Você está na página 1de 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Campak, measles atau rubeola atau morbili adalah penyakit virus akut yang disebabkan
oleh virus campak (famili paramyxoviridae anggota genus morbilivirus). Penyakit ini sangat
infeksius, menular sejak awal masa prodormal sampai lebih kurang 4 hari setelah muncul
ruam.1 Morbili atau campak umumnya menyerang anak, penyebaran infeksi terjadi dengan
perantara droplet. Droplet ini disemprotkan ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin.
Diantara orang-orang yang tidak diimunisasi, lebih dari 90% akan terjangkit penyakit ini.
Orang yang terinfeksi sangat menular selama empat hari sebelum ruam muncul sampai empat
hari setelah ruam muncul. Virus campak dapat tetap di udara (dan masih dapat menyebabkan
penyakit) sampai dua jam setelah orang yang terinfeksi telah meninggalkan ruangan.2
Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3 stadium yaitu
(1)Stadium inkubasi yang berkisar antara 10 sampai 12 hari setelah pajanan pertama terhadap
virus dan dapat disertai gejala minimal maupun tidak bergejala, (2)Stadium prodromal yang
menunjukkan gejala demam, konjungtivitis, pilek, dan batuk yang meningkat serta
ditemukannya enantem pada mukosa (bercak Koplik), dan (3)Stadium erupsi yang ditandai
dengan keluarnya ruam makulopapular yang didahului dengan meningkatnya suhu badan.3
Morbili endemik pada sebagian besar dunia. Di dunia secara global 10% dari semua
penyebab kematian balita disebabkan oleh campak (kira-kira 800.000 kematian setiap tahun).
Di negara maju, angka kematian dari penyakit campak masih rendah yang diperkirakan 1 per
1000 kasus. Di negara berkembang meningkat menjadi 100 per 1.000 kematian, dan 300
kematian per 1.000 kasus pada pasien immunocompromised. Telah diketahui bahwa akhirakhir ini penyakit morbili merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara Indonesia,
yakni dengan dilaporkannya kejadian wabah penyakit morbili di beberapa daerah dengan
angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Di Indonesia menurut survei kesehatan
rumah tangga tahun 2001, campak menduduki urutan ke-5 dari 10 macam penyakit utama
pada bayi (0,7%) dan urutan ke-5 dari 10 macam penyakit utama pada anak-anak umur 1-4
tahun (0,77%). Umur terbanyak menderita campak adalah <12 bulan, diikuti kelompok umur
1-4 dan 5-14 tahun.2,4

Siapapun yang telah memiliki campak diyakini kebal seumur hidup. Orang-orang yang
telah menerima dua dosis vaksin setelah umur satu tahun, mereka memiliki kemungkinan
98% menjadi kebal. Bayi menerima beberapa kekebalan dari ibu mereka. Sayangnya,
kekebalan ini tidak lengkap, dan bayi berada pada peningkatan risiko untuk infeksi sampai
mereka menerima vaksinasi pada 12 sampai 15 bulan. Beberapa kasus campak memiliki
komplikasi. Komplikasi ini dapat berupa diare, kejang, infeksi telinga, pneumonia, kebutaan,
radang otak akut (ensefalitis, sangat jarang), dan radang otak persisten (subakut sclerosing
panencephalitis, sangat jarang).2
Kejang demam merupakan kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi
khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua,
sehingga sebagai seorang dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat.
Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan
gejala sisa, akan tetapi bila kejang berlangsung lama dapat menimbulkan hipoksia pada
jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP) sehingga dapat menyebabkan adanya gejala sisa di
kemudian hari.5
Penanggulangan yang tepat dan cepat harus segera dilakukan sehingga prognosis
kejang demam baik dan tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi
terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya
0,64%-0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil
berkembang menjadi epilepsi yaitu sebanyak 2-7%. 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.6
1.2 Tujuan
1. Tujuan umum: Mengetahui cara mendiagnosa dan penanganan kasus morbili pada anak
dengan kejang demam.
2. Tujuan khusus : Untuk menyelesaikan tugas laporan kasus dari kepaniteraan klinik di
SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Mohammad Saleh, Probolinggo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MORBILI
2.1.1

DEFINISI
Campak, measles atau rubeola atau morbili adalah penyakit virus akut yang disebabkan

oleh virus campak (famili paramyxoviridae anggota genus morbilivirus). Penyakit ini sangat
infeksius, menular sejak awal masa prodormal sampai lebih kurang 4 hari setelah muncul
ruam. Infeksi ini disebarkan lewat udara (airborne).1 Morbili atau campak umumnya
menyerang anak, penyebaran infeksi terjadi dengan perantara droplet. Droplet ini
disemprotkan ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Diantara orang-orang yang tidak
diimunisasi, lebih dari 90% akan terjangkit penyakit ini. Orang yang terinfeksi sangat
menular selama empat hari sebelum ruam muncul sampai empat hari setelah ruam muncul.
Virus campak dapat tetap di udara (dan masih dapat menyebabkan penyakit) sampai dua jam
setelah orang yang terinfeksi telah meninggalkan ruangan.2
Virus campak sangat menular. Campak menular melalui transmisi droplet dari hidung,
tenggorokan, dan mulut seseorang yang terinfeksi virus. Droplet ini disemprotkan ketika
orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Diantara orang-orang yang tidak diimunisasi, lebih
dari 90% akan terjangkit penyakit ini. Orang yang terinfeksi sangat menular selama empat
hari sebelum ruam muncul sampai empat hari setelah ruam muncul. Virus campak dapat tetap
di udara (dan masih dapat menyebabkan penyakit) sampai dua jam setelah orang yang
terinfeksi telah meninggalkan ruangan.2
Orang yang berisiko tinggi untuk terkena campak adalah:2

Anak-anak kurang dari 1 tahun (meskipun mereka memiliki kekebalan dari ibu mereka,

tidak 100% efektif)


Orang yang belum menerima seri vaksinasi yang tepat
Orang yang menerima immunoglobulin pada saat vaksinasi campak

Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil pada kelembaban
dibawah 40%. Udara yang kering menimbulkan efek yang positif pada virus.
Kebanyakan kasus campak terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi di
negara dengan empat musim dengan puncak kasus terjadi pada bulan Maret dan April.
3

Lain halnya dengan di negara tropis dimana kebanyakan kasus terjadi pada musim
panas. Ketika virus menginfeksi populasi yang belum mendapatkan kekebalan atau
vaksinasi maka 90-100% akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala klinis.
2.1.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi campak dibagi menjadi dua, yaitu:6
1. Campak atipikal
Campak atipikal terjadi pada orang yang menerima vaksin campak yang
dimatikan (CMV, hanya digunakan dari tahun 1963 sampai 1967) dan yang terkena
virus campak tipe wild. CMV peka terhadap virus campak tetapi tidak menawarkan
perlindungan. Penyakit ini ditandai dengan demam, efusi pleura, pneumonia, dan
pembengkakan pada ekstremitas. Ruam campak atipikal berbeda dengan campak.
Dalam hal ini mungkin didapatkan urtikaria (gatal-gatal) dan biasanya muncul pertama
kali pada pergelangan kaki dan pergelangan tangan. Hal ini direkomendasikan oleh
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) bahwa orang-orang yang mungkin
telah menerima CMV harus menerima vaksinasi ulang dengan vaksin campak hidup.
Virus dapat diisolasi dalam kultur jaringan di laboratorium. Darah (serologi) tes juga
tersedia.
2. Campak modifikasi
Campak modifikasi terlihat pada pasien yang tidak diimunisasi, menerima
immunoglobulin setelah terpapar dengan pasien campak. Hal ini juga terlihat sesekali
pada bayi muda yang memiliki kekebalan terbatas dari ibu mereka. Imunoglobulin
memperpanjang waktu dari paparan sampai timbulnya gejala (masa inkubasi). Ketika
gejalanya muncul akan jauh lebih ringan dari pada yang terlihat dengan campak normal
dan cenderung bertahan dalam waktu yang lebih singkat.
2.1.3 PATOFISIOLOGI
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan berbiak pada
epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar
limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem
retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Giant cells
dan proses keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru, juga
terdapat udema, bendungan, dan pendarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan
penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : Coryza, cough
and conjungtivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek
4

makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak
dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan(dalam kisaran
7sampai 18 hari).Virus berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik
ensefalitis. Setelah masa konvalesen pada panas turun, hipervaskularisasi mereda dan
menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi deskuamasi dan hiperpigmentasi.
Proses ini disebabkan awalnya terdapat pendarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.1,7
Masa inkubasi berkisar antara 7 sampai 21 hari dari paparan onset demam. Ruam biasanya
muncul sekitar 14 hari setelah paparan.6
2.1.4 GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada penyakit campak/morbili adalah: 1,2

Panas meningkat dan mencapai puncak pada hari ke 4-5, pada saat ruam keluar.
Coryza yang terjadi sukar dibedakan dengan common cold yang berat. Membaik

dengan cepat pada saat panas menurun.


Conjungtivitis ditandai dengan mata merah pada konjungtiva disertai dengan

keradangan dengan keluhan fotofobia.


Cough merupakan akibat keradangan pada epitel saluran nafas, mencapai puncak pada

saat erupsi dan menghilang setelah beberapa minggu.


Stomatitis
Muncul Kopliks spot pada sekitar 2 hari sebelum muncul ruam (hari ke 3-4) dan cepat
menghilang setelah beberapa jam atau hari. Kopliks spot adalah sekumpulan noktah
putih pada daerah epitel bucal yang merah (a grain of salt in the sea of red/butiran kecil
pasir putih yang dikelilingi oleh cincin merah), yang merupakan tanda klinis yang
pathognomonik untuk campak.

Gambar 1: Kopliks spot


Sumber: http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Rubeola.htm

Ruam makulopapuler (juga dikenal sebagai exanthema atau eksantema) semula


berwarna kemerahan. Ruam ini muncul pertama pada daerah batas rambut dan dahi,
serta belakang telinga, menyebar ke arah perifer sampai pada kaki. Ruam umumnya
saling rengkuh sehingga pada muka dan dada menjadi konfluent. Ruam ini
membedakan dengan rubella yang ruamnya discrete dan tidak mengalami desquamasi.
Awalnya, ruam pada campak akan berubah putih saat ditekan (pucat). Setelah tiga
sampai empat hari, ruam tidak lagi pucat. Seiring ruam memudar, sering akan menjadi
pengelupasan halus dari kulit (deskuamasi). Ruam memudar dalam urutan yang sama
yang muncul.

Gambar 2: Ruam campak


Sumber: http://www.medicinenet.com/measles_rubeola/article.htm

Gambar 3: Ruam Campak yang berkonfluent


Sumber: http://omg-solutions.com/measles/

Gambar 4: Karakter Campak


Sumber: http://health.kompas.com
2.1.5 DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam tinggi terus menerus 38,5oC atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri menelan,
mata merah, silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare. Pada hari ke 4-5
demam, timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari semula.
Pada saat ini anak dapat mengalami kejang demam. Saat ruam timbul, batuk dan diare
bertambah parah sehingga anak mengalami sesak nafas atau dehidrasi. Perlu juga ditanyakan
adanya riwayat kontak dan riwayat imunisasi. 1,6
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari 3 stadium: 1

Stadium prodormal, berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti batuk,
pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda patognomonik
timbul enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak Koplik.

Stadium erupsi, ditandai dengan timbul ruam makulopapular yang bertahan selama 5-6
hari. Timbul ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar
ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstremitas.

Stadium penyembuhan (konvalesen), setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang


sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang
menghilang setelah 1-2 minggu.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium1

Darah tepi: jumlah leukosit normal aau meningkat apabila ada komplikasi infeksi

bakteri
Pemeriksaan antibodi IgM anti campak
Pemeriksaan untuk komplikasi
Ensefalopati/ensefalitis: dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinalis, kadar
elektrolit darah dan analisis gas darah.
Enteritis: feses lengkap
Bronkopneumonia: dilakukan pemeriksaan foto dada dan analisis gas darah.

2.1.6 DIAGNOSIS BANDING


Ruam kulit eksantema akut yang lain seperti: 1
Rubella
Rubella adalah nama ilmiah yang digunakan untuk campak Jerman atau campak
tiga hari, penyakit virus yang berbeda dengan campak yang disebabkan oleh virus
rubeola. Campak Jerman jarang berakibat fatal. Masa inkubasi 14-21 hari. Tanda yang
paling khas adalah adenopati retroaurikuler, servikal posterior, dan dibelakang oksipital.
Limfadenopati jelas pada sekitar 24 jam sebelum ruam muncul dan dapat menetap
selama 1 minggu atau lebih. Ruam pada campak umumnya saling rengkuh sehingga
pada muka dan dada menjadi konfluent. Ruam ini membedakan dengan rubella yang
ruamnya discrete dan tidak mengalami desquamasi. Ruam rubela cenderung kurang
mencolok dibandingkan ruam pada campak.3,15
Roseola infantum (eksantema subitum)
Roseola sering juga dikenal dengan Sixth Deases, Eksantema Subitum dan
Roseola Infantum. Merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Herpes
tipe 6 dan 7. Virus ini disebarkan melalui percikan ludah penderita. Masa inkubasi
sekitar 5-15 hari, biasanya penyakit ini berlangsung selama 1 minggu. Roseola
Infantum sering disebut sebagai penyakit ke-6 atau sixth disease. Sebabnya gejalanya
8

yang berupa bercak kemerahan pada kulit, mirip dengan lima jenis penyakit lainnya.
Urutan lima jenis penyakit yang memiliki gejala serupa itu adalah campak (penyakit ke
1), penyakit Dukes (penyakit ke 2), campak Jerman (penyakit ke 3), penyakit Scarlet
(penyakit ke 4) dan eritrema infeksiosum (penyakit ke 5). Dari kelima jenis penyakit
tersebut, Roseola Infantum kerap salah didiagnosa dan dianggap penyakit Campak
Jerman (Rubella). Roseola infantum dibedakan dari campak dimana ruam dari roseola
tampak ketika demam menghilang. Ruam bisa muncul di seluruh tubuh, atau hanya
pada bagian tertentu seperti sekitar wajah, leher dan dada. Bila bercak tersebut ditekan,
akan terlihat bekas seperti halo (berbentuk bulat berwarna putih seperti awan). Ruam
ini tidak berubah menjadi bernanah atau timbul cairan, dan tidak gatal. Mata bayi
biasanya berair dan terlihat kemerahan, bibir pecah-pecah. Umumnya, bercak akan
berubah warna menjadi hitam kecokelatan, hilang dengan sendirinya dalam waktu 1-2
minggu.15

