Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Editor:
Dr.M.R. Khairul Muluk,S.Sos,M.Si
Published by :
Daftar Isi
Daftar Isi........................................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................. iv
Prakata.............................................................................................................. vi
TANTANGAN BAGI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN
PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN1
Kerjasama Pemerintah Daerah Dalam Melayani Pengelolaan Sampah
(Sebuah Gambaran Pada Pemkot Malang)
Abdullah Said ................................................................................................. 1
e-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik Di Indonesia
Antara Harapan Dan Kenyataan
Choirul Saleh .................................................................................................. 18
Implementasi Undang-Undang Pelayanan Publik:
Siapkah Daerah Otonom?
Abdul Hakim dan Siti Rochmah................................................................... 30
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Berkualitas
Sebagai Upaya Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat
Abdul Yuli Andi Gani........................................................................... ........ 46
Komparasi Konsep Demokrasi Dengan Konsep Syuro Dalam Islam:
Pengambilan Keputusan
Trisnawati .............................................................................................. ........ 61
PEMERINTAHAN YANG INOVATIF SEBAGAI KUNCI
KEBERHASILAN PENGELOLAAN SEKTOR PUBLIK
Kompleksitas Kerjasama Antar Daerah
M.R. Khairul Muluk ............................................................................. ........ 85
ii
iii
KATA PENGANTAR
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Sumartono, MS
Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas
terselesaikannya Proceeding Seminar Nasional dan Konferensi Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diadakan oleh Jurusan Ilmu
Administrasi
Publik
bekerjasama
dengan
Fakultas
Ilmu
Himpunan
Administrasi
Mahasiswa
Ilmu
Universitas
Brawijaya
Administrasi
Publik
(Humanistik).
Sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2011 Tertanggal 20 Mei 2011, Tentang Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada Tahun 2011
2025, diperlukan langkah langkah konkrit yang tepat untuk mewujudkan tujuan
mulia sebagaimana tertera dalam Master Plan ini. Sesuai dengan Visi dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), maka visi dari MP3EI adalah
untuk Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan
Makmur.
Melalui Instrumen MP3EI diharpkan terjadi percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi sehingga akan menempatkan Indonesia sebagai negara
maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD
14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD
4,0-4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil
sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada
periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh
penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0
persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti inilah yang diyakini
merupakan cerminan dari Negara maju. Seminar Nasional dan Konferensi ini,
merupakan salah satu bentuk wujud Kepedulian Fakultas Ilmu Administrasi,
iv
PRAKATA
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
terselesaikannya Proceeding Konferensi Nasional Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diadakan oleh Jurusan Ilmu
Administrasi Publik bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Ilmu
Administrasi Publik (Humanistik), Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya.
Proceeding yang merupakan kumpulan dari makalah (paper) konferensi
ini, merupakan kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian Seminar Nasional
tentang Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia. Makalah makalah
dalam konferensi ini merupakan karya dari Dosen Jurusan Ilmu Administrasi
Publik FIA UB, yang dipersembahkan sebagai bentuk kepedulian akademisi
jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB terhadap proses pembangunan bangsa.
Konferensi ini adalah bentuk sumbangsih nyata bagi suksesnya Master Plan
Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang merupakan salah
satu kebijakan penting yang diambil oleh Pemerintah baru baru ini. Berbeda
dengan sudut pandang kajian yang selama ini ada, konferensi ini ingin
memberikan perspektif yang berbeda, yaitu perspektif keilmuan Administrasi
Publik.
Konferensi nasional yang diselenggarakan pada kegiatan kali ini terdiri
dari dua Kluster. Kluster pertama bertemakan Tantangan Bagi Birokrasi untuk
Mewujudkan Percepatan dan Perluasan Pembangunan. Dalam tema ini
pemakalah memaparkan tentang bagaimana tantangan berat yang dihadapi oleh
birokrasi, untuk mewujudkan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Hal ini mengingat bahwa birokrasi kita masih dirudung berbagai kompleksitas
permasalahan. Makalah pertama adalah makalah karya Dr. Chairul Shaleh, M.Si
yang merupakan salah satu dosen senior di Jurusan Administrasi Publik FIA UB.
Makalah yang berjudul E-Government sebagai inovasi pelayanan publik di
Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan membahas dan mendiskusikan
mengenai sentralnya peran Electronic Government (E-Government) dalam
memberikan pelayanan publik yang lebih baik di Indonesia. Makalah kedua yang
berjudul Implementasi Undang Undang Pelayanan Publik : Siapkah Daerah
Otonom membahas mengenai berbagai permasalahan pelik yang akan dihadapi
daerah otonom ketika mengimplementasikan Undang Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik. Makalah ini merupakan karya dari Prof. Dr.
vi
Abdul Hakim yang merupakan Guru Besar FIA UB dan Dr. Siti Rochmah M.Si
yang merupakan dosen senior jurusan ilmu administrasi publik FIA UB.
Selanjutnya adalah makalah dari Prof. Abdul Yuli Andi Gani yang memaparkan
mengenai Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang Berkualitas sebagai upaya
Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat. Makalah ini menekankan
begitu penting dan besarnya peran pelayanan prima dalam proses pembangunan.
Sedangkan kluster kedua mengambil tema Pemerintahan yang Inovatif
sebagai Kunci Keberhasilan Pengelolaan Sektor Publik. Tema ini menekankan
bahwa Pemerintahan yang inovatif merupakan kunci suksesnya pembangunan.
Pengalaman dari berbagai Pemerintah, baik di Pusat maupun daerah, merupakan
pelajaran yang nyata, bahwa Inovasi memegang peran yang sangat penting dalam
proses pembangunan. Makalah pertama yang didiskusikan dalam konferensi ini
adalah makalah dari Guru Besar bidang Pemerintahan Daerah FIA UB, Prof. Dr.
Bambang Supriyono, MS dengan judul Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam
Rangka Mempercepat Pembangunan Ekonomi Indonesia. Dalam makalah ini
beliau mendiskusikan bagaimana Inovasi yang dilakukan oleh Pemerintahan
Daerah merupakan salah satu factor kunci untuk menunjang proses percepatan
pembangunan, termasuk percepatan pembangunan di bidang ekonomi. Makalah
selanjutnya adalah makalah dari Dr. Hermawan M.Si yang saat ini sedang
menjabat sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Jurusan
Administrasi Publik FIA UB. Makalah yang berjudul Perencanaan
Pembangunan Ekonomi Daerah Melalui Integrasi Sektor Industri Kreatif
(Creative Industry) Dengan Sistem Inovasi Daerah (SIDA) mengelaborasi secara
teoritis maupun praktis tentang perencanaan pembangunan di daerah yang
seharusnya sudah mulai melirik sektor industri kreatif sebagai tumpuan. Agar
lebih optimal, selain dikembangkan sistem inovasi nasional oleh Pemerintah
Pusat, perlu pula dikembangkan system inovasi daerah (SIDA) oleh Pemerintah
Daerah. Paper selanjutnya yang berjudul Segitiga Inovasi: Analisis Membangun
Inovasi Pada Pemerintah Daerah merupakan karya Dr. Irwan Noor, MA, yang
memang menekuni bidang inovasi Pemerintahan Daerah. Segitiga inovasi yang
didisuksikan dalam makalah ini, berusaha mengungkapkan sebuah model di
dalam membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model,
yaitu Leadership, Political and Climate Model. Makalah selanjutnya adalah
makalah dengan judul Kerjasama Antar Daerah dalam perspektif Sound
Governance, ditulis oleh Dr. Tjahjanulin Domai, MS, yang merupakan pakar dari
kerjasama antar daerah khususnya dalam perspektif Sound Governance.
Kerjasama antar daerah yang dipaparkan dalam makalah ini, menggunakan
perspektif Sound Governance, yang akhir akhir ini hangat dibicarakan di kalangan
ilmuwan administrasi publik. Masih soal kerjasama antar daerah, makalah
vii
selanjutnya adalah makalah yang disampaikan oleh Drs. Abdullah Said, M.Si
dengan judul Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Melayani Pengelolaan
Sampah (Sebuah Gambaran pada Pemerintah Kota Malang), yang
mendiskusikan tentang permasalahan sederhana tapi penting- namun tak pernah
selesai : sampah. Dalam makalah ini ditawarkan mekanisme kerjasama antar
daerah dalam pengelolaan sampah.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam proses
seminar maupun penyusunan proceeding ini. Namun, kami berharap perspektif
keilmuan Administrasi Publik ini, dapat memperkaya dan ikut berkontribusi
dalam proses Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Negara ini. Semoga.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Malang, 30 Juli 2012
Hormat Kami,
Ketua Jurusan Administrasi Publik,
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
viii
PENDAHULUAN
Sampai saat ini sampah merupakan masalah serius di negeri ini. Kota-kota
besar dengan jumlah penduduk yang padat dan lahan yang terbatas tetapi masih
mengelola sampah secara tradisional mengakibatkan pengelolaan sampah
terbengkalai. Lahan yang dipakai sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
seringkali melewati batas kota dan berada di wilayah kabupaten di sekitar kota.
Hal ini bisa terjadi bilamana terdapat kerjasama dan pengertian yang baik antara
dua institusi atau lebih. Kota yang tidak mempunyai kerjasama dengan kabupaten
dalam pengelolaan sampah akan menghadapi keterbatasan lahan yang lambat laun
tidak akan mampu menampung produksi sampah setiap harinya. Alternatif
pengolahan sampah dengan cara modern harus menjadi pertimbangan seperti
penghilangan/pemusnahan sampah dengan incinerator.
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa
kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh,
dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1)
sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa
sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk
seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah
yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan,
seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat
kimia dan agen penyakit yang berbahaya
Keterbatasan dana dapat menjadi penyebab kenapa kebanyakan kota
belum/tidak memakai teknologi modern pengelolaan sampah ataupun karena
masih berjalannya kerjasama antar dua institusi pemerintah kota dan kabupaten
dalam menyediakan TPA. TPA memang menjadi alternatif pengelolaan sampah
yang murah akan tetapi apabila tidak ditangani dengan baik akan menjadi sumber
penyakit, kotor, sumber bau dan pencemaran lingkungan yang serius.
Dengan teknologi yang tepat, sampah yang tadinya menjadi masalah
sebagai barang buangan, kotor, berbau, menimbulkan penyakit dan mencemari
lingkungan dapat menjadi barang yang bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai
ekonomi tinggi. Teknologi tersebut bisa berupa pemanfaatan sampah menjadi
kompos, daur ulang, maupun pemakaian kembali. Hal ini bisa terlaksana apabila
terdapat pemisahan sampah dan menjadi semakin efektif apabila pemisahan
sampah dipahami dan dilakukan dengan baik oleh penghasil sampah (Rumah
Tangga, Industri, Kantor, dll).
Pemerintah Kota/Kabupaten dengan kebijakannya dapat mengendalikan
polusi melalui pengelolaan sampah yang baik. Instrumen kebijakan tersebut bisa
berupa strategi yang dituangkan dalam peraturan sehingga semua pihak terikat
untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta sanksi yang jelas. Pengelolaan
sampah selain didukung oleh instrumen kebijakan, didalamnya mengandung
aspek ekonomi, aspek budaya masyarakat dalam memandang sampah dan
kebersihan, aspek partisipasi dan aspek manajemen.
Global Warming akibat menipisnya lapisan ozon bisa disumbangkan oleh
pengelolaan
sampah
yang
buruk
seperti
pembakaran
sampah
dalam
mengontrol polusi yang dihasilkan untuk menjaga dan melindungi udara, air, air
bawah tanah dan sampah padat yang berbahaya.
Buruknya pengelolaan sampah bisa membuat air dan sumber air tidak
dapat dipakai karena tercemar oleh sampah industri dan rumah tangga, berbau dan
berbahaya seperti yang terjadi di Australia pada tahun 1800an seperti kutipan
berikut:
By the 1820s, the Tank Stream on which Sydney had
depended, had become so polluted that it could not be used for
domestic water. In Victoria, Batmans Swampa lake with
clear water and abundant wildlifebecame a receptacle for
the industrial and household waste of expanding Melbourne
and by the 1860s was foul-smelling and dangerous. (Australian
Government, National Waste Report 2010).
Sejak lahirnya kebijakan lingkungan di sebagian besar negara-negara
industri, pemerintah cenderung untuk menggunakan kekuasaan dan pengawasan,
(berupa peraturan yang langsung secara terus-menerus dengan pengawasan dan
sistem penyelenggaraan) sebagaimana strategi penguasa dalam pengendalian
polusi dan pengelolaan sampah. Pendekatan yang umum ini memerlukan
pemerintahan yang sehat berkenaan dengan ketetapan standar dalam pengelolaan
sampah.
Pada kasus yang lebih umum, pendekatan kekuasaan dan pengawasan juga
mempunyai jadwal pertemuan dan standar, memberikan ijin serta prosedur
penyelenggaraan untuk fasilitasi, penetapan tanggungjawab, dan hukuman bagi
yang tidak memenuhi. Tanggungjawab untuk menetapkan dan menjalankan
standar dan persyaratan lain dibagi dalam cara menetapkan perundangan-udangan
antara pemerintah pusat, propinsi, dan pemerintah lokal.
Pendekatan
kekuasaan
dan
pengawasan
memberikan
pengaturan
kekuasaan yang maksimum untuk mengontrol dimana dan bagaimana sumbersumber daya akan digunakan untuk mencapai sasaran yang berwawasan
lingkungan. Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah dengan menyiapkan
aturan yang rasional untuk memprediksi tentang berapa banyak tingkat polusi
yang bisa dikurangi. Pendekatan ini juga membatasi kompetisi diantara fasilitasfasilitas yang tidak mangadopsi teknologi ramah lingkungan.
Pada kasus-kasus pengendalian polusi udara, sebagai
contoh, semua fasilitas baru harus mengadopsi teknologi
penyusutan yang seragam. Pada kasus pengendalian polusi air,
polusi yang sama di kontrol dengan teknologi yang diterapkan
pada kelas industri, dengan mengabaikan usia fasilitas
(Moore 1989).
Pada pihak yang mendatangkan pencemaran, prinsip upah-pengguna
membayar hukuman yang bersifat finansial untuk tingkat polusi yang lebih tinggi
dan membayar hukuman lebih kecil atau menerima hadiah finansial untuk tingkat
polusi yang lebih rendah.
Menurut prinsip pengguna-upah, pengguna sumber
upah merupakan biaya sosial yang penuh untuk menyediakan
sumber-sumber, seperti untuk air dan dihubungkan pada
pelayanan-pelayanan termasuk biaya pengurusan pengobatan.
Sementara instrumen ekonomis menerapkan biaya langsung
(contoh, dasar tuntutan untuk pembatasan volume dan
pencemaran kota, pembayaran-per-sistim per karung untuk
buangan limbah padat, biaya izin untuk pengeluaran udara
dimana perubahan-perubahan biaya dengan yang dipancarkan,
yang disetorkan dibayar ulang, instrumen lain meliputi biayabiaya tidak langsung seperti pajak-pajak polusi yang di
masukkan (sebagai contoh, pajak-pajak bahan bakar). (OECD
1990).
Secara keseluruhan, pendekatan ekonomis
mempunyai beberapa
keuntungan:
Hemat biaya promosi yang berarti mencapai tingkat yang dapat diterima
tentang polusi;
hal
tersebut
di
atas,
instrumen
ekonomis
sering
akhir.
