Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.
A.
Tingkat kecelakaan lalu lintas di kota besar terbilang cukup tinggi. Dimana kecelakaan tersebut
dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan lalu lintas tersebut.
Akibat yang ditimbulkan bagi korban itu sendiri dapt berupa efek fisik dan psikis. Dari segi fisik
tentunya kecelakaan dapat menyebabkan timbulnya luka pada setiap jaringan tubuh yang
terkena trauma dari kecelakaan lalu lintas baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek
langsung dari trauma tersebut dapat berupa adanya fraktur, luka terbuka ataupun kerusakan
pada organ dalam tubuh yang dapat juga menyebabkan kematian. Sedangkan efek psikis dari
kecelakaan lalu lintas dapat berupa trauma ataupun rasa takut.
Fraktur sebagai akibat dari trauma langsung dapat terjadi pada setiap tulang pembentuk tubuh
tergantung dari penyebab dan mekanisme terjadinya trauma. Fraktur adalah suatu kondisi
terputusnya kontinuitas dari jaringan tulang yang diakibatkan oleh trauma langsung atau tidak
langsung maupun patologis. Fraktur dapat bersifat tunggal maupun multiple dimana pada
fraktur ini dapat mengenai beberapa tulang yang terjadi secara bersamaan dan dapat
menimbulkan beberapa macam masalah.
Pada laporan kasus ini fraktur yang terjadi adalah fraktur terbuka tibial plateu dextra, disertai
fraktur phalanx pedis dekstra, dan fraktur femur 1/3 tengah dextra, dimana merupakan fraktur
yang mengenai tulang tibia, phalanx, dan femur bagian tengah. Adapun penanganan yang
dapat diberikan pada kasus ini adalah operasi dengan pemasangan plate and screw pada tibia
proksimal dan femur, serta pemasangan kischner pada phalanx 1-3. Masalah-masalah yang
ditimbulkan dari post operasi adalah adanya nyeri, oedema, spasme, keterbatasan gerak,
kelemahan otot, deformitas, dan gangguan fungsional dari anggota gerak yang terkena fraktur,
serta kemungkinan terjadinya komplikasi sekunder berupa miositis ossifikan, avaskuler nekrosis
dan lain sebagainya.
Fisioterapi merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu serta
masyarakat untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi sepanjang
daur kehidupan dan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan
(fisik, elektroterapeutik, mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
Beberapa latar belakang masalah tersebut, maka kami tertarik untuk mencoba mengkaji dan
memahami mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post operasi open fraktur tibial
plateu dextra, fraktur phalanx, dan fraktur femur 1/3 tengah dextra.
B.
Identifikasi Masalah
Penanganan yang dilakukan pada kasus post operasi open fraktur tibial plateu dextra dapat
dilakukan secara konservatif dan operatif. Tindakan operatif yang dilakukan yaitu dengan
pemasangan plate and srew, dimana pada post operasi pemasangan plate and srew akan
ditemui permasalahan yaitu adanya nyeri, oedema, spasme, keterbatasan gerak, kelemahan
otot, deformitas, dan gangguan fungsional dari anggota gerak yang terkena fraktur.
C.
Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah dan keterbatasan waktu yang ada, maka kami hanya membatasi
permasalahan pada penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post operasi open fraktur tibial
plateu dextra dengan pemasangan ORIF berupa plate and srew.
D.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut diatas, maka kami merumuskan masalah sebagai
berikut :
1.
Modalitas fisioterapi apa saja yang dapat digunakan pada kasus post operasi open fraktur
tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and srew.
2.
Problematik fisioterapi apa saja yang dialami oleh pasien dengan kondisi open fraktur tibial
plateu dextra.
E.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui manfaat terapi latihan pada kasus
fraktur tibia plateu dextra yang berhubungan dengan gangguan fungsi gerak dan aktifitas
fungsionalnya.
F.
1.
Bagi Penulis
Adanya penulisan laporan kasus ini akan menambah pemahaman dalam melaksanakan proses
fisioterapi pada kasus post op open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and
srew.
2.
Bagi Institusi
Sebagai referensi tambahan untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus post op
open fraktur tibial plateu dextra dengan pemasangan plate and srew
3.
Bagi Fisioterapis
Untuk mendapatkan metode terapi yang tepat dan bermanfaat dalam melakukan penanganan
pada kasus open fraktur tibial plateu dextra.
4.
