Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
komprehensif, terpadu dan berkualitas agar adanya masalah/penyakit tersebut dapat dideteksi
dan ditangani secara dini. Melalui pelayanan antenatal yang terpadu, ibu hamil akan
mendapatkan pelayanan yang lebih menyeluruh dan terpadu, sehingga hak reproduksinya
dapat terpenuhi, missed opportunity dapat dihindari serta pelayanan kesehatan dapat
diselenggarakan secara lebih efektif dan efisien.
Dalam Rencana Strategi Kementrian Kesehatan 2010 2014 target kunjungan untuk
antenatal care terpadu adalah 100% pada tahun 2014. Puskesmas Brondong merupakan salah
satu dari 8 puskesmas di Kabupaten Lamongan yang memiliki program ANC terpadu.
Berdasarkan survey di Puskesmas Brondong, didapatkan data ibu hamil di kawasan UPT
Puskesmas Brondong pada tahun 2014 sejumlah 1055 orang. Ibu hamil yang melakukan
ANC terpadu hanya berjumlah 293 orang (27,7%). Angka ini masih dibawah target kerja
puskesmas dimana target ibu hamil yang melakukan ANC terpadu di puskesmas sejumlah
95,6%. Berdasarkan data di dapat rincian pasien dengan anemia menempati urutan pertama
sebanyak 49 orang, Hbs Ag positif sejumlah 12 orang, serta HIV sejumlah 2 orang.
Penemuan kasus HIV saat ANC terpadu di Puskesmas Brondong pada tahun 2014
merupakan hal yang baru ditemukan. Salah satu faktor resiko penularan HIV ( Human
Immunodeficiency Virus) adalah penularan dari ibu pengidap HIV kepada anak, baik selama
kehamilan, persalinan, maupun menyusui. Hingga saat ini kejadian penularan dari ibu ke
anak sudah mencapai 2,6% dari seluruh kasus HIV AIDS yang dilaporkan di Indonesia.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua.
Dari uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa masih rendahnya angka
pencapaian kunjungan ibu hamil pada ANC terpadu menurut data Puskesmas Brondong
tahun 2014. Karena banyaknya pemeriksaan laboratorium yang dilakukan saat ANC terpadu
serta mengingat pentingnya deteksi dini HIV pada ibu hamil maka pada mini project kali ini
difokuskan pada upaya peningkatan kesadaran ibu hamil untuk melakukan deteksi dini HIV
pada kehamilan saat ANC terpadu.. Karena keterbatasan waktu dan tenaga maka penulis
membatasi hanya mengambil data pada satu desa saja, yaitu desa Brengkok kecamatan
Brondong.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut serta mengingat pentingnya deteksi dini HIV pada
kehamilan serta penatalaksanaan HIV pada kehamilan maka penulis ingin menfokuskan
melakukan tindak lanjut bagaimana upaya untuk meningkatkan pencapaian pelayanan ANC
terpadu pada ibu hamil di kawasan Puskesmas Brondong khususnya masalah HIV pada ibu
hamil.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mencari tahu mengapa angka kunjungan ibu hamil pada ANC terpadu di desa
Brengkok rendah pada tahun 2014
Untuk memberikan perubahan, khususnya pada sikap dan perilaku ibu hamil tentang
pentingnya pemeriksaan kehamilan khususnya untuk melakukan deteksi dini HIV pada
kehamilan.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Puskesmas
Mengetahui apakah yang menjadi kendala dalam menjalankan program pemeriksaan ibu
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia
Meningkatkan pengetahuan ibu hamil akan pentingnya deteksi dini HIV pada kehamilan
melalui pelayanan antenatal care terpadu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
secara komprehensif dan terpadu, mencakup upaya promotif, preventif, sekaligus kuratif dan
rehabilitatif, yang meliputi pelayanan KIA, gizi, pengendalian penyakit menular (imunisasi,
HIV/AIDS, TB, Malaria, penyakit menular seksual), penanganan penyakit kronis serta beberapa
program lokal dan spesifik lainnya sesuai dengan kebutuhan program (Kemenkes, 2010).
Kunjungan ibu hamil atau ANC adalah pertemuan antara bidan dengan ibu hamil dengan
kegiatan mempertukarkan informasi ibu dan bidan serta observasi selain pemeriksaan fisik,
pemeriksaan umum dan kontak sosial untuk mengkaji kesehatan dan kesejahteraan umumnya
(Salmah, 2006). Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kontak ibu hamil dengan pemberi
perawatan atau asuhan dalam hal mengkaji kesehatan dan kesejahteraan bayi serta kesempatan
untuk memperoleh informasi dan memberi informasi bagi ibu dan petugas kesehatan
(Henderson, 2006).