Data
mengenai
transportasi
sampah
dari
tempat
Kabupaten/Kota
Kabupaten
170
Serang
Kota Tangerang
750
Kota Jakarta
6.000
Kota Bekasi
1.100
Kabupaten
290
Bekasi
Kota Depok
750
Kota Bogor
520
Kota Bandung
Kabupaten
Bandung
2.000
2.250
Kota Cirebon
Kota Surabaya
Total
150
2.200
16.180
Sampah yang
diangkut dari TPS Prosentase
ke TPA
26,
45
47
53,
400
33
88,
5.300
33
23,
260
64
72,
210
41
30,
230
67
69,
360
23
77,
1.550
50
17,
400
78
86,
130
67
59,
1.300
09
62,
10.185
95
menampung sampah, lima sel di antaranya telah penuh. Sel yang masih kosong
adalah sel IV. Saat ini, pembuangan sampah terfokus di sel VI. Itu pun akhir 2009
diprediksi sel VI sudah penuh. Kami berupaya pengangkutan itu tetap stabil.
Yang tak terangkut dicarikan jalan alternatif. Salah satunya dengan komposting.
Pada tahun ini (2001) Kota Malang menghasilkan sampah cukup tinggi
yakni sebesar 400 ton perhari. Sebagian besar sampah tersebut berasal dari rumah
tangga. Sedangkan sisanya berasal dari sampah pasar hingga sampah industri yang
dikumpulkan dari 75 TPS dari seluruh sudut Kota Malang.
Kepala DKP Kota Malang, Drs. Wasto, SH. MH. membenarkan jika
volume sampah di Kota Malang sudah mencapai ratusan ton per hari. Melihat
volume yang sangat besar ini, sampah menjadi persoalan yang cukup pelik.
Bahkan, saat ini dana operasional komposting di sembilan lokasi itu hanya
mengandalkan penjualan pupuk. Padahal, harga pupuk kompos per kilogramnya
hanya berkisar antara Rp 150-Rp 300. Selain optimalisasi sembilan lokasi sentra
pembuatan pupuk kompos, DKP juga gencar melakukan sosialisasi pentingnya
pemilahan sampah untuk skala rumah tangga. Sosialisasi ini terkait dengan
program penyebaran keranjang takakura kepada penduduk di lima kecamatan
Kota Malang. Dengan membuat kompos sendiri, diharapkan volume sampah
yang terangkut tetap stabil. Sedangkan yang tak terangkut bisa diatasi sendiri oleh
masyarakat.
Permasalahan sampah akan berlanjut apabila sampah yang dikumpulkan
tidak dipilah-pilah menurut jenis sampahnya karena apabila dibakar, bahan-bahan
anorganik akan menjadi sumber polusi yang sangat berbahaya bagi kesehatan
manusia dan lingkungan. Sampah yang tidak dipilah dengan benar menjadikan
teori 3R mengenai sampah tidak dapat dijalankan dengan baik.
Konsep 3R adalah prinsip pengolahan sampah yang terdiri dari Recycle,
Reuse dan Reduction. Pengelolaan sampah mengikuti hirarki pertama yaitu
reduction, mengurangi sampah yang dihasilkan dengan bijaksana. Hirarki kedua
adalah re-use, sebelum membuang barang, kita harus melihat apakah barang
tersebut masih bisa digunakan kembali atau tidak baik digunakan sendiri atau oleh
orang lain seperti furnitur, komputer, gelas, kaca dan lain-lain dan hirarki terakhir
adalah recycle atau daur ulang, barang yang dihasilkan pada zaman sekarang
sebisa mungkin adalah barang yang bisa di daur ulang.
Menurut Visvanathan (2006), permasalahan penanganan sampah yang
didasarkan pada studinya di negara-negara Asia Selatan ada pada aspek teknik,
manajemen, keuangan, hukum dan pendukung. Diantaranya yang menjadi
permasalahan penanganan sampah pada aspek teknik meliputi ketentuan fasilitas
penampungan sampah primer, transportasi sampah dan sistem pengelolaan
sampah. Pada aspek manajemen terdapat permasalahan diantaranya adalah
pelaksanaan masterplan yang tidak sesuai, lemahnya pengawasan penanganan
sampah dan kurangnya dukungan LSM dan organisasi berbasis masyarakat.
Aspek keuangan mempunyai permasalahan pada transparansi dan belum ada
pembedaan biaya pada penghasil sampah yang banyak dan sedikit. Aspek hukum
mempunyai masalah pelaksanaan standar polusi dan emisi, zona bebas bangunan
sekitar 500m2 di sekitar TPA dan aspek yang terakhir adalah aspek pendukung
yang mempunyai permasalahan kurangnya dukungan swasta, pendidikan publik
mengenai sampah, dan mendorong pemisahan sampah.
Permasalahan yang terjadi di negara-negara Asia Selatan bisa mungkin
terjadi di Indonesia karena karakteristiknya tidak terlalu beda baik geografi,
penduduk maupun kebudayaan. Permasalahan yang sesuai dengan kondisi di
Indonesia merupakan titik masuk untuk melakukan identifikasi masalah dalam
membuat model di penelitian ini.
Pemerintah melalui aparatnya dalam mengelola sampah harus dengan cara
profesional seperti yang telah dilakukan oleh pihak swasta. Menurut Wahab
(1999:89) model pelayanan publik yang dianjurkan salah satunya adalah
menggunakan model pelayanan yang telah lama berlangsung di sektor
bisnis/swasta (market like-modes). Ungkapan ini sejalan dengan pemikiran
Osborne dan Gaebler (1992:91) yang mengungkapkan bahwa swasta lebih baik
dalam melaksanakan fungsi-fungsi bisnis, meskipun tidak dipungkiri bahwa ada
perbedaan antara swasta dan publik. Penggunaan kepada model swasta
menyebabkan terjadinya perubahan orientasi yang menurut Wahab :
10
(producer-oriented)
berubah
kepada
orientasi
pada
undang-undang
publik
dan
norma-norma
demokratis.
11
seperti
kewajaran,
keadilan,
partisipasi,
dan
artikulasi
sisi
lain,
perlu
ditinggalkannya
prinsip-prinsip
old
public
administration ataupun new public management dan beralih ke prinsip new public
service disebabkan karena kinerja birokrasi pelayanan publik saat ini menjadi isu
kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki
implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan
ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang
amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa segera keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Buruknya kinerja birokrasi publik sering menjadi determinan
yang penting dari penurunan minat investasi. Sayangnya, kinerja birokrasi publik
dari berbagai studi dan observasi tidak banyak mengalami perbaikan bahkan
cenderung menjadi semakin buruk.
Kesan umum
(public
image)
akan
rendahnya
kinerja
birokrasi
12
pemerintah
sedang
mengalami
13
secara
memuaskan.
Petugas
administrasi
pemerintahan
harus
14
KESIMPULAN
15
16
Martin, L.L. dan P.M. Kettner, 1996, Measuring the Performance of Human Service Program,
New Delhi : Sage Publications
Moenir, H.A.S., 2002, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta
Osborne, D. and Gaebler T., 1992, Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector, Reading, MA : Harvard University Press
Pollitt, Christopher, & Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform ; A Comparative
Analysis, Oxford University Press, London
Salusu, Jonathan, 1997, Pengambilan Keputusan Strategik Dalam Organisasi Publik dan NonProfit, PT. Gramedia, Jakarta
Tangkilisan, H.N.S., 2005, Manajemen Publik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta
The Liang Gie, 1987, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III,
Liberty Offset, Yogyakarta
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1989, Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Tiara Wacana,
Yogyakarta
Townley, B., 1994, Reframing Human Resource Management : Power, Ethics and the Subject at
Work, London : Sage Publications
Wahab, Solichin Abdul, 1999, Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Prespektif Teori
Governance, Jurnal Administrasi Negara, Vol. II No. 1, Jurusan Administrasi Negara, FIA,
Universitas Brawijaya Malang
17
PENDAHULUAN
Disampaikan pada acara Seminar Nasional Jurusan Ilmu Administrasi Publik Dalam Rangka Dies Natalis
FIA UB ke 51 pada tanggal; 08 Oktober 2011
2 Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB Malang.
18
kelebihan dari penerapan E-Gov tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat menumbuhkan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
negara atau pemerintah.Walaupun berbagai bukti nyata telah memberikan
petunjuk bahwa banyak negara maju yang bisa memperoleh manfaat besar dari
pengaplikasian E-Gov, tetapi secara umum banyak negara yang terlambat
mengadopsi ICT tersebut ke dalam tubuh organisasi pemerintahannya, terutama
bagi negara-negara sedang berkembang, sebagaimana halnya yang terjadi di
Indonesia hingga di pertengahan tahun 2001 saat ini. Jangankan untuk
menyelenggarakan program E-Gov, bahkan untuk mengaplikasikan E-Service pun
pada umumnya mereka sangat terlambat, dengan berbagai alasan yang seolah-olah
logis, mengapa mereka, segera mengadopsi ICT secara konsekwen dalam rangka
meningkatkan kinerja mereka, terutama dalam melakukan public services delivery
bagi warga negaranya.
Tidak berbeda dengan negara-negara sedang berkambang pada umumnya,
Indonesia hingga saat ini juga masih termasuk sebagai negara yang sangat
terlambat dalam mengodopsi ICT sebagai sarana utama dalam pelaksanaan
kerjanya. Bahkan berdasarkan UN Goverment Survey (2008) Indonesia belum
termasuk sebagai salah satu dari 70 negara di dunia yang memiliki tingkat
kesiapan dan kemampuan yang cukup dalam mengimplementasikan prinsipprinsip E-Govke dalam kehidupan organisasi pemerintahannya.
E-GOVOVERNANCE SEBAGAI TINDAKAN INOVASI PELAYANAN PUBLIK.
19
forward
interactionsehingga
dapat
mengefektifkan
dan
20
warga
masyarakatnya,
users,citizenmaupun
yang
baik
berstatus
mereka
yang
berstatus
sebagai
sebagaicustomer.Menanggapi
tentang
berbagai manfaat positif yang dapat dirasakan oleh negara-negara maju yang telah
mengaplikasikan E-Gov. secara konsekwen tersebut, Bhatnagar dalam Pathak et al
(2008) mengatakan Online system have not only helped achieve efficiency gains
by cutting overal time to process applications but also made transactions more
traceable, transparent and eaisier to access.
Mengomentari tentangberbagai hasil dan dampak positif yang telah
dirasakan oleh berbagai negara maju melalui penerapan E-Gov. tersebut,
Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dalam UU
Government Survey (2008: 3) mengatakan sebagai berikut:
Innovation
in
information
and
communication
21
yang
dilakukan
olehpihak
pemerintah
kepada
mereka
yang
membutuhkannya. Salah satu bentuk korupsi bidang pelayanan publik yang bisa
diminimalisir secara efektif melalui penyelenggaraan E-Gov itu adalah apa yang
lajim disebut sebagai petty bureaucratic corruption maupun yang disebut sebagai
low-level administrative corruption (Pathak et al; 2008) yang sering dilakukan
oleh kelompok birokrat kelas bawah yang oleh Lipsky (1980) diistilahkan sebagai
Street Level Bureaucrats.
22
untuk
menciptakan
tewujudnyaclean
government
atau
menekan
INDONESIA
DALAM
23
2008 hanya berada pada rangking 106, yang berarti dalam kurun waktu sekitar 3
tahun, penerapan E-Gov di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 10 poin.
Mengapa prestasi Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov mengalami
kemerosotan yang drastis?, sementara itu apabila dilihat secara faktual, bahwa
program penggunaan ICT pada berbagai organisasi sektor publik di Indonesia
semakin tahun jumlahnya menjadi semakin meningkat. Boleh jadi bahwa secara
kuantitatif jumlah organisasi sektor publik di Indonesia yang menerapkan EService sebagai embrio dari penerapan E-Gov.memang semakin besar jumlahnya,
tetapi apabila dilihat dari segi kualitas penerapannya, sebagian besar dari mereka
belum menampakkan kondisidan prestasi yang optimal, apa lagi untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik penyedia
jasa layanan pada khususnya maupun kepercayaan publik terhadap negara pada
umumnya, ternyata masih jauh dari harapan yang dinginkan.
Secara garis besar untuk menakar tingkat kesiapan dan kemampuan
Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov. dapat dilihat melalui 3 (tiga) aspek
dasar yang terdiri dari:
1. Berdasarkan proses internal atas penyelenggaraan E-Gov. terkait dengan
pelaksanaan pekerjaan organisasi sektor publik tertentu yang bertujuan to
improving of internal government operation yang bermuara pada
terciptannya proses kerja yang tebih transparan, efisien dan efektif sehingga
dapat menekan biaya operasional sampai pada batas minimal yang paling
rendah dengan waktu pelaksanaan yang tercepat.
2. Berdasarkan output yang mampu dihasilkan melalui penyelenggaraan EGov.yang dapat menyederhanakan dan mempermudah bagi pihak
masyarakat untuk mengakses jasa layanan publik yang disediakan oleh
organisasi sektor publik sebagai provider-nya, sehingga dapat mempercepat
dan meningkatkan adanya pemerintahan yang demokratis melalui
penerapan ICT sebagai basis dari penyelenggaraan E-Gov.
3. Berdasarkan outcome yang dapat dilihat dari munculnya kepuasan
masyarakat penerima jasa layanan yang berdampak pada meningkatnya
public trustpihak masyarakatterhadap proses penyerahan jasa pelayanan
24
25
26
jam/hari selama 1 (satu) minggu penuh tanpa berhenti. Terlebih lagi apabila
penerepan E-Gov. tersebut dihubungkan dengan menurunnya angka korupsi
sebagaimana yang terjadi di Fiji dan Etiopia ( Pathak; 2008) maka Indonesia
masih berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan, sebab E-Gov. yang telah
diaplikasikan selama ini tidak berdampak sedikitpun terhadap terjadinya
penurunan angka korupsi di negeri ini. Oleh sebab itu dilihat dari sisi penerapan
E-Gov, masih banyak Pekerjaan Rumah (PR)yang harus segera dilakukan oleh
Indonesia agar pelaksanaan E-Gov benar-benar dapat menghasilkan sesuatu yang
positif di segala bidang sebagaimana yang telah terjadi diberbagai negara lainnya.
Masih relatif rendahnya kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan EGov ini salah satu diantaranya adalah diakibatkan oleh rendahnya kualitas Sumber
daya aparatur (SDA) yang yang secara teknis diberi kepercayaan atau
kewenangan dalam mengoperasional E-Gov dalam menjalankan tugas mereka
sehari-hari. Banyak para pemerhati tentang pelaksanaan E-Gov di Indonesia
mengambil sebuah kesimpulan bahwa rendahnya kemampuan Indonesia dalam
menerapkan E-Govselama ini adalah merupakan akibat dari masih rendahnya ICT
literacy yang melekat pada SDA, karena mereka belum memiliki profesionalitas
ataupun kompetensi yang cukup memadai dibidang ICT, karena dengan berbekal
profesionalitas kompetensi tersebut dapat mengakibatkan seseorang dapat
melakukan pekerjaan secara efisien, efektif dan ekonomis. Mungkin saja
sinyalemen yang semacam ini tidak terlalu salah, apabila kita melihat kondisi
SDA yang bekerja pada organisasi sektor publik di indonesia sekitar 5 tahun atau
10 tahun yang lalu, tetapi sinyalemen yang semacam ini barang kali sudah kurang
tepat lagi apabila digunakan untuk menganalisis keadaan SDA yang bekerja pada
organisasi sektor publik di indonesia ada pada saat ini. Dalam hal ini Witthon
(2007) tidak menafikkan bahwa pelaksanaan kerja secara efisien, efektif dan
ekonomis memang bisa diraih oleh para SDA yang memiliki profesionalitas dan
kompetensi teknis yang tinggi. Namun demikian, selanjutnya Ia mengatakakan
bahwa prinsip 3E yang terdiri dari efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam
penyelenggaraan administrasi publik tidaklah cukup, oleh sebab itu harus
ditambah dengan 1 prinsi E lagi yang Ia sebut sebagai professional ethic atau
ethical competence.