Bagi Masyarakat
Sebagai pertimbangan bagi masyarakat mengenai peran fisioterapi pada kasus open fraktur
tibial plateu dextra sehingga tidak terjadi malpraktek akibat ketidaktauan masyarakat akibat
kesalahan penanganan pada kondisi ini.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Deskripsi Teoritis
1. Anatomi Fungsional
1. Osteologi
a. Tulang Femur
Femur merupakan tulang panjang terpanjang pada tubuh dan dibagi dalam corpus, collum,
ujung proximal, dan ujung distal. Pada corpus kita bedakan menjadi tiga bagian yaitu, facies
anterior lateral dan medial. Facies lateral dan medial dipisahkan dari sisi dorsal oleh dua
peninggian berbibir kasar, lineaaspira yang merupakan daerah tebal tulang kompakta. Disekitar
linea aspera terdapat foramen nutricea, labium medial dan lateral, labiumlateral berakhir
pada tuberusitas glutea. Kadang-kadang tuberusitas glutea lebih nyata dan dikenal sebagai
trochanter ketiga. Labium medial berjalan kepermukaan bawah collum. Sedikit lebih lateral
dari labium medial kita temukan birai yang turun dari trochanter minor yaitu linea pectinea.
Pada bagian proximal dan distal corpus femoris kehilangan bentuk segitigany dan menjadi lebih
bersisi empat. Caput femoris dengan lekukan yang menyerupai pusar yaitu fovea cacitis yang
mempunyai batas irregular dengan collum. Peralihan dari collum. Peralihan dari collum ke
corpus femoris dianterior ditandai oleh linea intochanterica dan diposterior oleh crista
introchanterica. Tepat dibawah trochanter mayor terletak fossa trochanterica. Trocanter minor
menonjol ke posterior dan medial.
Pada ujung distal dibentuk oleh epicondylus, tepat dekat epicondylus terletak condylus
lateralis dan medialis. Keduanya disatukan pada permukaan anterior oleh facies patelaris dan
diposterior dipisahkan oleh fossa intercondyloidea. Fossa ini dibatasi oleh linea
intercondylloidea yang membentuk dasar segitiga (planumpopiliteum) yang sisinya dibentuk
oleh labium divergen linea aspera. Dibawah epycondylus lateralis terletak sulcus popliteus dan
diatas epicondylus medialis terdapat tubercullum adductorius.
b. Tulang Patella
Patella merupakan tulang sesamoid terbesar dalam tubuh manusia. Tulang patella berbentuk
gepeng dan segitiga. Apex dari tulang patella menghadap kearah distal. Pada permukaan
anterior tulang patella kasar dan permukaan dosal mempunyai permukaan sendi yang
dipisahkan ole sebuah peninggian menjadi facies lateralis yang lebih besar dan facies medialis
yang lebih kecil.
c. Tulang Tibia
Tulang tibia dibedakan menjadi tiga bagian yaitu, bagian ujung proximal, corpus dan ujung
distal. Bagian tulang tibia membentuk sendi lutut adalah bagian proximal. Pada bagian
proximal terdiri atas condylus medialis tibiae. Condylus medialis tibiae permukaan sendi
dinamakan facies articularis superior condyli medialis tibiae. Tapi lateral facies artecularis
superior condyli medialis agak menonjol dan dinamakan tuberculum intercondyloiddeum
mediale. Pada condylus lateralis tibiae permukaan sendi yang dinamakan facies articularis
superior condyli lateralis tibiae dinamakan tubercullum intercondyloideum yang memisahkan
kedua facies articularis pada bagian ini terdapat eminentia intercondyloideum, fossa
intercondyloideum anterior, fossa intercondyloideum posterior. Pada tuberusitas tibea tonjolan
dibagian ventral dan merupakan lekat tendo m. Quadriceps femoris melalui ligamentum
patella pada bagian corpus (diaphysis) tibiae berbentuk segi tiga dibedakan atas facies
lateralis. Facies medialis tibiae, facies psterior tibiae terdapat linea poplitea tempat alas m.
Soleus sedangkan pada bagian kranialnya merupakan tempat lekat m. popliteus dan crista
interossea tibiae terdapat diantara facies lateralis dan facies posterior berhadapan dengan
crista interossea fibulae. Pada bagian distal agak melebar dibagian terdapat malleolaris.
Incisura fibularis pada malleolus medialis bagian medial pars distalis yang menonjol kekaudal,
pada sulcus malleolaris permukaan dorsal malleolaris medial yang dilalui oleh tendines mm.