Gambar 7: Perbedaan Rubeola, Rubella dan Roseola Infantum


Sumber: http://www.medcomic.com/030913.html

Infeksi mononukleosus
Mononukleosis Infeksiosa, umumnya dikenal sebagai kissing disease, adalah
suatu kondisi medis yang ditandai oleh malaise, demam, sakit tenggorokan dan
pembesaran kelenjar getah bening, terutama di daerah leher. Hal ini terutama
disebabkan oleh infeksi Epstein-Barr Virus dan kebanyakan menyerang remaja dan
dewasa muda. Gejala timbul kurang lebih 4 sampai 6 minggu setelah terpapar virus dan
9

biasanya dimulai dengan perasaan tidak enak badan dan letih, yang kemudian diikuti
oleh demam tinggi, sakit tenggorokan yang berat, pembengkakan kelenjar getah bening,
limpa dan tonsil.15
Scarlet fever
Penyakit yang disebabkan bakteri Streptococcus pyogenes ini, mempunyai gejala
mirip Strep throat (faringitis) yaitu sore throat (sakit tenggorokan), demam, lidah
merah stroberi dan ruam-ruam (rash) yang mulai timbul di dada, ketiak dan belakang
telinga. Penyakit yang dahulu kala cukup mematikan ini, kini sudah dapat diatasi
dengan pemberian antibiotika.
Dukes disease
Dukes diseasesebagai penyakit ruam pada anak-anak ditemukan pertama kali
oleh Clement Dukes. Istilah ini sekarang sudah jarang dipakai karena sudah ada istilah
medis yang lebih akurat yaitu Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.
Erupsi obat
Erupsi alergi obat (allergic drug eruption) ialah reaksi alergi pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat.
2.1.7 KOMPLIKASI
Komplikasi umum meliputi diare (8%), infeksi telinga tengah (7% -9%), dan
pneumonia (1% -6%). Ensefalitis, yang dapat mengakibatkan kerusakan otak permanen,
terjadi pada sekitar 1 per 1000-2000 kasus campak. Risiko komplikasi serius dan kematian
tertinggi untuk anak usia5tahun dan orang dewasa berusia20.tahun.3
Berikut komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit campak adalah:1
Campak menjadi berat pada pasien dengan kejang yang terus menerus
Diare dapat diikuti dehidrasi
Otitis media
Laringotrakeobronkitis (croup)
Laringitis, trakeitis dan bronkiktis lazim ada dan mungkin karena virus saja.15
Bronkopneumonia
Bronkopneumonia karena invasi bakteri sekunder, terutama pneumokokus,

streptokokus, stafilokokus, dan Haemophilus influenzae. 15


Ensefalitis akut
Ensefalitis akut, meskipun jarang, sangat berbahaya dan menyebabkan kematian dalam
persentase yang signifikan. Ensefalitis akut umumnya dimulai enam hari setelah onset
ruam. Gejalanya bisa berupa demam, sakit kepala, muntah, leher kaku, mengantuk,
kejang, dan koma.
Reaktivasi tuberkulosis

10

Reaktivasi tuberkulosis karena eksaserbasi proses tuberkulosis yang ada sebelumnya.


Mungkin juga ada kehilangan hipersensitivitas sementara terhadap tuberkulin.15
Malnutrisi pasca serangan campak
Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), suatu proses degeneratif dari otakdan
sumsum tulang belakang(susunan sarafpusat) dengan gejala karakteristik terjadi
deteriorisasi

tingkah

laku

dan

intelektual,

diikuti

kejang.

Hal

inidiyakini

disebabkanolehinfeksi kronisdari sistemsaraf pusatdenganviruscampak. Salah satu


komplikasi campak onset lambat disebabkan oleh infeksi virus yang menetap, timbul
beberapa tahun setelah infeksi(rata-rata tujuh tahun, rentangsatu bulansampai 27 tahun).
Kematian
Kebanyakan kematian akibat campak disebabkan pneumonia pada anak-anak dan
ensefalitis pada orang dewasa. Orang-orang yang paling mungkin untuk terjadi
komplikasi (termasuk kematian) adalah mereka yang kekurangan gizi atau yang system
kekebalannya melemah (misalnya, orang dengan AIDS atau kondisi lain yang
melemahkan system kekebalan tubuh).
2.1.8 PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan antivirus tertentu untuk penyakit campak. Komplikasi berat dari
penyakit campak dapat dihindari dengan perawatan suportif yang menjamin gizi yang baik,
asupan cairan yang cukup dan pengobatan dehidrasi. WHO merekomendasikan solusi
rehidrasi oral menggantikan cairan dan elemen penting lainnya yang hilang melalui diare atau
muntah. Antibiotik harus diresepkan untuk mengobati mata dan infeksi telinga, dan
pneumonia.6

1. Tatalaksana medik
a. Jika orang tidak diimunisasi terkena campak, mereka harus menerima vaksin
sesegera mungkin. Hal ini dapat mencegah penyakit jika diberikan dalam waktu
72 jam dari eksposur. Imunoglobulin mungkin memiliki beberapa keuntungan
jika diberikan dalam waktu enam hari setelah terpapar. CDC merekomendasikan
bahwa immunoglobulin dimanfaatkan untuk keluarga orang yang terinfeksi,
orang immunocompromised, dan wanita hamil.3
b. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari: 1,2,4
Pasien harus diisolasi untuk mencegah penyebaran penyakit.
Pemberian cukup cairan
Kalori dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan
komplikasi
11

Suplemen nutrisi
Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
Anti konvulsi apabila terjadi kejang
Jika demam berikan paracetamol
Pemberian vitamin A: Perawatan ini akan mengembalikan kadar vitamin A
rendah selama campak yang terjadi bahkan pada anak-anak bergizi baik dan
dapat membantu mencegah kerusakan mata dan kebutaan. Suplemen
vitamin A telah terbukti mengurangi jumlah kematian akibat campak

sebesar 50%.
Perawatan mata: untuk konjungtivitis ringan dengan cairan mata yang
jernih, tidak diperlukan pengobatan. Jika mata bernanah, bersihkan mata
dengan kain katun yang telah direbus dalam air mendidih, atau lap bersih
yang

direndam

dalam

air

bersih.

Oleskan

salep

mata

kloramfenikol/tetrasiklin, 3 kali sehari selama 7 hari. Jangan menggunakan


salep steroid.
Perawatan mulut: jaga kebersihan mulut, beri obat kumur antiseptik bila
pasien dapat berkumur. Jika ada luka di mulut, minta ibu untuk
membersihkan mulut anak dengan air bersih yang diberi sedikit garam,
minimal 4 kali sehari. Berikan gentian violet 0,25 % pada luka di mulut
setelah dibersihkan. Jika luka di mulut menyebabkan berkurangnya asupan
makanan, anak mungkin memerlukan makanan melalui NGT.
c. Indikasi rawat inap: hiperpireksia (suhu > 39 oC), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit, atau ada komplikasi. 1
d. Campak tanpa komplikasi: 1,2
Hindari penularan
Tirah baring di tempat tidur
Berikan Vitamin A. Tanyakan apakah anak sudah mendapat vitamin A pada
bulan Agustus dan Februari. Jika belum, berikan 50.000 IU (jika umur anak
<6 bulan), 100.000 IU (6-11 bulan) atau 200.000 IU (12 bulan hingga 5
tahun).
Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan
disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan komplikasi
e. Campak dengan komplikasi1
Ensefalopati/ensefalitis (apabila kesadaran menurun dan kejang)
Antibiotik bila diperlukan, antivirus dan lainnya
Kortikosteroid, bila diperlukan
Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta
kloreksi terhadap gangguan elektrolit
Bronkopneumonia
12