27
28
DAFTAR PUSTAKA
Ancarani, Alessandro, 2005, Towards Quality E-Service In The Public sector, The Evolution of
Web Sites In The local Public Sercice Sector, Managing Service Quality, Vol 15 No 1, Pp. 623, Emerald Group Publishing Ltd.
Backus, M, 2001, E-Governance and Developing Countries Introduction and Examples, IICD
Research Report No 3.
Farazman, A, 2004, Innovation In Strategic Human Resource Management, Building Capacity In
The Age of Globalization, Public Organization Review, 4, 3-24.
Joseph, Rhonda, C, 2009, E-Government And E-HRM In The Public Sector, dalam Enciclopedia
of Human Resource Management System,: Challenges in HRM, Hersly New York,
Information Science Refference, Publisher.
Lipsky, M., 1980, Street Level Bureaucracy, Dilemmas Of Individual In Public Services, Russell
Sage Foundation, New York.
Pathak, R., D, et al (2008), E-Governance, Corruption and Public Service Delivery: A
Comparative Study of Fiji and Ethiopia, JOAAC, Vol 3 No. 1.
Sakowitcz, Marcin, 2003, How to Evaluate E-Government?, Different Methodologies and
Methods, Warsaw School of Economics, Departement of Public Administration, Email:
msakow@sgh.waw.pl, downloaded 19 January 2010.
United Nation, 2008, UN E-Goverment Survey From E-Government to Connected Governance,
UN, Publication
29
PENDAHULUAN
Secara hukum Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik telah diundangkan pada tanggal 18 Juli 2009 dan dimuat secara resmi
dalam Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 112. Namun sampai sekarang
implementasi undang-undang, yang sangat dinantikan oleh publik tersebut, belum
terlaksana karena Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaannya
bagi para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik belum terbit sampai saat
ini. Menarik untuk disimak, bahwa undang-undang tersebut lahir atas dasar
beberapa pertimbangan sebagai berikut: pertama, bahwa negara berkewajiban
melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan
dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Kedua, untuk membangun
kepercayaan publik terhadap penyelenggara pelayanan publik. Ketiga, sebagai
upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk
serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik; dan keempat, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan
menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberikan perlindungan bagi
setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Terlepas dari alasan-alasan tersebut, disadari bahwa ada suatu fenomena
empirik yang mendorong ke arah pentingnya aturan hukum dan manajemen
pelayanan publik, yaitu kondisi kualitas pelayanan publik yang dirasakan buruk,
atah bahkan santa buruk, oleh warga negara dan penduduk Indonesia. Menurut
Tjokrowinoto (2001), sikap dan perilaku birokrasi publik pada tataran
pemerintahan lokal yang berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat sebagian besar terkooptasi kepentingan-kepentingan pribadi dan
30
31
Publik
atau
disebut
Penyelenggara
adalah
setiap
institusi
undang-udang
pelayanan
publik
untuk
mewajudkan
sistem
DAN
PELAKSANA
DALAM
32
pelayanan
yang
berkualitas
sesuai
33
dengan
asas
pertanggungjawaban
apabila
mengundurkan
diri
atau
34
(e)
memberikan
pelayanan
yang
berkualitas
sesuai
dengan
asas
35
dalam
arti
prosedur
atau
tata
cara
pelayanan
berdasarkan
bukti-bukti
penerimaan
permohonan
dan
36
d. Keterbukaan, dalam arti prosedur atau tata cara atau persyaratan, satuan
kerja atau pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu
penyelesaian dan rincian biaya dan hal-hal yang berkaitan dengan proses
pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka kepada masyarakat
agar mudah dan diketahui masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
e. Efisiensi, dalam arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan langsung dengan maksud dan tujuan pelayanan yang
diberikan, mencegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan
persyaratan, kelengkapan sebagai persyaratan dari satuan kerja atau instansi
pemerintah lain yang terkait.
f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan nilai barang dan atau jasa pelayanan
umum dan tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran, kondisi dan
kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum
harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan
diperlakukan secara adil.
h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam menyusun standar pelayanan
adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna
jasa layanan atas pelayanan yang diberikan. Dalam konteks ini, Parasuraman et al.
(1985) setelah meneliti lima perusahaan yaitu: perbankan, kartu krdit, perbaikan
dan perawatan peralatan elektronika, broker saham, dan perusahaan telepon SLJJ,
dan dengan menggunakan 22 instrumen pengukur kualitas layanan (dikenal
dengan SERVQUAL) menyimpulkan terdapat lima dimensi kualitas layanan yang
berpengaruh pada kepuasan pengguna jasa layanan, yaitu: (1) bukti langsung
(tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, sarana komunikasi; (2)
keandalan (reability), meliputi kemampuan memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan segera; (3) daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para
37
staf dan karyawan untuk membantu para pengguna jasa layanan dan memberikan
pelayanan dengan tanggap;
yang mencakup:
38
dalam
penyelenggaraan
dan
pelaksanaan
pelayanan
publik
39
fasilitas pelayanan publik; (l) tidak memberikan informasi yang salah atau
menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam
memenuhi kepentingan masyarakat; (m) tidak menyalahgunakan informasi,
jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki; (n) sesuai dengan kepantasan; dan
(o) tidak menyimpang dari prosedur.
Dalam penyelenggaraan pelayanan public dibutuhkan dibutuhkan aparatur
yang memiliki komitmen dan semangat kerja tinggi untuk mencapai kinerja
pelayanan public yang sesuai standar pelayanan yang telah ditentukan, dan
menghasilkan kepuasan dari para pengguna jasa layanan. Hasil penelitian tentang
kinerja di antaranya menunjukkan bahwa kinerja (performance) akan tercapai jika
secara internal pegawai memiliki komitmen dan semangat kerja yang tinggi dan
dari sisi eksternal dilibatkan dalam berbagai bidang kerja, sesuai dengan
kompetensinya; di samping tersedianya informasi yang tepat berkaitan dengan
bidang kerjanya (Vogel, 1981). Faktor eksternal dan internal tersebut akan
berpengaruh terhadap kinerja pegawai atau sikap pegawai di lingkungan
organisasinya. Dalam kerangka perilaku organisasi terdapat sejumlah sikap yang
berkaitan dengan pekerjaan. Kebanyakan riset dalam ilmu perilaku organisasi
memperhatikan ketiga sikap tersebut, yaitu: kepuasan kerja, semangat kerja, dan
komitmen terhadap organisasi (Brooke, 1988:139-145). Hasil survey yang
dilakukannya menunjukkan bukti yang nyata bahwa terdapat kerugian organisasi
yang disebabkan oleh sikap, keinginan, motivasi dan komitmen pegawai yang
rendah di bidang kerjanya. Misalnya, 50 persen menyatakan mereka tidak
berusaha lebih keras dalam pekerjaan dan mereka hanya bekerja sekedarnya agar
tidak dikeluarkan; 52 persen percaya bahwa bekerja keras tidak menghasilkan
pekerjaan yang lebih baik; 60 persen mengakui mereka tidak bekerja keras seperti
sebelumnya; dan 77 persen mengatakan mereka tidak bekerja sekeras yang dapat
mereka lakukan.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam konteks implementasi
Undang-undang Pelayanan Publik, Pemerintah daerah membutuhan aparatur
pelaksana pelayanan publik yang tidak hanya memiliki komitmen terhadap
organisasi sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik tetapi juga memiliki semangat
40
kerja. Komitmen pada organisasi sebagai suatu sikap yang diambil pegawai,
bagaimanapun juga menentukan perilakunya sebagai perwujudan dari sikap.
Konsekuensi perilaku yang muncul sebagai perwujudan tingginya tingkat
komitmen pegawai pada organisasi antara lain: rendahnya tingkat pergantian
pegawai, rendahnya tingkat kemangkiran, tingginya motivasi kerja, menyukai
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencapai kinerja yang
tinggi, sebagaimana yang dicerminkan dari model hubungan antara nilai, sikap
dan perilaku (Davis dan Frederick, 1984:75). Sedangkan semangat kerja dapat
dilihat dari aspek-aspek seperti motif, motivasi dan hasrat yang kuat untuk
melakukan sesuatu. Semakin tinggi semangat kerja pegawai semakin kuat
dorongan untuk melaksanakan tugas. Jadi komitmen dan semangat kerja memiliki
kaitan yang erat.
Komponen yang keempat yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah
dalam menyelenggarakan pelayanan publik adalah menyediakan sarana dan
prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim
pelayanan yang memadai. Dalam Pasal 25 UU Pelayanan Publik disebutkan
antara lain: (a) Penyelenggara dan Pelaksana berkewajiban mengelola sarana,
prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan,
akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan
dan/atau penggantian sarana, prasarsana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; (2)
Pelaksana wajib memberikan laporan kepada Penyelengara mengenai kondisi dan
kebutuhan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik sesuai dengan
tuntutan kebutuhan standar pelayanan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah saatnya Pemerintah Daerah untuk
membuat pemetaan kebutuhan sarana, prasarana dan fasilitas pelayanan publik,
untuk kemudian melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan
sarana,
41
42
43
44
DAFTAR PUSTAKA
Brooke, Russel Price, 1988. Discriminant Validation of Measures of Job Satisfaction:
Realtionship to Motivation and Satisfaction. Dalam Journal of Applied Psycology.
Davis, Keith dan William Frederick, 1984. Bussiness and Society. Fifth Edition. Japan:
McGrawHill.
Kotler, Philip, 2003. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control.
Englewood Cliffs N.J.: Prentice-Hall International Inc.
Lovelock, Ch., 1988. Product Plus: How Product Plus Service Competitive Advantage. New York:
McGraw-Hill Book Co.
Moenir, A.S, 1995. Pendekatan Manusia dan Organisasi Terhadap Pembinaan Kepegawaian.
Jakarta: Gunung Agung.
Osborne, David, dan Petter Plastrik, 1997. Banashing Bureaucracy the Five Strategies for
Reinventing Government. California: Addson-Wesley Publishing Co. Inc.
Parasuraman, A., V.A. Zeithaml, and L.L. Berry, 1985. A Conceptual Model of Service Quality
and Ist implications for Future Research. Dalam Journal of Marketing, Vol. 4, 1985, p.48.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001. Birokrasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Vogel, Ezra F., 1981. Japan as Number One: Lesson for American Bussines Leader. Tokyo:
University Press.
45
masyarakat,
maka
administrator
publik
seharusnya
memusatkan
46
mengembangkan,
memperbaiki
dan
mengelola
sumberdaya
yang
pemerintahan
daerah
perlu
ditingkatkan
dengan
lebih
47
48
kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Kondisi
lingkungan global yang penuh persaingan menuntut organisasi untuk lebih
dinamis dengan perubahan lingkungannya. Sehingga setiap pegawai harus
memandang, memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan.
Perencanaan strategis adalah suatu cara untuk membantu organisasi dan
komunitas masyarakat dalam mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah
serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan. Gejolak yang makin
meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan
komunitas publik. Pertama, organisasi harus berpikir strategis yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya. Kedua, organisasi harus bisa menerjemahkan inputnya
untuk strategi yang efektif guna menanggulangi lingkungan yang senantiasa
berubah. Ketiga, organisasi harus mengembangkan alasan yang diperlukan untuk
meletakkan landasan bagi pemakaian dan pelaksanaan strateginya. Perencanaan
strategis dapat membantu organisasi dan komunitas untuk merumuskan dan
memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi. Selain itu, perencanaan
strategis dapat pula membantu organisasi dan komunitas membangun kekuatan
49
50
sehingga
pelayanan
perijinan
dapat
diselenggarakan
secara
51
52
masyarakat,
sehingga
menyulitkan
bagi
mereka
yang
memerlukan pelayanan.
d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan
lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih
ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan
instansi pelayanan lain yang terkait.
e. Terlalu birokratis. Pelayanan, khususnya pelayanan perijinan pada
umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari beberapa meja
yang harus dilalui, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang
terlalu lama.
Dalam hal penyelesaian masalah dalam proses pelayanan, staf pelayanan
tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah, dan di lain pihak
masyarakat sulit bertemu dengan penanggung jawab pelayanan. Akibatnya,
berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk
diselesaikan.
Bukan rahasia lagi bahwa panjangnya meja birokrasi dalam pengurusan
perijinan/untuk mendapatkan pelayanan, dimanfaatkan oleh oknum aparat
untuk mengambil Pungutan Liar (Pungli), sehingga mengakibatkan
53
SDM
Kelembagaan
yang
memungkinkan,
masyarakat
dilibatkan
dalam
fungsi
54
performance maka perlu disusun tata cara, mekanisme dan prosedur pelakasanaan
bagi unit kerja.
Pemecahan Masalah
sangat
ditentukan
oleh
kemampuannya
mengatasi
berbagai
55
56
57
58
bersumber
dari
APBN/APBD.
Penyimpangan,
pelanggaran,
baru
dalam
rangka
peningkatan
ditentukan menjadi
pelayanan
publik
dan
pemberdayaan masyarakat.
6. Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal
seperti:
1) Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepada
masyarakat.
2) Adanya sistem penanganan keluhan yang responsif.
59
3) Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila
mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
daerah.
4) Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat
pelaksana pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichien, 2008, Analisa Kebijakan Publik, UMM Press, Malang.
Depkofindo, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan e-goverment, 2003.
---------------, 2006, Panduan Pengelolaan Situs Web Pemerintah Daerah.
Depdagri, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor Tahun 2008 tentang Pelaksanaan egovernment di Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah.
Eddy Satriya, 2003, Electronic Government, Bulettin Pemerintahan, (30) Maret 2003.
Eko Bambang, 2009, Strategi Pelayanan Prima dalam Layanan Publik, Banyumedia, Malang.
Indrajit, Richardus, 2002, Electronic Government, Penerbit Andi Yogjakarta.
Kushandajani. Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Peningkatan Pelayanan Publik di Era
Otonomi Daerah
Kominfo Newsroom. 2009. Ombusman Republik Indonesia. Jakarta.
Laguboti, Toba, 2005, Peluang Indonesia untuk Bangkit Melalui Implementasi E-government,
Depkofind0.
LGSP/USAID Amerika. 2008. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Dengan Skema Tindakan
Peningkatan Pelayanan (STPP).
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007, Manajemen Pelayanan Publik, Pustaka Pelajar
Yogjakarta.
Sosiawan, Edwi Srif, 2004, Implementasi E-government pada Pemerintah Daerah di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogjakarta.
Suparjo, 2007, Arsitektur Website Pemerintah yang Ideal, Radjawali, Jakarta.
United Nations, 2005, Global e-government Readiness Repport.
Widodo, Joko, 2007, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Banyumedia, Malang.
www.lgsp.or.id. Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (OutcomeBbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia
60
PENDAHULUAN
Dasar Pemikiran
Demokrasi merupakan konsep yang dimulai zaman renaissance dengan
bangkitnya pemikiran rasional melahirkan sain dan teknologi, muncullah
kapitalisme dengan sistem ekonominya yang non agraris yang tidak mau dikekang
lagi oleh monarchi
DEMOKRASI. Disini "rakyat" hakekatnya adalah kelas yang baru muncul, yaitu
kaum kapitalis. Dari konsep demokrasi, mau tidak mau akan memunculkan
konsep KEBEBASAN yang akan membentur konsep KETERIKATAN dalam
folosofi Timur.