Tibialis posterior et flexordigitorum longus. Pada incisura fibularis lekukan dibagian lateral
yang berhubungan dengan fibulae.
d. Tulang Fibula
Tulang fibula dibagi menjadi tiga bagian yaitu ujung proximal, corpus, dan ujung distal. Pada
bagian proximal terdiri capitulum fibulae melekat kebagioan karniodorsal tibia. Puncak
capitulum fibulae dinamakan apex capituli fibulae. Pada bagian corpus fibulae berbentuk
seperti prisma. Tapi yang berhadapan dengan crista interossea tersebut dihubungkan oleh
membrana interossea cruris. Pada bagian distal ditandai oleh penonjolan kekaudal yang
dinamakan malleolus lateralis. Malleolus lateralis mempunyai permukaan sendi dinamakan
facies articularis malleoli lateralis yang bersendi dengan tulang talus dipermukaan dorsal
malleolus lateralis terdapat sulcus tendinis mm. Peronerum.
e. Tulang Talus
Tulang talus dibagi menjadi tiga yaitu caput tali, collum tali, corpus tali. Pada bagian caput
tali terdapat facies articularis navicularis yang bersendi dengan naviculare pedis. Pada collum
tali menghubungkan capu tali dan corpus tali. Di collum tali terdapat sulcus tali yang
bersamaan dengan tulang calcaneus membentuk sinus tarsi. Sinus tarsi tempati oleh ligamen
talocalcaneum interosseum. Pada bagian corpus tali dimana terdapat trocheal tali, facies
malleolaris meialis tali, processus lateralis tali, processus poterios tali. Pada bagian processus
posterior tali terbagi menjadi dua yaitu tubercullum laterale dan tubercullum mediale.
f. Tulang Calcaneus
Tulang calcaneus dibagi menjadi dua yaitu facies articulares talares anterior et media dan
facies talares posterior. Pada facies articulares talares menonjol kemedial dinamakan
sustentaculum talim. Dibagian dorsal calcaneum terdapat tonjolan besar dinamakan tuber
calcanei. Permukaan medianya terbagi dua bagian yaitu processus medialis calcanei dan
processus lateralis tuberis calcanei.
g. Tulang Naviculare Pedis
Tulang naviculare pedis dilihat dari distal terdiri dari facies articularis terdapat caput tali dan
ossa cuneiformiae dipermukaan medianya tuberusitas ossis naviculare pedis yang dapat diraba
dibawah depan malleolus medialis.
h. Tulang Cuneuforme
Tulang cuneuforme terdiri atas tulang cuneuforme medialis berbentuk paling besar bentuknya.
Tulang cuneuforme intermedius paling kecil permukaan sendinya seperti huruf L terbalik dan
tulang cuneiforme lateralis.
i. Tulang Metatarsale
Tulang metatarsale terdiri dari lima buah setiap bagian terdiri dari corpus distal, media,
lateral.
j. Tulang Basis Phalangis
Tulang basis phalangis terdiri dari lima setiap bagian terdiri dari distal, medial, lateral.
k. Tulang phalanx
Tulang phalanx terdiri dari phalanx distal, phalanx proksimal
2. Otot-otot Tungkai Atas
a. Otot Sartorius
Origo
Insertio
dikranial acetabulum
Insertio
linea aspera
Insertio
d. Otot-otot Intermedius
Origo
Insertio
Linea aspera
Insertio
Insertio
g. Otot Pectineus
Origo
Insertio
pubicum
Insertio
i. Otot Gracilis
Origo
Insertio
Insertio
Insertio
m. Otot Semimembranosus
Origo
: Tuber ischiadikus
Insertio
Ossis metatarsalis I
b. Otot Extensor digitorum longus
Origo
Insertio
Origo
longus)
Insertio
Insertio
e. Otot Gastocnemius
Origo
f. Otot Soleous
Origo
Insertio
h. Otot Plantaris
Origo
Insertio
: Tuber calcanei
Insertio
Insertio
posterior tibiae
Insertio
Insertio
Insertio
4. Otot-otot Kaki
a. Otot Extensor Hallucis Brevis
Origo
Insertio
Insertio
Insertio
Insertio
Origo
Insertio
Insertio
g. Otot Lumbricales
Origo
Insertio
Insertio
Gambaran Klinis
Tanda yang menunjukan adanya fraktur tibia lateu tidak jauh berbeda dengan tanda fraktur
secara umum yaitu adanya nyeri, odema, deformitas dan gangguan fungsi, namun pada fraktur
tibia plateu ini mempunyai ciri-ciri yang khas adanya pembegkaanpada lutut dan sedikit
deformitas, memar biasanya luas dan jaringan terasa adonan karena hemathrosis. Pada
pemeriksaan secara hati-hati ( dibawah anesthesia) dapat menunjukan ketidakstabilan kearah
medial maupun lateral. Kaki dan ujung kaki harus diperiksa dengan cermat untuk mencari ada
tidaknya tanda tanda cidera pembuluh darah
4. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur ada dua yaitu:
a. Fraktur terbuka: terputusnya hubungan tulang dan menembus jaringan otot dan kulit
sehingga dapat terlihat dari luar.
b. Fraktur tertutup: terputusnya hubungan tulang tetapi fraktur ini tidak
menembus jaringan kulit, sehingga tidak terlihat dari luar.
