berhasil jika pejabat di daerah dapat memahami kebutuhan
dan nilai yang ada di masyarakat
Faktor kedua yang perlu diperhatikan di dalam mendesain inovasi adalah
pemahaman akan iklim organisasi, khususnya dalam varian struktur organisasi
dan kebutuhan karyawan yang berada di pemerintahan. Pemahaman kedua varian
ini sebenarnya pemahaman akan indikasi vertikal dan horinzontal. Seorang
pemimpin di daerah, khususnya dalam kapasitasnya sebagai pejabat di daerah
tidak terlepas dari dua kutub arah tersebut. Sebagai seorang pejabat, ia tidak

145

terlepas dalam kaitannya dengan pemerintah pusat. Oleh karenanya perhatian


terhadap struktur organisasi sebenarnya refleksi dari kepatutan daerah terhadap
pemerintahan pusat. Desentralisasi bukan berarti pemerintah daerah terlepas
penuh terhadap pemerintah pusat. Dalam koridor negara kesatuan, desentralisasi
masih ternaungi oleh negara kesatuan yang terkoordinir oleh pemerintah di
atasnya, baik provinsi maupun pemerintah pusat. Varian kedua yang membawa
dampak cukup signifikan bagi iklim organisasi adalah perhatian terhadap
karyawan yang ada di lingkungan pemerintahan daerah. Pembenahan mesin
birokrasi tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusian karyawan yang ada di
lingkungan organisasi tersebut menjadikan karyawan sebagai mesin birokrasi
yang kaku. Oleh karenanya perlu perhatian terhadap karyawan dalam bentuk
pemberian motivasi yang bersifat instrinsik pada karyawan. Dalam hal ini dapat
berwujud pemberian reward bagi karyawan yang inovatif. Perhatian organisasi
terhadap mesin birokrasi ini menjadikan karyawan dihargai. Penghargaan dapat
menumbuhkan kreativitas. Faktor inilah awal berkembangnya nilai-nilai inovatif
dalam organisasi.
Faktor ketiga yang perlu diperhatikan adalah lingkungan politik. Di
dasarkan pada uji statistik maupun simulasi terhadap masing-masing faktor,
ternyata faktor lingkungan politik memiliki kepekaan yang sangat signifikan bagi
pertumbuhan inovasi. Ketidak-seimbangan di dalam kondisi lingkungan politik
sangat berpengaruh bagi pertumbuhan inovasi. Dalam bahasa lain, lingkungan
politik adalah faktor yang sangat krusial bagi pengembangan nilai-nilai inovasi.
Sebagai pengungkit, jika faktor politik berjalan dalam kondisi yang stabil,
maka akan memberikan pengaruh positip bagi perkembangan yang cukup pesat
bagi inovasi. Namun, jika faktor politik berjalan daam ketidak seimbangan, yaitu
dalam arti sebagai disruption factors, maka inovasi yang dicanangkan tidak akan
berjalan.
Faktor politik inilah yang perlu mendapat perhatian bagi komponen
pemerintah daerah. Kemajuan daerah bukan tanggung jawab pemerintah daerah
semata. Lingkungan politik (partai politik maupun lembaga legislatif) mempunyai
tanggung jawab dan beban moral bagi kemajuannya. Inovasi tidak akan berjalan

146

dalam kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Perhatian terhadap faktor inilah
sering terbaikan. Hal ini terpampang dari kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Kebijakan inovasi lebih terarah pada membangun pemerintah daerah
inovatif, bukan membangun inovasi pemerintahan daerah. Dua konsep ini
memiliki makna yang berbeda. Jika membangun pemerintahan daerah inovatif
bermakna perombakan akan struktur, pola, budaya organisasi pemda agar mampu
menghasilkan sesuatu yang inovatif (ini membutuhkan waktu yang cukup lama),
maka membangun inovasi pemerintahan berarti mendesain cara yang dapat
diterapkan di pemerintahan daerah dengan tujuan agar dapat diterapkan di
pemerintahan daerah. Dalam hal ini, tanpa terjadi perombakan struktur, budaya
dan organisasi pemerintahan daerah.
Berangkat dari pengertian di atas, penelitian yang dilakukan ini, dengan
mempergunakan segitiga inovasi, mengungkapkan sebuah model di dalam
membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model, yaitu
Leadership, Political and Climate Model.Model ini digambarkan sebagai berikut:

Political
Environment

Local
Government
Innovation

Organization
al Climate

Leadership

Gambar 3. LPC Model


LPC Model di atas merupakan kontruksi hasil temuan lapangan yang
didasarkan pada model konseptual yang diajukan di atas (gambar 1). Model
pengembangan inovasi bagi pemerintah lokal (daerah) dilihat dari hubungan yang
bersifat sistemik dari berbagai faktor, baik internal maupun ekstenal. Khusus pada
faktor eksternal, yaitu lingkungan politik, baik supra maupun infra struktur

147

politik, dipandang sebagai faktor yang sangat krusial bagi pengembangan inovasi
pada pemerintahan daerah. Jika tingkat kerentanan sistemik inovasi pada
lingkungan politik yang tidak stabil cukup tinggi, maka muncul kelambatan dalam
pertumbuhan inovasi. Oleh karenanya, ada dua kemungkinan yang dapat
dilakukan berkenaan dengan kondisi ini. Pertama, ketika kerentanan inovasi
dalam lembaga pemerintah rendah, sedangkan lingkungan politik relatif stabil,
maka reformasi kelembagaan di tubuh pemerintah perlu dilakukan. Sebaliknya,
ketika iklim inovasi di lembaga pemerintah cukup baik, namun lingkungan politik
kurang stabil, maka reformasi politik perlu dilakukan. Dalam hal ini reformasi
politik bermakna penataan kelembagaan politik yang memiliki kemampuan
menyerap aspirasi dan mampu mengimpelmentasikan harapan publik. Dalam hal
ini, perlu pembenahan terhadap UU politik, baik lembaga legislatif maupun partai
politik, khususnya berkaitan dengan peran dan kedudukannya terhadap
pemerintah daerah, perlu dicerna lebih lanjut. Dan ini tentunya perlu kebesaran
dan keberanian untuk merubahnya. Jika tidak, capaian daerah yang inovatif boleh
jadi hanya sebatas persyaratan politik demi memenuhi UU pemerintahan semata.
PENUTUP
Inovasi merupakan kosa kata yang menjadi bagian integral bagi
pemerintah daerah. Ia dibutuhkan tidak hanya semata sebagai pemenuhan tuntutan
paradigma dalam kajian-kajian administrasi publik, tetapi telah menjadi tuntutan
dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat. Berangkat dari paparan di atas, ada
tiga komponen yang perlu memperhatikan di dalam membangun inovasi pada
pemerintahan daerah di Indonesia.
Pertama dibutuhkannya kepala daerah (pimpinan) yang memiliki
entrepreneurship visin, yaitu seorang pemimpinan daerah yang mampu membaca
nilai-nilai kemasyarakatan yang ada. Di samping itu, untuk mencapai nilai
pertama ini dibutuhkan gaya kepemimpina yang meletakan dirinya dalam
berbagai lingkugan. Untuk itu dibutuhkan gaya kepemimpinan situasional.
Berkenaan dengan hal ini, ada ada dua perilaku yang perlu diperhatikan seorang
pemimpin, yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Kedua, iklim organisasi.
Kendatipun komponen ini tidak begitu besar pengaruhnya di dalam membangun