Kunjungan pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu bentuk perilaku. Menurut
Lawrence Green, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ada 3 yaitu : faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor pendorong (reinforcing
factor). Yang termasuk faktor predisposisi (predisposing factor) di antaranya : pengetahuan,
sikap, kepercayaan, tradisi, keyakinan , nilai dan motivasi. Sedangkan yang termasuk faktor
pendukung (enabling factor) adalah ketersediaan fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan
dan yang terakhir yang termasuk faktor pendorong (reinforcing factor) adalah sikap dan perilaku
petugas kesehatan, informasi kesehatan baik literature, media, atau kader (Natoatmodjo, 2003).
Dimana motivasi merupakan gejala kejiwaan yang direfleksikan dalam bentuk perilaku karena
motivasi merupakan dorongan bertindak untuk mencapai tujuan tertentu, dalam keadaan ini
tujuan ibu hamil adalah agar kehamilannya berjalan normal dan sehat.
Antenatal Care (ANC) sebagai salah satu upaya pencegahan awal dari faktor risiko
kehamilan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Antenatal care untuk mendeteksi dini
terjadinya risiko tinggi terhadap kehamilan dan persalinan juga dapat menurunkan angka
kematian ibu dan memantau keadaan janin. Idealnya bila tiap wanita hamil mau memeriksakan
kehamilannya, bertujuan untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang mungkin ada atau akan
timbul pada kehamilan tersebut cepat diketahui, dan segera dapat diatasi sebelum berpengaruh
tidak baik terhadap kehamilan tersebut dengan melakukan pemeriksaan antenatal care
(Winkjosastro, 2006). Apabila ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, maka tidak
akan diketahui apakah kehamilannya berjalan dengan baik atau mengalami keadaan risiko tinggi
dan komplikasi obstetri yang dapat membahayakan kehidupan ibu dan janinnya. Dan dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Saifuddin, 2002).
Antenatal Care (ANC) terpadu adalah pelayanan pemeriksaan pada ibu hamil secara
komprehensif dan terpadu, mencakup upaya promotif, preventif, sekaligus kuratif dan
rehabilitatif, yang meliputi pelayanan KIA, gizi, pengendalian penyakit menular (imunisasi,
HIV/AIDS, TB, Malaria, penyakit menular seksual), penanganan penyakit kronis serta beberapa
program lokal dan spesifik lainnya sesuai dengan kebutuhan program.
pelayanan obstetrik dan neonatal kepada setiap ibu hamil ini sesuai dengan pendekatan Making
Pregnancy Safer (MPS), yang mempunyai 3 (tiga) pesan kunci yaitu:
a. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
b. Setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.
c. Setiap perempuan dalam usia subur mempunyai akses pencegahan dan penatalaksanaan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Kebijakan program pelayanan an tenatal menetapkan frekuensi kunjungan antenatal
sebaiknya minimal 4 (empat) kali selama kehamilan, dengan ketentuan sebagai berikut :
(Depkes, 2009).
a. Minimal satu kali pada trimester pertama (K1) hingga usia kehamilan 14 minggu
Tujuannya :
1) Penapisan dan pengobatan anemia
2) Perencanaan persalinan
3) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya.
b. Minimal satu kali pada trimester kedua (K2), 14 28 minggu
Tujuannya :
1) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya
2) Penapisan pre-eklampsia, gemelli, infeksi alat reproduksi dan saluran perkemihan
3) Mengulang perencanaan persalinan
c. Minimal dua kali pada trimester ketiga (K3 dan K4) 28 - 36 minggu dan setelah 36
minggu sampai lahir.
Tujuannya :
1) Sama seperti kegiatan kunjungan II dan III
2) Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi
3) Memantapkan rencana persalinan
4) Mengenali tanda-tanda persalinan
Pemeriksaan pertama sebaiknya dilakukan segera setelah diketahui terlambat haid dan
pemeriksaan khusus dilakukan jika terdapat keluhan-keluhan tertentu.
2.1.4 Tujuan Antenatal Care terpadu
Menurut Prawirohardjo (2005), tujuan dari ANC meliputi :
a) Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh
kembang bayi.
b) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial ibu dan bayi.
c) Mengenali secara dini adanya ketidak normalan atau komplikasi yang mungkin terjadi
selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan.
d) Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, ibu maupun
bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
e) Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI eksklusif.
f) Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat
tumbuh kembang secara normal.