Menurut beberapa literature yang lain3, kira-kira 500 tahun Sebelum
Masehi, sejarah demokrasi dicatat karena ada sekelompok kecil manusia di
Yunani dan Romawi yang mulai mengembangkan sistem pemerintahan yang
memberikan kesempatan yang cukup besar bagi publik untuk ikut serta dalam
merancang keputusan. Perkembangan yang paling penting bagi sejarah demokrasi,
Arif, Saiful et.al, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, 2006, Program Sekolah Demokrasi
dan Averroes Press, Malang.
61
62
Yunani saat itu adalah gambaran tentang sebuah negara-kota atau polis. Sebuah
negara-kota tentu saja sangat berbeda dengan ciri khas negara-negara modern saat
ini yang kita sebut sebagai negara-modern, negara-bangsa atau negara-nasional,
seperti Amerika, Prancis, Jepang ataupun Indonesia.
Dari sekilas sejarah demokrasi yang dimunculkan oleh Barat menunjukkan
adanya sebuah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada.
Sehingga memunculkan ide demokrasi sebagai penyelesaian permasalahan dalam
kepemimpinan dan hokum-hukum pemerintahan. Namun sampai detik ini belum
ada Negara yang mampu membangun negaranya dengan konsep demokrasi.
Amerika sebagai Negara besar pengusung demokrasi belum mampu menunjukkan
hasil tentang penerapan demokrasi.
Berbeda dengan Islam yang telah memberikan bukti selama 7 abad
lamanya dalam pemerintahan ke-Nabi-an dan ke-Khalifah-an yang ditunjukkan
dengan terbentuknya masyarakat yang tenang, damai dan sejahtera. Sehingga
sampai saat ini tersebar Islam keseluruh penjuru dunia dengan konsep yang sama
dalam pembentukan pemerintahan Islam dengan mencontoh Rasulullah dan para
Khalifah sebelumnya.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam isu demokrasi Barat dalam
pemikiran dan peradaban Islam adalah:
1. Bagaimana konsep syuro dalam Islam?
2. Bagaimana konsep demokrasi Barat?
3. Bagaimana Perbandingan konsep syuro dan demokrasi Barat?
KAJIAN PUSTAKA
1. Konsep Syura
Pemerintahan yang diterapkan dalam Islam adalah pemerintahan yang
berprinsip atas dasar syura (musyawarah), kemaslahatan dan keadilan, ini menjadi
kunci pokok dalam kemasyarakatan, dan mengurus (mengelola) negara. Dalam
63
Islam tidak ada cara khusus dalam melaksanakan syuro. Ini merupakan system
yang bersifat intern yang bisa berubah sesuai dengan situasi dengan
mempertimbangkan waktu dan tempat. Dan merupakan kebebasan dari jamaah,
lembaga dalam ketentuannya dan penerapannya, namun tetap dalam aturan-aturan
yang tidak bertentangan dengan syariat (hukum Islam).
Syura ini telah diterapkan pada masa Rasulullah, dan para Khulafaur
Rasyidin sebagai contoh abadi dari perjalanan sejarah syura. Kekhalifahan Abu
Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
itu berdiri di atas dasar pemilihan kaum muslimin secara mutlak. Kalaupun Abu
Bakar mewasiatkan kekhalifahan sesudahnya kepada Umar, tetapi pengangkatan
Umar menjadi khalifah setelah ada baiat dari umat Islam masa itu. Apabila Umar
mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk memilih seorang khalifah diantara
enam orang yang ditunjuk sebelum wafatnya, maka perbuatan itu sekedar nasehat
kalau orang Islam mau memilih salah satu diantara mereka, karena nyatanya
mereka itu pribadi-pribadi umat yang utama dan paling sesuai. Kalaupun Ali tidak
diberi kekuasaan kekhalifahan setelah wafatnya nabi, khususnya setelah
kekhalifahan Umar, padahal Ali keluarga terdekat Rasulullah. Maka bukanlah
karena kepentingan politik belaka, namun lebih pada hasil syuro yang menjadi
dasar pemerintahan dalam Islam.
Abu Bakar As Siddiq sesudah di baiat menjadi khalifah pertama di antara
khalafaur rasyidin mengatakan, wahai manusia sesungguhnya aku telah dipilih
menjadi pemimpinmu, tetapi bukanlah orang yang paling baik diantara kalian, bila
aku berlaku baik, maka bantulah aku, apabila keliru maka luruskan aku. Orang
yang lemah diantara kamu itu kuat disisiku sampai aku berikan hak kepadanya,
jika Allah menghendaki. Tak ada suatu kaum yang mau meninggalkan jihad di
jalan Allah melainkan Allah akan membalas mereka dengan kehinaan. Dan
tidaklah kejahatan itu tersebar disuatu kaummelainkan Allah akan menyebarkan
cobaan bagi mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan RasulNya,
apabila mendurhakai Allah dan RasulNya, maka janganlah kalian mentaatiku4.
Dr. Mahdi Fahulullah, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, CV. Ramadhani,
Solo, 1991, hlm. 124-125.
64
Lain itu, sebagaimana Ali yang enggan untuk tinggal di Istana Putih di
kota Kufah, sebab ia lebih suka untuk tinggal bersama masyarakat, sehingga lebih
dekat mengetahui keinginan masyarakat dan untuk bermusyawarah dalam
urusan dunia yang tidak bertentangan dengan nash, seperti ilmu perang, bertani
dan sebagainya. Rasulullah mengajak para sahabat untuk membawa aspirasi umat
ke kota Madinah dalam musyawarah tentang urusan yang tidak terdapat dalam
wahyu dan nashnya5. Pada waktu situasi dan kondisi berubah seperti di zaman
Abu Bakar, penduduk Mekkah dan Madinah bermusyawarah tentang peperangan
Syam, karena masalah itu adalah masalah oerang yang akibat dan pengaruhnya
kembali kepada penduduk Mekah dan Madinah. Pemerintahan dalam Islam tidak
dimaksudkan seperti yang diduga oleh sebagian pemuka.pemuka agama. Tak ada
Iclarius dalam agama Islam6. Setiap muslim yang mengerti,ia mempunyai hak
mutlak untuk menduduki pangkat tertinggi dalam negara sampai pun pangkat
kekhalifahan7. Nabi sendiri tidak memakai jubah.
a. Pengertian Syura/ Musyawarah
Dalam bahasa arab, perkataan Syura berasal dari kata dasar syuwara
yasyuru musyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasehat,
pertimbangan. Dengan demikian secara etimologis musyawarah merupakan kata
kerja yang dibendakan (masdar) yang mengandung arti saling memberi isyarat,
petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual8.
Di dalam ajaran Islam perkataan syuro merupakan konsep ketatanegaraan
yang berasal dari Al Quran. Pentingnya syura dalam Islam bisa disaksikan ketika
ajaran ini banyak dimuat dalam ayat Al Quran terdapat empat ayat yang
berkaitan dengan akar kata yang sama dengan syuro yaitu, yang pertama
berhubungan dengan persoalan keluarga (QS. Al Baqarah 2:233, QS. Maryam
5
Seperti masalah tawanan orang musyrik Mekah pada perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan para
sahabat dalam strategi perang, strategi benteng pertahanan perang Badar dan Rasulullah menerima usulan
sahabat. Diantaranya Al Habab Ibnu Al Munzir dan Salman Al Farisi. ibid.hlm. 125.
6 Tidak ada Iclarius dalam Islam. Kewajiban orang Islam menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Menghubungkan Islam dengan sekularisme. Henri Laoust, Las Schismes daus IIslam. P.370. Opcid
7 Negara sekuler dan persamaan karena tidak ada sistem kependetaan dalam Islam kekuasaan hukum kembali
kepada tiap muslim yang berpengetahuan cukup. Dominique Saurdel, ap.L. Gardet.IIslam.p.70. Opcid.
8 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, lihat
dalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi Menurut
Konstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000, hlm. 78.
65
urusan
itu.
Kemudian,
apabila
engkau
telah
bahwa
syura
(musyawarah)
adalah
meminta
atau
Mahmud Fuad Abdul Baqi,Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut 1987 yang terdapat
dalam Aidul Fitriciada Azhari, ibid.
10 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung. Penjelasan:
Ayat ini turun pada periode dimana belum terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik,
atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah saw. Turunnya
ayat yang menguraikan syura pada peride Mekah, menunjukkan bahwa bermusyawarah aalah anjuran Al
Quran dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan dalam petunjuk Allah.
11 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm.96.
66
yang paling sesuai diantara yang sesuai, sehingga memberikan kemaslahatan bagi
umat.
b. Prinsip dan Kaedah Syura
Prinsip syura (musyawarah) meminta pendapat dan tukar menukar ide
adalah symbol kemajuan peradaban yang diajarkan Islam. Bahkan ada sebuah
surat Al Quran yang bernama surat Syura. Selain itu, pentingnya syura dalam
agama Islam yang suci ini juga ditegaskan fakta-fakta, yaitu : Allah swt. sebagai
Dzat Maha Mengetahui rahasia dan hakikat segala sesuatu ketika hendak
menciptakan Nabi Adam sebagai khalifah yang memakmurkan bumi ini meminta
pendapat dan komentar para malaikat (QS Al Baqarah 2:30).
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat,Aku hendak menjadikan khalifah dibumi, mereka
berkata,apakah Engkau hendak menjadikan orang yang
merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami
bertasbih
memujiMu
dan
menyucikan
namaMu?.
Dia
67
yang mengajarkan lafadz-lafadz adzan. Salah seorang yang bermimpi waktu itu
adalah Abdullah bin Zaid bin Abduh. Rabbih Al Anshari yang kemudian menjadi
orang pertama yang menceritakan perihal mimpinya pada Rasulullah saw.
Berdasarkan teori Al Baqillani dan Al Mawardi, keputusan musyawarah
tersebut harus dilakukan melalui pemilihan (ikhtiyar), artinya ajaran Islam
menghendaki berlakunya system mayoritas. Ini dikuatkan oleh pandangan ulama
kotemporer Yusuf Qardhawi, yang menyatakan bahwa logika penalaran, syariat
dan kenyataan tentu akan menyatakan harus ada yang diunggulkan
12
12
Yusuf Al Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta,
1997, hlm. 199. Yusuf Al Qardhawi adalah seorang ulama Mesir kontemporer dan guru besar di
Universitas Al-Azhar. Pandangannya terkenal dengan Al Wasathiyatul-Islamiyah atau Islam moderat yang
memadukan anatara ajaran salaf dengan yang kontemporer, yang tetap dengan yang berubah, dan rasional.
Dalam bidang ketatanegraan ia mengenalkan konsepsi daulah madaniyah (pemerintahan sipil) dan daulah
syariyah dusuriyah (Negara berdasarkan hukum syariah dan konstitusional), oleh Aidul Fitriciada Azhari,
op cid, hlm. 80.
13 Menurut Al Bany hadits ini isnadnya dhaif, ibid.
14 Ibid. hlm. 81
68
Dengan demikian, benang merah yang dapat diambil dari beberapa ulama
tersebut bahwa syura dalam pengambilan keputusan juga dapat mengikuti suara
terbanyak (mayoritas) selama mengandung kebenaran dan kemaslahatan umat dari
sebuah keputusan yang diambil. Syura adalah mencari yang baik diantara yang
tidak baik.
Namun dari hasil syuro dalam Islam, keputusan tetap ada pada seorang
pemimpin (imamah) sebagai pengambil keputusan yang telah diamanahi oleh
Allah sebagai penerus para nabi, sebagaimana dalam surat An Nisa 4:29
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (Pemegang
Kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam beberapa
kejadian yang harus melibatkan beberapa orang sahabat untuk dimintai
pertimbangan, dan kepetusan dari masukan atau pendapat dari para sahabat ada
pada Rasulullah. Dan tidak semua sahabat yang diajak untuk syuro, hanya-sahabat
yang memiliki kemampuan dan keilmuwan. Konsep pengambilan keputusan
dalam Islam ada pada seorang imamah dengan otoritas pemimpin ((imamah).
Konsep syura digunakan Rasulullah sebagai mempersatukan umat atau
melibatkan umat untuk peduli terhadap permasalahan yang harus dipecahkan,
namun sesungguhnya kepatusan ada pada Rasulullah.
Mohammad Asad dalam memaknai ayat potongan ayat wa syawirhum fil
amr ( ) adalah menunjukkan pemerintahan berdasarkan persetujuan
dan perwakilan (goverment by consent and council). Persetujuan artinya
pemerintahan menurut ajaran Islam harus dijalankan berdasarkan hasil
persetujuan yang dihasilkan oleh musyawarah. Ini merupakan implikasi dari
perkataan azm yang mengandung arti taking councel with knowledgeable
69
15
70
71
dianggap syura Islam walaupun diberi nama syura Islam. Nama tidak penting,
yang penting ialah ciri-cirinya.
Berikut ini ialah tata tertib atau disiplin dan adab-adab syura menurut
Islam:
Tujuan dan niat anggota syura ialah mencari dan menegakkan kebenaran
karena Allah. Masing-masing mesti mengawal diri dari maksud riya', bermegahan,
ujub atau untuk hobi semata-mata. Sebaiknya masing-masing mempunyai rasa
takut pada Allah, kalau-kalau terjadi perbincangan yang tidak tepat dan tidak
selaras dengan kehendak Allah dan Rasul. Untuk mengelak dari riya', ujub dan
bermegahan, caranya ialah masing masing mengharapkan kebenaran itu
datangnya dari orang lain, bukan dari dirinya. Dan dia akan merendahkan diri
untuk menerima dan mendukung kebenaran yang sudah ditemui itu.
Sekiranya kebenaran itu keluar dari mulut kita sendiri, segeralah banyak
bersyukur pada Allah, karena memperlihatkan kebenaran itu kepada kita.
Bukankah kita dhaif untuk menemukannya kalau bukan dengan petunjuk
dari Allah? Dengan ilmu dan keyakinan yang demikian, Islam menyelamatkan
majelis syura dari timbulnya rasa sombong, bermegahan, menunjuk kepandaian,
merasa diri lebih tinggi, mujadalah (debat tidak menentu), keras kepala, hinamenghina, jatuh-menjatuhkan dan akhlak lain yang keji.
Di waktu seorang anggota syura berbicara, anggota- anggota yang lain
mesti menghormati pandangannya dan sama-sama mendengarnya. Biarkan dia
menghabiskan bicaranya walaupun kita tidak setuju pendapatnya. Memotong
bicara kawan atau minta dia berhenti sebelum habis berbicara adalah tidak
beradab dalam syura. Sikap itu sangat dibenci.
Bila seorang anggota syura selesai memberi pandangannya, ucapkan
terima kasih. Kalau didapatkan ucapannya benar, beri tahniah dengan sepotong
doa:
Moga-moga Allah membalas kamu dengan kebaikan.
72
73
eksekutif,
lembaga-lembaga
pengadilan
yang
berwenang
74
Insiklopedia wikipedia
75
76
77
teori
masyarakat
demokrasi,
pemerintah
mendapatkan
kekuasaannya yang sah berkat persetujuan dari yang diperintah. Karena itu tidak
ada alasan bagi negara untuk eksis selain untuk melayani kepentingan rakyat.
Apabila negara mulai menindas dan tidak mengacuhkan hak-hak rakyat, maka
kewajiban bagi rakyat untuk memberontak melawan pemerintah.
Dalam negara demokrasi ada persamaan kemerdekaan bagi tiap-tiap orang.
Jadi kemerdekaan atau kebebasan manusia diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu
demokrasi hanya dapat dicapai, jika rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya
yang dipercaya mengatur atau ikut mengatur ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintahannya.
c. Prinsip Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Menurut Sadek, J. Sulaymn, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip
yang menjadi standar baku diantaranya:
1. Kebebasan berbicara setiap warga negara.
2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak
didukung kembali atau harus diganti.