148

inovasi, namun satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu
pemberian imbalan (kompensasi) bagi karyawan yang inovatif. Nilai ini menjadi
penting jika dikaitkan dengan motivasi karyawan di dalam menumbuhkan inovasi
dalam organisasi. Pemberian imbalan menjadi persyarat bagi pemerintah daerah di
dalam memicu inovasinya. Pemberian imbalan kepada karyawan merupakan
faktor pendorong muncul ide-ide kreatif dan inovatif. Ketiga, lingkungan politik.
Komponen ini merupakan faktor yang sangat krusial di dalam membangun
inovasi. Kegagalan di dalam memahami lingkungan politik, menjadikan inovasi
yang telah dicanangkan pemerintah daerah tidak akan terwujud. Supra dan infra
struktur politik adalah faktor pengungkit bagi terlaksananya inovasi. Kondisi
kondusif antara kepala daerah dengan lingkungan politik merupakan pemicu
utama di dalam mendesain inovasi. Sebaliknya, kegagalan yang terjadi di
pemerintah daerah di dalam inovasinya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan politik yang tidak kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Andreas Hartmann, (2006) "The role of organizational culture in motivating innovative behaviour
in construction firms", Construction Innovation: Information, Process, Management, Vol. 6
Iss: 3, pp.159 172
Bates, Robert H. 1995. Social Dilemmas and Rational Individuals: An Assessment of the New
Institutionalism. In The New Institutional Economics and Third World Development, John
Harriss, Janet Hunter and Colin Lewis, eds., 27-48. New York: Routledge.
Bossink, Bart A.G, 2004, Effectiveness of innovation leadership styles: a managers influence on
ecological innovation in construction projects, Construction Innovation; 4: 211228
CESIS (Centre of Excellence for Science and Innovation Studies), 2007, Innovation Policy
Instruments, Electronic Working Paper Series, Swedish Governmental Agency
Daft, Richard L., 2008, Organization Theory and Design, South-Western Cengage Learning 2191
Natorp Boulevard, Mason, USA
David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is
transforming the public sector, Plume
Doner, Richard F., Allen Hicken, Bryan K. Ritchie, 2009, Political Challenges of Innovation in
the Developing World, Review of Policy Research, Volume 26, Numbers 12
Ebner, Alexander, 2004, Innovation Policies and Locational Competitiveness : Lessons from
Singapore, Journal of Technology Innovation 12, 2
Farazmand, Ali, 2004, Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, Praeger
Publisher, 88 Post Road West, New York
Groot, Lucy de, 2007, New Local Government Network Conference, I&DeA: Improvement and
Development Agency, 15 November, http://www.idea.gov.uk/idk/core/page.do?pageId=1
Gumusluoglu, Lale, 2009, Transformational Leadership and Organizational Innovation: The
Roles of Internal and External Support for Innovation, Journal of Product Innovation
Management, Vol. 26, pp. 264-277, 2009
Gumusluolu, Lale; Ilsev, Arzu, (May 2009), Transformational Leadership and Organizational
Innovation: The Roles of Internal and External Support for Innovation, Journal of Product
Innovation Management, Volume 26, Number 3, May 2009 , pp. 264-277(14)

149

Hambleton, Robin, 2009, In Parker, civic leadership and public service innovation more than
good
ideas:
the
power
of
innovation
in
local
government,
Idea,
http://www.idea.gov.uk/idk/aio/9524940
Hartmann, Andreas, 2006, The role of organizational culture in motivating innovative behaviour
in construction firms, Construction Innovation; 6: 159172
Hasenfeld,Yeheskel, 2010, Human Services as Complex Organizations, Sage Publications Ltd,
United Kingsom
Hitt, Michael A. R. Duane Ireland,Robert E. Hoskisson, 2007, Strategic management:
competitiveness and globalization 7ed, Thomson Higher Education, Mason, USA
Johannessen, Jon-Arild (2009), A systemic approach to innovation: the interactive innovation
model, Kybernetes, Vol. 38 Nos 1/2, pp. 158-176
Jung, D.I., Chow, C. and Wu, A, 2003, The role of transformational leadership in enhancing
organizational innovation: hypotheses and some preliminary findings, Leadership Quarterly,
Vol. 14 Nos 4/5, pp. 525-44.
Katrinli, Alev, Gulem Atabay, Gonca Gunay, Burcu Guneri, and Ahenk Aktan,2009,
Innovativeness: Is It a Function of the Leadership Style and the Value System of
Entrepreneur? In Neslihan Aydogan, Innovation Policies, Business Creation and Economic
Development, Springer Science, Business Media, LLC, New York
Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public
Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 6
Lin, Chieh-Yu, 2007, Factors affecting innovation in logistics technologies for logistics service
providers in China, Journal of Technology Management in China, Vol. 2 No.1, pp.22-37
Makri, Marianna; Terri A. Scandura, , February 2010, Exploring the effects of creative CEO
leadership on innovation in high-technology firms, The Leadership Quarterly, Volume 21,
Issue 1Pages 75-88
Martins, E.C, and Terblance F, 2003, Building Organizational Culture that Stimulates Creativity
and Innovation, European Journal of Innovation Management, Volume 6, Number 1, pp. 6474
Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in
government, University of California Press
Mulgan, G. & Albury, D, 2003, Innovation in the Public Sector, Working Paper Version 1.9,
October, Strategy Unit, UK Cabinet Office
Paulsen, Neil; Diana Maldonado; Victor J. Callan and Oluremi Ayoko, 2009, Charismatic
leadership, change and innovation in an R&D organization, Journal of Organizational
Change Management, Vol. 22 No. 5, pp. 511-523
Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American
experience, Oxford, Blackwell
Publin Reports, 2005, NIFU STEP, Studies in Innovation, Research and Education., NIFU STEP,
Hammersborg torg 3, N-0179 Oslo, Norway
Robertson, Robert and Rob Ball, 2002, Innovation and Improvement in the Delivery of Public
Services: The Use of Quality Management Within Local Government in Canada, Public
Organization Review: A Global Journal 2: 387405
Scales Research Reports, 2003, Leadership as a determinant of innovative behaviour, EIM
Business and Policy Research, Netherlands
Senge, Peter M., 1990, The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization,
Currency Doubleday, New York
Shapiro, Stephen M., 2002, 24/7 innovation: a blueprint for surviving and thriving in an age of
change, McGraw-Hill, United States of America
Sterman, J. 2000. Business Dynamics: Systems Thinking and Modeling for a Complex World.,
Boston, MA: McGraw-Hill.
Yoon, Jong In, 2006, Korean Government Innovation: Strategies and Methodologies for
Administrative Innovation, Fifth Meeting of the Committee of Experts on Public
Administration, United Nations, New York, 27-31 March
Zaccaro, S.J., Rittman, A.L. and Marks, M.A.,2001, Team leadership, Leadership Quarterly, Vol.
12 No. 4, pp. 451-83.

150

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM RANGKA


MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA*
Bambang Supriyono**
PENDAHULUAN
Dalam perspektif administrasi publik, pembangunan dapat diartikan
sebagai

suatu upaya yang dilakukan secara sadar dan melembaga untuk

kepentingan pembangunan masyarakat; development is a conciuous and


institutionalized attempt at societal development (Riggs (1971). Upaya secara
sadar dan melembaga sebagaimana dimaksud dalam pengertian ini adalah upaya
yang dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan dalam
kerangka pembangunan masyarakat. Beberapa paradigma pembangunan sejak
awal kemerdekaan hingga saat ini telah dijadikan acuan di Indonesia, mulai dari
pertumbuhan

ekonomi

(economic

growth),

pemerataan,

pembangunan

sumberdaya manusia, hingga paradigma pembangunan partisipatif (participatory


development). Implementasi berbagai paradigma tersebut tentu saling berkaitan,
tidaklah mungkin mengedepankan paradigma partisipatif lalu mengabaikan
pertumbuhan ekonomi, atau menekankan konsep pemerataan dan mengabaikan
pembangunan sumberdaya manusia dan pendekatan partisipatif. Penerapan
berbagai paradigma pembangunan secara integratif adalah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Upaya

yang

dilakukan

pemerintah

melalui

berbagai

kebijakan

pembangunan sebagaimana mengacu pada berbagai paradigma di atas belum


membuahkan hasil secara signifikan. Masalah-masalah empiris yang dapat
diidentifikasi diantaranya: belum adanya pemerataan pembangunan, terjadinya
ketimpangan antara pembangunan di Jawa dan di luar Pulau Jawa, pembangunan
yang lebih terpusat di kawasan perkotaan daripada di pedesaan, dan tingginya
disparitas antara daerah-daerah maju dengan daerah tertinggal. Mencermati
*

**

Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Peran Local Government Dalam Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Administrasi
Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. Malang, Hotel Agrokusuma, 8-10-2011.
Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.