Antibiotik
Oksigen nasal atau dengan masker
Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dan elektrolit
Enteritis: koreksi dehidrasi sesuai derajat
Pada kasus campak dengan komplikasi bronkopneumonia dan gizi kurang,
perlu dipantau terhadap infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta lakukan
uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk
2. Tatalaksana epidemiologik
Langkah preventif
a. Imunisasi campak
Imunisasi campak termasuk dalam program imunisasi nasional sejak tahun
1982, angka cakupan imunisasi menurun <80% dalam 3 tahun terakhir sehingga
masih dijumpai daerah kantong risiko tinggi transmisi virus campak. 1
Ada dua jenis vaksin yang dikembangkan pada campak. Yang pertama
dikembangkan dari virus yang telah dibunuh, dan yang kedua dikembangkan
dengan menggunakan virus campak hidup yang dilemahkan dan tidak bisa lagi
menyebabkan penyakit. Sayangnya, vaksin membunuh virus campak (CMV)
tidak efektif dalam mencegah orang tertular penyakit ini, dan penggunaannya
dihentikan pada tahun 1967. Vaksin virus hidup telah dimodifikasi beberapa kali
untuk membuatnya lebih aman (lebih dilemahkan) dan sangat efektif dalam
mencegah penyakit. Vaksin yang digunakan saat ini adalah vaksin hidup yang
dilemahkan.3
Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit campak adalah dengan
menerima imunisasi campak. Biasanya diberikan sebagai suntikan yang
mengandung campak, gondok, dan vaksin rubella (MMRV). Hal ini sama efektif
dalam bentuk tunggal atau kombinasi. MMRV tidak dianjurkan bagi siapapun
yang berusia lebih dari 12 tahun. Rekomendasi saat ini adalah bahwa setiap orang
menerima dua dosis vaksin setelah usia 1 tahun. Jika vaksin diterima sebelum
usia 1 tahun, orang tersebut harus menerima dua dosis tambahan. 3,4
b. Strategi reduksi campak terdiri dari: 1
Pemberian vitamin A pada pasien campak
Imunisasi campak
PPI: diberikan pada umur 9 bulan
Imunisasi campak dapat diberikan bersama vaksin MMR pada umur

12-15 bulan
Mass campaign, bersamaan dengan Pekan Imunisasi Nasional
13

Catcth-up immunization, diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1-6,


disertai dengan keep up dan strengthening.

Surveilans
2.1.9

PROGNOSIS
Kebanyakan orang dengan campak akan sembuh sepenuhnya apabila dengan
pengobatan yang tepat. Sangat sedikit orang yang mengalami kematian karena campak.
Orang-orang yang memiliki komplikasi parah, prognosisnya biasanya buruk atau meninggal.
Hampir tidak ada orang yang telah divaksinasi meninggal akibat penyakit ini.2

2.2

KEJANG DEMAM

2.2.1 DEFINISI
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. 1 Menurut consensus
statment on febrile seizures kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak biasanya
terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti
adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.1 Definisi kejang demam menurut
International League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan
yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa
riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut
lainnya misalnya karena keseimbangan elektrolit akut.1
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului dengan
demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam. 1
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan
perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu

14

yang paling tinggi, terkadang kejang terjadi pada demam yang tidak begitu tinggi. Bila hal ini
terjadi maka anak tersebut memiliki resiko tinggi untuk berulangnya kejang.7
Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana. Banyak pasien kejang
demam yang orangtua atau saudara kandunnya menderita penyakit yang sama. Faktor
prenatal dan perinatal dapat berperan dalam kejang demam. 7
2.2.2 KLASIFIKASI
Umumnya kejang demam ini dibagi menjadi dua golongan. Kriteria untuk
penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa
perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam,
usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya.8

Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006 membuat klasifikasi kejang demam
pada anak menjadi 2 yaitu: kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang
demam kompleks (complex febrile seizure).
a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di antara
seluruh kejang demam.

Kejang demam berlangsung singkat

Durasi kurang dari 15 menit

Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik

Umumnya akan berhenti sendiri

Tanpa gerakan fokal

Tidak berulang dalam 24 jam

Pada kejang demam sederhana, kejang biasanya timbul ketika suhu


meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui
sebelumnya bahwa anak menderita demam. Kenaikan suhu yang tiba-tiba
merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang (Hendarto, 2002).
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat
tonik klonik seperti kejang grand mal, kadang kadang hanya kaku umum atau
mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan
masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu
yang mendadak.8
15

b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure), 20% di antara seluruh


kejang demam.

Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.

Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.

Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam (Pusponegoro, Widodo, Ismail, 2006).
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % di antara
anak yang mengalami kejang demam.8
Perbedaan kejang demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK) dapat dilihat pada
tabel berikut 8:
Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks

2.2.3

Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat

kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, faktor prenatal (usia ibu saat hamil,
riwayat pre-eklampsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor
perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor
pasca natal (trauma kepala), jenis kelamin, dan kadar natrium rendah (Staff Pengajar IKA
FKUI, 2005). Setelah kejang demam pertama kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko
rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi.9

16

Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4
tahun, terbanyak di antara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam
pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah
berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih
dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara
autosomal dominan sederhana9.
Faktor risiko berulangnya kejang demam:
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah:9
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang setelah demam
- Terdapat kelainan neurologis (meskipun minimal)
- Kejang awal yang unilateral
- Kejang berhenti lebih dari 30 menit
- Kejang berulang karena penyakit yang sama.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar adalah pada tahun
pertama9.
2.2.4 Etiologi
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering disebabkan
infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia, bronkopneumonia,
bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih.10
Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan
lainnya. Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat
kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil. Pada masa bayi lanjut
dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut. Penyebab yang lebih
jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, asfiksia,
perdarahan intrakranial spontan serta trauma postnatal7.

17

Mendekati pertengahan masa kanak-kanak, infeksi ekstrakranial akut semakin jarang


menyebabkan konvulsi, tapi epilepsi idiopatik yang pertama kali muncul sebagai penyebab
penting pada tahun ketiga kehidupan, menjadi faktor paling umum. Penyebab lain setelah
masa bayi adalah kelainan kongenital otak, sisa kerusakan otak akibat trauma, infeksi, dan
tumor otak.
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam.
Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam.
Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi DTP (pertusis) dan morbili
(campak).9
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297 penderita
kejang demam, 66(22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya (Baumann, 2002).
Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada penderita yang
mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan
otitis media akut (lihat tabel).
Tabel 1. Penyebab demam pada 297 anak penderita kejang demam
Penyebab demam
Tonsilitis dan/atau faringitis

Jumlah penderita
100

Otitis media akut (radang liang telinga tengah)

91

Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)

22

Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi

44

Bronkitis (radang saiuran nafas)

17

Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)

38

Morbili (campak)

12

Varisela (cacar air)

Dengue (demam berdarah)

Tidak diketahui

66

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam daripada
infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mempunyai
risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding penderita gastroenteritis oleh
kuman penyebab lainnya.9

18

Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam pada
Shigellosis dan Salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang
dihasilkan kuman bersangkutan.8
2.2.5

PATOFISIOLOGI
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang

berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama
selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu 7 :
-

Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya


pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.

Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan


neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat

dengan

berlebihan.

akan menimbulkan

kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada
keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi
oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan
hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K
ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau
kepekaan sel saraf meningkat. 11
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan
terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama,
sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan
sistemik berupa

hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan

19

hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan
metabolisme di otak. 11
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut 11:
-

Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang

belum

matang/immatur.
-

Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang

menyebabkan

gangguan permiabilitas membran sel.


-

Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.

Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan


oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan

aliran ion-ion keluar

masuk sel.

Gambar 1. Mekanisme terjadinya kejang demam


2.2.6 Diagnosis
Langkah diagnostik untuk kejang demam adalah:8
Anamnesis

20

a. Adanya kejang, sifat kejang, bentuk kejang, kesadaran selama dan setelah kejang,
durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval antara 2 serangan
kejang, penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
b. Riwayat demam sebelumnya (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun).
c. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi).
d. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi).
e. Riwayat trauma kepala.
f. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
g. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, dan lainlain).
h. Singkirkan penyebab kejang lainnya.
Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah:
a. Tanda vital terutama suhu tubuh
b. Manifestasi kejang yang terjadi
c. Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau molase kepala berlebihan
d. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
e. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
f. Tanda infeksi di luar SSP.
Pemeriksaan neurologis antara lain:
a. Tingkat kesadaran
b. Tanda rangsang meningeal
c. Tanda refleks patologis
Umumnya pada kejang demam tidak dijumpai adanya kelainan neurologis, termasuk
tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang
demam, di antaranya 8:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum, urinalisis,
biakan darah, urin atau feses.
21

b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk
menyingkirkan meningitis, terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayibayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus
dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang
berumur kurang dari 18 bulan. Berdasarkan penelitian, cairan serebrospinal yang
abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang:
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk)
- Mengalami komplex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD
- Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1
jam setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun.
Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf
pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya,
gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu lumbal pungsi sangat
dianjurkan untuk dilakukan8.
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan
dengan ketentuan sebagai berikut :
1.

Bayi < 12 bulan

: diharuskan.

2.

Bayi antara 12 18 bulan

: dianjurkan.

3.

Bayi > 18 bulan

: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.

Bila secara klinis yakin bukan meningitis, maka tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
Indikasi Pungsi Lumbal:

Jika ada kecurigaan klinis meningitis

Kejang demam pertama

Pasien telah mendapat antibiotik

Adanya paresis atau paralisis

c. EEG dipertimbangkan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti
ketidaknormalan otak. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada
22

kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis (American
Academy of Pediatrics, 1999). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa
EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan
setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang
akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal
setalah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko
berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi 9.
EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah
belakang yang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.
Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari
kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan tiga sampai
tujuh hari setelah serangan kejang. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan
untuk pasien kejang demam sederhana 9.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan. Pemeriksaan
EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas.
Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang
demam fokal 9.
d. Pencitraan9
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography Scan
(CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :
Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
Kemungkinan lesi struktural otak (mikrocephal, spastik)
Paresis nervus VI
Papil edema
Riwayat atau tanda klinis trauma
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang
telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf
Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu setelah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
23

7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali


Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang
demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak
didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu.
Tetapi perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula
tejadi pada kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau
radang otak (ensefalitis).9
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan
dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang
mempunyai nilai diagnostik, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian hari.
Saat ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam
sederhana. Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan gangguan
keseimbangan cairan dapat diduga terdapat gangguan metabolisme akut, sehingga
pemeriksaan elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain perlu dilakukan
untuk mencari penyebab timbulnya demam 9.
2.2.7 Diagnosis Banding
Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis sehingga
sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi
oleh demam dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis, sehingga menyerupai kejang demam.11
Diagnosis Banding Kejang Demam:
1. Kelainan Intrakranium
o Meningitis
o Encephalitis
o Abses otak
2. Gangguan metabolik
o Hipoglikemi
o Gangguan elektrolit
o Sinkop
24

3. Epilepsi Epilepsi Triggered by Fever (ETOF)


Oleh karena cukup banyaknya diagnosis banding, sangat sulit bagi kita untuk
menentukan penyakit atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan kejang tersebut
.
Tabel 2. Diagnosis banding infeksi susunan saraf pusat.
Klinis/Lab

Ensefalitis

Meningitis

Meningitis

Meningitis

Herpes

Bacterial/

Tuberkulosa

Virus

Kejang Demam

Awitan

Simpleks
Akut

Purulenta
Akut

Kronik

Akut

Akut

Demam

< 7 hari

< 7 hari

>7 hari

< 7 hari

< 7 hari

Tipe kejang

Fokal/umum

Umum

Umum

Umum

Umum/fokal

Singkat/lama

Singkat

Singkat

Singkat

Lama>15
menit

Kesadaran

Sopor-koma

Apatis-somnolen

Somnolen-sopor

Sadar-apatis

Somnolen

Lama

Cepat

Lama

Cepat

Cepat

++/-

++/-

+/-

Pemulihan
kesadaran
Tanda
rangsang
meningeal
Tekanan

Sangat

Sangat

intrakranial

meningkat

Meningkat

meningkat

Normal

Normal

Paresis

+++/-

+/-

+++

lumbal

Jernih

Keruh/opalesen

Jernih/xanto

Jernih

Jernih

Etiologi

Normal/limfo Segmenter/limf

Limfo/segmen

Normal

Normal

Virus HS

Bakteri

M.Tuberculosis

Virus

Di luar SSP

Antivirus

Antibiotik

Anti TBC

Simtomatik

Penyakit dasar

Pungsi

Terapi

2.2.8 Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab dan pengobatan profilaksis terhadap
berulangnya kejang demam.11
1.Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan
25

untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar
oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,
pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres
air hangat dan pemberian antipiretik.11
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat
obatan antipiretik sangat diperlukan. Obat obatan yang dapat digunakan sebagai
antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 6 jam atau ibuprofen
5 10 mg/kgBB/hari setiap 4 6 jam.1
Algoritma Penanganan Kejang Demam Akut dan Status Konvulsif
Diazepam 5-10 mg/rektal

Pre-hospital

Hospital

0-10 menit

AirwayDiazepam 0,25-0,5 mg/kg/iv


10-20 menit
Breathing
Circulation

Monitor

Tanda vital
EKG
Elektrolit serum
(Na, K, Ca, Mg, Cl)
Analisis gas darah

Kejang (-)
5-7 mg/kg

Fenitoin 20 mg/kg/iv20-30 menit

Kejang (-)
4-5 mg/kg

Phenobarbital 20 mg/kg/iv
30-60 menit

Refrakter

Midazolam 0,2 mg/kg/iv bolus

Tatalaksana penghentian kejang akut dapat dilaksanakan sebagai berikut:7


1. Di Rumah (pre hospital):
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan
pemberian diazepam per rektal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara
26

sederhana bila berat badan kurang dari 10 kg diberikan 5 mg, sedangkan


jika berat badan lebih dari 10 kg diberikan 10 mg. Pemberian di rumah
diberikan maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih
berlangsung, bawa pasien ke klinik atau rumah sakit terdekat.
2. Di Rumah Sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena,
dapat diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali, sambil mencari akses
vena.