78
individu
bebas
melakukan
apa
saja
tanpa
boleh
Sumber: http://globalisasi.wordpress.com/islam-global-politics
79
80
81
demokrasi
mengandung sisi
yang baik
yang tidak
rakyat
dalam
mengontrol,
mengangkat,
dan
menurunkan
82
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan
secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang
keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem
demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi
pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika
mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum
yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagibagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat
minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup
mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada
persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilainilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Saiful, et.al, 2006, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, Program Sekolah
Demokrasi dan Averroes Press, Malang.
Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum kewarisan Islam di Indonesia : eksistensi dan adaptabilitas.
Yogyakarta : Ekonisi
Chester I. Barnard dalam The Function of Executive
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung.
Dahl, Robert, 2001. Democracy and its Critics. New Haven: Yale University Press.
Dunn, John, ed., 1992. Democracy. The Unfinished Journey. Oxford: Oxford University Press
Fahulullah, Mahdi, Dr., 1991. Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub,
CV. Ramadhani, Solo.
Furqon, 1982, penelitian pustaka (library research)
Ensiklopedia wikipedia
K.H. M. Ihya Ulumuddin, 2009, Inaarud Dujaa fi MaghazikKhaiil waraa 1/91, Majalah Al
Mutashim, Tahun XII, Shafar 1430 H, Pebruari 2009 M, Persyarikatan Dakwah Al
Haromain, Surabaya.
Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung.
Mahmud Fuad Abdul Baqi, 1987, Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut
yang terdapat dalam Aidul Fitriciada Azhari.
83
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah Volume 12: Pesan dan Kesan Serta Keserasian Al Quran,
Lentera Hati, Jakarta
Nurcholish Madjid, 2000, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi
Menurut Konstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta.
84
penyediaan
infrastruktur,
pembangunan
ekonomi
melalui
85
HUBUNGAN ANTARPEMERINTAHAN
Kebutuhan akan pelayanan publik dan pembangunan yang lebih efektif
serta partisipatoris menyebabkan pentingnya Hubungan antar Pemerintahan
(intergovernmental relations) yang efektif sekaligus efisien. Hubungan antar
pemerintahan juga merupakan konsekuensi logis dari adanya federalisme bagi
negara federal dan desentralisasi bagi negara kesatuan. Di negara federal,
hubungan antar pemerintahan terjadi pada hubungan antara Pemerintah Federal
dengan Negara Bagian (federal and state relations), hubungan antar Negara
Bagian (interstate relations), dan hubungan antar daerah otonom (relationship
among local government) (Rosenbloom, 1989).
Sementara itu, untuk negara kesatuan Smith (1985) memberikan batasan
yang menarik tentang hubungan antar pemerintahan, yakni: the relationships
between levels of government. Mengacu pada ruang lingkup tersebut maka
hubungan antar pemerintahan pada dasarnya merupakan hubungan antar susunan
atau jenjang pemerintahan, yakni hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah provinsi, antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten/kota,
antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dan antar
pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah kabupaten/kota.
Tentang batasan hubungan antar pemerintahan ini, Henry (2004) telah
memberikan ruang lingkup menarik seperti hubungan antara Pemerintah Federal
dengan Negara Bagian, hubungan antar Negara Bagian yang menghasilkan dua
kajian khusus yakni interstate cooperation dan interstate conflict. Penekanan
khusus diberikan Henry pada hubungan antara Negara Bagian dengan daerah
otonom, dan kerjasama antar daerah otonom (interlocal cooperation). Penekanan
pada kerjasama antar daerah juga diberikan oleh Cooper, dkk (1998) yang
memasukkan local government cooperation sebagai bagian penting dalam
hubungan antar pemerintahan.
Penyelidikan tentang hubungan antar pemerintahan telah mengklasifikasi
hubungan tersebut dalam tiga penafsiran (Smith, 1985), yakni: pendekatan hukum
dan administrasi, politik masyarakat, dan politik antar-organisasi. Tiga pendekatan
86
ini umumnya digunakan oleh para ahli ilmu sosial, politik, dan administrasi untuk
melakukan analisis terhadap fenomena hubungan antar pemerintahan.
Pendekatan pertama, pendekatan hukum dan administrasi (law and
administration approach) lebih menekankan pendekatan yang bersifat top-down
dengan melihat praktek hubungan antar pemerintahan dari kacamata pemerintah
pusat. Pendekatan ini lebih memandang bagaimana hubungan antar pemerintahan
memberi manfaat besar bagi kepentingan nasional sehingga perlu dikembangkan
instrumen untuk memadukan beragam kepentingan daerah dengan kepentingan
nasional. Instrumen utama dalam pendekatan ini adalah kontrol dan pengaruh
(influence) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kontrol merupakan
instrumen yang lebih keras sementara pengaruh memiliki sifat yang lebih lembut
dan halus.
Pada dasarnya baik kontrol dan pengaruh tetap merupakan instrumen
penting bagi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah baik dalam
kepentingan pemberian standar pelayanan yang merata secara nasional, atau
upaya pengurangan disparitas kesejahteraan antar daerah, maupun penciptaan
stabilitas nasional. Kontrol merupakan pengendalian langsung pemerintah pusat
kepada daerah otonom yang bisa berlangsung dalam dua bentuk, yakni: kendali
administrasi dan kendali legislasi atau yudisial. Sementara itu, pengaruh
merupakan pengendalian yang bersifat tak langsung namun memiliki efek
membangun ketaatan daerah otonom pada pemerintah pusat. Pengaruh dapat
berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: komunikasi dan konsultasi antara daerah
dan pusat, dan pemberian bantuan keuangan yang bersifat spesifik (specific
grant), serta pengawasan pemerintah pusat kepada daerah. Pengawasan ini tentu
melibatkan kualitas pelayanan publik, pembangunan, dan pemerintahan umum di
daerah.
Pendekatan kedua yakni pendekatan politik masyarakat (community
politics approach) merupakan sebuah pendekatan analisis yang bersifat bottom-up
karena melihat praktek dan fenomena hubungan antar pemerintahan lebih pada
penekanan perjuangan kepentingan masyarakat setempat ketika berhadapan
dengan kepentingan pemerintah pusat. Politik masyarakat cenderung lebih
87
memperjuangkan
otonomi
masyarakat
setempat
(local
autonomy)
yang
diwujudkan dalam aspirasi dan pilihan masyarakat (local voice dan local choice).
Dalam pendekatan ini, desentralisasi dipandang sebagai instrumen yang
seharusnya mampu menampung pemerintahan daerah yang benar-benar bekerja
untuk kepentingan masyarakat setempat baik dalam pembuatan kebijakan maupun
dalam pelaksanaan daripada kebijakan tersebut. Desentralisasi dilihat sebagai cara
untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada masyarakat sehingga
pendekatan ini juga mewaspadai beragam bentuk penetrasi dan intervensi
pemerintah pusat kepada daerah. Intervensi pemerintah pusat dipandang sebagai
situasi yang dapat mengancam atau paling tidak mengurangi kadar otonomi
daerah.
Pendekatan politik masyarakat ini memandang bahwa aspirasi dan pilihan
masyarakat setempat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat yang berbeda satu
sama lain sehingga antar daerah memiliki kepentingan yang berbeda satu sama
lain. Keberpihakan pada karakteristik setempat ini menunjukkan kadar otonomi
yang dimiliki daerah sehingga seringkali pula perhatian besar diberikan pada
karakteristik masyarakat. Adapun karakteristik tersebut mencakup: sumberdaya
alam, sosial, dan ekonomi sebuah daerah otonom, perbedaan kultural dengan
daerah lainnya, dan struktur politik di dalam masyarakat daerah otonom tersebut.
Tiga karakteristik ini yang harus diperjuangkan menjadi aspirasi dan pilihan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik (fungsi mengatur) dan
pelaksanaannya (fungsi mengurus). Adapun keluaran dari pendekatan ini adalah
pemerintahan berbasis lokal yang kuat yang tercermin dari adanya nilai-nilai lokal
yang dominan dalam penyelenggaraan otonomi daerah, derajat kekuasaan yang
terkonsentrasi di daerah, kadar integrasi masyarakat, serta struktur formal
pemerintahan daerah.
Pendekatan ketiga, yaitu: pendekatan politik antar organisasi (interorganizational politics) yang menempatkan posisi pemerintah pusat dan daerah
lebih setara dan dipadankan sebagai hubungan antar organisasi yang saling
membutuhkan satu sama lain dan bekerja sama guna mencapai tujuan masingmasing. Kata kunci dalam pendekatan ini adalah jaringan (network) karena
88
atau
bahkan
mampu
menggunakan
kekuasaannya
untuk
mendominasi daerah otonom. Kedua, daerah otonom memiliki sumber daya yang
cukup untuk menahan tekanan pemerintah pusat. Ketiga, daerah otonom memiliki
kehendak yang beragam untuk menggunakan sumber daya politik, keuangan,
hukum, dan administrasi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat.
Keempat, terdapat asumsi bahwa posisi pusat dan daerah dijalankan oleh aktoraktor yang berlawanan namun saling tergantung satu sama lain dalam mencapai
tujuan masing-masing. Untuk itu senantiasa ada ruang yang terbuka lebar untuk
negosiasi, tawar-menawar, dan inisiasi program kerjasama.
Dalam pendekatan politik antar organisasi ini, istilah interaksi dipandang
lebih baik untuk menggambarkan hubungan pusat dan daerah. Kata interaksi
dipandang lebih baik daripada istilah pengendalian pusat kepada daerah atau
perlawanan daerah terhadap pusat. Kata interaksi pusat dan daerah dianggap jauh
egaliter dibandingkan dua pendekatan terdahulu. Interaksi dan interdependensi
antara berbagai jenjang pemerintahan amat dipengaruhi oleh banyak faktor politik
dan organisasional, yaitu: konsistensi kebijakan pemerintah pusat, pengaruh
daerah otonom terhadap proyek dan prioritas pemerintah pusat, perangkat
teknologi, dan jarak fisik antar jenjang pemerintahan.
KERJASAMA ANTARDAERAH
Selanjutnya, perkembangan perekonomian, politik, dan teknologi telah
menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak dan pelik. Banyak
kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas daerah baik yang
bersifat positif maupun negatif (positive and negative externalities). Lokasi rumah
sakit, lembaga pendidikan, pergerakan kepemilikan kendaraan bermotor, investasi
aktivitas ekonomi dan lain-lain kini seringkali melampaui batas-batas daerah
otonomi. Dinamika aktivitas masyarakat menyebabkan tak satupun daerah kini
89
kurang
menguntungkan
bagi
kemandirian
masyarakat
dalam
Rosenbloom(1989)
menyampaikan
gagasan
tentang
pentingnya
kebijakan
dan
aktivitas
administrasi
dari
berbagai
90
91
tiga
bentuk
Intergovernmental
kesepakatan
service
kerjasama
agreements,
Joint
antar
daerah,
service
yakni:
agreements,
92
publik tetap dapat diberikan dengan baik. Bagi pemda pelayan, adanya tambahan
penduduk dari daerah lain yang harus dilayaninya berarti bertambahnya konsumen
dan meningkatkan skala ekonominya sehingga ada pemasukan tambahan untuk
menutup overhead cost yang menjadi bebannya.
Joint service agreements merupakan kesepakatan yang berlangsung antara
dua atau lebih pemerintah daerah otonom untuk menjalankan pelayanan publik
tertentu. Kesepakatan ini berbentuk penggabungan aktivitas pelayanan mulai dari
perencanaannya, pembiayaannya, dan penyelenggaraan layanannya sampai pada
pengawasannya. Dengan demikian biaya dan sumber daya pelayanan publik
tertentu diperoleh dari kekuatan gabungan pemerintah daerah yang bersepakat
tersebut. Umumnya bentuk kesepakatan ini dijalankan bagi pelayanan publik yang
membutuhkan biaya dan sumberdaya besar yang tidak dapat dipenuhi oleh hanya
satu daerah otonom saja dan sekaligus pengguna layanannya berasal dari
penduduk yang tinggal di berbagai daerah. Dengan demikian, efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik akan diterima secara optimal oleh berbagai daerah
tersebut.
Intergovernmental service transfer terdiri dari tiga bentuk kesepakatan
penyerahan kewenangan dalam pelayanan publik tertentu. Pertama berupa
kesepakatan penyerahan pelayanan publik secara tetap kepada daerah otonom
lainnya yang berdekatan. Kedua penyerahan pelayanan publik secara permanen
kepada daerah otonom lainnya yang berbeda level. Bentuk kedua ini bisa berupa
penyerahan pelayanan publik yang tidak mampu dilaksanakan semata oleh
kabupaten/kota tertentu kepada pemerintah provinsi atau begitu pula sebaliknya.
Ketiga penyerahan pelayanan publik secara permanen kepada institusi di luar
pemerintah, yakni perusahaan swasta atau organisasi nirlaba atau sosial. Jenis
kesepakatan ini membawa resiko lebih serius dibandingkan dua jenis kesepakatan
sebelumnya karena dijalankan dengan mengorbankan kewenangan yang dimiliki
suatu daerah otonom. Ini berarti berkurang pula kekuasaan daerah otonom
tersebut.
BELAJAR DARI PENGALAMAN TIGA DAERAH
93
94
politik, dan teknologi menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak
dan pelik. Banyak kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas
daerah baik yang bersifat positif maupun negatif (positive and negative
externalities). Pelayanan
95
96
Henry, N. 2004. Public Administration and Public Affairs. 9th edition. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Rosenbloom, D.H. 1989. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law
in the Public Sector. 2nd edition. New York: McGraw Hill.
Smith, B.C. 1985. Decentralization: the Territorial Dimension of the State. London: George Allen
& Unwin.
Soeaidi, S., dkk. 2011. Pengembangan Kerjasama Antar Daerah: Studi di Kabupaten Madiun, Kota
Madiun, dan Kabupaten Ngawi. Balibang Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan
RCCP Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
97
PENDAHULUAN
Pendekatan hybrid dalam penyelenggaraan pembangunan daerah dewasa
ini merupakan bagian inovatif dalam pencarian model terbaik pembangunan di
daerah. Dalam kontek perencanaan pembangunan, berbagai bentuk pendekatan
inovatif dimungkinkan setelah banyaknya kritik terbuka terutama dari ekonom
akan
98
easily be designed to match the constraints and policy objective.. rather than
using a standart framework . Dalam dunia perencanaan, berbagai tawaran model
pendekatan baru bisa memberikan cara alternatif yg lebih fleksibel di luar
kerangka pendekatan standar yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi
di daerah, upaya memadukan unsur praktis berupa program pengembangan
industri kreatif (ekonomi kreatif) dengan Sistem Inovasi Daerah dapat secara
luwes ditarik menjadi suatu kegiatan menyeluruh dalam kesatuan proses dan
sistem perencanaan.
Dalam kontek pembangunan ekonomi lokal, perencanaan pembangunan
yang baik berarti perencanaan yang bisa mengoptimalkan penggunaan setiap
potensi dan kreatifitas di daerah. Wheeler (2004:133) mengistilahkan
perencanaan yang best approached at a regional scale. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan daerah pengalokasian berbagai sumber daya serta peningkatan peran
masyarakat guna mencapai level kesejahteraan tertinggi sekaligus mengurangi
ketimpangan pembangunan antar daerah. Pada dekade terakhir ini, pemanfaatan
sektor ekonomi alternatif berupa kebijakan pengembangan ekonomi kreatif
(industri kreatif) sudah mulai dikenal dan diperhitungkan.