Menurut Depkes RI (1994), tujuan Antenatal care adalah untuk menjaga agar ibu hamil
dapat melalui masa kehamilannya, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat, serta
menghasilkan bayi yang sehat. Untuk mencapai tujuan dari ANC tersebut dilakukan pemeriksaan
dan pengawasan wanita selama kehamilannya secara berkala dan teratur agar bila timbul
kelainan kehamilan atau gangguan kesehatan sedini mungkin diketahui sehingga dapat dilakukan
perawatan yang cepat dan tepat. (Depkes, 1997)
Mengacu pada penjelasan di atas, bagi ibu hamil dan suami/keluarga dapat mengubah
pola berpikir yang hanya datang ke dokter jika ada permasalahan dengan kehamilannya. Karena
dengan pemeriksaan kehamilan yang teratur, diharapkan proses persalinan dapat berjalan dengan
lancar dan selamat. Dan yang tak kalah penting adalah kondisi bayi yang dilahirkan juga sehat,
begitu pula dengan ibunya.
2.1.5 Manfaat Antenatal Care terpadu
Menurut Wiknjosastro (2006), manfaat antenatal care adalah tersedianya fasilitas rujukan
yang baik bagi kasus resiko tinggi ibu hamil sehingga dapat menurunkan angka kematian
maternal. Petugas kesehatan dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan
usia, paritas, riwayat obstetrik buruk, dan perdarahan selama kehamilan.
Perawatan
antenatal
care
terpadu
berguna
untuk
mendeteksi/mengoreksi/
menatalaksanakan/mengobati sedini mungkin kelainan yang terdapat pada ibu dan janinnya.
Dapat juga sebagai penyampaian komunikasi, informasi, dan edukasi dalam menghadapi
kehamilan, persalinan dan nifas pada ibu hamil, agar dapat percaya diri dan bila ada kedaruratan
dapat segera dirujuk ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang lebih lengkap (Yani, 2006).
2.1.6 Standar Pelayanan Antenatal Care terpadu
Dalam melaksanakan pelayanan Antenatal Care terpadu, terdiri dari: (Kemenkes RI,
2010) :
a) Anamnesa
Dalam memberikan pelayanan antenatal terpadu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika
melakukan anamnesa, yaitu:
1. Menanyakan keluhan atau masalah yang dirasakan oleh ibu saat ini.
2. Menanyakan tanda-tanda penting yang terkait dengan masalah kehamilan dan penyakit yang
kemungkinan diderita ibu hamil:
o Muntah berlebihan
Rasa mual dan muntah bisa muncul pada kehamilan muda terutama pada pagi hari namun
kondisi ini biasanya hilang setelah kehamilan berumur 3 bulan. Keadaan ini tidak perlu
dikhawatirkan, kecuali kalau memang cukup berat, hingga tidak dapat makan dan berat badan
menurun terus.
o Pusing
Pusing biasa muncul pada kehamilan muda. Apabila pusing sampai mengganggu aktivitas
sehari-hari maka perlu diwaspadai.
o Sakit kepala
Sakit kepala yang hebat yang timbul pada ibu hamil mungkin dapat membahayakan
kesehatan ibu dan janin.
o Perdarahan
Perdarahan waktu hamil, walaupun hanya sedikit sudah merupakan tanda bahaya
sehingga ibu hamil harus waspada.
o Sakit perut hebat
Nyeri perut yang hebat dapat membahayakan kesehatan ibu dan janinnya.
o Demam
Demam tinggi lebih dari 2 hari atau keluarnya cairan berlebihan dari liang rahim dan
kadang-kadang berbau merupakan salah satu tanda bahaya pada kehamilan.
o Batuk lama
Batuk lama Lebih dari 2 minggu, perlu ada pemeriksaan lanjut. Dapat dicurigai ibu
menderita TBC.
o Berdebar-debar
Jantung berdebar-debar pada ibu hamil merupakan salah satu masalah pada kehamilan
yang harus diwaspadai.
o Cepat lelah
Dalam dua atau tiga bulan pertama kehamilan, biasanya timbul rasa lelah, mengantuk
yang berlebihan dan pusing, yang biasanya terjadi pada sore hari. Kemungkinan ibu menderta
kurang darah.
3. Menanyakan status kunjungan (baru atau lama), riwayat kehamilan yang sekarang, riwayat
kehamilan dan persalinan sebelumnya dan riwayat penyakit yang diderita ibu.