151

masalah-masalah empiris tersebut dapat dipahami jika dalam era reformasi


menetapkan adanya kebijakan desentralisasi sebagai salah satu kebijakan penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya adalah
berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah melalui
pembangunan berbagai bidang di seluruh wilayah Indonesia.
Reformasi kebijakan desentralisasi yang telah berlangsung selama lebih
dari satu dasawarsa, dimulai sejak berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan berlakuknya UU Nomor 32
tahun 2004, hingga saat ini

belum dapat mewujudkan tujuan pembangunan

sebagaimana dikemukakan di atas. Jika dicermati, terdapat persoalan yang bersifat


dilematis dalam hal implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia, dilema
antara kecenderungan penggunaan pendekatan politik (political approach) dan
penggunaan pendekatan manajerial (managerial approach).
Ketika kebijakan desentralisasi lebih mengedepankan pendekatan politik
yang berorientasi pada nilai-nilai demokrasi ada kecenderungan melemahnya
nilai-nilai manajerial, menurunnya nilai-nilai efektivitas dan efisiensi layanan
publik

dan

desentralisasi

pembangunan.
fiskal

belum

Desentralisasi
berdampak

politik
signifikan

yang

disertai

terhadap

dengan

kemandirian

pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.


Anggaran pendapatan yang mestinya lebih banyak dialokasikan untuk
pembiayaan pembangunan banyak terserap untuk membiayai proses politik. Patut
diapresiasi bahwa proses politik di tingkat pusat dan daerah lebih berjalan secara
demokratis dan dinamis kendati dalam beberapa hal justru terjadi praktek-praktek
politik yang melemahkan manajemen pemerintahan dan pembangunan. Pada saat
yang bersamaan manajemen pembangunan di daerah juga mengalami ineffectivity
and inefficiency, banyak ditemukan fenomena masih rendahnya tingkat
pendidikan dan kesehatan pada sebagian besar lapisan masyarakat, tingginya
angka kemiskinan di daerah-daerah,

masih rendahnya indeks pembangunan

manusia, dan terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana pembangunan di


berbagai daerah.

152

Sebaliknya,

ketika

kebijakan

desentralisasi

lebih

mengedepankan

pendekatan manajerial yang berorientasi pada nilai-nilai efektivitas dan efisiensi


ada kecenderungan melemahnya nilai-nilai demokratisasi. Sebagai gambaran,
ketika kebijakan desentralisasi masih mengacu pada berlakunya UU Nomor 5
tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, manajemen
pembangunan cenderung lebih efektif dan efisien.

Ketika itu banyak program-

program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam skala


besar, program transmigrasi, program intensifikasi dan ekstensifikasi bidang
pertanian, pembangunan prasarana transportasi, prasarana pengairan, dan
sarana/prasarana lainnya. Meskipun demikian proses politik di tingkat pusat
hingga di daerah dapat dikatakan jauh dari nilai-nilai demokrasi, penyelenggaraan
pemerintahan

dan

pembangunan

cenderung

bersifat

sentralistis

mengesampingkan otonomi, kemandirian masyarakat ataupun

dan

local self

government. Dampaknya terjadi ketimpangan pembangunan antara pusat dan


daerah, antara perkotaan dan pedesaan, rendahnya pertumbuhan ekonomi di
daerah disertai tingginya angka kemiskinan. Bahkan pemerintahan yang
cenderung sentralis memunculkan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme di
tingkat pusat yang berdampak pada melemahnya manajemen pembangunan di
daerah.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
yang lebih mengedepankan penggunaan pendekatan politik akan melemahkan
nilai-nilai manajerial, sebaliknya penggunaan pendekatan manajerial yang
berlebihan akan melemahkan proses politik yang demokratis sebagai persyaratan
penting untuk menjamin kokohnya suatu sistem pemerintahan. Dengan kata lain
penggunaan political approach dan administrative/managerial approach secara
seimbang sangat diperlukan dalam penyelanggaraan pemerintahan daerah.
Meminjam konsep Smith (1985 : 46-60) diperlukan keseimbangan antara
administrative needs and political demands. Tuntutan proses politik yang
demokratis sangat diperlukan untuk menjamin keinginan, pilihan, dan representasi
hak-hak warga; sebaliknya proses administratif/manajerial juga sangat dibutuhkan
untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam
rangka memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal. Peningkatan

153

kesejahteraan warga diantaranya bertumpu pada pemenuhan kebutuhan ekonomi,


baik ditandai dengan indikator pendapatan perkapita, pendapatan regional,
berkembangnya usaha kecil menengah hingga skala besar. Karena itu dapat
dipahami bahwa salah satu orientasi penting penggunaan dua pendekatan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di atas perlu diarahkan untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan
warga/masyarakat lokal.
Berbagai perangkat kebijakan di tingkat pusat hingga di daerah telah
tersedia guna menjamin terlaksananya kedua pendekatan di atas. Hal ini tercermin
dari banyaknya produk perundang-undangan yang dihasilkan baik oleh
pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Persoalan mendasarnya adalah:
mengapa produk perundang-undangan tersebut belum dapat diimplementasikan
dengan

baik

(well

implemented)

untuk

mewujudkan

penyelenggaraan

pemerintahan di tingkat pusat dan daerah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut


dalam kajian ini akan dipaparkan mengenai pentingnya pemerintahan yang
inovativ dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal. Berangkat dari kerangka berfikir di atas, inovasi
yang diperlukan adalah menyangkut inovasi penyelenggaraan pemerintahan baik
ditinjau dari pendekatan politik maupun pendekatan administratif/manajerial.
INOVASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Mengkaji inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
diawali dari memahmi kreasi (creation) dan inovasi (innovation) sebagai dua
istilah yang digunakan secara berkaitan. Create adalah cause (something) to exist;
make (something new or original); bring to existence. Sedangkan innovate berarti
make change; introduce new things atau dengan kata lain bring in novelties or
bring changes. Kreasi bermakna munculnya sesuatu yang semula tidak ada
menjadi ada, sementara inovasi berarti mengubah sesuatu hal menjadi baru, inti
dari inovasi adalah perubahan menuju hal-hal baru (Muluk, 2007). Baik makna
kreasi maupun inovasi sangat diperlukan untuk mewujudkan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam arti diperlukan adanya gagasangagasan baru ataupun penyempurnaan sistem yang telah ada untuk meningkatkan

154

kinerja

pemerintahan

daerah

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan

dan

pembangunan.
Mulgan & Albury (2003) menunjukkan bahwa Successful innovation is
the creation and implementation of new process, products, services, and methods
of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency,
effectiveness or quality. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan
dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah ditentukan oleh inovasi
produk dan layanan, inovasi proses, ataupun inovasi metode yang dilakukan
secara efekif, efisien, dan berkualitas. Menyangkut inovasi proses terdapat pula
inovasi system atau inovasi strategis yang mengandung pemahaman cara baru
atau yang diperbaharui dalam berinteraksi dengan aktor-aktor baik di dalam
ataupun di luar sistem

dalam hal tata kelola penyelenggaraan pemerintahan

(changes in governance).
Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan
pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin.
Brown (2008) mengemukakan adanya dua konsep inovasi yaitu Expansive
Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural Theory (SCT). Konsep perluasan
pembelajaran mengandung pemahaman bahwa inovasi terjadi ketika pandangan
tradisional menyediakan suatu pedoman pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak
cukup dalam menghadapi tantangan dan situasi yang baru, karenanya diperlukan
pengembangan dan praktek yang baru melalui alih teknologi (technology
transfer). Bagian penting dari pandangan ini adalah memadukan antara pandangan
lama dan baru dalam melaksanakan sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan
pembaharuan.
Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan dan
pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara difersifikasi
organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran organisasi. Di
samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem, diperlukan pula
pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat transformasi sosial
budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas masyarakat yang lebih
luas. Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan perlu

155

dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus
pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau lebih
komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal.
Sebagaimana dikemukakan Brown (2008 : 9)
National governments have develoved much of the
responsibility for innovation policies to regions. Consequently,
it is possible to compare the implementation of local
experiments to transform an industrial and manufacturing
region into a knowledge economy. Different types of policies
are affected by different contextual conditions and carry with
them different possibilities for implementation
Mencermati

pemahaman

tersebut

menunjukkan

bahwa

proses

implementasi kebijakan dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan seharusnya


mempertimbangkan konteks lokal yang spesifik, sebagaimana terlihat dalam
Gambar 1.