Dalam hal konteks ekonomi kreatif, setiap daerah sebenarnya telah
memiliki potensi dan resource-nya masing-masing. Misalnya, Propinsi Jawa
Timur ternyata mempunyai potensi yang tinggi dalam industri kreatif. Diantara
indikator potensi pendukung ekonomi kreatif Jawa Timur adalah: Konstribusi
industri kreatif mendekati 7,9 % dari PDRB Jatim. Kinerja perekonomian Jawa
Timur yang berada dalam posisi kedua setelah Jakarta (15,1 %) di level nasional,
lebih dari 51 % ekonomi Jatim ditopang oleh sektor industri dan perdagangan.
99
nasional, maka pada RJPJ tahun 2016 - 2025 kreatif propinsi Jawa Timur harus
dapat memberi konstribusi diatas 10 % dari PDRB atau 12 % dari total ekspor.
Ada optimisme melebihi target dibalik capaian ekonomi daerah dan propinsi
Jatim terkini. Namun demikian, dibalik potensi berkembangnya ekonomi kreatif
yang cukup tinggi di Jawa Timur tersebut tetap harus didukung oleh kebijakan
pemerintah daerah yang kondusif bagi berkembangnya ekonomi kreatif Jawa
Timur. Masih ada beberapa permasalahan yang harus diantisipasi, diantaranya
adalah:
1. Masih belum terstrukturnya pembinaan Sumber Daya Insani (SDI) sebagai
100
untuk
menghambat
membebaskan
masyarakat
dari
semua
keterbatasan
yang
dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi semua aspek
kehidupannya seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, agama,
101
harga diri, dan lain-lainnya. Semua jaminan tersebut tidak akan dapat diperoleh
apabila sistem masyarakat kacau, poor quality dan tidak berkelanjutan. Dengan
demikian pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan
masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan pada kekuatan
lokal, baik itu kekuatan nilai geografis, sumber daya alam, SDM, teknologi,
capacity of the institution, maupun aset pengalaman (Haeruman, 2000).
Industri Kreatif
Industri kreatif merupakan perkembangan lain dari fenomena ekonomi
kreatif yang ada di suatu masyarakat. Definisi berdasarkan UK DCMS Task force
1998: Creatives Industries as those industries which have their origin in
individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job
creation through the generation and exploitation of intellectual property and
content Sehingga Industri kreatif dapat didefinisikan sebagai: Industri yang
berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan
mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut . Sedangkan
Howkins (dalam Moelyono, 2010:218) mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai
kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya dan
lingkungn sebagai tumpuan masa depan.
Industri kreatif bukanlah sebagaimana UKM yang pada umumnya
mengelola produk-produk konvensional yang biasa ada di pasar. Kementerian
Perdagangan RI menganggap bahwa sektor Ekonomi kreatif merupakan era
ekonomi
baru
dan kreatifitas
dengan
mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusianya sebagai
faktor produksi utama dalam suatu kegiatan ekonomi. Perkembangan Ekonomi
kreatif ditopang oleh berlembangnya industri kreatif yang mulai diyakini dapat
memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional secara signifikan.
Sedangkan Deperindag RI, mendefinisikan industri kreatif sebagai industri
yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan
102
mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berangkat dari
kreativitas individual, ketrampilan dan bakat Industri ini berpotensi untuk
menciptakan pekerjaan dan pengkayaan melalui produksi dan eksploitasi
Intelectual Property (Kekayaan hak intelektual).
dibangkitkan oleh ide ide yang terletak dipersimpangan antara seni, bisnis dan
teknologi.
Dalam ranah administrasi publik kajian Industri Kreatif mendapatkan
maknanya setelah menjadi salah satu fokus pengembangan ekonomi dari
pemerintah sejak diluncurkannya buku hasil studi pemetaan industri kreatif. Buku
pemetaan industri kreatif ini kemudian diikuti peluncuran Cetak Biru
Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada tahun 2008. Pemerintah
kemudian semakin menunjukkan perhatiannya terhadap ekonomi kreatif dengan
mencanangkan Tahun Indonesia Kreatif di tahun 2009. Pada tahun 2009 Presiden
mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2009 untuk mendorong semua instansi
pemerintah terkait meningkatkan komitmennya dalam pengembangan ekonomi
kreatif, yang menetapkan 14 subsektor industri kreatif Indonesia , yaitu;
1.
Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan,
antara lain: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang,
produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di
media cetak dan elektronik.
2.
Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan
informasi produksi antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota,
perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi
lelang, dll.
3.
Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi
dan perdagangan, pekerjaan, produk antik dan hiasan melalui lelang, galeri,
toko, pasar swalayan, dan internet.
4.
103
5.
Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior,
produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan.
6.
Desain Fashion: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian,
desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode
dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk
fashion.
7.
Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi
produksi Video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video,film.
Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron,
dan eksibisi film.
8.
9.
10. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang
berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan
balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik
teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana
pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.
11. Penerbitan & Percetakan : kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan
penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan
konten digital serta kegiatan kantor berita.
12. Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan
pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer,
pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem,
desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak & piranti keras,
serta desain portal.
13. Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi,
produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio.
104
14. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkati dengan usaha inovatif
yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan
pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses
baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat
memenuhi kebutuhan pasar.
Industri kreatif dapat memberi konstribusi pada beberapa aspek
pembangunan daerah, tidak hanya ditinjau pada aspek ekonomi semata, tetapi
juga dapat memberikan dampak sosial yang positif serta identitas dan ikon atau
citra daerah bahkan negara. Dari hasil studi Deperindag tahun 2007, Industri
kreatif di Indonesia telah terbukti mampu menyerap kurang lebih 5,4 juta tenaga
kerja dan mendukung hampir 9,13 % dari total eksport. Industri semacam ini
dapat dianggap berbahan baku energi terbarukan yang seolah tiada habis selama
sumber daya manusia yang kreatif masih ada.
Ditinjau dari aspek pembangunan ekonomi daerah dapat digambarkan
lebih jelas bahwa kratifitas dapat merangsang terjadinya lingkungan urban di
daerah dengan terciptanya wilayah-wilayah kreatif. Di suatu kawasan tertentu
dapat lahir dampak multiefek di setiap sektor, mulai pembangunan infrastruktur
pendukung hingga kebijakan pemerintah daerah. Kreativitas ketika memproduksi
barang baru yang unik dan berkualitas atau kreativitas dalam memanfaatkan,
mengelola dan mengatur anugrah kekayaan alam yang ada melalui teknik dan
kebijakan kreatif, akan memberi kesan kondusif dan citra positif serta identitas
(ikon) suatu daerah, bangsa atau negara oleh investor. Digambarkan pula bahwa
Industri kreatif sesungguhnya merupakan industri yang bukan termasuk capital
intensive (padat modal), namun dapat digunakan sebagai pemicu reaksi berantai
dampak multi industri lainnya. Dengan demikian, industri kreatif sangat ideal
dikembangkan di setiap wilayah tergantung pada bagaimana bisa menyusun
kebijakan atau perencanaan yang tepat.
Model Perencanaan Industri Kreatif bagi Pembangunan Ekonomi Daerah
Di era otonomi, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang lebih
besar dalam pembangunan ekonominya. Salah satu kreativitas yang dapat
105
Kepala Daerah
DPRD
INDUSTRI KREATIF
(14 Sub sektor)
1.
2.
3.
4.
Universitas
Industri
Organisasi Profesi Ilmiah
Tokoh masyarakat (pemuda
pelopor)
Lembaga Pelaksana
Lembaga Pengawas
1. Lembaga
pengembang
(LPM/Universitas/BBI)
2. Lembaga profesi
3. Lembaga Pengguna (Industri/
IKM, Koperasi, org.masyarakat)
4. Lembaga Keuangan
1.
2.
Universitas
Organisasi
ilmiah
profesi
106
2.
3.
4.
tidak boleh terlalu dominan. Pemerintah daerah adalah salah satu entitas yang
memberikan agenda perhatian pada pertumbuhan komunitas kreatif di daerah.
107
108
109
PENDAHULUAN
Kerjasama Antar Daerah
Dalam periode pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kerjasama
antar daerah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang demikian signifikan.
Muncul dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga kerjasama ini merupakan
respon terhadap perubahan pola relasi antar lapis pemerintahan dan kewenangan
yang besar pemerintah daerah sebagai implikasi dari diterapkannya kebijakan
desentralisasi di Indonesia (Pratikno dkk, 2007).
Perubahan-perubahan ini semakin membuka lebar jalan bagi pemerintah
daerah untuk melakukan kerjasama, baik dengan pemerintah daerah lain maupun
dengan aktor non negara.
Pada sisi yang lain, desentralisasi juga membuka tantangan dan peluang
baru di ranah daerah, yang akan menjadi sangat sulit bagi daerah untuk
meresponnya secara efektif tanpa terbangunnya suatu kerjasama yang memadai
(Pratikno dkk, 2007). Sebagai contoh, peluang pengembangan ekonomi, misalnya
pariwisata, yang berada dalam suatu kawasan daerah tertentu akan sangat tidak
efektif pengelolaannya jika hanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Bahkan tidak
jarang pula yang malah menimbulkan konflik baru antar daerah.
110
111
tinggi yaitu collaboration (Thomson, 2001; Thomson dan Ferry, 2006). Para
ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan terletak dalam kedalaman
interaksi, integrasi, komitmen, dan kompleksitas dimana cooperation terletak
pada tingkatan terendah, sedangkan collaboration pada tingkatan yang paling
tinggi. (Keban, 2007).
Ramses dan Bowo (2007) mengatakan kerjasama pada hakekatnya
mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih berinteraksi secara dinamis untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian ini terkandung tiga unsur
pokok yang melihat pada suatu kerangka kerja sama, yaitu unsur dua pihak atau
lebih, unsur interaksi, dan unsur tujuan bersama. Jika satu dari tiga unsur tidak
termuat dalam suatu obyek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek
tersebut tidak terdapat kerjasama.
Unsur
dua
pihak,
selalu
menggambarkan
suatu
himpunan
dari
112
masing-masing
menghianati
patnernya
daerah
tetapi
memiliki
komitmen
untuk
tidak
memelihara
hubungan
yang saling
113
manfaat
dari
pengembangan
jaringan
kerjasama
untuk
lebih
keterbukaan,
maka
kerjasama
antar
114
daerah
otonom
urgen
agar
115
tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak bersifat
permanen, (4) sebagai stand-by provision yang baru dilaksanakan bila kondisi
tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan/diijinkan oleh badan legislatif.
Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1)
Intergovernmental Service Contract; (2) Joint Service Agreement, dan (3)
Intergovernmental Service Transfer (Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama
dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis
pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau
ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua di atas biasanya dilakukan
untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan
tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan
perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol
kebakaran, pembuangan sampah. Jenis kerjasama ketiga merupakan transfer
permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang
pekerjaan
umum,
prasarana
dan
sarana,
kesehatan
dan
kesejahteraan,
116
dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan
konflik.
Disisi lain menurut Rosen dalam Keban (2007) dalam pengaturan
kerjasama (forms of cooperation Arrangements) terdiri atas beberapa bentuk
yaitu:
a. Constantia, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya,
karena lebih mahal bila ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian
perpustakaan dimana sumberdaya seperti buku-buku, dan pelayanan
lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa, pelajar dan
masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri
karena lebih mahal.
b. Joint Purchasing, yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan
pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian
lebih besar.
c. Equipment Sharing, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan
yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan.
d. Cooperative
Construction,
yaitu
pengaturan
kerjasama
dalam
117
memiliki jurisdiksi yang berbeda, maka terjadi kesulitan dalam pengaturan jadwal
penggunaan sumberdaya yang disepakati dan pembebanan biaya untuk kerjasama,
yang pada gilirannya sering memunculkan friksi atau konflik. Hal tersebut sering
terjadi karena ada daerah merasa adanya pembebanan lebih (overcharge) terhadap
dirinya, sementara yang lainnya merasa kurang mendapat pelayanan yang
seharusnya ia terima. Masyarakat juga merasa terbebani bila lokasi pelayanan
tersentralistis (gabungan) karena harus mengeluarkan biaya transport yang relatif
lebih besar dibandingkan dengan ketika memiliki pelayanan sendiri. Disamping
kesulitan transport sering diungkapkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan,
juga masyarakat merasa terasing bila dilayani oleh pihak-pihak baru.
Pembelian secara terpusat melalui suatu kerjasama (joint purchasing) juga
tidak luput dari kritikan. Standardisasi barang yang dibeli sering menjadi masalah,
karena ada daerah yang merasa barang yang dibeli telah sesuai dengan standard
keinginannya, sementara yang lain belum. Seringkali, terdapat kesulitan dalam
memenuhi harapan dari pihak-pihak yang bekerjasama (Rosen, 1993).
Di negara sedang berkembang, kerjasama antar Pemerintah Daerah sering
nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti Integrated Area
Planning (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau
kompleksitas dari masalah-masalah yang dihadapi karena tidak dapat ditangani
dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batas-batas wilayah administratif.
Memang harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar daerah belum nampak
sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau keputusan internal
suatu Kabupaten atau Kota ataupun juga Provinsi sering berkaitan dengan
permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pengalaman menunjukan
bahwa banyak permasalahan pada suatu Kabupaten atau Kota atau juga Provinsi
justru muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah
lain seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan. Pendek
kata, suatu perencanaan atau kebijakan yang dibuat oleh suatu Kabupaten atau
Kota, atau juga Provinsi, sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi
Kabupaten atau Kota, ataupun Provinsi lain. Dalam kondisi seperti ini, fungsi
118
pembangunan
sektor-sektor
tertentu
dan
institusi
yang
KERJASAMA
ANTARDAERAH
119
DALAM
KAJIAN
120
121
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
didasarkan
pada
KERJASAMA
ANTAR
DAERAH
122
bagaimana
governance
dijalankan,
dimana
struktur
ini
123
Etika
mencegah
potensi
124
hubungan yang bersifat hirarkhis, yang melihat forum organisasi kerjasama sebagai unit
yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, diarahkan pada
tujuan tertentu, dalam pengambilan keputusan didominasi oleh pusat sebagai aktor
tunggal.
Kerjasama antar daerah yang berdasarkan New Public Managemen lebih
didasarkan pada inter relasi antar daerah yang masing-masing daerah bersifat bebas,
fleksibel dan mandiri. Untuk melakukan relasi satu daerah dengan daerah yang lain.
Selain itu tidak ada struktur kewenangan yang bersifat hirarkhis dan terpusat. Dalam
kerjasama antar daerah yang berbasis New Public Management lebih menekankan pada
pembuatan performance indikator sebagai ukuran dalam kerjasama antar daerah
sehingga diperoleh nilai ekonomis, efisien dan efektif.
Kerjasama antar daerah yang berdasarkan sound governance ada empat aktor,
dan sepuluh dimensi. Keempat aktor membangun inklusifitas relasi politik antar negara,
masyarakat, dunia bisnis dan kekuatan internasional.
Dalam kerjasama antar daerah keempat aktor tersebut saling berinteraksi dalam
posisi yang setara, mandiri, saling menguntungkan, bersifat partisipatif dalam
aktivitasnya didukung oleh dimensi proses, struktur, kesadaran dan nilai, konstitusi,
organisasi dan institusi, manajemen dan kinerja, kebijakan, sektor, globalisasi, dan etika,
akuntabilitas dan transparansi.
Sound
Governance
Old Public
New Public
Administration
Management
Dari gambar tersebut di atas dapat dilihat ada hubungan secara konseptual
antara ketiganya, namun bila dilihat dimensinya Sound Governance sebenarnya
adalah pikiran-pikiran yang lebih kritis dan dinamis.