4. Menanyakan status imunisasi Tetanus Toksoid.
5. Menanyakan jumlah tablet Fe yang dikonsumsi.
6. Menanyakan obat-obat yang dikonsumsi seperti: antihipertensi, diuretika, anti vomitus,
antipiretika, antibiotika, obat TB, dan sebagainya.
7. Di daerah endemis Malaria, tanyakan gejala Malaria dan riwayat pemakaian obat Malaria.
8. Di daerah risiko tinggi IMS, tanyakan gejala IMS dan riwayat penyakit pada pasangannya.
Informasi ini penting untuk langkah - langkah penanggulangan penyakit menular seksual.
9. Menanyakan pola makan ibu selama hamil yang meliputi jumlah, frekuensi dan kualitas
asupan makanan terkait dengan kandungan gizinya.
10. Menanyakan kesiapan menghadapi persalinan dan menyikapi kemungkinan terjadinya
komplikasi dalam kehamilan, antara lain:
o Siapa yang akan menolong persalinan?
Setiap ibu hamil harus bersalin ditolong tenaga kesehatan.
o Dimana akan bersalin?
Ibu hamil dapat bersalin di Poskesdes, Puskesmas atau di rumah sakit?
o Siapa yang mendampingi ibu saat bersalin?
Pada
saat
bersalin,
ibu
sebaiknya
didampingi
suami
atau
keluarga
terdekat.
Masyarakat/organisasi masyarakat, kader, dukun dan bidan dilibatkan untuk kesiapan dan
kewaspadaan dalam menghadapi persalinan dan kegawatdaruratan obstetric dan neonatal.
o Siapa yang akan menjadi pendonor darah apabila terjadi
pendarahan?
Suami, keluarga dan masyarakat menyiapkan calon donor darah yang sewaktu-waktu
dapat menyumbangkan darahnya untuk keselamatan ibu melahirkan.
o Transportasi apa yang akan digunakan jika suatu saat harus
dirujuk?
Alat transportasi bisa berasal dari masyarakat sesuai dengan kesepakatan bersama yang
dapat dipergunakan untuk mengantar calon ibu bersalin ke tempat persalinan termasuk tempat
rujukan. Alat transportasi tersebut dapat berupa mobil, ojek, becak, sepeda, tandu, perahu, dsb.
Apakah sudah disiapkan biaya untuk persalinan?
Suami diharapkan dapat menyiapkan dana untuk persalinan ibu kelak. Biaya persalinan
ini dapat pula berupa tabulin (tabungan ibu bersalin) atau dasolin (dana sosial ibu bersalin) yang
dapat
dipergunakan
untuk
membantu
pembiayaan
mulai
antenatal,
persalinan
dan
kegawatdaruratan. Informasi anamnesa bisa diperoleh dari ibu sendiri, suami, keluarga, kader
ataupun sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya.
Setiap ibu hamil,
antenatal selama kehamilan minimal 4 kali dan minimal 1 kali kunjungan diantar suami.
b.) Pemeriksaan
Pemeriksaan dalam pelayanan antenatal terpadu, meliputi berbagai jenis pemeriksaan
termasuk menilai keadaan umum (fisik) dan psikologis (kejiwaan) ibu hamil.
Pemeriksaan itu dapat berupa (Kemenkes RI, 2010):
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
Timbang berat badan setiap kali kunjungan. Kenaikan berat badan normal pada waktu
hamil ialah sebesar 0,5 kg perbulan pada trimester I dan sebesar 0,5 kg perminggu pada trimester
II-III, dengan kenaikan berat badan rata-rata sebesar 6-12 kg selama kehamilan, maksimal
mengalami kenaikan berat badan sebesar 12 kg dan minimal sebesar 6-7 kg. Perhatikan besar
kenaikan berat badan ibu, jangan sampai ibu mengalami penurunan berat badan atau jangan
sampai ibu mengalami obesitas.
2. Pemeriksaan Tekanan Darah
Tekanan darah yang normal 110/80 140/90 mmHg, bila melebihi dari 140/90 mmHg
perlu diwaspadai adanya preeklampsi maupun eklampsi.
3. Pemeriksaan tinggi fundus uteri (TFU)
Tabel 2.1 Ukuran TFU ibu sesuai dengan Umur Kehamilan (Sumber: Prawirohardjo, 2006).
Usia
Kehamilan
12
16
20
24
28
32
36
40
4. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila
diperlukan.