Design

of National

Innovation

Direction of feedback from

Policy

practitioners

Concept (MACRO)

to

policy

makers
Policy
at

implementation
regional

level

(MESO)
Direction

of

communication

of

Implementation
local

theoretical policy goal

of

innovation

projects (MICRO)

Gambar 1. The Transformation of Policy During Implementation


Source: Brown (2008 : 10-11)

Mencermati Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa inovasi penyelenggaraan


pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik, inovasi pemerintahan

156

yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling berkaitan dengan inovasi di
tingkat regional ataupun di tingkat lokal. Pemahaman ini terasa semakin penting
untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu negara yang menganut
paham negara kesatuan (unitary state), karena hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah adalah bersifat coordinate dan sekaligus subordinate. Keberadaan
pemerintah daerah adalah merupakan bagian dari pemerintah pusat, sehingga
inovasi pemerintahan yang ada di tingkat lokal kendati memiliki kemandirian
seharusnya tidak menyimpang dari desain inovasi pemerintahan yang telah
ditetapkan di tingkat nasional.
Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal

desain konsep inovasi

kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat


dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai
tingkatan

pemerintahan

agar

tujuan

inovasi

dapat

dipahami

dan

diimplementasikan dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan


adalah dalam hal melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan
mengurus (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk
dalam pemanfaatan teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua
tingkatan pemerintahan.
Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di
tingkat regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan
kegiatan pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi
kebijakan ini adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan
fungsi pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal.
Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih melaksanakan
fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah (Perda) dan
perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah (local
bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi
pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara
profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan
sebelumnya.

157

Hingga saat ini banyak institusi DPRD dan Kepala Daerah yang telah
menetapkan regulasi atau kebijakan inovatif dalam upaya meningkatkan kualitas
layanan publik dan pembangunan, pengelolaan sumber pendapatan, dan
pengelolaan urusan pemerintahan yang bersifat wajib atau pilihan. Prinsip
perumusan inovasi kebijakan yang diperlukan di tingkat regional dan lokal adalah
prinsip menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dalam arti kebijakan yang
ditetapkan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Kebijakan yang inovatif dan demokratis dapat dirumuskan dengan baik jika dalam
prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat dari berbagai lapisan. Dengan
demikian

keberadaan

Kepala

Daerah

dan

DPRD

harus

benar-benar

merepresentasikan tuntutan kebutuhan warga dan mengakomodasikan partisipasi


warga, diperlukan prinsip representative democracy dan participatory democracy
dalam perumusan kebijakan inovatif di tingkat regional dan di tingkat lokal.
Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan
oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan
Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat
Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan
layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas,
ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam
mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal ini
dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan
efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal
pengelolaan dana, pemberian insentif, yang memungkinkan birokrasi untuk
bekerja secara profesional dan proporsional.
Dalam pandangan Miller (2008 : 11) penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang inovatif adalah ditandai dengan adanya pergeseran makna local
government ke local governance, yang memiliki dua ciri. Pertama, terjadinya
pergeseran struktur dan fungsi institusi pemerintahan dalam berbagai tingkatan
baik menyangkut tugas dan tanggung jawabnya. Kedua, terjadinya perubahan
dalam ciri-ciri pemerintahan, perluasan tanggungjawab dalam badan-badan yang

158

ditetapkan dan kerjasama organisasi untuk jangka panjang dengan pengutamaan


kewenangan lokal. Pejabat politik yang dipilih dan perangkat birokrasi yang
bekerja secara profesional dan penuh waktu merupakan modal dasar yang kuat
dalam membangun kerjasama dengan berbagai aktor, baik untuk pengguna,
kepentingan warga, maupun sektor swasta.
Pergeseran struktur dan fungsi pemerintahan, perluasan kerjasama dengan
berbagai aktor, atau makna local governance dapat diwujudkan jika tercipta
pemerintahan berpengetahuan (knowledge governance). Heiman (2009 : 29-30)
mengemukakan bahwa

satu diantara tantangan utama dalam mewujudkan

pemerintahan berpengetahuan adalah menciptakan nilai secara seksama


(deliberate value creation), baik menyangkut

penemuan masalah (problem-

finding) maupun pemecahan masalah (problem-solving). Pertanyaan kunci untuk


penemuan masalah adalah bagaimana pimpinan dapat mengidentifikasi, memilih,
dan menemukan resolusi yang diharapkan dengan derajat nilai yang signifikan.
Sedangkan pertanyaan kunci tentang pemecahan masalah adalah bagaimana
pemimpin dapat mengelola secara efisien mengenai pemecahan masalah bernilai
tinggi sesuai dengan masalah yang diidentifikasi.
Kepala Daerah sebagai pemimpin tertinggi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, secara bertahap perlu melakukan perubahan kultural dan
struktural karena konsekuensi dari perubahan tersebut akan berdampak pada
kualitas local governance and democracy. Perubahan struktural dalam
pemerintahan daerah dapat terkait dengan tiga hal (Grindle, 2007 : 4-6). Pertama,
perubahan dalam pengelolaan keuangan (fiscally), yakni menyangkut kejelasan
menganai kewenangan daerah dalam hal tanggungjawab pengelolaan anggaran,
meningkatkan pendapatan (generating revenue), pengeluaran sesuai dengan
kebutuhan. Kedua, perubahan politik (politically) yakni menyangkut optimalisasi
peran dan fungsi council (DPRD) sebagai pejabat politik yang dipilih atas dasar
demokrasi perwakilan dan mayor (Kepala Daerah) yang dipilih berdasarkan
demokrasi partisipatif. Keberadaan pejabat politik ini harus benar-benar dapat
menjalankan mandat yang diberikan oleh masyarakat setempat. Ketiga, perubahan
administrasi pemerintahan (administratively) yakni tanggungjawab bagi local