Untuk lebih jelasnya ketiga konsep tersebut di atas dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
125
BEBERAPA MASALAH
ANTAR DAERAH
POKOK
Sound Governance
Setara
Mandiri
Saling
menguntungkan
Partisipatif
Demokratis
IMPLEMENTASI
KERJASAMA
skala,
sejumlah
layanan
yang
diberikan
pemerintah
126
pembangunan
dan
pelayanan
kepada
masyarakat
suatu
2.
3.
4.
5.
sejalan dengan pemikiran Farazmand (2004) dalam sound governance. Bahwa ada
beberapa hambatan dalam implementasi membangun kerjasama antara lain
sebagai berikut :
(1) Ketidakpercayaan adalah hambatan utama dalam membentuk kerjasama
antar aktor yang terlibat dalam kerjasama
127
128
kerjasama
atau
secara
bersama-sama
dua
129
130
2.
3.
ditempatkan sebagai bentuk wujud kebijakan yaitu bahwa rasanya tidak mungkin
memahami yang menyangkut model hubungan antar pemerintah jika kita tidak
memahami keunikan yang tersembunyi keberhasilan dan kegagalan kalau
mengimplementasikan kebijakan itu.
Konsep hubungan antar pemerintah untuk suksesnya memahami benar
konsep partnership sebagaimana dikatakan oleh Hetifah (2009) Partnership
adalah perspektif baru yang merupakan penjabaran dari governance. Partnership
diperlukan untuk melipat gandakan dukungan dari sektor publik dan sektor privat
131
132
banyak dan terjadi dalam konteks politik dan ekonomi yang tidak terkontrol.
Realitanya banyak hal yang bisa salah dan menghambat terjadinya network
governance yang efektif: yaitu (1) sulit memotivasi aktor untuk ikut serta karena
adanya biaya transaksi yang tinggi dan adanya peluang kecil dari seorang aktor
untuk mendapatkan pengaruh politik riil, (2) tidak mungkin menyelesaikan
konflik internal dalam network bisa mencapai solusi bersama, (3) penciptaan
network governance yang mandiri juga dianggap sulit karena minimnya legitimasi
dan sumberdaya, (4) kegagalan pemerintah untuk memahami tata cara
pelaksanaan network governance atau perlawanan politik dari aktor network
governance kegangguan eksternal, (5) perbedaan persepsi dari network
pemerintah dan network governance.
Permasalahan tersebut di atas berlawanan dengan pemikiran dari
Farazmand (2004) berkaitan dengan dimensi proses, dalam sound governance
melibatkan proses pemerintahan, dimana terjadi interaksi seluruh elemen atau
stakeholder yang ada, dimana proses menjelaskan bagaimana governance bekerja.
Disamping itu pula berlawanan dengan dimensi struktur dimana struktur adalah
kumpulan elemen, aktor, peraturan, prosedur, kerangka pengambilan keputusan
konstitutif. Sound governance memiliki struktur yang solid, berbekal informasi,
sah, kompeten, dan dinamis dalam bentuk maupun substansi, misal dalam public
governance pejabat-pejabat yang terpilih dan ditunjuk, stakeholder, lembaga
swadaya masyarakat adalah bagian dari struktur pemerintahan.
Merumuskan dan mengimplementasikan solusi memuaskan bagi kebijakan
yang tidak jelas dan kompleks jelas membutuhkan: (1) agar semua aktor yang
relevan dan yang terpengaruh bisa terlibat dalam negosiasi network, (2) agar aktor
mau mengumpulkan sumberdayanya. (3) agar mereka sepakat dalam konsepsi
sifat masalah, ragam opsi dan dalih pembuatan keputusan yang paling penting.
Tidak ada jaminan bahwa kebutuhan ini bisa dipenuhi. Realitanya, ada
serangkaian hambatan yang harus diatasi untuk menghasilkan penyelesaian
masalah yang sesuai dengan network governance.
Partisipasi aktor bisa terhambat oleh sifat tertutupnya network governance.
Schapp dan Van Twist (1997) dalam Sorensen dan Torfing mengatakan empat
133
134
Suryokusumo, F.A. (2008). Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan. Penerbit
Sinergi Publishing, Yogyakarta.
Tasmaya, R.H. (2007). Kerjasama Antar Jabodetabekjur (Dalam Rangka Solusi
atas Masalah Bersama). Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia. Jakarta.
Thomson. (2007), Thomson dan Ferry (2006). Dalam Keban. Membangun Kerjasama antar
Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi, Jurnal Ilmu Pemerintah. MIPI. Jakarta.
135
PENDAHULUAN
Dalam ranah administrasi publik, konsep inovasi mulai merebak sekitar
tahun 1990-an. Perkembangan ini dipicu dengan terjadinya pergeseran paradigma
administrasi publik, dari classic administration ke new public management
(NPM). Sebuah konsep yang memiliki banyak nama. seperti: Managerialism
(Pollit)19; Market-Based Public Administration (Lan and Rosenbloom)20; PostBureaucratic Paradigm (Barzeley)21; Entrepreneurial Government (Osborne and
Gaebler)22. Dalam hal ini Christopher Pollitt (1993) melihat New public
management sebagai contoh 'managerialism', yang dianggap lebih mirip sebuah
ideologi daripada teori.
Secara teoritis, konsep NPM merupakan adopsi nilai-nilai bisnis yang
dicoba-terapkan dalam sektor publik. Oleh karenanya, nilai-nilai kompetisi
menjadi sentra perbincangan dalam banyak kajiannya. Istilah Steering, not
rowing, sebagaimana dikemukakan Osborne and Gaebler (1993) seakan
18
19
20
21
22
136
menjustifikasi
sektor
publik
untuk
mempraktekan
nilai
bisnis
dalam
137
138
Inovasi bidang pendidikan, dapat mengurangi tingkat drop out (do) sekolah dasar
pada tahun 2001 menjadi 0,02 atau berkurang 75 persen. Selain itu beberapa
daerah telah banyak pula melakukan inovasi program untuk meningkatkan
kesejahteraan
rakyatnya.
Kabupaten
Banjarnegara
melalui
Pembenahan
daerah
paling
inovatif
dalam
hal
manejemen
pengelolaan
139
always has some focus on bringing about a better future. In this sense, leaders are
necessarily innovators. Pada pandangan lain, dalam studi yang dilakukan
Gumusluoglu (2009:2) dinyatakan, bahwa leadership has important effects on
creativity at both the individual and organizational levels. Beberapa studi yang
dilakukan, seperti Senge (1990), Yoon (2006); Gumusluoglu (2009); Paulsen et.al
(2009); Makri and Scandura (2010), umumnya menunjukkan pentingnya
kedudukan pemimpin di dalam mengembangkan inovasi pada organisasi yang
dipimpimnya.
Berkenaan dengan konsep kepemimpinan dalam inovasi, beberapa kajian
memusatkan perhatian akan pentingnya gaya (leadership style) dan visi
kepemimpinan (leadeship vision) dalam menumbuhkan kembangkan inovasi.
Hansenfeld (2010:495), misalnya menyatakan : Innovation process require
different leadership style. Leadership styles have an important impact on
innovativenss (Katrinli, 2009:121). Pernyataan Bossink (2004:211) The
leadership styles and their characteristsics relate to process and product
innovations. Pada pandangan lain Jung, et.al (2003) maupun Zaccaro (2001)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah salah satu faktor kunci dalam
mempromosikan kinerja inovatif. Sedangkan Daft (2008:434) menyatakan the
140
leadership style of the top exucutive sets the tone for how effective organization is
at
141
23
142
143
pengaruh negatip bagi pertumbuhan inovasi. Berbeda dengan dua faktor lainnya,
yaitu kepemimpinan dan lingkungan politik, sangat berperan bagi pertumbuhan
inovasi. Pertumbuhan inovasi secara eksponensial mengikuti perkembangan
kedua faktor tersebut. Eksponensial positip maupun negatip dipengaruhi secara
langsung oleh kedua faktor tersebut. Hal ini digambarkan lebih lanjut pada grafik
di bawah ini.
144
pemerintahan daerah sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal,
yang terdiri dari kepemimpinan (visi dan gaya kepemimpinan) dan iklim
organisasi (struktur dan pemberian imbalan) serta faktor eksternal, yaitu
lingkungan politik (supra dan inpra struktur politik). Penelitian ini memberikan
kontribusi di dalam penguatan pandangan teoritis yang dibangun sebelumnya dan
memperjelas hipotesis dari Yoon (2006) leadership is a key factor for the success
of innovation. Hal ini dikarenakan pemimpin adalah aktor sentral yang berperan
dalam pengembangan inovasi. Seorang pemimpin yang memiliki visi dan gaya
kepemimpinan yang memahami lingkungan dimana ia berada. Visi kepemimpinan
seorang pejabat daerah adalah visi yang berangkat dari pemahaman akan potensi
daerah yang dilandasi oleh nilai-nilai kemasyarakatan. Tanpa pemahaman hal
tersebut, visi terkadang hanya menjadi kebutuhan administratif tanpa perwujudan
yang nyata. Namun sebaliknya, pemimpin yang memahami nilai di atas, maka
akan memunculkan dorongan untuk mewujudkannya. Keberhasilan pemerintahan
daerah Kabupaten Jembrana dalam berinovasi dilandasi oleh visi Bupati Jembrana
yang didasari oleh nilai-nilai kemasyaraatan dan nilai potensi daerah yang ada.
Oleh karenanya, dalam berinovasi tidak dijumpai inovasi dalam bidang
parawisata. Kendatipun jika diperhatikan provinsi Bali selalu mengandalkan
bidang parawisata. Namun, inovasi di Jembrana lebih diarahkan pada perbaikanperbaikan nilai dasar kemasyarakatan. Hal ini disebabkan secara sosial ekonomi
masyarakat di Kabupaten Jembrana lebih rendah dibanding daerah yang ada di
provinsi Bali. Pemahaman akan nilai kemasyarakatan sebagai visi kepemimpinan
Bupati Jembrana menjadikan inovasi dalam bidang pendidikan, kesehatan maupun
kepemerintahan berhasil dengan baik. Ini sama artinya, inovasi pada pemerintahan
daerah lebih banyak berhasil jika pejabat di daerah dapat memahami kebutuhan
dan nilai yang ada di masyarakat
Faktor kedua yang perlu diperhatikan di dalam mendesain inovasi adalah
pemahaman akan iklim organisasi, khususnya dalam varian struktur organisasi
dan kebutuhan karyawan yang berada di pemerintahan. Pemahaman kedua varian
ini sebenarnya pemahaman akan indikasi vertikal dan horinzontal. Seorang
pemimpin di daerah, khususnya dalam kapasitasnya sebagai pejabat di daerah
tidak terlepas dari dua kutub arah tersebut. Sebagai seorang pejabat, ia tidak
145
146
dalam kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Perhatian terhadap faktor inilah
sering terbaikan. Hal ini terpampang dari kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Kebijakan inovasi lebih terarah pada membangun pemerintah daerah
inovatif, bukan membangun inovasi pemerintahan daerah. Dua konsep ini
memiliki makna yang berbeda. Jika membangun pemerintahan daerah inovatif
bermakna perombakan akan struktur, pola, budaya organisasi pemda agar mampu
menghasilkan sesuatu yang inovatif (ini membutuhkan waktu yang cukup lama),
maka membangun inovasi pemerintahan berarti mendesain cara yang dapat
diterapkan di pemerintahan daerah dengan tujuan agar dapat diterapkan di
pemerintahan daerah. Dalam hal ini, tanpa terjadi perombakan struktur, budaya
dan organisasi pemerintahan daerah.
Berangkat dari pengertian di atas, penelitian yang dilakukan ini, dengan
mempergunakan segitiga inovasi, mengungkapkan sebuah model di dalam
membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model, yaitu
Leadership, Political and Climate Model.Model ini digambarkan sebagai berikut:
Political
Environment
Local
Government
Innovation
Organization
al Climate
Leadership
147
politik, dipandang sebagai faktor yang sangat krusial bagi pengembangan inovasi
pada pemerintahan daerah. Jika tingkat kerentanan sistemik inovasi pada
lingkungan politik yang tidak stabil cukup tinggi, maka muncul kelambatan dalam
pertumbuhan inovasi. Oleh karenanya, ada dua kemungkinan yang dapat
dilakukan berkenaan dengan kondisi ini. Pertama, ketika kerentanan inovasi
dalam lembaga pemerintah rendah, sedangkan lingkungan politik relatif stabil,
maka reformasi kelembagaan di tubuh pemerintah perlu dilakukan. Sebaliknya,
ketika iklim inovasi di lembaga pemerintah cukup baik, namun lingkungan politik
kurang stabil, maka reformasi politik perlu dilakukan. Dalam hal ini reformasi
politik bermakna penataan kelembagaan politik yang memiliki kemampuan
menyerap aspirasi dan mampu mengimpelmentasikan harapan publik. Dalam hal
ini, perlu pembenahan terhadap UU politik, baik lembaga legislatif maupun partai
politik, khususnya berkaitan dengan peran dan kedudukannya terhadap
pemerintah daerah, perlu dicerna lebih lanjut. Dan ini tentunya perlu kebesaran
dan keberanian untuk merubahnya. Jika tidak, capaian daerah yang inovatif boleh
jadi hanya sebatas persyaratan politik demi memenuhi UU pemerintahan semata.
PENUTUP
Inovasi merupakan kosa kata yang menjadi bagian integral bagi
pemerintah daerah. Ia dibutuhkan tidak hanya semata sebagai pemenuhan tuntutan
paradigma dalam kajian-kajian administrasi publik, tetapi telah menjadi tuntutan
dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat. Berangkat dari paparan di atas, ada
tiga komponen yang perlu memperhatikan di dalam membangun inovasi pada
pemerintahan daerah di Indonesia.
Pertama dibutuhkannya kepala daerah (pimpinan) yang memiliki
entrepreneurship visin, yaitu seorang pemimpinan daerah yang mampu membaca
nilai-nilai kemasyarakatan yang ada. Di samping itu, untuk mencapai nilai
pertama ini dibutuhkan gaya kepemimpina yang meletakan dirinya dalam
berbagai lingkugan. Untuk itu dibutuhkan gaya kepemimpinan situasional.
Berkenaan dengan hal ini, ada ada dua perilaku yang perlu diperhatikan seorang
pemimpin, yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Kedua, iklim organisasi.
Kendatipun komponen ini tidak begitu besar pengaruhnya di dalam membangun
148
inovasi, namun satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu
pemberian imbalan (kompensasi) bagi karyawan yang inovatif. Nilai ini menjadi
penting jika dikaitkan dengan motivasi karyawan di dalam menumbuhkan inovasi
dalam organisasi. Pemberian imbalan menjadi persyarat bagi pemerintah daerah di
dalam memicu inovasinya. Pemberian imbalan kepada karyawan merupakan
faktor pendorong muncul ide-ide kreatif dan inovatif. Ketiga, lingkungan politik.
Komponen ini merupakan faktor yang sangat krusial di dalam membangun
inovasi. Kegagalan di dalam memahami lingkungan politik, menjadikan inovasi
yang telah dicanangkan pemerintah daerah tidak akan terwujud. Supra dan infra
struktur politik adalah faktor pengungkit bagi terlaksananya inovasi. Kondisi
kondusif antara kepala daerah dengan lingkungan politik merupakan pemicu
utama di dalam mendesain inovasi. Sebaliknya, kegagalan yang terjadi di
pemerintah daerah di dalam inovasinya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan politik yang tidak kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Andreas Hartmann, (2006) "The role of organizational culture in motivating innovative behaviour
in construction firms", Construction Innovation: Information, Process, Management, Vol. 6
Iss: 3, pp.159 172
Bates, Robert H. 1995. Social Dilemmas and Rational Individuals: An Assessment of the New
Institutionalism. In The New Institutional Economics and Third World Development, John
Harriss, Janet Hunter and Colin Lewis, eds., 27-48. New York: Routledge.