Selama kehamilan bila ibu hamil statusnya T0 maka hendaknya mendapatkan minimal 2
dosis (TT1 dan TT2 dengan interval 4 minggu dan bila memungkinkan untuk mendapatkan TT3
sesudah 6 bulan berikutnya). Ibu hamil dengan status T1 diharapkan mendapatkan suntikan TT2
dan bila memungkinkan juga diberikan TT3 dengan interval 6 bulan (bukan 4 minggu / 1 bulan).
Bagi ibu hamil dengan status T2 maka bisa diberikan 1 kali suntikan bila interval suntikan
sebelumnya 6 bulan. Bila statusnya T3 maka suntikan selama hamil cukup sekali dengan jarak
minimal 1 tahun dari suntikan sebelumnya. Ibu hamil dengan status T4 pun dapat diberikan
sekali suntikan (TT5) bila suntikan terakhir telah lebih dari satu tahun dan bagi ibu hamil dengan
status T5 tidak perlu disuntik TT lagi karena mendapatkan kekebalan seumur hidup (25 tahun).
Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Tetanus Toxoid (Sumber: Prawirohardjo, 2006)
Antigen
TT 1
Interval
(selang
minimal)
Pada
Masa
waktu Perlindungan
kunjungan -
%
Perlindungan
-
antenatal pertama
TT 2
4 minggu setelah TT 1
3 Tahun
80
TT 3
6 bulan setelah TT 2
5 Tahun
95
TT 4
1 tahun setelah TT 3
10 Tahun
99
TT 5
1 tahun setelah TT 4
25
Tahun
/ 99
Seumur Hidup
5. Pemberian tablet zat besi (FE) minimal 90 tablet selama kehamilan
Dimulai dengan pemberian satu tablet setiap hari segera mungkin setelah rasa mual
hilang. Ibu hamil biasanya mendapat tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
Diminum dengan air putih atau air jeruk.
Kekurangan zat besi pada ibu hamil akan menyebabkan ibu mudah pingsan, mudah
mengalami keguguran atau pada proses melahirkan akan berlangsung lama akibat kontraksi yang
tidak bagus. Dan apabila tidak segera diatasi dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
lahir prematur, lahir dengan cadangan zat besi yang kurang, atau lahir dengan cacat bawaan.
Selain tablet zat besi, selama kehamilan juga dianjurkan memperbanyak konsumsi
makanan yang kaya akan zat besi, asam folat juga vitamin B, seperti hati, daging, kuning telur,
ikan teri, susu, dan kacang-kacangan seperti tempe dan susu kedelai, serta sayuran berwarna
hijau tua seperti bayam dan daun katuk.
Selain itu, konsumsi juga makanan yang mempermudah penyerapan zat besi, misalnya makanan
yang mengandung vitamin C tinggi. Yang perlu dihindari adalah makanan/minuman yang dapat
menghambat penyerapan zat besi, misalnya kopi dan teh.
6. Test laboratorium (rutin dan khusus)
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada saat antenatal terpadu meliputi:
a. Pemeriksaan golongan darah,
Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil tidak hanya untuk mengetahui jenis
golongan darah ibu melainkan juga untuk mempersiapkan calon pendonor darah yang
sewaktu-waktu diperlukan apabila terjadi situasi kegawatdaruratan.
b. Pemeriksaan kadar hemoglobin darah (Hb)
Pemeriksaan kadar hemoglobin darah ibu hamil dilakukan minimal sekali pada trimester
pertama dan sekali pada trimester ketiga. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui
ibu hamil tersebut menderita anemia atau tidak selama kehamilannya karena kondisi
anemia dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang janin dalam kandungan.
c. Pemeriksaan protein dalam urin
Pemeriksaan protein dalam urin pada ibu hamil dilakukan pada trimester kedua dan
ketiga atas indikasi. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui adanya proteinuria pada
ibu hamil. Proteinuria merupakan salah satu indikator terjadinya preeclampsia pada ibu
hamil.
d. Pemeriksaan kadar gula darah.