159

bureaucracy atau perangkat daerah untuk senantiasa meningkatkan kualitas


distribusi penyediaan layanan publik dan pembangunan secara profesional.
Pemerintahan daerah yang telah melakukan inovasi sebagaimana
dikemukakan di atas perlu diukur tingkat keberhasilannya, dalam hal ini dapat
digunakan metode perbandingan dan sifat pengukuran kinerja. Metode
perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan antara keberhasilan dengan
kegagalan (success versus failure) menyangkut partisipasi warga dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan adanya
hubungan yang simetris antara: dependensi versus otonomi dalam hubungan
layanan formal, terpenuhi atau tidak terpenuhi usulan untuk intervensi, ada atau
tidak adanya motivasi untuk melakukan perubahan atau intervensi (Kane and
Marylyne, 2008 : 84).
Sedangkan keberhasilan inovasi berdasar sifat pengukuran kinerja perlu
ditekankan pada struktur pekerjaan, kepemimpinan dan insentif yang diberikan
secara proporsional dan profesional. Mengacu pada pendapat Klerman (2005 :
349), perlu dihindari pengukuran kinerja yang bersifat kasar (Gross Performance
Measure), karena dengan cara ini akan menimbulkan: misidentify best
practice,misidentify best workers, incentives to migrate, incentives to chose
clients. Karena itu diperlukan pendekatan untuk memperkirakan kinerja bersih
(net performance or estimating net/causal effects). Tahapan pendekatan ini
meliputi: random assignment, value added, regression adjustment, cohort
comparison.
Inovasi yang dilakukan oleh berbagai tingkatan memiliki resistensi yang
tinggi terhadap hambatan-hambatan yang muncul dalam proses inovasi yang
sedang berlangsung. Mengacu pada identifikasi yang dilakukan Mulgan & Albury
(2003) terdapat hambatan-hambatan dalam melakukan inovasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah meliputi :
Adanya tekanan dan beban administratif (delivery pressures and
administrative burdens). Pada umumnya jajaran birokrasi di tingkat manajer dan
operasional memiliki keterbatasan waktu untuk berfikir tentang pekerjaan yang

160

berbeda atau melakukan inovasi mengenai layanan publik yang lebih efektif. Hal
ini perlu dilakukan secara terus menerus dalam organisasi, penyediaan layanan
dan melaporkannya ke manajemen di tingkat atasnya, lembaga-lembaga, dan
inspektorat.
Anggaran jangka pendek dan perencanaan ke depan (short-term budgets
and planning horizons). Ketidakmampuan untuk berfikir di bawah tekanan dari
hari ke hari memperburuk penganggaran jangka pendek dan perencanaan jangka
panjang.
Kurangnya ganjaran dan insentif inovasi (poor rewards and incentives to
innovate). Upaya penerapan nilai-nilai privat ke sektor publik dalam hal ini
mengalami hambatan. Tingginya ketentuan yang telah berlangsung lama
menyebabkan kegagalan inovasi, termasuk dalam hal memberikan ganjaran untuk
mewujudkan keberhasilan inovasi. Lebih lanjut hal ini berkaitan dengan sistem
manajemen sumberdaya, sebagai contoh : kompetensi inti untuk rekrutmen,
pengembangan dan perencanaan kinerja yang tidak menekankan pada nilai-nilai
inovasi.
Budaya menghadapi resiko (culture of risk aversion). Dalam sektor publik,
kewajiban untuk menyediakan layanan yang akseptebel merupakan kunci
keberhasilan layanan, mengelola kontinuitas, memperhitungkan pembayar pajak
sesuai kewenangan lokal dan parlemen. Pusat perhatian utamanya adalah
akuntabilitas, standard dan kontinyuitas untuk menghadapi resiko sebagai bagian
dari kerangka inovasi.
Rendahnya ketrampilan dalam menghadapi resiko dan manajemen
perubahan (poor skills in active risk or change management). Tiga kondisi yang
diperlukan untuk keberhasilan inovasi, yakni : peluang,

motivasi, dan

ketrampilan. Selagi peluang dan motivasi dapat dihadirkan, biasanya terkait


dengan kurangnya ketrampilan dalam perubahan dan manajemen resiko. Relatif
langka untuk memenuhi ketrampilan yang diharapkan dapat menjembatani proses
inovasi.

161

Keseganan untuk mengakhiri program-program atau organisasi yang tidak


berhasil (reluctance to close down failing programes or organizations). Walaupun
nilai-nilai sektor privat dibutuhkan dalam inovasi sektor publik, pada
kenyataannya organisasi sektor publik jarang melakukan inovasi. Hal yang
paradoksal, dalam pelayanan publik memerlukan standarisasi kualitas untuk
program-program baru, sementara inovasi dihadapkan pada masalah-masalah
yang tidak terkendali walaupun ketekunan melalui layanan baru atau proses yang
dihasilkan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Ketersediaan teknologi tetapi menghadapi kendala budaya dan penataan
kelembagaan (technologies available but constraining cultural or organizational
arrangements). Munculnya inovasi dalam kontek teknologi dan faktor organisasi
berkaitan dengan perlunya inovasi yang sistematis dengan dukungan budaya
organisasi, sistem, metode dan proses manajemen. Dalam inovasi sektor publik
telah terhalang sebab resistensi atau kegagalan
Penelitian empiris menunjukkan tingginya variasi mengenai cara
menanggulangi hambatan inovasi, dalam hal ini terdapat tiga pendekatan
menyangkut tingkatan dan cara (classes of tactical), yakni meliputi :
1. Persuasi (persuasion), dengan cara menunjukkan keuntungan suatu inovasi,
kemapanan melaksanakan kegiatan, dan melakukan sosialisasi secara
optimal.
2. Akomodatif (accommodation), menyangkut konsultasi dengan lembaga
legislasi untuk memahami inovasi dalam kerangka governance, pelatihan
untuk penyamaan pemahaman, hilangnya kompensasi, dan menjamin
pelaksanaan program sesuai dengan budaya setempat.
3. Pendekatan lainnya (others). Kategori ini meliputi keragaman tanggapan,
seperti : ketersediaan sumberdaya, dukungan masalah logistik, adanya
upaya secara berkesinambungan, dukungan politik, kejelasan visi utamanya
mengangkut pentingnya inovasi, modifikasi teknologi, perubahan regulasi,
tersedianya

program-program

partisipasi,

dan

dukungan

pekerja.

Diperlukan pula perubahan tanggungjawab pimpinan dalam implementasi


berbagai program inovasi.

162

INOVASI PEMERINTAHAN
PEMBANGUNAN EKONOMI

DALAM

RANGKA

PERCEPATAN

Konsep pembangunan dalam arti pembangunan masyarakat (societal


development) sebagaimana dikemukakan dalam paparan awal dapat juga dipahami
dari konsep administrasi pembangunan. Semula administrasi pembangunan
dimaknai sebagai upaya terorganisir untuk melaksanakan program dan kegiatan
guna mencapai tujuan pembangunan. Salah satu tujuan mendasar yang ingin
diwujudkan di negara sedang berkembang adalah peningkatan pertumbuhan
ekonomi, pemerataan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat di seluruh
wilayah negara yang bersangkutan.

Hal yang perlu disadari, ide dasar

pembangunan terletak pada kemampuan human societies yang berkembang untuk


membentuk lingkungan fisik, aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi, maupun
budayanya.
Dengan ide dasar pembangunan yang demikian, inovasi pemerintahan
untuk mengubah lingkungan fisik, aktivitas ekonomi, dan budaya masyarakat
perlu ditempatkan dalam suatu variabel tersendiri. Variabel lain yang tidak kalah
penting adalah peningkatan kemampuan mengurus pemerintahan secara simultan
dalam pelaksanaan pembangunan. Variabel yang kedua ini menempatkan konsep
administrasi pembangunan tidak hanya mengacu pada upaya pemerintah
melaksanakan inovasi program dan kegiatan yang dirancang untuk mengubah
lingkungan fisik, manusia, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan budayanya
(administration of development), tapi juga pada usaha memperbesar kapasitas
pemerintah secara inovatif untuk terlibat dalam program tersebut (development of
administration).
Peningkatan kemampuan kapasitas pemerintah secara simultan pada
kenyataannya tidak mudah dilakukan. Banyak faktor berpengaruh yang
menyebabkan tersendatnya upaya peningkatan kemampuan pemerintah. Faktor
tersebut ada yang bersumber dari institusi pemerintahan itu sendiri, keragaman
masalah sosial ekonomi dan budaya masyarakat, hingga masalah yang berkaitan
dengan aspek kewilayahan. Dalam kerangka pembangunan administrasi dan
administrasi pembangunan, terdapat faktor penentu yang perlu dipahami jika