Bossink, Bart A.G, 2004, Effectiveness of innovation leadership styles: a managers influence on
ecological innovation in construction projects, Construction Innovation; 4: 211228
CESIS (Centre of Excellence for Science and Innovation Studies), 2007, Innovation Policy
Instruments, Electronic Working Paper Series, Swedish Governmental Agency
Daft, Richard L., 2008, Organization Theory and Design, South-Western Cengage Learning 2191
Natorp Boulevard, Mason, USA
David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is
transforming the public sector, Plume
Doner, Richard F., Allen Hicken, Bryan K. Ritchie, 2009, Political Challenges of Innovation in
the Developing World, Review of Policy Research, Volume 26, Numbers 12
Ebner, Alexander, 2004, Innovation Policies and Locational Competitiveness : Lessons from
Singapore, Journal of Technology Innovation 12, 2
Farazmand, Ali, 2004, Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, Praeger
Publisher, 88 Post Road West, New York
Groot, Lucy de, 2007, New Local Government Network Conference, I&DeA: Improvement and
Development Agency, 15 November, http://www.idea.gov.uk/idk/core/page.do?pageId=1
Gumusluoglu, Lale, 2009, Transformational Leadership and Organizational Innovation: The
Roles of Internal and External Support for Innovation, Journal of Product Innovation
Management, Vol. 26, pp. 264-277, 2009
Gumusluolu, Lale; Ilsev, Arzu, (May 2009), Transformational Leadership and Organizational
Innovation: The Roles of Internal and External Support for Innovation, Journal of Product
Innovation Management, Volume 26, Number 3, May 2009 , pp. 264-277(14)
149
Hambleton, Robin, 2009, In Parker, civic leadership and public service innovation more than
good
ideas:
the
power
of
innovation
in
local
government,
Idea,
http://www.idea.gov.uk/idk/aio/9524940
Hartmann, Andreas, 2006, The role of organizational culture in motivating innovative behaviour
in construction firms, Construction Innovation; 6: 159172
Hasenfeld,Yeheskel, 2010, Human Services as Complex Organizations, Sage Publications Ltd,
United Kingsom
Hitt, Michael A. R. Duane Ireland,Robert E. Hoskisson, 2007, Strategic management:
competitiveness and globalization 7ed, Thomson Higher Education, Mason, USA
Johannessen, Jon-Arild (2009), A systemic approach to innovation: the interactive innovation
model, Kybernetes, Vol. 38 Nos 1/2, pp. 158-176
Jung, D.I., Chow, C. and Wu, A, 2003, The role of transformational leadership in enhancing
organizational innovation: hypotheses and some preliminary findings, Leadership Quarterly,
Vol. 14 Nos 4/5, pp. 525-44.
Katrinli, Alev, Gulem Atabay, Gonca Gunay, Burcu Guneri, and Ahenk Aktan,2009,
Innovativeness: Is It a Function of the Leadership Style and the Value System of
Entrepreneur? In Neslihan Aydogan, Innovation Policies, Business Creation and Economic
Development, Springer Science, Business Media, LLC, New York
Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public
Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 6
Lin, Chieh-Yu, 2007, Factors affecting innovation in logistics technologies for logistics service
providers in China, Journal of Technology Management in China, Vol. 2 No.1, pp.22-37
Makri, Marianna; Terri A. Scandura, , February 2010, Exploring the effects of creative CEO
leadership on innovation in high-technology firms, The Leadership Quarterly, Volume 21,
Issue 1Pages 75-88
Martins, E.C, and Terblance F, 2003, Building Organizational Culture that Stimulates Creativity
and Innovation, European Journal of Innovation Management, Volume 6, Number 1, pp. 6474
Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in
government, University of California Press
Mulgan, G. & Albury, D, 2003, Innovation in the Public Sector, Working Paper Version 1.9,
October, Strategy Unit, UK Cabinet Office
Paulsen, Neil; Diana Maldonado; Victor J. Callan and Oluremi Ayoko, 2009, Charismatic
leadership, change and innovation in an R&D organization, Journal of Organizational
Change Management, Vol. 22 No. 5, pp. 511-523
Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American
experience, Oxford, Blackwell
Publin Reports, 2005, NIFU STEP, Studies in Innovation, Research and Education., NIFU STEP,
Hammersborg torg 3, N-0179 Oslo, Norway
Robertson, Robert and Rob Ball, 2002, Innovation and Improvement in the Delivery of Public
Services: The Use of Quality Management Within Local Government in Canada, Public
Organization Review: A Global Journal 2: 387405
Scales Research Reports, 2003, Leadership as a determinant of innovative behaviour, EIM
Business and Policy Research, Netherlands
Senge, Peter M., 1990, The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization,
Currency Doubleday, New York
Shapiro, Stephen M., 2002, 24/7 innovation: a blueprint for surviving and thriving in an age of
change, McGraw-Hill, United States of America
Sterman, J. 2000. Business Dynamics: Systems Thinking and Modeling for a Complex World.,
Boston, MA: McGraw-Hill.
Yoon, Jong In, 2006, Korean Government Innovation: Strategies and Methodologies for
Administrative Innovation, Fifth Meeting of the Committee of Experts on Public
Administration, United Nations, New York, 27-31 March
Zaccaro, S.J., Rittman, A.L. and Marks, M.A.,2001, Team leadership, Leadership Quarterly, Vol.
12 No. 4, pp. 451-83.
150
ekonomi
(economic
growth),
pemerataan,
pembangunan
yang
dilakukan
pemerintah
melalui
berbagai
kebijakan
**
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Peran Local Government Dalam Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Administrasi
Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. Malang, Hotel Agrokusuma, 8-10-2011.
Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.
151
dan
desentralisasi
pembangunan.
fiskal
belum
Desentralisasi
berdampak
politik
signifikan
yang
disertai
terhadap
dengan
kemandirian
152
Sebaliknya,
ketika
kebijakan
desentralisasi
lebih
mengedepankan
dan
pembangunan
cenderung
bersifat
sentralistis
dan
local self
153
baik
(well
implemented)
untuk
mewujudkan
penyelenggaraan
154
kinerja
pemerintahan
daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan.
Mulgan & Albury (2003) menunjukkan bahwa Successful innovation is
the creation and implementation of new process, products, services, and methods
of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency,
effectiveness or quality. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan
dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah ditentukan oleh inovasi
produk dan layanan, inovasi proses, ataupun inovasi metode yang dilakukan
secara efekif, efisien, dan berkualitas. Menyangkut inovasi proses terdapat pula
inovasi system atau inovasi strategis yang mengandung pemahaman cara baru
atau yang diperbaharui dalam berinteraksi dengan aktor-aktor baik di dalam
ataupun di luar sistem
(changes in governance).
Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan
pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin.
Brown (2008) mengemukakan adanya dua konsep inovasi yaitu Expansive
Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural Theory (SCT). Konsep perluasan
pembelajaran mengandung pemahaman bahwa inovasi terjadi ketika pandangan
tradisional menyediakan suatu pedoman pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak
cukup dalam menghadapi tantangan dan situasi yang baru, karenanya diperlukan
pengembangan dan praktek yang baru melalui alih teknologi (technology
transfer). Bagian penting dari pandangan ini adalah memadukan antara pandangan
lama dan baru dalam melaksanakan sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan
pembaharuan.
Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan dan
pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara difersifikasi
organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran organisasi. Di
samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem, diperlukan pula
pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat transformasi sosial
budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas masyarakat yang lebih
luas. Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan perlu
155
dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus
pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau lebih
komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal.
Sebagaimana dikemukakan Brown (2008 : 9)
National governments have develoved much of the
responsibility for innovation policies to regions. Consequently,
it is possible to compare the implementation of local
experiments to transform an industrial and manufacturing
region into a knowledge economy. Different types of policies
are affected by different contextual conditions and carry with
them different possibilities for implementation
Mencermati
pemahaman
tersebut
menunjukkan
bahwa
proses
Design
of National
Innovation
Policy
practitioners
Concept (MACRO)
to
policy
makers
Policy
at
implementation
regional
level
(MESO)
Direction
of
communication
of
Implementation
local
of
innovation
projects (MICRO)
156
yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling berkaitan dengan inovasi di
tingkat regional ataupun di tingkat lokal. Pemahaman ini terasa semakin penting
untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu negara yang menganut
paham negara kesatuan (unitary state), karena hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah adalah bersifat coordinate dan sekaligus subordinate. Keberadaan
pemerintah daerah adalah merupakan bagian dari pemerintah pusat, sehingga
inovasi pemerintahan yang ada di tingkat lokal kendati memiliki kemandirian
seharusnya tidak menyimpang dari desain inovasi pemerintahan yang telah
ditetapkan di tingkat nasional.
Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal
pemerintahan
agar
tujuan
inovasi
dapat
dipahami
dan
157
Hingga saat ini banyak institusi DPRD dan Kepala Daerah yang telah
menetapkan regulasi atau kebijakan inovatif dalam upaya meningkatkan kualitas
layanan publik dan pembangunan, pengelolaan sumber pendapatan, dan
pengelolaan urusan pemerintahan yang bersifat wajib atau pilihan. Prinsip
perumusan inovasi kebijakan yang diperlukan di tingkat regional dan lokal adalah
prinsip menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dalam arti kebijakan yang
ditetapkan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Kebijakan yang inovatif dan demokratis dapat dirumuskan dengan baik jika dalam
prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat dari berbagai lapisan. Dengan
demikian
keberadaan
Kepala
Daerah
dan
DPRD
harus
benar-benar
158
159
160
berbeda atau melakukan inovasi mengenai layanan publik yang lebih efektif. Hal
ini perlu dilakukan secara terus menerus dalam organisasi, penyediaan layanan
dan melaporkannya ke manajemen di tingkat atasnya, lembaga-lembaga, dan
inspektorat.
Anggaran jangka pendek dan perencanaan ke depan (short-term budgets
and planning horizons). Ketidakmampuan untuk berfikir di bawah tekanan dari
hari ke hari memperburuk penganggaran jangka pendek dan perencanaan jangka
panjang.
Kurangnya ganjaran dan insentif inovasi (poor rewards and incentives to
innovate). Upaya penerapan nilai-nilai privat ke sektor publik dalam hal ini
mengalami hambatan. Tingginya ketentuan yang telah berlangsung lama
menyebabkan kegagalan inovasi, termasuk dalam hal memberikan ganjaran untuk
mewujudkan keberhasilan inovasi. Lebih lanjut hal ini berkaitan dengan sistem
manajemen sumberdaya, sebagai contoh : kompetensi inti untuk rekrutmen,
pengembangan dan perencanaan kinerja yang tidak menekankan pada nilai-nilai
inovasi.
Budaya menghadapi resiko (culture of risk aversion). Dalam sektor publik,
kewajiban untuk menyediakan layanan yang akseptebel merupakan kunci
keberhasilan layanan, mengelola kontinuitas, memperhitungkan pembayar pajak
sesuai kewenangan lokal dan parlemen. Pusat perhatian utamanya adalah
akuntabilitas, standard dan kontinyuitas untuk menghadapi resiko sebagai bagian
dari kerangka inovasi.
Rendahnya ketrampilan dalam menghadapi resiko dan manajemen
perubahan (poor skills in active risk or change management). Tiga kondisi yang
diperlukan untuk keberhasilan inovasi, yakni : peluang,
motivasi, dan
161
program-program
partisipasi,
dan
dukungan
pekerja.
162
INOVASI PEMERINTAHAN
PEMBANGUNAN EKONOMI
DALAM
RANGKA
PERCEPATAN
163
164
pada
berkembangnya
aktivitas
ekonomi
guna
mewujudkan
165
karena
adanya
kewenangan
politik
dan
administrasi
untuk
166
partisipasi, otonomi
dan desentralisasi.
Indikator
167
principle: kejelasan
168
169
demokrasi
dan nilai-nilai
manajerial
guna
170
Heiman, Bruce; Jackson Nickerson, and Todd Zenger. 2009. Governing Knowledge Creation: a
problem-finding and problem-solving perspective in Nicolai J Foss and Snejina Michailova
(ed). Konwledge Governance, Process and Perspective. Oxford University Press. New York
John & Albury. 2003. Strategic and Organization Innovation. Routledge Taylor & Francis Group.
Madison Ave, New York.
Kane, Lester T and Marylyne R Poweller.2008. Citizenship in the 21st Century. Nova Science
Publishers. New York.
Kickert, Walter JM and Richard D Stilman. 1999. The Modern State and its Study. Edward Elgar.
Cheltenham, UK.
Klerman, Jacob Alex. 2005. Measuring Performance in Robert Klitgaard & Paul C Light (ed).
High-Performance Government, Structure,Leadership, Incentives. Pardee Rand Graduate
School. Pitsburg.
Miller, William; Malcom Dickson and Gerry Stoker. 2008. Models of Local Governance,Public
Opinion and Political Theory in Britain. Palgrave, Macmillan, England.
Muluk, Khairul. 2007. Knowledge Management, Inovasi Pemerintahan Daerah. Bayu Media.
Jakarta.
Riggs, Fred W. 1971. The Context of Development Administration, dalam Mulgan, Fred W.
Riggs (ed). Frontiers of Development Administration. Durham : Duke University Press.
Siffin, William J. 1972. Institution Building As Vision and Venturedalam Joseph W Eaton.
Institution Building and Development, From Concepts to Application. Baverly Hills, London
: Sage Publications.
Supriyono, Bambang. 2010. Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Multikultural.
Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Ilmu Administrasi. Universitas Brawijaya. Malang.
171
PROFIL PENULIS
Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS
Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS merupakan salah satu profesor di
bidang pemerintahan daerah pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di
Unibraw (1984), S2 Sosiologi di Universitas Padjadjaran (1991) dan S3 di
bidang Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah di UI (2007). Sekarang
menjabat sebagai Pembantu Dekan I bidang Akademik di Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya.
Prof.Dr.Abdul Hakim,M.Si
Prof.Dr.Abdul
Hakim,M.Si,
merupakan
profesor
di
bidang
Sosial
Ekonomi
Masyarakat
Perdesaan
(Bayu
Media,
pada
Jurusan
Administrasi
172
Publik
Fakultas
Ilmu
Pengelola
Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si
Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si merupakan salah satu pengajar
di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya. Menamatkan S1 Jurusan Administrasi Negara Spesialisasi
Pemerintahan
Umum,
Universitas
Brawijaya
(1994),
S2
Program
Profesi
Administrasi
Negara/Publik,
Pengurus
Pusat
173
Dr.Hermawan, SIP,M.Si.
Dr.Hermawan, SIP,M.Si. merupakan salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Menamatkan S1 Bidang Ilmu Hubungan Internasional di UGM (1998), S2
dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2002 dan 2008). Sekarang menjabat
sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan di Jurusan Jurusan
Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Dr.Siti Rochmah,M.Si
Dr.Siti Rochmah,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 Sarjana
Pendidikan dengan bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP Malang
pada tahun 1983, S2 Magister Sains dengan Bidang Ilmu Sosial di
Universitas Padjadjaran (1995) dan S3 Administrasi Publik di Unibraw
(2007). Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan
Jurusan Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi, Universitas
Brawijaya. Sekarang menjabat sebagai Ketua Laboratorium Bahasa Inggris
FIA Universitas Brawijaya.
174
Drs.Abdullah Said,M.Si
Drs.Abdullah Said,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Sekarang menjadi Anggota RCCP
(Research Center for Conflict and Policy).
Trisnawati,S.Sos,MAP
Trisnawati,S.Sos,MAP adalah salah satu pengajar di Jurusan
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 S1 Administrasi
Negara di Unibraw pada tahun 2002, S2 Magister Administrasi Publik di
Universitas Brawijaya (2005).
175