Ibu hamil yang dicurigai menderita Diabetes Melitus harus dilakukan pemeriksaan gula
darah selama kehamilannya minimal sekali pada trimester pertama, sekali pada trimester
kedua, dan sekali pada trimester ketiga (terutama pada akhir trimester ketiga).
e. Pemeriksaan darah Malaria
Semua ibu hamil di daerah endemis Malaria dilakukan pemeriksaan darah Malaria dalam
rangka skrining pada kontak pertama. Ibu hamil di daerah non endemis Malaria
dilakukan pemeriksaan darah Malaria apabila ada indikasi.
f. Pemeriksaan tes Sifilis
Pemeriksaan tes Sifilis dilakukan di daerah dengan risiko tinggi dan ibu hamil yang
diduga Sifilis. Pemeriksaaan Sifilis sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada kehamilan.
g. Pemeriksaan HIV
Pemeriksaan HIV terutama untuk daerah dengan risiko tinggi kasus HIV dan ibu hamil
yang dicurigai menderita HIV. Ibu hamil setelah menjalani konseling kemudian diberi
kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV.
h. Pemeriksaan BTA
Pemeriksaan BTA dilakukan pada ibu hamil yang dicurigai
7. Tes status gizi (ukur lingkar lengan atas)
Pengukuran LiLA hanya dilakukan pada kontak pertama untuk skrining ibu hamil
berisiko kurang energi kronis (KEK). Kurang energy kronis disini maksudnya ibu hamil yang
mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama (beberapa bulan/tahun) dimana LiLA
kurang dari 23,5 cm. Ibu hamil dengan KEK akan dapat melahirkan bayi berat lahir rendah
(BBLR).
8. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)
Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester II dan selanjutnya setiap kali
kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui letak janin. Jika, pada
trimester III bagian bawah janin bukan kepala, atau kepala janin belum masuk ke panggul
berarti ada kelainan letak, panggul sempit atau ada masalah lain.
Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan selanjutnya setiap kali kunjungan
antenatal. DJJ lambat kurang dari 120/menit atau DJJ cepat lebih dari 160/menit menunjukkan
adanya gawat janin.
9. Tatalaksana kasus
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium/
penunjang lainnya, dokter menegakkan diagnosa kerja atau diagnosa banding, sedangkan
bidan/perawat dapat mengenali keadaan normal dan keadaan bermasalah/tidak normal pada ibu
hamil.
Berikut ini adalah penanganan dan tindak lanjut kasus pada pelayanan antenatal terpadu:
sangat diharapkan agar kunjungan pertama kehamilan dilakukan sebelum usia kehamilan 12
minggu. Pemeriksaan kehamilan ini cukup sekali dan biasanya berlangsung 30-40 menit.
Pada pemeriksaan kali pertama ini hal-hal yang perlu diperiksa adalah :
1. Riwayat kesehatan ibu, petugas kesehatan mengajukan beberapa pertanyaan untuk
mengetahui adanya kelainan genetik, kondisi kesehatan ibu (adanya penyakit kronis),
riwayat kehamilan sebelumnya, riwayat psikososial, dll.
2. Penentuan usia kehamilan bisa dilakukan dengan USG transvaginal atau transabdominal
sekaligus memastikan adanya janin dalam kandungan atau menanyakan HPHT (hari
pertama haid terakhir) ibu.
3. Pemeriksaan fisik secara umum misalnya tekanan darah, berat badan, dan pemeriksaan
fisik lainnya.
4. Pemeriksaan dalam yaitu pemeriksaan vagina dan leher rahim ibu.
5. Pemeriksaan laboratorium untuk kadar hemoglobin darah, urinalisis, golongan darah,
rhesus, tes TORCH dan tes hepatitis.
Bila terdapat kelainan atau komplikasi dalam pemeriksaan fisik dan laboratorium maka
sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis kandungan. Bila tidak terdapat kelainan maka pemeriksaan
kehamilan tetap dapat dilakukan di bidan atau puskesmas.
K-2 (Kunjungan Kedua) adalah kunjungan/ kontak kedua ibu hamil dengan petugas
kesehatan pada trimester kedua selama masa kehamilan. Pemeriksaan terutama untuk menilai
resiko kehamilan atau cacat bawaan. Pemeriksaan kehamilan kedua yaitu pemeriksaan saat usia
kehamilan 4-6 bulan. Biasanya kunjungan kehamilan dilakukan sebelum usia kehamilan
mencapai 26 minggu. Pemeriksaan ini biasanya berlangsung 20 menit saja. Pemeriksaan
kehamilan kedua yang akan dilakukan pada ibu hamil sebagai berikut :
1. Anamnesis. Ibu akan ditanya mengenai kondisi selama kehamilan, keluhan dan tipe
pergerakan janin yang muncul.
2. Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan tekanan darah, berat badan, tinggi fundus uteri,
denyut jantung janin (DJJ), dan pemeriksaan fisik menyeluruh serta pemeriksaan dalam
bila pada kunjungan pertama tidak dilakukan.