Houglund dan states mengklasifikasikan fraktur tibia berdasarkan bearnya energi yang
menyebabkan terjadinya fraktur, yang dapat menentukan prognosis:
a. Fraktur berkekuatan tinggi; misalnya dari kecelakaan mobil dan tabrakan,
fraktur dari group ini sembuh kira-kira 6 bulan.
b. Fraktur berkekuatan rendah ; misal dari kecelakaan bermain ski, fraktur dari group ini
sembuh kira- kira 4 bulan.
5.
Komplikasi
Komplikasi yang sering muncul akibat fraktur tibia plateu adalah (1) kekakuan sendi lutut, (2)
deformitas sendi lutut, (3) osteoarthritis lutut. ( Apley, 1995).
2. ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)
A. Definisi
ORIF adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk mengembalikan struktur tulang yang
fraktur pada keadaan anatomis dari dalam dengan memberikan ikatan dari dalam.
B. Jenis Perangkat Fiksasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi misalnya fraktur dengan
displacement dan tidak stabil.
2.
Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran setelah
dilakukan reduksi, misalnya fraktur pertengahan batang pada lengan bawah dan fraktur
pergelangan kaki yang bergeser.
3.
Fraktur yang cenderung ditarik terpisah oleh otot, misalnya fraktur melintang pada patella
atau olecranon.
4.
5.
6.
7.
8.
Fraktur yanfg penyatuaannya kurang baik dan perlahan-lahan terutama pada frakktur leher
femur.
Fraktur patologi akibat suatu penyakit tulang
Fraktur multiple dimana bila fiksasi dini dengan fiksasi internal atau dengan tujuan untuk
mrengurangi resiko komplikasi umum dan kegagalan berbagai organ sistem tubuh (Philips dan
Conteas, 1990).
Kondisi fraktur dimana suplay drah pada angggota gerak tergangggu dan pembuluhpembuluh darah harus terlindungi (Dandy, 1990)
Ditemukan banyak debris, dan fragmen yang merusak jaringan otot dan jkaringan lunak
lainnnya.
Posisi fraktur
Panjang dan bentuk fraktur
Ukuran fraktur
Tekstur dan kekuatan otot diarea sekitar fraktur. (Mc. Rae, 1994)
Memberikan kesempatan yang lebih baik untuk reduksi dan penyambungan tulang (Mc. Ray,
1994)
2.
Memberikan kesempatan mobilisasi awal dan latihan yang lebih cepat
3.
Mobilisasi dan latihan yang lebih cepat komplikasi fraktur dapat diminimalkan bahkan
dihilangkan.
4.
Pasiewn dapat pulang kerumah lebih awal dengan ctatan pulang agar pasien tetap
melakukan latihan-latihan yang diberiakan selam dirumah sakit dan menjauhkan laranganlarangan yang diberikan seperti tidak boleh melkukan pembebanan yang maksimal pada
daerah fraktur.
Komlikasi infeksi, merupakan penyebab osteotis yang paling sering ditemukan, hal ini tidak
diakibatkan logam yang digunakan tapi akibat pembedahan yang tidak memenuhi standart
aseptic dan antiseptic.
2.
Non union, hal ini lebih sdering ditemukan pada tulang lengan atau tungkai bawah dimana
apabial hanya salah satu tulang yang patah dan tulang yang sebelahnya tetap utuh.
3.
Kegagalan implant, diakibatkan implant yang ditananamkan kropos dan penyatuan tulang
yang patah belum terjadi. Apabila ditemukan rasa nyeri yang hebat pada fraktur harus
diwaspadai dan ditangani.
4.
Fraktur tulang diakibatkan karena pelepasan implant yang terlalu cepat, waktu yang paling
cepat pelepasan implant minimal satu tahun dan satu setengah tahun dan yang paling aman
setelah dua tahun setelah masa pelepasan tulang dalam kondisi lemah diperlukan perwatan
dan perlindungan.
1.
Banyak metode yang digunakan tergantung jenis kondisinya fraktur dan perangkat yang
digunakan juga dengan alasan yang sama.
2.
Bila menggunakan plate, memungkinkan plate harus dipasang pada permukaan yang dapat
diregangkan yaitu pada sisi tulang yang cembung.
3.