Sebelum

dipasang

cairan

intravena,

sebaiknya

dilakukan

pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan gula


darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin i.v dengan dosis 20 mg/kg
dilarutkan dalam NaCl 0,9%, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan
tambahan fenitoin i.v 10 mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian
fenitoin setelah 12 jam, kemudian dengan rumatan 5-7 mg/kg.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital i.v dengan dosis
maksimum 15-20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.
Awasi dan atasi kelainan metabolik yang ada. Bila kejang berhenti,
lanjutkan dengan pemberian fenobarbital i.v rumatan 4-5 mg/kg setelah 12
jam kemudian.
3. Perawatan Intensif di Rumah Sakit
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang
intensif. Dapat diberikan salah satu dari obat berikut:

Midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti infus


midazolam 0,01-0,02 mg/kg/menit selama 12-24 jam.

Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5


mg/kg/jam dan diturunkan setelah 12-24 jam.

Pentobarbital 5-15 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5-5


mg/kg/jam.

2. Mencari dan Mengobati Penyebab


Pemeriksaan

cairan

serebrospinal

dilakukan

untuk

menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.


Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan lumbal pungsi hanya pada kasus
27

yang dicurigai mengalami meningitis, atau bila kejang demam berlangsung lama.
Pada bayi kecil manifestasi klinis meningitis sering tidak jelas, sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada
pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan.7
3. Pengobatan Profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan
dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara
profilaksis, yaitu:
a. Profilaksis intermiten pada waktu demam untuk kejang demam sederhana
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak
mendapat hasil dengan fenobarbital intermiten. Diazepam intermiten
memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya cepat. Dapat digunakan
diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari
10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5o C atau lebih. Diazepam dapat
pula diberikan oral dengan dosis 0,3 mg/kg BB/hari setiap 8 jam pada waktu
pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan
hipotonia.
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu
efektif karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam
sempat diberikan. Efek sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi
gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat (Tumbelaka,
2005).
b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan) untuk
kejang demam kompleks.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang
demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak, tapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Profilaksis setiap hari terus
menerus hanya diberikan jika kejang demam mempunyai ciri sebagai berikut:7
1. Kejang lama lebih dari 15 menit

28

2. Kelainan

neurologi

yang

nyata

sebelum/sesudah

kejang,

seperti

hemiparesis, paresis Todd, serebal palsi, retardasi mental, hidrosefalus.


3. Kejang fokal.
Antikonvulsan yang dapat diberikan antara lain fenobarbital 3-4
mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis.7
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan jika:7
1. Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
2. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
3. Kejang demam lebih dari 4 kali dalam 1 tahun.
Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang
terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian obat ini efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.7
2.2.9 PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal. Penelitian
lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan
kelainan ini biasanya terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal
atau kejang umum. 8,11
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya
kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang pertama < 12 bulan,
temperatur yang rendah saat kejang (<40C) dan timbulnya kejang yang cepat setelah
demam. Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80 %
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya
kejang paling besar pada tahun pertama.8,11

29

BAB III
LAPORAN KASUS
Status Pasien
Identitas
Nama

: An. Z

Jenis Kelamin : Laki-laki


Umur

: 4 Th

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Indonesia

Alamat

: Jl. Cokro no.52, Probolinggo

Nama Ayah

: Tn. S. A

Nama Ibu

: Ny. D. N

Tanggal Masuk : 28 November 2014


Tanggal Keluar : 30 November 2014
Anamnesis
Keluhan Utama:
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
Kejang sejak pukul 19.00 wib. Kejangnya 1 kali dengan durasi kurang lebih 5 menit. Saat
kejang tangan anak menekuk dan mata melotot ke atas serta gigi menggigit. Setelah kejang,
anak tidur.
Sebelumnya anak mengalami panas selama kurang lebih 2 hari. Panasnya naik turun disertai
timbul bintik bintik kemerahan pada seluruh badan. Pasien juga mengeluhkan batuk, pilek
dan nyeri telan sejak 2 hari yang lalu. Muntah sejak tadi pagi selama 3 kali.
Makan dan minum menurun, buang air besar normal, buang air kecilnya sering.
30

Riwayat Penyakit Dahulu:


Tidak pernah kejang sebelumnya, baru kali ini kejang.
Umur 1 tahun pernah sakit panas, tapi tidak sampai MRS, hanya dibawa ke puskesmas.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini
Riwayat Sosial :
Tetangga disekitar rumah ada yang sakit seperti ini
Riwayat Alergi:
Tidak ada alergi obat dan makanan.
Riwayat Diet:
Dari lahir diberi ASI dan diteruskan susu formula.
Sebelum sakit anak suka makan, buah buahan, dan susu.
Riwayat Imunisasi:
Imunisasi lengkap
Riwayat Kehamilan Ibu:
Ibu hamil 9 bulan dan tidak ada masalah selama kehamilan
Riwayat Kelahiran:
Lahir secara spontan pervaginam dan persalinan ditolong oleh bidan,anak lahir langsung
menangis, kulit kemerahan dengan berat badan lahir 3200 gram.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:
Sebelum sakit berat badannya 14 kg. Saat di UGD ditimbang berat badannya turun menjadi
13 kg.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran

: Compos Mentis
31

Antropometri :
Berat Badan

: 13 kg

Panjang Badan

: 100 cm

Lingkar Kepala

: 49,5 cm

Lingkar Lengan Atas

: 15 cm

Berat Badan Ideal

: 15,4 kg

Status Gizi

: Gizi Kurang

No

Indeks

BBI

.
1
2

NCHS
WELLCOME

15,4
TRUST 16

Keterangan

87,30
68,75

Mild Malnutrition
Gizi Kurang

2n+8
3
Z score : -2SD = 80% (kurus)
Vital Sign :
Nadi

: 100 x/menit

Pernapasan

: 40 x/menit

Suhu

: 39,2oC

Status Generalis:
1.

Kepala
Bentuk dalam batas normal

2.

Rambut
Hitam, tipis, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut.

3.

Mata
Palpebra : dalam batas normal
Pupil
: refleks cahaya +, bulat, isokor ( 3 mm / 3 mm),
Fotofobia : (+)
Konjungtiva: anemis (-/-)
Sklera
: ikterus (-/-)

Hidung
Bentuk hidung normal, simetris, sekret (-), PCH(-)
5.

Telinga
Bentuk telinga normal, discharge (-/-), serumen (-/-)

6.

Mulut
32

Bibir kering dan pecah (+), bibir sianosis (-), moniliasis (-), mukosa mulut:
Bercak Kopliks (-)
7.

Tenggorokan
Hiperemis faring (+)
Oedem tonsil (+)

8.

Leher
Simetris, Pembesaran kelenjar getah bening (-)

9.

10.

11.

Thorax
Dinding Dada : Simetris (+), retraksi (-)
Jantung :
1.
Inspeksi
: Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
2.
Palpasi
: Ictus cordis tidak teraba
3.
Perkusi
: Redup pada batas jantung
4.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-)
Paru paru
-

Inspeksi

: Dinding dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)

Palpasi

: Fremitus raba simetris.

Perkusi

: Sonor di kedua lapang paru.

Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+) , wheezing (- /- ), rhonki (-/-).