3. Pemeriksaan laboratorium. Urinalisis, cek protein urin bila tekanan darah tinggi serta
gula darah dan hemoglobin terutama bila dalam kunjungan pertama ibu dinyatakan
menderita anemia. Ibu juga bisa melakukan serangkaian tes lain untuk mengetahui
adanya kelainan janin misalnya alpha feto protein (AFP), amniosintesis, dan chorion
villus sample.
Ibu akan dirujuk ke dokter spesialis kandungan bila dalam pemeriksaan kehamilan
ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut :
1. Memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, diabetes mellitus, dan epilepsi dalam
kehamilan.
2. Memiliki riwayat kelainan genetik dalam keluarga.
3. Ibu anemia berat (hemoglobin <7 gr/dl)
4. Riwayat lahir mati, berat badan lahir rendah (BBLR), pre-eklampsia atau eklampsia,
5.
6.
7.
8.
9.
sehingga dari pengalaman yang terdahulu kembali dilakukan untuk menjaga kesehatan
kehamilannya (Depkes RI, 2008).
b. Usia
Usia adalah waktu hidup individu mulai saat berulang tahun (Nursalam, 2001).
Semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih di percaya daripada
orang yang belum cukup tinggi kedewasaanya, jika kematangan usia seseorang cukup
tinggi maka pola berfikir seseorang akan lebih dewasa. Ibu yang mempunyai usia
produktif akan lebih berpikir secara rasional dan matang tentang pentingnya
melakukan pemeriksaan kehamilan (Depkes RI, 2008). Ibu hamil dengan usia yang
masih sangat muda memiiliki kepribadian immature (kurang matang), introvert (tidak
mau berbagi dengan orang lain), perasaan dan emosi yang tidak stabil dalam
menghadapi kehamilan sehingga ibu hamil tidak berminat untuk melaksanakan
antenatal care (Yeyeh, 2009).Hasil penelitian Tania (2010) tentang gambaran
pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya pengawasan kehamilan (antenatal care) di
poliklinik ibu hamil RSU Dr. Pirngadi menyatakan bahwa usia ibu mempengaruhi,
dalam memeriksakan kehamilannya pada pelaksanaan antenatal care.
2. Faktor Eksternal
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan,
dan perabaan. Dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan
dan pendengaran. Hanya sedikit yang diperoleh melalui penciuman, perasaan, dan
perabaan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
bentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoadmodjo, 2010)
Pengetahuan merupakan faktor yang dapat memudahkan seseorang atau
masyarakat terhadap apa yang akan dilakukan. Ibu yang akan memeriksakan
kehamilannya akan dipermudah apabila ibu mengetahui apa manfaat memeriksakan
kehamilan, siapa dan dimana memeriksakan kehamilan dilakukan (Notoatmodjo,
2005). Kurangnya pemahaman dan pengetahuan ibu dan keluarga terhadap pentingnya
pemeriksaan kehamilan berdampak pada ibu hamil (Depkes RI, 2008).
keluarga untuk menyediakan kebutuhan energi dan protein yang dibutuhkan ibu
selama kehamilan (Depkes RI, 2008).
Penghasilan masyarakat Indonesia (75-100%) digunakan untuk membiayai
keperluan hidup. Persoalan ekonomi merupakan proritas utama, pendapatan keluarga
hanya berfokus kepada pemenuhan kebutuhan hidup, sehingga hampir tidak ada
penyisihan dana untuk kesehatan. Ibu hamil jarang diperiksakan ke pelayanan
kesehatan karena tidak adanya biaya (Yulifah,dkk, 2009).
Hasil penelitian Mariam (2006) tentang faktor-faktor penyebab belum
tercapainya cakupan K4 antenatal care di Desa Sukoharjo I Wilayah Kerja Puskesmas
Sukoharjo Kabupaten Tanggamus menunjukkan bahwa masyarakat khususnya ibu
hamil memiliki masalah dengan faktor ekonomi dalam melaksanakan antenatal care.
d. Sosial budaya
Kebudayaan adalah segala sesuatu atau tata nilai yang berlaku dalam suatu
masyarakat, termasuk di dalamnya pernyataan intelektual dan nilai-nilai artistik yang
menjadi ciri khas masyarakat (Eppink, 2010). Di berbagai wilayah Indonesia terutama
dalam masyarakat yang masih memegang teguh budaya tradisional (patrilineal), suami
lebih dominan dalam mengambil keputusan untuk menentukan tindakan yang akan
dilakukan pada istrinya sehingga mempengaruhi ibu hamil dalam melaksanakan
antenatal care (Yulifah,dkk, 2009).