163

menginginkan pembangunan administrasi yang inovatif, memiliki relevansi dan


mendapatkan dukungan dari lingkungannya. Faktor penentu tersebut adalah
pemahaman tentang kontek administrasi pembangunan (context of development
administration) dan kondisi lingkungan yang dapat menimbulkan masalah bagi
administrasi pembangunan (problems in the administration of development).
Faktor lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah dimensi spasial (spatial
dimension) dalam administrasi pembangunan.
Kontek administrasi pembangunan mencakup : kontek politik, kontek
ekonomi, dan kontek organisasi sosial. Dalam kontek politik di suatu negara
ataupun di suatu daerah dapat terjadi adanya kondisi lemahnya birokrasi sehingga
memicu spoil system yang berakibat kurang mendukung pengembangan birokrasi.
Kondisi lainnya adalah adanya birokrasi yang dominan sehingga para birokrat
hanya berjuang mencapai kekuasaan dan berakibat dikorbankannya nilai-nilai
administrasi untuk kepentingan politik. Untuk itu diperlukan pemahaman
mengenai keseimbangan antara institusi birokrasi dengan institusi ekstra birokrasi
(constitutive systems) dengan cara memisahkan antara faktor politik dan
administrasi dalam pelaksanaan program pembangunan yang inovatif.
Dalam kontek ekonomi yang perlu dipahami adalah berkaitan dengan
pembangunan administrasi. Dapat terjadi bahwa pengembangan birokrasi dan
proliferasi badan khusus pemerintah baik di pusat maupun di daerah
membutuhkan biaya yang sangat besar. Di lain pihak dengan keterbatasan dana
menyebabkan pagu yang rendah untuk usaha tersebut, sehingga pilihan aktivitas
yang tersedia dalam pelaksanaan program-program pembangunan juga menjadi
terbatas. Dalam kontek organisasi adalah menyangkut keterkaitan antara
organisasi formal dengan organisasi sosial. Efektifitas organisasi formal berperan
penting dan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk merubah
lingkungannya. Hal yang tidak kalah penting adalah memahami keberadaan
organisasi sebagai suatu sistem sosial yang dapat menunjang pelaksanaan program
pembangunan.
Mengenai pentingnya memahami kondisi lingkungan dalam administrasi
pembangunan adalah mencakup : masalah lingkungan fisik (problems in the

164

physical environment), masalah lingkungan manusia (problems in the human


environment), dan masalah lingkungan budaya (problems in the cultural
environment). Memahami masalah lingkungan fisik diperlukan kemampuan
administrasi dalam rangka mengatasi masalah lingkungan agar menjadi faktor
pendukung keberhasilan pembangunan sebagai suatu sistem, bukan kontek sistem
sosial yang memberikan parameter dalam rangka mengubah lingkungan.
Lingkungan fisik dan ketersediaan sumberdaya perlu dikelola dengan baik agar
berdampak

pada

berkembangnya

aktivitas

ekonomi

guna

mewujudkan

peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.


Memahami masalah lingkungan manusia didasarkan pada pengertian
bahwa manusia dapat membentuk kemampuan suatu sistem sosial, sebaliknya
karakteristik manusia juga dapat diubah oleh sistem sosial. Dengan pengertian ini,
untuk kepentingan analisis dapat dipahami adanya lingkungan manusia dalam
beberapa pengertian yang berpengaruh terhadap administrasi pembangunan.
Beberapa pengertian tersebut adalah meliputi : pengertian demografi, biologi,
psikologi, dan kesempatan/kualifikasi. Mengenai pemahaman terhadap masalah
lingkungan budaya ditempatkan dalam kerangka sistem sosial, artinya sistem
sosial secara terus menerus selalu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya.
Sistem sosial yang lebih maju adalah sistem yang lebih mampu melakukan
transformasi lingkungan budaya sesuai dengan tuntutannya dan tidak terhalangi
oleh karakteristik lingkungan budayanya. Berdasarkan pemahaman tersebut,
dalam konteks pembangunan administrasi yang dibutuhkan adalah informasi
mengenai berbagai persoalan yang timbul karena perubahan budaya dan perbaikan
program administrasi untuk mengatasi perubahan budaya tersebut.
Faktor lainnya yang juga perlu mendapat perhatian agar inovasi
pemerintahan mendapatkan dukungan dari lingkungannya adalah dimensi spasial
(spatial dimension). Secara umum, pembangunan dapat dipahami sebagai
pembangunan masyarakat (societal development) atau pembangunan negarabangsa (nation-states). Salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan negara-bangsa adalah dimensi spasial (spatial dimension). Terlebih
untuk suatu negara yang memiliki wilayah luas dan masyarakatnya beragam,

165

perhatian terhadap dimensi spasial semakin diperlukan untuk mewujudkan


efektifitas pencapaian tujuan pembangunan. Pentingnya dimensi spasial ini juga
menjadi perhatian penting dari administrasi pembangunan. Sebagaimana
dikemukakan Heaphey (1971) : Government, economic development, and nationbuilding are closely interwoven spatialy, none being quite the cause of the others,
yet all three being inextricably bound together.
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa konteks administrasi pembangunan
dalam pembangunan negara-bangsa sangat terkait dengan dimensi spatial,
keterkaitan tersebut dalam bentuk hubungan sebab-akibat dan terjadi secara
bersama-sama. Pembangunan ekonomi yang berlangsung di berbagai daerah
terjadi

karena

adanya

kewenangan

politik

dan

administrasi

untuk

mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang dilokalisir secara geografis.


Dimensi spasial juga diperlukan dalam pembangunan politik untuk menentukan
batas-batas ukuran agar pengambilan keputusan benar-benar demokratis. Budaya
masyarakat dalam spasial yang berbeda-beda dapat dijadikan dasar bagi
pemerintah untuk merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial,
sebaliknya pemerintah perlu membangun suatu budaya nasional yang menjadi the
visual world bagi masyarakat negara-bangsa. Dimensi spasial juga diperlukan
untuk mempromosikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah
melalui kebijakan desentralisasi. Sistem desentralisasi dalam pembangunan
dikatakan berhasil apabila terjadi penggabungan nilai (value integration) dan
profesionalisme (professionalism), dengan tidak mengabaikan aspek sentralisasi
untuk kepentingan pembangunan negara bangsa (centralization and the need for
nation-building).
Karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan administrasi
dapat berbeda antar daerah, sehingga upaya melakukan inovasi pemerintahan
untuk mendapatkan dukungan dari lingkungan yang dilakukan oleh suatu daerah
juga akan berbeda dengan yang dilakukan oleh daerah lainnya. Demikian pula
tidak ada jaminan bahwa pembangunan administrasi yang berhasil diterapkan di
suatu daerah akan berhasil diterapkan pada daerah lainnya. Tepat kiranya bahwa
menamakan pembangunan administrasi sebagai a subject matter in search of a

166

discipline dari administrasi publik, penamaan tersebut didasarkan pada beberapa


pertimbangan kepentingan (set of pragmatic concerns.) Pemahaman yang
demikian tentunya juga berlaku dalam pembangunan kapasitas administrasi
publik. Pembangunan struktur dan fungsi pemerintahan untuk menunjang
pelaksanaan program pembangunan dapat berbeda antar negara, antar daerah,
bahkan antar jenis program yang berbeda. Terdapat kesimpulan dari Siffin (1972)
bahwa pembangunan institusi adalah sebagai teori (institution building as theory)
dan bukan teori pembangunan institusi (institution building theory). Kesimpulan
ini dapat dimaknai bahwa konsep pembangunan termasuk pembangunan ekonomi
yang berhasil diterapkan di suatu daerah belum tentu akan berhasil pula jika
diterapkan di daerah lain, pemahaman aspek lokalitas sangat diperlukan dalam
inovasi pembangunan.
Inovasi pemerintahan daerah untuk daerah yang ciri-ciri kesukuan dan
budaya lokalnya menonjol diperlukan pembangunan struktur dan fungsi institusi
pemerintahan yang lebih ramping dan sekaligus memanfaatkan berfungsinya
struktur dan fungsi institusi lokal. Sedangkan untuk daerah yang memiliki
perbedaan pelapisan sosial, politik, dan ekonomi lebih menonjol diperlukan
pembangunan struktur pemerintahan yang dapat meningkatkan efektivitas
administrasi dan pembangunan ekonomi (Supriyono, 2010). Pembangunan
struktur birokrasi yang tambun dan lebih berorientasi pada kepentingan internal
agar para birokrat tidak kehilangan jabatan harus dihindari. Struktur birokrasi
yang dibangun atas dasar karakteristik masyarakatnya akan menjadikan birokrasi
tersebut lebih responsif dalam melayani masyarakat yang bersangkutan. Dalam
kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan birokrasi pusat ataupun
daerah, nilai-nilai yang ingin dicapai melalui pembangunan struktur dan fungsi
institusi ini bukan hanya nilai produktivitas, efisiensi, dan sentralisasi, melainkan
mencakup pula nilai

partisipasi, otonomi

dan desentralisasi.