12. Abdomen
-

Inspeksi

Auskultasi : Bising usus ( + ) normal

Perkusi

: Timpani (+) pada empat kuadran abdomen, meteorismus(-)

Palpasi

: Supel, turgor kembali cepat, hepar dan lien tidak teraba

: dalam batas normal

13. Alat kelamin


Laki laki, dalam batas normal
14. Kulit
Kulit terdapat ruam makulopapuler kemerahan di seluruh tubuh.
15. Ekstremitas
33

Akral hangat
Edema
CRT

Superior
+/+
-/<2

Inferior
+/+
-/<2

16. Status Neurologis : kaku kuduk (-)

Gambar 15: Ruam makulopapuler


Assesment
Diagnosa :
Morbili + kejang demam sederhana
Diagnosa Banding:
Rubella + kejang demam sederhana
Roseola infantum (eksantema subitum) + kejang demam sederhana
Planning
Laboratorium :

GDA
DL
Fungsi Hati
Elektrolit

Radiologi: Thorax AP
Terapi :

Inf. D5 1/4 NS 1150 cc/ 24 jam


Inf. Sanmol 3x100 mg
Inj. Ceftriaxone 2 x 350mg
Diazepam 3,9 mg IV pelan (bila kejang)
34

Ranitidine 2 x amp IV
Lapifed exp. 3x cth
Inj. Vit. A 200.000 IU (1x) PO

Hasil Lab Tanggal 29-11-2014


Pemeriksaan
GDA

Hasil
98

Nilai Normal
<140mg/dl

Darah Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
PCV (Hematokrit)

11,6
9300
35

12-16 g/dl
4000-11.000/mm3
P: 35-47

Hitung Jenis
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Trombosit
Eritrosit
Total Eosinofil

2
0
19
69
10
157.000
4,7
160

0-8 %
0-3%
25-60 %
16-46 %
4-11%
150.000-350.000/mm3
4,1 5,1
50 - 300

S O AP
Tanggal 29 November 2013
MRS hari ke 1

30 November 2013
MRS hari ke 2
35

- Panas naik turun


- Panas sudah turun
- Batuk pilek masih ada, tidak grok- - Batuk pilek masih ada, tidak grokgrok
- Sesak (-), kejang (-)
- Muntah (+) hanya 1x
- BAB normal, mencret (-)
- BAK normal
- Tidak mau makan, minum air putih

grok
- Sesak (-), kejang (-)
- Muntah (-)
- BAB normal, mencret (-)
- BAK normal
- Makan mulai mau tapi sedikit, minum

mau
- Sulit tidur, anak rewel
- Bibir pecah-pecah
- Bercak kemerahan seluruh tubuh
- KU: cukup
- Kesadaran : compos mentis
- BB: 13 kg
- Vital sign :

air putih mau


- Sulit tidur, anak rewel
- Bibir pecah-pecah
- Bercak kemerahan seluruh tubuh
- KU: cukup
- Kesadaran : compos mentis
- BB: 13 kg
- Vital sign :

T : 37,6oC

T : 37,3oC

Nadi : 105 x/menit

Nadi : 98 x/menit

RR : 38 x/menit

RR : 36 x/menit
-

Kepala :
a/i/c/d : -/-/-/-

a/i/c/d : -/-/-/-

PCH (-), Faring hiperemi (+),

PCH (-), Faring hiperemi (-),

Fotofobia (+), Hiperemi konjungtiv

Fotofobia

(-), Moniliasis (-), Bibir kering dan

konjungtiva

pecah (+)

(-),Bibir kering dan pecah (+)


-

Leher :Pembesaran KGB (-)


Dada :
Simetris kanan kiri, Retraksi (-)

Kepala :

(-),

Hiperemi
Moniliasis

Leher :Pembesaran KGB (-)


Dada :
Simetris kanan kiri, Retraksi (-)

Pulmo :

(+),

Pulmo :

Suara nafas vesikuler, Wheezing

Suara nafas vesikuler, Wheezing

-/-, Rhonki -/-

-/-, Rhonki -/-

Cor :S1,S2 tunggal, Murmur (-)


Abdomen :

Cor :S1,S2 tunggal, Murmur (-)


Abdomen :

Soefl, Nyeri tekan (-), Bising usus

Soefl, Nyeri tekan (-), Bising usus

normal, Turgor baik, Meteorismus

normal, Turgor baik, Meteorismus

(-), Hepatosplenomegali (-)

(-), Hepatosplenomegali (-)


-

Genitalia : dbn
Extremitas :
Akral

hangat

semua,

Oedem

Genitalia : dbn
Extremitas :
Akral

hangat

semua,

Oedem
36

/ , CRT <2 detik

/ , CRT <2 detik

Kulit kering, ruam makulopapuler -

kemerahan di seluruh tubuh.


Status Neurologi :
Kaku Kuduk (-)
- Morbili
- Kejang demam sederhana

kemerahan di seluruh tubuh.


Status Neurologi :
Kaku Kuduk (-)
- Morbili
- Kejang demam sederhana

Kulit kering, ruam makulopapuler

Inf. D5 1/4 NS 800 cc/ 24 jam


Inf. Sanmol 3x100 mg
Inj. Ceftriaxone 2 x 450mg
Diazepam 2,7 mg IV pelan (bila

Inf. D5 1/4 NS 800 cc/ 24 jam


Inf. Sanmol 3x100 mg
Inj. Ceftriaxone 2 x 450mg
Diazepam 2,7 mg IV pelan (bila

kejang)
Ranitidine 2 x amp IV
Lapifed exp. 3x cth
Glycerin oles mulut 2x/hari
Inj. Vit. A 200.000 IU (1x) PO

kejang)
Ranitidine 2 x amp IV
Lapifed exp. 3x cth
Glycerin oles mulut 2x/hari
Inj. Vit. A 200.000 IU (1x) PO

BAB IV
PEMBAHASAN

37

Pasien adalah anak laki laki umur 4 tahun datang ke UGD dengan keluhan kejang.
Kejang sejak pukul 19.00 wib. Kejangnya 1 kali dengan durasi kurang lebih 5 menit. Saat
kejang tangan anak menekuk dan mata melotot ke atas serta gigi menggigit. Setelah kejang,
anak menangis. Sebelumnya anak mengalami panas selama kurang lebih 2 hari. Panasnya
naik turun disertai timbul bintik bintik kemerahan pada seluruh badan. Pasien juga
mengeluhkan batuk, pilek dan nyeri telan sejak 2 hari yang lalu. Muntah sejak tadi pagi
selama 3 kali. Makan dan minum menurun, buang air besar normal, buang air kecilnya
sering. Riwayat penyakit dahulu tidak pernah kejang sebelumnya, baru kali ini kejang. Pada
saat umur 1 tahun pernah sakit panas, tapi tidak sampai MRS, hanya dibawa ke puskesmas
dan kemudian sembuh. Pada riwayat penyakit keluarga tidak ditemukan riwayat sakit kejang.
Namun pada riwayat social, didapatkan tetangga yang menderita sakit panas dan juga disertai
muncul bintik bintik kemerahan di seluruh badannya. Orang tua pasien mengatakan kalau
anaknya sering main ke rumah tetangganya itu. Pada riwayat alergi, tidak ditemukan adanya
alergi obat maupun alergi makanan. Pada riwayat diet, sejak dari lahir diberi ASI dan
diteruskan susu formula yang kemudian dilanjutkan makan nasi tim. Saat sebelum sakit, anak
suka makan dan juga suka minum, namun setelah sakit nafsu makannya berkurang sehingga
tidak mau makan dan minum. Riwayat imunisasinya lengkap, riwayat kehamilan ibu, normal
ibu hamil 9 bulan dan tidak ada masalah selama kehamilan. Pada riwayat kelahiran, lahir
secara spontan pervaginam dan persalinan ditolong oleh bidan, anak lahir langsung menangis,
kulit kemerahan dengan berat badan lahir 3200 gram. Pada riwayat pertumbuhan dan
perkembangan, sebelum sakit berat badannya 14 kg, tetapi saat ditimbang di UGD berat
badannya turun menjadi 13 kg.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien cukup, kesadaran compos
mentis, status gizi mild malnutrition, ukuran kepala normal, suhu: 39,2oc, nadi: 100x/menit,
pernafasan: 40x/menit. Pada pemeriksaan rambut didapatkan warna rambut hitam, tipis,
terdistribusi merata, tidak mudah dicabut. Pada pemeriksaan mata didapatkan palpebra dalam
batas normal, pupil bulat isokor, fotofobia (+), tidak hiperemi konjungtiva, tidak ada ikterus.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan bentuk hidung normal, simetris, terdapat sekret kental
jernih, tidak ada pernafasan cuping hidung. Pada pemeriksaan telinga didapatkan bentuk
telinga normal, tidak ada discharge maupun serumen. Pada pemeriksaan mulut ditemukan
bibir kering dan pecah, tidak ada sianosis maupun moniliasis, tidak ditemukan bercak
kopliks. Pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan hiperemis faring. Pada pemeriksaan
leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thorax dada
38