Faktor budaya mempengaruhi berbagai perubahan yang relevan dengan
kehamilan dengan norma budaya yang mayoritas dan tidak semua berlaku bagi orang
yang berasal dari budaya lain. Orang yang berasal dari budaya yang berbeda akan
dibesarkan sesuai dengan kebudayaan, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai yang
dianut. Ibu yang melakukan perawatan kehamilan yang mempunyai keyakinan dan
kepercayaan dengan dukun akan lebih memilih keyakinan tersebut dibandingkan
dengan perawatan kehamilan ke tempat pelayanan kesehatan (Schott, 2008). Perilaku
keluarga yang tidak mengijinkan seorang wanita meninggalkan rumah untuk
memeriksakan kehamilannya merupakan budaya yang menghambat keteraturan
kunjungan ibu hamil memeriksakan kehamilannya. Tatanan budaya yang turun
temurun mempengaruhi keputusan ibu dalam memeriksakan kehamilan. Misalnya ibu
hamil akan memeriksakan kehamilan ke dukun misalnya dengan khusuk, dan meminta
zimat atau pelindung selama kehamilan sesuai dengan komplikasi yang dialami oleh
ibu hamil (Depkes RI, 2008).
e. Letak Geografis
Letak geografis adalah letak suatu tempat yang didasarkan pada letak keadaan
alam di sekitarnya (Gussa, 2010). Letak geografis sangat menentukan terhadap
pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan antenatal care. Ibu hamil yang tinggal
ditempat yang terpencil umumnya desa-desa yang masih terisolisir dan transportasi
yang sulit terjangkau, sehingga untuk menempuh perjalanan ke tempat pelayanan
kesehatan akan memerlukan waktu yang lama, sementara ibu hamil harus
memeriksakan kehamilannya (Meilani,dkk, 2009).
Jarak yang mudah terjangkau dan tersedianya fasilitas yang memadai akan
memberi kemudahan bagi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya dan bisa
melaksanakan antenatal care sehingga jika terdapat keadaan gawat darurat dapat
segera ditangani (Yeyeh, 2009).
f. Informasi
Informasi
adalah
pengetahuan
yang
didapatkan
dari
pembelajaran,
DEFINISI HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS
yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi
seumur hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda
dan gejala dari suatu penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya mereka
telah dapat menulari orang lain.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya
tidak diturunkan, tetapi didapat; Immune adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh
terhadap penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah
kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang
merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat
progresif merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan serangan
infeksi jamur, bakteri atau virus. Kebanyakan orang dengan HIV akan meninggal dalam
beberapa tahun setelah tanda pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan terapi yang
diberikan.
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai
mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4 dan makrofag). Virus HIV
akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa
antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium adalah selama 2-12 minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama
masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil
pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif. Hampi 30-50% orang mengalami masa infeksi akut
pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam,
pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang
yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka waktu cukup
panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya
kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari
pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi
dari orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel
limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan
tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5
tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi HIV.
Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV,
misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral
candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE), Pneumocystis carinii pneumonia (PCP),
2.2.2
melalui (1) hubungan seksual, (2) penggunaan jarum yang tidak steril atau terkontaminasi HIV,
dan (3) penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin dalam kandungannya, yang dikenal
sebagai Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA).
a.
Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua cara
penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama laki-laki
dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu. Risiko tertinggi adalah
penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak
seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori
risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar
dan masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut,
perdarahan gusi, dan atau penyakit gigimulut atau pada alat genital.
b.
Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi Penularan dari
darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk pemeriksaan HIV,
penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan alat medik lainnya yang
dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi padasemua pelayanan kesehatan,
seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga
pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada
proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Penularan dari ibu-ke-anak
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan dari
ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua.
2.2.3
Faktor Ibu
Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus
dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV
dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadisangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
2.
ke bayi.
Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting
payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.
Faktor Bayi
Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV
karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belumberkembang dengan baik.
Periode pemberian ASI
3.
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
Adanya luka dimulut bayi
Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah:
Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah
lendir ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
penularan
2.2.4
lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi
peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta,
sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat
menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan saat hamil
diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin,
sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan
menyusui (lihat Tabel 2).
Tabel 2.2 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan
berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI
eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15%
apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral (ArT) jangka
panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang
menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui.