Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
a. Usia
Usia lansia sangat berkaitan dengan proses penuaan yang dialami lansia. Sejalan
dengan bertambahnya usia proses degeneratif akan terus berjalan dan akan
semakin menunjukkan dampaknya terhadap kondisi fisik dan kesehatan lansia
(Wilmoth & Ferraro, 2007). Orang yang telah memasuki usia lanjut (lebih dari 60
tahun) akan merasakan dampak dari kemunduran aspek fisik seprti menurunya
kekuatan otot, kelemahan, gangguan sensori persepsi, gangguan proses asupan
dan penyerapan nutrisi dan penyakit degeneratif. Semua dampak dari proses
degeneratif tersebut akan mengganggu ketahanan fisik lansia dalam melakukan
aktifitas sehari-hari sehingga akan meningkatkan risiko lansia untuk mengalami
jatuh. Dengan demikian semakin bertambahnya usia akan mengakibatkan
penurunan kondisi fisik yang lebih extrem pada lansia sehingga akan
meningkatkan risiko untuk mengalami kecelakaan seperti jatuh (Darowski, 2008).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin diduga turut berperan dalam mempengaruhi kejadian jatuh pada
lansia. Faktor hormonal diduga menjadi faktor pembeda antara laki-laki dan
wanita, fase menopause dan andropause yang berbeda pada laki-laki dan
perempuan yang berbeda mengakibatkan wanita mengalami perburukan kondisi
fisik yang lebih cepat (Wilmoth & Ferraro, 2007). Menopause merupakan fase
non aktifnya proses reproduksi yang terjdi pada wanita karena berkurangnya
produksi hormon androgen pada wanita, kondisi ini menyebabkan perubahan
besar pada kondisi tubuh dan kesehatan wanita, perubahan hormonal ini
mengakibatkan kemunduran dalam aspek fisik seperti penurunan proses
pemadatan tulang sehingga menyebabkan osteoporosis, dan kehilanagn kekuatan
otot yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. Dua faktor tersebut merupakan
faktor tersebut yang membedakan kondisi laki-laki dan wanita ketika memasuki
Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam macula sebesar
40%. Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler dapat menyebabkan
vertigo posisisonal dan ketidakseimbangan waktu berjalan. Organ vestibular
memberikan informasi ke sistem saraf pusat tentang posisi dan gerakan kepala
serta pandangan mata melalui reseptor makula dan krista ampularis yang terdapat
di telinga dalam, hal ini akan membantu menjaga keseimbangan tubuh
(Tidieiksaar, 1997). Susunan proprioseptif merupakan salah satu reseptor yang
membantu mengkoordinasikan posisi tubuh dengan lingkunagn sekitar. Susunan
propioseptif akan memberikan informasi ke sistem saraf pusat tentang posisi
tubuh terhadap kondisi di sekitarnya dan posisi antara segmen badan badan
melalui reseptor-reseptor yang ada dalam sendi, tendon, otot, ligamentum dan
kulit seluruh tubuh terutama yang ada pada kolumna vertebralis dan tungkai.
Informasi itu dapat berupa tekanan, posisi sendi, tegangan, panjang, dan kontraksi
otot (Wilmoth & Ferraro, 2007). Lansia dapat mengalami penurunan rangsangan
proprioseptif akibat proses penuaan. Hal ini dapat meningkatkan ambang batas
rangsang muscle spindle, sehingga dapat mematahkan umpan balik afferen dan
secara berurutan dapat mengubah kewaspadaan tentang posisi tubuh keadaan ini
dapat menimbulkan gangguan keseimbangan postural (Darowski, 2008).
Sistem Saraf Pusat (SSP) dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central
Nerves Sistem (CNS) melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer
dari sistem visual, vestibular, dan proprioseptif di gyrus post central lobus parietal
kontralateral (Wilmoth & Ferraro, 2007). Selanjutnya infomasi ini diproses dan
diintegrasikan pada semua tingkat sistem syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi
150 m/det akan terbentuk suatu respon postural yang benar secara otomatis dan
akan diekspresikan secara mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola
gerakan tertentu. Tetapi pada aktivitas dengan pola baru yang belum pernah
disimpan dalam otak, maka reaksi keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih
sampai reaksi tersebut dapat dilakukan dengan tanpa perlu berfikir lagi
(Darowski, 2008).
Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi. Dimana
tugasnya meliputi duduk, berdiri, atau berjalan. Dalam posisi berdiri respon motor
(effector) mempertahankan atau menyokong sikap dan keseimbangan, yang
disebut sinergis otot (Tidieiksaar, 1997). Jika gerakan dilakukan oleh suatu
kelompok sendi dan otot dari kedua sisi tubuh, maka komponen efektor yang
normal harus ada supaya dapat melakukan gerakan keseimbangan postural yang
normal. Komponen efektor yang dibutuhkan adalah lingkup gerak sendi, kekuatan
dan ketahanan (endurance) dari kelompok otot kaki, pergelangan kaki, lutut,
pinggul, punggung, leher, dan mata. Gangguan pada komponen efektor akan
mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol postur sehingga akan terjadi
gangguan keseimbangan postural (Darowski, 2008).
e. Gangguan Pengelihatan
Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang berupa cahaya pada
lobus oksipital ke otak dan rangsangan yang diterima akan diterjemahkan
(Wilmoth & Ferraro, 2007). Akibat proses penuaan terjadi banyak perubahan
diantaranya, alis berubah kelabu dapat menjadi kasar serta menjadi tipis pada sisi
temporalis baik pada pria maupun wanita. Konjungtiva menipis dan berwarna
kekuningan, produksi air mata oleh kelenjar lakrimalis menurun dan cenderung
cepat menguap, sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering (Tidieiksaar,
1997).
Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun,
reaksi terhadap cahaya berkurang dan terjadi gangguan akomodasi. Lensa
menguning dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak,
sehingga memengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan warna.
Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang
(sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko cidera.
Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi
kemampuan untuk membedakan objek-objek dengan jelas (Wilmoth & Ferraro,
2007). Semua hal itu dapat memengaruhi kemampuan fungsional para lansia,
kehilangan kemampuan fungsional terutama ketika akan melakukan aktifitas
akan meningkatkan risiko lansia mengalami jatuh (Darowski, 2008).
f.
Polifarmasi
Obat merupakan zat kimia yang dikonsumsi tubuh yang bertujuan memanipulasi
proses di dalam tubuh untuk mengembalikan kondisi tubuh ke keadaan sehat.
Lansia merupakan kelompok umur terbesar yang mengkonsusi obat, sekitar 40%
dari total obat yang diresepkan dikonsumsi oleh lansia (World Health
Organization, 2007). Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan
empat macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Empat obat atau
lebih akan meningkatkan risiko jatuh, jatuh akibat terapi obat dinamakan jatuh
iatrogenik. Obat-obatan golongan hipnotik (menyebabkan somnolen), diuretic,
nitrat, obat antihipertens, antidepresan (menyebabkan postural hypotensi),
simetidine dan digitalis (menyebabkan kebingungan) dapat meningkatkan resiko
jatuh. Kadar obat dalam serum pada lansia menjadi tidak stabil karena perubahan
farmakokinetik akibat proses penuaan, sehingga menyebabkan efek intoksikasi
obat pada lansia. Obat yang diberikan pada lansia juga dapat menimbilkan efek
samping yang lebih berat terutama efek samping seperti konfusi, pusing,
mengantuk yang dapat mempengaruhi keseimbangan (Darowski, 2008).
g. Kognitif
Ketika seseorang berjalan atau berdiri tegak terjadi banyak proses di dalam otak
yang memproses banyak informasi terkait penilaian, penilain tersebut akan
mempengaruhi keputusan seseorang untuk berpegangan, berjalan, melangkah,
duduk, berlari, meloncat, jongkok dan lain sebagainya (Cassel, Leipzig, Cohen,
Larson, & Meier, 2003). Pada orang yang mengalami gangguan kognitif proses
penilaian inilah yang terganggu dan rusak. Proses penuaan pada otak akan
menyebabkan penurunan jumlah neuron secara bertahap yang meliputi area girus
temporal superior, girus presentralis dan area striata. Secara patologis penurunan
degeneratif pada lansia, orang yang mengalami vestibulopati tidak dapat berlari
atau mengubah arah jalannya secara tiba-tiba. Penyebab vestibulopati yang sering
adalah akibat obat dan zat toksik serta penuaan. Gangguan pada pengelihatan
merupakan salah satu akibat kerusakan sistem saraf, orang yang memiliki
gagguan pengelihatan tidak akan dapat berjalan dengan baik, mereka cenderung
melangkah pelan, tangan dengan kedepan dengan posisi fleksi dan mudah
tersandung atau terbentur benda di sekitarnya (Darowski, 2008).
Pada lansia terjadi penurunan kemampuan umum berjalan, baik kekuatan otot,
kecepatan berjalan, dan kelancaran gerakan. Postur lansia juga mengalami
perubahan badan akan sedikit membungkuk, posisi kaki melebar, dan langkah
memendek, selain itu fungsi koordinasi juga menurun sehingga lansia akan jatuh
juka terdapat benda yang menghalangi jalan (Tidieiksaar, 1997). Penyebab pasti
gangguan berjalan pada lansia masih belum pasti namun proses penuaan yang
mempengaruhi sistem muskuloskeletal dan sistem saraf adalah dugaan paling kuat
(Darowski, 2008).