Indikator

keberhasilan struktur birokrasi dalam menjalankan fungsinya diukur dari:


kemampuan birokrasi meningkatkan efisiensi dan produktivitas, menjalankan
prinsip-prinsip manajemen rasional, menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan
disiplin kerja, profesionalisme, meritokrasi, impersonalitas, dan kemampuannya
dalam mengembangkan budaya korporasi (corporate cultural).

167

Mengacu pada pendapat Julie & Rosenbloom (2003 : 3-6), diperlukan


beberapa persyaratan agar menjamin terwujudnya birokrasi pemerintahan yang
merepresentasikan pemenuhan kebutuhan public dan pembangunan. Persyaratan
yang dimaksud adalah perlunya perhatian terhadap representasi pasif (passive
representativity) artinya tidak hanya menciptakan kinerja institusi berdasar
tupoksi semata tetapi perlu memperhatikan karakteristik unit institusi, ataupun
pihak-pihak yang terkait. Di samping itu, diperlukan perhatian terhadap
representasi aktif (active representativity) artinya lebih menekankan pada
responsibilitas dalam pelaksanaan pekerjaan, nilai-nilai kesepakatan diantara unit
institusi ataupun antar birokrat. Birokrasi yang representatif tersebut dapat
terwujud apabila kinerja institusi pemerintahan tidak semata-mata mendasarkan
pada impersonalitas tetapi melihat kemampuan dan latar belakang birokrat secara
mendalam. Persyaratan yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya menerapkan
nilai-nilai institusi privat dan penegakan nilai-nilai normatif yang mencerminkan
representasi institusi pemerintahan (representative bureaucracy).
Inovasi pemerintahan untuk percepatan pembangunan juga dapat
diwujudkan jika terdapat kemandirian dalam pengelolaan kewenangan. Dalam hal
ini terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, stigler principle:
pengambilan keputusan harus terjadi pada tingkatan terendah pemerintahan yang
konsisten dengan tujuan efisiensi alokasi sumberdaya. Ukuran optimal yurisdiksi
bervariasi sesuai dengan skala ekonomi dan keuntungan biaya spillovers. Kedua,
principle of fiscal equivalency: keselarasan batasan politik dengan kemanfaatan
atau keuntungan yang diperoleh, untuk itu diperlukan kejelasan yurisdiksi untuk
setiap jenis layanan publik. Ketiga, correspondence

principle: kejelasan

yurisdiksi yang berhubungan dengan kewenangan pusat dan daerah menyangkut


penyediaan setiap barang publik untuk semua lapisan masyarakat secara
memuaskan. Keempat, decentralization theorem: setiap pelayanan publik harus
disediakan dengan batasan yurisdiksi yang jelas melalui mekanisme kontrol yang
bersifat terbatas, melembagakan keuntungan dan biaya layanan. Kelima,
subsidiarity principle: belanja dan fungsi regulasi harus berada pada tingkatan
pemerintahan terendah meskipun demikian untuk daerah yang tidak mampu perlu
bantuan secara proporsional yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat.

168

Perluasan jaringan antar aktor juga sangat diperlukan dalam inovasi


pemerintahan dan pembangunan. Inovasi pemerintahan yang dapat dilakukan,
untuk daerah yang ciri-ciri kesukuan dan budaya lokalnya menonjol diperlukan
pengelolaan urusan pemerintahan dan pembangunan yang lebih menekankan
peran sektor pemerintah dan komunitas masyarakat setempat. Sedangkan untuk
daerah yang memiliki perbedaan pelapisan sosial, politik, dan ekonomi lebih
menonjol diperlukan arah kebijakan pengelolaan urusan pemerintahan yang lebih
menekankan peran pemerintah dan sektor swasta. Dalam lingkup administrasi
publik, mengacu pada pemetaan kajian Kickert dan Stilman (1999 : 29-33)
diperlukan keseimbangan

antara implementasi konsep pluralitas (pluralist)

dengan konsep dominasi negara (state centrists). Konsep pluralitas dapat


diimplementasikan dengan baik jika didukung dengan pengurangan dominasi
negara (statelessness) melalui kebijakan desentralisasi yang komprehensif,
sedangkan konsep state centrists dapat diterapkan jika didukung pemahaman
tentang kompleksitas masyarakat dan meningkatnya intervensi negara secara
positif untuk kemakmuran rakyat.
Terdapat empat proposisi yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah
daerah perlu melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Grindle, 2007 : 10-12).
Pertama, political competitions: dinamika kompetisi politik lokal adalah inti dari
pendekatan yang menjelaskan variasi kinerja pemerintahan daerah secara
demokratis. Kedua, state entrepreneurship: terpusat pada aktivitas institusi
pemerintahan daerah dalam hal kewenangan mengembangkan ide-ide inovatif,
dan membuat pilihan strategis tentang bagaimana nilai tambah dari sebuah
kebijakan. Ketiga, public sector modernization: pemberian insentif tambahan
untuk pejabat publik yang telah melakukan restrukturisasi institusi, privatisasi
layanan atau contracting out, dan inovasi teknologi untuk mengembangkan
kapasitas sektor publik. Keempat, civil society activism: meningkatkan derajat
partisipasi dan akuntabilitas, kelompok sosial dalam komunitas lokal yang
diarahkan pada penyediaan layanan publik yang berkualitas termasuk melalui
partisipasi dalam proses kebijakan. Mencermati keempat proposisi tersebut dapat
dipahami bahwa keterlibatan komunitas masyarakat ataupun sektor swasta dalam

169

inovasi penyelenggaraan pemerintahan memerlukan dukungan proses politik yang


demokratis, wawasan entrepreneurial penyelenggara pemerintahan, modernisasi
dalam pengelolaan sektor publik, dan peningkatan derajat partisipasi masyarakat.
PENUTUP
Inovasi pemerintahan daerah selama ini telah dilakukan di Indonesia
secara terus menerus, hal ini ditandai dengan adanya perubahan kebijakan
desentralisasi yang telah dilakukan di beberapa era pemerintahan. Di era orde baru
transformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah diimplementasikan dengan
mengedepankan nilai-nilai manajerial, sebaliknya di era reformasi inovasi
pemerintahan daerah dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi.
Pengabaian salah satu nilai berakibat pada tersendatnya proses inovasi
pemerintahan dalam upaya peningkatan kualitas layanan publik dan pembangunan
sosial ekonomi masyarakat.
Mencermati hal tersebut diperlukan kajian ulang mengenai konsep inovasi
pemerintahan daerah yang memungkinkan untuk mewujudkan keseimbangan
antara penerapan nilai-nilai

demokrasi

dan nilai-nilai

manajerial

guna

mempercepat pencapaian tujuan pembangunan. Konsep yang dimaksud adalah


inovasi pemerintahan sistemik yang didalamnya menyangkut saling keterkaitan
antara pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan inovasi ke arah perubahan
yang bersifat transformatif. Pemerintah pusat perlu merancang kebijakan inovasi
yang berbasis penemuan masalah (problem-finding) maupun pemecahan masalah
(problem-solving) dengan dukungan implementasi di daerah yang berbasis pada
kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Helen. 2008. Knowledge and Innovation, A Comparative Study of the USA, the UK,and
Japan. Routledge Taylor & Francis Group. Madison Ave, New York.
Eckardt, Sebastian and Anwar Shah. 2006. Local Government Organization and Finance:
Indonesia. in Anwar Shah (ed). Local Governance in Developing Countries.The World
Bank. Washington DC.
Grindle, Merilee S. 2007. Going Local, Decentralization, Democratization, and the Promise of
Local Governance. Princeton University Press. New Jersey.
Heaphey, James J. (ed.). 1971. Spatial Dimensions of Development Administration. Durham,
North Carolina : Duke University Press.

170

Heiman, Bruce; Jackson Nickerson, and Todd Zenger. 2009. Governing Knowledge Creation: a
problem-finding and problem-solving perspective in Nicolai J Foss and Snejina Michailova
(ed). Konwledge Governance, Process and Perspective. Oxford University Press. New York
John & Albury. 2003. Strategic and Organization Innovation. Routledge Taylor & Francis Group.
Madison Ave, New York.
Kane, Lester T and Marylyne R Poweller.2008. Citizenship in the 21st Century. Nova Science
Publishers. New York.
Kickert, Walter JM and Richard D Stilman. 1999. The Modern State and its Study. Edward Elgar.
Cheltenham, UK.
Klerman, Jacob Alex. 2005. Measuring Performance in Robert Klitgaard & Paul C Light (ed).
High-Performance Government, Structure,Leadership, Incentives. Pardee Rand Graduate
School. Pitsburg.
Miller, William; Malcom Dickson and Gerry Stoker. 2008. Models of Local Governance,Public
Opinion and Political Theory in Britain. Palgrave, Macmillan, England.
Muluk, Khairul. 2007. Knowledge Management, Inovasi Pemerintahan Daerah. Bayu Media.
Jakarta.
Riggs, Fred W. 1971. The Context of Development Administration, dalam Mulgan, Fred W.
Riggs (ed). Frontiers of Development Administration. Durham : Duke University Press.
Siffin, William J. 1972. Institution Building As Vision and Venturedalam Joseph W Eaton.
Institution Building and Development, From Concepts to Application. Baverly Hills, London
: Sage Publications.
Supriyono, Bambang. 2010. Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Multikultural.
Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Ilmu Administrasi. Universitas Brawijaya. Malang.

171

PROFIL PENULIS

Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS
Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS merupakan salah satu profesor di
bidang pemerintahan daerah pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di
Unibraw (1984), S2 Sosiologi di Universitas Padjadjaran (1991) dan S3 di
bidang Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah di UI (2007). Sekarang
menjabat sebagai Pembantu Dekan I bidang Akademik di Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya.

Prof.Dr.Abdul Hakim,M.Si
Prof.Dr.Abdul

Hakim,M.Si,

merupakan

profesor

di

bidang

Sosiologi Birokrasi pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu


Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di
Unibraw (1984), S2 Sosiologi di Universitas Padjadjaran (1993) dan S3 di
bidang Sosial di Universitas Padjadjaran (2007). Beberapa karya ilmiah yang
pernah diterbitkan beliau adalah Sistem Informasi Manajemen Sektor Publik
(FIA, Buku Ajar),Pengantar Sosiologi (Surya Pena Gemilang, 1999, Buku
Ajar), Kapita Selekta Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial (Surya
Pena Gemilang, 2006, Buku Ajar), Statistika Sosial (Citra Media, 1997),
Dinamika

Sosial

Ekonomi

Masyarakat

Perdesaan

(Bayu

Media,

2008).Sekarang menjabat sebagai Staf ahli PR III Universitas Brawijaya


serta Ketua UJM Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya.

Prof.Dr.Abd.Yuli Andi Gani,MS


Prof.Dr.Abd.Yuli Andi Gani,MS merupakan profesor di bidang
Kepemimpinan

pada

Jurusan

Administrasi

Administrasi Universitas Brawijaya.

172

Publik

Fakultas

Ilmu

Dr. Tjahjanulin Domai, MS.


Dr. Tjahjanulin Domai, MS. merupakan salah satu pengajar di
Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1979), S2
Administrasi Negara, FISIPOL UGM (1987 dan S3 Administrasi Negara di
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Sekarang menjabat
sebagai ketua Laboratorium Pemerintahan serta Ketua

Pengelola

Dokumentasi, Informasi dan Keluhan di Universitas Brawijaya

Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si
Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si merupakan salah satu pengajar
di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya. Menamatkan S1 Jurusan Administrasi Negara Spesialisasi
Pemerintahan

Umum,

Universitas

Brawijaya

(1994),

S2

Program

Pascasarjana, Program Studi Administrasi Niaga Kekhususan Pengembangan


Sumber Daya Manusia, Universitas Brawijaya, (1999; cumlaude) dan
Program S3 Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia, (2006; cumlaude).
Beberapa karya ilmiah yang pernah diterbitkan beliau adalah Peta Konsep
Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Surabaya: ITS Press, 2009);
Knowledge Management: Kunci Sukses Inovasi Pemerintahan Daerah
(Malang: Bayu Media, 2008); Menggugat Partisipasi Publik dalam
Pemerintahan Daerah: Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem
(Malang: Bayumedia & LPD FIA Unibraw, 2007) dan Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah (Malang: Bayumedia, 2006). Sekarang menjabat
sebagai Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Publik , Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya, Ketua Departemen Pengembangan
Profesi Administrasi Publik, Pengurus Pusat Asosiasi Sarjana & Praktisi
Administrasi Indonesia (ASPA Indonesia/ dh PERSADI), Ketua Departemen
Pengembangan

Profesi

Administrasi

Negara/Publik,

Pengurus

Pusat

Indonesian Association for Public Administration (IAPA), Ketua Umum


Pengurus Pusat Lembaga Sertifikasi Profesi Administrasi Negara/Publik
Indonesia, dan Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

173

Dr.Hermawan, SIP,M.Si.
Dr.Hermawan, SIP,M.Si. merupakan salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Menamatkan S1 Bidang Ilmu Hubungan Internasional di UGM (1998), S2
dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2002 dan 2008). Sekarang menjabat
sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan di Jurusan Jurusan
Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Dr. Irwan Noor,MS,


Dr. Irwan Noor,MS, merupakan salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Menamatkan S1 Administrasi Publik di Universitas Brawijaya (1984), S2
Ilmu Politik di UI (1990) dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2010).
Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Jurusan
Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.

Dr. Choirul Saleh,M.Si


Dr. Choirul Saleh,M.Si merupakan salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1986), S2 Sosiologi di
UGM (1995) dan S3 Administrasi Publik (2010). Sekarang sebagai
koordinator Jurnal Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya.

Dr.Siti Rochmah,M.Si
Dr.Siti Rochmah,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 Sarjana
Pendidikan dengan bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP Malang
pada tahun 1983, S2 Magister Sains dengan Bidang Ilmu Sosial di
Universitas Padjadjaran (1995) dan S3 Administrasi Publik di Unibraw
(2007). Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan
Jurusan Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi, Universitas
Brawijaya. Sekarang menjabat sebagai Ketua Laboratorium Bahasa Inggris
FIA Universitas Brawijaya.

174

Drs.Abdullah Said,M.Si
Drs.Abdullah Said,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Sekarang menjadi Anggota RCCP
(Research Center for Conflict and Policy).

Trisnawati,S.Sos,MAP
Trisnawati,S.Sos,MAP adalah salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 S1 Administrasi
Negara di Unibraw pada tahun 2002, S2 Magister Administrasi Publik di
Universitas Brawijaya (2005).

175

Você também pode gostar