simetris dan tidak ada retraksi. Pada pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung I-II
reguler, tidak ada murmur. Pada pemeriksaan paru didapatkan suara vesikuler di kedua
lapang paru, tidak ada wheezing, tidak ada ronchi. Pada pemeriksaan abdomen,supel, bising
usus ( + ) normal, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik. Pada genitalia dalam batas
normal dan tidak ditemukan ruam popok. Pada ekstrimitas ditemukan akral hangat,tidak
didapatkan edema, CRT < 2 detik. Kulit kering, terdapat ruam makulopapuler kemerahan di
seluruh tubuh. Dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium yang meliputi gula
darah acak, darah lengkap, fungsi hati, elektrolit.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, maka diagnosis pasien ini adalah morbili dengan kejang demam sederhana. Anak
dinyatakan mengalami morbili karena demam naik turun disertai batuk, pilek, nyeri telan,
bibir pecah-pecah, mata silau bila kena cahaya (fotofobia) dan muntah. Pada hari ke 3
demam, timbul ruam kulit yang muncul dari wajah menjalar ke badan dan ekstremitas.
Ruamnya berupa makulopapuler kemerahan yang khas. Saat pasien datang tidak ditemukan
kopliks spot karena ruam sudah timbul akan tetapi gejala yang lain sangat mendukung
diagnosis morbili. Sedangkan diagnosis kejang demam sederhana ditegakkan karena pasien
mengalami kejang yang didahului oleh panas tinggi, serta kejangnya tidak berulang hanya 1
kali selama kurang dari 15 menit. Hal ini dapat diakibatkan karena sakit morbili
menyebabkan suhu tubuh menjadi tinggi, sehingga jika suhunya tidak segera diatasi dapat
menyebabkan kejang. Awalnya sebelum sakit berat badan pasien 14 kg, setelah sakit berat
badan pasien turun menjadi 13 kg, kemudian juga disertai muntah. Hal ini merupakan bukti
bahwa karena sakit yang diderita pasien ini menyebabkan dehidrasi.
Virus campak/morbili ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan
berbiak pada epitel nasofaring. Dalam anamnesa, orang tua pasien mengaku ada orang sekitar
yang sakit seperti ini, sehingga itu menjadi factor penguat untuk mendiagnosa. Kolonisasi
dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : Coryza,
cough and conjungtivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Dalam kasus ini
didapatkan batuk, pilek akan tetapi tidak didapatkan konjungtivitis. Gejala panas, batuk, pilek
makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak
dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan(dalam kisaran
7sampai 18 hari). Pada morbili saat ruam timbul panas dan gejala lainnya meningkat dan
mencapai puncaknya akan tetapi dalam kasus ini orangtua pasien mengaku bahwa panas dan
batuknya tetap saat muncul ruam. Kopliks spot tidak ditemukan karena saat pasien datang ke

39

rumah sakit ruamnya sudah muncul. Seharusnya Kopliks spot muncul pada sekitar 2 hari
sebelum muncul ruam (hari ke 3-4) dan cepat menghilang setelah beberapa jam atau hari.
Pada kasus ini pasien diberikan terapi infus D5 1/2 NS 1150 cc/ 24 jam, inj. Sanmol
3x100 mg karena ada demam, injeksi diazem apabila kejang, dan Lapifed exp. 3x cth
karena ada batuk dan pilek, untuk stomatitisnya diberikan gliserin oles di bibir. Defisiensi
vitamin A dapat menyebabkan fungsi kekebalan tubuh menurun, sehingga mudah terserang
infeksi. Defisiensi vitamin A pada anak-anak menyebabkan komplikasi pada campak yaitu
pembusukan kornea mata dan kebutaan. Oleh karena itu pada kasus ini pasien diberi terapi
vitamin A. Suplementasi vitamin A menurunkan morbiditas dan mortalitas campak akut pada
bayi dan anak di negara berkembang. Suplementasi vitamin A mengatur respon antibodi
terhadap campak dan meningkatkan total limfosit. Pada hari kedua, pasien menyatakan
pulang paksa dengan alasan anak tidak betah.
Vaksin campak adalah preparat virus yang dilemahkan dan berasal dari berbagai strain
campak yang diisolasi. Pemberian imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan
agen infeksi dan mengurangi peluang seseorang yang rentan untuk terpajan pada agen
tersebut. Anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah
terpajan dengan agen infeksi tersebut. Pada campak, manifestasi penyakit yang paling berat
biasanya terjadi pada anak berumur kurang dari 3 tahun.Pemberian imunisasi pada umur 8-9
bulan diprediksi dapat menimbulkan serokonversi pada sekurang-kurangnya 85% bayi dan
dapat mencegah sebagian besar kasus dan kematian. Dengan pemberian satu dosis vaksin
campak, insidens campak dapat diturunkan lebih dari 90%. Namun karena campak
merupakan penyakit yang sangat menular, masih dapat terjadi wabah pada anak usia sekolah
meskipun 85-90% anak sudah mempunyai imunitas. Hal ini menjelaskan mengapa pada
kasus ini walaupun pasien sudah diimunisasi masih saja terkena campak.

40

DAFTAR PUSTAKA
1

Darmowandowo, W., danBasuki, P.S. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF
Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.

Hooker,

dan

Bister,

M.

K.

2014.

Measles

(Rubeolla).

Diunduh

dari:

http://www.medicinenet.com/measles_rubeola/article.htm pada tanggal 5 Desember


2014.
3

Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson Textbook of
Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders. p.743

Chatterjee, M. T. 2010. Measles mimicking HIV seroconversion syndrome: a case report.


Diunduh dari: http://www.jmedicalcasereports.com/content/4/1/41 pada tanggal 5
Desember 2014.

World

Health

Organization.

2014.

Measles.

Diunduh

dari:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs286/en/ pada tanggal 7 Desember 2014.


6

Roespandi, H dan Nurhamzah, W. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.


Jakarta: World Health Organization Indonesia.

Soetomenggolo, T.S., (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi, IDAI,
Jakarta.

Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., Ismael, S., (2006), Konsensus Penatalaksanaan


Kejang Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.

Wahab, A.S. 1999. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta: EGC.

10 Wahab, A.S. 1999. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: EGC.

41

Você também pode gostar