Bila menggunakan paku intermedular digunakan paku yang dapat dikuncikan dengan sekrup
melintang. (Muller dkk, 1991)
3. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Post ORIF Open Fraktur Tibia plateu Dextra
dengan Plate and Screw
1.
Pemeriksaan Subjektif
a.Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk memperoleh informasi akurat dan relevan, sehingga pertanyaan
harus jelas dan mudah dijawab. Anamnesis dikelompokkan menjadi: a. Heteroanamnesis, tanya
jawab pada orang-orang/keluarga pasien yang mengetahui kondisi pasien, b. Autoanamnesis,
tanya jawab secara langsung kepada pasien, dapat dibagi menjadi: 1) anamnesis umum, 2)
anamnesis khusus.
Keluhan utama mengenai keluhan yang mendorong pasien mencari pertolongan termasuk
didalamnya lokasi keluhan, onset, penyebab, faktor faktor yang memperberat atau
memperingan, irritabilitas dan derajat berat keluhan, sifat keluhan dalam 24 jam, dan stadium
dari kondisi.
Riwayat Penyakit Sekarang berupa perjalanan penyakit dan riwayat pengobatan
1.
Pemeriksaan Objektif
a. Tanda-tanda vital
Tanda tanda vital adalah tanda / gambaran pada tubuh seseorang yang penting untuk
diketahui sehingga kita dapat mengetahui keadaan tubuh seseorang,pemeriksaan tanda vital
meliputi
1)
Tekanan darah
2)
Denyut nadi
3)
Frekuensi pernafasan
4)
Temperature
5)
Tinggi badan
6)
Berat badan
b. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Hal-hal yang bisa
dilihat/diamati seperti keadaan umum, kondisi berat badan, sianosis, pucat, bentuk
thorak,bentuk vertebra,gerakan gerakan pernafasan abnormal,kontraksi otot bantu
pernafasan, clubbing finger. Macam-macam inspeksi ada 2, yaitu:
1)
Inspeksi statis: yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan diam.
2)
Inspeksi dinamis: yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan bergerak,
contoh waktu penderita bernafas,beraktivitas.
c. Palpasi
Palpasi adalah cara pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang organ/bagian
tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya spasme otot, nyeri tekan,
tumor/oedema, kontur organ , tingkat kesamaan ekspansi, atropi, kontraktur
suhu,
d. Perkusi
1)
2)
3)
4)
5)
Redup (konsolidasi,atelektasis)
6)
e. Auskultasi
Proses untuk mendengarkan dan menginterpretasikan suara yan timbul dalam thorak dengan
menggunakan alat bantu stethoscope. Dipergunakn untuk mengidentifikasi gangguan
ventilasi atau gangguan pembersihan jalan nafas ( lokasi mukus) dan menilai efektifitas terapi,
serta untuk mendengarkan suara jantung.
f. Pemeriksaan Gerak Dasar
1) Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif; untuk menentukan kekuatan otot, ROM aktif, nyeri dan
koordinasi gerak.
2) Pemeriksaan Fungsi Gerak Pasif; untuk menentukan ROM pasif (normal, hypomobilitas,
hypermobilitas), nyeri, end feel, bunyi, tonus dan panjang otot.
3) Pemeriksaan kontraksi isometrik; untuk menelaah rasa nyeri (provokasi myotendinogen) dan
kelemahan otot (gangguan neuromuskular).
g. Pemeriksaan Khusus antara lain; Palpasi yaitu untuk memeriksa temperature local, nyeri
tekan, dan bengkak Antropometri yaitu untuk memeriksa adakah perbedaan panjang segmen,
lingkar segmen, oedem, atropi otot.
h. Pemeriksaan penunjang, seperti sinar X, MRI, CT scan, laboratorium.
i. Muscle Test (Kekuatan Otot) adalah suatu usaha untuk menentukan atau mengetahui
kemampuan seseorang dalam mengkontraksikan group ototnya secara voluntary.
Nilai:
0 = Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi
1 = Kontraksi otot bisa dipalpasi tapi tidak ada gerakan sendi
2 = Subyek bergerak dengan LGS penuh tanpa melaqwan gravitasi
3 = Subyek bergerak penuh dengan LGS penuh melawan gravitasi
tanpa
melwan tahanan
4 = Subyek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dan tahanan sedang (moderat)
5 = Subyek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dan tahanan maximal.
j. Anthropometri (Pengukuran komposisi tubuh): Pengukuran lingkar segmen tubuh yaitu pada
anggota gerak bawah untuk menetahui ada tidaknya udem. Dilakukan dengan menggunakan
meteran (meter line), pelaksanaan pengukuran lingkar anggota gerak ini menggunakan patokan
lingkar lutut yaitu tuberusitas tibia.
k. ROM Test: menggunakan goniometer untuk mengetahui luas lingkup gerak sendi yang bisa
dilakukan oleh suatu sendi.
l. Pemeriksaan nyeri: dengan skala VAS, cara pengukuran derajat nyeri dengan menunjukkan
satu titik pada garis skala nyeri (0-10cm). Salah satu ujung menunjukkan tidak nyeri dan ujung
yang lain menunjukkan nyeri yang hebat. Panjang garis mulai dan tidak nyeri sampai titik yang
ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri.
3. Problem Fisioterapi
Asuhan pelayanan fisioterapi yang diberikan pada penderita post ORIF open fraktur tibia
plateu dextra dengan plate and screw dilakukan secara bertahan susuai dengan problem yang
ditemukan pada saat dilakukan assesment. Untuk itu sebelum melakukan intervensi fisioterapi,
hendaknya kita mengetahui problem fisioterapi apa saja yang ada pada penderita dengan post
ORIF open fraktur tibia plateu dextra dengan plate and screw
1.
2.
3.
4.
5.
4. Diagnosa Fisioterapi
Impairment
(gangguan),
functional
limitation
(Keterbatasan
fungsi),
dan
Active movement adalah gerakan yang timbul dari kontraksi otot pasien sendiri secara
volunteer atau sadar ( Kisner, 1996). Dengan gerakan aktif akan menimbulkan kontraksi otot,
meningkatkan sirkulasi darah dan nutrisi ke jaringan lunak di sekitar fraktur termasuk fraktur
itu sendiri sehingga proses penyambungan tulang akan berlangsung lebih baik.
b. Transver dan ambulasi: salah satu prinsip penanganan pasca operasi yaitu mobilisasi dini
mungkin untuk mencegah komplikasi tirah baring lama (Appley, 1995). Latihan transfer
dilakukan bertahap yaitu mulai dari tidur terlentang lalu duduk long sitting dengan bantuan
tumpuan pada kedua elbow saat bangun kemudian kedua lengan lirus kebelakang menyangga
tubuh setelah itu lakukan bridging untuk menggeser keduduk ongkang-ongkang dengan kedua
tungkai digeser menuju ketepi bed dan menggantung dapat juga tungkai yang sakit dibabtu
oleh terapis lau gerakan badan maju hingga kaki yang sehat menyentuh lantai dan kaki yang
sakit menggantung dan lakukan latihan berdiri dengan kruk disertai latihan keseimbangan
memberikan dorongan kesamping kanan kiri dan kedepan belakang juga kaki yang sakit diayun
ayunkan dengan posisi menggantung. Latihan jalan dengan kruk dapat diberikan jika pasien
telah mampu dan keseimbangan telah membaik dengan metode Non Weight Bearing (NWB),
dengan cara pasien latihan jalan dengan kedua tangan menumpu pada kruk dan dimulai dari
kruk kaki yang sehat sedang kaki yang sakit digantung.
c. Edukasi:
(1) Agar melakukannya sendiri dalam bentuk beraktif pada otot-otot yang tidak mengalami
kelemahan dan latihan gerak pasif dengan bantuan keluarga, pada otot yang mengalami
kelemahan seperti yang telah dianjurkan terapi
(2) Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga pasien supaya rajin berlatih sesuai program
yang diberikan terapis.
(3) Disarankan untuk tidak melakukan aktivitas berat dulu, yang menumpu pada kaki terlalu
lama terutama kaki yang sakit jangan menumpu dahulu, jika jalan diusahakan jangan ada traptrapan dan jangan ditempat yang licin.
(4) Pada saat jalan dengan kruk, hendaknya tungkai yang sakit digantung (NWB) selama sekitar
4-5 minggu atau dapat dilihat hasil foto ronsen apakah sudah terjadi penyambungan tulang
yang patah/fraktur atau tulang sudah cukup kuat untuk menyangga berat tubuh, kemudian
setelah itu dapat dilanjutkan dengan metode Partial Weight Bearing (PWB) yaitu kaki yang
sakit menumpu tapi tidak penuh melainkan sebagian. Setelah menapak penuh dan dipastikan
tulang tersebut sudah benar-benar kuat kemudian diteruskan dengan Full Weight
Bearing(FWB). Diharapkan keluarga membantu memberi suport agar semangat dalam berlatih.
7. Rencana Evaluasi
Sesuai dengan problematik fisioterapi
8. Prognosis berisi perkiraan mengenai kondisi pasien
Quo ad vitam
Quo ad sanam
Quo ad fungsionam
Quo ad cosmeticam
9. Penatalaksanaan Fisioterapi
berupa tindakan yang dilakukan terapis kepada pasien
10. Evaluasi hasil terapi
Evaluasi adalah tindakan untuk membandingkan data sebelum dan sesudah terapi agar lebih
mudah dan lebih cermat dalam mengetahui perkembangan terapi.
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal pembuatan laporan 21 juli 2007
Kondisi : FT Muskuloskeletal
A. Keterangan Umum Penderita
Nama
Umur
: 34 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Hobi
: Olah raga
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
1.
Open fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra dan CF. Femur 1/3 tengah
dextra.
1.
Diagnosis Klinis
Medika Mentosa
1.
fortanes
pytaidin
buvanes
1.
linodex 5%
anua 25 ml
remapnin
1.
Hasil Lab
Leukosit
: 20,200/mm
Hemoglobin
: 12,7 Gr/dl
: Negatif
Laporan Operasi
Open fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra, dan CF. femur 1/3 tengah
dextra.
Dx. Pasca Bedah
Idem
Macam Tindakan
1.
Foto Rotgen
B.
Segi Fisioterapi
1.
Pemeriksaan Subyektif
1.
Anamnesis
Pada tanggal 21 juni 2007 pasien mengalami kecelakaan ditabrak sepeda motor, kemudian
dibawa keRSO disurakarta untuk mendapatkan tindakan dan pertolongan pertama. Setelah
mengetahui bahwa pasien mengalami perpatahan tulang pada bagian 1/3 proxsimal tibia, 1/3
tengah femur, dan phalanxz kaki kanannya, kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Hasil diagnosisnya adalah open fraktur tibial plateu dextra, fraktur phalanx 1-3 pedis dextra,
dan CF. femur 1/3 tengah dextra. Kemudian dilakukan operasi pada tanggal 05 juli 2007
pemasangan ORIF dengan plate and screw ditibia proxsimal dan femur tengah, dengan kischner
diphalanx 1-3. kemudian pasien mengalami rawat inap.
2)
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama seperti pasien.
3)
Status Sosial
4)
Tidak memiliki hipertensi, penyakit jantung, DM, gangguan paru (asma), tetapi memiliki
riwayat trauma.
1.
Pemeriksaan Objektif
1)
a)
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
b)
Denyut nadi
: 88 x/menit
c)
d)
Temperatur
: 37 0 C
e)
Tinggi badan
: 175 cm
f)
Berat badan
: 65 kg
2)
Inspeksi
Statis :
a)
KU baik
b)
c)
d)
e)
f)
Dinamis :
a)
b)
Tampak ekspresi wajah pasien kesakitan saat lutut kanannya di pasifkan oleh terapis
Pasien jalan menggunakan kruk (NWB)
c)
3)
Palpasi
a)
b)
Suhu lokal pada daerah cidera (lutut kanan) lebih tinggi dari daerah yang sehat
c)
d)
e)
4)
Perkusi
5)
Auskultasi
6)
Gerakan Dasar
a)
Gerak pasif
1. AGB Sinistra
Hip
extensi, abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi full ROM dan tidak ada nyeri
Knee : Mampu untuk digarakkan fexi, extensi full ROM dan tidak ada nyeri
Ankle : Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan
inversi full ROM dan tidak ada nyeri
2. AGB Dextra
Hip
: Mampu untuk digarakkan flexi tapi tidak full ROM, karena pasien masih merasakan
nyeri
Ankle : Mampu untuk digerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan
inversi tidak full ROM dan tidak ada nyeri
b) Gerak aktif
1. AGB Sinistra
Hip
extensi, abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi full ROM dan tidak ada nyeri
Knee : Mampu untuk menggerakkan flexi, extensi full ROM dan tidak ada nyeri
Ankle : Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan
inversi full ROM dan tidak ada nyeri
2. AGB Dextra
Hip
extensi, abduksi, adduksi, exorotasi dan endorotasi karena masih ada nyeri
Knee : Mampu untuk menggerakkan flexi, tapi tidak sampai full ROM, karena pasien
mengeluh nyeri
Ankle : Mampu untuk menggerakkan untuk arah gerakkan dorsi fleksi, plantar flexi, eversi dan
inversi tidak full ROM dan tidak ada nyeri
c) Gerak isometrik melawan tahanan
AGB Dextra
Knee
: Belum mampu gerak isometrik melawan tahanan dari terapis untuk semua gerakkan
Ankle : Mampu gerak isometrik melawan tahanan minimal dari terapis untuk semua arah
gerakkan
7)
Tidak dilakukan
8)
Antropometri test
Tidak dilakukan
9)
ROM Test
Tidak dilakukan
10) Pemeriksaan nyeri
Menggunakan skala VAS ( Verbal Analogue Scale)
0
keterangan :
0 : Tidak ada nyeri sama sekali.
10 : Nyeri tak tertahankan.
Nyeri diam : 3
Nyeri tekan : 5
10
Nyeri gerak : 7
11) Kognitif, intra personal dan inter personal
Kognitif
mampu menjawab pertanyaan terapis, dan mampu mengingat memori jangka panjang dan
jangka pendek dengan baik
Intra personal : Pasien mampu menerima keadaan dirinya dan mempunyai keinginan serta
motivasi yang tinggi untuk sembuh
Inter personal : pasien dapat bekerja sama dengan terapis, pasien menjalankan latihan yang
diajarkan oleh terapis, dan mampu melaksanakan program dengan baik.
12) Pemeriksaan Kemampuan Fungsional
1.
pasien mampu menggerakan pergelangan kakinya ke segala arah tanpa adanya nyeri
fraktur yang disebabkan oleh benturan yang kuat dari luar juga dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan lunak sekitar fraktur seperti kerusakan syaraf, pembuluh darah, tendon otot
maupun ligament.
Fraktur tibia plateu merupakan kasus yang sering menimbulkan komplikasi sekunder seperti
kelainan sendi lutut dan instabilitas sendi lutut. Sehingga akan menyebabkan gangguan fungsi
sendi dan disability setelah cidera. (Appley, 1995).
Kekakuan sendi lutut dan atropi otot penggerak lutut akan mengganggu aktifitas fungsional
pasien, sehingga perlu penanganan yang serius yang melibatkan beberapa disiplin ilmu dokter,
ortopedi, dan fisioterapi.
Dengan modalitas fisioterapi berupa terapi latihan diharapkan dapat mengembalikan fungsi
dan gerak pada cidera setelah operasi.
Karena setelah dilakukan operasi oleh dokter ortopedi pasti tidak lepas dari beberapa
komplikasi post op, antara lain : oedem, penurunan kekuatan otot penggerak lutut,
keterbatasan LGS yang akan mengakibatkan penurunan fungsi dan gerak pada sendi lutut.
Prinsip terapi adalah:
a. Membatasi kerusakan jaringan lunak dan mempertahankan penutup kulit
b. Mencegah atau sekurang kurangnya mengetahui pembengkakan kompartemen
c. Memperoleh penjajaran (aligment) fraktur
d. Untuk memulai pembebanan dini (pembebanan membabtu penyembuahan)
e. Mulai gerakan sendi secepat mungkin
Bila fraktur tibia berdiri sendiri, diperlukan immobilisasi dan bila fraktur dengan displacement
perlu dilakukan reposisi.
1.
1)
Diagnosis Fisioterapi
Impairment.
Adanya nyeri diam, nyeri tekan dan nyeri gerak pada daerah cidera
Adanya oedema disekitar knee dan ankle
Adanya spasme otot quadriceps kanan
Adanya penurunan LGS knee
Kelemahan otot-otot flexor dan extensor knee
Functional limitation.
Keterbatasan aktivitas yaitu berdiri dan berjalan secara mandiri karena adanya nyeri incisi
pada 1/3 proxsimal tibia.
Penurunan kemampuan jongkok-berdiri dan aktivitas toileting secara mandiri.
Tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
3)
Program Fisioterapi
1)
Tujuan Fisioterapi
a)
Jangka pendek
Jangka panjang
Teknologi Intervensi
a)
Teknologi alternatif
(1) TENS
(2) IR
Teknologi terpilih
a)
Rencana Evaluasi
Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad sanam
: Baik
: Baik
Pelaksanaan Fisioterapi
TERAPI LATIHAN :
1.
Pasien tidur terlentang, terapis menggerakkan tungkai kanan pasien secara pasif, gerakkan
diulangi 2 sampai 8 kali.
Gerakannya :
knee : fleksi
Saat pasien melakukan gerak fleksi terlihat keterbatasan gerak pada knee. Gerak AGA kanan
kiri dan AGB kiri normal.
1.
Standing exercise
Pasien diminta untuk mengganjal tungkai bawahnya (ankle) dengan bantal (elevasi) dan
2)
Evaluasi
Tidak dilakukan
1.
Setelah diberikan terapi pada pasien yang bernama Bpk. Sukron sebanyak 2 kali, maka hasil
yang didapat deri sebelum dan sesudah terapi sebagai berikut yaitu :
Keluhan nyeri berkurang.
Terdapat peningkatan kemampuan fungsional
Kondisi umum pasien baik